MENGEMIS SEBAGAI PROFESI (Tinjauan Antropologi...
-
Upload
truongngoc -
Category
Documents
-
view
239 -
download
6
Transcript of MENGEMIS SEBAGAI PROFESI (Tinjauan Antropologi...
MENGEMIS SEBAGAI PROFESI
(Tinjauan Antropologi Hukum pada Masyarakat Cikokol
Kota Tangerang)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun oleh:
Hotifah Hartati
106043101301
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 oktober 2010
Hotifah Hartati
i
KATA PENGANTAR
Segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, dzat
yang menggenggam langit dan bumi, yang merajai hati manusia dan mampu meluluhkan
dan menguasai hati yang lirih dan yang memberikan kepada penulis kekuatan dan
kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis
dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam. Semoga dihari akhirat
nanti seluruh umat Islam mendapatkan Syafa’atul Uzma dari beliau. Amiin
Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu
di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai
hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua
ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para
pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Mukri Aji, MA dan Bapak Dr. M. Taufiki selaku Ketua Jurusan dan
Sekretaris Jurusan program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang
ii
dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1
di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bpk Drs. Noryamin Aini, MA selaku dosen pembimbing yang senantiasa
membimbing penulis dengan sabar dari awal hingga selesainya penulisan skripsi
ini.
4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi
ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis
dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal
kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.
5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
6. Bapak lurah beserta staff kelurahan Cikokol Tangerang yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan riset di kelurahan Cikokol serta telah
membantu dalam kelancaran birokrasi.
7. Sebagian masyarakat kelurahan Cikokol yang telah bersedia menjadi responden
guna mengumpulkan data untuk menyeselesaikan skripsi ini.
8. Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada ayahanda dan ibunda
tercinta, Bpk, Hamzah dan Ibu Titi muryati terimakasih yang seagung-agungnya
atas perhatian, cinta, kasih sayang, pengorbanan, keiklasan, kesabaran yang tak
pernah habis serta doa-doa yang tak henti-hentinya mereka panjatkan kepada
allah SWT agar penulis senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam belajar,
bekerja, dan dalam hidup yang hanya sementara ini, juga atas perjungan mereka
iii
yang telah mendidik dan mengajarkan penulis tentang arti kehidupan. Penulis
bangga ditakdirkan menjadi bagian dari hidup seorang sehebat dan setegar ayah
dan ibu.
9. Seluruh keluarga besar penulis kakak dan adik-adikku, kepada kakaku Amirudin
Spd. MA. teh karmilati S.E dan adik-adikku, syarif, zay, fikri dengan kecerian,
canda tawa mereka memberikan semangat kepada penulis agar penulis cepat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan PMF 2006. Selama 4 tahun kenal dan kuliah
bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.
11. Khusus untuk teman terbaik dan tersayang, anis dan raden, rival terima kasih
untuk motivasi yang tidak pernah dan henti kalian limpahkan untuk penulis.
Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai
kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini jauh dari kesempurnaan, saran dan
kritik sangat penulis harapkan demi kebaikan ke depan.
Ciputat, 3 Juni 2010
Hotifah Hartati
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. iv
Daftar Tabel ........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Metode Penelitian ......................................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ............................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II HUKUM DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF
ANTROPOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM
A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum ............................. 13
B. Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum ...................................... 17
C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam ......................................... 20
D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam .... 24
E. Pengemis dan perilaku mengemis………………………………… 28
v
BAB III PROFIL KELURAHAN CIKOKOL KOTA TANGERANG
A. Letak Geografis Kelurahan Cikokol ………………......…………. 35
B. Kondisi Demografis Kelurahan Cikokol……………………...….. 36
C. Kedaan sosiologis kelurahan Cikokol………………..…………... 38
BAB IV MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL
KOTA TANGERANG
A. Komunitas Pengemis Cikokol……………………………………. 44
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Mengemis………..... 63
C. Mengemis Tinjauan Antropologi Hukum dan Hukum Islam…… 65
D. Penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis………… 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 75
B. Saran-saran ……………………………………………………… 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
2.1 Tingkat kemiskinan menurut pendapatan beras perkapita………… 26
3.1 Jumlah penduduk berdasarkan kk…………..................................... 41
3.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin………………………. 42
3.3 Jumlah penduduk berdasarkan usia………………………………… 42
3.4 Jumlah penduduk berdarkan kewarganegaraan……………………. 43
3.5 Jumlah penduduk berdasarkan tinggkat pendidikan……………….. 44
3.6 Jumlah sarana pendidikan negri……………………………………. 44
3,7 Sarana pendidikan swasta………………………………………….. 45
3.8 Jumlah keagamaan…………………………………………………. 46
3.9 Jumlah sarana ibadah………………………………………………. 47
3.10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan……………………. 48
4.1 Data pendidikan terakhir responden……………………………….. 53
4.2 Data tempat tinggal responden …………………………………..... 55
4.3 Data usia pengemis……………………………………………….... 56
4.4 Identitas kelamin…………………………………………………… 57
vii
4.4 Data sudah berapa lama bekerja menjadi pengemis……………….. 58
4.5 Data pekerjaan sebelum menjadi pengemis………………………... 59
4.6 Data siapakah yang mensosialisasikan mengemis………………….. 60
4.7 Data jam bekerja pengemis…………………………………………. 61
4.8 Data ststus pernikahan pengemis…………………………………… 62
4.9 Data daerah asal pengemis…………………………………………. 63
4.10 Data pendapatan pengemis perhari…………………………………. 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama,
ras, dan multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya
bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia.1
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling
abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan
konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat,
mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.2
Kemajmukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan
pengertian yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri
bergantung pada aspeks di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap
pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat.3
Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku (bebevior), yakni
suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi. Salah
satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni gerak yang terikat oleh empat
syarat : Pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi
1 I Nyoman Nurjaya, Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum,
(Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2008), h.2. 2Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980), h.204.
3E.K.M. Masinabow, Hukum dan Kemajmukan Budaya, Sumbangan Karangan Untuk
Menyambut Hari Ultah Tahun Ke-70 prof.T.O. I hromi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h.6.
2
pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat.
Terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.4
Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara
berulang, yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan
mewujudkan kebahagiaan, kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban,
keadilan dan kedamaian dalam melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu
sistem kontrol-sosial.5
Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup
bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan
mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna
mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan
mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan
mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum.
Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam
masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan
kesamaan dan keserasian perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau
sebagian dari masyarakat itu. Jadi jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi
hukum ditunjukan pada suatu garis perilaku yang menunjukan kejadian terus-
menerus.
4 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003),
h.6. 5 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung:PT.Alumni, 2006), h.6.
3
Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat
Cikokol dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni
dalam keadaan kekuranganuang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak
terpenuhinya kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang
sangat komplek, baik dari faktor penyebabnya maupun dampak yang akan
ditimbulkan dari masalah kemiskinan tersebut, dari masalah kemiskinan inilah
banyak orang yang mengambil profesi sebagai pengemis. Masalah pengemis adalah
masalah yang pelik.6 Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja.
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan
untuk bekerja dan Al-Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta
mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan
hidup dengan kesungguhan dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh
manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.7
Fenomena pengemis telah merebak luas dikota-kota besar di Indonesia,
khususnya Cikokol. Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu
lintas, dipersimpangan lampu merah, hingga mengganggu kenyamanan pejalan
kaki.
Di masyarakat Cikokol kota Tangerang jumlah pengemis setiap tahun
semakin meningkat. Ironisnya ada salah satu keluarga yang semua anggota
berprofesi sebagai pengemis dan menjadikan pekerjaan mengemis sebagai budaya,
6 Ali yafie, Nuansa Fiqih SoSial, ( Bandung : Mizan, 1995) , h.10.
7 Baqir Syarif Qorashi,Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam, (Jakarta : Al-
Huda, 2007), h.20.
4
padahal mereka jelas mengetahui bahwa terdapat hukum yang mengatur tentang
larangan mengemis di daerah Cikokol.
Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia
harus mengemis di jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis
hanya untuk mengambil keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah
bahkan telephon selular. Dalam koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui
bahwa kesuksesan yang ia raih berawal dari hasil mengkoordinir pengemis-
pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut pengakuan bos pengemis tersebut,
dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli rumah, alat rumah tangga, dan
bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak buah yang dijadikan
sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa menghasilkan 200 s/d 300
ribu perhari.8
Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan asal-
usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya,
perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya
manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu
sistem pola perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula
suatu sistem kepribadian (personality) manusia itu yang sama.9
8http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses pada tanggal 2
januarai 2009. 9 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h.5.
5
Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang
yang diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan
menyebabkan menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan,
justru membuat pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa
berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya,
mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau
sebagai profesi. Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi
budaya pada diri masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa
mengemis adalah profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu
untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu
mereka berani melanggar peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di
daerah tersebut. Padahal pemerintah setempat telah berusaha menegakkan hukum
dengan cara mengadakan pembersihan kota dengan menagkap dan mengusir para
pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan terus menjalankan profesinya.
Oleh karena itu penulis akan membahas apa yang akan menjadi dasar pada
perilaku yang ada di masyarakat Cikokol kota Tangerang dan bagaimana
penegakkan hukum terkait tentang masalah pengemis.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah
mengemis sebagai profesi dan faktor-faktor yang melatar belakangi masalah
tersebut, dengan sudut pandang Antropologi Hukum.Pada akhirnya penelitian ini
akan menjadi sebuah skripsi dengan judul ”MENGEMIS SEBAGAI PROFESI
(Tinjauan Antropologi Hukum pada Masyarakat Cikokol kota Tangerang )”.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih teraraH
maka penulis hanya membatasi tentang ruang lingkup pengemis yang berada di
Kelurahan Cikokol Kota Tangerang.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan diatas maka masalah yang dapat penulis rumuskan adalah
sebagai berikut :
a. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis dikomunitas
masyarakat Cikokol?
b. Bagaimana Profesi Pengemis dalam Perfekstif Antropologi Hukum?
c. Bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis
di masyarakat Cikokol.
b. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum terhadap budaya pengemis
sebagai profesi.
c. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan
mengemis.
7
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Bagi penulis, kegunaan yang diharapkan berkembangnya wawasan
khasanah dan peka terhadap masalah yang berkembang yang ada
dimasyarakat.
b. Bagi mahasiswa, memberikan sumbangan keilmuan tentang budaya
Pengemis yang berkembang dimasyarakat Cikokol
c. Bagi Masyarakat, memberikan informasi dan gambaran bagaimana
Masyarakat lebih memilih memberi kepada pengemis yang sebenarya.
D. Studi Review
Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan
penulis melihat ada yang membahas tentang pengemis, seperti pada skripsi dibawah
ini :
1. Syarif. Pengemis dalam perpspektif Al-Hadits; Analisa kritis Hadits hadits Hak
al-sail dalam kitab sunan Abi Daud. Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usulludin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1425 H/2004. Pada skripsi
ini membahas tentang pengemis yang di pandang dari kaca mata hadits,
mengenai analisa kritis hadits-hadits Haq al-Sail dalam kitab sunan Abi Daud.
Dan dalam skripsi ini tidak menerangkan tentang berkembangya budaya
mengemis sebagai profesi hanya menganalisis pengemis dari sudut pandang
hadist, dalam kitab Sunan Abi Daud.
8
2. Muhammad Akmal. Pelayanan sosial bagi gelandangan dan pengemis di panti
sosial Bina Karya “pengudi luhur”bekasi. Jurusan Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas`Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta 1430/2009. Pada skripsi ini membahas tentang bagaimana pelayanan
gepeng dan jenis pelayanan apa saja yang diberikan di panti sosial Bina Karya
dalam membina para gelandangan dan pengemis.
Dan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang mengemis sebagai profesi
dalam tinjauan Antropologi Hukum, apa yang menjadi kultur dalam profesi
mengemis dan meneliti pengemis dari perfekstif Antropologi Hukum yang berada
didaerah Cikokol Tangerang. Jadi disinilah letak perbedaan dengan skripsi
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian antropologi hukum,
yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang-
ulang dan terus menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah merupakan sesuatu
yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.10
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu
suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala gejala lainnya. Dalam hal ini,berupa kata-
10
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: PT Alumni, 1986), h.27.
9
kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang bersangkutan .perilaku yang
diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeksripsikan budaya
mengemis pada masyarakat Cikokol yang telah penulis dapatkan dari informan
yaitu tokoh agama, kelurahan ,masyarakat setempat.
2. Sumber data
Adapun sumber data yaitu:
a. Data primer yaitu data yang dipeloreh secara langsung dari masyarakat11
data ini meliputi wawancara dengan pengemis ,masyarakat sekitar ,tokoh
agama dan lurah yang dianggap megetahui perilaku mengemis di
masyarakat Cikokol.
b. Data sekunder yaitu data yang dipeloreh dari bahan pustaka12
data ini
terdiri dari buku -buku artikel - artikel internet dan dari informasi lain
yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data dengan cara sebagai berikut :
a. Observasi
Obersasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,
mecari jawaba,mencari bukti terhadap fenomena yang berkaitan dengan
11
Sukandarrumudi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004),h.104. 12
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003), h.6.
