Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

21
1 Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis (Studi Kasus Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura) Oleh ; Tri Cahyono, Universitas Brawijaya, Malang 2011 Abstraksi Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu, dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah memperoleh kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk itulah, mental lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam menanggulangi perilaku mengemis tersebut. Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis. Pendahuluan Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi sebuah keniscayaan tersendiri yang patut dikaji lebih dalam guna menemukan solusi terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara. Tidak meratanya kebijakan, pendapatan dan pembangunan di masing-masing daerah di sinyalir sebagai pokok permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya migrasi penduduk. Terjadinya migrasi ini secara simultan justru menimbulkan paradoks tersendiri. Memang, kaum urban memberikan kemudahan dalam mencukupi kebutuhan tenaga kerja di daerah tujuan. Namun di lain pihak, membengkaknya jumlah pencari kerja (kaum urban) di daerah tujuan justru akan membentuk polemik baru lantaran ladang- ladang pekerjaan yang mampu menampung mereka selalu menerapkan persyaratan yang rumit dan cenderung tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh kaum urban. Kaum urban yang tidak tertampung oleh unit-unit usaha yang diidam- idamkan justru menimbulkan kontradiksi lantaran menyumbang meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Data dari BPS 2010 menunjukkan, angka

description

pembahasan mengenai bagaimana hubungan mental lokal dengan perilau mengemis...dalam ilmu ekonomi ini sangat penting dipelajari lantaran mental lokal dalam jangka panjang berpengaruh pada pola konsumsi dan produksi masyarakat

Transcript of Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

Page 1: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

1

Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis

(Studi Kasus Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan

Madura)

Oleh ; Tri Cahyono, Universitas Brawijaya, Malang 2011

Abstraksi

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan

hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi.

Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa

ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini

nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap

perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang

menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu,

dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah memperoleh

kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk itulah, mental

lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam menanggulangi

perilaku mengemis tersebut.

Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis.

Pendahuluan

Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi sebuah keniscayaan

tersendiri yang patut dikaji lebih dalam guna menemukan solusi terbaik dalam

meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara. Tidak meratanya kebijakan,

pendapatan dan pembangunan di masing-masing daerah di sinyalir sebagai pokok

permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya migrasi penduduk. Terjadinya

migrasi ini secara simultan justru menimbulkan paradoks tersendiri. Memang,

kaum urban memberikan kemudahan dalam mencukupi kebutuhan tenaga kerja di

daerah tujuan. Namun di lain pihak, membengkaknya jumlah pencari kerja (kaum

urban) di daerah tujuan justru akan membentuk polemik baru lantaran ladang-

ladang pekerjaan yang mampu menampung mereka selalu menerapkan

persyaratan yang rumit dan cenderung tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh kaum

urban.

Kaum urban yang tidak tertampung oleh unit-unit usaha yang diidam-

idamkan justru menimbulkan kontradiksi lantaran menyumbang meningkatnya

angka kemiskinan di Indonesia. Data dari BPS 2010 menunjukkan, angka

Page 2: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

2

kemiskinan di Indonesia berjumlah 31,02 juta jiwa. Dimana 11,1 juta jiwa tinggal

di perkotaan dan sisanya 19,93 juta jiwa tinggal di pedesaan. Sangat ironis

memang melihat masih tingginya angka kemiskinan ini. Negara dengan kekayaan

sumberdaya (alam dan manusia) yang melimpah masih terbelenggu oleh jeratan

angka kemiskinan.

Belenggu kemiskinan ini terkadang justru menimbulkan sebuah pola

perilaku masyarakat yang cenderung mengarah pada penyimpangan terhadap

norma-norma bangsa. Bentuk nyata dari biasnya perilaku yang bertentangan

dengan norma bangsa ini dapat dilihat dari tingginya jumlah masyarakat yang

aktivitas hariannya menjadi gelandangan atau pengemis. Berdasar Perturan

Pemerintah nomor 31 tahun 1980, dikatakan bahwasannya gelandangan dan

pengemis sejatinya bertentangan dengan norma-norma bangsa sehingga harus

segera ditanggulangi. Walaupun sudah tertulis secara gamblang dalam peraturan

pemerintah bahwasannya perilaku menggelandang dan mengemis bertentangan

dengan norma bangsa, namun hingga saat ini kegiatan tersebut masih menjamur.

