BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

43
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …. TAHUN …. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Transcript of BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Page 1: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR …. TAHUN ….

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);

se7en, 11/04/13,
MENUNGGU NA LANDASAN FILOSOFIS, SOSIO, YURIDIS
se7en, 11/04/13,
MENUNGGU NA MENGENAI UNDANG-UNDANG YANG DICANTUMKAN
Page 2: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini;

SONY, 01/11/13,
UU 39/1999 ttg HAM
SONY, 01/11/13,
Seperti halnya tipikor
Page 3: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

4. Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan Tindak Pidana HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

6. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual;

7. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindak lanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

BAB II

KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN TINDAK PIDANA HAM

Bagian Kesatu

Kedudukan

Pasal 2

Pengadilan Tindak Pidana HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum.

Bagian Kedua

Tempat Kedudukan

Pasal 3

(1) Pengadilan Tindak Pidana HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan;

(2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di :

a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

SONY, 01/11/13,
RUU pasal 1 ayat (5)
Page 4: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur;

c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara;

d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Barat;

e. Jayapura yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat,

f. Banda Aceh yang meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB III

LINGKUP KEWENANGAN

Pasal 4

Pengadilan Tindak Pidana HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pasal 5

(1) Pengadilan Tindak Pidana HAM berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

(2) Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana HAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi warga negara asing yang berdomisili di Indonesia.

Pasal 6

SONY, 01/11/13,
Kata pula/juga formal atau tdk. Ayat 2 menyangkut yurisdiksi negara, dilihat dari korban pelanggaran apakah wni atau wna.
SONY, 01/11/13,
Sesuai RUU dan pasal 45 UU 26/2000. Alasan: huruf a – d menurut UU 26/2000. Kalau huruf e berdasarkan pasal 45 UU no 21/2001 ttg otosus papua. Kalau f berdasarkan psl 229 UU no 11/2006 ttg pem. Aceh.
Page 5: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Pengadilan Tindak Pidana HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.

Pasal 7

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan;

c. kejahatan perang;

d. agresi;

Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kehancuran secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 9

SONY, 06/11/13,
Menggantikan kata musnah, berdasarkan dari statuta roma 1998. Cari definisi kehancuran! Menggantikan kata musnah, berdasarkan dari statuta roma 1998. Cari definisi kehancuran! HAL 31 akan ....................
SONY, 11/06/13,
Hal 31 na
SONY, 01/11/13,
Ada permasalah pernerjaman penafsiran dari statuta roma ke bahasa indonesia, di mana di statuta roma menggunakan kata as such.
SONY, 01/11/13,
Bagaimana jika statuta roma blm dirativikasi oleh Indonesia namun isinya dituangkan dlm RUU ini?? Apa implikasinya?? Apa kemudian RUU tdk dpt disahkan dan kemudian diberlakukan?? Hal ini terkait penambahan kejahatan perang dan agresi sbg yurisdiksi pengdiln TPHAM dlm RUU.
Page 6: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang- wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. persekusi terhadap kelompok atau koletifitas tertentu karena alasan politis, rasial, kebangsaan, etnis, budaya, keagamaan, atau jenis kelamin yang diakui secara universal sebagaimana yang dilarang menurut hukum internasional.

i. penghilangan orang secara paksa; atau

j. kejahatan apartheid.

k. perbuatan yang tidak manusiawi lain yang bersifat serupa yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Pasal 10 (BARU)

(1) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c adalah kejahatan perang yang pada khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.