10
perilaku masyarakat dengan mencatat fenomena tersebut guna
menemukan data analisis.
b. Indepth interview (wawancara mendalam)
Interview adalah mengadakan wawancara melalui percakapan tertentu
dengan subjek penelitian yaitu para pengemis lurah, tokoh agama dan
masyarakat sekitar dengan menunjukan pertanyaan yang berkaitan dengan
apa yang diteliti13
4. Studi dokumentasi
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
adala pedoman wawancara dan pedoman observasi dan didukung dengan buku
catatan dan foto -foto.
5. Teknik analisis data
Penulisan ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, data-data yang
dipeloreh melalui wawancara dan pengamatan. Data akan diolah dan dianalisis
secara deskriptif untuk kemudian ditarik kesimpulannya.
6. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh fakultas syari’ah dan hukum universitas
islam negeri syarif hidayatullah Jakarta tahun 2007.
13
Sudarman Darwin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000),
h.105.
11
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi kedalam
empat bab,yang secara garis besar penulis jabarkan sebagai berikut:
BAB I : Bab ini Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II Bab ini membahas tentang hukum dan budaya dalam
perspekstif antropologi hukum dan hukum Islam yang terdiri
dari, hukum dalam perspektif antropologi hukum, kesadaran
hukum dan ketaatan hukum, hukum dalam perspektif hukum
Islam, budaya kemiskinan dan mengemis pandangan hukum
Islam, pengemis dan perilaku menngemis,faktor-faktor yang
mendorong orang mengemis.
BAB III Bab ini membahas Tentang profil kelurahan Cikokol Kota
Tangerang yaitu letak geografis kelurahan Cikokol, kondisi
demografis kelurahan Cikokol dan keadaan sosiologi.
BAB IV Bab ini menerangkan tentang mengemis sebagai profesi di
masyarakat Cikokol kota Tangerang, yang menerangkan
tentang komunitas pengemis Cikokol, factor-faktor yang
12
mempengaruhi budaya mengemis, mengemis tinjauan
antropologi hukum dan hukum islam, kegiatan hukum yang
mengatur kegiatan mengemis.
BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari
pembahasan yang sebelumnya, dan juga saran-saran sebagai
sumbangsih untuk kemashalatan bersama.
13
BAB II
HUKUM DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum
Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli
hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Bahkan Immanuel Kant ±150
tahun yang lalu berkata, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem
Begriffe von Recht”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, “tidak
seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum”.1
Namun demikian, para ahli hukum tetap mencoba mendefinisikan hukum
dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang filsafat,
sosiologi, politik dan sejarah, dll.
Para ahli filsafat mendefinisikan hukum sebagai nilai yang
merupakan salah satu unsur pandangan manusia mengenai hal-hal yang harus
dianuti karena dianggap baik, dan hal-hal yang seharusnya dihindari karena
dianggap buruk.
Ahli sosiologi hukum atau sosiolog mendefinisikan hukum yang
secara umum berarti ilmu pengetahuan hukum yang menekankan pada studi
dan analisa secara empiris, terhadap hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala-gejala sosial lainnya.2
1 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum “Apakah itu?”, (Bandung: Remadja Karya, 1985) cet.II,
h.1. 2 Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. XI.
14
Ahli politik atau politikus mendefinisikan “hukum sebagai produk
politik”. Sebagai fakta sebenarnya, bukan hanya hukum dalam arti Undang-
undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum
dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.3
Ahli antropologi hukum, Pospisil4 menyebutkan bahwa hukum
sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena
itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi
oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi
dan religi, sedangkan Moore5 berpendapat bahwa hukum dipelajari sebagai
proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu,
hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan
perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga
hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber
dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di
dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self
regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial (control
social).6
Hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa fungsi
fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:
3 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.6.
4 Nama lengkapnya Leopold Pospisil. Ia adalah antropolog pertama yang melakukan
penelitian lapangan di Papua New Guinea pada tahun 1950-an dan menuliskan buku tentang hasil
penelitiannya Kapauku Papuans and Their Law yang diterbitkan oleh Yale University Press. 5 Henrietta Moore adalah seorang ahli teori terkemuka antropologi feminist. Beberapa
karyanya adalah Feminisme dan Antrolopi, Anthropological Theory Today. 6 http://www.antropologi/antropologihukum.com
15
1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya
berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat,
2. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,
3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali, dan
4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan
antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi
suatu perubahan-perubahan.7
Antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang
manusia (tropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud
adalah individu yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dengan
yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif)
maupun masyarakat yang sudah modern (maju). Budaya yang di maksud
adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang
mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.
Hukum dalam perspektif antropologi memiliki arti luas. Ia bukan saja
hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai bentuk kebiasaan yang
berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat, atau hukum dalam
arti dan bentuk dan bentuk kaidah peraturan perundangan, seperti hukum
dalam arti dan pendekatan normatif. Tetapi masalah hukum juga dilihat dari
segi kecendikiawanan (intelektual), filsafat, ilmu jiwa dan beberapa faktor
7 Soerjono soekanto, Antropologi Hukum, (Jakarta: Grafindo, 1982), h. 25.
16
yang melatar belakangi hukum tersebut, serta cara-cara menyelesaikan
sesuatu yang timbul dalam masyarakat. 8
Dalam antropologi hukum, hukum ditinjau sebagai aspek dari
kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dibekali untuk berlaku
dengan menjunjung nilai-nilai budaya, yang mana dalam masyarakat tertentu
harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam
norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya
dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan
dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam
kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial
yang semuanya lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku
yang sesuai dengan tuntunan masyarakatnya atau yang sesuai dengan
gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya.
Gambaran ideal atau desain hidup ini, yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat itu, hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat.
Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya
melestarikan kebudayaan itu adalah hukum. 9
Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan
sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang
mendukung kebudayaan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam
8 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2006), h. 4. 9 T.O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, ( Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000), cet
III, h. 4.
17
bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Tingkah laku manusia menjadi sorotan utama dalam menilai hukum
yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara masyarakat sendiri adalah
unsur kategori yang pertama dari hukum. Menurut sifat kodratnya,
masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terbentuk dari sekelompok orang
yang secara bersama-sama terikat oleh usaha untuk saling mencukupi
kebutuhan hidup satu sama lain. Masyarakat bukan sekedar kumpulan orang
melainkan merupakan sebuah kesatuan.
Dari uraian di atas, masalah hukum dalam antropologi hukum berarti
bukan semata-mata masalah hukum yang normatif sebagaimana terdapat
dalam perundangan-undangan, atau masalah hukum yang merupakan pola
ulangan perilaku yang sering terjadi sebagaimana terdapat pada hukum adat,
tetapi hal yang terpenting hukum dilihat dari aspek budaya perilaku manusia
dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Jadi antropologi melihat hukum itu sebagai aspek dari kebudayaan,
yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur
dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan yang
terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.10
B. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum
Pada dasarnya supremasi hukum dijunjung tinggi atas kesadaran dan
kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Paham kesadaran hukum
10
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h. 8.
18
sebagaimana dikemukakan oleh G. E. Lagemeijer yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap, bahwa
kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang
menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum
timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam
kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian
antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau
kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau
tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut, merupakan suatu keadaan
yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional
antar pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan
kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis. Ide tentang kesadaran warga
masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis diketemukan di dalam
ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewusstsein yang intinya
adalah, bahwa tak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.11
Jadi, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-
nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.
11
Soerjono Soekanto, Kesadarah Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali,
1982), h. 145.
19
Kepatuhan seseorang terhadap hukum tergantung pada situasi, kondisi
dan tempat. Dalam tindakan dikenal 2 istilah, yaitu: Behavior of Action
(perilaku terhadap tindakan) dan Behavior of Law (perilaku terhadap hukum).
Pada dasarnya hukum ada untuk ditaati dan dipatuhi. Namun, dalam keadaan
tertentu hukum hanya menjadi sebuah wacana yang diketahui tanpa dipatuhi.
Misalnya: semua orang mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan yang
dilarang dan ada sanksi bagi yang melakukannya, baik sanksi pidana (KUHP)
maupun sanksi moral dari masyarakat (cacian, hinaan, cibiran, dll). Namun,
dalam keadaan terdesak, misalnya kesulitan ekonomi, membuat seseorang
berani melanggar hukum yaitu dengan melakukan tindakan pencurian. Itu
hanyalah sebagian contoh kecil ketidakpatuhan seseorang pada hukum yang
berlaku dan tentunya masih banyak lagi tindakan-tindakan penyimpangan
hukum yang dilakukan secara sadar.
Selanjutnya Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto
membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:
1. Seseorang berperikelakukan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka
yang berwenang.
2. Seseorang berperikelaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang
diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.
3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaidah-
kaidah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa.
20
4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum
tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang dan
5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak
patuh pada hukum (melakukan protes).12
C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan
sesuatu pada yang lain” seperti menetapkan haram pada khamar atau halal
pada air susu. Sedang menurut istilah para ulama usul fiqh, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Abu Zahrah adalah “Titah (khitab) Syari yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
wadhi”. Yang dimaksud dengan khitab syari adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap berbagai perbuatan mukallaf.
Seperti firman Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah
beserta orang-orang yang ruku‟. (al-Baqarah : 43) Ayat ini menyatakan
ketentuan hukum bahwa melaksanakan sholat dan membayar zakat adalah
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Khitab melalui ayat ini membentuk
ketentuan yang harus dilaksanakan. Kemudian adapula khitab dalam bentuk
larangan, seperti firman Allah : Hai orang-orang yang beriman janganlah
suatu kaum mengolo-olok kaum yang lain, karena boleh jadi kaum yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. (al-Hujarat : 11)
12
Soerjono Soekanto, Kesadarah Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali,
1982), h .234.
21
Dua contoh diatas menunjukkan bahwa khitab syari yang mengikat para
mukallaf untuk mengerjakan dan meninggalkannya. Adapun khitab yang
dikemukakan dalam bentuk pilihan adalah ketentuan-ketentuan syari yang
memberi peluang kepada mukallaf.
untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Seperti bunyi surat al-
Baqarah ayat 229 yang berbunyi : Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Inilah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya,
dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka adalah orang-
orang yang zalim. Ayat ini memberi kebolehan bagi istri (melalui wali-
waliya) untuk mengajukan permohonan, iwadh (uang pengganti) kepada
suaminya, kalau rumah tangganya tidak harmonis dan sukar diperbaiki,
karena kesalahan dan kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si istri boleh
mengajukan perceraian (khulu) atau mempertahankan pernikahannya.
Adapun maksud khitab wadhi adalah ketentuan syari tentang perbuatan
mukallaf yang mempengaruhi perbuatan (taklif), seperti pembunuhan yang
dilakukan seseorang anak terhadap orang tuanya sendiri dapat mempengaruhi
terhalangnya harta warisan yang ditinggalkannya. Rasulullah bersabda: orang
yang membunuh tidak memperoleh harta warisan dari orang yang terbunuh.
(H.R. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah) Penjelasan dan contoh tentang
hukum Islam diatas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits. Namun paparan rinci tentang norma-
22
norma hukum dari kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut
selain ibadah belum terjangkau secara tegas, sehingga diperlukan kajian
mendalam dan komprehensif guna menganalisa tujuan makna yang tersirat
dari satu nash. Untuk kajian ini ulama melahirkan berbagai metodologi dan
pendekatan kajian hukum Islam yang menjadi cabang ilmu pengetahuan
tersendiri, yaitu ushul fiqh (teori hukum Islam). Metodologi yang lahir untuk
menjangkau nash yang belum tegas didasari oleh dalil-dalil yang menjadi
acuan mujtahid, hal demikian antara lain:
1. Metode ijma, didasari oleh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 59
yang berbunyi :
Hai orang-orang yang beriman, ta‟atilah Allah dan ta‟atilah Rasul-Nya
dan ulil amri diantara kamu. Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas
berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia
dan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa. Sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah
para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa,
maka kesepakatan mereka adalah ketentuan hukum yang mengikat dan harus
diikuti oleh kaum muslimin.
2. Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para mujtahid melakukan analogi
(qiyas) adalah dalil yang serupa dengan diatas surat an-Nisa ayat 59. disana
dinyataka bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar
23
menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur‟an dan al-Hadits. Namun
jika tidak ada di dalamnya, maka hendaklah mengikuti ulil amri, dan jika
tidak ada pendapat ulil amri, maka boleh menetapkan hukum dengan
mengembalikan masalah tersebut kepada al-Quran dan al-Hadits dengan
menghubungkan atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada di
dalam al-Quran dan al-Hadits. Cara yang demikian dinamakan qiyas.
