Ruu Naskah Akademis Ruu Tentang Perubahan Harga Rupiah

85
1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN HARGA RUPIAH

description

Naskah akademik RUU tentang perubahan Harga Rupiah

Transcript of Ruu Naskah Akademis Ruu Tentang Perubahan Harga Rupiah

1

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PERUBAHAN HARGA RUPIAH

2

KATA PENGANTAR

Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perubahan Harga

Rupiah disusun dengan maksud untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat serta untuk

menampung pemikiran dan gagasan ilmiah pentingnya hal-hal yang terkait dengan perubahan

harga Rupiah yang harus diatur dalam bentuk undang-undang sesuai amanat Pasal 3 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Penyusunan Naskah Akademik ini

diperlukan sebagai prasayarat pengajuan suatu RUU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar dapat

dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional. Dalam Naskah Akademik ini memuat hal-hal

yang sangat esensial terkait dengan perubahan harga Rupiah sehingga masyarakat dapat

mengetahui latar belakang dan urgensi perumusan ketentuan dalam Undang-Undang Perubahan

Harga Rupiah.

Naskah Akademik ini terdiri dari 6 (enam) bab. Bab I tentang Pendahuluan, yang memuat

latar belakang perlunya pengaturan perubahan harga Rupiah dalam bentuk undang-undang, serta

memuat maksud dan tujuan serta metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik.

Pada Bab II, diuraikan mengenai Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, yang menjelaskan secara

lengkap kajian-kajian yang dilakukan dari berbagai aspek terkait dengan perubahan harga Rupiah,

yang meliputi kajian teoritis, kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma,

kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi

masyarakat, dan kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam undang-

undang. Dalam Bab III, memuat Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait,

baik berupa kondisi peraturan perundang-undangan yang ada, keterkaitan RUU tentang Perubahan

Harga Rupiah dengan hukum positif, dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Sementara

itu, untuk lebih memberikan pemahaman yang komprehensif, dalam Bab IV dimuat tinjauan

terkait dengan landasan-landasan yang dipergunakan dalam penyusunan Naskah Akademik yang

terdiri dari Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis. Bab V tentang Jangkauan, Arah

Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, memuat penjelasan mengenai

jangkauan dan arah pengaturan, serta ruang lingkup materi muatan undang-undang. Sebagai

penutup, Bab VI memuat Simpulan dan Saran, sebagai rangkuman dari naskah akademik serta

hal-hal yang diperlukan.

Naskah Akademik ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dalam

memahamiurgensi kebijaksanaan perubahan harga Rupiah yang harus dituangkan dalam bentuk

undang-undang serta dapat dijadikan bahan pembahasan RUU Tentang Perubahan Harga Rupiah

dalam berbagai forum konsultasi dengan instansi terkait.

Jakarta, November 2012

3

DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Identifikasi Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

D. Metode

BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta

Permasalahan yang dihadapi Masyarakat

D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur dalam

Undang-Undang

BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT

A. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan yang Ada

B. Keterkaitan RUU Tentang Perubahan Harga Rupiah Dengan Hukum Positif

C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

B. Landasan Sosiologis

C. Landasan Yuridis

BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan

B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang

4

BAB VI : PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN HARGA RUPIAH

5

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur,

sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu dicapai

kondisi perekonomian yang mandiri dan stabil. Dalam kurun perkembangan hingga saat ini,

perekonomian nasional telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, sebagaimana ditandai

dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang terjaga dengan baik, nilai

tukar tukar yang stabil, serta akumulasi jumlah cadangan devisa yang mencukupi kebutuhan

transaksi perekonomian. Selain itu, persepsi risiko terhadap kesinambungan perekonomian juga

semakin membaik sebagaimana tercermin dari credit rating yang dikeluarkan oleh lembaga-

lembaga pemeringkat internasional. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pencapaian

perekonomian nasional hingga saat ini dapat dipandang telah berada di jalur yang tepat untuk

mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan

sejahtera.

Dalam rangka memelihara kesinambungan perkembangan perekonomian nasional

tersebut, maka sangat penting untuk dijaga tersedianya uang Rupiah dalam jumlah yang cukup

dan dalam nilai pecahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Hal ini mengingat pentingnya

fungsi uang Rupiah dalam kehidupan masyarakat modern sebagai medium of exchange atau alat

pembayar sekaligus penyimpan nilai.Selain itu, kestabilan dan kekuatan nilai mata uang Rupiah

seringkali dipersepsikan sebagai cerminan kemajuan perekonomian nasional dan simbol

kedaulatan serta kebanggaan bangsa Indonesia.

Namun demikian, pencapaian perkembangan perekonomian nasional yang cukup baik saat

ini, belum didukung dengan nilai pecahan uang Rupiah yang efisien. Saat ini Rupiah memiliki

jumlah digit yang terlalu banyak sehingga berpotensi menyebabkan inefisiensi dalam transaksi

ekonomi di masa yang akan datang. Inefisiensi terjadi antara lain ketika masyarakat harus

membawa jumlah uang yang besar untuk membiayai transaksi sehari-hari yang cukup sederhana.

Uang dengan jumlah digit yang terlalu banyak akan menimbulkan kerumitan perhitungan dalam

transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan serta memakan waktu lebih lama.

Selain itu, akan terjadi kebutuhan untuk menyesuaikan alat-alat transaksi elektronik dan sistem

teknologi informasi karena nilai transaksi yang semakin membesar dengan cepat. Apabila tidak

ditempuh suatu kebijakan perubahan harga mata uang, maka kondisi nilai uang Rupiah dengan

6

digit yang besar seperti saat ini berpotensi menghambat akselerasi perkembangan perekonomian

nasional menuju ke arah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tertuang

dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kondisi Rupiah yang memiliki jumlah digit yang banyak tersebut tidak terlepas dari

akumulasi berbagai kejadian krisis dan tingginya laju inflasi di masa lalu.Meskipun saat ini telah

dicapai kemajuan ekonomi yang signifikan dan terkendalinya laju inflasi namun jumlah digit

pecahan Rupiah yang terlanjur banyak tersebut tidak serta merta berkurang. Akibatnya, jumlah

digit dalam pecahan Rupiah saat ini kurang mampu mencerminkan kondisi fundamental

perekonomian Indonesia yang semakin kuat, namun sebaliknya dapat dipersepsikan sebagai

cerminan perekonomian yang lemah. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan perubahan harga mata

uang yang mampu merepresentasikan kondisi fundamental perekonomian yang kuat dan setara

dengan negara-negara lain di kawasan.Kebijakan perubahan harga mata uang yang dimaksud

adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi uang Rupiah tanpa mengurangi daya beli,

harga, maupun nilai tukarnya1.Kebijakan ini seringkali dikenal sebagai redenominasi. Dengan

perkataan lain, redenominasi merupakan kebijakan pemerintah untuk menyederhanakan

penyebutan atau penulisan harga mata uang dengan cara menghilangkan sejumlah angka nol

dalam harga barang dan penulisan denominasi mata uang tanpa merubah daya beli uang tersebut.

Kebijakan redenominasi pada hakekatnya ditujukan untuk mengatasi potensi-potensi

permasalahan inefisiensi di dalam perekonomian yang disebabkan oleh semakin banyaknya

jumlah digit mata uang Rupiah, sebagaimana terjadi saat ini dan beberapa waktu ke depan.

Potensi permasalahan inefisiensi tersebut antara lain: pertama, ketidakefisienan pencantuman

harga barang dan jasa dalam dunia bisnis sehingga menimbulkan beban tambahan; kedua,

meningkatnya beban pencatatan transaksi dan pembukuan, antara lain dalam hal waktu

operasional yang lebih lama dan potensi kesalahan akibat digit yang terlalu banyak; ketiga,

meningkatnya penggunaan memori penyimpanan data secara elektronik, penyesuaian perangkat

keras dan lunak sistem akunting, sistem Teknologi Informasi (TI), sistem pembayaran nasional

serta keterbatasan kemampuan alat elektronik, seperti kalkulator, untuk menampilkan dan

melakukan proses perhitungan dengan jumlah digit yang terlalu banyak. Denominasi yang terlalu

besar akan mengakibatkan timbulnya kebutuhan pengembangan infrastruktur sistem pembayaran

non tunai di masa depan dengan biaya yang cukup signifikan.Selain itu, dengan jumlah digit

pecahan Rupiah yang semain banyak akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan uang

1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2002 Departemen Pendidikan Nasional , denominasi

didefinisikan sebagai harga surat berharga (sertifikat bank dsb) yang tercantum di dalam surat itu.

7

barudengan pecahan yang semakin besar untuk mengakomodasi kebutuhan pembayaran tunai

yang semakin meningkat. Hal ini juga mengakibatkansemakin banyaknyapenggunaan pecahan

uang kertas dibandingkan uang logam (koin). Akibatnyabiaya pencetakan uang menjadi tidak

efisien karena masa edar uang kertas jauh lebih singkat dibanding masa edar uang logam yang

lebih tahan lama.

Selain berguna untuk mengatasi permasalahan inefisiensi dalam perekonomian, kebijakan

redenominasi juga bermanfaat untuk mengatasi kendala-kendala lainnya.Pertama, mengatasi

kendala teknis dalam mengakomodir pencatatan nilai pada peralatan sehari-hari, seperti mesin

kasir, pompa bensin, argometer taksi, dan lain-lain. Selain itu dalam konteks infrastruktur sistem

pembayaran yang lebih makro, kebijakan redenominasi akan memudahkan integrasi dengan

infrastruktur sistem pembayaran berstandar internasional. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri

masyarakat terhadap mata uang Rupiah, terutama dalam konteks pergaulan

internasional.Denominasi yang sangat besar mengakibatkan nilai Rupiah dipersepsikan sangat

rendah. Rendahnya nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang negara maju seringkali

dipersepsikan sebagai cerminan kondisi perekonomian yang lemah.Saat ini, nilai tukar mata uang

Rupiah terhadap dolar AS di kawasan ASEAN merupakan salah satu yang terendah, kecuali

dengan Vietnam.Akibatnya, kondisi perekonomian Indonesia juga dipandang lemah di antara

negara-negara ASEAN, sehingga untuk mengatasinya diperlukan suatu kebijakan untuk

mengembalikan harga mata uang yang lebih mencerminkan kondisi fundamental perekonomian

nasional serta lebih meningkatkan efisiensi terhadap perekonomian nasional.

Selain itu, kesetaraan nilai tukar diharapkan akan meningkatkan kepercayaan investor

asing terhadap kredibilitas perekomian nasional. Keempat, mempermudah kesesuaian antara

materi berhitung dengan menggunakan uang pada pendidikan dasar dengan praktek nyata kegiatan

transaksi yang menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.Selanjutnya,

program redenominasi juga dapat menjadi awal berlakunya secara nasional kewajiban

pencantuman label harga bagi semua barang dan jasa yang diperdagangkan di seluruh wilayah

Republik Indonesia. Dalam praktek redenominasi, untuk mencegah risiko kenaikan harga akibat

pembulatan harga secara berlebihan yang akan mengakibatkan kenaikan inflasi, umumnya

diberlakukan kewajiban pencantuman label harga bagi semua pedagang, baik dalam label harga

dalam denominasi lama maupun harga yang telah disederhanakan atau dalam denominasi baru

(setelah dihilangkan beberapa angka nol). Kewajiban tersebut berlaku beberapa bulan sebelum

dicanangkannya program redenominasi secara resmi dan berlanjut hingga masa transisi

berakhir.Untuk menjaga ketertiban pelaksanaannya, pengaturan kewajiban tersebut dan

pelaksanaan monitoringnya dapat dituangkan dalam undang-undang ataupun dalam peraturan

8

kementerian yang berwenang.Melalui kebijakan penyederhanaan harga mata uang atau

redenominasi, diharapkan dapat diciptakan kesetaraan persepsi atas kondisi perekonomian

nasional dengan perekonomian negara kawasan untuk menyongsong pembentukan Asean

Economic Community pada tahun 2015.

Untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan redenominasi diperlukan dukungan kondisi

fundamental perekonomian yang stabil. Arah perkembangan perekonomian Indonesia saat ini dan

beberapa tahun mendatang dipandang cukup kondusif untuk mendukung suksesnya pelaksanaan

kebijakan redenominasi. Dalam studi yang dilakukan Iona (2005)2 terhadap negara-negara yang

melakukan redenominasi, beberapa persyaratan utama keberhasilan program redenominasi antara

lain stabilitas makroekonomi yang terjaga yang antara lain ditandai dengan tingkat inflasi yang

stabil dan dalam tren menurun, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta stabilitas nilai tukar.

Hal utama lainnya, dukungan seluruh lapisan masyarakat, landasan hukum yang kuat, serta

kondisi sosial politik yang kondusif.Kondisi tersebut, secara umum telah dimiliki Indonesia

sehingga perlu segera memanfaatkan momentum yang tepat untuk mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan redenominasi.

Terkait dengan luasnya cakupan pelaksanaan redenominasi terhadap aspek kehidupan

masyarakat, maka kebijakan redenominasi harus didukung dengan suatu landasan hukum yang

kuat dalam bentuk undang-undang. Dengan undang-undang, maka pelaksanaan kebijakan

redenominasi akan benar-benar ditaati oleh seluruh komponen masyarakat sehingga mencegah

timbulnya perselisihan, memberikan kepastian hukum, dan mendukung keberhasilan pelaksanaan

program redenominasi. Hal ini juga sejalan dengan praktek di negara-negara lain yang telah

berhasil dalam melaksanakan program redenominasi, seperti Turki dan Romania pada tahun 2005.

Selain itu, sesuai dengan amanat Pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang

Mata Uang yang menyebutkan bahwa perubahan harga Rupiah diatur dengan undang-undang,

maka perubahan harga Rupiah yang dalam hal ini berupa redenominasi Rupiah, diatur dalam

Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah.

Menimbang berbagai uraian di atas mengenai manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan

redenominasi, pemilihan waktu yang tepat yang ditandai dengan kondisi makroekonomi dan

sosial politik yang kondusif, serta momentum mengembalikan kesetaraan perekonomian

Indonesia dengan negara di kawasan terutama menyongsong pembentukan Asean Economic

2Iona, D. (2005). The National Currency Redenomination Experience in Several Countries - A Comparative Analysis.

International Multidisciplinary Symposium Universitaria Simpro .

9

Community pada tahun 2015, maka perlu untuk segera mengusulkan RUU tentang Perubahan

Harga Rupiah sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013.

A. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Apa potensi permasalahan jika tidak dilakukan redenominasi Rupiah?

2. Mengapa Redenominasi Rupiah perlu dilakukan?

3. Bagaimana penerapan program redenominasi dapat mengatasi permasalahan-permasalahan

di atas?

4. Norma-norma hukum apa saja yang perlu diatur untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan tersebut di atas?

5. Apakah faktor-faktor yang mendukung keberhasilan/penyebab kegagalan program

Redenominasi?

6. Apa sasaran yang akan diwujudkan?

7. Bagaimana mengomunikasikan atas pelaksanaan redenominasi Rupiah kedalam dan keluar

negeri?

B. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Tujuan dibuatnya Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Harga Rupiah adalah

untuk memberikan landasan ilmiah bagi penyusunan RUU dimaksud, sebagai tolak ukur yang

akan memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU dimaksud.

Kegunaan disusunnya Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Harga Rupiah adalah

sebagai bahan masukan kepada pembuat undang-undang dan sebagai bahan sosialisasi kepada

stake holders, antara lain untuk menjelaskan latar belakang pentingnya dilakukan penyusunan

undang-undang dimaksud.

C. Metode

Metode penelitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif maupun yuridis

empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer.

1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data

sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil

pengkajian, dan referensi lainnya.

2. Metode yuridis empiris dilakukan dengan menelaah data primer yang

diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer diperoleh dengan cara:

10

pengamatan (observasi); diskusi (Focus Group Discussion); wawancara; mendengar

pendapat narasumber atau para ahli; menyebarkan kuesioner; studi banding ke beberapa

negara yang telah melakukan kebijakan redenominasi mata uangnya; dan lain-lain.

11

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Menurut beberapa literatur, perubahan harga mata uang dapat dilakukan dengan cara-

cara antara lain:

1. Devaluasi:

Kebijakan untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang

asing secara resmi oleh Pemerintah. Kebijakan ini antara lain bertujuan untuk

meningkatkan daya saing produk eskpor. Devaluasi akan membuat harga ekspor barang

dan jasa menjadi lebih murah dan harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga

berdampak pada meningkatnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,

kebijakan ini berdampak pada meningkatnya biaya pembayaran utang luar negeri.Selain

itu, pada negara yang sangat menggantungkan pada barang dan jasa impor, devaluasi ini

berpotensi meningkatkan inflasi di dalam negeri. Indonesia pernah menerapkan kebijakan

devaluasi pada tahun 1971, 1978, 1983 dan terakhir pada tahun 1986 pada saat

menerapkan kebijakan nilai tukar tetap dan mengambang terkendali,

2. Revaluasi:

Kebijakan untuk meningkatkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang

asing secara resmi oleh Pemerintah.Kebijakan ini biasanya ditujukan untuk menekan

inflasi dan menurunkan biaya produksi dalam negeri dari negara yang memiliki tingkat

ketergantungan tinggi pada produk impor.Namun demikian, kebijakan ini berdampak

pada menurunnya daya saing produk eskpor dan meningkatnya impor sehingga berdampak

pada menurunnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. China merupakan salah satu

negara yang beberapa kali menerapkan kebijakan ini seiring dengan tingginya arus modal

asing ke dalam negeri di tengah penerapan rezim nilai tukar yang cenderung tetap.

3. Sanering:

Sanering adalah kebijakan pemerintah untuk memotong nilai uang yang ada terkait

dengan jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.Namun demikian, kebijakan ini

hanya dilakukan di sisi moneter tanpa melakukan perubahan di sisi riil. Akibatnya, nilai

uang menurun sementara harga barang/jasa tetap/tidak berubah dan bahkan cenderung

meningkat. Hal ini menyebabkan daya beli efektif masyarakat menurun. Indonesia pernah

menerapkan kebijakan sanering ini pada:

12

a. 10 Maret 1950 yang dikenal dengan sebutan Gunting Syafruddin

Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua bagian,

bagian kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri tetap merupakan alat

pembayaran yang sah dengan nilai separuh dari nilai nominal yang tertera, sedangkan

guntingan uang kertas bagian kanan ditukarkan dengan obligasi pemerintah yang dapat

dicairkan beberapa tahun kemudian.Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna

mengurangi jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.

b. 25 Agustus 1959

Pada saat itu, nilai uang kertas pecahan besar diturunkan dari Rp1.000,- menjadi

Rp100,- dan dari Rp500,- menjadi Rp50,- sementara harga-harga barang pada masa itu

masih mengalami kenaikan yang tajam. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk

mengurangi jumlah uang beredar akibat kebijakan fiskal ekspansif yang dibiayai

dengan pencetakan uang.Kebijakan monetisasi fiskal tersebut berdampak pada

melonjaknya harga-harga barang dan jasa.

4. Redenominasi:

Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan jumlah digit pada denominasi

atau pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar mata uang

tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa.Secara lebih sederhana, redenominasi adalah

penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata uang suatu negara.

Redenominasi mata uang Rupiah pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi tantangan dan

kendala teknis, meningkatkan efisiensi perekonomian, serta memupuk kebanggaan

nasional terhadap mata uang Rupiah.Dengan semakin banyaknya jumlah digit yang

digunakan dalam denominasi uang Rupiah selama ini menimbulkan inefisiensi

perekonomian.Demikian pula hambatan teknis yang seringkali menyulitkan, terutama

dalam hal penyajian dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan penyelesaian transaksi.

Dari sisi psikologis, digit yang lebih sederhana dapat memupuk kebanggaan masyarakat

terhadap mata uang Rupiah. Hal ini karena adanya kesetaraan nilai tukar mata uang

Rupiah dengan negara lain yang kondisi perekonomiannya kurang lebih serupa dengan

Indonesia.

Berbeda dengan sanering, redenominasi sebenarnya hanya mengubah tampilan

nilai mata uang.Dengan demikian, redenominasi seharusnya tidak mengakibatkan

menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap barang dan jasa.Sebagai contoh, jika 1

kg beras dijual dengan harga Rp6.000,-/kg, setelah redenominasi 1 kg beras dijual dengan

harga Rp6,-/kg. Namun demikian, berkaca dari pengalaman yang buruk dari penerapan

13

sanering pada tahun 1959 serta adanya sebagian masyarakat yang secara psikologis masih

trauma akibat kebijakan tersebut, perlu adanya komunikasi dan penjelasan yang mendalam

mengenai pengertian dan perbedaan antara redenominasi dan sanering. Hal ini karena

secara prinsipil, sanering berbeda dengan redenominasi. Indonesia pernah menerapkan

kebijakan redenominasi pada tahun 1965 melalui Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965

yang implementasinya dengan menerbitkan uang Rupiah baru yang perbandingan nilainya

Rp1 uang baru setara dengan Rp1.000 uang lama dan Rp1 uang Irian Barat3.

Dalam naskah akademik ini, yang dimaksud dengan perubahan harga Rupiah

adalah redenominasi.

Menurut Mosley (2005) terdapat beberapa alasan yang membuat suatu negara melakukan

redenominasi yaitu:

1. Redenominasi dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah khususnya komitmen untuk

memelihara tingkat inflasi yang rendah. Hal ini terjadi pada negara-negara yang

sebelumnya pernah mengalami periode krisis dan inflasi yang tinggi.

2. Redenominasi merupakan bagian dari program stabilisasi pemerintah dan biasanya

dilakukan pasca periode inflasi tinggi. Salah satu prasyarat keberhasilan program

redenominasi diperlukan tingkat inflasi yang rendah dan stabil.

Mosley mengemukakan bahwa di beberapa negara, redenominasi merupakan salah

satu kebijakan yang secara simbolis bertujuan untuk menyatakan bahwa era inflasi tinggi

telah berlalu. Dengan mengurangi jumlah digit mata uang maka hal ini berarti akan

menjadi tonggak sejarah keberhasilan memerangi tingkat inflasi. Sementara itu, Bernholz

dan Kugler (2007) mengemukakan bahwa secara implisit redenominasi merupakan salah

satu bentuk kebijakan pembaharuan mata uang (currency reform) yang bertujuan untuk

menstabilkan kembali mata uang domestik setelah perekonomian didera oleh periode

tingkat inflasi yang tinggi. Studi Mas (1995) menjelaskan adanya uang berdenominasi

besar merupakan indikasi utama akan adanya kebutuhan redenominasi di suatu negara.

