AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - …karyailmiah.polnes.ac.id/images/Download-PDF/Arsip...

13
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Riset / 1537 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 1605 AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - PHENOMENOLOGY SUSTAINABILITY REPORTING KONSEP QUARDRANGLE BOTTOM LINE (QBL) DIMENSI ENVIRONMENTAL PERFORMANCE Muhammad Suyudi (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak Perusahaan sebagai organisasi bisnis, orientasi pada pengejaran atas laba (profit) selalu menjadi tujuan utama. Karena aspek ekonomis lebih dominan di banding aspek sosial hal ini berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologis. Fenomena ini disebut sebagai „krisis lingkungan‟. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami berbagai fenomena pada suatu entitas bisnis akan perlunya dihadirkan „sustainability reporting’. Paradigma penelitian ini adalah interpretif-fenomenologi. Teknik pengumpualn data melalui tahapan Getting in, Getting along, dan Logging the data. Analisis fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf Jerman Edmund Husserl (1859-1938), fenomenologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba menggambarkan apa yang tampak melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi hipotetis. Hasil penelitian adalah berbagai „fenomena‟. Fenomena dimaksud dihadirkan melalui konsep quardrangle bottom line (QBL). Dimana environmental performance yang dicapai cenderung negatip bagi kehidupan yaitu dampak dari kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia (entitas) karena menurunnya kesadaran dan tanggungjawab yang tidak saja pada sesama manusia namun juga pada lingkungan dan Pencipta. Kata Kunci: Sustainability Reporting, Interpretive-Fenomenology, Quardrangle Bottom Line Environmental Performance. PENDAHULUAN Stop global warming! Begitulah kampanye intensif yang dilakukan berbagai lembaga swadaya masyarakat karena kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Kalangan industri adalah sasaran tembak kampanye tersebut. Bisa dipahami memang, sebab selama ini kesadaran kalangan bisnis terhadap lingkungan sangat rendah. Kalaupun ada yang membuat laporan tentang lingkungan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan diperlukan komitmen yang tinggi dari entitas untuk menjalankan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Kondisi lingkungan termasuk di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, salah satu masalah lingkungan hidup dimaksud adalah pemanasan global (global warming). Menurut Hilman (2007: 17), fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1900-an, di mana revolusi industri di Eropa dan Amerika dimulai. Perkembangan revolusi industri yang sangat pesat, dan dunia mulai diperkenalkan dengan produksi masal. Pada masa ini dampak pada lingkungan mulai terasa, namun hanya pada skala lokal, dan menurunnya kualitas lingkungan hidup hanya dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di sekitar industri. Industri tumbuh pesat dan meluas ke seluruh dunia. Industri yang mulanya memberikan dampak lingkungan pada daerah sekitarnya, sekarang menimbulkan dampak lingkungan yang dapat dirasakan di seluruh dunia. Dampak kegiatan industri seperti, penyebaran penyakit, sulitnya air bersih, global warming, pencemaran lingkungan dan

Transcript of AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - …karyailmiah.polnes.ac.id/images/Download-PDF/Arsip...

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1537 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - PHENOMENOLOGY SUSTAINABILITY REPORTING KONSEP QUARDRANGLE BOTTOM LINE

(QBL) DIMENSI ENVIRONMENTAL PERFORMANCE

Muhammad Suyudi

(Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda)

Abstrak

Perusahaan sebagai organisasi bisnis, orientasi pada pengejaran atas laba (profit) selalu menjadi tujuan utama. Karena aspek ekonomis lebih dominan di banding aspek sosial hal ini berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologis. Fenomena ini disebut sebagai „krisis lingkungan‟. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami berbagai fenomena pada suatu entitas bisnis akan perlunya dihadirkan „sustainability reporting’.

Paradigma penelitian ini adalah interpretif-fenomenologi. Teknik pengumpualn data melalui tahapan Getting in, Getting along, dan Logging the data. Analisis fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf Jerman Edmund Husserl (1859-1938), fenomenologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba menggambarkan apa yang tampak melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi hipotetis. Hasil penelitian adalah berbagai „fenomena‟. Fenomena dimaksud dihadirkan melalui konsep quardrangle bottom line (QBL). Dimana environmental performance yang dicapai cenderung negatip bagi kehidupan yaitu dampak dari kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia (entitas) karena menurunnya kesadaran dan tanggungjawab yang tidak saja pada sesama manusia namun juga pada lingkungan dan Pencipta.

Kata Kunci: Sustainability Reporting, Interpretive-Fenomenology, Quardrangle Bottom Line

Environmental Performance.

PENDAHULUAN

Stop global warming! Begitulah kampanye

intensif yang dilakukan berbagai lembaga swadaya

masyarakat karena kondisi lingkungan yang

semakin memprihatinkan. Kalangan industri adalah

sasaran tembak kampanye tersebut. Bisa dipahami

memang, sebab selama ini kesadaran kalangan

bisnis terhadap lingkungan sangat rendah.

Kalaupun ada yang membuat laporan tentang

lingkungan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan

diperlukan komitmen yang tinggi dari entitas untuk

menjalankan tanggungjawab sosial dan lingkungan.

Kondisi lingkungan termasuk di Indonesia

saat ini cukup memprihatinkan, salah satu masalah

lingkungan hidup dimaksud adalah pemanasan

global (global warming). Menurut Hilman (2007: 17),

fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun

1900-an, di mana revolusi industri di Eropa dan

Amerika dimulai. Perkembangan revolusi industri

yang sangat pesat, dan dunia mulai diperkenalkan

dengan produksi masal. Pada masa ini dampak

pada lingkungan mulai terasa, namun hanya pada

skala lokal, dan menurunnya kualitas lingkungan

hidup hanya dapat dirasakan oleh mereka yang

tinggal di sekitar industri.

Industri tumbuh pesat dan meluas ke

seluruh dunia. Industri yang mulanya memberikan

dampak lingkungan pada daerah sekitarnya,

sekarang menimbulkan dampak lingkungan yang

dapat dirasakan di seluruh dunia. Dampak kegiatan

industri seperti, penyebaran penyakit, sulitnya air

bersih, global warming, pencemaran lingkungan dan

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1538

lainnya menjadi permasalahan dunia yang tiada ber-

ujung, dampak dari tujuan yang mengabaikan

tatanan lingkungan dan sosial (Chwastiak dan

Young, 2003, Poerwanto, 2007, dan Daniri, 2008).

Manusia dan aktivitasnya (entitas) telah

melakukan daya ubah cukup jauh di luar ke-

mampuan daya dukung planet bumi, dan berbagai

peristiwa alam telah kita rasakan sebagai akibat dari

kerusakan alam. Fenomena ini merupakan masalah

serius, masalah kelangsungan hidup generasi yang

akan datang sehingga perlu ditemukan solusinya

oleh semua pihak dan oleh semua disiplin ilmu, ter-

masuk disiplin ilmu akuntansi.

Berbagai fenomena alam tak lepas dari

peran manusia (dunia bisnis) yang terus meng-

eksploitasi alam (resources) demi pencapaian

kepentingan ekonomi (profit) dengan mengabaikan

aspek sosial dan lingkungan. Konteks ini, Rahman

(2008) menyatakan bahwa konsep “paradigma

sustainability” dalam aktivitas bisnis tidak dapat dita-

war lagi. Keseimbangan aktivitas sosial, ekonomi

dan lingkungan sepatutnya mendapatkan tempat

yang memadahi dalam setiap aktivitas bisnis entitas.