Selain dari dua metodologi di atas, masih banyak cara yang dilakukan
oleh para mujtahid untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang kian
berkembang pasca kenabian dan khulafaurrasyidun, seperti metode istihsan,
mashlahat al-mursalah, urf, syar‟un an qablana, istishhab, saddudz dzari‟ah
dan madzhab sahabat yang keseluruhan dari metodologi tersebut memiliki
kaidah-kaidah sendiri yang menjadi acuan dalam pemecahan masalah dan
semua mengacu kepada semangat nash (al-Qur‟an dan al-Hadits). Kaidah-
kaidah tersebut dibuat secara sistematis dan terbagi pada kaidah asasiyah dan
ghairu asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam
Mazhab berjumlah 5 macam (panca kaidah) yaitu: segala masalah tergantung
pada tujuannya, kemadharatan itu harus dihilangkan, kebiasaan itu dapat
dijadikan hukum, yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, dan
kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Selanjutnya sebagian fuqaha
menambahkan dengan satu kaidah asasiayah lain yaitu “tiada pahala kecuali
dengan niat”. Dari kelima atau keenam kaidah tersebut diringkas oleh
Muhammad Izzuddin bin Abdis Salam dengan “menolak kerusakan dan
24
menarik kemaslahatan”. Diantara kaidah asasiyah ini dibantu oleh kaidah
ghairu asasiyah yang jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha.
D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan.13
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan
alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.14
Kemiskinan
merupakan fenomena dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi masalah
bagi negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
mengakhiri masalah kemiskinan, tetapi hal ini masih menjadi problem besar
yang perlu perhatian khusus dalam menanganinya.
Kemiskinan yang telah berjalan dalam ruang dan rentang waktu yang
panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai
realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekedar gejala keterbatasan
lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini sudah
menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia juga
memang suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah
kepada keadaan.15
13
Ahmad Sanusi, Agama di tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan
Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta: Logos, 1999), h. 11. 14
Sajogyo Pudjiwati Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2002), h. 23. 15
Adi Sasono, “Masalah Kemiskinan dan Fatalisme”, dalam Sri Edi Swasono, ed,
Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: Dari Cendiawan Kita tentang Islam (Jakarta: UI Press, 1987),
h. 38.
25
Tata nilai dan stuktur sosial ekonomi serta perilaku dan
kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan
saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini
membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan
itu tersendiri.16
Kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks
sejarah. Namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di
masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Sistem ekonomi yang rendah, sistem produksi yang rendah.
2. Tingkat pengangguran tertinggi dan tenaga kerja yang tidak terampil.
3. Upah buruh yang rendah.
4. Kegagalan golongan berpenghasilan rendah dalam meningkatkan
keadaan sosial ekonomi.
5. Tidak ada usaha untuk maju dan selalu beranggapan bahwa status
ekonomi yang rendah sebagai hasil ketidaksanggupan mereka untuk
meraih hidup lebih maju.
Cara hidup sebagai kaum miskin yang berkembang dalam kondisi ini
merupakan kebudayaan kemiskinan. Hal ini dapat ditelaah di wilayah
perkotaan maupun pedesaan, dan dapat diuraikan dalam kerangka dan ciri-ciri
sosial, ekonomi dan psikologis yang saling berkaitan.
16
Suparlan Pasudi, Kemiskinan di Perkotaan Studi Antropologi perkotaan, cet.III,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 7.
26
Kemiskinaan merupakan suatu adaptasi, penyesuaian dan sekaligus
juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di
dalam masyarakat yang berstrata kelas sangat individual, elastis, dan berisi
kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa
putus asa dan tanpa harapan yang merupakan wujud dari kesadaran bahwa
mereka yang hidup dalam kemiskinan merasa mustahil dapat meraih sukses
di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang
lebih luas.17
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap
peningkatan arus urbanisasi ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan
penduduk dan daerah-daerah kubu yang jadi pemukiman para urban tersebut.
Kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia serta
keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak
yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi
pengemis. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya budaya
mengemis.
Pada dasarnya pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang sangat
dibenci oleh Rasulullah SAW.
اهلل رسىل قال: يقىل عور بن اهلل عبد سوعت: قال سعد بن الليث عن شعيب عن
وجهو في ليس القياهة يىم يأتي حتي يسأل الرجل يزال ها: وسلن عليو اهلل صلي
17 Mulyanto Sumardi, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, cet,II (Jakarta: CV
Rajawali, 1982), h. 7.
27
18 (النسائي روه )لحن هن عة هز
Artinya: “siapa saja di antara kamu yang senantiasa meminta-minta,
maka ketika ia menjumpai Allah (di hari kiamat nanti) di
wajahnya tidak ada sepotong daging pun. (HR. an-Nasai).
Dengan ancaman yang keras ini, Rasulullah menjaga kehormatan
seorang muslim, membiasakan untuk bersikap iffah (menahan diri) dari
ketergantungan kepada orang lain. Sebaliknya selalu bergantung pada diri
sendiri dan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada manusia.
Rasulullah memberikan kelonggaran mengemis bagi seseorang dalam
keadaan yang bersifat atau karena suatu kebutuhan yang mendesak. Maka,
bagi siapa yang terpaksa meminta-minta karena dorongan kebutuhan yang
mendesak dan meminta bantuan kepada pemerintah atau perorangan, maka
tiada dosa baginya untuk meminta-minta.
Islam memperbolehkan meminta-minta karena salah satu tiga perkara,
yaitu: 19
a. Orang yang menanggung suatu tanggungan, sebelum dia hidup
mampu dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga
ia dapat menyelesaikan tanggungannya itu, jika tanggungannya telah
selesai kemudian ia menahan diri dan tidak meminta lagi kepada
orang lain.
18
An-Nasai‟, Sunan an-Nasai’, (Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth), hal. 348. 19
Yusuf Al-Qordhowi, Halal Haram Dalam Islam, h.170.
28
b. Orang yang ditimpa suatu musibah yang menyebabkan kehilangan
harta, dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga ia
mendapatkan penopang hidupnya.
c. Orang yang ditimpa bencana, yang menyebabkan kehilangan seluruh
harta benda, seperti: bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi,
dll.
E. Pengemis dan Perilaku Mengemis
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata pengemis tidak mempunyai akar
kata akan tetapi merupakan sinonim dari peminta-minta atau orang yang
meminta-minta. Mengemis adalah sinonim dari kata meminta-minta sedekah.
Akar kata meminta yaitu minta yang artinya bertindak supaya diberi atau
mendapat sesuatu, memohon, mempersilahkan, memerlukan, menimbulkan.
Kata (al-sail) dalam bahasa arab,20
di samping artinya orang yang bertanya
juga mempunyai arti pengemis, yang meminta. Akar katanya dari (sa’ila)
yang artinya meminta-minta, memohon, menanyakan, memberi pertanyaan
atau bertanya.21
Menurut Kementerian Sosial R.I pengemis adalah orang-orang yang
mendapat penghasilan dari meminta-minta dimuka umum dengan berbagai
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.22
Sedangkan secara terminologi mengemis adalah meminta bantuan,
derma, sumbangan baik kepada perorangan maupun lembaga. Pengemis
21 Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir: Kamus Arab Indoesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif,1997), h. 692. 22
http//www.Indonesia//.ontime.com Kementrian kordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran, diakses pada tanggal 1 April 2010.
29
identik dengan sosok individu yang berpenampilan serba kumal, yang
dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan juga bisa
menggunakan cara-cara lain.
Muthalib dan Sudjarwo dalam buku Ali Yafie memberikan tiga
gambaran umum pengemis, yaitu:23
1. Sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakat,
2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai, dan
3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dari kemiskinan,
Sangat disayangkan, budaya mengemis yang tumbuh dalam
masyarakat Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang benar-
benar menghadapi kesulitan hidup, namun dimanfaatkan pula oleh segelintir
orang sebagai profesi untuk meraup kekayaan. Banyak cara yang dilakukan
para pengemis dalam menjalankan profesinya, baik oleh pengemis yang
benar-benar menghadapi kehidupan yang sulit sehingga ia terpaksa
mengemis, dan pengemis palsu yang hanya berpura-pura miskin.
Strategi atau cara-cara yang biasa dipakai para pengemis gadungan
hanya berpura-pura. Dalam menjalankan pekerjaannya, mereka menggunakan
trik-trik yang dapat menyakinkan orang lain untuk mencari belas kasihan dan
memberikan uang. Trik-trik yang biasa dipakai adalah sebagai berikut:
a. Menjual kemiskian
Para pengemis biasa berpenampilan kumuh, kotor, dan berpakaian
robek-robek atau compang camping. Tampilan seperti itu memberikan
23
Alie Yafie, Islam dan Problema Kemiskinan,( Jakarta: pesantren P3M, 1986 ), h. 3.
30
kesan pada setiap orang yang melihatnya seakan-akan mereka sedang
memikul beban berat yang perlu dibantu dan mendorong orang lain
untuk memberi.
b. Menampilkan wajah kesedihan
Setiap sepanjang jalan di keramaian kota sering dijumpai pengemis
dari anak kecil hingga orang tua yang duduk di pinggir jalan dan
mengayunkan tangan dan mereka siap beraksi menampilkan wajah
kesedihan yang mendalam, agar membuka hati darmawan untuk
memberi.
c. Komunitas pengemis
Komunitas pengemis yaitu kumpulan sejumlah pengemis yang
terkoordinasi oleh kordinator yang menempatkan para pengemis-
pengemis di wilayah-wilayah tertentu, seperti di pusat kota dengan
lokasi yang berpindah-pindah dan para pengemis diwajibkan
menyetorkan uang hasil mengemis kepada kordinator pengemis yang
biasa dikenal bos pengemis.
d. Membawa anak
Membawa anak kecil yang digendong merupakan salah satu trik yang
dilakukan pengemis. Anak yang dibawa itu umumnya merupakan
anak pinjaman atau sewaan, untuk lebih menarik rasa iba orang lain
dengan harga sewaan mencapai Rp. 5000, - perharinya.24
24
Wawancara pribadi dengan Wati, Senin 23 Agustus 2010 pukul 10:00 WIB
31
Pengerahan anak di bawah umur, yang biasa digendong atau pengemis
anak-anak memang dinilai efektif untuk menarik simpati belas kasih dari
dermawan. Hal ini termasuk mengeksploitasi anak. Dengan wajah polos dan
lugu, mereka menjadi „boneka magnet‟ bagi orang tua untuk mendapatkan
uang.
Menjadi pengemis memang bukan merupakan pilihan hidup untuk
mendapatkan nafkah. Namun dengan melakukan hal ini setidaknya mereka
mampu hidup berkecukupan. Hal ini diungkapkan diungkapkan Armasih, ibu
berumur 39 tahun, yang mengerahkan kedua anaknya Sofyan, 14 tahun dan
Rafi, 4 tahun. Keluarganya bisa membawa pulang Rp. 45.000,- setiap
harinya. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka warga Jalan Pulau Nangka,
Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara ini mampu meraup uang sebesar Rp.
1.350.000,- setiap bulan. 25
F. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Mengemis
Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk menjadi pengemis.
Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal, ada yang
bersifat permanen, dan ada yang bersifat mendadak. Faktor-faktor tersebut
adalah:26
1. Faktor urbanisasi
Diketahui bahwa di masyarakat Indonesia banyak terjadi
urbanisasi. Perpindahan penduduk mengakibatkan bermacam-macam dampak
25
http//pendapatan pengemis, perhari//.com diakses pada tanggal 20 April 2010. 26
Syarif, “ Pengemis dalam Perfektifs Al-Hadist (Analisis Kritis Hadis-hadist Haq al-
sail Dalam Kitab Sunan Abi Daud),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin , Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 18.
32
bagi masyarakat setempat (pribumi) dan masyarakat baru (pendatang).
Tindakan masyarakat berpindah dari desa ke kota didasarkan atas harapan
pelaku urbanisasi itu sendiri untuk mengubah perekonomian ke keadaan
yang lebih baik.27
Jiwa atau ide yang mendorong perpindahan ke kota disebut
urbanisme. Urbanisme menjadi motivasi manusia untuk berpindah ke kota,
dan urbanisme tersebut menimbulkan penambahan jumlah penduduk kota
yang terus meningkat. Dalam hal ini urbanisme adalah proses perpindahan ke
kota dan urbanisme adalah ide abstrak yang terwujud di dalam kesadaran
yang berorientasi ke kota.28
Dengan adanya urbanisasi maka semakin banyak tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerjaan. Mereka tergolong dalam golongan pencari kerja
dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, pengalaman dan keahlian
yang berbeda-beda. Peningkatan jumlah para pencari kerja dan urbanisasi di
Indonesia berhubungan dengan masalah pengangguran. Masalah
pengangguran oleh banyak pihak diungkapkan sebagai akibat keterbatasan
lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah dan keterampilan yang kurang
dari para pencari kerja.
Sutopo Yuwono melihat bahwa masalah ketenegakerjaan di Indonesia
bukan hanya terfokus pada keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan
pendidikan dan keterampilan tetapi seperti yang dikatakannya “bahwa tidak
27
Sns .s. Hutabarat, Masalah Pertambahan Penduduk, (Bandung: Lembaga
Penelitian Pendidikan Kependudukan Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP Bandung), h. 25.