Redenominasi dan Kebijakan Pengendalian Inflasi

Pada kasus beberapa negara, kebijakan redenominasi dilakukan pada akhir periode

stabilisasi ekonomi sebagai pertanda bagi masyarakat atas berakhirnya masa-masa tingkat

inflasi tinggi. Dalam hal ini, redenominasi merupakan kebijakan yang bersifat simbolis

yang digunakan secara langsung dalam proses stabilisasi untuk menyesuaikan ekspektasi

akan inflasi. Sebagai contoh, Bank Sentral Romania pada tahun 2005 melakukan kebijakan

3Sejarah Bank Indonesia, 2005, Hal.

14

redenominasi sebagai indikasi berakhirnya masa hiper-inflasi.Hal ini dilakukan pula

sebagai salah satu tindakan untuk memuluskan jalan negara tersebut untuk mendapatkan

keanggotaan di EU.

Namun demikian, kebijakan redenominasi juga dapat dilakukan oleh pemerintah

sebagai bagian dari paket kebijakan low inflation dalam rangka menjaga dan

mempertahankan agar laju inflasi tetap rendah.

Landasan pemikiran dari kebijakan ini adalah bahwa penggunaan nominal yang

besar dapat mempengaruhi ekspektasi agen ekonomi. Hal ini terutama karena agen

ekonomi dipengaruhi ingatan atas peningkatan harga yang terjadi di masa lalu sehingga

mempengaruhi ekspektasinya atas peningkatan harga di masa depan. Nilai nominal mata

uang yang kecil dapat meningkatkan kepercayaan bahwa periode inflasi seperti yang

terjadi di masa lalu tidak akan lagi terjadi.

Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa kebijakan ini dapat juga memicu

inflasi jangka pendek yang diakibatkan oleh efek announcement akibat gangguan pada

sistem ekonomi secara keseluruhan dan meningkatkan ketidakpastian perekonomian.

Ketidakpastian dan ketidakstabilan ekonomi merupakan sesuatu hal yang hampir pasti

dapat dipastikan terjadi pada negara berkembang yang melakukan perombakan kebijakan

yang besar yang dapat memicu tindakan spekulasi, capital flight, menurunnya foreign

remittances, meningkatknya tingkat risk aversion dari pelaku pasar, serta kecenderungan

tindakan wait and see oleh investor.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi secara

komprehensif kepada masyarakat yang diikuti oleh kebijakan anti-inflationary dalam

rangka mempertahankan stabilitas harga barang pokok dan layanan pemerintah, antara lain

dengan upaya meningkatkan produksi, menjaga pasokan serta meningkatkan kelancaran

arus distribusi bahan pokok dan barang strategis lainnya.

Studi Kasus 1: Bank Sentral Turki melakukan kebijakan redenominasi pada tahun

2005 untuk dua alasan. Pertama alasan teknis mengingat banyaknya angka nol pada mata

uang memperumit perhitungan transaksi keuangan.Kedua, redenominasi dilakukan untuk

meningkatkan kredibilatas perekonomian.Keberadaan mata uang (bank note) sebesar

20.000.000, hal yang sangat tidak wajar di perekonomian internasional, telah dianggap

mengakibatkan efek yang negatif pada kredibilatas perekonomian Turki. Redenominasi

dianggap sebagai tindakan yang perlu sebagai pernyataan komitmen pemerintah untuk

menekan tingkat inflasi setelah pada tahun 2004 untuk pertama kalinya sejak tahun 1972,

Turki mengalami inflasi satu digit pada tahun tersebut. Kebijakan tersebut merupakan

15

bagian dari kebijakan umum Turki sejak dimulainya reformasi ekonomi yang didukung

IMF pada tahun 2001 yang juga merupakan bagian dari rencana Turki untuk bergabung

dengan Uni Eropa.

Studi Kasus 2 : Redenominasi di Polandia dilakukan setelah 5 tahun

keberhasilannya program stabilisasi ekonomi yang telah menurunkan inflasi dari level

inflasi tertinggi negara tersebut tahun 1989 dan 1990. Redenominasi dilakukan bertahap,

dimana penggunaan 2 mata uang dan 2 pencantuman harga dilakukan selama 24 bulan dan

masa transisi 14 tahun. Pada awalnya redenominasi ditolak sebagian, namun dalam waktu

selanjutnya redenominasi berangsur-angsur diterima masyarakat karena turut memberikan

manfaat berupa lebih rendahnya inflasi dan lebih stabilnya perekonomian. Program

redenominasi ini merupakan bagian dari upaya masuknya Polandia untuk bergabung

dengan ke European Union (EU).

Studi Kasus 3 : Sebelum 1996, kondisi makroekonomi Ukraina terus menurun

yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi negatif, inflasi mencapai tiga digit, suku bunga

yang sangat tinggi serta nilai tukar yang terus terdepresiasi. Setelah perekonomian relatif

membaik pada tahun 1996, pemerintah melakukan redenominasi dengan menghapus 5

digit angka nol mata uangnya sehingga 100,000 Karbovanets (nama mata uang lama)

setara dengan 1 Hryvnia (nama mata uang baru). Pasca redenominasi tahun 1996,

perekonomian di Ukraina semakin membaik, inflasi menurun dan pertumbuhan ekonomi

meningkat serta nilai tukar relatif stabil.

Studi Kasus 4: Pada tahun 1997, Pemerintah Rusia mengumumkan kebijakan

redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol dari mata uangnya. Hal ini dilakukan

untuk meyakinkan publik bahwa krisis ekonomi Rusia betul-betul telah berlalu dimana

penurunan inflasi dapat diamati dari tahun ke tahun (875% di tahun 1993, 200% di tahun

1995, dan 15% di tahun 1997). Kendati demikian, kebijakan redenominasi tersebut tidak

mampu mempertahankan stabilitas ekonomi negara tersebut yang dihantam oleh tindak

spekulatif pada krisis keuangan Asia pada tahun 1998 yang mengakibatkan Rusia tidak

mampu membayar utang luar negerinya. Negara tersebut kembali mengalami inflasi yang

sangat tinggi pada tahun 1999 yaitu sebesar 86%.

Berdasarkan kondisi di Rusia tersebut, keberhasilan pelaksanaan kebijakan

redenominasi sangat dipengaruhi oleh sinergi kondisi fundamental perekonomian nasional

yang kuat, serta dukungan stabilitas kondisi perekonomian internasional.Dalam hal ini,

faktor penentuan waktu (timing) yang tepat bagi pelaksanaan redenominasi menjadi faktor

kunci dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan kebijakan redenominasi.

16

Redenominasi dan Nilai Tukar Mata Uang

Nilai mata uang yang rendah dapat pula menjadi alasan pemerintah untuk

melakukan redenominasi terutama untuk meningkatkan kredibilitas perekonomian negara

tersebut.Kendati demikian, perlu tetap diperhatikan bahwa kebijakan redenominasi

tersebut hanya bersifat simbolis namun tidak menghasilkan perubahan kekuatan nilai mata

uang secara nyata. Dengan demikian, perubahan nominal mata uang tanpa reformasi

ekonomi secara fundamental tidak akan menghasilkan perubahan yang nyata.

Studi kasus: Bank Sentral Romania melakukan redenominasi pada tahun 2005

terutama untuk meningkatkan kredibilitas mata uangnnya dimana saat itu 1 US$ bernilai

29,890 Leu. Hal ini terutama dianggap diperlukan sebagai bagian dari proses keanggotaan

Romania pada Uni Eropa.

Studi kasus: Redenominasi tanpa reformasi ekonomi tidak akan efektif

sebagaimana dilihat pada kasus Argentina. Dolar terus mengalami peningkatan terhadap

mata uang peso (1960: 1100, 1969:3500).Pada tahun 1970 pemerintah melakukan

redenominasi dengan menghilangkan dua nol dari mata uangnya.Kendati demikian, yang

terjadi adalah, pada tahun 1980an nilai 1 US$ kembali meningkat hinggal 18000 pada

tahun 1980 dan 180000 pada tahun 1982. Kendati pemerintah kemudian melakukan

redenominasi yang kedua pada tahun 1983 dengan menghilangkan 4 nol pada mata

uangnya, nilai tukar dolar terus meningkat tak terkendali. Hal ini telah memaksa

pemerintah untuk menetapkan kebijakan mata uang fixed rate pada tahun 1991 hingga

tahun 2002.

Disisi lain keberhasilan proses redenominasi juga memerlukan komunikasi yang

intensif, baik dengan pelaku ekonomi di dalam negeri, maupun dengan negara mitra

dagang Indonesia. Proses komunikasi tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan

keyakinan kepada pemerintah dan pelaku ekonomi di negara mitra dagang bahwa

kebijakan redenominasi tersebut tidak berdampak negatif terhadap nilai tukar mata uang,

baik secara bilateral, regional maupun multilateral. Selain itu, komunikasi yang intensif

juga diperlukan guna mencegah tindakan spekulatif yang mungkin dapat timbul sebagai

dampak penetapan kebijakan tersebut.

Redenominasi dan Transaksi Keuangan Secara Umum

Redenominasi pun dapat dilakukan untuk alasan simplifikasi sistem keuangan

dimana banyaknya jumlah nol dalam mata uang dianggap memperumit perhitungan

keuangan serta kerumitan transaksi yang diakibatkan oleh besarnya jumlah uang yang

harus dibawa untuk melakukan transaksi.

17

Kendati demikian, kemudahan transaksi keuangan tersebut harus pula memperhitungkan

besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian sistem akuntansi dan

informasi keuangan.

Redenominasi dan Daya Beli Uang

Redenominasi Rupiah tidak mengubah nilai dan daya beli uang. Dengan kata lain,

tabungan dan/atau upah dan gaji, serta sejumlah uang yang dinyatakan dalam Rupiah

dengan kata “Baru” yang menggantikan nilai Rupiah Lama, dapat memperoleh jumlah

barang dan atau jasa yang kita dapat bayar sebelum pelaksanaan redenominasi tersebut.

Sebagai contoh, pada saat ini dengan upah minimum sebesar Rp1.200.000,00, dan dengan

1 (satu) kg beras pada harga Rp6.000,00, jika seseorang ingin menghabiskan seluruh upah

mereka dalam bentuk beras, mereka dapat membeli beras sebanyak 200 kg.Setelah

redenominasi berlaku, upah saat ini Rp1.200.000,00 akan menjadi Rp1.200 Rupiah dengan

“Baru”, dan beras akan memiliki harga Rp6,- per kilogram. Namun demikian, apabila

seseorang ingin menghabiskan seluruh upah dalam bentuk beras dengan Rupiah dengan

kata “Baru”, maka masyarakat masih akan mendapatkan 200 kilogram yang sama dari

tepung jagung.Dengan demikian, daya beli masyarakat pada saat initetap dipertahankan,

namun harga danupah akandinyatakan dalam skala yang lebih kecil

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

1. Asas-asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Redenominasi Rupiah ditetapkan dengan berlandaskan pada asas-asas sebagai

berikut:

a. Asas Kepastian Hukum

Pelaksanaan redenominasi menimbulkan implikasi yang sangat luas terhadap

aspek kehidupan masyarakat dan harus benar-benar ditaati oleh seluruh komponen

masyarakat agar tidak menimbulkan perselisihan, oleh karena itu produk hukum yang

menjadi landasan hukum redenominasi harus mempunyai kekuatan memaksa dalam

bentuk undang-undang. Disamping itu, pengaturan redenominasi dalam undang-

undang akan demi hukum mengubah pengaturan yang menyatakan nilai uang dalam

undang-undang lain, perjanjian, dokumen hukum dan dokumen lainnya,sehingga tidak

perlu dilakukan perubahan terhadap masing-masing undang-undang, perjanjian,

dokumen hukum, dan dokumen lainnya.

18

b. Asas Efisiensi

Program redenominasi mengatasi berbagai potensi masalah inefisiensi

perekonomian yang disebabkan semakin banyaknya jumlah digit mata uang Rupiah

dalam waktu beberapa tahun ke depan. Permasalahan inefisiensi terutama akan timbul

pada sistem pembayaran tunai dan non-tunai, proses penyelesaian dan pencatatan

transaksi yang akan memerlukan waktu yang lebih lama, biaya yang semakin mahal

serta kapasitas penyimpanan yang lebih besar. Biaya pengembangan infrastruktur

sektor keuangan akan semakin mahal di masa depan karena tidak kompatibel dengan

sistem internasional berbasis jumlah digit yang sederhana. Secara psikologis, mata

uang yang memiliki jumlah digit yang terlalu banyak pada umumnya menyulitkan

masyarakat dalam bertransaksi secara cepat dan aman.Setelah redenominasi,

diharapkan tercapai peningkatan efisiensi perekonomian di sektor keuangan dan sektor

riil.

c. Asas Keterbukaan

Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap program redenominasi masih

terbatas sehingga diperlukan sosialisasi dan komunikasi yang intensif, jelas,

transparan, dan efektif kepada masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia untuk

meminimalkan dampak negatif dari pelaksanaan redenominasi Rupiah.Mengingat

program redenominasi menyangkut perubahan dalam alat pembayaran yang

bersinggungan langsung dengan seluruh lapisan masyarakat maka penting untuk

membangun kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif.Disamping itu peran

serta aktif masyarakat dalam memberikan masukan dan terlibat dalam pelaksanaan

program Redenominasi Rupiah sangat penting untuk mendukung keberhasilan

program tersebut.Peran serta aktif masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk tidak

menaikkan harga barang, memasang harga barang yang memuat harga Rupiah

sebelum Redenominasi dan setelah Redenominasi secara bersamaan. Disamping itu,

masyarakat berhak memperoleh informasi seluas-luasnya terkait dengan program

Redenominasi Rupiah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik.

d. Asas Akuntabilitas

Pelaksanaan kebijakan Redenominasi Rupiah dan hasil akhirnya

dipertanggungjawabkan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat antara lain

dalam bentuk laporan.

19

2. Prinsip-prinsip yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan Redenominasi

Rupiah adalah sebagai berikut :

a. Stabilitas makroekonomi yang terjaga

Agar kebijakan redenominasi dapat berjalan dengan lancar maka diperlukan

kondisi fundamental ekonomi yang stabil.Stabilitas makroekonomi juga dimaksudkan

agar apabila program redenominasi tidak berjalan dengan lancar maka dampak yang

ditimbulkan tidak besar. Stabilitas makroekonomi yang diperlukan antara lain inflasi

yang rendah dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta stabilitas nilai

tukar mata uang.

Iona (2005) melakukan perbandingan terhadap beberapa negara yang

melakukan redenominasi dan berkesimpulan bahwa redenominasi baru dapat

dilakukan setelah beberapa persyaratan berikut terpenuhi:

1) Tingkat inflasi berada dalam trend yang menurun. Tingkat inflasi yang rendah

disertai program pengurangan digit mata uang akan menambah kredibilitas mata

uang domestik.

2) Program stabilisasi/restrukturisasi ekonomi yang dilakukan sebelumnya telah

membuahkan hasil positif, misalnya : meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

b. Kondisi sosial politik yang kondusif

Kondisi politik nasional dan internasional sangat mempengaruhi keberhasilan

implementasi redenominasi.Peluang keberhasilan redenominasi lebih tinggi di negara-

negara yang memiliki risiko politik yang relatif rendah.

c. Dukungan seluruh lapisan masyarakat

Kesuksesan program redenominasi ditentukan pula oleh dukungan dari seluruh

lapisan masyarakat termasuk parlemen, akademisi, dunia usaha dan otoritas terkait.

Adanya komitmen dari seluruh pihak akan memudahkan koordinasi dalam persiapan

dan pelaksanaan program tersebut. Dukungan parlemen mutlak diperlukan dalam

penyusunan dan pengesahan undang-undang. Akademisi dan dunia pendidikan dapat

mendukung program redenominasi misalnya dengan cara membantu memberikan

edukasi kepada masyarakat. Sedangkan, dukungan pelaku usaha diperlukan untuk

mencegah pemanfaatan momen redenominasi sebagai peluang untuk menaikkan harga

20

secara berlebihan. Selain itu, komitmen pelaku usaha untuk mencantumkan label

harga pada barang akan memperlancar pelaksanaan program redenominasi.

d. Transparansi dan komunikasi yang baik

Dukungan terhadap program redenominasi salah satunya dapat dicapai melalui

transparansi dan komunikasi yang baik.Dengan komunikasi yang baik, pemerintah

dapat memitigasi risiko-risiko akibat ketidakpahaman masyarakat mengenai program

redenominasi.Selain itu, komunikasi dan sosialisasi yang baik diperlukan agar tidak

terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam transaksi sehari-hari di masyarakat.

e. Landasan Hukum yang Kuat

Mengingat implikasi pelaksanaan redenominasi sangat luas terhadap aspek

kehidupan masyarakat dan harus benar-benar ditaati oleh seluruh komponen

masyarakat agar tidak menimbulkan perselisihan, maka produk hukum yang menjadi

landasan hukum redenominasi harus mempunyai kekuatan memaksa yang sangat

tinggi yaitu Undang-Undang. Untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat

maka dalam UU tersebut perlu diatur mengenai penyederhanaan penyebutan nilai uang

dan harga barang serta jasa, penggunaan atau penyebutan nama mata uang, dan segala

hal-hal yang memiliki implikasi hukum akibat redenominasi.

f. Pemilihan Waktu Pelaksanaan yang Tepat

Program redenominasi dirancang sebagai bagian integral dari kebijakan

ekonomi untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.Oleh karena itu, redenominasi harus

diimplementasikan pada waktu yang tepat yang dapat dilihat dari stabilitas

makroekonomi yang terjaga, kondisi sosial politik yang kondusif, adanya dukungan

seluruh lapisan masyarakat, dan tersedianya landasan hukum yang kuat.

g. Pencantuman label harga dan monitoring harga yang dilaksanakan dengan baik

Pencantuman harga barang dan/atau jasa sangat penting dalam mendukung

suksesnya program Redenominasi Rupiah. Hal ini untuk mencegah potensi kenaikan

harga yang tidak wajar terkait dengan konversi Rupiah dan mengantisipasi

kebingungan masyarakat terhadap harga barang dan/atau jasa yang baru setelah

dilakukan Redenominasi.Untuk itu monitoring terhadap pencantuman harga barang

dan/atau jasa sangat diperlukan.

21

h. Memastikan supply barang dan jasa terjaga

Pada saat redenominasi dilaksanakan, pemerintah harus menjamin ketersediaan

barang dan jasa dalam rangka mengantisipasi gejolak permintaan pada saat

redenominasi dilaksanakan.

Disamping prinsip-prinsip tersebut di atas, untuk suksesnya Redenominasi

masih terdapat pertimbangan-pertimbangan lain seperti agenda politik nasional dan

internasional, rencana reformasi ekonomi, dan durasi waktu yang diperlukan untuk

redenominasi juga harus diperhatikan dalam pemilihan waktu pelaksanaan

redenominasi.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan

yang Dihadapi Masyarakat

1. Permasalahan yang dihadapi masyarakat

Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan terkait dengan harga

mata uang, terutama masalah (i) inefisiensi transaksi perekonomian, (ii) nilai tukar

rupiah yang dipersepsikan rendah, (iii) nilai tukar rupiah yang tidak setara dengan

negara di kawasan untuk menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan (iv) denominasi

yang kurang mendukung penerapan belajar di bangku pendidikan. Berbagai kondisi di

atas menjadi faktor utama diperlukannya penerapan kebijakan redenominasi secara

lebih dini.

Beberapa fakta yang terjadi di masyarakat yang menyebabkan perlunya dilakukan

redenominasi:

1) Kebutuhan masyarakat untuk mengatasi masalah inefisensi transaksi

perekonomian akibat jumlah digit mata uang yang terlalu banyak dalam beberapa

tahun ke depan.

Denominasi terbesar rupiah saat ini telah mencapai 100.000, setara dengan

pecahan terbesar ketiga di dunia. Hal ini dapat memicu persepsi lemahnya

kredibilitas ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara lain, walaupun

kenyataannya secara fundamental ekonomi Indonesia relatif kuat. Dengan

berjalannya waktu, peningkatan harga barang yang disebabkan oleh inflasi, akan

berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan denominasi mata uang rupiah

yang lebih besar. Denominasi yang besar tersebut dapat menimbulkan beberapa

permasalahan di masa yang akan datang, terutama masalah inefisiensi

perekonomian terkait dengan:

22

a. Waktu dan biaya transaksi cukup besar. Permasalahan inefisiensi terutama

akan timbul pada sistem pembayaran tunai dan non-tunai, proses

penyelesaian dan pencatatan transaksi akan memerlukan waktu yang lebih

lama dan biaya yang lebih mahal karena banyaknya jumlah digit mata uang.

b. Kebutuhan pengembangan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai

di masa mendatang dengan biaya yang cukup signifikan. Biaya

pengembangan infrastruktur sektor keuangan akan semakin mahal di masa

depan karena penyesuaian yang diperlukan dalam rangka menyetarakan

dengan sistem internasional berbasis jumlah digit yang sederhana.

c. Meningkatnya biaya pengadaan uang baru dengan pecahan yang lebih besar

untuk mengakomodasi kebutuhan pembayaran tunai yang semakin

meningkat. Kebutuhan tersebut berdampak terhadap biaya

pengadaan/pencetakan uang baru yang semakin tinggi karena semakin

besarnya komposisi uang kertas dibandingkan uang logam yang semakin

jarang digunakan masyarakat sebagai alat transaksi. Dalam jangka panjang

biaya pencetakan uang kertas jauh lebih tinggi dibandingkan biaya

pencetakan uang logam yang memiliki masa edar lebih lama.

2) Nilai tukar rupiah dipersepsikan sangat rendah dibandingkan dengan nilai tukar

mata uang negara maju di kawasan.

Level nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing termasuk yang terendah

diantara negara ASEAN setelah Vietnam Dong. Dengan berlakunya pecahan 100

ribu, saat ini denominasi uang Rupiah menempati posisi kedua terbesar di

ASEAN setelah Vietnam Dong dengan denominasi terbesar 500 ribu. Nilai uang

rupiah sangat rendah diukur dari transaksi untuk membeli keperluan masyarakat

sehari-hari yang tercermin pada kebutuhan denominasi uang Rupiah yang lebih

besar.

