Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak

download Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak

of 15

description

kesehatan anak

Transcript of Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak

  • Kata Pengantar

    Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga

    penyusunan buku Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak dapat diselesaikan. Buku ini disusun

    sebagai salah satu upaya memperkenalkan kasus-kasus di bidang endokrinologi anak. Upaya ini

    dilakukan karena selama ini kasus-kasus endokrin anak relatif belum dikenal luas termasuk di

    kalangan medis baik dokter spesialis, dokter umum, maupun tenaga medis lain. Di samping itu

    pengenalan kasus-kasus endokrin anak ini juga untuk memberikan gambaran bahwa ilmu

    endokrinologi itu tidak sulit dipahami. Bahwa ada aspek-aspek genetik maupun biologi

    molekuler pada ilmu ini, juga tidak membuat ilmu ini otomatis sulit dimengerti karena memang

    perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sekarang sangat pesat.

    Akhirnya, semoga penyusunan buku ini bermanfaat bagi yang membaca dan

    mempergunakannya dalam praktek sehari-hari. Kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini

    sangat mungkin ditemui. Untuk itu masukan, kritik dan saran akan kami terima untuk

    perbaikan lebih lanjut.

    Surakarta, 14 Agustus 2011

    Penyusun

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 1

    BAB I

    MENGENAL DIABETES MELITUS TIPE 1 PADA ANAK

    Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes

    Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS

    [email protected]

    Pendahuluan

    Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir kuno lebih dari

    3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai sangat banyak buang

    air kecil. Sekitar 2000 tahun lalu, terdapat laporan dari Turki yang juga menyebutkan

    penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang banyak. Pada tahun

    1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang hampir bersamaan,

    menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat destruksi dari pulau-pulau

    Langerhans kelenjar pancreas (Brink SJ, dkk. 2010).

    Diabetes melitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.

    Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya adalah

    gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau

    gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005).

    Pada makalah ini akan dibahas gambaran umum tentang diabetes mellitus tipe 1,

    karena insidennya lebih banyak pada anak. Sedangkan diabetes mellitus tipe yang

    lainnya (tipe 2, gestasional ataupun tipe lain) tidak dibahas secara rinci.

    Epidemiologi

    Angka kejadian diabetes di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada

    anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari setiap 350 anak (pada usia 18 tahun). Puncak

    kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang

    anak. Kejadian pada laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Magge S. 2005).

    Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta

    Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden

    di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000

    penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100 ribu penduduk/tahun (Weinzimer

    SA, Magge S. 2005).

    Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registri

    nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi Anak PP IDAI, terjadi

    peningkatan dari jumlah sekitar 200-an anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi

    sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi

    apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa

    terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1

    yang dilaporkan. Data anak dengan DM di Subbagian endokrinologi anak IKA FK

    UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2008-2010 adalah sebanyak 11 penderita

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 2

    DM dengan rincian 4 meninggal karena KAD (semuanya DM tipe 1). Sedangkan 6 anak

    yang hidup sebagai penderita DM terdiri dari 3 anak DM tipe 1 serta 4 anak DM tipe 2.

    Klasifikasi

    International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO

    merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). DM tipe 1 terjadi

    disebabkan oleh karena kerusakan sel -pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat

    disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin

    berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM

    tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2

    biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas,

    hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium

    (Rustama DS, dkk. 2010).

    Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009).

    I. DM Tipe-1 (destruksi sel- )

    a. Immune mediated

    b. Idiopatik

    II. DM tipe-2

    III. DM Tipe lain

    a. Defek genetik fungsi pankreas sel

    b. Defek genetik pada kerja insulin

    c. Kelainan eksokrin pankreas

    Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasia; Kistik

    fibrosis; Haemokhromatosis; Fibrokalkulus pankreatopati;

    Dan lain-lain

    d. Gangguan endokrin

    Akromegali; Sindrom Cushing; Glukagonoma;

    Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma;

    Aldosteronoma; Dan lain-lain

    e. Terinduksi obat dan kimia

    Vakor; Pentamidin; Asam Nikotinik; Glukokortikoid;

    Hormon tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid;

    Dilantin; -interferon; Dan lain-lain

    IV. Diabetes mellitus kehamilan

    Sumber: ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009.

    Kriteria Diagnosis

    Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala

    (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 3

    dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling

    tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS,

    dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009).

    Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah:

    1. Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau

    2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dl atau

    3. Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl.

    Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan

    penunjang, yaitu C-peptide

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 4

    Periode honey-moon

    Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini sisa-

    sisa sel -pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin dari

    dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan berkurang

    hingga kurang dari 0,5 U/kg berat badan/hari. Namun periode ini hanya

    berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu

    adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang

    menetap.

    Periode ketergantungan insulin yang menetap

    Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. Pada periode ini

    penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya.

    Pitfall dalam diagnosis

    Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak

    terlalu khas dan mirip dengan gejala penyakit lain. Di samping kemiripan gejala

    dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari kemungkinan

    penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum

    pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi

    pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah:

    1. Sering kencing: kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih

    atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah

    adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah

    enuresis lagi.

    2. Berat badan turun atau tidak mau naik: kemungkinan diagnosis adalah

    asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini

    disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering

    pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak.

    3. Sesak nafas: kemungkinan diagnosisya adalah bronkopnemonia. Apabila

    disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala

    sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas

    cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada

    bronkopnemonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.

    4. Nyeri perut: seringkali dikira sebagai peritonitis atau apendisitis. Pada

    penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.

    5. Tidak sadar: keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan

    diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera

    kepala (Brink SJ, dkk. 2010)

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 5

    Pilar-pilar Manajemen DM Tipe 1

    Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan berupa

    pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang perlu diperhatikan dalam

    tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka

    pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice

    Consensus Guidelines. 2009)

    Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu:

    1. Insulin

    2. Diet

    3. Aktivitas fisik/exercise

    4. Edukasi

    5. Monitoring kontrol glikemik

    1. Insulin

    Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita

    DM Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis

    insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang

    diperlukan.

    a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,

    kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran

    (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis

    insulin ini tergantung regimen yang digunakan.

    b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg berat

    badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur

    disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun

    penderitanya.

    c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional

    serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat

    berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan

    regimen intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal

    bolus dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal

    maupun dosis bolus.

    d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal

    absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya), lengan atas,

    lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk

    absorpsinya.

    e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari

    beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia

    pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat

    badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit.

    2. Diet

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 6

    Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk

    mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 50-

    55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan

    kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang

    diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari

    sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran

    pengaturan persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang serta 25%

    makan malam, diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan

    kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan.

    Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat

    untuk menentukan dosis pemberian insulin.

    3. Aktivitas fisik/exercise

    Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga

    akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan

    apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu

    menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap

    insulin.

    Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko

    hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak

    DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan

    olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk

    olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.

    Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan

    adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di

    bawah 90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet

    karbohidrat untuk mencegah hipoglikemia.

    4. Edukasi

    Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita

    maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,

    patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin

    (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping

    penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c

    yang diinginkan.

    5. Monitoring kontrol glikemik

    Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah

    baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup

    pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka

    panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari.

    Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 7

    insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu

    dipantau

    Tabel 2. Target kontrol metabolik pada anak dengan DM tipe 1

    Target

    metabolik

    Baik

    sekali

    Baik Sedang Kurang

    Preprandial

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 8

    Daftar Pustaka

    Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and adolescents,

    basic training manual for healthcare professionals in developing countries, 1st ed.

    Argentina: ISPAD, h 20-21.

    Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam: Moshang T

    Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.

    Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).

    Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan,

    editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161.

    ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 1

    BAB 2

    MENGENAL HIPOTIROID KONGENITAL

    Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes

    Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS

    [email protected]

    Definisi dan Epidemiologi

    Hipotiroid adalah keadaan yang disebabkan oleh kurangnya produksi hormon tiroid

    atau kelainan aktivitas reseptor hormon tiroid. Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi

    tiroid yang terjadi sebelum atau saat lahir. Berdasarkan penyebabnya dapat dibagi hipotiroid

    primer, sekunder dan tersier. Hipotiroid primer terjadi apabila kelainan terdapat pada kelenjar

    tiroid. Hipotiroid sekunder terjadi kelainan pada kelenjar hipofisis, dan hipotiroid tersier terjadi

    kelainan pada hipotalamus (LaFranchi S. 2000).