28
Shogo Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), h. 5.
33
terpenuhinya lowongan-lowongan pekerjaan difaktorkan tidak tersedianya
tenaga-tenaga kerja yang berkualitas.”29
Masalah tenaga kerja berkualitas menjadi penting untuk diperhatikan,
untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja tersebut, karena masalah ini
menyangkut kepentingan perusahaan-perusahaan sebagai pengguna tenaga
kerja dan penyedia lapangan kerja. Ternyata perusahaan telah banyak
membuka banyak kesempatan kerja, tetapi fakta yang dihadapi oleh
perusahaan adalah kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang sesuai dengan
kualifikasi perusahaan.
Karena kekurangan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki
para pencari kerja maka sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan.
Berangkat dari hal tersebut tidak sedikit masyarakat urban yang mengubah
profesinya menjadi pengemis atau pemulung, dengan alasan sebagai batu
loncatan untuk menyambung hidup di kota besar. Meski mereka menyadari
bahwa profesi yang dikerjakannya adalah kurang mulia.
2. Faktor ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari karena mereka memang tidak
punya gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan
yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau
keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang,
seperti orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita
29
Sutopo Yuwono, Kebijaksanaan Pekerjaan dan Masalah Angkatan Kerja Serta
Pengaruhnya bagi Pelaksanaan Pembangunan, (Jakarta: PT Lembaga Sarana Informatika, 1985),
h. 120-121.
34
sakit, orang-orang yang sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa lanjut
bekerja.30
3. Faktor kesulitan ekonomi
Orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi dan kerugian
harta yang cukup besar membutuhkan bantuan orang lain. Contohnya, para
pedagang yang jatuh bangkrut, atau para petani yang gagal panen secara total,
dan lain sebagainya. Mereka ini juga memerlukan bantuan karena sedang
mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa
menghidupi kebutuhan keluarga.
Faktor-faktor kesulitan ekonomi yang muncul akibat tidak
seimbangnya antara penghasilan sehari-hari yang didapat dengan besarnya
nafkah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
anggota keluarga yang berjumlah banyak.31
Di antara faktor-faktor tersebut
yang berpengaruh untuk meminta-minta atau menjadi pengemis adalah
kemiskinan.
30
Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, h. 15. 31
Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, h, 19.
35
BAB III
PROFIL KELURAHAN CIKOKOL KOTA TANGERANG
A. Letak Geografis Kelurahan Cikokol
Kelurahan Cikokol salah satu dari 8 (delapan) kelurahan yang berada
Kecamatan Tangerang Kota Tangerang dengan luas wilayah 417 ha terdiri dari
13 RW dan 66 RT. Jumlah kepala keluarga di kelurahan Cikokol sebanyak 5709
KK. Tahun 2011 jumlah penduduk Cikokol 19.123 jiwa.
Batas wilayah Cikokol bagian utara berbatasan dengan kelurahan
babakan dan Sebelah Selatan Cikokol berbatasan dengan Kelurahan
Penunggangan Utara, wilayah Cikokol bagian barat berbatasan dengan sungai
Cisadane, sedangkan daerah Cikokol bagian timur berbatasan dengan Kelapa
Indah atau Pakajon. 1
Secara geografis, Cikokol tak jauh dari pusat perkoataan, dalam hal ini
dari ibu kota Tangerang. Menurut data yang diperoleh, jarak kelurahan Cikokol
dari pusat kecamatan ada ± 3 km, dari ibu kota propinsi Banten ± 45 km dan dari
ibu kota negara sejauh ± 21 km. Dengan demikian kemudahan sarana tranportasi,
jalur hubungan lalu lintas antar kelurahan dapat di tempuh dengan baik.
1 Laporan Monografi Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang Kota Tangerang
Tahun 2010.
36
B. Kondisi Demografis Kelurahan Cikokol
Jumlah penduduk kelurahan Cikokol pada tahun 2010 berjumlah 19.123
jiwa dari 5.709 kk, terdiri dari 10.409 orang laki-laki dan 8.714 orang
perempuan.
Berikut tabel penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia:
Tabel 3.1
Jumlah penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia
No Umur (tahun) f %
1 0-5 1.064 5
2 6-10 1.610 8,5
3 11-15 2.539 14
4 16-20 2.014 10
5 21-25 2.079 10,5
6 25-30 2.228 11,5
7 30-35 1.224 7,5
8 36-40 2.270 12
9 41-45 2.009 11
10 46-50 817 4
11 51 keatas 1.179 6
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun2010
Dari tabel diatas, dapat di ketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol
dilihat dari kelompok umur relatife berimbang. Penduduk dengan kelompok
37
umur 11-15 tahun menempati posisi jumlah terbanyak yaitu 2.539 orang.
penduduk dengan kelompok umur 46-50 tahun menempati posisi jumlah terkecil
yaitu 1.48 orang.berikut jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin:
Tabel 3.2
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin f %
1 Laki-laki 10.409 55
2 Perempuan 8.714 45
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
Wilayah Cikokol sama halnya dengan wilayah-wilayah lain, jumlah
penduduk setiap tahun bertambah dan dari segi bagunan fisik pun bertambah
mengikuti arus perkembangan. Menurut data yang ada pada tahun 2009 sampai
2010 yaitu 3,20%. Dan warga Cikokol lebih dominan berjenis kelamin laki-laki
yaitu 10.409 jiwa atau 54%.
Kelurahan Cikokol terdiri dari 13 rukun warga (RW) dan 66 rukun
tetangga (RT), dimana setiap kelurahan tidak hanya dihuni oleh warga asli
kelurahan Cikokol saja, tetapi para pendatang yang tersebar di wilayah ini baik
yang tinggal di kontrakan maupun yang tinggal dikost-kostan. Pencatatan atau
pendataan penduduk dikantor kelurahan Cikokol berpedoman pada register yang
38
telah ada antara lain register datang, pindah lahir dan meninggal dunia sehingga
untuk pencatatan atau pendataan selalu mengacu pada register yang berlaku.
C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Cikokol
1. Agama dan kepercayaan
Mayoriatas masyarakat kelurahan Cikokol beragama islam dan Kristen
menempati posisi penganut terbanyak kedua.untuk keterangan lebih lanjut lihat
tabel di bawah ini:
Tabel 3.3
Penduduk Cikokol berdasarkan agama dan kepercayaan
No Jenis agama f %
1 Islam 10.052 53
2 Kristen 5.002 26
3 Katolik 1.000 5
4 Hindu 2.759 14
5 Budha 3.10 2
6 Aliran kepercayaan lainya - -
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
2. Sarana ibadah
Keberadaan sarana mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat di
kelurahan Cikokol. Karena sarana peribadatan sangat penting untuk menunjang
39
kegiatan dalam beribadah. Untuk menjelaskan jumlah sarana peribadatan di
kelurahan Cikokol dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4
Jumlah sarana peribadatan di kelurahan Cikokol
No Sarana keperibadatan Jumlah
1 Masjid 12
2 Mushalla 18
3 Gereja -
4 Vihara -
5 Pura -
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
3. Pendidikan
Warga kelurahan Cikokol usia diatas 55 tahun pada umumnya
berpendidikan SD, sedang bagi penduduk yang usianya di bawah 55 tahun
mayoritas berpendidikan SLTP dan SMA, Nbahkan semakin banyak pula lulusan
dari perguruan tinggi.2 Untuk hal ini lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut:
2 Laporan monografi tahunan kelurahan Cikokol tahun 2010
40
Tabel 3.5
Penduduk Cikokol berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat pendidikan f %
1 Tidak sekolah 164 1
2 SD/MI 4099 35
3 SMP/SLTP 2654 23
4 SMA/SLTA 3349 30
5 Akademi/D3 733 6
6 Sarjana s1-s3 560 5
Jumlah 11.559 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
Dari tabel tersebut diketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol
dapat di katakan masih minim dalam hal pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya jumlah penduduk yang hanya tamat SD.
Adapun sarana pendidikan yang ada di Cikokol pendidikan agama dan
umum dari segi kuantitas cukup memadai. Sarana pendidikan di kelurahan
Cikokol terbagi dua yaitu sarana pendidikan negeri dan sarana pendidikan
swasta. Guna mendukung pendidikan formal pemerintah membangun sarana
pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sekolah dasar (SD) sampai
(SMA). Namun, pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sarana
pendidikan negeri. Berikut ini adalah tabel data sarana pendidikan negeri dan
sarana pendidikan swasta.
41
Tabel 3.6
Jumlah Jiwa Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat pendidikan
f %
1 SDN
6 40
2 SMPN
5
33
3 SMAN
4
27
4
Universitas
- -
5
Jumlah
15
100
Sumber data: laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010
Tabel. 3.7
Jumlah Sarana Pendidikan Swasta
No Sarana pendidikan f Jumlah
1 Taman bermain(playgroup) 15 15
2 SLTP 22 22
3 SLTA 30 30
4 Perguruan tinggi 2 2
Jumlah 69 87
Sumber data: laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun 2010
42
4. Ekonomi
Mata pencarian penduduk Cikokol bermacam-macam. Pada umumnya
mata pencaharian penduduk Cikokol sebagai karyawan swasta, mengenai hal ini
dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 3.8
Penduduk Cikokol menurut mata pencaharian Mata Pencarian
No Mata pencarian Jumlah %
1 PNS 354 5
2 ABRI 23 0,3
3 Karyawan Swasta 5.578 83,5
4 Pedagang 289 4,5
5 peTani 90 1
6 Pertukangan 40 0,5
7 Buruh tani 30 0,4
8 Pengsiun 53 0,8
9 Tidak bekerja 255 4
Jumlah 6.712 100
Sumber data : laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010
Menurut lurah Cikokol, Naman Bakri bahwa penduduk Cikokol
tergolongpada masyarakat menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata ± 3
juta perbulan.3
Sedangkan pertu,buhan perekonomian kota Tangerang mengalami
peningkatan. Hal ini di karenakan adanya penambahan lapangan kerja dalam
3 Wawancara pribadi dengan bapak Naman Bakri. Rabu 7 september 2010, pukul 13:00
43
sektor industri. Sebagaimana disampaikan oleh kepala bidang penempatan kerja
dinas tenaga kerja, bapak Anwar Sanusi “ berdasarkan data dinas tenaga kerja
kota Tangerang. Terdapat peningkatan peluang kerja sekitar 40 ribu peluang di
banding tahun lalu yang menempati 30 ribu peluang. Ada peningkatan hingga 20
persen”.4
4 Wawancara pribadi dengan bapak anwar sanusi, jum’at 26 november 2010, pukul 14:30
WIB
44
BAB IV
MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA
TANGERANG
A. Komunitas Pengemis Cikokol
Data-data penelitian ini diambil berdasarkan wawancara dengan 37
narasumber yang terdiri dari: lurah Cikokol, 1 orang tokoh agama setempat, 5
orang warga Cikokol non pengemis dan 30 orang pengemis. Narasumber berasal
dari Rt. 03 Rw. 02 kelurahan Cikokol kecamatan Tangerang kota Tangerang.
Jumlah warga Rt 03 adalah 523 orang dan 170 Kepala Keluarga (KK).1
Fenomena kehadiran pengemis merupakan realitas sosial yang
berkembang di kota Tangerang saat ini. Faktor tersebut didasari oleh keadaan
sosial, ekonomi, keluarga dan tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan
seseorang berprofesi sebagai pengemis untuk mencukupi kebutuhan hidup. Para
pengemis datang ke kota dengan motivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik dari pekerjaan mereka sebelumnya. Tetapi dengan latar belakang pendidikan
yang rendah dan keterbatasan pengalaman dan keahlian, maka sulit bagi mereka
untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikatakan oleh Bapak Simpen, 47 tahun
(seorang narasumber pengemis) sebagai berikut:
“Saya datang ke kota ini (Tangerang) ingin mencari pekerjaan yang
lebih baik walaupun saya hanya lulusan SD. Dari pada di kampung
jadi petani tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Karena
1 Wawancara pribadi dengan Bapak Hamdani, Selasa 12 Oktober 2010 Pukul 15:00 WIB.
45
mencari pekerjaan di sini juga susah, untuk sementara ini saya
bekerja sebagai pengemis”.2
Para pengemis umumnya hadir dari keluarga kurang mampu. Mereka
lahir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang jauh dari kecukupan.
Mereka berasal dari daerah, suku dan agama yang berbeda, seperti suku jawa,
sunda dan batak. Ironisnya pengemis di daerah Cikokol mayoritas beragama
Islam. Walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda tetapi
kehidupan sosial mereka tetap berjalan baik.3
Dengan maraknya pengemis yang melakukan urbanisasi tidak lantas
menyadarkan mereka untuk memperbarui kartu tanda penduduk (KTP) mereka
agar sesuai dengan domisili mereka saat ini. Hal ini jelas menjadikan keberadaan
para pengemis itu tidak memiliki tanda kependudukan yang jelas di mata negara.