(2) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

a. pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap perbuatan berikut yang dilakukan terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang terkait:

1. pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja;

2. penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;

3. dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan;

4. perusakan luas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan;

SONY, 01/11/13,
Cari dasarnya, dan alasan kenapa kita gunakan.
SONY, 01/11/13,
Berdasar kompilasi NA, UU dan RUU.
SONY, 11/06/13,
SONY, 01/11/13,
Dasar perubahan RUU no 26 tahun 2000 dan NA UU no 26. Tanya Teori Deportasi ke Pak Jat.
SONY, 11/06/13,
Masuk penjelasan liat na hal 32 , masukan unsur unsurnya
SONY, 11/06/13,
Seharusnya luas aja , lihat ketentuan NA dan sistematis bukan sistematik
Page 7: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

5. memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk bekerja dalam pasukan musuh;

6. secara sengaja merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan pengadilan pada umumnya;

7. deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;

8. penyanderaan.

b. pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:

1. secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu;

2. secara sengaja melakukan serangan terhadap obyek-obyek sipil, yaitu, obyek yang bukan merupakan sasaran militer;

3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada obyek-obyek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;

4. secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap obyek-obyek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;

5. menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer;

6. membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;

7. memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius pada individu-individu tertentu;

8. pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;

9. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan obyek militer;

Page 8: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

10. membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut;

11. membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk pada bangsa atau angkatan perang lawan;

12. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para tawanan;

13. menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan;

14. menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan;

15. memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang;

16. menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai lewat serangan;

17. menggunakan racun atau senjata yang diberi racun;

18. menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa;

19. menggunakan peluru yang menyebar atau merata dengan mudah di dalam badan seseorang, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan;

20. menggunakan senjata-senjata, proyektil dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang bersifat tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang secara luas dilarang;

21. melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;

22. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 9 huruf g, sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa;

23. menggunakan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer;

24. secara sengaja menunjukkan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;

25. secara sengaja menggunakan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu metode peperangan dengan menghilangkan obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sengaja menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa;

Page 9: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

26. menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian.

c. dalam hal suatu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, pelanggaran serius terhadap Pasal 3 bersama empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu, setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain:

1. kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya segala jenis pembunuhan, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan;

2. melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan;

3. menyandera;

4. dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa didahului oleh putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, yang memberikan seluruh jaminan hukum yang secara umum diakui sangat diperlukan.

d. ketentuan ayat 2 (b) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya.

e. pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu setiap perbuatan berikut ini:

1. secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap individu sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian;

2. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;

3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang-orang dan obyek-obyek sipil berdasarkan hukum konflik bersenjata;

4. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan terluka dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer;

5. menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai melalui kekerasan/serangan;

Page 10: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

6. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9, sterilisasi paksa, dan bentuk apa pun lain kekerasan seksual yang juga merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 bersama empat Konvensi Jenewa;

7. memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau memanfaatkan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian;

8. memerintahkan perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali apabila keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya;

9. membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur;

10. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan;

11. menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa itu sebagai sasaran mutilasi/pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut;

12. menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut;

f. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf e berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangsung dalam wilayah suatu negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok-kelompok semacam itu.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf c dan huruf e tidak boleh mempengaruhi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga atau memulihkan hukum dan ketertiban dalam negeri atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas wilayah negara dengan segala cara yang sah.

BAB IV

PRINSIP-PRINSIP YANG DAPAT DITERAPKAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA

Bagian Satu

Hukum Yang Dapat Diterapkan

Pasal 11

(1) Pengadilan Tindak Pidana HAM dilaksanakan dengan menerapkan:

SONY, 01/11/13,
Bersumber dari RUU 26 tahun 2000. Bagaimana kesesuainnnya dengan hukum acara pidana?
SONY, 01/11/13,
Berasal dari RUU no 26 tahun 2000 dan statuta roma 1998
Page 11: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

a. seluruh ketentuan dalam undang-undang ini, termasuk unsur-unsur tindak pidana hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam pasal 7.

b. prinsip serta peraturan hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang berlaku dalam hal undang-undang ini tidak mengatur secara jelas.

c. prinsip-prinsip hukum umum yang sesuai dengan hukum-nasional dan sistem hukum internasional termasuk hukum nasional dari suatu Negara yang telah memeriksa dan memutus perbuatan yang sama dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana HAM, dengan syarat bahwa prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini, dengan hukum internasional serta norma dan standar yang diakui secara internasional.