Besarnya denominasi Rupiah tersebut menyebabkan Rupiah dapat disetarakan

dengan mata uang beberapa negara kecil, seperti Kamboja, Paraguay, Saotome

and Principe, serta Lebanon, yang fundamental ekonominya relatif jauh dibawah

Indonesia (antara lain diukur dari PDB, tingkat inflasi, dan jumlah cadangan

devisa). Beberapa negara kecil lainnya, seperti Laos, meskipun fundamental

ekonominya berada di bawah Indonesia, memiliki mata uang dengan denominasi

lebih kecil yaitu 50.000 atau setara USD 5,86.

23

Tabel Nilai Tukar dan Denominasi Negara ASEAN

Negara ASEAN 1 USD Denominasi Terbesar

Vietnam Dong 19,497.50 500.000

Indonesia Rupiah 9,030.50 100.000

Laos Kip 8,066.00 50.000

Kamboja Riel 4,053.00 100.000

Philipina Peso 44.12 1.000

Thailand Baht 30.97 1.000

Myanmar Kyat 6.42 5.000

Malaysia Ringgit 3.06 100

Brunei Dollar 1.29 10.000

Singapura Dollar 1.29 10.000

Sumber: Bloomberg, 30 Juni 2011

Tabel Perkembangan Pecahan Terbesar Rupiah (1945-2011)

Seri ORI I (17 Agustus 1945)

Pecahan Terbesar Rp100,-

Seri ORI III (1947)

Pecahan Terbesar Rp250,-

Seri ORI IV (1948)

Pecahan Terbesar Rp600,-

Seri 1952 (Seri Kebudayaan)

Pecahan Terbesar Rp1000,-

Seri 1957 (Seri Hewan)

Pecahan Terbesar Rp2.500,-

Seri 1958 (Seri Pekerja)

Pecahan Terbesar Rp5.000,-

Seri 1961-1964

Pecahan Terbesar Rp10.000,-

Seri 1992

Pecahan Terbesar Rp20.000,-

Seri 1993

Pecahan Terbesar Rp50.000,-

Seri 1999

Pecahan Terbesar Rp100.000,-

Seri 2004

Pecahan TerbesarRp100.000,-

24

3) Rendahnya kesetaraan nilai tukar rupiah dengan negara maju di kawasan sebagai

persiapan masuknya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Pada tahun 2015, negara-negara ASEAN akan memasuki era Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA). Denominasi Rupiah perlu dirancang guna mendukung

persiapan menuju era tersebut. Akan baik sekali, apabila satuan mata uang rupiah

setara dengan satuan mata uang negara-negara anggota ASEAN. Redenominasi

akan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap Rupiah serta

mempersiapkan kesetaraan ekonomi nasional dengan kawasan dalam era MEA.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dibandingkan dengan negara lain,

denominasi mata uang Rupiah merupakan yang terbesar di kawasan setara dengan

Dong Vietnam dan Riel Kamboja. Selain itu, nilai tukar rupiah jika dikonversi ke

dolar Amerika Serikat juga termasuk yang terkecil. Padahal, dari sisi fundamental

ekonomi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tersebut.

Oleh karena itu, motivasi dan manfaat redenominasi mata uang rupiah menjadi

semakin penting peranannya dalam rangka menyongsong MEA karena dengan

redenominasi, penyederhanaan mata uang rupiah menjadikan nilainya setara

dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin

mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara

kawasan.

4) Di dunia pendidikan, pecahan denominasi yang ada sekarang kurang mendukung

dalam penerapan belajar berhitung di sekolah dasar

Di bangku pendidikan, terutama pendidikan dasar, denominasi rupiah dengan jumlah

digit yang banyak saat ini semakin dirasakan kurang mendukung anak usiasekolah,

khususnya di tingkat pendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena materi yang

dipelajari di sekolah tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga transaksi tunai

dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan jumlah digit yang besar.

2. Praktik Penyelenggaraan Redenominasi

Adapun praktik penyelenggaraan redenominasi Rupiah setidaknya dapat dibagi kedalam

tiga tahap besar yaitu :

a. Tahap komunikasi dan publikasi atas telah ditetapkannya Undang-Undang tentang

Perubahan Harga Rupiah,

b. Tahap kewajiban mencantumkan/kuotasi harga barang atau jasa, kemudian

c. Tahap pelaksanaan redenominasi.

25

2.1 Tahap komunikasi dan publikasi atas telah ditetapkannya Undang-Undang tentang

Perubahan Harga Rupiah sejak 2013 sampai dengan selesainya Redenominasi

a. Strategi Komunikasi dan Publikasi

Bank Indonesia harus melakukan pembagian wilayah untuk komunikasi dan

publikasi atas pelaksanaan redenominasi di seluruh Indonesia. Selanjutnya

masing-masing wilayah melakukan kontrol terhadap pelaksanaan redenominasi

dengan memberikan informasi, publikasi, dan edukasi kepada seluruh lapisan

masyarakat. Adapun untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang kegiatan

redenominasi pada masing-masing daerah harus disediakan alamat email, nomor

telepon bebas pulsa yang dapat dihubungi apabila masyarakat memerlukan

informasi lebih lanjut.

Tujuan strategi komunikasi dan publikasi ini adalah:

1) Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya dan kegunaan

redenominasi,

2) Memberikan informasi tentang mekanisme, persyaratan dan rincian proses

redenominasi,

3) Meningkatkan kesadaran tentang nilai mata uang terhadap masyarakar,

4) Memfasilitasi pembelajaran ekuivalensi antara Rupiah dengan kata “Baru”

dengan Rupiah Lama terhadap masyarakat,

5) Memberikan informasi tentang karakteristik fisik dan unsur-unsur keamanan

dari Rupiah dengan kata “Baru”.

6) Menyebarkan langkah-langkah untuk mencegah orang dari terjadinya

penipuan akibat pelaksanaan redenominasi.

b. Sasaran Komunikasi dan Publikasi Redenominasi

Proses redenominasi ditujukan untuk masyarakat yang tinggal diwilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dari kota besar sampai ke pelosok, serta orang-orang

asing yang berkaitan dengan rutinitas ekonomi Indonesia, atau orang asing yang

mengunjungi Indonesia selama jangka waktu tertentu, pada saat Rupiah Lama dan

Rupiah dengan kata “Baru” berlaku secara bersamaan.

Sejalan dengan proses efisiensi dan efektifitas dalam proses komunikasi dan

publikasi tentang redenominasi, sasaran komunikasi dan publikasi digolongkan

dalam berbagai jenis kelompok masyarakat, serta berbagai jenis media

26

komunikasi yang tepat,untuk memberikan pemahaman dan pengertian pada

seluruh kelompok masyarakat.

c. Media Komunikasi dan Publikasi Redenominasi

1. Radio dan Televisi

Hal ini dilakukan dengan menyiarkan informasi dan edukasi melalui siaran

secara up to date melalui jaringan Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI),

serta melalui stasiun televisi swasta setiap harinya atau dengan konferensi pers,

wawancara, penyampaian pesan/informasi, demikian halnya untuk ponsel

melalui layanan pesan teks.

2. Media Cetak dan Internet,

Perkembangan dan kegiatan terbaru terkait pelaksanaan redenominasi juga

disampaikan melalui Koran Nasional dan Koran Daerah serta memuat

informasinya pada situs resmi pemerintah setiap terdapat update data.

Disisi lain komunikasi dan publikasi redenominasi juga perlu dilaksanakan

melalui penyebaran bahan dalam bentuk presentasi powerpoint dengan tujuan

memberikan penjelasan secara lebih detil atas pelaksanaan redenominasi.

Presentasi dalam bentuk power point juga perlu diarahkan pada lapisan

masyarakat tertentu (negara ataupun badan-badan swasta), presentasi power

Point dalam bahasa Inggris: untuk kegiatan luar negeri yang terkait langsung

dengan redenominasi. Presentasi tersebut dapat diunduh pada situs resmi

pemerintah.

3. Pencetakan Materi

Materi cetak (leaflet, brosur) disebarkan melalui pers, radio dan televisi.

Pencetakan materi ini berfungsi sebagai material pendukung dalam presentasi

diskusi tatap muka yang meliputi :

a. Informasi tentang konsep, tujuan, keuntungan, dan tanggal-tanggal kunci

atas pelaksanaan redenominasi. Penjelasan dasar aspek-aspek redenominasi

mata uang menggunakan bahasa sehari-hari,

b. Aturan pembulatan dalam redenominasi,

c. Aturan terkait dokumen keuangan (cek, faktur, dokumen lainnya),

d. Ciri fisik dari Rupiah dengan kata “Baru”.

27

4. Video

Berisi tanya jawab interaktif sebagai sarana untuk memberikan perspektif

umum dari proses redenominasi,dan menjelaskan aspek-aspek dasar dari

proses ini.

5. Internet

Bank Indonesia menyediakan website pada situs www.redenominasi.go.id

yang mengumpulkan semua informasi resmi mengenai redenominasi Rupiah

6. Telepon Bebas Pulsa

7. Sejak akan diberlakukannya redenominasi, Bank Indonesia dan pemerintah

perlu menyediakan telepon bebas pulsa untuk seluruh masyarakat, yang

memungkinkan semua masyarakat untuk menghubungi nomor telepon tersebut

dalam rangka memperoleh informasi terkait redenominasi.

8. Selain sumber-sumber yang disebutkan tersebut diatas, maka dalam rangka

mendukung pelaksanaan redenominasi, lembaga pemerintah, lembaga

keuangan publik dan swasta harus melakukan antara lain :

a. Menyiapkan brosur dan bahan untuk berkontribusi pada proses publikasi

dan edukasi pelaksanaan redenominasi,

b. Membuat link di halaman web dari masing-masing lembaga yang

memungkinkan untuk akses ke halaman web dari proses redenominasi mata

uang, misalnya: www.redenominasi.go.id,

c. Demikian juga, halaman web institusi pemerintah harus menunjukkan

spanduk redenominasi mata uang.

d. Menyiapkan tempat dengan lokasi strategis, pada setiap kantor-

kantor,berupa poster, brosur, spanduk, mengenai proses redenominasi mata

uang,

e. Menampilkan iklan dalam bentuk sebuah running textdi bagian bawah layar

televisi, untuk menyiarkan pesan informatif mengenai proses redenominasi.

9. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung harus

memberikan pelatihan dan pemahaman kepada para hakim, pengacara,

notaris. Sehingga dengan adanya redenominasi dokumen-dokumen hukum

dapat disesuaikan dengan denominasi yang baru.

d. Evaluasi Komunikasi dan Publikasi

Untuk melakukan evaluasi atas tingkat pemahaman publikasi dan informasi yang

telah disampaikan, Bank Indonesia secara berkala akan melakukan survey tentang

28

pelaksanaan redenominasi Rupiah dengan tujuan untuk menilai tingkat

pengetahuan, pemahaman,harapan dan perspektif masyarakat atas pelaksanaan

redenominasi. Hasil survey ini memungkinkan untuk mengambil keputusan secara

tepat waktu atas aspek-aspek dari proses redenominasi Rupiah

e. Tempat Informasi Resmi Pelaksanaan Redenominasi

Informasi atas pelaksanaan redenominasi Rupiah dapat diketahui, dan dihubungi

melalui :

1. Situs www.redenominasi.go.id

2. Saluran telepon bebas pulsa

3. Alamat email tertentu

4. Kementerian/Lembaga,

Selain itu, pelaksanaan redenominasiakan dipublikasikan oleh Bank Indonesia,

Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam

Negeri, Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Lembaga

Keuangan Bank dan Non Bank, Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI),

5. Lembaga pendidikan tertentu,

6. Media massa dan elektronik maupun pihak masyarakat yang direkrut dan

dilatih untuk memberikan pemahaman tentang redenominasi.

2.2 Kewajiban Pencantuman/Kuotasi Harga Barang atau Jasa secara paralel antara harga

dalam mata uang lama sebelum redenominasi dan harga dalam mata uang baru sesudah

redenominasi (dual price tagging) efektif Sejak 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan

Redenominasi Rupiah yaitu 2014 sampai dengan 3 (tiga) tahun sejak diberlakukannya

pelaksanaan Redenominasi Rupiah yaitu 2014. Kewajiban pencantuman harga secara

paralel selama 6 bulan sebelum redenominasi dimaksudkan agar masyarakat memahami

dengan benar dan sudah terbiasa dengan tata cara konversi harga serta pembulatan

harga yaitu dari harga dalam mata uang lama (sebelum redenominasi) ke dalam harga

dalam mata uang baru (sesudah redenominasi). Dengan masa transisi selama 6 bulan

tersebut diharapkan masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi sehingga

pada saat pelaksanaan redenominasi akan berjalan lancar.

Untuk kewajiban dual price tagging selama 3 tahun dimaksudkan untuk memudahkan

masyarakat selama masa 3 tahun dimana beredar uang lama dan uang baru secara

bersamaan. Apabila masyarakat menggunakan uang lama maka tampilan harga yang

dipilih adalah harga lama. Sedangkan bila digunakan uang baru maka tampilan harga

yang dipilih adalah harga baru. Dengan demikian, selama beredar dua jenis uang yaitu

29

uang lama dan baru, maka tampilan harga juga akan dicantumkan dlam harga lama dam

harga baru.

Aspek pencantuman/kuotasi harga barang atau jasa yang harus disajikan dalam bentuk

Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” secara bersamaan dan berlaku sampai

dengan 31 Desember 2016.

Pencantuman/kuotasi harga barang atau jasa tersebut baik berupa harga yang

ditawarkan secara lisan, melalui iklan, atau melalui instrument lain, dengan tujuan

membiasakan masyarakat atas skala Rupiah dengan kata “Baru”. Bahwa dalam rangka

pecantuman/kuotasi harga, Kementerian Perdagangan sebagai koordinator dan

bekerjasama dengan instansi pemerintah lainnya wajib melakukan pengawasan terkait

pencantuman harga barang dan jasa.

2.3 Pelaksanaan Redenominasi Efektif 1 Januari 2014

Untuk memudahkan pembahasan, dapat digunakan asumsi bahwa redenominasi efektif

diterapkan pada tanggal 1 Januari 2014. Penetapan tanggal pada awal Januari ditujukan

untuk memudahkan proses perubahan pembukuan dimana pada tanggal 1 Januari 2014

seluruh pencatatan dan pembukuan secara serentak wajib menggunakan harga/nilai

yang dinyatakan dalam mata uang baru. Apabila redenominasi dilakukan bukan pada

awal Januari (misalnya Februari atau Juni atau lainnya) maka akan timbul kewajiban

pembukuan ganda (dalam mata uang lama dan baru) yang hanya menambah beban

biaya pembukuan bagi pengusaha dan rawan terhadap kekeliruan (human error).

Semua aspek-aspek yang berhubungan dengan ukuran redenominasi mata uang harus

telah dilakukan konversi ke dalam skala Rupiah dengan kata “Baru” efektif sejak

1 Januari 2014. Aspek-aspek tersebut antara lain harga atau nilai barang/jasa,

pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian,

surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan dokumen lainnya harus

dinyatakan dalam Rupiah dengan kata “Baru”.

Adapun terhadap pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan

pengadilan, perjanjian, surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan

dokumen lainnya yang telah ada sebelum ditetapkannya redenominasi, demi hukum

dikonversi menjadi harga atau nilai dalam Rupiah setelah dilakukan redenominasi

a. Pemberlakuan secara bersama-sama mata uang Rupiah saat ini dan Rupiah dengan

kata “Baru”

30

Mulai 1 Januari 2014, dan sampai Bank Indonesia melakukan pencabutan dan

penarikan dari peredaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”,

masyarakat dapat melakukan pembayaran tunai dalam salah satu bentuk berikut:

1. Dengan uang koin, uang kertas dari Rupiah lama,

2. Dengan uang koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan lainnya dari Rupiah

dengan kata “Baru”,

3. Dengan kombinasi koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan lainnya dari

Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”, dengan nilai ekuivalensi sesuai

transaksi

Sebagai contoh, jika seseorang membayar secara tunai untuk beras yang nilainya

Rp6,6- dengan Rupiah kata “Baru”, maka memiliki tiga pilihan untuk membeli

item:

1. Dengan Rp6.600,- Rupiah Lama,

2. Dengan Rp6,6 Rupiahdengan uang koin, uang kertas dan cek/bentuk tagihan

lainnya dengan Rupiah kata “Baru”, atau

3. Dengan kombinasi koin, uang kertas dan tagihan dari Rupiah Lama dan

Rupiah dengan kata “Baru”, sesuai dengan nilai ekuivalensi pada transaksi

yang disepakati.

Contoh dengan Rp5.000,-(Rupiah Lama) dan Rp1,- (Rupiah Baru) dan 6 Sen

Rupiah Baru.

Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang melakukan transaksi (pembeli dan

penjual) lebih familiar dengan koin baru, uang kertas baru dan cek/bentuk tagihan

lainnya pada denominasi yang baru, serta ekuivalensinya masing-masing dalam

koin baru, uang kertas baru dan cek/bentuk tagihan baru lainnya dengan Rupiah

Lama.

b. Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan Kata

“Baru”

Dengan berlakunya Rupiah dengan kata “Baru”, maka Rupiah Lama tetap berlaku

sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dengan nilai konversi sama dengan Rupiah dengan kata “Baru” sampai

dengan dilakukannya pencabutan dan penarikan dari peredaran.

Rupiah dengan kata “Baru” tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan dilakukannya

pencabutan dan penarikan dari peredaran. Rupiah dengan kata “Baru” dapat

31

ditukarkan dengan Rupiah di Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia

atau pihak lain yang ditunjuk Bank Indonesia setelah masa transisi selesai

c. Redenominasi Rupiah pada Pembulatan Nilai Tukar Mata Uang Asing

Redenominasi merupakan cara menyederhanakan penulisan atau penyebutan 3

(tiga) digit angka nol terhadap Rupiah Lama sehingga setiap 1000 (seribu) Rupiah

Lama sama dengan nilainya dengan 1 (satu) Rupiah dengan kata „Baru” setelah

dilakukan redenominasi,hal ini juga diberlakukan pada nilai tukar mata uang asing

sejak 1 Januari 2014 Hal ini berarti bahwa proses redenominasi Rupiah bukanlah

proses devaluasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

Namun demikian, terdapat pengecualian aturan pembulatan, yang mana harga per

unit berikut ini setidaknya harus ditampilkan dalam tiga desimal, dalam hal ini

diantaranya untuk nilai tukar mata uang asing.

Sebagai contoh : Kurs jual 1 USD/Rupiah adalah Rp8.675,-, maka apabila

seseorang ingin menukarkan USD kedalam rupiah harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut :

1. Bila yang ditukar hanya 1 USD maka rupiah dengan kata “Baru” yang akan

didapat adalah

=Rp8,675 x 1 USD

=Rp8,675 dan dibulatkan menjadi

=Rp8,68 (Rupiah dengan kata “Baru”)

2. Namun demikian, apabila yang ditukar misalnya 15 USD maka rupiah yang

akan didapat adalah

=Rp8,675 x 15 USD

= Rp130,125 dan dibulatkan menjadi

= Rp130,13 (Rupiah dengan kata “Baru”)

d. Lembaga Pelaksanaan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah

Dalam pelaksanaan redenominasi, lembaga yang bertanggungjawab dalam

melakukan pengawasan antara lain adalah :

1. Bank Indonesia,

2. Kementerian Keuangan

3. Kementerian Perdagangan

4. Kementerian Dalam Negeri

5. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota

f. Tata Cara Pembulatan

32

Dengan redenominasi, ketika membagi harga atau jumlah uang atau jumlah

lainnya dengan seribu (1.000), kadang-kadang angka yang dihasilkan

menunjukkan jumlah lebih dari dua desimal.

Dengan demikian dalam pembulatan redenominasi dapat dipahami sebagai

berikut:

a. Nilai 1 (satu) Rupiah sama dengan 100 (seratus) sen

b. Dalam hal konversi harga atau nilai barang serta hak dan kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang menghasilkan nilai pecahan yang kurang dari satu

sen dalam Rupiah Baru setelah redenominasi, maka nilai pecahan tersebut

dibulatkan ke sen terdekat

c. Pembulatan tersebut dengan ketentuan nilai 0,5 (lima persepuluh) sen atau

lebih dibulatkan menjadi 1 (satu) sen, dan nilai yang kurang dari 0,5 (lima

persepuluh) sen dihilangkan

Sebagai contoh :

1. Nilai Rupiah Lama Rp16.795 dikonversi dan dibulatkan Nilai Rupiah dengan

kata “Baru” menjadi Rp16,80 (Enam Belas Rupiah Delapan Puluh Sen)

2. Nilai Rupiah Lama Rp16.794 dikonversi dan dibulatkan Nilai Rupiah dengan

kata “Baru” menjadi Rp16,79 (Enam Belas Rupiah Tujuh Puluh Sembilan

Sen)

Namun demikian terdapat pengecualian atas aturan pembulatan dalam

redenominasi, yang mana harga per unit berikut ini setidaknya harus ditampilkan

dalam tiga desimal:

a. Harga Minyak dan Gas pada satuan liter/barrel,

b. Liquified Petroleum Gas (LPG) dijual dalam jumlah besar,

c. Air, listrik, telepon dan layanan Internet,

d. Harga saham,

e. Nilai tukar mata uang asing

Sebagai contoh:

Jika tarif telepon/detik adalah Rp1,- (Rupiah Lama) setelah dibagi dengan 1.000

menjadi Rp0,001 maka dengan aturan pembulatan akan menunjukkan harga

Rp0,

Namun demikian, hal ini tidak masuk akal dari sudut pandang ekonomis, maka

dianjurkan menetapkan harga kedalam sepuluh, seratus atau seribu unit produk,

sehingga setelah itu dikonversi ke Rupiah Baru akan memberikan harga lebih

33

tinggi dari nol. Untuk kepentingan pelaksanaan transaksi pembayaran dan

mengingat pecahan rupiah terkecil adalah satu sen, maka terhadap keseluruhan

nilai/harga barang/jasa yang ditampilkan dalam tiga digit di belakang koma wajib

dilakukan pembulatan ke nilai sen terdekat.