Kehadiran pengemis dapat diterima masyarakat tempat mereka tinggal.
Warga sekitar tempat tinggal pengemis tidak membedakan status sosial dan tidak
memarginalisasi ras dan suku tertentu. Para pengemis juga mengikuti kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti, gotong royong, dan pengajian
mingguan.4 Hal ini seperti dipaparkan oleh bapak Karyo (49 tahun) asal Solo. Ia
mengatakan bahwa dalam satu minggu ada dua kali pertemuan pengajian yang
dihadiri oleh para pemuda dan orang tua dari kalangan pengemis. Dia juga punya
2 Wawancara pribadi dengan Bapak Simpen, Rabu 1 September 2010 Pukul 10:00 WIB.
3 Wawancara pribadi dengan Bapak Sholeh, Rabu tanggal 1 September 2010 Pukul 11:00
WIB. 4 Wawancara pribadi dengan Bapak Mihar, warga Cikokol, Minggu 5 September 2010 Pukul
12:30 WIB.
46
kebiasaan positif lain, seperti membaca Surat Yasin dan Tahlil pada kamis
malam.5
Para pengemis sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dan
keluarganya. Ibu Nisa pengemis asal Cirebon, memiliki 3 anak yang dibesarkan
di Tangerang. Perhatiannya untuk pendidikan agama tergolong tinggi. Ia
mendaftarkan anaknya untuk belajar mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al-
Qur‟an) Ulumul Quran, yang berada tak jauh dari pemukiman itu. Dengan iuran
Rp..7000, - perbulan. Peserta didiknya sangat beragam mulai dari SD sampai
SMP. Ia menegaskan bahwa “walaupun kita miskin tapi pendidikan anak
penting, agar mereka tidak seperti orang tuanya yang bodoh karena tidak
sekolah”.6 Kehadiran sosok Kak Nunung sebagai pengajar tunggal di TPA itu,
sangat membantu pendidikan, khususnya pendidikan agama di kawasan
pemukiman pengemis. Pengajian Iqra untuk anak kecil dan Al-Quran untuk ibu-
ibu menjadi sebuah pertanda kehidupan aktivitas beragama dan intensitas
beribadah yang tidak bisa dipandang sebelah mata.7
Pekerjaan mengemis yang terlihat setiap hari di pinggir-pinggir jalan
maupun dalam bentuk lain, rumah ke rumah pada dasarnya berangkat dari
persoalan yang klasik yaitu ekonomi. Hal inilah yang mendasari orang menjadi
peminta-minta atau pengemis.
5 Wawancara Pribadi dengan bapak Karno, Kamis tanggal 2 September 2001 Pukul 09:00
WIB. 6 Wawancara pribadi dengan ibu Nisa pada tanggal 5 September 2010.
7Ibid.
47
1. Tingkat Pendidikan Pengemis
Pada umumnya para pengemis adalah orang-orang yang berpendidikan
rendah yaitu hanya mengenyam bangku sekolah sampai SD bahkan banyak
pula yang tidak lulus SD. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh bapak Adin
(40 tahun) pengemis asal Subang. “Dulu saya tidak sekolah, karena orang
tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah, gimana mau sekolah makan
saja sulit, makanya sekarang menjadi pengemis”.8 Pernyataan serupa juga
disampaikan oleh bapak Sholeh (31tahun),”waktu kecil orang tua saya tidak
sanggup membayar biaya sekolah, kemudian saya disuruh mengamen di
jalan”.9
Berikut ini adalah tabel data pendidikan para pengemis berdasarkan
hasil survei yang penulis lakukan
Tabel 4.1
Data Pendidikan Terakhir Narasumber Pengemis
No Tingkat Pendidikan F %
1 SD 12 40
2 SLTP 10 33
3 SLTA 0 0
4 Tidak Sekolah 8 27
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
8 Wawancara pribadi dengan bapak Adin, Rabu 18 Agustus 2010 Pukul 16:00 WIB.
9 Wawancara pribadi dengan bapak sholeh, Rabu 1 September 2010 Pukul 11:00 WIB.
48
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa mayoritas pengemis hanyalah
lulusan SD. Hal ini menunjukkan bahwa mengemis adalah sebuah pilihan
untuk mereka bertahan hidup karena dengan pendidikan yang rendah dan
keterbatasan keterampilan membuat mereka tersisihkan dari lapangan
pekerjaan.
2. Status Pekerjaan Pengemis
Pekerjaan pengemis pada dasarnya berangkat dari persoalan yang sama
yaitu tingkat ekonomi yang rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Hal
ini menjadi persoalan utama masyarakat menjadi peminta-minta atau
pengemis sehingga pekerjaan mengemis ini merupakan alternatif atau
pilihan terakhir manakala tidak mendapat kesempatan bekerja baik di
lembaga pemerintah ataupun perusahaan swasta. Karena di tengah desakan
ekonomi pekerjaan mengemis atau meminta-minta merupakan alternatif
untuk menghidupi keluarga sehari-hari.
Kesulitan ekonomi memaksa para pengemis mengambil profesi
meminta-minta atau menjadi pengemis, walaupun sebagian orang
menganggap bahwa mengemis merupakan pekerjaan yang hina tetapi
mereka tetap mempertahankan profesi tersebut demi mempertahankan hidup.
Berdasarkan status pekerjaan yang mereka tekuni ada dua jenis sistem
mengemis. Pertama, pengemis yang bekerja secara individual, yaitu
pengemis yang bekerja tanpa adanya bos dan rekan pengemisnya yang lain
di derah ini ada sekitar 21 orang, dan yang kedua yaitu pengemis yang
49
bekerja secara kelompok, yaitu pengemis yang tinggal dan bekerja dengan
seorang bos serta beberapa karyawan pengemis lainnya ada sekitar 9 orang.10
Pengemis yang bekerja secara individual memiliki rumah sendiri.
Mereka tidak berkumpul dengan pengemis lainnya. Sedangkan pengemis
yang bekerja secara kelompok bertempat tinggal di lapak seorang bos, yaitu
dengan menyewa tanah pertahun Rp.. 1.000.000, - (satu juta rupiah) dibayar
secara angsur.11
Di tanah tersebut dibuat bangunan semi permanen dari
bambu-bambu dan beberapa kayu lainnya hingga menjadi rumah bilik untuk
mereka tempati.
Berikut ini tabel data tempat tinggal para pengemis.
Tabel 4.2
Data Tempat Tinggal Narasumber Pengemis
No Tempat Tinggal f %
1 Rumah saudara 3 10
2 Rumah sendiri 11 33
3 Kontrakan 8 27
4 Lapak 9 30
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Tabel di atas menyebutkan bahwa umumnya pengemis tinggal di
rumah milik sendiri. Jika hal ini dikaitkan dengan sistem mengemis seperti
10
Wawancara pribadi dengan bapak Abdullah, kamis 21 Agustus 2010 Pukul 15:00 WIB. 11
Wawancara Pribadi dengan bapak Karno, Senin 5 September 2010 Pukul 12:30 WIB.
50
yang sudah dipaparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
mayoritas pengemis bekerja secara individual.
3. Usia Pengemis
Profesi pengemis dapat dijalankan oleh siapa saja mulai dari anak-
anak sampai lanjut usia. Seperti Rahmat, seorang anak laki-laki berusia 10
tahun bekerja sebagai pengemis. Setiap hari ia berdiri di tepi jalan dan
menghampiri setiap mobil atau motor yang melintas.12
Lain halnya dengan
mbok Tuti, seorang wanita berumur 61 tahun Setiap hari ia duduk di pinggir
jalan untuk meminta uluran tangan orang yang melintas.13
Lihat tabel
berikut:
Tabel 4.3
Data Usia Narasumber Pengemis
No Kelompok Usia f %
1 10 - 14 Tahun 2 7
2 15 - 19 Tahun 1 3
3 20 - 29 Tahun 5 17
4 30 - 44 Tahun 11 37
5 45 - 74 Tahun 9 30
6 75+ 2 7
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Mayoritas pengemis berusia 35 tahun ke atas. Pada umumnya usia 35
12
Wawancara pribadi dengan Rahmat, Kamis 26 Agustus 2010 Pukul 08:00 WIB. 13
Wawancara pribadi dengan mbok Tuti, Kamis 26 Agustus 2010 Pukul 09:00 WIB.
51
tahun atau lebih rata-rata sudah memiliki keluarga dan memiliki anak serta
istri yang harus dinafkahi.
3. Identitas Kelamin
Pekerjaan mengemis tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Banyak juga
wanita yang menggeluti pekerjaan tersebut. Himpitan ekonomi menjadi
alasan mendasar bagi para wanita melakukan pekerjaan itu. Berikut ini
adalah data identitas pengemis berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.4
Identitas Kelamin Narasumber pengemis
No Identitas Kelamin f %
1 Laki-laki 20 67
2 Perempuan 10 33
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa perbandingan pengemis laki-laki
dan perempuan adalah 2 : 1. Hal ini dikarenakan laki-laki memegang
tanggungjawab yang lebih besar dalam keluarga yaitu sebagai pencari
nafkah sedangkan perempuan yang menggeluti profesi mengemis dilandasi
alasan untuk membantu suami.
4. Rentang Waktu Mengemis
Pekerjaan mengemis tidak hanya dilakukan dalam jangka waktu yang
52
singkat melainkan mingguan atau bulanan. Ada pengemis yang
menjalaninya sampai hitungan tahunan sebagaimana diungkapkan oleh
seorang pengemis yang bernama bapak Barco (50 tahun) mengatakan bahwa
ia sudah 4 tahun menjalani profesi sebagai pengemis, ia tidak bisa bekerja
lagi sejak tubuhnya terkena penyakit kusta dan tidak ada sanak saudara yang
tinggal bersamanya dan membiayai hidupnya, sehingga ia memilih menjadi
pengemis.14
Berikut ini adalah data mengenai rentang waktu menjadi pengemis.
Tabel 4.5
Data Rentang Waktu Mengemis
No Rentang Waktu f %
1 Di atas 10 tahun 0 0
2 6 – 10 tahun 6 20
3 1 – 5 tahun 6 20
3 1 – 11 bulan 10 33
4 Kurang dari seminggu 8 27
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Sebagaimana telah disebutkan dalam tabel di atas bahwa mayoritas
pengemis sudah menjalani pekerjaan tersebut dalam jangka waktu di bawah
1 tahun, ada juga yang sudah menjalaninya di atas 5 tahun bahkan pekerjaan
mengemis ini sudah dijadikan sebagai profesi untuk menghasilkan uang.
14
Wawancara pribadi dengan bapak Barco, Saptu 3 September 2010 Pukul 10:10 WIB.
53
5. Pekerjaan Sebelum Menjadi Pengemis
Sebelum menjadi pengemis, para pengemis mempunyai pekerjaan lain
dan ada pula yang belum bekerja. Pekerjaan sebelum menjadi pengemis
sangat beraneka ragam yaitu pengamen, tukang becak, petani, pemulung dan
ada juga yang pengangguran.
Rendi anak berusia 15 tahun sebelum menjadi pengemis ia bekerja
sebagai pengamen. Ia mengamen dari angkot ke angkot atau ke rumah-
rumah warga. Ia memilih berpindah profesi menjadi pengemis karena
menjadi pengemen sering kali bersaing dengan pengamen dewasa yang lebih
besar darinya dan sering kali ia “dipalak” atau dimintai uang sehingga ia
takut.15
Berbeda dengan ibu Sumarni (53 tahun), sebelum bekerja sebagai
pengemis ia adalah seorang pemulung. Ketika memasuki bulan Ramadhan ia
mengganti profesi sebagai pengemis karena profesi ini dianggap lebih
menguntungkan, tetapi setelah bulan Ramadhan usai ia kembali lagi bekerja
sebagai pemulung.16
Di bawah ini tabel pekerjaan narasumber sebelum
menjadi pengemis, sebagai berikut:
15
Wawancara dengan Rendi, Senin 30 Agustus 2010 Pukul 09:00 WIB. 16
Wawancara dengan ibu Sumarni, Senin 30 Agustus 2010 Pukul 09:20 WIB.
54
Tabel 4.6
Data Pekerjaan Sebelum Menjadi Pengemis
No Jenis Pekerjaan f %
1 Pengamen 6 23
2 Tukang becak 5 17
3 Petani 8 27
4 Pemulung 4 13
5 Tukang parker 2 7
6 Belum bekerja 5 17
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Berdasarkan tabel di atas, narasumber memberikan jawaban yang
beragam. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
sebelum menjadi pengemis pun merupakan pekerjaan yang berpenghasilan
sangat rendah.