Eksploitasi alam yang didasarkan pada

kepentingan ekonomi semata, pada saatnya akan

menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis.

Kondisi seperti ini disebut sebagai “krisis ling-

kungan”, yakni kesalahan dalam cara pengelolaan

sumber kebutuhan hidup manusia. Kegiatan entitas

yang berorientasi pada pencapaian laba setinggi-

tingginya tidak lagi menghiraukan dampak sosial

yang bakal terjadi pada alam. Kini tindakan ini harus

dibayar mahal oleh generasi sekarang dan generasi

yang akan datang. Capra (2004: 3) mengungkap-

kan:

Pada awal dua dasawarsa terakhir abad

keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam

suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis

kompleks dan multidimensional yang segi-seginya

menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan

mata pencaharian, kualitas lingkungan dan

hubungan sosial, ekonomi (akuntansi), teknologi,

dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi

intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang

belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan

sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita

dihadapkan pada catatan kepunahan ras manusia

yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet

ini.

Para ekonom [akuntan] memandang,

peningkatan produksi, perbaikan jalur distribusi dan

meningkatnya pola konsumsi masyarakat global

berarti peningkatan utilitas dan kesejahteraan

(welfare) yang diterima anggota masyarakat. Namun

kenyataannya, ada biaya yang harus ditanggung

dalam dimensi jangka panjang. Aktivitas produksi

tidak mencantumkan biaya sosial, biaya kerusakan

lingkungan hidup dan biaya masa depan dalam per-

hitungan akuntansinya (Ismawan, 1999: 99).

Sejalan berkembangnya konsep tanggung

jawab sosial dan lingkungan, Elkington (1997)

dengan teori TBL (Triple Bottom Line) pada bukunya

“Cannibals with forks, the triple bottom line of

twentieth century business”. Elkington mengem-

bangkan konsep TBL dalam istilah economic

prosperity, environmental quality dan social justice.

Dia berpandangan, „jika sebuah entitas ingin

mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka

harus memperhatikan triple-P’. Sustainability meru-

pakan pijakan bersama bagi kepentingan bisnis,

oleh Savitz dan Weber, (2006), dan Lako (2008)

dianggap sebagai the sustainability sweet sport,

sweet sport adalah tempat di mana pengejaran atas

laba bercampur dengan pengejaran atas kebaikan

bersama.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

(PSAK) No.1 2007, menyatakan bahwa laporan

sustainability diposisikan sebagai laporan tambahan

atas laporan keuangan. Laporan keuangan kon-

vensional yang kita kenal lebih menyajikan informasi

tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan,

beban, laba-rugi dan arus kas. Sedang laporan

keberlanjutan (sustainable reporting) ialah pelaporan

mandiri tentang kebijakan dan dampak atas kinerja

lingkungan, sosial dan ekonomi dari suatu korporasi

dan produknya. Perlunya dihadirkan laporan ini

untuk menunjukkan pentingnya dilakukan pemba-

ngunan berkelanjutan sebagai komitmen akan keles-

tarian dan kepedulian terhadap berbagai fenomena.

Laporan sustainability dengan konsep

quardrangle bottom line merupakan alternatif bentuk

laporan akuntansi yang tidak hanya menyajikan

laporan berupa angka-angka (materi). Namun juga

mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan

dicapai, baik itu pencapaian positip maupun negatif

dampak dari kegiatan ekonomi perusahaan.

Berangkat dari asumsi-asumsi di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk memahami fenomena

pada suatu entitas akan perlunya dihadirkan laporan

keberlanjutan dari konsep quardrangle bottom line.

PEMAHAMAN KUTUB-KUTUB PARADIGMA

Sebagai alat, model penelitian di bidang

ilmu pengetahuan telah mengalami pergeseran

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1539 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

dramatik dan revolusioner. Cooper dan Hooper,

(1990), mengatakan „in accounting, research based

on the alternative paradigm emerged at the end of

1970s and 1980s’. Ungkapan ini menyiratkan bahwa

penelitian dibidang akuntansi telah bergeser,

metodologi ilmu pengetahuan akuntansi (sosial)

yang dulu mengandalkan “satu paradigma” tidak

lagi dapat diandalkan untuk mampu menjawab

semua research question.

Babak baru dalam studi akuntansi pun mulai

bermunculan dan bergeser dengan menggunakan

metode dan tujuan studi yang baru. Metodologi

telah menjadi pengimpor dari banyak disiplin ilmu

sosial. Metodologi itu meliputi Symbolic

Interactionism, Ethnomethodology, Marxism, Haber-

masism dan Critical theory, Gidden’s Structuration,

Gramscian concept, dekonstruksi Derrida,

Weberian, dan Foucouldian Perspective (Sukohar-

sono, 1998). Semua metodologi ini diadopsi para

peneliti akuntansi untuk mengkritisi studi akuntansi

yang sebelumnya dianggap menggunakan sudut

pandang tradisi onal yang dikenal dengan istilah

Positivism.

Perkembangan teori akuntansi positip

menjadi pesat (menggurita) laksana jamur yang tum-

buh di tempat lembab, kemudian menjadi dominan

dalam penelitian akuntansi (sosial), disebut sebagai

aliran arus utama (mainstream), dan penulis

menggunakan istilah aliran “kanan”. Istilah “kanan”

karena dalam terminologi filsafat modern telah

melembaga pemikiran oposisi biner, yang

menelorkan dikotomi antara “kanan” dan “kiri”.

Pemikiran modern menganggap bahwa “kanan”

selalu dalam posisi di atas (dominan), sementara

“kiri” pada posisi di bawah (marginal). Dalam

pandangan ekstrim bahwa paham positip (inti ajaran

modernitas) mempunyai sifat saling meniadakan

(mutually exclusive) pada dua hal yang berbeda,

misalnya paham ini hanya mengambil sifat obyektif

dan mengeliminasi sifat subyektif dalam rangka

mendapatkan ilmu pengetahuan yang obyektif

(Triyuwono, 2004).

Pandangan beda dari Burrell dan Morgan

(1979: 22) dengan membuat 2 (dua) asumsi tentang

sifat dasar ilmu pengetahuan sosial dan masyarakat,

meliputi dimensi subyektif-obyektif yang mene-

kankan pada sifat dasar ilmu pengetahuan dan

dimensi regulasi perubahan radikal yang lebih

menekankan pada sifat dasar masyarakat. Asumsi

tentang sifat dasar ilmu pengetahuan sosial tersebut

berkaitan dengan ontologi, epistemologi, sifat

manusia, dan metodologinya. Kedua dimensi

digabung dan membuat empat paradigma dalam

ilmu sosial (termasuk akuntansi). Paradigma di-

maksud sebagaimana gambar 01 berikut:

Berdasarkan keempat paradigma di atas,

semua disiplin ilmu sosial, termasuk akuntansi,

dapat dianalisis dengan asumsi meta-teori tentang

sifat dasar ilmu pengetahuan dengan dimensi

subyektif-obyektif, dan tentang sifat dasar masyara-

kat dengan dimensi regulasi/perubahan radikal.

Pergeseran paradigma tidak hanya menghendaki

suatu perluasan dalam persepsi tetapi juga

menyangkut nilai-nilai. Menarik untuk ditelaah

hubungan antara perubahan pemikiran dengan

perubahan nilai-nilai.

Paradigma Kualitatif–Interpretif–Fenomenologi:

Sebuah Metodologi Penelitian

Penelitian kualitatif adalah teropong atas

fenomena sosial (khususnya akuntansi) dengan

berbagai cara pandang (teropong), warna, bentuk,

macam, perilaku dan rasa, misalnya dengan aliran

konstruktivis, interpretif, feminis, postmodernis,

strukturalis, teori kritis, dekonstruktivis dan masih

banyak yang lainya (Sukoharsono, 2006).