Contoh I : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah Baru)

maka apabila digunakan menelpon selama 45 detik, maka harga yang harus

dibayar adalah

=Rp1,- (Rupiah Lama) x 45 detik

=Rp45,- atau dibulatkan setara dengan

=Rp5 sen (Rupiah Baru)

Contoh II : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah Baru)

maka apabila digunakan menelpon selama 5 detik, maka harga yang harus dibayar

adalah

=Rp1,- (Rupiah Lama) x 5 detik

=Rp5,- atau dibulatkan setara dengan

=Rp1 sen (Rupiah Baru)

\

Contoh III : tarif telepon/detik Rp1,- (Rupiah Lama) setara Rp0,001 (Rupiah

Baru) maka apabila digunakan menelpon selama 4 detik, maka harga yang harus

dibayar adalah

=Rp1,- (Rupiah Lama) x 4 detik

=Rp4,- atau dibulatkan setara dengan

=Rp1 sen (Rupiah Baru)

Contoh IV, harga saham “Z” sebesar Rp1.677,- (Rupiah Lama) sama dengan

Rp1,677 (Rupiah Baru), maka apabila dilakukan pembelian sebanyak 1 lot (500

unit), harga saham yang harus dibayar adalah

= Rp1,677 (Rupiah Baru) x 500 unit

= Rp838,50 (Rupiah Baru)

Pengecualian perhitungan tersebut yang dihitung adalah :

Jumlah total unit x harga per unit, dan baru kemudian dilakukan pembulatan,

bukan,

34

Jumlah total unit x harga per unit yang dibulatkan

Dengan contoh tersebut, maka harga barang dan jasa tidak akan berubah, dan

penjual dan pembeli akan berada dalam kerangka hukum,dengan mematuhi

prinsip-prinsip kesetaraan nilai dan kesetaraan nominal.

Dapat ditambahkan bahwa aturan pembulatan tidak akan berlaku, apabila setelah

pembagian dengan seribu(1.000) hasilnya hanya memberikan dua desimal atau

kurang.

Sebagai contoh :

Harga"X" adalah Rp11.420,- (Rupiah Lama) maka konversi ke Rupiah Baru

adalah Rp11.420,-/ 1.000 = Rp11,42 (Rupiah Baru)

atau Harga “Y” adalah Rp11.000,- (Rupiah Lama) maka konversi keRupiah Baru

adalah Rp11.000,-/ 1.000 = Rp11,- (Rupiah Baru)

g. Cek

Sejak ditetapkannya redenominasi Rupiah sejak 1 Januari 2014, maka setiap

penggunaan dan penyebutan Rupiah antara lain dalam harga atau nilai

barang/jasa, pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan

pengadilan, perjanjian, surat berharga, akta, dokumen keuangan, bukti

pembayaran dan dokumen lainnya harus dinyatakan dalam Rupiah dengan kata

“Baru”.

Dengan redenominasi rupiah, maka karakteristik cek tidak akan berubah dan cara

untuk menentukan apakah cek dinyatakan dalam Rupiah Lama atau Rupiah Baru

dengan dengan melihat tanggal penerbitannya. Hal ini penting untuk menunjukkan

bahwa penggunaan ungkapan Rupiah dengan kata „Baru” tidak akan

menyebabkan pembatalan kembali cekyang telah dikeluarkan.

Adapun cek yang diterbitkan mulai1 Januari 2014, harus dibuat dengan yang skala

baru,sehingga mencerminkan jumlah redenominasi tersebut.

Apabila terdapat cek yang diterbitkan sebelum 1 Januari 2014, dan diuangkan

pada tahun 2014, setelah redenominasi, maka jumlahnya secara otomatis akan

dipahami kedalam Rupiah dengan kata “Baru” dan untuk pertimbangan ini, maka

jumlah nilai uang dalam cek tersebut harus dibagi dengan seribu (1.000) dan

dibulatkan keterdekatpersen sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebagai contoh, untuk Rp160.000.000 dan cek tersebut dikeluarkan pada 23

Desember 2007, maka Bank akan membayar jumlah yang setara dengan skala

baru, dengan kata lain sebesar Rp160.000,-.

35

Cek dapat dibayar dengan 1) koin dan uang kertas Rupiah dengan kata “Baru”, 2)

dengan koin, uang kertas dan tagihan Rupiah Lama, atau dengan kombinasi koin,

uang kertas dan tagihanRupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”. Selama

belum terdapat pencabutan dan penarikan dari peredaran.

Sebagai contoh,

Apabila jumlah cek adalah Rp15.375.975,- (Rupiah Lama), maka nama unjuk

dalam cek tersebut akan menerimaRp15.376,98 (Rupiah dengan kata “Baru”) atau

jika jumlah cek adalah Rp15.345.734 (Rupiah dengan kata “Baru”), maka

pembawa cek akan menerima Rp15.345,73 (Rupiah dengan kata “Baru”).

Demikian juga halnya, apabila akan disimpan/ditabung kedalam rekening bank

bukan diuangkan, maka jumlah yang samapada Rupiah dengan kata “Baru” akan

terdaftar dalam rekeningbank.

h. Transaksi Kliring

Kliring pada tahun 2013 dan belum dicairkan pada 31 Desember tahun 2013

(sebelum redenominasi), dapat dilakukan penyimpanan pada bank lain selama

bulan Januari 2014. Hal ini berarti bahwa hanya selama bulan Januari cek dari

bank, yang diterbitkan pada tahun 2013, bisa disimpan di rekening bank lain.

Cek dengan tahun 2013, mulai 1 Januari 2014 hanya bisa dicairkan melalui bank

yang bersangkutan, atau melalui mekanisme pertukaran antara lembaga

keuangan,terlepas dari apakah mereka berasal dari skala Rupiah dengan kata

“Baru” atau dari skala Rupiah lama.

i. Kewajiban Bank untuk Memberikan Informasi kepada Nasabah

Bank-bank dan lembaga keuangan lainnya wajib untuk menginformasikan kepada

para nasabah, terkait aturan yang berlaku untuk pembayaran cek dalam proses

redenominasi mata uang.

j. Peredaran dan Pertukaran Rupiah

Bank Indonesia bertanggung jawab atas peredaran Rupiah dengan kata „Baru”.

Selama proses distribusi dari Rupiah dengan kata „Baru” pada daerah-daerah

dengan geografi yang tidak memiliki jaringan bank lokal, Bank Indonesia akan

mengandalkan dukungan dari lembaga pemerintah lainnya. Pertukaran atau

penggantian uang Rupiah Lama dengan Rupiah dengan kata “Baru”, yang akan

mulai beredar di 1 Januari 2014 (setelah Redenominasi mulai berlaku),

masyarakat tidak dikenakan biaya tukar uang.

36

Mulai 1 Januari 2014, proses pertukaran atau substitusi uang Rupiah Lama dengan

uang Rupiah dengan kata „Baru” akan dimulai dan masyarakat secara bertahap

dapat menukar uang Rupiah Lama dengan Rupiah dengan kata „Baru”. Periode

pertukaran akan memakan waktu cukup lama dan masa transisi dapat

diperpanjang, dengan kata lain Rupiah dengan kata “Baru” akan tetap

dipertahankan setelah Rupiah Lama telah dicabut dan ditarik dari peredaran.

Akhir masa transisi akan ditetapkan sebelumnya dan diumumkan kepada

masyarakat terlebih dahulu oleh Bank Indonesia. Akhir masa transisi ditandai

dengan dikeluarkannya Rupiah tanpa kata “Baru” sebagai alat pembayaran yang

sah, namun demikian nilai Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” tetap

akan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sampai dengan dilakukan

pencabutan dan penarikan dari peredaran.

Penukaran Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” yang telah dilakukan

pencabutan dan penarikan dari peredaran dapat dilakukan paling lambat 10 tahun

sejak tanggal dicabut dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku. Tata cara

pengelolaan Rupiah yang meliputi tahap perencanaan, pencetakan, pengeluaran,

pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan Rupiah Lama dan

Rupiah dengan kata “Baru” dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pada

Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

k. Penukaran Uang Redenominasi Rupiah Pada Bank Umum

Bank Umum wajib menyediakan penukaran Rupiah Lama dengan Rupiah dengan

kata “Baru” untuk para nasabah maupun non nasabah pada kantor cabang bank

umum. Bank Umum dapat membuat batas dalam jumlah yang dapat dipertukarkan

atas masing-masing kantor cabang mereka, yang akan tergantung pada

ketersediaan Rupiah dengan kata „Baru”, dengan tujuan menjamin ketersediaan

pasokan sebesar mungkin.

Tanggal 2 Januari 2014 akan menjadi hari pertama kegiatan perbankan di seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hari itu akan menandai awal

Rupiah Lama dan Rupiah “Baru”.

Untuk itu disarankan agar masyarakat tidak terburu-buru untuk mengubah semua

Rupiah Lama dengan Rupiah Baru, karena Rupiah Lama masih dapat digunakan

selama masa transisi untuk melakukan pembayaran.

37

Setelah masa transisi selesai, penukaran Rupiah Lama dapat dilakukan penukaran

hanya pada Bank Indonesia atau Kantor Cabang Bank Indonesia, dengan nilai

ekuivalensi sama nilai setelah Redenominasi.

l. Penukaran Uang Pada Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

Bulan Januari 2014 yaitu pada saat sirkulasi Rupiah Lama dan Rupiah dengan

kata “Baru” berjalan, maka Anjungan Tunai Mandiri (ATM) akan memberikan

pasokan Rupiah Lama atau Rupiah Baru (salah satu jenis saja).

Denominasi yang ditampilkan dan dimunculkan oleh ATM akan terus

menunjukkan simbol,"Rp" (Rupiah Lama) bukan simbol Rupiah dengan kata

“Baru”, terlepas dari jumlah uang yang akan dikeluarkan oleh ATM dalam skala

baru.

Misalnya, jika ATM memasok Rupiah Lama dan nasabah hendak menarik Rp50,-

(Rupiah Baru), maka pelanggan bisa menerima uang Rp50.000 (Rupiah

Lama),namun bukti transaksi dan tampilan mesin akan menunjukkan penarikans

ebesar Rp50,- (Rupiah dengan kata „Baru”)

m. Pembayaran dan Rekening Saldo Bank Selama Peredaran Dua Mata Uang Rupiah

“Baru” dan Rupiah Lama

Selama masa transisi, pembayaran secara tunai dapat dibuat dengan menggunakan

koin dan uang kertas dari Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru” tanpa

perbedaan

Dengan demikian pembayaran dapat dilakukan dalam setiap dari tiga pilihan yang

mungkin:

1. Dengan koin dan uang kertas Rupiah Lama

2. Dengan koin dan uang kertas Rupiah Baru

3. Dengan kombinasi keduanya, dengan memperhatikan nilai ekuivalensinya

Sebagai contoh, jika sebuah kemeja dibeli untuk Rp121.550(Rupiah Lama)

atau Rp121,55 (Rupiah Baru), dan pembayaran dilakukan secara tunai, maka

pembeli bisa menggunakan satu Rp100.000 (Rupiah Lama), satu Rp20,-

(Rupiah Baru) dan Rp1,55 (Rupiah Baru)

Sama seperti sebelum diberlakukannya redenominasi rupiah, dalam hal

pembayaran dilakukan melalui sarana elektronik,hanya akan ada satu cara untuk

mencerminkan jumlah transaksi.

38

Jumlah ini harus menjadi jumlah yang ditunjukkan pada tagihan, dan dibebankan

ke kartu kredit atau dipotong daritabungan atau rekening giro pada “Rupiah

Baru”.

Sebagai contoh, jika sesorang membeli buku seharga Rp56,- (Rupiah Baru) sejak

1 Januari 2014, maka bukti tagihan transaksi kartu kredit akan menampilkan

catatan sebesar Rp56,- (Rupiah Baru).

n. Kewajiban Bank, Lembaga Keuangan Non Bank dan Perusahaan

Bank, lembaga keuangan non bank dan perusahaan bisnis wajib melatih karyawan

mereka dalam mengelola Rupiah dengan kata “Baru”, bagaimana membuat

konversi dari Rupiah Lama untuk Rupiah dengan kata “Baru”, dan menyediakan

informasi label tentang harga bagi para pengguna barang atau jasa, khususnya

selama masa transisi.

o. Rekomendasi Untuk Kasir, Bendahara dan Staf Pengelola Keuangan

Apabila memungkinkan, disarankan bagi kasir, bendahara pengelola keuangan

(staf pengelola keuangan) dapat memberikan perubahan untuk seluruh transaksi

dalam Rupiah dengan kata “Baru”

Demikian juga, disarankan bahwa staf pengelola keuangan harus menggunakan

beberapa jenis alat teknologi atau kalkulator untuk mempercepat konversi jumlah

untuk Rupiah Baru dari jumlah Rupiah Lama.

Untuk pengelolaan kas, dianjurkan untuk dipisahkan Rupiah Lama dengan Rupiah

Baru yang akan mulai beredar sejak 1 Januari 2014, melakukan penutupan untuk

tampilan kedua mata uang, dan kemudian melakukan konsolidasi di penutupan

Rupiah Baru.

Faktur tidak akan berubah, serta pajak tidak akan terpengaruh dengan adanya

redenominasi mata uang. Namun demikian, harus diperhitungkan bahwa faktur

yang dilaksanakan sampai 31 Desember 2013, dipahami sebagai kedalam dalam

Rupiah Lama, sedangkan yang dikeluarkan sebagai dari 1 Januari 2014, akan

dipahami sebagai kedalam Rupiah Baru.

Verifikasi tanggal penerbitan cek sangat penting, karena cek dengan tanggal

penerbitan dari tahun 2013 dinyatakan dalam Rupiah Lama, dan jika cek

bertanggal tahun 1 Januari 2014, harus dipahami sebagai Rupiah Baru, dan tidak

perlu menulis kata "Baru" atas identitas keterangan suatu cek.

39

Staf pengelola keuangan harus menunjukkan dan memberitahu konsumen atas

pembelian barang atau jasa baik dalam bentuk Rupiah dengan kata “Baru” pada

masa transisi.

p. Rekomendasi Untuk Masyarakat

Masyarakat harus meneliti, memeriksa dan memastikan bahwa jumlah dinyatakan

dalam Rupiah Baru sesuai dengan transaksi yang telah dilakukan adalah benar.

Disarankan bahwa konsumen harus memberikan perhatian khusus untuk jumlah

yang mereka tulis di cek, serta tanggal penerbitan, terutama selama masa transisi.

Masyarakat juga harus menyadari unsur-unsur keamanan yang disertakan Rupiah

Baru, dan memverifikasi mereka sebelum melakukan transaksi apapun.

q. Faktur, Persediaan, Kontrak Pembayaran Kewajiban

Dalam rangka membiasakan masyarakat dengan skala Rupiah baru, dimulai pada

1 Juli 2013, harga barang dan jasa akan ditampilkan, ditawarkan, dan dipamerkan

pada masyarakat umum Rupiah Baru dan Rupiah Lama.

Apabila sejak 1 Januari 2014, terdapat barang yang dijual pada harga yang dicetak

dengan paket atau pembungkus di Rupiah Lama, maka harga tersebut otomatis

harus dipahami sebagai kembali dinyatakan dalam Rupiah Baru

Sejak 1 Januari 2014, setiap faktur diterbitkan dengan memperhitungkan skala

Rupiah dengan kata “Baru”.

Sejak 1 Januari 2014 setiap kali pembayaran dilakukan dengan kartu debit atau

kredit pada tempat-tempat penjualan, maka jumlah harus dibebankan dalam skala

Rupiah dengan kata “Baru”. Sama seperti dengan ATM akan dinyatakan dalam

skala baru, tetapi selalu menggunakan simbol "Rp"

Semua penggunaan atau penyebutan Rupiah antara lain dalam pencatatan

transaksi, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian, surat

berharga, akta, dokumen keuangan, bukti pembayaran dan dokumen lainnya yang

telah ada sebelum ditetapkannya redenominasi tetap berlaku dan tidak perlu

diubah, tetapi dalam hal membaca nilainya demi hukum dikonversi menjadi harga

atau nilai dalam Rupiah setelah redenominasi.

r. Catatan Akuntansi dan Pelaporan

Saldo laporan keuangan pada tanggal penutupan 31 Desember 2013 harus

dikonversi kedalam Rupiah dengan kata “Baru”, dengan membagi saldo tersebut

dengan seribu (1.000).

40

Saldo laporan keuangan sejak tanggal 1 Januari 2014, semua transaksi harus

tercermin dalam Rupiah dengan kata “Baru”, dan akumulasi saldo diperoleh

setelah menerapkan prosedur konversi tanggal 31 Desember 2013 sebelum

dilaksanakannya redenominasi

s. APBN 2014

Rancangan Undang-Undang APBN 2014 harus disajikan Rupiah dengan kata

“Baru” secara utuh tanpa desimal.Untuk tujuan ini, maka estimasi pendapatan,

belanja dan pembiayaan harus dibuat dalam skala denominasi Rupiah dengan kata

“Baru”.

Kertas bermeterai, perangko, harus digunakan sampai persediaan sudah habis, dan

1 Januari 2014 nilai mereka akan diakui oleh setara mereka Rupiah dengan kata

“Baru”.

Sejak 1 Januari 2014, tugas dan kewajiban bagi wajib pajak tidak akan

terpengaruh oleh redenominasi mata uang. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa

faktur, pembayaran dan pencatatan akuntansi secara umum harus dinyatakan

dalam Rupiah dengan kata „Baru” sejak 1 Januari 2014

Restitusi pajak tahun 2013 harus dinyatakan dalam Rupiah dengan kata „Baru”

sejak 1 Januari 2014, dan untuk melakukan ini, harus dibagi dengan seribu (1.000)

dan dibulatkan ke persen terdekat.

t. Penyesuaian Teknologi

Semua masyarakat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib

menyesuaikan sistem perhitungan sehingga semua transaksi yang dilakukan harus

dinyatakan dalam Rupiah dengan kata “Baru” mulai 1 Januari 2014. Penetapan

batas waktu untuk penyesuaian sistem perhitungan adalah 31 Desember 2013

Proses perencanaan harus dilakukan untuk meminimalkan risiko ketidaksiapan

untuk tanggal tersebut di atas. Semua sistem operasi yang terkait dengan Rupiah

akan terpengaruh atas redenominasi antara lain :

1. Sistem informasi

2. Website

3. Struktur data

4. Automatic Teller Machines

5. Beberapa instrumen pengukur elektronik:

6. Parkir waktu perhitungan

7. Konsumsi Telepon meter

41

8. Minuman atau makanan ringan

9. Tiket atau token

10. Bensin

11. Sistem yang menghasilkan label harga

Semua sistem perhitungan, instrumen teknologi ataupun mekanisme yang

digunakan untuk menawarkan, menampilkan atau menunjukkan harga barang dan

jasa harus menggunakan dan menunjukkan kedua mata uang Rupiah Lama dan

Rupiah dengan kata “Baru”, kepada masyarakat.

Sejak 1 Januari 2014, semua solusi teknologi layanan untuk konsumen dan

pembayaran secara tunai, harus mempertimbangkan kemungkinan menerima dan

memberikan Rupiah Lama dan Rupiah dengan kata “Baru”. Konversi semua data

historis sebelum 1 Januari 2014 Untuk Rupiah dengan kata „Baru” tidak wajib.

Apabila kegiatan yang ada memerlukan konversi secara parsial atau konversi

secara total dari data historis untuk mempertahankan kapasitas operasional, maka

disarankan untuk menjaga informasi asli di Rupiah Lama sebelum mengkonversi,

atau sebagai solusi alternatif, hanya membagi data historis oleh seribu (1.000)

agar tidak kehilangan keakurasian data asli.

D. Pengalaman Negara Lain yang Telah Melakukan Redenominasi

Untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan

program redenominasi, dilakukan studi terhadap beberapa negara yang melakukan program

redenominasi.

Indikator keberhasilan program redenominasi mata uang yang digunakan dalam kajian

ini adalah tercapainya tingkat inflasi yang lebih rendah setelah dilakukan redenominasi.Hal ini

dipilih mengingat sebagian besar latar belakang redenominasi adalah kebijakan simbolis untuk

memulihkan kepercayaan terhadap mata uang akibat inflasi. Dalam kajian ini, negara yang

dikategorikan berhasil antara lain Turki, Romania, Polandia dan Ukraina, sedangkan negara

yang dikategorikan gagal adalah Brazil, Argentina, Zimbabwe dan Rusia.

1. Negara yang Sukses Melakukan Redenominasi

Dalam bagian ini akan diuraikan pengalaman Turki dan Romania yang

dikategorikan berhasil dalam melakukan redenominasi.

a. Turki

Faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program redenominasi di

Turki dapat dijelaskan sebagai berikut:

42

1) Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah

digit mata uang Turkish Lira

Penyederhanaan tersebut telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat,

baik di sektor riil maupun sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal dan

sistem pembayaran.Sebelum redenominasi, masyarakat Turki telah merasa

terbebani oleh penggunaan mata uang yang digitnya besar, terutama kesulitan yang

dihadapi pada saat bertransaksi atau saat menggunakan peralatan atau mesin seperti

pompa bensin, ATM atau peralatan lainnya yang berstandar internasional.

Tabel Indikator Makroekonomi Turki Sebelum dan Setelah Redenominasi 1 Januari 2005

Turki 2003 2004 2005 2006 2007

Pertumbuhan Ekonomi (%) 5.27 9.37 8.40 6.89 4.45

Inflasi (%) 18.36 9.32 10.53 9.65 8.39

PDB Nominal (milliar USD) 304.59 393.04 483.99 529.93 655.88

Defisit Fiskal/PDB (%) -11.3 -7.1 -2 0.7 *

Neraca Berjalan/PDB (%) -1.65 -2.58 -3.41 -4.21 -4.4

Nilai Tukar Nominal (TL/USD) 1.4 1.34 1.35 1.41 1.17

Cadangan Devisa (juta USD) 33,793 35,480 50,402 60,710 73,156

Suku bunga kebijakan (%) 43 38 23 27 25

Pengangguran (%) 10.5 10.3 10.2 9.88 10.23

2) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat

Redenominasi mata uang di Turki dilaksanakan pada saat kondisi fundamental

perekonomian Turki cukup kuat dengan tren inflasi yang menurun. Kuatnya

fundamental ekonomi Turki diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi

tahun 2005 mencapai 7,4%, tingkat inflasi 7,7% dengan tren laju inflasi yang

menurun, nilai tukar yang relatif stabil berada di kisaran 1,35 TL per 1 USD serta

defisit anggaran pemerintah yang terus mengalami penurunan hingga mencapai

0.6% GDP. Sebelumnya, Central Bank of the Republic of Turkey (CBRT) telah

beberapa kali mengusulkan program redenominasi yaitu pada tahun 1996 dengan

menghapus 3 angka nol dan tahun 1998 dengan menghapus 5 angka nol, namun

karena laju inflasi Turki masih tinggi maka redenominasi belum dilakukan. Usulan

menghapuskan 6 angka nol baru disetujui pemerintah pada tahun 2000 dan

dilakukan persiapan pelaksanaannya pada tahun 2004 setelah tren laju inflasi

menurun.