6. Ajakan untuk Mengemis
Hubungan pengemis satu dengan yang lainnya terkadang masih ada
ikatan keluarga sehingga dorongan untuk menjadi pengemis terkadang
timbul karena ajakan keluarga. Hal ini sebagaimana yang dialami Dodi (15
tahun). Ia menjadi pengemis karena ajakan ibunya, ia menjelaskan bahwa:
”Saya menjadi pengemis diajak oleh ibu. Ibu saya juga
pengemis. Kata ibu, dari pada saya tidak ada kegiatan lebih
baik mengemis mendapatkan uang. Ibu juga mengajak adik
saya yang lain. Hasil dari mengemis diberikan kepada ibu
dan setengahnya dipakai untuk jajan”.17
17
Wawancara pribadi dengan Dodi, Jum‟at 27 Agustus 2010 Pukul 09:00 WIB
55
Selain karena ajakan keluarga, dorongan mengemis pun bisa timbul
karena dorongan hati nurani atau keinginan sendiri. Kasus ini sebagaimana
diungkapkan oleh bapak Bejo (29 tahun): “tidak ada yang mengajak saya
menjadi pengemis. Profesi tersebut diambil berdasarkan hati nurani atau
keinginan sendiri tak ada dorongan dari siapapun”.18
. Lihat tabel berikut:
Tabel 4.7
Data Ajakan Untuk Mengemis
No Data Pelaku f %
1 Keluarga 10 33
2 Saudara 5 17
3 Tetangga 7 23
4 Keinginan sendiri 8 27
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Berdasarkan data di atas umumnya narasumber menjadi pengemis
karena ajakan dari pihak keluarga. Bahkan terkadang semua anggota
keluarga berprofesi sebagai pengemis.
7. Jam Kerja Pengemis
Dalam menjalankan aktivitas sebagai pengemis, para pengemis
memulai aktivitasnya dengan waktu yang berbeda. Ada yang memulai sejak
matahari terbit, tetapi ada juga yang memulai ketika siang hari. Berikut ini
adalah data mengenai jam keberangkatan pengemis. Seperti diungkapkan
oleh Tarno (52 tahun):
“Saya biasa berangkat jam 9 pagi, karena saat itu keadaan sudah
ramai banyak orang yang melintas di jalan-jalan untuk
mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing”.
18
Wawancara dengan bapak Bejo, Sabtu 28 Agustus 2010 Pukul 10:00 WIB
56
Tabel 4.8
Data Jam Kerja Narasumber
No Jam Keberangkatan f %
1 Pukul 6.00 5 17
2 Pukul 7.00 8 27
3 Pukul 8.00 7 23
4 Pukul 9.00 10 33
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas pengemis memulai aktivitas
sejak pukul 9 pagi. Keberangkatan kerja mereka disesuaikan dengan
keramaian di tempat mereka mengemis.
8. Status Perkawinan Pengemis
Mayoritas pengemis berstatus sudah menikah. Berikut ini adalah data
mengenai status perkawinan narasumber.
Tabel 4.9
Data Status Perkawinan Narasumber
No Status Perkawinan f %
1 Belum berkeluarga 5 17
2 Sudah berkeluarga 25 83
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
57
Pekerjaan mengemis dilakukan karena desakan ekonomi, terlebih bagi
mereka yang sudah berkeluarga. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh bapak Oding (40 tahun):
”Saya sudah menikah dan punya anak. Anak dan istri jadi
tanggungan. Kalau tidak bekerja seperti ini mau dikasih
makan apa mereka. Bekerja apa saja yang penting bisa makan
sehari-hari”19
9. Daerah Asal Pengemis
Berbagai literatur menyebutkan, peningkatan jumlah penduduk
perkotaan sangat berpengaruh pada tingginya masyarakat pendatang yang
ingin berkarir di ibu kota. Datang ke kota dengan harapan dan angan-angan
mendapat pekerjaan yang menjanjikan di kota yang mengakibatkan serta
berpengaruh terhadap lingkungan pemukiman. Dalam hal ini bapak Hamdani
selaku ketua rukun tetangga (RT) menegaskan bahwa “banyak warga
pendatang yang telah terdaftar di RT ini antara lain berasal dari Cirebon,
Palembang, Lampung, dan Indramayu. Setiap bulannya ada saja warga
pendatang dan menetap di sini”.20
Lihat tabel asal daerah seperti berikut:
Tabel 4.10
Data Daerah Asal pengemis
No Daerah Asal f %
1 Penduduk asli 2 7
2 Pendatang 28 93
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
19
Wawancara pribadi dengan bapak Oding, 16 Agustus 2010 Pukul 15:00 WIB. 20
Wawancara dengan Bapak Hamdani, Selasa 12 Oktober 2010 Pukul 15:00 WIB.
58
Berdasarkan data di atas mayoritas pengemis berasal dari luar daerah.
Mereka merantau ke kota dengan tujuan awal untuk memperbaiki taraf
hidup, namun yang terjadi sebaliknya, mereka hanya menjadi aib bagi
masyarakat.
10. Penghasilan Pengemis
Penghasilan pengemis per hari memang tidak dapat ditentukan sebab
penghasilan pengemis tergantung dari hasil sedekah yang didapatkan. Bapak
Damacon (40 tahun) menegaskan bahwa “penghasilan kadang-kadang bisa
sampai Rp. 30.000,-/hari, tetapi pada saat bulan puasa terkadang
pendapatannya meningkat bisa sampai Rp.. 40.000,- – Rp.. 50.000,-/hari”.21
Tabel 4.11
Data Pendapatan Pengemis Perhari
No Data Pendapatan f %
1 Rp.. 15.000,- 5 17
2 Rp.. 20.000,- 7 23
3 Rp.. 25.000,- 8 27
4 Rp.. 30.000,- 10 33
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
21
Wawancara pribadi dengan Bapak Damacon, Rabu 11 Agustus 2010 Pukul 08:00 WIB.
59
Seperti data di atas umumnya pendapatan pengemis sebesar Rp.
30.000, - Bila pendapatan mereka rata-rata Rp. 30.000, - maka dalam
sebulan mereka mendapatkan penghasilan Rp. 900.000,-. Ini pendapatan satu
pengemis, bila istri dan anak-anaknya berprofesi yang sama, maka
pendapatan pengemis meruoakan suatu yang menakjukkan, maka pengemis
sebenarnya tidak dapat dikategorikan masyarakat miskin karena badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)22
menetapkan untuk standar tahun 2008
bahwa masyarakat yang digolongkan miskin apabila pendapatan rata-rata per
orang sebulannya kurang dari Rp. 500.000,-.
Pada setiap bulan Ramadhan pendapatan pengemis meningkat bisa dua
kali lipat dari hari biasanya. Bila dalam sehari ia mendapatkan Rp. 30.000,-
maka bila bulan puasa meningkat menjadi Rp. 50.000,- kadang lebih.
Artinya bila sehari mendapatkan Rp. 50.000,- dalam sebulan terkumpul Rp.
1.500.000,- karena pada bulan Ramadhan setiap manusia ingin mendapatkan
pahala dan berkah dan ini merupakan lahan dan kesempatan para pengemis
untuk meraih keuntungan.
Namun jika suatu saat mendapat pekerjaan yang lebih baik dan lebih
mapan dari pengemis maka mereka pun akan beralih dan berhenti menjadi
pengemis.23
22
www.standar.pendapatan/masyarakat/miskin.com/2archive.html diakses pada tanggal 26
Oktober hari Jumat pukul 12:00 WIB
23 Wawancara pribadi dengan bapak Tomo, Senin 30 Agustus 2010 Pukul 09:00 WIB.
60
11. Perasaan Menjadi Sorotan Masyarakat Banyak
Suasana bathin para pengemis saat menjalankan profesi sebagai
pengemis, tidak lagi mengendali rasa malu, nilai-nilai rasa malu dalam diri
mereka sudah tumpul. Rasa malu tidak lagi penting karena kebutuhan atau
perut lapar jauh lebih penting. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Armia
(42 tahun). Sebagai berikut:
“Awal menjadi pengemis malu, karena menjadi sorotan orang
banyak. Tetapi kebutuhan hidup lebih penting dan yang
menjadi pengemis juga banyak tidak usah malu lagi”.24
Tabel 4.12
Perasaan Menjadi Sorotan Masyarakat Banyak
No Perasaan f %
1 Malu 10 33
2 Tidak malu 20 67
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Hinaan dan cacian dari masyarakat yang memandang sebelah mata
tidak lagi menjadi halangan para pengemis. Sebuah konflik bathin antara
kebutuhan dan norma dalam diri manusia, kebutuhan hidup menghilangkan
rasa malu di dalam diri mereka.
24
Wawancara pribadi dengan Armia, Jumat 26 November 2010 pukul 10:10 WIB
61
12. Respon Pengemis tentang Peraturan Larangan Mengemis
Para pengemis sadar bahwa perilaku mereka tidak baik dan dilarang
oleh agama. Mereka sebenarnya tahu ada peraturan tentang larangan
mengemis di daerah Cikokol. Lihat tabel berikut:
Tabel 4.13
Pengetahuan Pengemis tentang Peraturan
No Tingkat Pengetahuan f %
1 Mengetahui 25 83
2 Tidak tahu 5 17
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Peraturan tidak lagi momok menakutkan bagi mereka, buktinya
mereka tetap menjalankan profesi tersebut dan tidak peduli bahwa perilaku
melanggar aturan seperti yang diungkapkan oleh Subki (33 tahun) sebagai
berikut:
“Saya tidak peduli dengan peraturan yang ada. Ketika saya
lapar, apakah pemerintah atau orang yang melarang dan
memandang sebelah mata pekerjaan ini mau menolong kalau
saya dan keluarga saya lapar. Saya di sini bekerja. Inilah
pekererjaan saya, mengemis. “25
25
Wawancara pribadi dengan Subki, Jumat 18 November 2010 pukul 10:10 WIB
62
Tabel 4.14
Tindakan Pengemis Menyikapi Peraturan
No Tingkat Ketaatan f %
1 Peduli 6 0%
2 Tidak peduli 24 100
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Peraturan berfungsi sebagai norma hukum dalam mengontrol
perilaku masyarakat dalam bertindak. Tetapi sebagian masyarakat mengemis
tidak lagi patuh terhadap hukum yang ada, dengan melangar peraturan
tersebut masyarakat pengemis termasuk warga yang tidak patuh terhadap
aturan.
13. Pengalaman Tertangkap Saat Razia
Sebagian besar pengemis tidak pernah tertangkap saat menjalankan
profesi mengemis. Mereka menghindar dengan berlari dan bersembunyi
menghindari kejaran petugas. Hal ini diungkapkan oleh Wati (36 tahun)
sebagai berikut:
“Alhamdulillah saya tidak pernah tertangkap saat razia, karena
biasanya saya lari dan mengumpat dan berpura-pura seakan
saya bukan pengemis atau orang yang mereka cari”. Pengakuan
Wati berbeda dengan Rini (45 tahun) sebagai berikut:”saya
pernah ditangkap dan dibawa ke dinas sosial tetapi saya bisa
bebas dibantu suami saya dengan ada surat keterangan dari Rw
dan perjanjian tidak mengemis lagi. Lihat tabel berikut:
63
Tabel 4.15
Pengalaman Tertangkap Saat Razia
No Alternatif Jawaban F %
1 Pernah 6 20
2 Tidak pernah 24 80
Jumlah 30 100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010
Pengalaman tertangkap petugas dan dikarantina tidak menjadi
ukuran untuk tidak kembali mengemis. Para pengemis tetap mengemis
seakan tidak takut tertangkap kembali.
B. Faktor-Faktor yang Melatar belakangi Budaya Mengemis pada Komunitas
Pengemis
Faktor-faktor yang melatar belakangi budaya mengemis sebagai berikut:
1. Tidak memerlukan modal: faktor yang melatar belakangi berpindah profesi
atau mobilitas sosial pekerja pengemis yaitu tidak memerlukan modal, hanya
membutuhkan gelas bekas atau mangkok bekas sebagai alat untuk meletakan
uang pemberian orang. Hal ini diungkapkan oleh mbo Kana (52 tahun)
sebagai berikut:
”Pekerjaan ini mudah tidak perlu modal uang atau modal lainya.
Saya cukup memakai gelas bekas peralatan rumah yang sudah
bocor dan memang tidak terpakai lagi. Kadang saya juga
menggunakan gelas bekas minuman mineral yang diambil dari
pembuangan sampah”.26
26
Wawancara pribadi dengan mbo Kana, Minggu 22 Agustus 2010 Pukul 10:25 WIB.
64
2. Mudah dan tidak memerlukan keterampilan. Siapa saja bisa melakukan
pekerjaan mengemis, hanya dengan menadahkan tangan kepada setiap orang
melintas di jalan. Ibu Aminah (35 tahun) mengungkapkan “saya tidak pernah
sekolah dan tidak mempunyai kemampuan dalam bidang apapun, makanya
pekerjaan ini menjadi pilihan karena tidak sulit”.27
Pekerjaan ini kadang harus
menampilkan wajah kesedihan agar orang lain iba dan kemudian memberi
uang.