Aktivitas ini sangat mudah di temui di tempat-tempat umum seperti : sekitaran

lampu merah, stasiun, dan lain sebagainya. Yang lebih parahnya lagi, praktek-

praktek mengemis tersebut mulai dijalankan secara berkoloni dan lebih

profesional.

Dari kegiatan mengemis ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial

tersendiri lantaran begitu mudahnya memperoleh pundi-pundi rupiah. Tak hayal,

kegiatan ini terkadang bak bakteri patogen yang cenderung merusak tatanan nilai

dan memperburuk citra daerah. Bahkan, kegiatan ini memiliki kecenderungan

menular, baik kepada masyarakat sekitar maupun kepada keturunan. Seperti kasus

yang terjadi di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan kabupaten Pamekasan

Madura. Dimana perilaku mengemis di daerah ini dari waktu ke waktu masih saja

eksis dan tak kunjung bisa di tanggulangi. Berbagai macam kebijakan dari

pemerintah telah diterapkan bahkan penanggulangannya pun telah melibatkan

beberapa civitas akademika di Jawa Timur. Yang disayangkan, kebijakan itu

hanya sebatas sebagai obat penenang yang memiliki efek sementara. Tak heran,

perilaku mengemis menjadi kegiatan endemik di wilayah ini.

Page 3: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

3

Perilaku ini ditularkan melalui pranata dasar yaitu keluarga dan

lingkungan sekitar. Untuk itulah, hingga saat ini perilaku mengemis semakin

mengakar kuat sehingga sulit untuk ditanggulangi. Jika dihubungkan dengan

beberapa sumber pustaka, perilaku mengemis yang di jalani oleh masyarakat

Madura ini sangatlah aneh. Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan, masyarakat

Madura sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung

diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan

cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.

Cukup aneh memang melihat perilaku sebagian masyarakat Madura yang

sedikit bias tersebut. Untuk itulah, permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam lagi

agar ditemukan inti permasalahan yang melatarbelakangi mereka berperilaku

mengemis utamanya dikaji dari sudut mental lokal. Sebab, mental lokal seringkali

diidentikkan dengan perilaku masyarakat suatu daerah yang mencerminkan

pencitraan daerah tersebut.

Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang dapat

diidentifikasi dan diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan yaitu : Bagaimana

hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis di desa

Branta Tinggi?

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini akan mencoba untuk

mempelajari dan mengidentifikasikan : Hubungan antara mental lokal (shared

value) dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting

sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung

tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran

islam sangat di junjung tinggi. Selain itu karakteristik masyarakatnya terkenal

sebagai pekerja keras sebagaimana yang digambarkan oleh beberapa sumber

pustaka.

Teori

Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan

Sikap mental sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang mana nilai tersebut

menjadi landasan dalam etos kerja. Sikap mulai menjadi pokok bahasan dalam

ilmu sosial sejak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner

Page 4: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

4

Dictionary dalam Ramdhani (tanpa tahun) mencantumkan bahwa sikap (attitude),

berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu yaitu “Manner of placing or holding the

body, dan Way of feeling, thinking or behaving” atau dalam bahasa Indonesianya

yaitu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran,

dan perilaku.

Sedangkan mental sendiri menurut Abidin (2009), diartikan sebagai

kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang

yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dari

papaaran tersebut sangat jelas bahwa sikap dan mental selalu berhungan. Kartono

dalam Abidin (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental yang

sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai

kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,

memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi

dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan

memiliki batin yang tenang.