3) Tersedianya landasan hukum

Penghapusan 6 digit mata uang Turki dan penambahan prefix “New” di depan

nama Turkish Lira (atau “Yeni” dalam bahasa Turki) diatur dalam Law No.5083

on the Currency Unit of the Republic of Turkey yang berlaku sejak 1 Januari 2005.

43

Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, price tagging, dokumen legal

serta laporan keuangan dapat menggunakan TL dan YTL hingga 31 Desember

2005.

4) Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas

terkait serta praktisi bisnis

CBRT bersama dengan Pemerintah Turki membentuk “New Turkish Lira Steering

Committee” di bawah koordinator CBRT guna mempersiapkan segala hal yang

diperlukan sesuai waktu yang telah ditentukan. Anggota komite tersebut terdiri dari

Ministry of Finance, Ministry of Trade and Industry, Undersecretariat of Treasury,

Prime Ministry State Institute and Statistics, Banking Regulation and Supervision

Agency, dan Capital Market Board. Dibentuknya komite berskala nasional dengan

koordinator CBRT serta 3 sub-committee/task force, yaitu Commission of

Information Technology (dikoordinatori oleh CBRT), Commission of Companies

(dengan koordinator Ministry of Trade and Industry), dan Commission of

Accounting Standards (dengan koordinator Ministry of Finance).

5) Kampanye dan edukasi publik yang intensif

Kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dilakukan secara intensif oleh

CBRT dan pemerintah untuk memberikan informasi dan regulasi yang berkaitan

dengan program redenominasi melalui berbagai media seperti televisi, radio, surat

kabar, seminar, dan situs resmi redenominasi Turki (website: www.ytl.gen.tr). Di

samping itu, dilakukan pula kampanye di sekolah-sekolah/universitas, penyediaan

pusat informasi dan email yang dapat menampung pertanyaan, kritik, dan saran

dari masyarakat.

6) Tidak menurunkan daya beli

Redenominasi Mata Uang Turkish Lira tidak mengakibatkan menurunnya nilai

relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa

7) Kondisi sosial politik yang kondusif

44

Sumber : ICRG

Grafik Risiko Politik Turki

Kondisi sosial politik Turki sebelum implementasi redenominasi Lira pada 1

Januari 2005 dinilai sudah cukup membaik. Tingkat Risiko Politik4 Turki pada

awal 2001 hingga 2003 masih berada pada tingkatan risiko tinggi (rata-rata indeks

risiko politik 57) akibat dari adanya ketidaksatabilan pemerintahan dalam negeri,

adanya militer yang berpolitik dan konflik iraq. Namun kondisi tersebut membaik

mulai tahun 2004. Sepanjang 2004 dan 2005, Risiko Politik Turki berada pada

tingkatan yang sedang (indeks sebesar 67). Walaupun pada akhir tahun 2004

kondisi politik Turki sedikit terganggu akibat adanya dikotomi partai politik dalam

negeri dan adanya gejolak eksternal akibat keinginan bergabungnya Turki dalam

Uni Eropa, namun hal tersebut tidak mengganggu persiapan redenominasi Turki.

b. Romania

Faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program redenominasi di

Romania dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah

digit mata uang Leu

4Data risiko politik bersumber dari International Country Risk Guide (ICRG). Penilaian risiko politikdisampaikan

dalam index 0 - 100, dimana nilai 80 - 100 berarti risiko sangat rendah, 70.0 - 79.9 berartirisiko rendah, 60.0 - 69.9

berarti risiko sedang, 50.0 - 59.9 berarti risiko tinggi dan 00.0 - 49.9 berartirisiko sangat tinggi. Rata-rata risiko politik

Turki sepanjang 2004 dan 2005 berada pada range risiko sedang.

Perhitungan Indeks Risiko Politik ICRG menggunakan beberapa variabel antara lain: Stabilitas pemerintahan,

Kondisi sosial ekonomi, Lingkungan Investasi, Konflik Internal dan eksternal, Korupsi, Keberadaan militer dalam

politik, Ketegangan Agama, Ketertiban hukum, ketegangan etnis, akuntabilitas demokrasi dan kualitas birokrasi.

50

55

60

65

70

75

Jan

-00

Jun

-00

Nop-…

Apr-…

Sep-…

Feb-…

Jul-

02

Des-…

Mei-…

Okt-…

Mar-…

Agu

s…

Jan

-05

45

- Terkait dengan persiapan Romania dalam menyongsong bergabungnya

Romania ke European Union (EU) pada 1 Januari 2007 dan dengan Euro Zone

pada tahun 2014-2015.

- Kesulitan masyarakat dalam melakukan transaksi perekonomian karena jumlah

digit uang yang banyak, terutama terkait dengan kegiatan pembukuan, akunting

dan pencatatan statistik, sistem pembayaran, perangkat lunak pemroses data,

dan pencantuman harga serta keengganan dalam menggunakan uang logam

dalam transaksi sehari-hari karena nilainya yang dianggap sudah tidak

sebanding dengan harga barang/jasa.

2) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat

Waktu pelaksanaan redenominasi di Romania pada tanggal 1 Juli 2005 dilakukan

berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

- Faktor ekonomi, yaitu kondisi makroekonomi Romania yang relatif lebih

stabil, yang ditandai oleh tingkat inflasi yang mengarah ke satu digit setahun

menjelang penerapan redenominasi.

- Faktor non-ekonomi, yaitu dilakukan pada musim panas karena di musim ini

mendukung persiapan logistik penyediaan dan distribusi uang logam dan

kertas baru. Selain itu, di musim panas faktor psikologis masyarakat

umumnya lebih baik dibandingkan dengan musim dingin (awal tahun).

Tabel Indikator Makroekonomi Romania Menjelang Redenominasi 1 Juli 2005

Romania 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Pertumbuhan Ekonomi (%) 2.10 5.70 5.10 5.20 8.40 4.17

Inflasi (%) 45.67 34.47 22.54 15.26 11.88 8.99

PDB Nominal (milliar USD) 37.05 40.18 45.82 59.51 75.49 98.91

Defisit Fiskal/PDB (%) -3.7 -3.5 n.a -3.08 -1.12 -0.76

Neraca Berjalan/PDB (%) -3.91 -4.4 -3.3 -5.70 -8.40 -8.70

Nilai Tukar Nominal (RON/USD) 2.17 2.91 3.31 3.32 3.26 2.91

Cadangan Devisa (juta EUR) 5,205 7,231 8,051 8,252 1,3153 1,9362

Suku bunga kebijakan (%) n.a n.a n.a 21.25 17.00 7.50

Pengangguran (%) 11.2 8.98 9.97 7.6 6.77 5.83

Sumber: International Financial Statistics

3) Tersedianya landasan hukum

Dalam sistem ketatanegaraan Romania, National Bank of Romania (NBR) tidak

memiliki hak inisiatif untuk mengajukan undang-undang.NBR mengajukan usulan

kebijakan redenominasi kepada Pemerintah Romania, yang selanjutnya melalui

Ministry of Public Finance (MPF) mengajukan dukungan kepada parlemen.NBR

bersama-sama dengan MPF menyusun RUU Redenominasi dan akhirnya

46

mendapatkan pengesahan dari parlemen dan diundangkan kepada publik pada 14

Juli 2004.

4) Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas

terkait serta praktisi bisnis

Ide redenominasi Leu awalnya berasal dari bank sentral, yaitu The National Bank

of Romania (NBR). Ide redenominasi tersebut kemudian diajukan kepada

Pemerintah Romania yang menyambut baik ide redenominasi tersebut. Pada tahun

2002, pemerintah dan NBR mendiskusikan rencana redenominasi dengan parlemen

dan partai politik untuk memperoleh dukungan politik.Akhirnya, pada tanggal 14

Juli 2004, parlemen mengesahkan Undang-Undang tentang Redenominasi Leu.

5) Kampanye dan edukasi publik yang intensif

Target utama kampanye di Romania adalah masyarakat yang berpendidikan rendah

karena kelompok ini lebih sulit untuk memahami redenominasi. Komunikasi yang

intensif dilakukan Pemerintah Romania melalui berbagai sarana komunikasi, baik

formal (TV dan radio pemerintah, TV swasta, kerjasama dengan kementrian dalam

negeri, kementrian luar negeri, perusahaan penerbangan, dan kantor pos) maupun

informal (mendayagunakan para pendeta untuk menyampaikan pesan redenominasi

kepada umatnya). Disamping itu, terdapat penyediaan brosur, helpdesk, dan survei

terhadap pemahaman dan pemantauan umpan balik dari publik.

6) Tidak menurunkan daya beli

Redenominasi Mata Uang Leu tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya

beli) uang terhadap harga barang dan jasa.

7) Kondisi sosial politik yang kondusif.

Sumber : ICRG

Grafik Risiko Politik Romania

6062646668707274

Jan

-00

Jun

-00

No

p-0

0

Ap

r-0

1

Sep

-01

Feb

-02

Jul-

02

De

s-0

2

Me

i-0

3

Okt

-03

Mar

-04

Agu

st-0

4

Jan

-05

Jun

-05

47

Romania telah membuat kemajuan dalam pelaksanaan demokrasi sejak

berakhirnya sistem pemerintahan sosialis pada tahun 1989.Perbaikan sistem

Demokrasi juga memberikan kebebasan berpolitik bagi Partai politik dan

kebebasan berbicara bagi berbagai media komunikasi yang ada.Rata-rata risiko

politik Romania berdasarkan International Country Risk Guide (ICRG) sebelum

pelaksanaan redenominasi Juli 2005 adalah 68,9 (Rata-rata Januari 2000 s.d Juni

2005). Tingkat indeks risiko tersebut dapat dikategorikan sedang. Risiko politik

Romania bahkan sempat mencapai posisi terendah pada level 73 di Agustus 2004

dan sempat menurun menjadi 69,5 di saat Pemilihan Umum Desember 2004.

Seiring dengan proses Pemilu yangberjalan dengan lancar risiko politik kembali

membaik hingga mencapai rata-rata posisi 71 di awal 2005.Kondisi sosial politik

yang baik tersebut juga telah berhasil mendorong kondisi makroekonomi yang

semakin membaik seperti terlihat pada tingkat inflasi yang cenderung turun, nilai

tukar yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

2. Negara yang Gagal Melakukan Redenominasi

Selanjutnya akan diuraikan pengalaman Brazil dan Zimbabwe yang dikategorikan

sebagai negara yang gagal dalam melakukan redenominasi.

a. Brazil

Faktor-faktor yang diperkirakan sebagai penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan

program redenominasi di Brazil dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat

Redenominasi di Brazil dilakukan ketika kondisi makroekonomi masih belum

stabil, yang ditandai dengan tingginya inflasi disertai rendahnya pertumbuhan

ekonomi.Kondisi makro yang tidak kondusif tersebut terus berlangsung meskipun

pemerintah telah melakukan stabilisasi perekonomian. Fokus program stabilisasi

adalah balancing the budget, monetary targeting, dan privatisasi/liberalisasi

perdagangan.Selain itu, Brazil mengalami defisit fiskal yang sangat besar untuk

pembiayaan pembangunan yang tidak bersumber dari penerimaan pajak, melainkan

dengan menerbitkan uang.

48

2) Kondisi sosial politik yang tidak kondusif

Adanya keresahan masyarakat akibat tingginya harga barang dan jasa, sehingga

secara psikologis masyarakat tidak siap ketika pemerintah melaksanakan kebijakan

redenominasi.

b. Zimbabwe

Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan program

redenominasi di Zimbabwe dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat

Pemerintah Zimbabwe melakukan program redenominasi pada saat inflasi sangat

tinggi dengan harapan akan dapat menurunkan tingkat inflasi negara tersebut.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, inflasinya menjadi tidak terkendali.Hal

tersebut lebih disebabkan oleh kebijakan bank sentral Zimbabwe (Reserve Bank of

Zimbabwe-RBZ) yang melakukan quasi fiscal activities (QFA) yaitu turut aktif

membiayai anggaran pemerintah, seperti subsidi dan pembiayaan pengeluaran

langsung (direct expenditures). Aktivitas RBZ tersebut menyebabkan RBZ harus

melakukan pencetakan uang (money creation) dan penerbitan surat utang.

Kebijakan ini menyebabkan semakin buruknya kinerja perekonomian yaitu

meroketnya tingkat inflasi hingga mencapai 2.660.522% (pada 2008), yang

merupakan salah satu inflasi tertinggi di dunia.Hal ini menunjukkan

ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola besaran makroekonomi yang

ditandai oleh ketidaksesuaian pertumbuhan jumlah uang beredar dengan kapasitas

perekonomiannya, ketidakdisiplinan operasi keuangan pemerintah, dan tidak

adanya independensi bank sentral.

2) Kondisi sosial politik yang tidak kondusif.

Kondisi makroekonomi yang tidak stabil berpengaruh pula terhadap kondisi sosial

politik di Zimbabwe.Ketidakstabilan tersebut memicu keresahan publik, terutama

karena meroketnya harga barang dan jasa.

3. Kondisi Indonesia Saat Ini Sebagai Prasyarat Kuat Pelaksanaan Redenominasi

Sama halnya dengan negara-negara lain yang berhasil melaksanakan kebijakan

redenominasi, kondisi Indonesia saat dipandang sangat tepat untuk pelaksanaan kebijakan

tersebut. Kondisi ini tercermin dari hal-hal sebagai berikut:

1. Indikator ekonomi makro saat ini yang cenderung baik

Salah satu kondisi yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan redenominasi adalah

kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat

49

sehingga dapat menekan dampak negatif reaksi psikologis masyarakat.Berdasarkan

data indikator makro, dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini secara

umum cukup kuat dan dapat mendukung pemberlakukan kebijakan redenominasi.

Berdasarkan perkembangan ekonomi hingga Agustus 2011, dapat dilihat bahwa

meskipun perekonomian global mengalami perlambatan sebagai dampak krisis

ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa, namun perekonomian Indonesia tetap tumbuh

relatif tinggi. Hingga kuartal II tahun 2011, kinerja ekonomi mampu tumbuh sebesar

6,5% (y-o-y), meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun

sebelumnya yang tumbuh 6,2% (y-o-y). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut

didukung secara proporsional oleh semua sektor. Dari sisi permintaan, kinerja investasi

meningkat sebesar 9,2% (y-o-y), diikuti oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan

konsumsi pemerintah masing-masing sebesar 4,6% (y-o-y) dan 4,5% (y-o-y).

Sedangkan ekspor dan impor mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-

masing meningkat sebesar 17,4% (y-o-y) dan 16,0% (y-o-y). Sementara itu, dari sisi

penawaran, seluruh sektor perekonomian mengalami peningkatan, bahkan beberapa

diantaranya mengalami akselerasi. Dua sektor padat kerja, yaitu sektor pertanian dan

sektor industri pengolahan juga tumbuh cukup kuat, masing-masing sebesar 3,9% dan

6,1%.

Stabilitas ekonomi makro Indonesia juga relatif terjaga.Hal ini tercermin dari

pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang cenderung stabil dan laju inflasi

yang relatif terkendali. Untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pergerakan rata-

rata selama bulan Januari hingga Agustus 2011 mengalami apresiasi sebesar 4,73%

jika dibandingkan dengan rata-rata periode yang sama tahun 2010. Sedangkan untuk

laju inflasi, secara kumulatif hingga bulan Agustus 2011 telah mencapai 2,69% (y-o-

y), lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar

5,71% (y-o-y). Membaiknya kondisi fundamental ekonomi Indonesia dan

meningkatnya kepercayaan investor global telah memberikan sentiment positif

terhadap penguatan nilai tukar rupiah serta relatif terkendalinya laju inflasi dalam

beberapa waktu terakhir.

Sejalan dengan itu, kinerja sektor finansial dalam paruh pertama tahun 2011 juga

cukup menggembirakan.Arus modal asing yang masuk ke pasar financial, baik ke

pasar ekuitas maupun pasar obligasi, terus mengalami peningkatan secara persisten

seiring dengan peningkatan kondisi fundamental ekonomi Indonesia serta

meningkatnya outlook peringkat investasi Indonesia yang semakin membaik.Untuk

50

pasar ekuitas, tingginya arus masuk modal asing menyebabkan indeks harga saham

gabungan dan nilai kapitalisasi pasar meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir

tahun.

Indikator Rata-rata 2000-2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pertumbuhan Ekonomi (%) 4.8 5.5 6.3 6.06 4.58 6.1

Inflasi (%) 10.1 6.6 6.6 11.1 2.8 7.0

PDB Nominal (miliar USD) 216.58 364.4 432.3 510.6 538.4 706.8

Defisit Fiskal/PDB (%) -1.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -0.7

Neraca Berjalan/PDB (%) 3.15 3.25 2.66 0.03 1.90 0.88

Nilai Tukar (Rp/USD) 9,195 9,164 9,140 9,691 10,408 9,087

Cadangan Devisa (miliar USD) 32.80 42.59 56.92 51.64 66.11 96.21

Suku Bunga Kebijakan (%) 11.8 11.7 8.0 9.25 7.6 6.57

Sumber: Kementerian Keuangan

Tabel Asumsi Makro Perekonomian Indonesia

Sumber : Kementerian Keuangan

b. Sebagai dasar kuat untuk mencapai kesetaraan dalam pembentukan Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) di 2015.

Kondisi makro ekonomi Indonesia yang kuat tersebut juga menjadi prasyarat

suksesnya pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015. Namun demikian, level

nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing termasuk yang terendah diantara negara

kawasan ASEAN yang menyebabkan nilai tukar rupiah belum dipandang setara

dengan mata uang Negara kawasan. Dengan demikian, redenominasi mata uang rupiah

menjadi sangat diperlukan untuk menyongsong MEA karena dengan redenominasi,

penyederhanaan mata uang rupiah dapat menjadikan nilai mata uang Rupiah setara

dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin

bagus
Typewritten text
Tabel Indikator Makro Ekonomi Indonesia

51

mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara

kawasan ASEAN.

E. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam Undang-

Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban

Keuangan Negara

Penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang tentang Perubahan

Harga Rupiah akan membawa dampak terhadap aspek kehidupan masyarakat dan beban

keuangan negara, sebagai berikut:

1. Aspek kehidupan masyarakat

Redenominasi mata uang diperkirakan dapat memberikan implikasi positif yang luas

terhadap kehidupan masyarakat.Namun demikian, kebijakan redenominasi juga memiliki

beberapa risiko yang perlu diantisipasi.

a. Implikasi positif dari penerapan kebijakan redenominasi bagi masyarakat Indonesia

antara lain adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian

Efisiensi perekonomian dapat diperoleh dengan penerapan redenominasi mata uang

melalui beberapa aspek yaitu:

a) Efisiensi proses input data, pengelolaan database dan pelaporan data

(termasuk untuk publikasi statistik)

Penyederhanaan digit akan mengurangi beban pencatatan pembukuan/akunting

bagi seluruh pelaku usaha, pencatatan statistik yang berkaitan dengan transaksi

pembayaran, dan penginputan transaksi. Hal ini akan mengurangi waktu

operasional dan potensi human error dalam proses transaksi, pembukuan, dan

pencatatan statistik.

b) Efisiensi penggunaan memori data (kapasitas infrastruktur teknologi)

Penyederhanaan digit berdampak pula pada berkurangnya kebutuhan

penyimpanan data transaksi pembayaran dan statistik aktivitas pembayaran.

Khusus di sisi transaksi pembayaran, penyederhanaan tersebut dapat

mengurangi penggunaan bandwith jaringan komunikasi data. Seiring dengan

tren pertumbuhan transaksi terutama di sistem pembayaran retail, efisiensi ini

akan menurunkan biaya penyelenggaraan sistem pembayaran yang ditanggung

industri.

52

c) Efisiensi operasional dalam penyesuaian perangkat keras dan perangkat lunak

sistem akunting dan teknologi informasi.

Dengan jumlah digit yang lebih sedikit sebagai akibat dilakukannya

redenominasi maka tidak diperlukan kustomisasi jumlah digit field dan column

dalam database yang digunakan.

d) Efisiensi biaya pencetakan uang

Kebijakan redenominasi akan mengakibatkan digunakannya kembali satuan

Sen dalam uang sehingga dapat meningkatkan preferensi masyarakat terhadap

penggunaan uang logam dalam bertransaksi. Preferensi masyarakat tersebut

dapat mengakibatkan beberapa pecahan uang kertas yang ada saat ini dialihkan

menjadi uang logam. Dalam jangka panjang akan terdapat

penghematan/efisiensi biaya pencetakan uang karena usia edar uang logam bisa

lebih panjang 10 - 15 kali dibandingkan uang kertas.

e) Efisiensi menu cost

Bagi pelaku bisnis terutama yang bergerak di bidang perhotelan, restauran, dan

pasar swalayan dalam negeri, pencantuman denominasi rupiah yang besar saat

ini dipandang kurang efisien. Sehingga, banyak pebisnis yang tidak lagi

mencantumkan angka ribuan dalam daftar harga dan cukup memberikan

keterangan bahwa “harga dalam ribuan rupiah” atau dengan menuliskan 3

(tiga) angka nol dalam tulisan yang lebih kecil (misal : Rp3.000

). Dengan

redenominasi, menu cost berupa pencantuman harga barang dan jasa (price

tagging) baik dari sisi waktu pembuatan, sumber daya yang digunakan,

maupun untuk kepentingan database menjadi lebih efisien.

Dari berbagai efisiensi tersebut di atas, manfaat yang diperoleh dari kebijakan

redenominasi merupakan penjumlahan dari efisiensi karena berkurangnya

waktu dan biaya-biaya yang terkait transaksi ekonomi secara keseluruhan.

2) Meningkatkan kredibilitas Rupiah

Dengan redenominasi rupiah, penulisan nilai tukar rupiah terhadap mata

uang asing menjadi lebih sederhana sehingga dapat meningkatkan kepercayaan

masyarakat dan dapat mengurangi risiko konversi mata uang (currency

subtitution). Secara psikologis, hal tersebut meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap uang rupiah.

53

3) Sebagai simbol era perekonomian yang lebih stabil

Di beberapa negara, keberhasilan penerapan kebijakan redenominasi diikuti

dengan kondisi perekonomian yang stabil.Hal ini tercermin dari tingkat inflasi

yang rendah dan stabil setelah redenominasi.Tingkat inflasi yang stabil ini

mendukung sustainabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di beberapa

negara seperti di Turki dan Romania.