(2) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dapat menerapkan prinsip dan aturan hukum yang tertuang dalam putusan-putusan pengadilan internasional yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang sama dengan yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius.

(3) Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang diatur dalam undang-undang ini harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi.

(4) Dalam hal terdapat perubahan dalam hukum yang dapat diterapkan kepada suatu kasus tertentu sebelum dijatuhkannya putusan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius yang berkekuatan hukum tetap, maka berlaku hukum yang lebih menguntungkan bagi orang yang sedang diselidiki, disidik, dituntut atau diperiksa.

(5) Penerapan dan penafsiran hukum sebagaimana diatur dalam pasal ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan harus diterapkan tanpa pembedaan atas dasar seperti jender, umur, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan, etnis atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

Bagian Kedua

Tanggung Jawab Pidana Individual

Pasal 12

(1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius baik secara sendiri-sendiri, bersama-sama dengan orang lain, atau melalui orang lain, bertanggung jawab secara individual dan dapat dipidana sesuai dengan undang-undang ini.

(2) Ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana individual sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional.

Bagian Ketiga

Unsur Mental

Pasal 13

Page 12: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Setiap orang bertanggung jawab secara pidana dan dipidana untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 4 apabila unsur materiil dilakukan dengan suatu maksud dan pengetahuan, kecuali ditentukan lain.

Bagian Keempat

Permufakatan Jahat, Percobaan, dan Pembantuan

Pasal 14

Setiap orang bertanggung jawab secara pidana atas suatu tindak pidana dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana HAM dalam hal orang tersebut:

a. melakukan suatu kejahatan bersama-sama dengan orang lain atau melalui orang lain, tanpa memandang apakah orang lain itu bertanggung jawab secara pidana.

b. memerintahkan, melakukan tindakan-tindakan tertentu atau menyebabkan dilakukannya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dalam kenyataan memang terjadi atau merupakan tindakan percobaan.

c. membantu, bersekongkol atau membantu dilakukannya tindakan atau membantu dilakukannya tindakan percobaan untuk melakukan kejahatan, termasuk menyediakan sarana untuk melakukan tindak pidana tersebut.

d. dengan cara lain apapun mendukung tindakan atau percobaan tindak pidana tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama. Dukungan tersebut harus secara sengaja dan harus merupakan salah satu dari :

i. dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau tujuan pidana dari kelompok tersebut, dimana kegiatan atau tujuan tersebut mencakup perbuatan tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana HAM ini; atau

ii. dilakukan dengan pengetahuan tentang maksud dari kelompok tersebut untuk melakukan tindak pidana.

e. mencoba melakukan kejahatan dengan tindakan yang memulai pelaksaannya dengan langkah-langkah yang menentukan, namun tindak pidana tersebut tidak terjadi karena keadaan yang tidak tergantung pada maksud orang tersebut. Seseorang yang menghentikan upaya untuk melakukan tindak pidana tersebut atau disamping itu menghentikan diselesaikannya tindak pidana tersebut, tidak dapat dipidana untuk melakukan tindakan percobaan berdasarkan undang-undang ini jika orang tersebut sepenuhnya dan secara sukarela menghentikan tindak pidana tersebut.

f. berkenaan dengan kejahatan genosida, secara langsung dan terbuka menghasut orang-orang lain untuk melakukan tindak pidana genosida.