Paradigma penelitian kualitatif mengungkapkan

bahwa hakikat kenyataan bersifat jamak, dibentuk,

dan merupakan keutuhan. Hubungan antara peneliti

dengan yang diteliti aktif bersama tidak dapat dipi-

sahkan, bersifat ideografik, dan terikat dengan nilai-

nilai (Moleong, 2006: 51).

Selama ini penelitian di bidang akuntansi

didominasi oleh arus utama (mainstream) yang

menggunakan metode kuantitatif antara tahun 1960-

an dan 1970-an. Tetapi pada akhir tahun 1970-an

dan 1980-an penelitian akuntansi sudah banyak

menggunakan jalan alternatif dalam melihat

fenomena akuntansi (menggunakan metode

kualitatif). Pada penelitian ini penulis menawarkan

jalan alternatif dalam melihat fenomena praktik

Gambar 01: Empat Paradigma Penelitian Kualitatif

Sumber: Burrell dan Morgan (1979: 22)

Radical Change

Radical Humanis Radical Structuralis

Regulation

Interpretive Fungtionalist

Objective View Subjective View

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1540

akuntansi. Jalan alternatif dimaksud ialah meng-

gunakan pendekatan Interpretif–fenomenologi

(phenomenology approach)

Fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf

asal Jerman Edmund Husserl (1859-1938), Feno-

menologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba

menggambarkan apa yang tampak melalui peng-

alaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-peng-

andaian awal maupun spekulasi hipotetis. Mottonya

adalah “kembali kepada obyek itu sendiri” (zu den

sachen selbst), obyek harus diberikan kesempatan

untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologi guna

mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau)

(Letiche, 2006).

Pokok pikiran Husserl yang menjadi dasar

fenomenologi modern memberikan penekanan ter-

hadap proses abstrak dari kesadaran merangsang

para pemikir untuk mencari tahu bagaimana proses

mental seorang individu dapat membentuk hakikat

dunia sosial (praktik akuntansi). Dunia tidak dilihat

sebagai sesuatu yang dihadirkan kepada kesadaran

tetapi diciptakan dari proses subyektif pikiran

manusia. Peneliti diajak melepaskan semua peng-

andaian yang mungkin salah ketika sedang melihat

sesuatu.

Teknik Pengumpulan Dan Analisis Data

Teknik pengumpualn data dilakukan melalui

tahapan berikut: 1) Proses memasuki situs/lokasi

penelitian (getting in), 2) Proses bersosialisasi

selama berada dalam situs/lokasi penelitian (getting

along), dan 3) Proses pengumpulan data (logging

the data). Selama proses berlangsung informan

merupakan sumber informasi terpenting dalam

penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan

melalui interview, wawancara atau dialog formal dan

non formal. Demikian juga data sekunder lain untuk

melengkapi kecukupan informasi yang dibutuhkan.

Proses analisis data selama penelitian

dilakukan paling tidak ada 3 (tiga) tahapan utama

yang saling terkait, yaitu reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan. Kegiatan ini

sebagai sebuah jalinan sebelum, selama, dan se-

sudah tahapan pengumpulan data dalam bentuk

yang sejajar (Miles dan Huberman, 1992:19). Tiga

jenis kegiatan analisis data dan kegiatan pengum-

pulan data tersebut merupakan proses siklus yang

interaktif. Dari data yang berhasil dikumpulkan

kemudian dilakukan analisis data dengan meng-

gunakan metode analisis fenomenologi.

TINJAUAN AKUNTANSI : FENOMENA LAPORAN

KEUANGAN KONVENSIONAL

Laporan keuangan konvensional me-

rupakan media yang penting untuk menilai prestasi

dan kondisi ekonomis suatu perusahaan (Harahap

2004: 105). Bagi para analis yang terbatas untuk

melakukan pengamatan langsung, laporan ini akan

bermanfaat sebagai informasi tentang keadaan

entitas. Laporan keuangan yang menghadirkan

informasi akan menjadi bahan analisis bagi para

analis untuk pengambilan keputusan, karena

laporan ini mencerminkan posisi keuangan entitas,

hasil usaha entitas dalam suatu periode, dan arus

kas dalam periode tertentu.

Penyajian yang wajar dari laporan keuangan

sebagaimana dalam pernyataan kerangka dasar

penyusunan dan penyajian laporan keuangan (IAI

2007), mengandung arti bahwa laporan keuangan

sering dianggap menggambarkan pandangan yang

wajar atau menyajikan dengan wajar, posisi

keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan

suatu entitas. Sebagaimana penjelasan dalam

PSAK No. 1 paragraf 10 tentang kewajaran dalam

penyajian laporan keuangan (IAI, 2007), yang

berbunyi:

Laporan keuangan harus menyajikan

secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan,

perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan

dengan menerapkan PSAK secara benar disertai

pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam

catatan atas Laporan Keuangan. Informasi lain tetap

diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang

wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak

diharuskan oleh PSAK.

Gambar 02. “Once I Switched Over To Right Brain Thinking, My Accounting has Became Much More Creative” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com

Pada laporan keuangan konvensional,

penyajian secara wajar atas posisi keuangan, kinerja

keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas lebih

menggambarkan pada pencapaian dari sudut

pandang interen entitas (materi/laba). Sementara

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1541 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

entitas tidak bekerja pada ruang hampa (vacuum)

tanpa keterlibatan komunitas dan lingkungannya.

Konsep demikian sudah saatnya dikoreksi. Menurut

Triyuwono (2006: 107) akuntansi mainstream

dengan kepala „ego‟nya direfleksikan dalam bentuk

konsep income. Dengan ego yang tertanam dalam

dirinya, praktik akuntansi menekankan terciptanya

income bagi pemegang saham. Pandangan ini tidak

lain ialah konsep entity theory. Di mana Kam (1990:

307-8) mengatakan:

Bagi entity theory, penekanan dilakukan

pada penentuan income, dan oleh karena itu laporan

laba-rugi lebih penting dibanding dengan neraca.

Penekanan pada income mempunyai dua alasan:

(1) equityholders terutama mempunyai kepentingan

pada income, karena jumlah ini menunjukkan hasil

investasi mereka dalam periode tersebut; dan (2)

entitas akan eksis bila menghasilkan laba (profit).

Triyuwono (2006: 105) mengatakan bahwa

akuntansi harus dapat memenggal kepala “ego”nya

yang besar dan menumbuhkan tanaman altruisme

agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas

kehidupan bisnis. Akuntansi harus mengurangi

“kejantanan” nya dan menumbuhkan “kebetinaan”-

nya dengan menggunakan sudut pandang yang lain

dari “holistic wordview. Holistic wordview–Capra

(1996: 6) juga menambahkan pandangan dunia ini

dengan ecological worldview atau deep ecology–

memandang dunia (realitas) sebagai suatu kesatuan

yang tidak terpisahkan sebagai mana dikatakan

Capra:

Deep ecology tidak memisahkan manusia

–atau apa pun– dari lingkungan alam. Deep ecology

memandang dunia bukan sebagai kumpulan obyek

yang diisolasi, tetapi sebagai jaringan kerja

fenomena yang secara fundamental bersifat saling

berhubungan dan saling bergantung. Deep ecology

mengakui nilai intrinsik dari semua mahluk hidup

dan memandang manusia hanya sebagai satu mata

rantai khusus dalam jaringan kehidupan (1996: 7).