4) Mendukung kesetaraan nilai tukar Rupiah dengan nilai tukar mata uang yang kuat

di kawasan

Pada 2015, negara-negara ASEAN akan memasuki era Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA). Redenominasi akan membuat pecahan mata uang rupiah

menjadi sederhana. Hal ini akan memfasilitasi kesetaraan kredibilitas rupiah

dibandingkan dengan mata uang negara lain di kawasan yang selanjutnya akan

membangun kebanggaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Meningkatnya

kebanggaan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap rupiah, sehingga potensi masyarakat untuk mensubstitusikan mata

uangnya ke mata uang negara lain yang dipandang lebih aman menjadi rendah.

5) Bermanfaat untuk lebih mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.

Penggunaan jumlah digit mata uang rupiah yang lebih sederhana dalam

praktek transaksi sehari-hari akan lebih mendukung proses belajar mengajar pada

pendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena materi yang dipelajari di sekolah saat

ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga transaksi tunai dalam kehidupan

sehari-hari yang melibatkan jumlah digit yang besar.Redenominasi rupiah

memungkinkan terciptanya sinkronisasi antara pelajaran/teori yang diperoleh

dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, serta memberikan kemudahan bagi

para pelajar dalam mempelajari konsep penghitungan.

b. Beberapa risiko yang perlu diantisipasidari penerapan kebijakan redenominasi bagi

masyarakat Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:

1) Potensi kenaikan harga akibat pembulatan harga yang berlebihan.

Risiko ini terkait dengan proses pembulatan harga-harga ke atas yang

terjadi secara berlebihan, baik yang berkaitan dengan struktur pasar maupun

perilaku masyarakat yang memanfaatkan program redenominasi untuk kegiatan

spekulasi. Dari sisi struktur pasar, beberapa komoditas yang cenderung

54

oligopolistik, seperti tepung terigu dan gula, pedagang mempunyai peluang untuk

menentukan harga dan melakukan pembulatan harga secara berlebihan.Dari sisi

perilaku masyarakat, pembulatan harga ke atas terkait dengan perilaku pedagang

dalam melakukan pembulatan baik untuk tujuan mempermudah transaksi maupun

mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, harga gula pasir yang

tercatat sebelum redenominasi adalah Rp11.845,- per kg, maka sejalan dengan

redenominasi (misalnya dengan menghilangkan 3 digit angka nol) harga gula

tersebut menjadi Rp11,845 per kg. Bila pembulatan harga dilakukan secara wajar

(sesuai ketentuan) maka harga gula tersebut menjadi Rp11,85 per kg. Namun, bila

pembulatan harga dilakukan secara berlebihan maka harga gula tersebut menjadi

Rp12,00 atau lebih. Bila perilaku pembulatan harga secara berlebihan tersebut

terjadi juga pada harga komoditas lainnya maka akan mendorong kenaikan harga

secara umum (inflasi).

Risiko ini dapat dimitigasi dengan peraturan pemerintah mengenai praktek

pembulatan harga yang dianggap wajar dan disertai pengawasan yang baik dari

instansi terkait. Selain itu, masa transisi selama 2 tahun yang diusulkan untuk

dilakukan diharapkan dapat mempermudah proses monitoring dan mendorong

peran aktif masyarakat untuk mengawasi pembulatan harga ke atas yang

berlebihan.

2) Risiko penolakan program redenominasi oleh sebagian masyarakat.

Penerapan kebijakan redenominasi dapat memicu reaksi penolakan karena

trauma sanering dan pengalaman redenominasi yang tidak berhasil di masa

lalu.Penghapusan sejumlah digit angka nol rupiah dapat dipersepsikan menurunkan

nilai kekayaan individu atau perusahaan apabila tidak dipahami secara baik oleh

masyarakat.

Risiko ini dapat dimitigasi dengan komunikasi yang efektif, tepat sasaran

dan proporsional. Strategi komunikasi tersebut bertujuan untuk menciptakan

tingkat pemahaman, persepsi dan opini positif, serta mempengaruhi proses

pengambilan keputusan masyarakat secara umum yang secara langsung atau tidak

langsung mendukung keberhasilan implementasi Program Redenominasi Rupiah.

Selain itu, kegiatan sosialisasi dan edukasi yang intensif mengenai redenominasi

kepada stakeholders baik dalam negeri (domestik) maupun luar negeri

(internasional) juga sangat diperlukan dalam kerangka komunikasi tersebut.

55

3) Risiko perselisihan dan ketidakpahaman penggunaan uang lama dan baru.

Redenominasi dapat menimbulkan potensi kebingungan dan kekeliruan

dalam bertransaksi, terutama pada transaksi tunai.Hal ini disebabkan karena

dibutuhkan waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dalam bertransaksi dengan

satuan mata uang yang baru.

Risiko ini dapat dimitigasi dengan: (i) melakukan persiapan matang di

berbagai aspek seperti masalah-masalah operasional di lapangan yang dapat terjadi

pada pelaku-pelaku ekonomi seperti konsumen, pedagang, perbankan, UMKM,

dan petugas pelayanan publik, (ii) komunikasi dan sosialisasi yang baik diperlukan

agar tidak terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam transaksi sehari-hari di

masyarakat, dan (iii) penerapan dual price tagging pada awal penerapan

redenominasi diharapkan dapat membiasakan masyarakat terhadap penerapan

kebijakan redenominasi.

4) Risiko perselisihan karena keliru mengartikan dokumen yang bernilai uang dalam uang

rupiah lama dan baru.

Risiko perselisihan penggunaan uang baru dan uang lama juga dapat terjadi

pada saat menejermahkan dokumen yang bernilai uang. Di satu pihak dapat

mengartikan nilai uang dalam suatu dokumen setara dengan nilai uang lama,

sementara pihak lain mengartikannya setara dengan nilai uang baru.

Potensi risiko ini dapat dimitigasi melalui pengaturan yang jelas mengenai

masa berlaku suatu denominasi tertentu dalam dokumen.Sebagai contoh, apabila

kebijakan redenominasi dilakukan pada Januari 2014, seluruh dokumen sebelum

periode tersebut diterjemahkan dengan nilai uang lama dan setelah redenominasi,

seluruh dokumen yang diterbitkan sebelum periode redenominasi diterjemahkan

dengan nilai uang baru.

2. Aspek Keuangan Negara

Dalam jangka pendek, redenominasi dapat menimbulkan biaya untuk persiapan

dan pelaksanaannya, terkait dengan pencetakan uang baru, penyesuaian infrastruktur

sistem pembayaran dan teknologi informasi serta biaya untuk komunikasi dan edukasi

kepada masyarakat. Namun dalam jangka panjang, potensi manfaat yang akan diperoleh

keuangan negara dan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan biayanya. Hal ini

sehubungan dengan penghematan/efisiensi biaya pencetakan uang karena semakin banyak

56

uang dalam bentuk logam yang usia edarnya lebih panjang 10-15 kali dibandingkan uang

kertas. Secara nasional, manfaat yang didapat dari kebijakan redenominasi merupakan

penjumlahan dari efisiensi karena berkurangnya waktu dan biaya-biaya yang terkait

transaksi ekonomi secara keseluruhan.Selain itu, efisiensi perekonomian yang diperoleh

dari redenominasi dapat meningkatkan penerimaan negara melalui penerimaan pajak

karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari peningkatan daya saing

ekonomi Indonesia.

57

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan yang Ada

Pada saat ini pengaturan mengenai redenominasi belum pernah diatur dalam bentuk peraturan

perundang-undangan.Namun demikian, amanat untuk dapat dilakukannya redenominasi

tersebut telah diatur dalam Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2011

tentang Mata Uang.yang berbunyi “Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-

Undang”.Dengan demikian maka untuk perubahan harga Rupiah atau yang lebih dikenal

dengan redenominasi harus diatur dengan undang-undang.Selama undang-undang mengenai

perubahan harga Rupiah tersebut belum diundangkan, perubahan harga Rupiah tidak dapat

dilakukan.

Sebagai tambahan informasi, kebijakan redenominasi bukan merupakan kebijakan baru yang

pernah diterapkan di Indonesia.Kebijakan redenominasi pernah diterapkan di Indonesia pada

tahun 1965. Pada masa itu, pemberlakuan kebijakan redenominasi dilakukan dengan

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berbentuk peraturan pemerintah, yaitu

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru yang

Berlaku Sebagai Alat Pembayaran yang Sah Bagi Seluruh Wilayah Indonesia dan Penarikan

Uang Rupiah Lama dari Peredaran. Pada saat itu, Pemerintah mengeluarkan uang Rupiah baru

sebagai pengganti uang kertas lama dengan perbandingan nilai Rp1,- uang baru sama dengan

Rp1000,- uang lama. Penerbitan uang Rupiah baru saat itu ditujukan untuk mempersiapkan

terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

B.Keterkaitan RUU Perubahan Harga Rupiah Dengan Hukum Positif

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program Redenominasi

Rupiah, antara lain:

1. UUD 1945

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa bangsa Indonesia sangat menyadari

mengenai pentingnya stabilitas harga dan macam mata uang dalam rangka mencapai

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sehingga hal tersebut termasuk substansi

yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu dalam Penjelasan Pasal 23. Dalam

perkembangannya, setelah Amandemen IV UUD 1945 dimana Majelis Permusyawaratan

58

Rakyat memutuskan bahwa struktur UUD 1945 tidak lagi memuat Penjelasan melainkan

seluruh norma pengaturannya dimasukkan dalam batang tubuh, maka mengenai

pentingnya nilai mata uang tersebut diatur dalam Pasal 23 B yang berbunyi “macam dan

harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Mengingat bahwa struktur UUD

1945 setelah Amandemen IV tersebut tidak lagi memuat Penjelasan, dalam

pelaksanaannya, substansi yang diatur dalam Pasal 23 B tersebut dapat menimbulkan multi

tafsir. Apakah yang dimaksud dengan “macam dan harga mata uang” tersebut? Apabila

kita menilik pada naskah asli Penjelasan UUD 1945, disebutkan bahwa

“Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Ini

penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat.Uang terutama

adalah alat penukar dan pengukur harga.Sebagai alat penukar untuk memudahkan

pertukaran jual-beli dalam masyarakat.Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa

uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga

masing-masing barang yang dipertukarkan.Barang yang menjadi pengukur harga itu,

mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur.Oleh

karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang. Berhubung dengan

itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang

kertas, ditetapkan dengan undang-undang.”

Dari Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 sebelum Amandemen IV tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “harga mata uang” sebenarnya adalah nilai

uang rupiah tersebut. Namun demikian, dalam Pasal 23 B UUD 1945 setelah Amandemen

IV, pengaturan dalam normanya sangatlah sederhana sekali sehingga dapat menimbulkan

berbagai pernafsiran.

Pengertian “harga mata uang” tidak dikaitkan dengan pengertian kurs melainkan hanya

dikaitkan dengan denominasi atau harga nominal mata uang rupiah.Dalam hal penetapan

“harga mata uang” diartikan terkait dengan kurs dan hal tersebut ditentukan dengan

undang-undang maka prosesnya sangat sulit serta berpotensi menimbulkan kontroversi

politik sehingga dapat dikatakan penetapan harga dengan undang-undang tidak realistis

dan tidak mungkin dilaksanakan.Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa perumusan

dalam UUD 1945 tersebut tidak dimaksudkan untuk menetapkan “harga mata uang”

(dalam pengertian kurs) itu dengan undang-undang.

Terkait dengan hal tersebut, sebagai tindak lanjut amanat Pasal 23 B UUD 1945 dimaksud,

DPR bersama Pemerintah telah menyepakati adanya undang-undang yang mengatur

mengenai macam dan harga mata uang yang disahkan pada tanggal 28 Juni 2011 yaitu UU

No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

59

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

Aturan hukum yang mengatur tentang mata uang dan kejahatan terhadap mata uang di

Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru. Di masa pemerintahan Hindia Belanda,

pernah berlaku Indische Muntwet5 1912 sebagai undang-undang yang mengatur tentang

mata uang yang tetap diberlakukan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia

hingga dinyatakan dicabut pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara

(UUDS) 1950, yaitu dengan Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 tentang

Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru tentang

Mata Uang, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Mata Uang 1951. Selanjutnya,

dalam masa berlakunya UUDS 1950 itu terdapat 3 (tiga) undang-undang yang

diberlakukan yang menambah/mengubah Undang-Undang Mata Uang 1951, yaitu: (a).

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953 tentang “Penetapan Undang-Undang Darurat

tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru

tentang Mata Uang ( UU No. 20 tahun 1951)” Sebagai Undang-Undang; (b). Undang-

Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953”;

dan (c). Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1958 tentang “Penetapan UU Darurat No. 4

Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953” sebagai Undang-Undang.

Dalam perkembangannya, sebagai konsekuensi yuridis atas terjadinya perubahan

politik di dalam negeri, setelah diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang

menyatakan kembali kepada UUD 1945 dan kemudian dilanjutkan dengan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (yang

mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia), maka

keempat undang-undang itu dinyatakan tidak berlaku lagi6. Sebagai gantinya, beberapa

substansi pengaturan tentang mata uang diatur dalam Undang-Undang Bank Sentral,

sebagai berikut:

(a) Satuan hitung uang, yaitu bahwa: (i). Satuan hitung uang Indonesia adalah rupiah; (ii).

Rupiah Indonesia dibagi dalam 100 (seratus) sen;

(b) Kewajiban penggunaan uang rupiah, dengan perumusan bahwa setiap perbuatan yang

mengenai uang atau mempunyai tujuan pembayaran ataupun tujuan kewajiban yang Muntwet adalah istilah dalam bahasa Belanda. Munt berarti uang dan wet berarti Undang-Undang.

6 Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 (versi asli): “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”.

Sedangkan Pasal 54 ayat (2) UU Bank Sentral 1968 menyebutkan: “Dengan pengeluaran Undang-undang ini, maka

Undang-undang tentang Mata Uang Tahun 1951 dengan tambahan dan perubahannya dinyatakan tidak berlaku”.

60

harus dipenuhi dengan uang, jika dilakukan di Indonesia, dilakukan dalam uang

Rupiah Indonesia, kecuali jika dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan peraturan

perundang-undangan;

(c) Diberikannya hak tunggal kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan

uang logam;

(d) Penegasan bahwa uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah (legal tender) di

Indonesia;

(e) Kewenangan Bank Indonesia untuk menentukan jenis, nilai, dan ciri-ciri uang yang

akan dikeluarkan;

(f) Pembebasan uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dari bea meterai;

(g) Kewenangan Bank Indonesia untuk menyatakan uang yang tidak layak lagi untuk

diedarkan kembali.

Dasar pemikiran dari politik hukum pengaturan mata uang di dalam Undang-

Undang Bank Sentral adalah bahwa pada umumnya di berbagai negara fungsi dan tugas di

bidang pengelolaan dan pengedaran uang dilakukan oleh bank sentral yang memiliki hak

khusus untuk menerbitkan uang kertas dan uang logam (sebagai otoritas moneter).

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Secara eksplisit tidak ada pasal khusus yang mengatur secara khusus terkait dengan

kebijakan redenominasi namun mengungat adanya dampak kebijakan redenominasi

terhadap aspek kehidupan masyarakat (dalam hal ini konsumen) maka kebijakan

redenominasi perlu memperhatikan aspek perlindungan konsumen.

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dipegang oleh Presiden selaku Kepala

Pemerintahan, namun kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan dibidang moneter,

yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Keuangan Negara, sbb:

a. Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan

negara sebagai bagian kekuasaan Pemerintah, sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang

Keuangan Negara.

b. Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan keuangan

negara oleh Presiden meliputi kewenangan yang bersifat:

61

1) umum, yaitu dalam penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam

pengelolaan APBN; dan

2) khusus, yaitu dalam keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan

APBN.

Kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menkeu selaku pengelola fiskal dan wakil

pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, dan kepada

menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/barang, serta diserahkan kepada

gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah.Sesuai Pasal 6 ayat (2) huruf

d, kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara

lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

Prinsip dasar sebagaimana disebutkan di atas perlu dilaksanakan secara konsisten

agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya

mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan

profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Demikian pula untuk

mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia.

Pentingnya kejelasan pengaturan secara tegas dapat dilihat dalam Undang-Undang

Keuangan Negara, dimana kewenangan atas pengelolaan di bidang fiskal yang dikuasakan

kepada Menteri Keuangan dipisahkan dari kewenangan di bidang moneter, yang meliputi

antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Dengan terpisahnya kedua kewenangan dimaksud, dalam pelaksanaannya mutlak

diperlukan koordinasi yang baik dalam hubungan keuangan antara pemerintah dan Bank

Indonesia khususnya dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang saat ini merupakan

undang-undang yang memberikan dasar hukum pengaturan mengenai mata uang yang

berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 28 Juni 2011.

Dalam undang-undang tersebut telah diatur secara rinci mengenai seluruh kegiatan

pengeluaran dan pengedaran uang.

Terkait dengan perubahan harga Rupiah, dalam Undang-Undang Mata Uang juga

telah mengakomodir kemungkian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5), yang

62

berbunyi “Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang” dengan Penjelasan

“Selama Undang-Undang yang mengatur perubahan harga Rupiah belum diundangkan,

perubahan harga Rupiah tidak dapat dilakukan”. Dengan rumusan tersebut, maka

perubahan harga Rupiah atau redenominasi harus diatur dalam undang-undang.

Selain hal tersebut dalam pelaksanaan redenominasi juga perlu memperhatikan

berbagai hal sebagaimana diatur dalam UU No.7 Tahun 2011 khususnya terkait dengan

pengelolaan Rupiah. Dalam proses redenominasi akan dilakukan pencetakan uang Rupiah

baru dan pemusnahan uang Rupiah lama. Untuk melaksanakan hal tersebut harus

berdasarkan pengaturan sebagaimana dimaksud pada Bab IV mengenai pengelolaan

Rupiah pada UU No.7 tahun 2011.

Sesuai UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang pada Pasal 13 ayat 1 dinyatakan

bahwa ”Perencanaan dan penentuan jumlah Rupiah yang dicetak dilakukan oleh Bank

Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah”. Koordinasi tersebut diwujudkan dalam

bentuk pertukaran informasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah antara lain terkait

dengan asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana tentang macam dan

harga Rupiah, proyeksi jumlah Rupiah yang perlu dicetak serta jumlah Rupiah yang rusak

dan ditarik dari peredaran. Terkait dengan redenominasi maka sesuai dengan pasal tersebut

macam dan harga rupiah yang diterbitkan setelah redenominasi harus dikoordinasikan

antara Bank Indonesia dan Pemerintah sehingga berdampak optimal dalam mendukung

perekonomian. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 3 ayat 4 UU No. 7 tahun 2011.

Untuk Rupiah lama dalam program redenominasi akan dilakukan penarikan dan

pemusnahan Rupiah lama. Pelaksanaan kegiatan tersebut harus berdasarkan pada Pasal 18,

UU No.7 tahun 2011 dimana dinyatakan ”pemusnahan terhadap Rupiah yang ditarik dari

peredaran dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah”.

Koordinasi yang dimaksudkan diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara BI dan

Pemerintah mengenai teknis pelaksanaan pemusnahan Rupiah termasuk didalamnya

adalah berita acara pemusnahan Rupiah.

Selain itu bahan baku Rupiah dalam mencetak uang Rupiah baru juga perlu

dikoordinasikan dengan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 UU No.7

Tahun 2011. Koordinasi yang dimaksud adalah Bank Indonesia memberitahukan

spesifikasi teknis dan cirri bahan baku Rupiah kepada badan yang mengkoordinasikan

pemberantasan Rupiah Palsu dalam upaya mencegah dan memberantas Rupiah palsu,

demikian pula badan yang mengkoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dapat

63

memberikan masukan tentang aspek keamanan bahan baku Rupiah kepada Bank

Indonesia.

C.Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Substansi pengaturan dalam RUU Perubahan Harga Rupiah memiliki keterkaitan

dengan beberapa undang-undang lain yang telah ada. Guna menghindarkan masyarakat dari

pemahaman yang berbeda-beda untuk substansi/pengertian yang sama dan agar pengaturan

dalam RUU Perubahan Harga Rupiah tetap sejalan dengan undang-undang yang sudah ada,

maka penggunaan pengertian-pengertian dalam substansi RUU Perubahan Harga Rupiah

dilakukan dengan mengacu pada pengertian dalam undang-undang yang sudah ada. Beberapa

substansi yang terkait antara lain dalam Ketentuan Umum, pengertian Mata Uang dan

Pencabutan dan Penarikan yang mengacu pada Undang-UndangNomor 7 Tahun 2011 tentang

Mata Uang. Disamping itu, pengertian mengenai Pelaku Usaha yang diatur dalam Ketentuan

Umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Substansi mengenai pengecualian pencantuman kuotasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) tidak berlaku bagi usaha mikro.Yang dimaksud

dengan pengertian usaha mikro tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

64

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Kesadaran akan tantangan terhadap cita-cita untuk membangun sebuah bangsa

Indonesia yang adil dan makmur telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri negara

Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya. Dalam

rangka mewujudkan cita-cita tersebut, telah dicanangkan program pembangunan di segala

bidang secara bertahap dan berkesinambungan, termasuk di antaranya pembangunan

perekonomian. Berkaitan dengan hal itu, dalam Amandemen IV UUD 1945, ditegaskan

bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Salah satu sarana penting dalam menyokong pembangunan perekonomian tersebut

tentu harus didukung dengan adanya alat pembayaran yang berlaku dan diakui di seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, founding father

juga telah menyadari mengenai pentingnya alat pembayaran ini sehingga hal tersebut diatur

pula dalam UUD 1945 yang dalam perkembangannya setelah Amandemen IV, diatur dalam

Pasal 23 B yang berbunyi bahwa “macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-

undang”.

Rupiah memegang peranan sangat penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia,

mengingat fungsinya sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga serta alat

penyimpan nilai. Melalui fungsi Rupiah tersebut diharapkan perekonomian Indonesia akan

berjalan dengan baik untuk mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai

masyarakat adil dan makmur. Mengingat pentingnya fungsi Rupiah dimaksud, maka nilai

Rupiah senantiasa perlu dijaga kestabilannya dan daya belinya terhadap barang dan jasa.

Kestabilan dan kekuatan nilai Rupiah sebagaimana mata uang negara lain, menjadi

kebanggaan dan simbol kedaulatan perekonomian negara. Namun demikian, nilai uang dapat

menyusut disebabkan oleh akumulasi inflasi atau berbagai kejadian krisis. Menyusutnya nilai

uang antara lain tercermin dari sangat besarnya denominasi atau pecahan yang dipergunakan

dalam transaksi perekonomian. Dengan berjalannya waktu, bagi negara yang mengalami

pertumbuhan ekonomi yang kuat, denominasi mata uang yang terlanjur memiliki digit yang

sangat besar tidak lagi sesuai dengan gambaran kondisi fundamental perekonomian yang

65

sesungguhnya, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk mengembalikan nilai mata uang

agar sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian dan sekaligus merepresentasikan

kedaulatan perekonomian negara.