    Prevalensi di seluruh dunia sekitar 1:3000-4000. Pada penderita sindroma Down

    insiden hipotiroid kongenital lebih tinggi, yaitu 1:141. Tidak ada perbedaan kasus ini

    berdasarkan jenis kelamin, tetapi penelitian lain mengatakan perempuan lebih tinggi daripada

    laki-laki, yaitu 2:1. (LaFranchi S. 2000; Fort PF, Brown RS. 1996; Fadil R. 2005; Rossi WC,

    Caplin N, Alter CA. 2005)

    Patogenesis

    Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi sebagai suatu divertikulum,

    yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada bucopharyngeal cavity. Kelenjar tiroid yang

    berkembang turun pada leher anterior, pada branchial pouches ke-4 dan mencapai posisi orang

    dewasa setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi. Proses migrasi dari faring posterior ke leher

    anterior ini dapat terhenti yang mengakibatkan timbulnya kelenjar tiroid ektopik (Fadil R.

    2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).

    Pada umur gestasi 10-11 minggu, kelenjar tiroid fetal sudah mampu menghasilkan

    hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat gestasi 18-20 minggu, kadar T4 (tiroksin)

    dalam sirkulasi fetus sudah mencapai kadar normal, pada masa ini aksis pituitari-tiroid fetal

    secara fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid maternal. Produksi T3

    (triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu

    gestasi (Fort PF, Brown RS. 1996; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).

    Kelenjar tiroid memerlukan tirosin dan iodium untuk membuat T4 dan T3, iodium

    masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid dengan cara transport aktif. Di dalam sel, iodium akan

    dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodida. Kemudian terjadi organifikasi, yaitu

    iodida akan berikatan dengan molekul tirosin sehingga terbentuk Monoiodotirosin (MIT) dan

    Diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi proses coupling. Dua molekul DIT akan membentuk

    tetraiodotironin=tiroksin (T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 2

    membentuk triiodotironin (T3). Tiroglobulin dengan T3 dan T4 berikatan dan disimpan dalam

    lumen folikel.4 TSH akan mengaktifkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan

    T3 dan T4 dari tiroglobulin. T4 merupakan hormon utama yang diproduksi dan dilepaskan oleh

    kelenjar tiroid dan hanya 10-40% dari T3 dalam sirkulasi yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid,

    sedangkan sisanya dihasilkan dari proses monodeiodonisasi dari T4 di kelenjar perifer. (Lane

    PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Guyton AC. 1995).

    T3 merupakan mediator utama yang mempunyai efek biologis dari kelenjar tiroid

    dengan mengadakan interaksi dengan reseptor nuclear specific. Bila terjadi abnormalitas dari

    reseptor tersebut akan mengakibatkan terjadinya hormon tiroid resisten. Pemeriksaan T3

    dilakukan apabila dicurigai adanya resisten hormon tiroid yaitu ditemukan gejala klinis

    hipotiroid namun kadar T4 dan TSH-nya normal, serta dibuktikan tidak adanya kelainan kadar

    T3 (Fadil R. 2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995).

    Pengaruh kadar hormon tiroid ibu terhadap fetus sangat minimal, tapi penyakit tiroid

    ibu dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid fetus atau neonatus. Hormon T4 dapat melewati

    plasenta secara bebas, sedangkan hormon-hormon tiroid lain tidak (LaFranchi S. 2000).

    Autoantibodi IgG pada ibu penderita tiroiditis autoimun dapat melewati plasenta dan akan

    menghambat fungsi kelenjar tiroid fetus (Dussault JH, Fisher DA. 1999). Tiamin yang dipakai

    untuk terapi hipertiroid dapat memblok sintesis hormon tiroid fetal, tapi kebanyakan hal ini

    bersifat transien. Iodium radioaktif yang dipakai ibu hamil akan merusak kelenjar tiroid fetus

    secara permanen (Fadil R. 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001). Obat-obat lain yang

    dapat mempengaruhi kelenjar tiroid adalah litium, estrogen, testosteron, salisilat dan

    antikonvulsan (karbamazepin, fenobarbital, difenilhidantoin, fenitoin) (Rossi WC, Caplin N,

    Alter CA 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001).

    Hormon tiroid memberikan efek yang luas pada pertumbuhan, perkembangan dan

    metabolisme, termasuk perubahan konsumsi oksigen, metabolisme protein, karbohidrat, lipid

    dan vitamin (Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995). Hormon tiroid diperlukan

    untuk pertumbuhan otak dan proses mielinisasi dari sistem konektivitas jaringan saraf. Periode

    kritis terbesar untuk perkembangan otak akan dipengaruhi hipotiroid, yaitu pada beberapa

    minggu atau bulan setelah lahir (Fadil R. 2005).

