Mengkritisi UU No.2 Th. 2012 (Materi ALSA LC UI Table Discussion 2012)
-
Upload
luthfiprasetya -
Category
Documents
-
view
524 -
download
0
Transcript of Mengkritisi UU No.2 Th. 2012 (Materi ALSA LC UI Table Discussion 2012)
UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah “Mengkritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembebasan untuk Kepentingan Umum.” Dr. F.X. ARSIN, SH 01/10/2012
MENGKRITISI UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembebasan untuk Kepentingan Umum.
UU No. 2 Tahun 2012 sebetulnya sangat ditunggu-tunggu dari sudut bentuk produk
undang-undang karena selama ini bentuk produk ketentuan yang ada. Mulai dari PMDN
15/1975 tentang Tatacara Pembebasan Tanah, Keppres 55/1993, Permenag 1/1994,
Perpres 36/2005, Perpres 65/2006 jo. Peraturan Ka.BPN 3/2007, telah lama mengatur
tentang cara pembebasan tanah, akan tetapi sebetulnya hanya bersifat mengatur ke dalam
instansi yang memerlukan tanah, dan karenanya tidak bersifat mengikat ke luar terutama
bagi pemilik tanah.
Dengan undang-undang ini diharapkan karena bentuknya undang-undang maka akan
mengikat bagi kedua belah pihak yaitu mengikat baik bagi yang mempunyai hak atas
tanah juga bagi instansi yang membutuhkan tanah.
Permasalahan yang kemudian timbul dengan lain perkataan mengkritisi undang-undang
ini maka :
1. - Asas-asas apa yang patut dikemukakan berkaitan dengan pembebasan tanah?
- Point-point kritik apakah yang kiranya menjadi krusial terutama dilihat dari sudut
pandang konstitusi?
2. Prinsip-prinsip apakah yang harus ada dalam pengadaan tanah?
ASAS-ASAS YANG BERLAKU.
Asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang
diberikan oleh Hukum Tanah Nasional kepada para pemegang Hak Atas Tanah.
1. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun,
harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional.
2. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal) tidak
dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana.
3. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan
oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan-gangguan
dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak
Penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
4. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi
gangguan yang ada, yaitu :
a. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat : gugatan perdata melalui Pengadilan
Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati / Walikota-madya menurut
Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960;
b. Gangguan oleh Penguasa : gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan
Tata Usaha Negara.
5. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun
(juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki
seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai
penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya
yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk
menerimanya.
6. Bahwa sehubungan dengan apa yang tersebut di atas, dalam keadaan biasa, untuk
memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk
apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah
kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga
penggunaan lembaga “penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada
Pengadilan Negeri” seperti yang diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
7. Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk
penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang
lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan,
dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan
pemegang haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
8. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan
bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh
imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunan, dan
tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya
sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan.
9. Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya
diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah
sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik
dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.1
POTENSI BERTENTANGAN DALAM KONSTITUSI.
UU No. 2 Tahun 2012 berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 secara sederhana
dapat digambarkan sebagai berikut :
No Pasal
Keterangan UU No. 2 Tahun 2012 UUD 1945
1.
2.
3.
Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum
memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat.
[Pasal 9 ayat (1)]
Pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b sampai
dengan huruf r wajib
diselenggarakan Pemerintah dan
dapat bekerja sama dengan Badan
Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, atau Badan
Usaha Swasta. [Pasal 12 (10)]
*Dalam hal Pihak yang Berhak
menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian, tetapi
tidak mengajukan keberatan
dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(1), karena hukum Pihak yang
Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
[Pasal 28D]
*Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
[Pasal 33 (2)]
*Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
[Pasal 33 (3)]
*Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh
siapapun. [Pasal 28H ayat(4)]
*Setiap orang berhak atas
Kepentingan
pembangunan dan
kepentingan masyarakat
tidak dijelaskan,
sehingga akan
menimbulkan multi tafsir
dan membuat
ketidakpastian hukum.
Badan Usaha Swasta
tujuan utamanya
mencari keuntungan.
UUD 1945 menjamin
hak privat/milik
pribadi, sebagai hak
asasi.
1 Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., Komentar Atas Naskah Akademis dan Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta : Rapat Dengar Pendapat Umum
Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR-RI, 2011). Hlm.2.