B. Landasan Sosiologis

Di dalam lalu lintas perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang

diartikan sebagai alat pembayaran yang sah. Pada kehidupan manusia sehari-hari, uang

merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri. Uang

adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-

barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang-utang. Uang juga sering dipandang sebagai

kekayaan yang dimiliki yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah tertentu utang

dengan kepastian dan tanpa penundaan.7 Lazimnya uang memiliki karakteristik acceptability

dan cognizability, stability of value, elasticity of supply, portability, durability, divisibility.

Sebagai sarana perekonomian, uang memiliki empat fungsi, yaitu:8 alat pertukaran, unit

penghitung, penyimpanan nilai dan standar untuk pembayaran tertangguhkan. Dengan

melihat fungsi utama mata uang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai alat tukar

dan penyimpan nilai, secara tidak langsung juga terkait dengan “status sosial” suatu negara

dalam pergaulan internasional. Sebagai alat tukar, nilai tukar uang yang rendah dibandingkan

dengan mata uang negara lain akan menyebabkan rasa tidak percaya diri bagi penduduk

negara tersebut.

Secara sosiologis, kepercayaan masyarakat atas mata uangnya sangat penting untuk

terus dijaga dan ditingkatkan dari waktu ke waktu untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Meningkatnya kepercayaan masyarakat pada mata uang negaranya akan menumbuhkan rasa

bangga dan percaya untuk memiliki dan menggunakan mata uangnya sendiri. Kuatnya

preferensi masyarakat untuk menggunakan mata uang negaranya sendiri akan sangat

bermanfaat bagi pembangunan ekonomi nasional serta mendukung efektivitas kebijakan

moneter bank sentral dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai mata uangnya.

Di mata masyarakat awam, kredibilitas suatu negara antara lain dinilai dari bagaimana

kekuatan nilai tukarnya. Dalam pandangan yang demikian, kredibilitas Indonesia dianggap

7Iswardono, 1999, Uang dan Bank, Cetakan Keenam, Edisi Keempat, BPFE, Jogjakarta, hlm. 4.

8Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah, Erlangga,

Jakarta, hlm. 2.

66

paling lemah diantara negara ASEAN lainnya. Pada saat ini, nilai tukar Rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, kecuali Vietnam.

Padahal, kredibilitas yang lemah dalam pandangan tersebut belum tentu diikuti oleh kondisi

relatif fundamental ekonomi yang lemah juga. Oleh karenanya, redenominasi Rupiah dapat

menjadi salah satu alternatif untuk menghilangkan pandangan tersebut. Kesetaraan nilai mata

uang diharapkan dapat meningkatkan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap mata

uangnya.

Untuk mengembalikan kebanggaan atas uang, yang berarti mengembalikan nilai uang

sesuai dengan gambaran kondisi perekonomian yang sesungguhnya, serta mengatasi

permasalahan inefisiensi dan kendala teknis dapat dilakukan dengan cara redenominasi, yaitu

menyederhanakan penulisan nominal pecahan mata uang, tanpa mengubah nilai daya beli

uang. Penyederhanaan mata uang Rupiah dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan

kepercayaan terhadap Rupiah. Pecahan mata uang Rupiah yang sederhana dapat

mencerminkan kesetaraan nilai mata uang dengan negara maju lainnya di kawasan.

Praktek redenominasi ini telah lazim dilakukan di banyak negara. Di Indonesia,

redenominasi mata uang Rupiah pernah dilakukan pada tahun 1965. Pada saat itu, Pemerintah

mengeluarkan uang Rupiah baru sebagai pengganti uang kertas lama dengan perbandingan

nilai Rp1,- uang baru sama dengan Rp1000,- uang lama. Penerbitan uang Rupiah baru saat itu

ditujukan untuk mempersiapkan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik

Indonesia.

Sejak tahun 1965 tersebut, denominasi mata uang Rupiah terus berkembang. Pada

tahun 1980-an, penulisan nilai ekonomi suatu barang/jasa/kontrak dagang relatif lebih

sederhana dibandingkan saat ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1980 harga satu buah teh botol

hanya sebesar Rp150,- sementara pecahan mata uang Rupiah terbesar pada saat itu adalah

Rp10.000,-. Namun saat ini, harga tersebut sudah menjadi Rp2.500,- dengan denominasi

Rupiah terbesar 100.000,-. Peningkatan harga barang tersebut disebabkan oleh inflasi, yang

juga akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan denominasi mata uang Rupiah yang

lebih besar. Periode krisis Asia 1998-1999 yang ditandai dengan tingginya laju inflasi

memperkuat kebutuhan akan denominasi Rupiah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pada

tahun 1999 Bank Indonesia menerbitkan Rupiah berdenominasi 100.000,- melengkapi

denominasi 50.000,- yang diterbitkan tahun 1993.

Pada sisi sistem pembayaran non tunai, jumlah digit (denominasi) yang semakin besar

akan menimbulkan kendala teknis. Dengan kondisi tersebut, penggunaan sistem pembayaran

internasional seperti Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)

67

dan Real Time Gross Settlement (RTGS) memerlukan penyesuaian mengingat sistem

pembayaran tersebut hanya dapat mengakomodir sampai dengan jumlah digit tertentu.

Demikian halnya untuk transaksi sehari-hari seperti transaksi di mesin pompa bensin atau

transaksi perdagangan yang menggunakan mesin kasir akan menimbulkan kendala teknis bila

nilai transaksi Rupiah yang terjadi semakin besar. Berbagai kendala tersebut diantaranya

menjadi penyebab kurang efisiennya perekonomian secara keseluruhan.

Di samping itu, dengan denominasi Rupiah yang besar, pelaku bisnis terutama yang

bergerak di bidang perhotelan, restoran, dan pasar swalayan dalam negeri banyak yang tidak

lagi mencantumkan angka ribuan dalam daftar harga dan cukup memberikan keterangan

bahwa “harga dalam ribuan rupiah” atau dengan menuliskan 3 (tiga) angka nol dalam tulisan

yang lebih kecil (misal: Rp3.000

). Hal tersebut dilakukan dalam rangka kepraktisan penulisan

dan memberikan efek psikologis bahwa harga barang/jasa yang ditawarkan relatif murah.

Di dunia pendidikan, denominasi mata uang Rupiah yang semakin besar menimbulkan

masalah dalam penerapan pelajaran berhitung di sekolah pada praktek transaksi sehari-hari

bagi siswa sekolah dasar. Pelajaran berhitung di sekolah dasar umumnya menggunakan angka

yang sederhana, misalnya angka puluhan, ratusan atau ribuan, sementara dalam praktek

transaksi sehari-hari pecahan mata uang rupiah yang digunakan menggunakan denominasi

besar seperti puluhan ribu bahkan ratusan ribu. Ketidakselarasan ini tentunya menyulitkan

siswa untuk menerapkan pelajaran berhitung pada praktek sehari-hari. Setelah redenominasi,

penggunaan jumlah digit mata uang Rupiah yang lebih sederhana akan mempermudah para

pelajar untuk memahami dan menerapkan pelajaran berhitung yang diajarkan di sekolah

karena denominasi yang digunakan sesuai dengan praktek transaksi sehari-hari. Hal ini

diharapkan akan mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.

Program redenominasi juga dapat menjadi awal berlakunya secara nasional kewajiban

pencantuman label harga bagi semua barang dan jasa yang diperdagangkan di seluruh wilayah

Republik Indonesia. Dalam praktek redenominasi, untuk mencegah risiko kenaikan harga

akibat pembulatan harga secara berlebihan yang akan mengakibatkan kenaikan inflasi,

umumnya diberlakukan kewajiban pencantuman label harga bagi semua pedagang, baik dalam

label harga dalam denominasi lama maupun harga yang telah disederhanakan atau dalam

denominasi baru (setelah dihilangkan beberapa angka nol). Kewajiban tersebut berlaku

beberapa bulan sebelum dicanangkannya program redenominasi secara resmi dan berlanjut

hingga masa transisi berakhir. Untuk menjaga ketertiban pelaksanaannya, pengaturan

kewajiban tersebut dan pelaksanaan monitoringnya dapat dituangkan dalam Undang-Undang

tentang Perubahan Harga Rupiah ataupun dalam peraturan kementerian yang berwenang.

68

Kewajiban pencantuman label harga tersebut yang berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat

Indonesia dapat menjadi simbol gerakan disiplin nasional.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal tersebut di atas, kebijakan redenominasi

mata uang Rupiah merupakan suatu kebutuhan bagi perekonomian Indonesia saat ini. Pada

hakekatnya, redenominasi hanya sebagai upaya untuk menyederhanakan

penyebutan/penulisan pecahan (denominasi) mata uang suatu negara. Selain itu, secara

prinsipil redenominasi berbeda dengan sanering. Sanering adalah pemotongan nilai uang

sedangkan harga-harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif

masyarakat menjadi menurun. Mengingat pengalaman traumatis kebijakan sanering yang

pernah dilakukan pada tahun 1959, maka perlu pemahaman masyarakat yang tepat tentang

perbedaan mendasar antara kebijakan redenominasi dan kebijakan sanering.

Ke depan, kondisi makroekonomi Indonesia yang menunjukkan perkembangan yang

semakin membaik dan kondusif menjadi pendukung keberhasilan pelaksanaan redenominasi.

Selama beberapa tahun terakhir, indikator makroekonomi utama seperti tingkat inflasi

cenderung menurun, nilai tukar Rupiah relatif stabil, serta laju pertumbuhan ekonomi semakin

menguat. Secara bersama-sama, kondisi ini telah berkontribusi terhadap ketahanan

perekonomian Indonesia, sebagaimana terbukti dari kinerja perekonomian Indonesia yang

dipandang kondusif di tengah krisis global 2008. Ketahanan ekonomi ini dapat dipandang

sebagai suatu tonggak periode perekonomian Indonesia yang menuju kepada stabilitas

makroekonomi. Dalam rangka menuju ke periode baru tersebut, kebijakan penyederhanaan

denominasi uang Rupiah dapat menjadi suatu simbol dimulainya era baru perekonomian yang

lebih stabil.

Meskipun redenominasi pernah dilakukan di Indonesia, pemahaman masyarakat

terhadap program redenominasi masih relatif terbatas. Dari survei awal yang dilakukan Bank

Indonesia pada tahun 2010, hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami konsep dan

tujuan redenominasi secara benar. Hal ini antara lain juga disebabkan oleh trauma sanering

yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga redenominasi dianggap sama

dengan sanering. Untuk itu, diperlukan upaya untuk memberikan pemahaman yang benar

mengenai program redenominasi. Hal ini diperlukan untuk memperoleh dukungan penuh dari

masyarakat sebagai salah satu prasyarat keberhasilan pelaksanaan program redenominasi.

Kunci keberhasilan program redenominasi bergantung pada beberapa prasyarat sebagai

berikut: (i) kondisi makroekonomi yang terjaga dan stabil, (ii) kondisi sosial politik yang

kondusif, (iii) dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang disertai sosialisasi yang intensif,

(iv) landasan hukum yang kuat, dan (v) pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat. Dalam kasus

69

Indonesia, kelima prasyarat itu diperkirakan akan terpenuhi dalam tahun 2011 dan tahun-tahun

selanjutnya.

Walaupun redenominasi mata uang Rupiah memberikan banyak manfaat bagi

perekonomian nasional, kebijakan ini juga membawa beberapa potensi risiko. Untuk itu,

persiapan pelaksanaan redenominasi Rupiah harus direncanakan dan dipersiapkan dengan

matang. Praktik redenominasi di beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi mata

uang, persiapan redenominasi membutuhkan waktu yang cukup lama dan memerlukan

koordinasi yang kuat antara pemerintah dan bank sentral.

c. Landasan Yuridis

Pasal 23B UUD 1945 mengamanatkan bahwa harga dan macam mata uang ditetapkan

dengan undang-undang. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga mata uang. Rupiah sebagai mata

uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah diterima dan dipergunakan

sejak kemerdekaan. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 23B tersebut di atas, pada saat ini telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam UU tentang

Mata Uang tersebut mengatur bahwa terkait dengan perubahan harga Rupiah diatur dengan

undang-undang. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan perubahan harga Rupiah adalah

redenominasi. Redenominasi pada prinsipnya merupakan penyederhanaan jumlah digit pada

denominasi mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar mata uang tersebut

terhadap harga barang dan/atau jasa. Redenominasi dilakukan dengan menyederhanakan

jumlah digit atau menghilangkan sejumlah angka nol dalam harga barang dan denominasi

mata uang.

Dalam pelaksanaannya perubahan harga Rupiah atau redenominasi akan diwujudkan

dalam pengeluaran dan pengedaran pecahan Rupiah baru yang dilakukan oleh Bank Indonesia

setelah ditetapkannya kebijakan redenominasi dengan undang-undang. Penetapan pecahan

Rupiah merupakan tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Undang-Undang Bank Indonesia) dan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Lebih lanjut, penetapan pecahan Rupiah tersebut secara

tidak langsung juga terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter, dalam rangka mencapai tujuan berupa kestabilan nilai tukar

mata uang. Namun demikian, walaupun kewajiban untuk menjaga stabilitas nilai mata uang

70

diberikan kepada bank sentral tetap diperlukan dukungan Pemerintah berupa sinergi kebijakan

dalam pelaksanaan tugas bank sentral guna menjaga stabilitas nilai mata uang tersebut. Hal ini

juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 tentang Mata Uang. Pada pasal 3 ayat (3)

disebutkan “Pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank

Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah” dan pasal 3 ayat (4) disebutkan “dalam hal

menetapkan pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia

berkoordinasi dengan Pemerintah memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat

pembayaran, dan/atau kebutuhan masyarakat. Jelas bahwa meskipun kewenangan di bidang

moneter adalah tugas Bank Indonesia, akan tetapi tetap harus bersinergi dengan Pemerintah

sebagai pengelola kebijakan fiskal.

71

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

UNDANG-UNDANG PERUBAHAN HARGA RUPIAH

A.Jangkauan dan Arah Pengaturan

Dari berbagai cara perubahan harga mata uang yang ada, jangkauan pengaturan dalam

naskah akademik ini adalah penyederhanaan junlah digit pada denominasi atau pecahan

Rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar Rupiah terhadap harga barang

dan/atau jasa, yang disebut dengan redenominasi Rupiah.

Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan penyebutan dan penulisan

denominasi atau pecahan Rupiah guna meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian dan

meningkatkan kredibilitas Rupiah.

Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah akan menjangkau dan mengikat

seluruh lapisan masyarakat terkait dengan penyederhanaan jumlah digit uang dan kewajiban

atau larangan yang harus dipatuhi. Dengan dilakukannya Redenominasi Rupiah, maka setiap

penggunaan atau penyebutan Rupiah dalam harga atau nilai barang dan/atau jasa; pencatatan

transaksi; peraturan perundang-undangan; keputusan pengadilan; perjanjian; surat berharga;

akta; dokumen keuangan; bukti pembayaran; dan dokumen lainnya, harus menggunakan atau

dinyatakan dalam Rupiah setelah Redenominasi.

B. Ruang Lingkup Pengaturan

Ruang lingkup pengaturan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah meliputi:

1. Ketentuan Umum

Dalam ketentuan umum diatur beberapa pengertian/batasan yang digunakan dalam RUU

tersebut, antara lain: Mata Uang, Perubahan Harga Rupiah, Rupiah Lama, Bank Indonesia,

Rupiah, Pelaku Usaha, Pencabutan dan Penarikan.

2. Materi yang Akan Diatur

a. Tujuan redonominasi Rupiah

Redenominasi Rupiah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian

dan kredibilitas Rupiah.

b. Redenominasi Rupiah

Pada prinsipnya kebijakan redenominasi Rupiah lebih bersifat beschikking

(keputusan) daripada regeling (peraturan).Mengingat sifatnya tersebut maka perlu

ditetapkan suatu tanggal tertentu yang menyatakan mulai berlakunya redenominasi.

72

Sejak tanggal tersebut penyederhanaan penyebutan denominasi (pecahan) mulai

berlaku, yaitu menghilangkan 3 angka nol, misalnya dari semula Rp1.000,- menjadi

Rp1,-. (diasumsikan bahwa penghapusan dilakukan terhadap 3 angka nol).

Penghilangan 3 angka nol dilakukan dengan pertimbangan:

1) Kesetaraan nilai tukar Rupiah dengan nilai tukar mata uang negara berkembang

(emerging market) yang setara dengan Indonesia.

2) Lebih sederhana dan mudah dipahami dalam mengkonversi ke dalam uang baru.

Sebagian pelaku ekonomi sudah menggunakan daftar harga yang menghapuskan 3

angka nol terakhir seperti hotel dan restoran.

3) Mendukung transaksi di masyarakat karena sebagian besar transaksi saat ini

menggunakan bilyet ribuan (47.09%)

4) Mengakomodir konversi harga barang yang lebih kecil dari 100 Rupiah lama.

c. Pelaksanaan Redenominasi Rupiah akan membawa konsekuensi terhadap

pengggunaan dan penyebutan Rupiah serta mempunyai implikasi yang sangat luas

terhadap aspek kehidupan masyarakat, baik implikasi hukum maupun teknis, antara

lain:

1) Setiap penyebutan dan kewajiban keuangan dalam seluruh peraturan perundang-

undangan, kontrak, dokumen hukum, surat-surat berharga dan dokumen tertulis

lainnya harus dibaca sesuai dengan ketentuan redenominasi.

2) Besarnya hak dan kewajiban keuangan dalam Rupiah antara para pihak dalam

suatu hubungan hukum (transaksi) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

redenominasi,

3) Ketentuan redenominasi akan menyebabkan penurunan nilai nominal asset

walaupun nilai materi asset tersebut tidak mengalami perubahan,

Mengingat luasnya implikasi kebijakan redenominasi tersebut, maka kebijakan

redenominasi harus merupakan komitmen nasional dan dari sisi hukum perundang-

undangan perlu pengkajian mengenai penuangannya dalam suatu produk hukum yang

mempunyai kekuatan memaksa sangat tinggi sehingga benar-benar ditaati oleh seluruh

komponen masyarakat sehingga tidak menimbulkan banyak perselisihan dalam

masyarakat.

Dengan dilakukan redenominasi yang pada prinsipnya menyederhanakan

penyebutan denominasi (pecahan) uang tanpa menurunkan daya beli uang terhadap

barang dan jasa karena harga barang dan jasa pun mengalami penyederhanaan, untuk

memberikan kepastian hukum maka penyederhanaan penyebutan nilai uang dan harga

73

barang serta jasa ditetapkan oleh undang-undang, oleh karena itu perlu diatur bahwa

“setiap harga atau nilai barang dan jasa dalam uang Rupiah Lama demi hukum

dikonversi menjadi harga atau nilai dalam uang Rupiah baru.” Dengan demikian,

berdasarkan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dinyatakan konversi

telah terjadi, dan tidak perlu dikeluarkan suatu produk hukum lain untuk menyatakan

konversi tersebut.

Demikian pula implikasi yang timbul dengan ditetapkannya redenominasi

khususnya yang berkaitan dengan penggunaan atau penyebutan uang Rupiah dalam

setiap peraturan perundang-undangan, transaksi, keputusan pengadilan, perjanjian,

surat berharga, dokumen-dokumen yang bernilai uang, perlu dinyatakan secara tegas

dalam Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah bahwa demi hukum

penggunaan atau penyebutan uang Rupiah harus dibaca dan dianggap telah dibuat

dalam uang Rupiah baru. Untuk itulah pengaturan redenominasi perlu dituangkan

dalam level undang-undang, mengingat terdapat norma yang mengatur perundang-

undangan lain untuk tunduk pada spirit norma dalam Undang-Undang tentang

Perubahan Harga Rupiah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nilai uang agar dibaca

dan dianggap telah dibuat dalam nilai uang hasil konversi. Sehingga tidak diperlukan

perubahan terhadap setiap peraturan perundang-undangan, transaksi, keputusan

pengadilan, perjanjian, surat berharga, serta dokumen-dokumen lainnya yang bernilai

uang.

d. Tata Cara Pembulatan

Penyederhanaan dengan menghilangkan 3 angka nol dapat menimbulkan angka

pecahan yang nilainya kurang dari 1 (satu) sen. Dalam hal kondisi itu terjadi maka

perlu dilakukan pembulatan.Sebagaimana lazimnya, pembulatan dilakukan hingga dua

digit di belakang koma (dalam satuan sen).Dalam hal digit ketiga di belakang koma

adalah pecahan angka 5 ke atas maka dibulatkan ke atas, sedangkan apabila pecahan di

bawah angka 5 dibulatkan ke bawah (dihilangkan). Hal ini perlu dilakukan antara lain

dalam merevaluasi aset-aset yang memiliki nominal di bawah Rp1.000 (dalam Rupiah

lama), termasuk pencatatan untuk surat berharga, pembayaran kupon dan bunganya.

Contoh:

1) Harga gula pasir yang tercatat sebelum redenominasi adalah Rp11.846 per kg,

maka setelah redenominasi harga gula tersebut menjadi Rp11,85 per kg.