Bila demikian, berarti laporan keuangan

konvensional belum menghadirkan informasi seba-

gai wujud kehormatan, kepedulian dan akuntabilitas

terhadap alam (ekologi) yang telah di eksploitasi.

Karena laporan keuangan yang umum sekarang

lebih menyajikan informasi mengenai entitas

tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan,

beban-beban, laba-rugi, dan arus kas. Ini semua

merupakan informasi capaian materi. Melihat fakta

sosial ini, informasi yang disajikan semata hasil ca-

paian kinerja jangka pendek (periodesasi pelaporan

akuntansi). Realitasnya, ada biaya yang harus di-

tanggung oleh entitas dalam dimensi jangka panjang

serta tingginya social cost yang ditanggung peme-

rintah dan masyarakat.

FENOMENA LAPORAN KEBERLANJUTAN

(SUSTAINABILITY REPORTING)

Permasalahan keberlanjutan telah menjadi

masalah serius menyangkut kelangsungan hidup

masa kini atas semua mahluk hidup yang mendiami

permukaan bumi. Krisis lingkungan tentunya tidak

terlepas dari peran dunia bisnis yang terus-menerus

berproduksi dengan mengabaikan aspek lingkungan

dan sosial demi keuntungan materi. Dalam konteks

ini, konsep paradigma sustainability dalam men-

jalankan aktifitas bisnis sudah tidak dapat ditawar-

tawar lagi Savitz dan Weber (2006), Lako (2008),

dan Rahman (2008). Keseimbangan aktivitas eko-

nomi, sosial, dan lingkungan sudah sepatutnya

dapat porsi memadai dalam setiap aktifitas bisnis

entitas yang diselenggarakan dalam kerangka tang-

gung jawab atas kebaikan bersama.

Sebagaimana UU No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas. “…perusahaan ber-

bentuk Perseroan yang menjalankan usaha di

bidang pengelolaan sumberdaya alam atau ber-

kaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk

menjalankan tanggung jawab sosial dan

lingkungan.” Kondisi ini memunculkan pertanyaan,

apakah entitas menyajikan informasi sosial dan ling-

kungan dalam laporan tahunannya, semata sebagai

strategi untuk memaksimalkan laba atau upaya

memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam

peraturan?. Padahal, bisa saja entitas

melaksanakan praktik sustainability report

berdasarkan kebutuhan yang melebihi pertimbangan

ekonomi maupun ketentuan yang dipersyaratkan

oleh peraturan. Jawaban atas pertanyaan ini dalam

banyak literatur sering didasarkan pada teori-teori,

antara lain legitimasi theory (Parsa dan Kouhy,

2002; dan Tilling, 2004).

Berbagai motivasi mendorong entitas

menyajikan informasi mengenai dampak sosial dan

lingkungan pada laporan tahunannya, yang

umumnya berpijak pada legitimasi theory, yaitu

untuk memenuhi ketentuan kontrak pinjaman,

memenuhi ekspektasi masyarakat, meligitimasi

tindakan entitas serta untuk menarik investor

(Basamalah dan Jermias, 2005; Sayekti dan

Wandabio, 2007).

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1542

Gambar 03. “Designated area of outstanding natural profitability” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com

Dari paparan tersebut dapat diketahui bila

penggunaan legitimasi theory akan sejalan dengan

konsep akuntansi konvensional yang menganggap

praktik sustainability report yang dilakukan entitas

bebas nilai (value-free) karena terdapat unsur keter-

paksaan melalui pertimbangan ekonomi serta keten-

tuan yang dipersyaratkan peraturan. Hal ini ber-

tentangan dengan konsep akuntansi kontenporer,

bahwa praktik sustainability report tidak bebas nilai

(not value-free) karena dilakukan tanpa unsur keter-

paksaan yang melebihi pertimbangan ekonomi atau

ketaatan pada peraturan, sebagai wujud kesadaran

dengan berpegang pada nilai etika dan moralitas.

KINERJA LINGKUNGAN: MENGUNGKAP

FENOMENA SUSTAINABILITY DI ANTARA

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN

Meneropong berbagai fenomena, Isu

lingkungan bukan merupakan isu baru, persoalan

semakin menarik dikaji seiring perkembangan

teknologi dan ekonomi global. Secara perlahan

telah terjadi perubahan pola hidup yang secara lang-

sung atau tidak langsung memberikan pengaruh

pada lingkungan hidup. Era industrialisasi di satu

sisi menitikberatkan penggunaan teknologi seefisien

mungkin, acapkali mengabaikan aspek kelestarian.

Kenyataan ini, menurut Keraf (1997) menunjukkan

bahwa bisnis mempengaruhi (segala aspek)

kehidupan. Ini berarti bahwa bisnis sangat

menentukan baik-buruknya (kualitas) kehidupan dan

budaya masyarakat modern. Pengabaian atas tang-

gung jawab dan kewajiban moral, ternyata

menimbulkan persoalan sosial dan ekologi yang

serius (Ismawan 1999: 55-7, Capra 2002a: 11, Gorz

2003, Keraf 2005: 170-1, Zohar dan Marshall 2006:

37).

FENOMENA ALAM DIMENSI LOKAL DAN

GLOBAL: PERLUNYA DIHADIRKAN BENTUK

PERTANGGUNG JAWABAN „LAI’

Adanya perubahan paradigma pemba-

ngunan sebagai gagasan yang lahir dari hasil

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio

De Janeiro, Brazil 1992. Tentang perlunya

perubahan dari paradigma yang bertumpu pada

pertumbuhan ekonomi (economic growth) ke

paradigma pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development). Isu kelestarian telah

merubah financial modeling menjadi financial return

plus, misalnya dengan munculnya economic value

added, full cost accounting dan ancangan

manajemen lain. Investasi korporasi menjadi makin

peka terhadap stakeholder dan ekspektasi sosial

(society expectation).

Semenjak kemenangan logika industrial

berupa revolusi industri yang membawa

konsekwensi pada menguatnya perusahaan di atas

elemen sosial lainnya, menggiring manusia menuju

peradaban industri dengan segala kompleksitas

yang terus berevolusi menuju bentuknya yang paling

akhir. Sejarah telah mencatat dengan sempurna

bagaimana perjalanan hubungan industrial antara

manusia, perusahaan dan lingkungan saling ber-

singgungan, menyatu dan bahkan mengintimidasi

satu sama lain menuju satu tujuan yaitu

kepentingan.

Fakta itu teramati dan telah menjadi realitas

bukan sekedar fenomena. Bila dorongan berbagai

kepentingan dan orientasi materi telah menimbulkan

masalah dan berdampak pada terganggunya

keseimbangan alam. Alhasil, bumi tidak mampu lagi

menyerap apa yang turun dari langit akibatnya

menimbulkan banjir dan berbagai bencana

menyertai. Peristiwa ini telah memberi inspirasi pada

peneliti dalam melihat praktik akuntansi dan kon-

tribusinya pada permasalahan ekologi, sosial, dan

ekonomi. Nilai-nilai ini perlu dikolaborasi antara kon-

sep teoritis dengan local wisdom yang digali dari

entitas dan komunitas.