Berhak dianggap menerima
bentuk dan besarnya Ganti
Kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1). [Pasal
39]
*Dalam hal Pihak yang Berhak
menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian
berdasarkan hasil musyawarah
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, Ganti Kerugian
dititipkan di pengadilan negeri
setempat. [Pasal 42 (1)]
*Pada saat pelaksanaan
pemberian Ganti Kerugian dan
Pelepasan Hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)
huruf a telah dilaksanakan atau
pemberian Ganti Kerugian sudah
dititipkan di pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1), kepemilikan
atau Hak Atas Tanah dari Pihak
yang Berhak menjadi hapus dan
alat bukti haknya dinyatakan
tidak berlaku dan tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara. [Pasal 43]
perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi. [Pasal 28G
ayat (1)]
LATAR BELAKANG TERBITNYA
Dalam latar belakang urgensinya diterbitkannya Rancangan Undang-Undang (RUU)
harus disebutkan sebagai berikut :
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 (Perpres 36/2005) maupun Peraturan Presiden
No. 65 Tahun 2006 (Perpres 65/2006) tergolong sebagai keputusan yang berentang
umum (besluiten van algemene strekking), karena memenuhi unsur umum, konkret,
dan berlaku terus menerus. Ditinjau dari fungsinya maka Perpres 36/2005 maupun
Perpres 65/2006 berfungsi menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan ditinjau dari materi muatannya
Perpres ini tergolong sebagai peraturan yang materi muatannya bersifat atribusian.
Perpres 36/2005 maupun Perpres 65/2006 merupakan peraturan yang berisikan
pedoman melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perpres ini tidak
mempunyai daya ikat keluar, tetapi justru kedalam sehingga yang wajib menaatinya
adalah pelaksana pengadaan tanah yang disebut sebagai Panitia Pengadaan Tanah,
sedangkan masyarakat yang tanahnya akan dilepaskan guna pembangunan proyek
untuk kepentingan umum tidak terikat pada ketentuan tersebut.
Dalam latar belakang lingkup pengadaan tanah tidak cukup hanya berhenti sampai pada
proses pemberian imbalan kepada yang berhak atas tanah tersebut. Perpres 36/2005
maupun Perpres 65/2006 sebagai suatu pedoman bagi pelaksanaan pengadaan tanah bagi
kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang terkena
dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.
Untuk itu ruang lingkup kegiatan pengadaan tanah harus meliputi pula pada proses
dimana mereka yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut
tetap terpelihara kesejahteraan hidupnya seperti semula, bahkan menjadi lebih baik
daripada sebelum dilakukannya proyek tersebut. Untuk itu kami merekomendasikan
untuk memperluas ruang lingkup proses pengadaan tanah menjadi suatu kegiatan yang
mengikutsertakan pihak yang berhak atas tanah, bangunan, tanaman serta benda-benda
lain yang ada diatasnya, termasuk pemukiman kembali dan pembinaan.2
MENGKRITISI ISTILAH KEPENTINGAN UMUM DALAM BEBERAPA
PRODUK KETENTUAN.
Persandingan “kepentingan umum” dalam Keppres, Perpu, dan UU No. 2/2012.
KEPPRES 55/1993 PERPRES 36/2005 PERPRES 65/2006 UU No. 2/2012
Pasal 1 angka 3 :
Kepentingan umum
adalah kepentingan
Pasal 1 angka 5 :
Kepentingan umum
adalah kepentingan
Pasal 1 angka 6 :
Kepentingan umum
adalah kepentingan
2 Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., Komentar Atas Naskah Akademis dan Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta : Rapat Dengar Pendapat Umum
Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR-RI, 2011). Hlm.7.
seluruh lapisan
masyarakat.
sebagian besar lapisan
masyarakat.