3. Karena tidak ada pekerjaan lain. Pekerjaan pengemis adalah pekerjaan
alternatif terakhir karena tidak ada pekerjaan lainnya. “Lowongan pekerjaan
untuk menjadi pengemis terbuka kapan pun bagi seseorang yang
menginginkanya, tanpa ada syarat yang mutlak layaknya melamar di
perusahaan yang memerlukan syarat yang sangat rumit dan tes yang
merumitkan”.28
4. Tidak ada yang mengatur. Bebas terkendali mungkin itulah motto yang
relevan bagi komunitas pengemis. Pergi dan pulang kerja jam berapa pun
mereka sendiri yang mengatur. “Pekerjaan mereka tidak diatur oleh suara
bunyi bel yang mengatur mereka masuk, istirahat dan keluar dari
pekerjaan”.29
5. Penghasilan menarik. Pendapatan mengemis tidak berjauh berbeda dengan
mereka yang bekerja di pabrik-pabrik dalam hitungan hari. Perbedaannya
27
Wawancara pribadi dengan Ibu Aminah, Selasa, 24 Agustus 2010, Pukul 15:30 WIB. 28
Wawancara pribadi dengan bapak Tarno, Kamis, 26 Agustus 2010, Pukul 09: 20 WIB. 29
Wawancara dengan bapak Mail, Senin, 30 Agustus 2010, Pukul 11:00 WIB.
65
mereka yang bekerja di pabrik-pabrik pekerjaannya lebih berat dan
memerlukan tenaga yang banyak seperti yang disampaikan oleh bapak Bejo
(29 tahun) “dari pada narik becak dah capek kadang penumpang tidak
memberi tarif yang sesuai, sedang pengemis hanya duduk di tepi jalan sudah
dapat uang”.30
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh ibu Wati” (36 tahun)
pekerjaan ini lumayan hasilnya daripada nyuci di komplek dengan gaji
200.000 rupiah per bulan belum lagi terkena marah karena mencucinya tidak
bersih”.31
Pengemis tidak memerlukan tenaga yang kuat karena hanya duduk
santai menunggu keibaan orang lain.
C. Profesi Mengemis dalam kajian Antropologi Hukum dan Hukum Islam
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya bahwa
mengemis sudah menjadi profesi bagi sebagian masyarakat Cikokol (pribumi
maupun pendatang). Namun, sebagian besar pengemis yang ada di Cikokol
adalah masyarakat pendatang dari luar daerah seperti dari Cirebon, Lampung,
Palembang, Indramayu, dll.
Kesulitan ekonomi yang mereka alami di daerah asal, membuat mereka
berbondong-bondong merantau ke kota-kota besar khususnya ke daerah
JABODETABEK. Fenomena ini dapat ditemukan setiap hari raya besar umat
Islam yaitu Idul Fitri. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, setiap
30
Wawancara pribadi dengan bapak Bejo, Sabtu, 28 Agustus 2010, Pukul 10:00 WIB. 31
Wawancara pribadi dengan ibu Wati, Senin, 23 Agustus 2010, Pukul 10:00 WIB.
66
menjelang hari raya Idul Fitri ada rutinitas mudik. Acara mudik atau lebih
dikenal dengan istilah pulang kampung dijadikan suatu moment untuk mengajak
saudara yang lainnya bekerja di kota dengan iming-iming merantau ke kota akan
dapat merubah nasib hidup. Harapan dan keinginan yang kuat untuk
memperbaiki taraf hidup membuat mereka berani untuk merantau ke Jakarta
walaupun belum tahu apa yang akan mereka lakukan dan dimana mereka akan
bekerja.
Harapan dan keinginan para urban untuk memperbaiki hidup di kota
ternyata tidaklah semudah dengan apa yang mereka bayangkan sebelumnya.
Tanpa adanya skill khusus dan jaringan relasi yang kuat membuat mereka
tersisihkan dari dunia pekerjaan sedangkan untuk kembali ke kampung asal
tentunya akan membuat mereka malu.
Menjadi pengemis bukanlah pilihan yang diharapkan. Namun, demi
menyambung hidup di kota dengan biaya hidup yang lebih mahal dari kampung,
membuat mereka rela untuk melakoni hidup sebagai pengemis. Perasaan malu
dan hina tentunya mereka alami. Berbagai cibiran, cacian, dan hinaan mereka
dapatkan juga. Namun, itu semua tidak menghalangi hasrat mereka untuk
menadahkan tangan menunggu belas kasih orang lain bahkan ada beberapa
oknum yang memanfaatkan kegiatan mengemis sebagai sarana untuk meraup
keuntungan. Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Marno (45):
67
“Saya udah cape jadi buruh. Kerjaannya berat tapi gajinya
kecil. Akhirnya saya mencoba jadi pengemis. Setelah saya
jalanin, ternyata mengemis itu menguntungkan. Kerjaannya
cuman duduk sambil menadahkan tangan tapi dapat uangnya
lumayan juga. Apalagi kalau pas hari besar separti idul fitri dan
idul adha”.32
Budaya hukum berasal dari budaya perasaan yaitu persaan malu,
perasaan terhormat, perasaan wajar dan tidak wajar. Nilai-nilai adalah tanda
tanda tingkah laku seseorang dalam bertindak yang di sebut norma. Rasa malu
mengatur tingkah laku seseorang dalam berperilaku. Kebiasaan-kebiasan tidak
baik ketika melembaga itu diangap suatu yang wajar.
Rasa malu atau nilai-nilai yang lahir dari hati manusia yang seharusnya
menjadi sebuah kontrol, semakin lama semakin menipis. Hal ini dapat menjadi
salah satu penyebab timbulnya krisis moral pada umat manusia. Hukum yang ada
tak berarti lagi karena menurut mereka hukum bukan harga mati. Budaya
mengemis ini lahir karena hilangnya budaya malu pada diri pengemis.
Agama Islam sangat menjunjung tinggi akhlak. Oleh karena itu nabi
Muhammad diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Karena dengan akhlak mulia manusia menjadi terhormat. Salah satu contoh
akhlak mulia adalah selalu menjadi tangan yang di atas, sebagaimana sabda nabi
Muhammad, “tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” (H.R.
Bukhori). Hadist nabi tersebut seharusnya dijadikan pedoman untuk selalu
berusaha menjadi manusia yang senantiasa memberi.
32
Wawancara pribadi dengan bapak Marno, Sabtu, 25 Agustus 2010, pukul 10:00 WIB.
68
Namun, norma agama tersebut tidaklah diindahkan oleh komunitas
pengemis. Mereka tetap menikmati pekerjaannya tersebut. Di sini lain, hadist di
atas bisa menjadi magnet bagi masyarakat lainnya yang mempunyai kelebihan
harta. Pahala dan surga yang dijanjikan agama bagi mereka yang saling
mengasihi dan memberi serta yang memperbanyak shadaqah membuat para
dermawan selalu mengulurkan tangan pada pengemis yang menadahkan tangan.
Hal ini, tentunya dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi para
pengemis. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penghasilan
pengemis yang rata-rata di atas Rp. 20.000,-/hari sudah dapat untuk memenuhi
kehidupan mereka sehari-hari sehingga menjadikan mereka malas bekerja dan
menggantungkan hidup mereka dari belas kasih orang lain.
Melihat fenomena di atas penulis ingin mempersinggung dengan kaidah
hukum islam yang di sebut dengan al’adatu muhakamat (kebiasaan atau tradisi
bisa menjadi hukum ) yang mana kaedah-kaedah itu terbangun kuat diatas ayat-
ayat al-quran dan hadist.
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang
terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang
yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup
dan kehidupannya berdasarkan syari‟at yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan
As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari‟at
Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan
69
masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial
yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya
Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum
yang serba mencakup.33
Dalam Islam ada istilah maqasid syariah, yang bermaksud dan bertujuan
pensyariatan dalam islam. Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang
peringkat maqasid syariah ada lima pokok yakni, agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta, yang berdasarkan pada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-
masing, yaitu:
Memelihara agama, bagi sebagian dari kalangan pengemis agama tidak
terlalu diperhatikan, karena mereka hanya melihat kepada kehidupan duniawinya
semata. Padahal agama mengajarkan hal-hal yang baik dan tidak pernah
mempersulit hambanya. Lalu memelihara jiwa (hifz an-Nafs) seperti
pensyariatan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok hidup berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Bagi pengemis yang mungkin pekerjaannya itu
adalah suatu propesi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka hal itu
dibolehkan, karena bila kebutuhan itu diabaikan akan berakibat terancamnya
eksistensi bagi jiwa si pengemis. Memelihara akal (Hifz al-„Aql), seperti
dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan, apabila aktifitas ini dilakukan oleh
setiap manusia maka tidak akan merusak akal, namun sebaliknya jika hal ini
33
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu (Maktabah:
Wahbah, Kairo, 1993)h, 151.
70
diabaikan maka akan merusak dan mempersulit pola pikir mereka. Seperti halnya
bagi pengemis yang meminta-minta hanya untuk kebutuhan hidupnya tanpa ingin
melakukan hal positif atau hal yang lebih bermanfaat lagi ini sangat merusak
pola bagaimana mereka memahami hidup itu, padahal banyak kegiatan yang
membuat mereka manfaat dari pada mengemis tersebut. Memelihara keturunan
(Hifz al-Nasl), hal ini sangat penting sekali dalam Islam karena keturunan akan
membawa nama baik martabat. Dari sebagian para pengemis kebanyak
melahirkan keturunan-keturan yang nantinya mereka akan mengikuti orang
taunya yang sebelumnya menjadi pengemis. Ini yang akan menyebabkan turunya
moral bagi aga Islam jika keturunan mereka tidak dijaga dengan baik.
D. Penegakan Hukum Yang Mengatur kegiatan Mengemis
1. Perda
Untuk menghilangkan atau meminimalisasi pengemis dan pemulung,
Dinas Sosial Kota Tangerang tengah menyiapkan regulasi berupa peraturan
daerah (Perda) tentang pembinaan pengemis dan pemulung. Hal ini disampaikan
oleh Trisna Wijaya, Humas pemerintahan kota Tangerang kepada penulis.
Menurutnya, perda ini tidak hanya mengatur pembinaan, akan tetapi juga akan
mengatur pelarangan kepada masyarakat untuk memberi uang kepada pengemis.
Masyarakat akan diajak untuk terbiasa memberi uang melalui lembaga-lembaga
71
resmi. Dalam Perda ini juga akan diatur sanksi bagi yang memberi uang kepada
pengemis. Regulasi ini masih dalam tahapan internal.34
Para pengemis yang melakukan aksi mereka di perempatan lampu merah
dan memasuki kompleks perumahan dan perkantoran sudah dianggap merusak
pemandangan dan keindahan kota. Untuk menertibkan para pengemis,
pemerintah kota Tangerang melakukan razia atau operasi penertiban pengemis
setiap akhir pekan. Bagi pengemis yang tertangkap mereka akan dipulangkan ke
daerah asalnya.35
Nampaknya, usaha yang dilakukan oleh Pemkot Tangerang untuk
menertibkan pengemis belum membuahkan hasil yang maksimal. Sampai saat
ini, di kota Tangerang, khususnya di perempatan lampu merah, lokasi-lokasi
keramaian seperti mall dan terminal serta di halaman perkantoran masih sering
dijumpai para pengemis dengan berbagai macam aksinya.
Selain itu, masyarakat pun masih banyak yang merasa iba kepada mereka
dan mengasihi mereka dengan memberikan santunan uang “sedekah” yang dapat
menjadi pendapatan bagi mereka. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab
sebelumnya bahwa pendapatan dari hasil mengemis berkisar antara Rp. 15.000,-
Rp. 50.000,-/ hari atau sekitar Rp. 450.000,- – Rp. 1.500.000,-/ bulan. Ini
34
Wawancara pribadi dengan bapak Trisna Wijaya, Senin, 22 November 2010, pukul 13.00
WIB.
35 Wawancara pribadi dengan bapak Trisna Wijaya, Senin, 22 November 2010, pukul 13.00
WIB.
72
merupakan pendapatan yang cukup besar sehingga hal inilah yang menjadi salah
satu faktor keberadaan mereka sulit dihilangkan.
2. Hukum Islam
Menurut teori hukum Islam (Ushul Fiqh), hukum Islam terbentuk atas 4
(empat) landasan yaitu Al Qur‟an dan Sunnah (landasan materiil), Ijma‟ (landasan
formal), dan Qiyas (aktivitas penyimpulan analogi yang efisien).
Dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri berlaku 3 (tiga) kategori hukum,
yaitu:
Hukum Syariat (terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits) yang berkaitan
dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan memilih
atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;
Fiqh (Ilmu atau hasil pemahaman para ulama mujtahid) tentang hukum-hukum
syara‟ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci;
Siyasah Syar‟iah (kewenangan Pemerintah/peraturan perundang-undangan) untuk
melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak
bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Dalam pokok ajaran Islam ada beberapa hal yang melarang pengemis itu dijadikan
profesi, diantaranya ialah:
73
a. Haram
Secara istilah haram ialah sesuatu yang apabila dikerjakan akan
mendapat dosa dan apabila ditinggalkan ia akan pemperoleh pahala. Bagi
pengemis yang melakukan pekerjaan itu setiap hari memang sudah menjadi
kebiasaannya, namun banyak pandangan dari sebagian orang hal itu sangat
hina. Mengemis bisa haram hukumnya jika dari sebagian mereka hanya untuk
memanfaatkan harta dari orang lain. Dan juga untuk memperkaya diri semata,
sedangkan ia mampu untuk melakukan pekerjaan lainnya. Dalam qaidah
fiqhiya dijelaskan
Apa saja yang dilakuakan, maka haram pula memintanya, apa pun yang
hukumnya haram dilakukan, memintanya kepada orang lain juga haram
hukumnya. Sebab tindakan tersebut berarti mengajak untuk melakukan
sesuatu yang diharamkan.
b. Mubah
Dalam arti luas mubah ialah boleh mengerjakan dan boleh
meninggalkan hal yang tidak diharamkan syari. Kaitannya dalam hukum
mengemis yang dijadikan sebagai profesi bisa mubah, apabila si pelaku
mengalami cacat yang tidak mungkin ia bisa melakukan pekerjaan yang lain,
atau bagi mereka yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi maka jalan
mengemis bisa mubah hukumnya bagi mereka. Dalam qaidah fifhiyah
dijelaskan, apa yang dibolehkan karena darurat, hendaknya dilakukan dalam
ukuran sekedarnya.
74
Bahwa dalam suatu kemudhartan atau bahaya harus di cegah dan dihilangkan,
dalam kaedah ini di tegaskan dalam upaya pencegahan terhadap bahaya atau
mudorat tersebut harus di sesuaikan dengan kadar kebutuhan, tidak boleh
lebih. Artinya, tindakan pencegahan tidak boleh melebihi kadar kebutuhan
yang semestinya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan mengenai, mengemis sebagai profesi tinjauan
antropologi hukum pada masyarakat Cikokol kota Tangerang berdasarkan hasil
pengamatan, penelitian, wawancara dan analisa, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan penelitian yaitu :
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi budaya mengemis di daerah Cikokol ini
yaitu : A. Tidak memerlukan modal: faktor yang melatarbelakangi berpindah
profesi atau mobilitas sosial pekerja pengemis yaitu tidak memerlukan modal,
hanya membutuhkan gelas bekas atau mangkok bekas sebagai alat untuk
meletakan uang pemberian orang. B Mudah tidak memerlukan keterampilan :
siapa saja bisa melakukan pekerjaan mengemis, hanya menadahkan tangan
kepada setiap orang melintas dijalan dan menampilkan wajah kesedihan agar
orang lain iba dan kemudian memberi uang. C. Karena tidak ada pekerjaan
lain: Pekerjaan pengemisa dalah pekerjaan alternatif terakhir karena tidak ada
pekerjaan lainnya. Lowongan pekerjaan untuk menjadi pengemis terbuka
kapan pun seseorang menginginkanya. Tanpa ada syarat yang mutlak layaknya
melamar di perusahaan yang memerlukan syarat yang sangat rumit dan tes
yang merumitkan. D Tidak ada yang mengatur : Bebas terkendali mungkin
itulah motto yang relevan bagi komunitas pengemis. Pergi dan pulang kerja
76
jam berapa pun mereka sendiri yang mengatur. Pekerjaan mereka tidak di atur
oleh suara bunyi bel yang mengatur mereka masuk dan istirahat dan keluar dari
pekerjaan. E Penghasilan menarik : pendapatan mengemis tidak berjauh
berbeda dengan mereka yang bekerja di pabrik-pabrik dalam hitungan hari
bedanya mereka yang yang bekerja dipabrik-pabrik pekerjaanya lebih berat
dan memerlukan tenaga yang banyak tetapi pengemis tidak memerlukan tenaga
yang kuat karna hanya duduk santai menunggu keibaan orang lain.
2. Dalam pandangan Antropologi hukum, Pekerjaan mengemis sudah dijadikan
profesi oleh sebagian masyarakat,rasa malu atau nilai-nilai yang lahir dari hati
manusia yang seharusnya menjadi sebuah control, semakin lama semakin
menipis.halnya ini dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya krisis moral
pada diri umat manusia.hukum yang ada tak berarti lagi. Karena menurut
mereka hukum bukan harga mati. Budaya mengemis ini lahir karena hilangya
budaya malu pada diri pengemis.
3. Dalam menegakkan peraturan mengenai kegiatan mengemis, pemerintah kota
tangerang telah berusaha menghilangkan para pengemis yang ada dijalan-jalan,
mall, di depan perkantoran dengan melakukan razia setiap pecan, tetapi usaha
besar pemerintah belum berhasil maksimal,karena hal itu tidak membuat jera
para pengemis.para pengemis sulit dihilngkan karena pendapatan pengemis
menguntungkan.
77
B. Saran –saran
1. Kepada pemerintah kota Tangerang untuk tetap mengadakan razia dan hasil
dipakai untuk memilah-milah pengemis, terutama dipisahkan pengemis yang
memupunyai motivasi untuk beralih pekerjaan. Pembinaan tetap dilakukan
dengan berusaha menyentuh keserasian pemenuhan kebutuhan material dan
spiritual serta keserasian pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan
jangkapanjang.
2. Kepada masyarakat agar memilih-milih dalam memberi kepada pengemis
karena ada pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan kita dan ada
juga yang pura-pura mengemis setiap receh yang kita berikan kepada para
pengemis membuat mereka betah menengadahkan tangannya kepada orang
lain. Sedekah yang kita berikan, malah membuat pengemis semakin
tergantung. Ujung-ujungnya, mereka akan menjadikan kegiatan mengemis
sebagai mata pencahariaannya atau sebagai profesi. Dalam hal ini bukan
kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi budaya pada diri masyarakat itu
sendiri yang berfikir bahwa mengemis adalah profesi yang menguntungkan.
78
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nurul dan Philipus. Sosiologi dan Politik, Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 2006
Al-Qordhoi, Yusuf. Halal Haram Dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004.
------------------------. Problema Kemiskinan Apa konsep Islam? Cet. II,
Surabaya :PT Bina Ilmu Offset, 1982.
An-Nasai’, Sunan an-Nasai’, Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth
Darwin, Sudarman. menjadi peneliti kualitatif. Bandung: Cv pustaka setia,
2002.
Djokroamidjojo, Bintoro. Teori dan Stategi Pembangunan Nasional,cet.VI
Jakarta: PT. Indayu Press, 1988.
Friedman, Lawrence M. System Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung:
Nusa Media.2009.
http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses
pada tanggal 2 januarai 2009.
http//.www. pnddk/mskn /antaranew/ipcd.htm diambil pada tanggal 6 agustus
2010.
http//www.pengemis.com/17-ribu-pengemis-raup-rp-229-miliar-perbulan.htm
diambil pada tanggal 6 agustus 2010.
P a g e | 79
Hutabarat, Sns.s .Masalah pertambahan penduduk, Bandung: Lembaga
Penelitian Pendidikan Kependudukan Intitut Keguruan dan Pendidikan
IKIP Bandung.
Iqbali, Santono. “Gelandangan-pengemis di Kecamatan Kubu Karang
Asem,”. Artikel diakses pada 3 Agustus 2009 dari
http//ejurnal.unud.ac.id/abstarak/naskah.pdf.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropolog. Jakarta, Aksara Baru, 1980.
Koyano, Shogo. Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.
Marzali, Amri Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Cet.II, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2005
Masinabow,E.K.M. Hukum dan Kemajmukan Budaya, Sumbangan Karangan
Untuk Menyambut Hari Ultah Tahun Ke-70 prof.T.O. I hromi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Media Cetak Koran Tempo Tanggal 26 September 2010
Muliadi Nur, Perilaku Hukum http://pojokhukum.blogspot.com
Nurjaya, Nyoman. Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif
Antropologi Hukum, Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser, 2008
Partant, Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola,1994.
Pasudi, Suparlan. Kemiskinan diperkotaan Studi Antropologi
perkotaan,cet.III, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia 1995.
P a g e | 80
Polhaupessy, Leornard F. Prilaku Manusia Pengantar Singkat Tentang
Psikologi, Penerjemah Samsunuwijayati, dkk. Bandung: Reflika
Aditama, 2006.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontenporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.
Pudjiwati, Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Jogjakarta : Gadjah Mada Universty
Press ,2002.
Qorashi, Baqir Syarif. Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam,
Jakarta: Al-Huda, 2007.
Ramayulis. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT. Kalam Mulia, 2002.
Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum, Bandung: Putaka Setia, 2007.
Sanusi, Ahmad. Agama ditengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam
dan Kristen dalam Perfektif Kerjasama antar Umat Seragama. Jakarta
: Logos, 1999.
Sasono, Adi. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme, dalam sri Edi Swasono,
ed, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan : Dari Cendiawan Kita Tentang
Islam. Jakarta : Ui Press, 1987.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Soeradji, Budi. “Fenomene Kemiskinan di Indonesis Pasca Pjpti” Dalam
Hady Prawoto, ed.,Seminar sehari Pengetasan Kemiskinan dan
P a g e | 81
Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, 24 juli 1993 Jakarta
:Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.
Sudjangi, Pengkajian Model Pendekatan Agama Dalam Pengetasan
Kemiskinan Melalui Jalur Agama, Dalam Nurhayati Djamas ed.
Model Pengentasan Kemiskinan Melalui Jalur Agama. Jakarta:
Departemen Agama RI, 1997.
Sukanto, Surjono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Sumardi, Mulyanto Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, cet,II Jakarta:CV.
Rajawali, 1982
Syarif, “ Pengemis dalam Perfektifs Al-Hadist (Analisis Kritis Hadis-hadist
Haq al-sail Dala Kitab Sunsan Abi Daud),” (Skripsi S1 Fakultas
Usulludin , Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Warson, Ahmad. Al-munawwir :Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1970
Wawancara dengan Bapak Oding, 16 agustus 2010 pukul 15:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Barco, saptu 3 september 2010 pukul 10:10 WIB
Wawancara dengan Bapak Adin, rabu 18 agustus 2010 pukul 16:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5september 2010 Pukul 12:30 WIB
Wawancara dengan Bapak Mihar, 28 agustus 2010 pukul 10:00 WIB
Wawancara dengan Ibu Aminah, jum’at 20 agustus 2010 pukul 17:00 WIB
Wawancara dengan mbo Tuti, kamis 26 agustus 2010 pukul 09:00 WIB
P a g e | 82
Wawancara dengan Rahmat, kamis 26 agustus 2010 pukul 08:00 WIB
Wawancara dengan ibu Armia, minggu 29 agustus 2010 pukul 16:00 WIB
Wawancara dengan ibu Sumarni, senin agustus 2010 pukul 09:20 WIB
Wawancara dengan Karno, minggu 5 september 2010 pukul 12:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Abdullah,kamis 21 agustus 2010 pukul 15:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Amin ,rabu 25 agustus 2010 pukul 09:20 WIB
Wawancara dengan Bapak Bejo sabtu 28 agustus 2010 pukul 10:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Damacon rabu 11 agustus 2010 pukul 08:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Gino, minggu 22 agustus 2010 pukul 15.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Hamdani,selasa 12 oktober 2010 pukul 15.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5 September 2010 Pukul 12:30 WIB
Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5september 2010 Pukul 12:30 WIB
Wawancara dengan Bapak Mail, senin 30 agustus 2010 pukul 11:00 WIB
Wawancara dengan Bapak Mihar, minggu 5 september 2010 pukul12.30 WIB
Wawancara dengan Bapak Sholeh, Rabu 1 september 2010 pukul 11.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Simpen, rabu 1 september 2010 pukul 10.00 WIB
Wawancara dengan Bapak Tarno kamis, 26 agustus 2010 pukul 09: 20 WIB
Wawancara dengan Bapak Tomo, senin 30 agustus 2010 pukul 09:00 WIB
Wawancara dengan dengan Rendi, senin 30 agustus 2010 pukul 09:00 WIB
Wawancara dengan Ibu Aminah selasa, 24 agustus 2010 pukul 15:30 WIB
Wawancara dengan ibu nisa, Sabtu, 5 september 2010 pukul 10.00 WIB
Wawancara dengan ibu Sumiati, saptu 28 agustus 2010 pukul 15:00 WIB
P a g e | 83
Wawancara dengan ibu Wati senin, 23 agustus 2010 pukul 10:00 WIB
Wawancara dengan mbo Kana, minggu 22 agustus 2010 pukul 10:25 WIB
Wawncara dengan Dodi, jum’at 27 agustus 2010 pukul 09:00 WIB
Yafie, Ali. Nuansa Fiqih SoSial. Bandung :Mizan, 1995.
---------------.Islam dan Problema Kemiskinan. Jakarta : Pesantren P3M, 1986.
Yaqub, Haman .etos kerja islam petunjuk pekerjaan yang halal dan haram
dalam syariat islam, Jakarta: cv pedoman ilmu jaya, 1992.
Yuwono, Sutopo. Kebijaksanaan Pekerjaan dan Masalah Angkatan kerja
serta Pengaruhnya bagi Pelakssanaan Pembangunan, Jakarta: PT.
Lembaga Sarana Informatika, 1985.