Berikut hasil eksplorasi berbagai fenomena

lingkungan, teropong praktik akuntansi dari konsep

quardrangle bottom line (QBL) dimensi Environ-

mental Performance:

1. FENOMENA MELEMAHNYA DAYA DUKUNG

DAERAH DARI

BANJIR DAN

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1543 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

TANAH LONGSOR

Perlawanan menyikapi berbagai fenomena

tak luput dari perhatian masyarakat, mahasiswa,

aktivis LSM, dan pencinta lingkungan. Aksi terjadi

karena kebijakan yang kurang berpihak pada

kelestarian. Kaltim Pos dalam Headline-nya “Kota

Tepian Sakit Parah”. Menjelang Hari Bumi 22 April

2009, menulis …banjir beberapa waktu merupakan

fenomena berbeda, bukan karena banjir kiriman,

tetapi bukti daerah telah sakit parah. “Samarinda

tidak memiliki daya dukung lagi bahkan untuk

menampung hujan lokal”. Saat ini 66,5% wilayah

yang dulunya benteng pertahanan banjir telah ber-

ubah menjadi areal pertambangan dan pembukaan

hutan untuk kuasa pertambngan, hal ini yang me-

nyebabkan banjir, tanah longsor, pendangkalan sun-

gai, hilangnya berbagai biota sungai karena air yang

keruh, dan pembalakan hutan yang merajalela.1

Samarinda dengan luas daratan mencapai

718,23m2, ternyata dikelilingi kegiatanh eksplorasi

kuasa pertambngan batu bara. Direktur Walhi Kaltim

mengatakan:2

Bagaimanapun musibah banjir yang terjadi

di wilayah Samarinda adalah akumulasi dari ber-

bagai kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari

kegiatan penambangan dan eksploitasi hutan.

Kuasa penambangan (KP) batu bara memiliki andil

terbesar menghantarkan bencana banjir di wilayah

ini. Demikian juga pengusaha kehutanan yang tidak

patuh pada ketentuan yang ada, telah menurunkan

fungsi hutan yang sebenarnya sebagai paru-paru

dunia, tempat tumbuh kembangnya flora dan fauna,

area resapan air, erea produksi gas O2 dan area pe-

nyerapan gas CO2 dan lainnya.

Fenomena lingkungan seperti, banjir dan

tanah longsor kiranya belum cukup menjadi bukti

bila telah terjadi kerusakan lingkungan. Penyebab

tentu banyak salah satunya karena eksploitasi

sumberdaya alam yang melampaui batas, baik itu

melalui pembalakan hutan, pengerukan sumberdaya

(resources) di perut bumi oleh kuasa penambangan,

dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Silang

pendapat terus terjadi di antara mereka dan terus

berkelit dari tanggung jawab dan menganggap

dirinya bersih.

1 Surat kabar harian Kaltim Pos, “Kota Tepian Sakit Parah”,

Terbit hari Rabu, 21 April 2009, h. 27. 2 Isar Wardana, Direktur Walhi Kaltim, “Dialog TVRI Kaltim

bersama Wahana Lingkungan Hidup”, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Tanggal 1 Juni 2009.

Gambar 04. “DANGER This Water not Suistable for Drinking” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com.

Menurut peneliti, kalaupun durasi banjir dan

tanah longsor yang terjadi kini jangka pendek.

Namun untuk jangka panjang akibat dari meng-

hilangnya tegakan pohon dampak industri HPH dan

KP akan berdampak pada menurunnya daya serap

air, daya serap karbondioksida, daya produksi oksi-

gen, dan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Bila

ini terus berlanjut maka tidak menutup kemungkinan

krisis air bersih dan problematika lingkungan yang

terjadi kini akan mengalirkan air mata di masa

mendatang (baca: kesulitan dan penderitaan).

2. FENOMENA BISNIS SEKTOR KEHUTANAN

CENDERUNG TIDAK SUSTAINABLE

Mengapa bisnis sektor kehutanan

cenderung tidak sustainable?. Pada level permu-

kaan, terdapat isu semisal menyusutnya

sumberdaya alam (resources) dan kerusakan

lingkungan yang menyertainya dan semua ini tak

kurang aktualnya meskipun sudah terus-menerus

diperbincangkan (Zohar dan Marshall, 2006: 37-8).

Menilai keberhasilan suatu bisnis tidak cukup

dengan indikator ekonomi (seperti tingkat

produktivitas, efisiensi, dan laba) sebagai indikator

keberhasilan manajer maupun korporasi. Perlu

indikator lain yang menjelaskan dampak positip dan

negatif terhadap lingkungan.

Paradigma yang menempatkan manusia

dan alam sebagai yang terpisah, manusia sebagai

subyek dan ukuran kepentingan, dan alam sebagai

obyek eksploitasi, dipandang hanya sebagai

barang/komoditas ekonomi semata (teori

antroposentrisme). Konsekuensinya ialah eksploitasi

dan pemanfaatan alam yang sebesar-besarnya

untuk kepentingan manusia menjadi sah dan wajar.

Benar-benar alam direduksi pada fungsi tunggal,

yakni barang ekonomi sebagai alat pemuas kebu-

tuhan manusia. Maka, alam yang mestinya dijaga

kelestariannya telah menjadi jarahan dan pesta pora

kepentingan.

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1544

Gambar 05. “One Day Son, all of this will be yours” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www.CartoonStock. com.

Fenomena kelangkaan bahan baku berkait

pada kerusakan hutan akibat pembalakan liar (ilegal

logging) dan kesalahan manajemen kehutanan

semakin mempersulit eksistensinya. Di tambah lagi

sulitnya modal terkait keengganan perbankan

mengucurkan dana. Perbankan menilai industri

kehutanan dengan rapor merah akibat pelbagai

kasus keterlibatannya dalam kesalahan manajemen

di waktu lalu. Kemudian industri sejenis di Malaysia

dan China yang telah mampu mengganti mesin-

mesin industri berteknologi mutakhir. Kedua negara

pesaing itu dapat berproduksi dengan lebih efisien,

sehingga harga jual produk lebih murah dan diminati

oleh pasar internasional.

Fenomena lain, sudah bukan rahasia lagi,

bila industri kehutanan jadi bulan-bulanan lewat ber-

bagai pungutan yang ilegal sehingga keuangan

entitas tidak aman. Bila menengok ke belalakang,

kondisi usaha sektor ini di tahun 2005 jauh lebih

baik. Tahun itu, masih terdapat 25 industri yang

beroperasi dengan 60.000-an pekerja, dengan

kapasitas produksi 75-80% atau rata-rata dua kali

lipat dari kondisi saat ini. Sampai akhir 2008, ting-

gal tersisa 7 industri yang masih beroperasi yaitu;

Intracawood Manufacturing, Idec Alwi, Tirta Maha-

kam, Balikpapan Forest Industry, Rimba Raya

Lestari, Inne Dong Hwa, Sumalindo Lestari Jaya.

Ketujuh industri tersebut tetap berproduksi dengan

kapasitas produksi 30%. 3

Entitas yang sejak awal telah menunjukkan

kekuatannya dengan memegang tiga syarat, yakni

modal (capital), kekuasaan (power) dan Hak

(legality). Dengan syarat itu ia memiliki keleluasaan

mengelola kekayaan alam dan menjualnya ke pasar

lokal dan internasional. Dari sini, entitas dapat

3 Kompas.com. Ketua Apkindo Kaltim Taufan Tirkaa-

miana,“Tersisa Tujuh Perusahaan Kayu Lapis di Kaltim” 1 Maret 2009. Diakses 19 Oktober 2009.

dinilai berhasil mencapai tujuan pendiriannya „profit

oriented’.