bangsa, negara, dan
masyarakat yang harus
diwujudkan oleh
pemerintah dan
digunakan sebesar-
besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Pasal 5 angka 1 :
Kegiatan
pembangunan yang
dilakukan dan
selanjutnya dimiliki
Pemerintah serta tidak
digunakan untuk
mencari keuntungan,
dalam bidang-bidang
antara lain sebagai
berikut :
a. Jalan umum,
saluran
pembuangan air;
b. Waduk, bendungan
dan bangunan
pengairan lainnya
termasuk saluran
irigasi;
c. Rumah Sakit
Umum dan Pusat-
pusat Kesehatan
Masyarakat;
d. Pelabuhan atau
bandar udara atau
terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau
sekolahan;
g. Pasar Umum atau
Pasar INPRES;
h. Fasilitas
pemakaman
umum;
i. Fasilitas
Keselamatan
Umum seperti
Pasal 5 :
Pembangunan untuk
kepentingan umum
yang dilaksanakan
Pemerintah atau
Pemerintah Daerah
meliputi :
a. jalan umum, jalan
tol, rel kereta api
(di atas tanah, di
ruang atas tanah,
ataupun di ruang
bawah tanah),
saluran air
minum/air bersih,
saluran
pembuangan air
dan sanitasi;
b. waduk, bendungan,
bendung, irigasi,
dan bangunan
pengairan lainnya;
c. rumah sakit umum
dan pusat
kesehatan
masyarakat;
d. pelabuhan, bandar
udara, stasiun
kereta api dan
terminal;
e. peribadatan;
f. pendidikan atau
sekolah;
g. pasar umum;
h. fasilitas
pemakaman
umum;
Pasal 5 :
Pembangunan untuk
kepentingan umum
yang dilaksanakan
Pemerintah atau
Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, yang
selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki oleh
Pemerintah atau
Pemerintah Daerah
meliputi :
a. jalan umum dan
jalan tol, rel kereta
api (di atas tanah,
di ruang atas tanah,
ataupun di ruang
bawah tanah),
saluran air
minim/air bersih,
saluran
pembuangan air
dan sanitasi;
b. waduk,
bendungan,
bendungan irigasi
dan bangunan
pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar
udara, stasiun
kereta api, dan
terminal;
d. fasilitas
keselamatan
umum, seperti
tanggul
Pasal 4 :
Tanah untuk
Kepentingan Umum
digunakan bagi
pembangunan :
a. pertahanan dan
keamanan
nasional;
b. jalan umum, jalan
tol, terowongan,
jalur kereta api,
stasiun kereta api,
dan fasilitas
operasi kereta api;
c. waduk,
bendungan,
bendung, irigasi,
saluran air minum,
saluran
pembuangan air
dan sanitasi, dan
bangunan
pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar
udara, dan
terminal;
e. infrastruktur
minyak, gas, dan
panas bumi;
f. pembangkit,
transmisi, gardu,
jaringan, dan
distribusi tenaga
listrik;
g. jaringan
telekomunikasi
dan informatika
antara lain tanggul
penanggulangan
bahaya banjir,
lahar lain-lain
bencana;
j. Pos dan
Telekomunikasi;
k. Sarana Olah Raga;
l. Stasiun penyiaran
radio, televisi
beserta sarana
pendukungnya;
m. Kantor
Pemerintah;
n. Fasilitas Angkatan
Bersenjata
Republik
Indonesia.
2. Kegiatan
pembangunan
untuk kepentingan
umum selain yang
dimaksud dalam
angka 1 yang
ditetapkan dengan
Keputusan
Presiden.
i. fasilitas
keselamatan
umum;
j. pos dan
telekomunikasi;
k. sarana olah raga;
l. stasiun penyiaran
radio, televisi dan
sarana
pendukungnya;
m. kantor Pemerintah,
pemerintah daerah,
perwakilan negara
asing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
dan atau lembaga-
lembaga
internasional di
bawah naungan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa;
n. fasilitas tentara
Nasional Indonesia
dan Kepolisian
Negara Republik
Indonesia sesuai
dengan tugas
pokok dan
fungsinya;
o. lembaga
permasyarakatan
dan rumah
tahanan;
p. rumah susun
sederhana;
q. tempat
pembuangan
sampah;
r. cagar alam dan
cagar budaya;
s. pertamanan;
t. panti sosial;
u. pembangkit,
transmisi,
distribusi tenaga
listrik.
penanggulangan
bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain
bencana;
e. tempat
pembuangan
sampah;
f. cagar alam dan
cagar budaya;
g. pembangkit,
transmisi,
distribusi tenaga
listrik.