    Etiologi

    Etiologi dari hipotiroid kongenital tidak selalu mudah diketahui. Beberapa etiologi

    adalah sebagai berikut:

    - tiroid agenesis, tiroid disgenesis (aplasia, hipoplasia), tiroid ektopik sekitar 75-85%.

    - dishormogenesis (TSH unresponsiveness, iodine trapping defect, defek organifikasi, defek

    tiroglobulin, defisiensi atau insensitif terhadap TRH) sekitar 10-18%.

    - disfungsi aksis hipotalamik-pituitari-tiroid sekitar 5%.

    - transplasental obat antitiroid dari ibu ke bayi (iodium, obat-obatan atau antibodi ibu) sekitar

    10%.

    - resistensi jaringan perifer terhadap hormon tiroid.

    - ibu yang mengkonsumsi makanan goitrogenik (Fadil R. 2005; Djemli A, dkk. 2004; Caron P,

    dkk. 2003; Unachak K, Dejkhamron P. 2004).

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 3

    Manifestasi Klinis

    Manifestasi klinik tergantung dari tingkat fungsi kelenjar tiroid. Gejala hipotiroid yang

    khas seringkali ringan atau tidak ada selama minggu-minggu pertama kehidupan. Hanya 10-

    15% bayi baru lahir dengan hipotiroid yang terlihat secara klinis (Fort PF, Brown RS. 1996).

    Manifestasi klinis awal berupa letargi, malas minum, kurang aktif, distres pernafasan,

    hipotonia otot, fontanel anterior dan posterior terbuka dan lebar, pucat, sianosis perifer, suara

    tangis serak, konstipasi, hipotermi, dan prolonged physiologic jaundice (Kappy MS, Steelman

    JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001).

    Manifestasi klinis lanjut berupa depresi nasal bridge, muka yang sempit (narrow

    forehead), kelopak mata bengkak, kulit kasar tebal dan kering, rambut kasar, lidah besar,

    distensi abdomen, hernia umbilikalis, refleks menurun, bradikardia, kardiomegali, efusi

    perikardial asimtomatik, hipotensi, gangguan tekanan nadi, tuli neurosensoris, anemia tak

    berespon terhadap besi, dapat terjadi slipped capital femoral epiphysis, gangguan

    pertumbuhan dan perkembangan, retardasi mental, maturasi seksual terlambat, Kocher-Debre

    semeliain syndrom yang terdiri dari hipertropi seluruh otot sehingga anak seperti Herculean

    appearance (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001).

    Pemeriksaan penunjang

    1. Laboratorium

    Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan darah rutin/darah perifer lengkap dan

    fungsi tiroid (TSH, T4, T3, TBG). Pemeriksaan fungsi tiroid yang diperiksa untuk hipotiroid

    adalah TSH, T4 total (TT4), atauT4 bebas (fT4).

    Kadar TSH normal di bawah 20-25 uU/ml setelah 24 jam pertama kehidupan. Bila kadar

    TSH antara 25-50 uU/ml maka perlu evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar

    TSH>50 uU/ml kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Pada pasien ini kadar

    TSH 494,46 uIU/ml, sehingga didiagnosis hipotiroid kongenital primer. Kadar TSH yang

    sangat tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena atireosis/aplasia tiroid,19

    dan hasil dari USG pasien menyokong diagnosis adanya disgenesis kelenjar tiroid

    (hipoplasia). Hasil pemeriksaan kadar AMA dan ATA yang negatif, menyingkirkan adanya

    hipotiroid yang didapat (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS.

    2001).

    Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid. Biasanya anemia normositik normokrom,

    terkadang mikrositik karena penurunan absorpsi besi, atau makrositik karena defisiensi

    folat dan kobalamin. Gambaran sumsum tulang tampak lemak lebih banyak dan hiposeluler,

    sedangkan eritropoesis biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik dan sumsum tulang

    megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun sehingga antibodi melawan sel

    parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid.Terapi hormon biasanya cukup efektif

    memperbaiki anemia tsb (Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Kappy MS, Steelman JW,

    Travers SH, Zeitler PS. 2001; Lanzkowsky P. 1995).

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 4

    2. Radiologis:

    Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui beberapa

    gejala dari hipotiroid, seperti adanya kardiomegali pada foto toraks, umur tulang yang

    terlambat (delayed bone age) (Fadil R. 2005).

    3. Sidik tiroid:

    Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 yang dapat membantu

    menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya uptake radionuclide memberikan

    kemungkinan sporadic athyroid hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual atau sublingual

    (Fadil R. 2005).