Bagian Kelima

Alasan Penghapusan Tanggung Jawab Pidana

Page 13: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Pasal 15

(1) Setiap orang tidak bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7, dalam hal pada waktu perbuatan itu dilakukan, orang tersebut dalam keadaaan :

a. menderita sakit ingatan atau cacat mental yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum;

b. berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidakabsahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum, kecuali kalau orang tersebut telah meracunkan diri secara suka rela dibawah keadaan yang diketahui oleh orang tersebut, atau mengabaikan risiko, bahwa sebagai akibat dari keracunan tersebut, ia mungkin sekali melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius;

c. melakukan tindakan secara masuk akal dan proporsional untuk membela dirinya sendiri atau orang lain atau, dalam hal kejahatan perang, hak milik yang amat penting bagi kelangsungan hidup dari orang atau orang lain atau hak milik yang amat penting untuk memenuhi suatu misi militer, terhadap suatu penggunaan kekuatan yang tidak sah dan segera terjadi.

d. melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 yang disebabkan oleh tekanan yang timbul dari ancaman kematian yang segera terjadi atau kerugian fisik secara serius yang berkelanjutan atau segera terjadi terhadap orang itu atau seseorang lain, dan orang itu bertindak seperlunya dan masuk akal untuk mengindari ancaman ini, dengan syarat bahwa orang itu tidak bermaksud menimbulkan suatu kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang diupayakan untuk dihindari.

(2) Majelis hakim dapat menetapkan alasan-alasan bagi penghapusan tanggung jawab pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini kepada perkara yang sedang diperiksanya.

(3) Majelis hakim dapat mempertimbangkan alasan-alasan bagi penghapusan tangung jawab pidana selain dari alasan-alasan yang disebutkan dalam ayat (1) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 16

(1) Setiap orang yang oleh karena jabatannya atau memakai kekuasaanya untuk melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan menggunakan sarana yang diperoleh dari jabatan atau kekuasaannya tersebut, diberlakukan pemberatan pidana :

a.pidana tambahan

b.pelarangan untuk menduduki jabatan politik dan jabatan publik tertentu

Page 14: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat, dan pada saat melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat tersebut menggunakan atribut yang melambangkan kebangsaan Republik Indonesia,dijatuhkan pemberatan pidana tambahan.

Bagian Keenam

Kekeliruan Fakta atau Kekeliruan Penerapan Hukum

Pasal 17

(1) Suatu kekeliruan fakta dapat dijadikan dasar untuk menghilangkan tanggung jawab pidana hanya bila kekeliruan fakta tersebut meniadakan unsur mental yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan tersebut.

(2) Suatu kekeliruan penerapan hukum tentang apakah suatu jenis tindakan tertentu merupakan suatu tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tidak boleh menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana. Suatu kekeliruan penerapan hukum hanya bisa menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana jika hal itu membuktikan tidak adanya unsur mental yang diperlukan oleh kejahatan yang dilakukan itu, atau sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14.

Bagian Ketujuh

Tidak Berlakunya Jabatan Resmi

Pasal 18

(1) Setiap orang diperlakukan sama di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi.

(2) Setiap orang yang menduduki suatu jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu pemerintahan atau parlemen, atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan orang tersebut dari tanggung jawab pidana dalam undang-undang ini.

(3) Jabatan resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dijadikan suatu alasan untuk mengurangi hukuman atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan.

(4) Kekebalan atau peraturan khusus yang mungkin terkait dengan jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau internasional, tidak menghalangi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk melaksanakan kewenangannya atas orang tersebut.

Page 15: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Bagian Kedelapan

Perintah Atasan

Pasal 19

(1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan atas perintah suatu pemerintah atau seorang atasan, baik militer atau sipil, tidak membebaskan tanggung jawab pidana orang tersebut, kecuali dalam hal:

a. Orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari Pemerintah atau atasan yang bersangkutan;

b. Orang tersebut tidak tahu bahwa perintah itu melawan hukum; dan

c. Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum.

(2) Perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perintah yang melawan hukum.

Bagian Kesembilan

Tanggung Jawab Komandan dan Atasan Lainnya

Pasal 20

(1) Seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando dan pengendaliannya, atau kekuasaan dan pengendalian yang efektif sebagaimana mungkin terjadi, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian yang semestinya atas pasukan tersebut, dimana:

a. seorang komandan militer atau seseorang baik telah mengetahui atau, berdasarkan pada kondisi pada saat itu, seharusnya telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan-kejahatan tersebut, dan

b. seorang komandan militer atau seseorang gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya dan layak dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan mereka, atau untuk menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwenang untuk penyelidikan dan penuntutan.