Pemerintah;
h. tempat
pembuangan dan
pengolahan
sampah;
i. rumah sakit
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah;
j. fasilitas
keselamatan
umum;
k. tempat
pemakaman umum
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah;
l. fasilitas sosial,
fasilitas umum,
dan ruang terbuka
hijau publik;
m. cagar alam dan
cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/
Pemerintah
Daerah/desa;
o. penataan
permukiman
kumuh perkotaan
dan/atau
konsolidasi tanah,
serta perumahan
untuk masyarakat
berpenghasilan
rendah dengan
status sewa;
p. prasarana
pendidikan atau
sekolah
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah;
q. prasarana olahraga
Pemerintah/
Pemerintah
Daerah; dan
r. pasar umum dan
lapangan parkir
umum.
Catatan :
Ada batasan kriteria
kepentingan umum.
14 (empat belas)
jenis kegiatan.
Catatan :
Tidak ada batasan
kriteria
kepentingan
umum.
21 (dua puluh satu)
jenis kegiatan,
perluasan ruang
lingkup kegiatan.
Catatan :
Ada batasan
kriteria tetapi
berbeda dengan
Keppres karena
menyebutkan
“akan” dimiliki,
serta
menghilangkan
kriteria “tidak
digunakan mencari
keuntungan”.
7 (tujuh) jenis
kegiatan.
Catatan :
Tidak ada batasan
kriteria
kepentingan
umum.
18 (delapan belas)
jenis kegiatan.3
Ada beberapa hal yang menjadi concern dari Undang-Undang ini adalah :
1. KONSINYASI.
Kendala utama yang sering terjadi dalam proses pengadaan tanah adalah tidak
tercapainya kesepakatan antara pihak pemerintah dengan pihak pemilik hak atas
tanah. Hal ini dikarenakan pengadaan tanah sering dilakukan dengan saat terdesak
dan pihak pemerintah selalu menyatakan untuk kepentingan umum, maka pihak
pemerintah melalui panitia pengadaan tanah, selalu mengadakan ganti kerugian
secara sepihak dengan harga yang telah ditentukan, yang kemudian dilanjutkan
kepada Pengadilan Negeri setempat untuk konsinyasi.
Penerapan konsinyasi merupakan suatu cara dan/atau titik tengah yang harus
ditempuh untuk mengadakan tanah, namun hal ini menurut saya justru lebih
memperlihatkan adanya kesewenangan oleh pihak pemerintah yang sesukanya
menerapkan pengusiran dan/atau pengosongan lahan yang bersifat memaksa.
Sehingga proses konsinyasi tidak bersifat efektif dalam pengadaan tanah, hal ini
terlihat dari pihak pemerintah yang memberikan besaran uang ganti kerugian sebagai
3 Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., Anatomi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan
Sosiologis (Jakarta : 2012). Hlm.4.
konsinyasi melalui pengadilan negeri dan kemudian pihak pemerintah berpikir jikalau
kewajibannya telah selesai dan langsung menjalankan pembangunan dilahan tersebut.
Pengaturan mengenai lembaga konsinyasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer), Pasal 1381 menyatakan bahwa debitur dapat melunasi hutangnya
dengan menitipkan objek hutang ke Pengadilan Negeri dan/atau dengan cara
penawaran tunai, sehingga hutang debitur kepada kreditur dapat dihapuskan.
Sedangkan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 pada Pasal 10 ayat (2) mengatur
konsinyasi untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum merupakan hasil
pengadopsian dari KUHPer.
Kesimpulan dan Saran :
Menurut pendapat saya, konsinyasi tidaklah berjalan dengan efektif dalam hal
penerapannya pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebab pada
hakikatnya berbenturan dengan ketentuan hokum positif yang telah ada yakni
Pasal 1381 KUHPer karena saya beranggapan bahwa ketentuan konsinyasi yang
ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 dapat berjalan efektif jika diselaraskan
dengan pengaturan lembaga konsinyasi yang telah diatur dalam UU No. 2
Tahun 2012 dan KUHPer, sebab pada dasarnya prinsip konsinyasi yang ada
dalam system pengadaan tanah adalah hasil adopsi daripada KUHPer itu
sendiri khususnya Pasal 1381.4
2. Kerancuan antara pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah.
a. menabrak prinsip “hukum sebagai sistem”.
Jika dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengadaan tanah
sebelum UU No. 2/2012 yakni Keppres No. 55/1993 (“Keppres”) dan Perpres No.