Tuntutan yang semakin kuat dari negara-

negara pasar produk atas praktik bisnis yang ber-

basis sustainable development tidak bisa

diremehkan. Meningkatnya tekanan pada mas-

yarakat negara berkembang untuk menerapkan

standar serupa dengan negara maju, maka

komitmen untuk kembali pada lingkungan menjadi

suatu pilihan tepat, apalagi 75% hasil penjualan

diperoleh dari hasil ekspor. Namun apa yang terjadi,

dampak krisis 2008:

Harus diakui menjadi pionir sustainable

forest management tidak selamanya menjanjikan

kinerja keuangan yang bagus. Ini terlihat di tahun

2008 entitas mencatatkan kerugian bersih Rp262,5

miliar, dibandingkan laba bersih di tahun 2007

mencapai Rp27,6 miliar (Kompas.Com. 24 Mei

2009).

Fenomena ini karena ketergantungan yang

cukup tinggi pada pasar ekspor, dan sifat produk

yang berkait dengan industri properti yang meng-

alami perlambatan signifikan di berbagai negara

dampak krisis. Dari fenomena tersebut, manajemen

berkeyakinan bila praktik bisnis yang sustainable

harus memperhatikan quardrangle bottom line.

Tentunya dengan catatan hal ini mendapat

dukungan penuh dari pemerintah sehingga praktik

sustainable forest management tidak menjadikan

entitas yang menerapkan menjadi kehilangan

kemampuan bersaing.

3. FENOMENA KECENDERUNGAN MINAT DAN

KESADARAN KONSUMEN BERALIH KE

PRODUK KAYU BERBAHAN BAKU DARI

HUTAN LESTARI

Fenomena terkini, negara tujuan ekspor,

khususnya terhadap produk yang dihasilkan dari

eksploitasi hutan menyaratkan adanya audit

lingkungan dan laporan lingkungan. Masyarakat

konsumen menyaratkan entitas memiliki label

produk yang ramah lingkungan (melakukan audit

lingkungan dan laporan lingkungan). Di luar negeri

seperti di Inggeris, ada investor yang tergabung

dalam social responsible investor (SRI) yang hanya

membeli saham bila entitas itu tidak hanya membuat

laporan keuangan tapi juga menyiapkan laporan

sustainability (Darwin, 2007: 12).

Laporan sustainability membutuhkan

payung, apa payungnya? yakni “Masyarakat dan

Pasar”. Bila dua payung ini bersinergi tidak menutup

kemungkinan kesadaran perlunya laporan keber-

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1545 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

lanjutan akan tinggi seperti di luar negeri. Laporan ini

pada dasarnya tergantung kiri, kanan, atas dan

bawah. Atas adalah pelanggan, bawah adalah

supplier, kanan dan kiri adalah kompetitor atau

pesaing dan masyarakat.

Kecenderungan minat dan kesadaran dari

konsumen beralih ke produk kayu berbahan baku

dari hutan lestari (eco-product atau eco-solution

product) merupakan fenomena baru yang men-

cerminkan kesadaran manusia akan perlunya

kelestarian. Hal ini telah lama dicermati dan disikapi

oleh segenap jajaran manajemen sampai pekerja di

lapangan untuk menciptakan produk ramah ling-

kungan dan berpihak pada kelestarian. Komitmen

kelestarian memastikan bahwa salah satu teknis

pengelolaan hutan lestari adalah melakukan imp-

lementasi Chain of Custody (CoC). Program ini

bertujuan untuk menjaga dan menverifikasi asal-usul

(wood legaly verification and timber tracking) dengan

memanfaatkan penerapan teknologi tinggi yaitu

barcode system (BS). Dengan BS dapat dilakukan

update data kayu online dari areal hutan sampai ke

industri pengolahan.

Komitmen pada kelestarian hendaknya

bukan sekadar upaya ikut-ikutan tren ”go green”

yang sedang populer. Konsep dan praktek bisnis

idealnya dan seharusnya dikonstruksi dalam desain

yang holistik dan ekologis, yakni memperhatikan

kepentingan dan mempertahankan eksistensi bentuk

keberadaan yang ada dalam alam. Kesejahteraan

yang dibangun harus dilihat dan ditempatkan dalam

suatu harmoni kehidupan yang sebanding antar

semua spesies dan tidak hanya pada suatu bentuk

akumulasi modal (materi) untuk dominasi kepen-

tingan manusia (entitas) dengan mengabaikan

kelestarian. Kesadaran pentingnya keseimbangan

dengan alam harus diupayakan untuk meredam dan

meminimalkan dampak negatip dari aktifitas

ekonomi entitas.

Gambar 06. “G + N Accountants” 2007 © Original Artis Reproduction rights obtainable from

www.CartoonStock.com

Laporan keuangan sebagai representasi

dari entitas juga merupakan sebuah proses

perubahan konsep ideologi masyarakat modern

yang abstrak menuju dalam bentuk-bentuk

kongkret. Terlihat dari tujuan laporan keuangan

yang hanya ingin menyenangkan para pemegang

saham dengan menunjukkan laba yang tinggi. Bila

demikian ideologi kapitalisme telah menjangkiti

dalam proses penyusunan laporan keuangan, hal

ini berdampak pada pemitosan tentang kinerja

entitas yang dapat dikatakan berhasil yaitu dengan

membukukan laba yang tinggi. Jika terus

dilanjutkan dan menjadi pedoman bagi para

akuntan maka akan mempunyai konsekuensi yang

tidak bisa dihindari, yaitu segala upaya akan

dilakukan demi mengejar laba yang tinggi agar

pemegang saham dapat tersenyum lega.

4. FENOMENA DEFORESTASI DAN DEGRADASI

HUTAN DISINYALIR PEMICU KERUSAKAN

LINGKUNGAN (HUTAN)

Pengaturan hasil hutan dalam sistem

pengelolaan hutan produksi di Indonesia kembali

menjadi fenomena yang penting. Adanya wacana

pengurangan jatah tebangan atau yang lebih dikenal

dengan istilah “soft landing” dari Departemen

Kehutanan RI dipandang sebagai salah satu upaya

untuk mengurangi degradasi hutan. Saat ini,

Propinsi Kalimantan Timur pada era desentralisasi

mengalami perubahan dalam pengelolaan

sumberdaya.

Kalimantan Timur yang terdiri dari 14

daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Perubahan

yang terjadi seiring dengan visi dan misi di masing-

masing daerah kabupaten/kota, diyakini sebagai

salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan

kesejahteraan masyarakat daerah dan

pembangunan di wilayah kabupaten baru.

Pengembangan tersebut dimungkinkan daerah

dapat lebih intensif memperhatikan dan mengawasi

sepak terjang masyarakat dan para pengusaha HPH

maupun pengusaha KP dalam melakukan aksinya.

Faktanya, tidak malah menjadi lebih baik

“raja-raja kecil di daerah” sepertinya bersikap balas

dendam atas apa yang telah diperbuat terhadap

sumberdaya alam di daerahnya oleh “raja-raja besar

di pusat pada masa lalu”. Fenomena kerusakan

hutan karena deforestasi dan degradasi, disinyalir

karena perilaku dari masyarakat, pangusaha dan

penguasa di daerah yang lebih berfikir bagaimana

mencapai kepentingan ekonomi tanpa memper-

dulikan dampak yang ditimbulkan dari kerusakan

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1546

lingkungan. Namun demikian tidak berarti tanggung

jawab pada lingkungan (ekologi) menjadi wewenang

kabupaten/kota sendiri:

Deforestisasi yang mengancam, salah

satunya akibat dari awal mula pengelolaan sumber

daya hutan Indonesia telah bermasalah. Peng-

elolaan hutan Indonesia diserahkan pemerintah ke

entitas yang mengajukan izin pengelolaan. Peng-

elolaan pihak swasta dengan izin pemanfaatan HPH

inilah yang disinyalir telah meluluh lantakkan hutan

hijau Indonesia” (Ikhsan, 2008).