(2) Seorang atasan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh bawahan-bawahan yang ada dalam kewenangan dan kendali efektifnya, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian secara layak terhadap bawahan-bawahan tersebut, dimana:

a. atasan tersebut baik mengetahui ataupun secara sengaja mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan-bawahan tersebut sedang, telah, atau baru saja melakukan atau akan melakukan kejahatan tersebut;

b. kejahatan tersebut terkait dengan aktivitas-aktivitas yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian yang efektif dari atasan, dan

c. atasan telah gagal untuk mengambil seluruh tindakan yang diperlukan dan layak atau semestinya dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan tindak kejahatan tersebut atau untuk menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwenang untuk penyidikan dan penuntutan.

Page 16: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Bagian Kesepuluh

Daluarsa

Pasal 21

Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dalam undang-undang ini tidak tunduk pada setiap ketentuan mengenai daluarsa.

Bagian Kesebelas

Ne Bis In Idem

Pasal 22

(1) Setiap orang tidak dapat diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk kedua kalinya dalam hal orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sebelumnya, kecuali ditentukan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (2) Setiap orang tidak boleh diperiksa dan diputus dalam suatu pengadilan lain untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dimana orang tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius.

(3) Setiap orang yang yang telah diperiksa dan diputuskan oleh suatu pengadilan lain untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan undang-undang ini dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius berkenaan dengan perbuatan yang sama, kecuali proses perkara dalam pengadilan lain itu:

a. bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; atau

b. dilakukan secara tidak mandiri atau tidak memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses pengadilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara atau keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memeriksa orang yang bersangkutan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius.

BAB V

HUKUM ACARA

Page 17: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 23

Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

Bagian Kedua

Penangkapan

Pasal 24

(1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan dan/atau turut serta melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup;

(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan;

(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera penangkapan dilakukan;

(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik;

(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari;

(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Bagian Ketiga

Penahanan

Pasal 25

(1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan;

(2) Jaksa Agung sebagai penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan;

(3) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan;

inti, 02/11/13,
Tambahan brdsrkan RUU.
inti, 02/11/13,
Perubahan baru.
inti, 02/11/13,
Perubahan. Lebih tegas dan jelas.
inti, 02/11/13,
Berdasarkan RUU penemuan.
Page 18: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

(4) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga kuat melakukan dan/atau turut serta melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pasal 26

(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat, diperpanjang paling lama 90 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 27

(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 28

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 60 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 29

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari;

inti, 02/11/13,
Perubahan. Tanyakan pak jat dlu.
inti, 02/11/13,
Perubahan (progresif)
inti, 02/11/13,
Perubahan. Menyesuaiakan pasal/ayat sebelumnya.
Page 19: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 30

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Keempat

Penyelidikan

Pasal 31

(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;

(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.

Pasal 32

(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang:

a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;

c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;

d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;

e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;

g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1) pemeriksaan surat;

2) penggeledahan dan penyitaan;

inti, 02/11/13,
Siapa saja?? Perlu ada kriteria yang layak.
Page 20: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;

4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.

Pasal 33

(1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik;

(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik;

(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Bagian Kelima

Penyidikan

Pasal 34

(1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung;

(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan;

(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat;

(4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing;