36/2005 jo. No. 65/2006 (“Perpres”), konsepsi yang membedakan antara
pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah diterapkan sebagaimana
mestinya, UU No. 2/2012 meninggalkan konsepsi ini dengan tidak menyinggung
4 Hendrianto Jaya, Tugas Kritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Terhadap Peraturan
Yang Berkaitan Dengan Peraturan Berkaitan Lainnya (Jakarta : Fakultas Hukum Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia, 2012). Hlm.2.
sama sekali acara pencabutan hak atas tanah ketika musyawarah untuk mencapai
kesepakatan lokasi pembangunan maupun pemberian ganti kerugian menemui
kegagalan sedangkan lokasi tidak dapat dipindahkan. Semua keberatan/penolakan
pemegang hak atas tanah diselesaikan melalui lembaga peradilan dengan sama
sekali menafikan acara pencabutan hak atas tanah.
Dalam ilmu hukum, salah satu prinsip dasar adalah “hukum sebagai sistem”.
Secara ringkas artinya adalah bahwa “hukum itu merupakan tatanan, merupakan
satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang berkaitan
erat satu sama lain”. Sistem hukum itu bersifat kontinyu, sekalipun peraturan
berubah-ubah, namun sistemnya selalu sama, bersifat kontinyu,
berkesinambungan dan otonom (Sudikno Mertokusumo dalam “Mengenal
Hukum”, Liberty, Yogyakarta, 2003).
Dengan demikian, walaupun pengaturan terkait pengadaan tanah untuk
kepentingan umum berubah-ubah, tapi sistemnya selalu sama, yakni : jika tercapai
kesepakatan melalui musyawarah dengan pemegang hak atas tanah, maka rezim
pengaturannya adalah “Pengadaan Tanah”, tetapi bila segala cara melalui
musyawarah menemui kegagalan, jalan keluarnya adalah (jika kepentingan umum
menghendaki dan lokasi tidak dapat dipindah ke tempat lain) “Pencabutan Hak
atas Tanah”.
3. SANKSI.
Dalam Undang-Undang tidak dijumpai pasal (pasal) tentang sanksi. Undang-Undang
yang memberikan bobot kepastian hukum yang “lebih” kepada pihak yang
memerlukan tanah melalui pengetatan jangka waktu (seluruh proses pengadaan Tanah
tidak melebihi 2 (dua) tahun) itu tidak memuat ketentuan tentang sanksi.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
a. Keterlambatan pembayaran ganti kerugian.
b. Pengadaan tanah berlarut-larut atau tidak sesuai jadwal maupun perpanjangannya.
c. Pengadaan tanah dibatalkan.
d. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan perencanaan awal.
Sebagai perbandingan, di Malaysia ada late payment charges dengan denda 8%
(delapan persen) per tahun (Pasal 32 Land Acquisition Act 1960). Hal serupa ada juga
di Singapura (Pasal 41 Land Acquisition Act 1966).
4. Lain-lain.
4.1. Pengadaan Tanah Skala Kecil.
UU ini tidak memuat pengecualian penyelenggaraan pengadaan tanah untuk
kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (bandingkan dengan Keppres
dan Perpres). Hal ini akan merepotkan jika untuk pengadaan tanah yang
luasnya kurang dari 1 (satu) hektar dan dapat ditempuh perolehannya secara
langsung dengan pemegang hak atas tanah melalui jual beli, dan sebagainya,
justru akan merepotkan ketika harus ditempuh sesuai dengan prosedur yang
diatur dalam UU ini.
(Catatan : karena pengadaan tanah skala kecil ini tidak diatur dalam Undang-
Undang, maka hal tersebut tidak dapat dimuat dalam Perpres!!).5
5 Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., Anatomi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan
Sosiologis (Jakarta : 2012). Hlm.7
DAFTAR PUSTAKA.
Hendrianto Jaya, 2012. Tugas Kritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Terhadap Peraturan Yang Berkaitan Dengan Peraturan Berkaitan Lainnya. Tugas
tidak Diterbitkan. Jakarta. Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas
Indonesia.
Prof. Boedi Harsono, Edisi 2007. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan.
Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., 2012. Anatomi Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis. Jakarta: hlm. 4.
Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., 2011. “Komentar Atas Naskah Akademis dan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan”
Makalah yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, yang
diselenggarakan oleh DPR-RI, tanggal 2 Maret 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah, 2012. Jakarta.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.