Deforestasi di Indonesia sebagian besar

akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang

korup, yang menganggap sumberdaya alam,

khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan

untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi.

Pertumbuhan industri pengolahan hasil kayu dan

perkebunan di Indonesia terbukti sangat meng-

untungkan selama bertahun-tahun, dan keuntu-

ngannya digunakan oleh rejim sebagai alat untuk

memberikan penghargaan dan mengontrol kroni,

teman, dan mitra potensialnya. Pertumbuhan eko-

nomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan

secara berkelanjutan (sustainable) dan hak

penduduk lokal. Fenomena yang terjadi dampak

ketidaklestarian ini adalah: 4

a. Banyak HPH melanggar pola tradisional hak kepe-

milikan lahan. Akuntabilitas pengelolaan hutan

sangat lemah, banyak hutan dieksploitasi berlebi-

han. Menurut klasifikasi pemerintah, hampir 30%

konsesi HPH masuk kategori "sudah ter-

degradasi".

b. HTI dipromosikan besar-besaran dan disubsidi

sebagai cara menyediakan pasokan kayu bagi

industri pulp di Indonesia. Hampir 9 juta ha lahan

sebagian besar ialah hutan alam, telah dialokasi-

kan untuk pembangunan hutan tanaman industri.

Lahan ini telah ditebang habis atau dalam waktu

dekat akan ditebang habis. Namun hanya 2 juta

ha ditanami, sisanya 7 juta ha menjadi lahan

terbuka yang terlantar dan tidak produktif.

c. Lonjakan perkebunan kelapa sawit, merupakan

penyebab lain deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan

dikonversi menjadi perkebunan hingga akhir 1997,

terus bertambah tiap tahun dan hutan ini hampir

dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi

lahan yang benar-benar dikonversi ke perkebunan

sawit hanya 2,6 juta ha, dan perkebunan baru

untuk tanaman keras luasnya mencapai 1-1,5 juta

4 Indonesian Forestry Sector: Discusson of Data Analysis and

Current Policy Issues. Presentasi oleh EPIQ/NRM of USAID pada Winrock International, Arlington, VA. 1 Agustus 2005.

ha. Sisanya 3 juta ha lahan yang sebelumnya

hutan kini terlantar.

d. Produksi kayu dari konsesi HPH, hutan tanaman

industri dan konversi hutan secara keseluruhan

menyediakan kurang dari setengah bahan baku

yang diperlukan industri perkayuan di Indonesia.

Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangan-

nya dipenuhi dari ilegal logging. Pencurian skala

besar dan merajalela di Indonesia; setiap tahun

50-70% pasokan kayu untuk industri ditebang

secara ilegal.

e. Peran petani tradisional skala kecil, dibandingkan

dengan penyebab deforestasi lainnya, merupakan

subyek kontroversi yang besar. Dari tahun 1990

bahwa para peladang berpindah mungkin bertang-

gung jawab sekitar 20% hilangnya hutan. Data ini

diterjemahkan pembukaan lahan sekitar 4 juta ha.

f. Program transmigrasi, sejak 1960-an sampai akhir

Orba, memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke

pulau lainnya. Program ini diperkirakan Dephut

membuka hutan hampir 2 juta ha selama periode

tersebut. Juga, para petani kecil dan penanam

modal skala kecil oportunis juga ikut andil

penyebab deforestasi, mereka membangun lahan

perkebunan sawit dan coklat.

g. Pembakaran secara sengaja oleh pemilik per-

kebunan skala besar untuk membuka lahan, dan

masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan

atau kegiatan HPH mengakibatkan kebakaran

besar yang tidak terkendali. Lebih dari 5 juta ha

hutan terbakar tahun 1994 dan 4,6 juta ha tahun

1997-1998. Sebagian besar lahan tak terurus dan

kini tumbuh menjadi semak belukar.

Praktik penanganan dampak purna

pembalakan dalam upayanya mempertahankan

kelestarian, ternyata tidak sepenuhnya mampu

mengembalikan fungsi dan martabat hutan sebagai-

mana sebelum dijamah dan di eksploitasi oleh

manusia. Upaya yang dilakukan seperti penuturan

dari Bapak “AM” bahwa, Pendekatan untuk meng-

urangi dampak degradasi dan deforestasi hutan

pasca pembalakan dilakukan melalui tiga pen-

dekatan, yaitu: 1) pendekatan untuk penutupan

lahan dan sifat fisik tanah; 2) pendekatan untuk

memperbaiki struktur vegetasi, potensi dan kondisi

flora; dan 3) pendekatan silvikultur pengelolaan

hutan tanaman produksi. Memerlukan waktu yang

lama, tenaga dan biaya tidak sedikit untuk mengem-

balikan fungsi hutan sebagaimana sebelumnya.

Keperawanan hutan yang telah direnggut manusia

(entitas) harus dikembalikan fungsinya sebagai

hutan yang menghidupi seluruh penghuninya.

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1547 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

Komitmen dan tanggung jawab mengem-

balikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia men-

jadi penting, hutan dan sumberdayanya tidak hanya

diperuntukkan untuk kepentingan generasi masa kini

namun juga generasi masa datang. Adalah relevan

untuk mengkaji kembali cakupan tentang tanggung

jawab entitas dengan mengacu pada konsep stake-

holder dalam pengertiannya yang luas. Stakeholder

yang tidak hanya mereka yang mempunyai

kekuasaan dan legitimasi, tetapi juga berbagai

komponen yang memiliki kepentingan atas

keberadaan entitas. Dengan model/konsep seperti

ini, maka akan memungkinkan suatu konsep

tanggung jawab yang lebih akomodatif dan memper-

hitungkan kepentingan semua pihak, baik manfaat

yang akan diterima maupun potensi negatip yang

akan terjadi.

Akuntansi sebagai salah satu media informasi

entitas bisnis, yang merekam setiap aktifitas

ekonomi perusahaan sudah pada tempatnya bila

para pelaku ekonomi perusahaan menyajikan suatu

bentuk laporan yang mencerminkan keberpihakan

dan kepedulian yang tidak semata berorientasi pada

kepentingan stakeholer namun juga berorientasi

pada kelestarian laingkungan.

SIMPULAN

Melalui paradigma interpretif diketahui

bahwa: Komitmen entitas untuk melakukan bisnis

secara lestari yang didasarkan pada prisip “keadilan

yang seimbangan”, artinya “apa yang bisa diambil

dari alam harus ada yang bisa ditanam”; komitmen

ini nampak baru sekedar pada tataran wacana yang

belum menjadi fakta. Bila entitas diibaratkan

sebagai tempat “penampung air (tandon air)” maka

perlu dibuat pipa-pipa yang dapat menghubungkan

ke kran-kran air, artinya “apa yang dapat dinikmati

shareholders harus juga dapat dinikmati oleh stake-

holders”. Model interaksi sosial yang dibangun lebih

sebagai kamuflase agar entitas mendapat dukungan

dari lingkungan sosialnya; Hasil peneropongan pada

konsep „QBL‟ dimensi kinerja lingkungan disadari

maupun tidak telah mewarnai sikap individu maupun

kelompok dalam penyesaian satuan pekerjaan

(praktik akuntansi).