(5) Unsur dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. Profesional, beritegritas tinggi, berdedikasi, mempunyai kepedulian terhadap hak asasi manusia;

f. setia kepada Pancasila dan undang-Undang Dasar 1945; dan

inti, 02/11/13,
Sesuai dengan RUU penemuan di bagian penjelasan.
inti, 02/11/13,
Komnas ham dan unsur masyarakat. Dan kemudian dibuat ayat baru yang menyatakan jika elemen komnas dan masyarakat memerlukan aparatur lebih utk mlakukan penyidikan atau penyelidikan bisa merekrut dari unsure pemerintah (kejaksaan).
inti, 02/11/13,
Diganti komnas ham
inti, 02/11/13,
Penyidikan juga dilakukan oleh komnas ham, dengan alasan memberikan kewenangan lebih dan untuk reformasi birokrasi dalam hal penyidikan untuk mencapai efektifitas. (lex specialis)
inti, 02/11/13,
Awalnya ‘penyidik’ kemudian diganti mjd ‘penyelidik’, krn seharusnya adalah ‘penyelidik’.
inti, 02/11/13,
Semula : 3)pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan; bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
Page 21: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

g. Tidak mempunyai kedekatan dengan kasus, korban, maupun dengan pihak yang diduga bertanggungjawab.

Pasal 35

(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik;

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung;

(5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan;

(6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam

Penuntutan

Pasal 36

(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung;

(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat;

(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing;

(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat:

a. Warga negara Republik Indonesia;

b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;

inti, 02/11/13,
Sesuai dengan RUU penemuan dibagian penjelasan.
Page 22: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

d. sehat jasmani dan rohani;

e. Profesional, beritegritas tinggi, berdedikasi, mempunyai kepedulian terhadap hak asasi manusia;;

f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan

g. Tidak mempunyai kedekatan dengan kasus, korban, maupun dengan pihak yang diduga bertanggungjawab.

Paragraf 3Proses Penuntutan

Pasal 37

(1) Penuntutan segera dilakukan setelah pengangkatan penuntut umum ad hoc oleh Jaksa Agung.

(2) Penuntut umum atau penuntut umum ad hoc segera melimpahkan berkas dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang berat paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas hasil penyidikan.

(3) Penuntut Umum melimpahkan berkas dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang berat Ad hoc terhitung 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang berat Ad hoc.

Pasal 38

(1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepda Jaksa Agung mengenai penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.Jaksa

(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh Jaksa Agung paling lambat 14(empat belas) hari setelah diterimanya permintaan keterangan.

Bagian Ketujuh

Sumpah

Pasal 39

Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".

SONY, 11/14/13,
Tadinya meminta jaksa agung mengenai penyyidikan juga tapi karna kita memindahkan penyidakan dan penyelidikan ke HAM jd penuntutan aja yg masuk
inti, 02/11/13,
Sesuai dengan RUU penemuan dibagian penjelasan.
inti, 02/11/13,
Sesuai dengan RUU penemuan di bagian penjelasan.
Page 23: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Bagian Kedelapan

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Paragraf 1

Umum

Pasal 40

(1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;

(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc;

(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.

Pasal 41

(1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung;

(2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang;

(3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Hakim HAM ad hoc yang sedang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana hak asasi manusia yang berat dilarang menangani perkara-perkara diluar yuridiksi pengadilan hak asasi manusia yang paling berat.

ftr, 11/03/13,
ditambahi pasal sesuai alasan logis, agar hakim adhoc tersebut lebih fokus dalam menyelesaikan kasus, sehingga tidak terpecah dan penyelesaian masalah ham berat bisa optimal oleh hakim yang bersangkutan
ftr, 11/03/13,
kenapa hakim ad hoc dibatasii?
inti, 02/11/13,
ga ush di tulis di pasal tapi ditulis di bagian penjelasan aja, tapi di pasal dituliskan klausa mengenai sumpah yg diucapkan oleh penyidik dan PU.
Page 24: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Paragraf 2

Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc

Pasal 42

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:

1. warga negara Republik Indonesia;

2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;

4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;

5. sehat jasmani dan rohani;

6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan

8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

Pasal 43

Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud. dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang pasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Page 25: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Paragraf 3

Acara Pemeriksaan

Pasal 44

Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM.

Pasal 45

(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi;

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc;

(3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang;

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.