    4. USG:

    Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi pemeriksaan ini tidak

    dapat menentukan adanya tiroid ektopik ((Fadil R. 2005).

    Pengobatan

    Tindakan utama pengobatan hipotiroid kongenital adalah diagnosis dini dan

    replacement hormon tiroid. Waktu paling baik pemberian hormon tiroid bila diagnosis dapat

    ditegakkan sebelum bayi berumur 13 hari dan kadar hormon tiroid dalam darah mencapai

    normal dalam umur 3 minggu (Topliss DJ, Eastman CJ. 2004; Kappy MS, Steelman JW,

    Travers SH, Zeitler PS. 2001).

    Obat yang diberikan adalah Na-levotiroksin. Dosis obat berbeda-beda menurut umur

    pasien dan juga berdasarkan respon klinis maupun laboratorium terhadap terapi yang

    diberikan.

    Dosis: umur dosis (ug/kg)

    0-3 bulan 10-15

    3-6 bulan 8-10

    6-12 bulan 6-8

    1-5 tahun 5-6

    6-12 tahun 4-5

    >12 tahun 2-3

    Tanda-tanda overtreatment yang harus dievaluasi selama terapi hormon adalah

    nervousness, hiperaktif, kecemasan, takikardia, palpitasi, tremor, demam, diaforesis, keluhan di

    perut, berat badan menurun.

    Prognosis

    Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih

    baik (Caron P, dkk. 2003; Narendra MB. 2002).Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa

    walaupun diterapi sedini mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit

    (Hanukoglu A, dkk. 2001).

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 5

    DAFTAR PUSTAKA

    LaFranchi S (2000). Disorders of the thyroid gland. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

    HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadephia:WB Saunders Co;1696-1705.

    Fort PF, Brown RS (1996). Thyroid disorders in infancy. Dalam:Lifshitz F. Pediatric

    Endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker Inc:369-381.

    Fadil R (2005). Hipotiroid kongenital. Dalam: Simposium peran endokrinologi anak dalam

    proses tumbuh kembang anak. Padang: Bagian IKA FK Unand bekerjasama dengan UKK

    Endokrinologi Anak IDAI. h. 8-17.

    Djemli A, Fillion M, Belgoudi J, Lambert R, dkk (2004). Twenty years later: a reevaluation of

    the contribution of plasma thyroglobulin to the diagnosis of thyroid dysgenesis in infants with

    congenital hypothyroidism. Clinical Biochemistry.37:818 822.

    Rossi WC, Caplin N, Alter CA (2005). Thyroid disorders in children. Dalam:Moshang T, Jr.

    Pediatric endocrinology: the requisites in pediatrics. Edisi 1. Missouri: Mosby Inc.h.171-190.

    Caron P, Moya CM, Malet D, Gutnisky VJ, Chabardes B, Rivolta CM, Targovnic HM (2003).

    Compound heterozygous mutations in the thyroglobulin gene (1143delC and 6725G3A

    [R2223H]) resulting in fetal goitrous hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.88:35463553.

    Unachak K, Dejkhamron P (2004). Primary congenital hypothyroidism: clinical characteristics

    and etiological study. J Med Assoc Thai.87(6):612-617.

    Topliss DJ, Eastman CJ (2004). Diagnosis and management of hyperthyroidism and

    hypothyroidism. MJA 2004;180:186193.

    Lane PA, Nuss R, Ambruso DR (2001). Hematologic disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,

    Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric diagnosis &

    treatment.Edisi 15.New York:McGraw-Hill Inc. h.750-751.

    Guyton AC (1995). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.h.677-

    686.

    Dussault JH, Fisher DA (1999). Thyroid function in mothers of hypothyroid newborns. Obstet

    Gynecol.93:1520.

    Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS (2001). Endocrine disorders. Dalam: Hay WW,

    Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric

    diagnosis & treatment. Edisi 15. New York: McGraw-Hill Inc.h.843-845.

    Hanukoglu A, Perlman K, Shamis I, Brnjac L, Rovet J, Daneman D (2001). Relationship of

    etiology to treatment in congenital hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.86:186191.

    Lanzkowsky P (1995). Manual of pediatric haematology and oncology. Edisi ke-2. New York:

    Churchill Livingstone Inc.h.66-67.

  • Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes Fakultas Kedokteran UNS Page 6

    Narendra MB (2002). Penilaian dan perkembangan anak. Dalam: Narendra MB, Sularyo T,

    Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGN, editor. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1.

    Jakarta: CV Sagung Seto.h.95-111.