74

2) Harga biskuit yang tercatat sebelum redenominasi adalah Rp1.963 per bungkus,

maka setelah redenominasi harga biskuit tersebut menjadi Rp1,96 per bungkus.

e. Pengeluaran dan Pengedaran Rupiah Setelah Redenominasi

Dengan dilaksanakannya redenominasi Rupiah, Bank Indonesia akan

menerbitkan dan mengedarkan uang kertas dan uang logam Rupiah baru sebagai alat

pembayaran yang sah di Indonesia. Dengan ditetapkannya redenominasi yang

menghilangkan 3 angka nol, membawa konsekuensi perlunya dikeluarkan uang

Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah yang pemberlakuannya bersamaan

dengan uang Rupiah lama untuk jangka waktu tertentu (selama masa transisi).Hal ini

ditujukan untuk mempermudah masyarakat membedakan antara uang Rupiah lama

dan Rupiah baru. Pencetakan uang Rupiah baru juga ditujukan untuk memenuhi

aspek efisiensi (antara lain dalam biaya pengadaan dan pencetakan uang). Selain itu

penambahan kata “baru” diperkirakan tidak berdampak besar terhadap peraturan

perundang-undangan, transaksi, keputusan pengadilan, perjanjian, surat berharga,

dokumen-dokumen yang bernilai uang, dokumen-dokumen yang memiliki akibat

hukum dan/atau memuat hak dan kewajiban, serta bukti pembayaran yang telah ada

sebelum redenominasi.

f. Pelaksanaan Redenominasi

Terdapat beberapa alternatif waktu penerapan kebijakan redenominasi, antara

lain tanggal 1 Januari 2014 dan 1 Januari 2015. Berdasarkan berbagai kondisi yang

ada, penetapan 1 Januari 2015 dipandang sebagai waktu yang lebih tepat sebagai

momen dimulainya kebijakan redenominasi di Indonesia. Penetapan tersebut didasari

oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1) Pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014

Faktor pendukung pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2013adalah:

a) Makroekonomi: kondisi makroekonomi yang cukup kondusif ditandai

dengan nilai tukar yang cukup stabil dan pertumbuhan ekonomi yang lebih

tinggi dari perkiraan.

b) Politik: kondisi politik mendukung waktu implementasi karena dilaksanakan

sebelum Pemilu tahun 2014.

c) Teknis: program redenominasi yang diimplementasikan lebih cepat dapat

mengurangi risiko ketidakpastian yang terjadi dibandingkan dengan

implementasi yang dijadwalkan lebih lama

75

Faktor penghambat pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014

adalah:

a) Makroekonomi :

Masih belum pulihnya perekonomian negara-negara maju terutama Amerika

Serikat dan negara-negara Eropa, sehingga berpotensi mempengaruhi

perekonomian global, termasuk Indonesia.

b) Politik : Mengingat tahun 2014 adalah tahun pelaksanaan Pemilu di

Indonesia, pada umumnya kondisi politik dalam situasi yang kurang kondusif

bagi pelaksanaan kebijakan redenominasi. Terdapat risiko pembahasan RUU

dengan Baleg dapat berlarut-larut karena berbagai kepentingan politik

sehingga tidak selesai tepat waktu.

c) Teknis (dengan asumsi UU Redenominasi belum diundangkan hingga 1

April 2013):

i. Waktu yang terlalu singkat untuk mempersiapkan infrastruktur

Teknologi Informasi dan Sistem Pembayaran

ii. Waktu yang trelalu singkat bagi persiapan pengadaan dan pencetakan

serta distribusi uang baru.

iii. Waktu yang terlalu singkat untuk sosialisasi secara intensif dan masif

sehingga berisiko timbul ketidaksiapan dan penolakan masyarakat atas

program redenominasi akibat proses komunikasi dan sosialisasi yang

kurang.

iv. Waktu yang singkat dapat mengakibatkan tambahan biaya persiapan

yang lebih besar

2) Pelaksanaan redenominasi pada 1 Januari 2015

Faktor pendukung pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2014 adalah:

a) Makroekonomi: kondisi makroekonomi cukup kondusif ditandai dengan

nilai tukar yang cukup stabil, laju inflasi yang terkendali dan pertumbuhan

ekonomi yang diperkirakan masih kuat.

b) Politik: Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah dan perangkat

aturan lainnya dapat dipersiapkan dengan lebih baik oleh Komite Nasional

dan Parlemen.

c) Teknis:

i. Penghematan biaya persiapan redenominasi tidak sebesar apabila

redenominasi mulai dilaksanakan dalam waktu yang lebih cepat.

76

ii. Lebih siapnya masyarakat atas penerapan redenominasi karena telah

terinformasi secara lebih baik.

iii. Infrastruktur TI dan SP dapat dipersiapkan dengan lebih baik.

Faktor penghambat pelaksanaan redenominasi pada tanggal 1 Januari 2015

adalah:

a) Makroekonomi: masih belum pulihnya perekonomian negara-negara maju

terutama US dan negara-negara Eropa, sehingga berpotensi mempengaruhi

perekonomian global, termasuk Indonesia.

b) Politik: berdekatan dengan Pemilu 2014, pemerintahan baru sehingga

memerlukan komunikasi dan proses politik dari awal untuk memperoleh

dukungan pemerintah baru.

c) Teknis: waktu implementasi program yang lebih lama dapat memicu

ketidakpastian di masyarakat apabila sosialisasi dan edukasi publik tidak

berjalan baik.

g. Masa Berlaku Uang Rupiah Lama dan Uang Rupiah Baru

Masa transisi uang Rupiah Lama dan uang Rupiah baru memerlukan waktu yang

tidak singkat. Masa transisi dalam pelaksanaan redenominasi diperlukan guna

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami

kebijakan redenominasi sehingga diharapkan implementasi redenominasi berjalan

lancar. Dalam masa transisi pelaksanaan redenominasi diberlakukan uang Rupiah

Lama dan uang Rupiah baru. Setelah masa transisi berakhir, uang Rupiah Lama akan

dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu perlu pengaturan mengenai batas waktu

uang rupiah lama dinyatakan tidak berlaku.

Diperkirakan Indonesia akan memerlukan waktu 3 tahun masa transisi dengan

beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1) Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara

kepulauan, yang memiliki ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan. Hal ini

berdampak terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengedarkan uang

baru pada masa transisi. Sarana transportasi dan infrastruktur yang belum begitu

memadai juga merupakan faktor penghambat yang mengakibatkan lamanya

waktu tersebut.

2) Kondisi demografis Indonesia dengan tingkat pendidikan penduduk yang

beragam dan tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara lain.

77

3) Memberi kesempatan yang cukup kepada masyarakat agar terbiasa dengan rupiah

baru.

4) Masa edar uang Rupiah yang berkisar antara 12 - 24 bulan menyebabkan uang

yang dicetak pada sebelum pelaksanaan redenominasi masih layak untuk

digunakan sampai dengan 1 - 2 tahun kemudian; dan

5) Memberikan dampak positif terhadap penghematan biaya pencetakan uang dan

pengadaan bahan uang karena BI tidak sekaligus melakukan penggantian terhadap

Uang Yang Diedarkan (UYD) karena masyarakat mempunyai waktu yang cukup

untuk melakukan transaksi dengan menggunakan uang Rupiah (lama).

Setelah masa transisi berakhir, Bank Indonesia mengeluarkan “uang Rupiah

baru tanpa kata baru” sebagai alat pembayaran yang sah yang berlaku bersamaan

dengan “uang Rupiah baru dengan kata baru” untuk jangka waktu tertentu sampai

dengan dinyatakan tidak berlakunya “uang Rupiah baru dengan kata baru”.

Dengan diterbitkannya uang Rupiah baru maka uang Rupiah Lama tetap berlaku

sampai dengan dicabut dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya

dengan diterbitkannya Uang Rupiah baru tanpa kata “baru” maka Uang Rupiah baru

dengan kata “baru” dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut dari peredaran

dan dinyatakan tidak berlaku.

Untuk Rupiah yang telah dicabut dari peredaran dapat ditukarkan di Bank

Indonesia dan/atau Bank Umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) paling lambat 10 Tahun terhitung sejak tanggal dicabut dari

peredaran.

Paralelisasi ini tidak hanya terbatas pada pengedaran uang saja, namun juga

dalam penulisan harga-harga barang.Masa paralelisasi dimaksudkan untuk membantu

masyarakat beradaptasi dengan “Rupiah Baru”.

Masa transisi redenominasi di negara lain seperti di Romania dan Turki relatif

singkat. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan demografis negara tersebut yang

relatif lebih terjangkau.

1) Romania

Romania mulai melaksanakan redenominasi pada tanggal 1 Juli 2005 dengan

mengganti mata uangnya dari 1000 ROL menjadi 1 RON. Pelaksanaan

rednominasi di Romania adalah sebagai berikut:

a) 1 Maret 2005 sampai dengan 30 Juni 2005

78

- Harga barang dan jasa dinyatakan dalam 2 satuan: RON dan ROL.

Ketentuan ini juga berlaku untuk kontrak yang sedang berjalan, nota

tagihan, display harga, biaya komisi, dan kurs jual beli di perbankan.

- Nilai tukar yang dipublikasikan oleh National Bank of Romania (NBR)

dinyatakan hingga empat angka desimal (USD 1 = RON 2,8429)

- Informasi untuk publik di pasar modal dinyatakan dalam 2 mata uang.

b) Sejak Mei 2005 NBR mendistribusikan RON kepada perbankan. NBR

mendistribusikan RON kepada perbankan. RON yang diterima sebelum

tanggal 1 Juli 2005 dicatat dalam off-balance sheet. Penarikan RON oleh

perbankan tersebut harus di back-up oleh jaminan yang dimiliki perbankan,

seperti obligasi pemerintah dan surat berharga bank sentral.

c) Setelmen transfer dana dalam ROL antar perbankan, NBR, atau institusi lain

dengan State Treasury harus sudah diselesaikan pada 29 Juni 2005. Sejak 1

Juli 2005, semua instrumen pembayaran hanya dinyatakan dalam RON.

d) ROL masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah hingga akhir

Desember 2006.

e) Tanggal 31 Desember 2006. Pada saat ROL masih menjadi legal tender,

angka yang tertera pada mesin kasir dinyatakan dalam RON.

f) Selama Desember 2006, ROL masih berfungsi sebagai alat pembayaran

namun perusahaan atau lembaga yang menerima tidak boleh

mensirkulasikannya lagi dan harus menyetorkannya ke bank. Bank juga tidak

boleh mensirkulasikannya lagi kepada masyarakat dan harus

menyetorkannya ke NBR.

g) Tanggal 1 Januari 2007, ROL sudah tidak dapat digunakan sebagai alat

pembayaran dan selama Januari 2007, ROL dapat ditukarkan di cabang-

cabang NBR, bank umum dan state treasury. Mulai tanggal 1 Februari 2007,

ROL dapat ditukarkan hingga waktu yang tak terbatas hanya di cabang-

cabang NBR atau melalui pos.

2) Turki

a) Undang-undang mengenai mata uang Turki diterbitkan pada 31 Desember

2004.

b) Turki mengimplementasikan program Redenominasi sejak tanggal 1 Januari

2005 dengan menghilangkan 6 digit angka nol mata uang Turkish Lira (TL)

dan diberlakukan matauang baru Yeni Turkish Lira (YTL) dengan 1 YTL=

79

1.000.000 TL. Sementara untuk uang logam diberlakukan kembali mata uang

pecahan Kurus, dimana 1 YTL=100 YKr (Yeni Kurus)

c) Sejak 1 Januari 2005, dokumen-dokumen keuangan lain diterbitkan hanya

dalam YTL dan argo taxi dalam YTL.

d) Merubah alokasi untuk 1 lot saham dari 1.000.000 TL= 1000 lembar saham

menjadi 1 YTL=1 unit.

e) Proses pengadaan dan pengedaran uang

- Penyiapan desain mata uang kertas dan logam sudah dilakukan sejak

tahun 2001 sementara pengadaan secara pararel (TL, YTL, dan YKr)

dilakukan sejak 2002.

- Untuk menghindari kebingungan dalam masa transisi, pecahan uang

yang memiliki daya beli yang sama diproduksi dalam warna dan desain

yang sama.

- Pada awal Mei 2008 dilakukan pengadaan uang kertas untuk konversi

tahap kedua dengan menhapus kata Yeni.

f) Sejak 1 Januari 2009, Turkish Lira diperkenalkan kembali (pengembalian

mata uang YTL ke TL) dengan masa pararelisasi 1 tahun.

g) Seluruh instrumen keuangan dan hukum yang dibuat dalam YTL sebelum 1

Januari 2009 berlaku dan dapat dicairkan sesuai dan sama nilainya dengan

TL.

h) Perjanjian-perjanjian yang disiapkan dalam YTL dinyatakan tetap berlaku

dengan nilai yang sama dengan TL.

i) Cek yang diterbitkan dan dicairkan sebelum 1 Januari 2009 dibayarkan

dengan YTL, namun untuk yang diterbitkan dan dicairkan setelah 1 Januari

2009 dibayarkan dengan TL.

j) Selanjutnya, sejak 1 Januari 2009 diberlakukan hal-hal sebagai berikut:

- Seluruh akun bank dalam YTL langsung dikonversikan dalam TL tanpa

perbedaan nilai.

- Buku tabungan atau nomor rekening tetap diberlakukan sama dan

seluruh transaksi baru harus dicatatkan dalam TL.

- Konversi ke TL tidak akan mempengaruhi nilai nominal dari saham dan

surat berharga.

- Harga-harga dalam dokumen (tagihan, bon, slip gaji, dsb) adalah dalam

TL dan Kr.

80

- Deklarasi-deklarasi (seperti pajak) disiapkan dalam TL dan Kr, meskipun

jika deklarasi tersebut adalah pajak periode 2008. Pembayar pajak harus

menyiapkan laporan akuntansinya dalam TL dan Kr.

- Harga yang tercantum pada daftar dan label harga barang dan jasa adalah

dalam TL. Label harga dalam YTL dan Ykr dapat digunakan sepanjang

2009.

- Tidak ada perubahan pada pengumuman atau nilai dari kurs valuta asing,

hanya nama dari mata uangnya yang berubah. Kode mata uang

internasional TRY 949-2 tidak diubah.

h. Kewajiban Pelaku Usaha

Pada awal diberlakukannya redenominasi akan terdapat masa transisi dimana

dalam masa tersebut terhadap barang dan/atau jasa akan diberlakukan uang Rupiah

Lama dan uang Rupiah baru. Untuk memberikan kepastian kepada masyarakat, maka

setiap pelaku usaha termasuk pedagang dan penyedia jasa wajib mencantumkan

kuotasi atau menyatakan harga dan/atau tarif barang dan jasa dalam uang Rupiah

Lama dan uang Rupiah baru secara bersamaan (dual price tagging). Dengan adanya

kewajiban tersebut, masyarakat yang akan melakukan transaksi mempunyai pilihan

untuk menggunakan uang Rupiah Lama atau uang Rupiah baru sebagai alat

pembayarannya. Namun demikian, usaha mikro dikecualikan dari kewajiban

pencantuman kuotasi harga dan/atau tarif barang dan jasa dalam uang Rupiah Lama

dan uang Rupiah baru secara bersamaan (dual price tagging). Hal ini dimaksudkan

untuk tidak membebani pelaku usaha mikro yang umumnya terdiri dari para pedagang

tradisional dan pedagang kecil. (pengecualiandual price tagging untuk pelaku usaha

mikro ini akan didiskusikan dengan kementerian yang menangani UMKM).

Kebijakan Redenominasi akan membawa konsekuensi pula terhadap perlunya

penyesuaian terhadap pencatatan, bukti transaksi dan laporan yang memuat nilai

rupiah. Untuk itu seluruh sistem pendukung pencatatan dan pelaporan terkait dengan

data dan transaksi keuangan harus disesuaikan dengan ketentuan redenominasi, dan

secara teknis seluruh sistem informasi khususnya yang terkait dengan nilai uang harus

disesuaikan.Penyesuaian tersebut penting untuk dilakukan, sehingga undang-undang

mewajibkan para pelaku usaha untuk melakukan penyesuaian.Mengingat kewajiban

penyesuaian tersebut tidak dapat dilakukan dengan serta merta, maka terhadap para

pelaku usaha diberikan tenggat waktu tertentu untuk melakukan penyesuaian.

81

i. Koordinasi dan Kerjasama

Kebijakan Redenominasi merupakan komitmen nasional oleh karena itu dalam

pelaksanaannya perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga/instansi

terkait.Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-Undang tentang Perubahan Harga

Rupiah diperlukan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh lembaga dan instansi

yang memiliki otoritas yang terkait dengan redenominasi.

3. Sanksi

Dalam rangka menjamin efektivitas implementasi Undang-Undang tentang

Perubahan Harga Rupiah, perlu diatur sanksi terhadap pihak-pihak yang tidak

melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang dimaksud,

dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum, baik kepentingan hukum orang,

warga masyarakat maupun negara. Norma sanksi yang diatur dalam undang-undang ini

lebih bersifat hukum pidana materil, yaitu norma larangan dan norma kewajiban.

Sementara itu stelsel pemidanaan yang digunakan adalah stelsel alternatif atau kumulatif,

atau alternatif kumulatif.

4. Penutup

Bahwa undang-undang mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dalam rangka

memenuhi azas publisitas peraturan perundang-undangan maka undang-undang ini

ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

82

BAB VI

PENUTUP

A.SIMPULAN

1. Program redenominasi mata uang Rupiah diartikan sebagai penyederhanaan jumlah digit

atau angka nol pada denominasi (pecahan) mata uang Rupiah dan sekaligus diikuti

penyederhanaan tampilan harga barang dan jasa sehingga tidak mengakibatkan penurunan

daya beli masyarakat. Praktek redenominasi dilakukan dengan menghilangkan beberapa

angka nol.

2. Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan redenominasi mata uang

Rupiah adalah: (i)redenominasi mata uang Rupiah tidak mengakibatkan menurunnya

nilai relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa; (ii)stabilitas

makroekonomi yang terjaga; (iii) tingkat inflasi berada dalam trend yang menurun; (iv)

kondisi sosial politik yang kondusif; (v) dukungan seluruh lapisan masyarakat; (vi)

transparansi dan komunikasi yang baik; (vii) landasan hukum yang kuat; dan (viii)

pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat.

3. Dengan semakin banyaknya jumlah digit yang digunakan dalam denominasi uang Rupiah

selama ini menimbulkan inefisiensi perekonomian seperti waktu dan biaya transaksi yang

cukup besar; kebutuhan pengembangan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai

di masa mendatang dengan biaya yang cukup signifikan; serta meningkatnya biaya

pengadaan uang baru dengan pecahan yang lebih besar untuk mengakomodasi kebutuhan

pembayaran tunai yang semakin tinggi.Demikian pula hambatan teknis yang seringkali

menyulitkan, terutama dalam hal penyajian dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan

penyelesaian transaksi. Dari sisi psikologis, digit yang besar dapat mengurangi

kebanggaan masyarakat terhadap mata uang Rupiah.

4. Kebijakan redenominasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi

perekonomian, meningkatkan kredibilitas Rupiah dan kebanggaan nasional terhadap

Rupiah, serta mengatasi berbagai kendala teknis dalam pelaksanaan transaksi keuangan,

sistem akuntansi dan sistem pencatatan statistik keuangan.

5. Mengingat implikasi pengaturan redenominasi sangat luas terhadap aspek kehidupan

masyarakat, maka produk hukum yang menjadi landasan hukum redenominasi seharusnya

berupa produk hukum yang mempunyai kekuatan memaksa yang sangat tinggi. Saat ini,

landasan hukum untuk melakukan redenominasi telah dicantumkan dalam Undang-

83

Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur bahwa perubahan harga

Rupiah diatur dengan undang-undang.

B. SARAN

1. Mengingat kebijakan redenominasi perlu segera dilaksanakan untuk mendukung efisiensi

perekonomian, mengatasi kendala teknis dan meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap rupiah serta untuk mendukung persiapan pembentukan Masyarakat Ekonomi

Asean, maka dengan mempertimbangan fundamental perekonomian saat ini yang cukup

kuat dan kondusif, perlu segera ditetapkan kebijakan redenominasi dalam bentuk undang-

undang dengan memperhatikan prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan

perundang-undangan.

2. Disamping pengaturan kebijakan redenominasi dalam bentuk undang-undang, terdapat

beberapa substansi yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan baik dalam

bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia maupun peraturan kementerian

lainnya.

3. Untuk lebih menyempurnakan penyusunan Naskah Akademik sebagai pendukung RUU

tentang Perubahan Harga Rupiah, maka perlu dilakukan kegiatan-kegiatan seminar,

diskusi bersama para pakar hukum dan ekonomi, serta sosialisasi kepada masyarakat.

84

Daftar Pustaka

Abrams, R. K. (1995). The Design and Printing of Bank Notes: Consideration When Introducing a

New Currency. IMF Working Paper WP/95/26.

Abrams, R. K., & Douglas, H. C. (1993). Introduction of a New National Currency: Policy,

Institutional, and Technical Issues. IMF Working Paper WP/93/49.

Acquah, P. A. (2006). Re-Denomination of Cedi. Presentation to Parliament of Ghana. Accra.

Aucremanne, L., & Cornille, D. (2001). Attractive Prices and Euro-Rounding Effects on Inflation

. Brussels: National Bank of Belgium Working Paper No. 17 .

Banco Central De Venezuela. (2007). What You Would Like to Know about Venezuelan

Currency Redenomination. Banco Central De Venezuela.

Bank Indonesia-Biro Riset Ekonomi - (Publikasi Internal), 2011, Outlook Ekonomi Indonesia

2011-2016.

Bank Indonesia, 2005, Sejarah Bank Indonesia Periode II : 1959-1966, Jakarta.

Bernholz, P. and Kugler, P. 2007, The Success of Currency Reforms to End Great Inflation: An

Empirical Analysis of 34 High Inflation, WWZ Working Paper, 1307.

Central Bank of The Republik of Turkey, 2004. Redenomination of Turkish Lira by Dropping Six

Zeros.

Dewati, Wahyu, Yanuarti, T, & Indawan F., 2008, Analisis Kemungkinan Redenominasi di

Indonesia. Jakarta, Bank Indonesia Working Paper No.24/2008

Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, Alih Bahasa Burhanuddin

Abdullah, Erlangga, Jakarta.

Iona, D., 2005, The National Currency Redenomination Experience in Several Countries - A

Comparative Analysis. International Multidisciplinary Symposium Universitaria Simpro .

Iswardono, 1999, Uang dan Bank, Cetakan Keenam, Edisi Keempat, BPFE, Jogjakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2002 Departemen Pendidikan Nasional.

85

Kiguel, M. A., & Liviatan, N. (1992).Stopping Three Big Inflation (Argentina, Brazil, and Peru).

WPS 999 - World Bank .

Law No. 348 on The Redenomination of Domestic Currency. (2004, July 14). Retrieved February

9, 2011, from Romania: http://www.polymernotes.org/other_country/ROU_law.htm

Mas, I., 1995, Things Governments Do to Money: A Recent History of Currency Reform

Schemes and Scams, Kyklos.

Mosley, L., 2005, Dropping Zeros, Gaining Credibility? Currency Redenomination and

Developing Nation.

Munoz, S. (1998). Central Bank Quasi-Fiscal Losses and High Inflation in Zimbabwe: A Note.

IMF Working Paper WP/98/07 .

National Bank of Romania.(2005). ANNUAL REPORT 2005.National Bank of Romania.

PP Republik Indonesia No. 27.(1965). tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru yang Berlaku

Sebagai Alat Pembayaran yang Sah Bagi Seluruh Wilayah Indonesia dan Penarikan Uang Rupiah

Lama dari Peredaran.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.