Pasal 46

(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung;

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc;

(3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang;

(4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun;

(6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

Page 26: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;

d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;

e. sehat jasmani dan rohani;

f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan

h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia

BAB VI

PENGADILAN tindak pidana HAM AD HOC

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 47

(1) Tindak pidana hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ad hoc

(2) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Peraturan Presiden setelah memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan.

(3) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

(4) Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

(5) Pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi manusia ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

Page 27: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Bagian Kedua

Penyelidikan dan Penyidikan

Pasal 48

(1) Penyelidikan dan Penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana hak asasi manusia ad hoc yang terjadi sebelum tangal 23 November 2000 dilakukan oleh Komnas HAM.

(2) Dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) Komnas HAM berwenang melakukan tindakan berupa penyitaan surat-surat, penggeledahan, pemanggilan paksa dan tindakan lainnya sebagaimana kewenangan Komnas HAM dalam undang-undang ini.

Bagian Ketiga

Tata Cara Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ad hoc

Pasal 49

(1) Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan tindak pidana hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 memberikan laporan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keputusan mengenai usulan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ad hoc berdasarkan hasil penyelidikan dan dan penyidikan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh hari) sejak diterimanya laporan hasil penyidikan.

(3) Usulan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.

(4) Presiden membuat Peraturan Presiden tentang pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Ad Hoc dalam jangka waktu 1 (bulan) terhitung sejak diterimanya usulan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 50

Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB VIII

PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI

Pasal 51

(1) Setiap korban dan saksi dalam perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental untuk melindungi

ftr, 11/03/13,
DIPINDAH DR BAWAH KEATAS AGAR LEBIH SISTEMATIS STELAH PENGADILAN HAM – PENGADILAM HAM AD HOC
Page 28: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

keselamatan, kesejahteraan fisik dan psikologis, martabat dan privasi para korban dan saksi.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan, diantaranya Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban, aparat kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan semua faktor terkait, termasuk umur, jenis kelamin, kesehatan, serta sifat kejahatan yang terjadi.

(4) Setiap korban dan saksi dalam kejahatan yang melibatkan kekerasan seksual atau gender atau kekerasan terhadap anak-anak, penyelidik, penyidik, penuntut Umum dan pengadilan harus diperlakukan secara khusus termasuk prosedur pemeriksaan mengambil tindakan-tindakan tersebut terutama selama penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan semacam itu. Tindakan-tindakan ini

(5) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PERLINDUNGAN TERHADAP PENEGAK HUKUM

Pasal 52

(1) Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Advokat dalam melaksanakan tugasnya dalam perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berhak atas perlindungan baik fisik maupun mental. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang. (3) Tata cara mengenai perlindungan terhadap penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X

ftr, 11/03/13,
ftr, 11/03/13,
ftr, 11/03/13,
penambahan bab baru meningat di uu sebelumnya belum diatur lebih lanjut
ftr, 11/03/13,
ditambah 4 point agar penjelasannya lebih rinci
Page 29: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI

Pasal 53

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya harus memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;

(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM;

(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 54

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 55

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 56

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 57

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

ftr, 11/03/13,
dapat itu masih absurd, antara masih bisa diberi dan tidak, sehingga harus di beri keharusan dan pengasan dengan kata harus agar perlindungan saksi dan korban lebih optimal.
Page 30: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Pasal 58

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 59

Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

Pasal 60

(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:

a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau hampir melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana

(3) terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yaitu:

a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau hampir

melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

(4) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

SONY, 11/06/13,
Baru saja diganti hampir seperti NA 34
SONY, 11/06/13,
Kata baru saja diganti hampir hal 34na
SONY, 11/06/13,
Darikata dapat jadi harus liat na hal 34
Page 31: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Pasal 61

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 62

Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.

Pasal 63

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 64

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta,

Pada Tanggal ……………

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 32: BISMILAH RUU HAM - UNDIP baruuuu).doc

Diundangkan di Jakarta,

Pada Tanggal ……………………..

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

.

……………………..

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …… NOMOR ……