Dari berbagai fenomena yang ada perlu

diyakini bila praktik bisnis yang sustainable harus

memperhatikan kelestarian ekologi, dengan catatan

hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah

sehingga praktik sustainable forest management

tidak membuat entitas yang menerapkan menjadi

kehilangan kemampuan bersaing; Implementasi

konsep qurdrangle bottom line dimensi environ-

mental performance yang dibangun idealnya karena

dorongan „kebutuhan‟ bukan „kewajiban‟, sehingga

lebih bermakna dalam membangun harmonisasi

antara shareholders dan stakeholders.

SARAN

Model penelitian seperti ini hendaknya tidak

berhenti sampai di sini. Sebagai penganut

paradigma post-positivisme [kualitatip]. Dengan

tetap memperhatikan dinamika pada konteks

lapangan, maka model penelitian ini tidak dimaksud-

kan untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat

generalisasi atas fenomena pada umumnya. Suatu

praksis tentu memiliki keunikan tersendiri yang

dimungkinkan berbeda satu entitas dengan lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, saran yang dapat

disampaikan adalah:

Dimensi Internal, Perluasan dimensi per-

tanggungjawaban entitas perlu ditingkatkan dengan

lebih tepat guna, karena bila dalam suatu lingkungan

entitas bertumbuh jurang pemisah antara si-kaya

dan si-miskin berarti kontribusi pada lingkungan

sosial melalui program CSR perlu ditinjau kembali;

Dimensi Eksternal, Secara personal

kepedulian pada lingkungan bisa mulai sejak dini

melalui pendidikan formal, non-formal maupun

informal; melalui majelis taklim, ceramah, pelatihan,

seminar dan lainnya. Di lingkungan pendidikan

formal, sudah saatnya pemerintah memasukkan

materi seputar upaya pelestarian lingkungan pada

mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup,

sebagai mata pelajaran wajib, bukan sekadar

muatan lokal, dari mulai tingkat dasar hingga

Universitas. Di Perguruan Tinggi, praktik reboisasi

bisa dimasukkan satu paket dalam program KKN

mahasiswa. Mahasiswa turut mendorong sekaligus

terlibat dengan masyarakat dalam proses reboisasi

hutan.

Di lingkungan pendidikan non-formal dan

informal termasuk pesantren dan majelis taklim,

para ustad sudah saatnya diberi informasi mengenai

kerusakan alam yang memprihatinkan. Kemudian

mereka didorong untuk menanamkan kepedulian

pada lingkungan, khususnya kelestarian alam.

Pemahaman pada para santri dan jamaahnya

sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama,

dalam posisi mereka sebagai khalifatullah fil ardh.

DAFTAR PUSTAKA

Burrell, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Soci-ological Paradigms and Organisational

JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1548

Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann.

Capra, Fritjof. 2002a. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi Dan Kehidupan, Terje-mahan (Pasaribu). Yogyakarta. Penerbit Fajar Pustaka Baru,.

Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban, Ter-jemahan (Thoyibi), Yogyakarta. Penerbit Bentang Pustaka.

Chawastiak, M. and Young J.J. 2003. Silences An-nual Reports, Critical Perspectives on Accounting, 14, 533-552. Albuquerque, NM 87131, USA.

Daniri, Mas Achmad. 2008. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Di akses 18 Agustus.

Darwin, Ali. 2007. Sustainability Reporting: Kom-petensi Baru Akuntansi Manajemen, Maka-lah Seminar Nasional, Nop. UB. Malang.

Darwin, Ali. 2007. Audit Lingkungan Keharusan?. Majalah Akuntan Indonesia, edisi No. 3/Tahun I/ Nop, h. 12.

Elkington, John. 1997. Can-nobals with forks, Gab-riola Island, British Columbia, Canada. New Society.

Gorz, Andre. 2003. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Cetakan ke-2 Yogyakarta. Penerbit Insist. Press.

Global Reporting Initiative (GRI). 2000. Sustainability Reporting Guidelines on Economic, Environ-mental and Social Performance, June, New York, GRI.

Harahap, Sofyan S. 2004. Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta, penerbit Buku Baik.

Hilman, Masnellyarti. 2007. Akuntansi Indonesia. Mitra dalam Perubahan. Edisi No.3/Tahun I/Nop. h. 17.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.01 Tentang Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan. Jakarta, penerbit Salemba Empat.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.32 Tentang Akuntansi Kehutanan. Jakarta. Penerbit Salemba Empat.

Indriantoro, Nur, dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis, untuk Akun-tansi dan Manajemen. Yogyakarta, penerbit BPFE.

Ismawan, Indra. 1999. Risiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Yogyakarta.

Kaltim Pos. 2009. Kota Tepian Sakit Parah. Kaltim Pos. 21 April. h. 27.

Kam, Venon. 1990. Accounting Theory. Secend edition. New York: John Wiley and Sons.

Kerap, A. Sonny. 1997. Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta, penerbit Kanisius.

Lako, Andreas. 2008. Akuntansi CSR, Majalah Swa, No 02/XXIV/24 edisi Jan - 5 Feb.

Letiche, Hugo. 2006. Relationality and Pheno-menological Organizational Studies. Tamara Journal Vol 5 Issue 5.3 2006: pp.7-18.

Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Rohidi) dari Qualitative Data Analysis. Jakarta: penerbit UI.

Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit Remaja Rosdakarya.

Morgan, Gareth. 1988. Accounting as Reality Con-strucntion: Towards a New Epistemology for Accounting Practice. Accounting Organiza-tions and Society, Vol. 13 No. 5: 477-485.

Muhadjir, Noeng. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta, penerbit Rake Sarasin.

Parsa S. dan R. Kouhy. 2002. Disclosure of Social Information by UK Companies-ACose of Legitimacy Theory.Global Business and Economics Review-Anthology. 460.473.

Poerwanto 2007. Budaya Perusahaan, Yogyakarta, penerbit Pustaka Pelajar.

Puspawardhani, Verena. 2008. World Wild Fund

(WWF) Indonesia_di BandaAceh_http://www.-

detik.com Sabtu (30/6/2008), diakses Agustus.

Rahman, Taufik. 2008. Ancaman Krisis Energi dan Corporate Sustainability. Lingkar Studi CSR. Bogor.

Sayekti, Yosefa dan Ludavicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSD Disclosure terhadap Earning Response Coefficient (Suatu studi empiris pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia. SNA X, Unhas, Makasar.

Sukoharsono, Eko Ganis. 1998. Accounting in a „New‟ History: A Disciplinary Power and

http://www.karyailmiah.polnes.ac.id

Riset / 1549 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605

Knowledge of Accounting, International Journal of Accounting and Business Society, Vol 6, No 2.

Sukoharsono, E.G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnography, dan Case Study. Pelatihan Metodologi Penelitian. Program A3 Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang. Mei.

Sriyanto. 2007. Akuntansi Hijau Sarana Pende-teksian Dini Bencana Lingkungan. Jurnal “Akuntan Indonesia” ed. 3 (I), Nop. 23-26.

Tribun Kaltim. 2009. Nilai Ekspor Plywood Anjlok 54 persen. http://tribunkaltim, 28 April, di akses 26 Oktober.

Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Jakarta, Raja Gra-findo Persada.

Triyuwono, I. 2009. Spiritualitas Manunggaling Kawula Lan..: Prinsip dan Jalan Menuju Praktik Akuntansi dan Bisnis yang Islami. Seminar Nasional Akuntansi “Tiga Pilar Standar Akuntansi Indonesia”. FE. UB Malang, Juli.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas.

Wardana, Isar. 2009. Dialog TVRI Kaltim bersama Wahana Lingkungan Hidup, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Juni.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2006. Spiritual Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terjemahan, Helmi Mustofa, Ban-dung, penerbit Mizan Pustaka. #