Dalam ranah pembelajaran, memahami kemiskinan sering kali dikaitkan

secara sempit dengan ketidakmampuan secara ekonomi saja. Sebenarnya banyak

hal yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Kemiskinan bisa terkait dengan

ketidakmampuan memenuhi standar hidup pada hampir semua aspek kehidupan,

baik yang bersifat material (pendapatan, pangan, air, pakaian, rumah, sumber

energi, keadaan sanitasi, aset lain seperti tanah, ternak, tanaman), termasuk

pendidikan dan kesehatan, maupun non material (pengetahuan kurang, partisipasi

dalam masyarakat terbatas, tidak percaya diri di depan umum, pendapatnya tidak

dihargai, tersisih dalam pergaulan, dan sebagainya) (Ranimpi, 2009).

Implikasi dari polemik kemiskinan yang terjadi untuk saat ini nampak jelas

ketika di lihat dari sudut pandang ekonomi secara mendasar yaitu pola konsumsi

dan produksi. Ditinjau dari pola konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh

kalangan masyarakat marginal tidaklah seimbang. Pola konsumsi sendiri

sebenarnya untuk saat ini lebih mengarah kepada konsumsi yang berlebihan dan

mencolok. Dimana konsumsi yang berlebihan dan mencolok tersebut tidak lepas

karena adanya pengaruh-pengaruh dari berbagai media utamanya televisi.

Page 5: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

5

Yang saat ini terjadi di masyarakat, orang-orang di negara berkembang

tidak membelanjakan uangnya yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup

dasar, melainkan untuk membeli “life style” (Dewi, 2007). Masyarakat di negara-

negara berkembang yang belum memiliki kemampuan menyaring informasi,

menganggap gaya hidup kelas atas adalah gaya hidup yang ada di televisi. Selain

itu, konsumsi berlebihan juga diimplementasikan kepada barang yang mubadzir.

Seperti yang di infokan oleh Suprapto (2009), yaitu 70 persen dari 19 juta

penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah dipakai

untuk konsumsi rokok.

Ini artinya BLT yang diberikan kepada masyarakat miskin bukan untuk

mengatasi kemiskinan tetapi lebih membantu industri rokok yang ada di

Indonesia. Bukan hanya sekedar mengkonsumsi rokok saja, dengan adanya BLT

masyarakat cenderung menggantungkan bantuan dari pemerintah. Untuk itulah,

diperlukan sebuah kebijakan yang mampu merubah paradigma masyarkat. Yang

dulunya berperilaku konsumtif diubah menjadi perilaku produktif. Dengan

berubahnya paradigma tersebut, pola konsumsi dan produksi masyarakat marginal

menjadi seimbang. Seimbang disini maksudnya masih ada selisih uang yang

disisakan untuk kebutuhan lain (misalnya tabungan dan modal usaha) dan di

sisakan untuk memenuhi kebutuhan hidup esok hari.

Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan oleh Sumber Pustaka

Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang terkenal sebagai penduduk

perantau dan pekerja keras. Tanah di Madura kurang subur sebagai lahan

pertanian (Hakim, tanpa tahun). Keterbatasan lahan tersebut mengakibatkan

tingginya angka kemiskinan hingga mengakibatkan masyarakat bermigrasi dalam

jangka panjang. Ikatan kekeluargaan sesama etnis sangat kuat. Orang Madura

berpikir bahwa di mana ada orang Madura itulah saudara, apalagi dari daerah

yang sama dan memang ada ikatan keluarga (Humaidy, 2002).

Sistem kekerabatan individu dalam kelompok tertentu di Madura biasanya

memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing. Tak jarang seseorang dapat

mempunyai lebih dari satu kedudukan dan peranannya dalam kelompok

kekerabatan (Wibowo dkk, 2002).

Page 6: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

6

Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten diantaranya : Bangkalan,

Sampang, Pamekasan dan Sumeneb. Sebagian besar penduduk pulau Madura

tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan

tradisional, petani garam dan petani tembakau. Namun, ada juga yang berprofesi

lain tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk potensi sosial budaya, Madura

mempunyai beberapa hal yang unik yaitu antara lain karapan sapi, batik Madura,

semangat kesetiakawanan yang tinggi, terbuka dan ulet (Sativa dan Utami, 2010).

Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwsannya masyarakat Madura

sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung

diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan

cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.

Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan

ekonomi. Sehingga, tak jarang mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke

berbagai negara untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Namun, hal tersebut tidaklah seimbang dengan tingkat pendidikan yang

mereka kenyam. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu,

mereka terutama yang berdiam di remote area sampai derajat tertentu kurang

memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak

berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan

mereka (A’la, 2010). Padahal, jika disimak secara baik-baik bahwasannya

masyarakat madura lebih suka menyekolahkan anaknya dalam tataran pendidikan

yang basisnya pondok pesantren. Dalam hal pendidikan, Sujito (2007)

mengungkapkan, orang tua lebih memilih pondok karena disamping biayanya

yang tidak mahal juga mendapatkan pendidikan agama.

Pendidikan yang berbasis pesantren ini sengaja dipilih dikarenakan

masyarakat madura begitu mengagungung-agungkan sosok seorang kyai. Sebagai

pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai "otoritas

kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap sebagai orang

suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirodj, 2009).

Page 7: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

7

Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran Kelembagaan

Dalam kasus kemiskinan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidaklah

lepas dari adanya ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan keluarga

miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan seenaknya

memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya

diperuntukkan untuk orang miskin (Hidayanti, 2006).

Masyarakat miskin tidak berdaya menghadapi biasnya perilaku elite desa

karena sering kali terjadi asymmetric information antara lembaga desa dengan

masyarakatnya. Biasnya perilaku elite desa ini dari waktu ke waktu tetap

konsisten dan eksis dikalangan masyarakat desa. Masyarakat tidak berdaya

menanggulangi hal tersebut mengingat adanya keterbatasan akses kelembagaan

dan informasi yang tidak sempurna. Keluarga miskin umumnya selalu lemah

dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi,

sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki

potensi lebih tinggi (Hidayanti, 2006).

Untuk itulah, dalam memajukan perekonomian pedesaan, setidaknya harus

ada peran dari kelembagaan setempat dengan melibatkan (pemberdayaan)

masyarakat, yang mana masyarakat bukan dijadikan objek tetapi harus terlibat

melaksanakan pembangunan dalam hal ini sebagai subjek.

Pemberdayaan, secara definitif yaitu suatu proses tindakan sosial dimana

masyarakat mengatur diri mereka sendiri untuk suatu perencanaan dan penerapan,

mendefinisikan kebutuhan dan masalah individu dan kolektif mereka, membuat

rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan mereka dan

memecahkan masalah mereka, melengkapi sumber daya yang dimiliki bila

diperlukan dengan jasa dan material yang diperoleh dari pemerintah dan agen non

pemerintah (LSM) di luar komuniti (Effendi, 2006).

Sebelum mengimplementasikan kebijakan lembaga daerah dalam

memberdayakan masyarakat, setidaknya harus ada identifikasi terlebih dahulu

terhadap permasalahan sosial-ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Identifikasi ini sangat diperlukan mengingat permasalahan sosial-ekonomi di

setiap daerah berbeda-beda. Setelah dilakukan identifikasi dan ditemukan solusi,

selanjutnya diperlukan adanya rangsangan agar masyarakat mau terlibat dalam

Page 8: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

8

pembangunan derah. Rangsangan untuk memulai proses pembangaunan ini,

Sayogyo dalam Hidayanti (2006) mengemukakan beberapa syarat yang harus

dipenuhi diantaranya :

1. Restrukturisasi kelembagaan komunitas.

Maksudnya yaitu tatanan dasar yang mengatur komunitas perlu direorientasi,

dari yang berpola feodalistik dan kolonial ke pola pemerintahan yang

profesional dengan mempertimbangkan adanya pola perilaku masyarakat

yang dinamis.

2. Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan

masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada

upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki

nasibnya sendiri.

Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan bottom-

up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan

program. Strategi pembangunan model top-down (sentralistik) yang selama tiga

dekade terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan

inisiatif mereka serta menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang

seharusnya menjadi hak mereka (Elizabeth, 2004). Adanya kebijakan secara top-

down, ruang gerak masyarakat untuk berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi

semakin sempit dan terbatas. Maka dari itu, perubahan pendekatan dari top-down

ke bottom-up diharapkan mampu menstimuli masyarakt untuk lebih kreatif

berekspresi dan lebih bebas dalam beraktualisasi diri.

Kemiskinan Ditinjau dari Perspektif Agama Islam

Dalam Islam, kemiskinan yang terjadi merupakan suatu masalah yang

perlu segera diatasi. Perhatian Islam tentang kemiskinan begitu besar, sampai-

sampai dalam Al-Qur'an kata miskin dan masakin disebut hingga 25 kali dan

tersebar dalam 19 surat, sementara faqir dan fuqoro disebut-sebut hingga 13 kali

yang tersebar di 10 surat (Ibrahim, 2007).

Sebagaimana yang di terapkan dalam nilai-nilai ajaran islam, sebenarnya

untuk rizki setiap individu manusia telah diatur, tinggal manusianya saja yang

Page 9: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

9

harus berusaha untuk mencarinya. Ini tertuang dalam Al-qur’an surat Al-Ra’d

ayat 26 dan surat Al-Jatsiyyah ayat 13 yaitu :

“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia

kehendaki” (QS. Al-Ra’d :26).

“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi

semuanya (sebagai rahmat) dari padanya” (QS. Al-Jatsiyyah :13).

Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa semua riski setiap manusia telah diatur oleh

Allah, sehingga manusia tinggal berusaha untuk mencarinya. Apa lagi dalam ayat

lainnya dikatakan bahwasannya alam semesta ini merupakan sumberdaya yang

siap digunakan untuk kepentingan manusia. Sehingga, manusia jangan hanya

pasrah dan meratapi nasib, tetapi harus berusaha untuk keluar dari jeratan

kesengsaraan.

Islam menolak pandangan bahwa kemiskinan merupakan sebuah

keterpaksaan dan tidak perlu ada upaya perubahan nasib karena pandangan seperti

itu merupakan sandungan bagi upaya perbaikan harta yang rusak, kecurangan

timbangan, penegakan keadilan dan solidaritas kemanusiaan (Qardhawi dalam

Soekarni, 2004). Artinya setiap kaum muslim haruslah berusaha memenuhi

kebutuhan hidupnya guna terlepas dari jeratan rantai kemiskinan. Kemiskinan

yang terus membelenggu masyarakat tidaklah baik. Jika ini terus menerus terjadi,

akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi (pendapatan rendah, tingkat

konsumsi menurun dan tabungan ataupun investasi ikut menurun).

Jika kita hubungkan nilai-nilai ajaran islam ini dengan kasus pengemis

yang saat ini marak diberbagai daerah, beberapa literatur mengatakan

bahwasannya mengemis itu diperbolehkan bagi orang yang benar-benar tidak

mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilarang bagi orang yang masih

mempunyai kekuatan untuk berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah yang

diriwayatkan oleh Tarmizi dalam Qardhawi (1993) :

“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai

kekuatan dengan sempurna”.

Sebebnarnya, perilaku mengemis yang sering kita jumpai baik bentuk dan

karakternya bermacam-macam. Ada yang membawa atau menggendong anak

kecil, ada yang anggota tubuhnya luka-luka, ada pula yang anggota tubuhnya

Page 10: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

10

cacat dan lain sebagainya. Disampaikan oleh Yusuf Qardhawi 1993, bahwa tidak

halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang,

padahal dia masih mampu berusaha memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan

keluarga serta tanggungannya. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu

Daud dan Nas’i yaitu :

“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan

meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena

itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau

silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk

suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain”.

Memang sangat kompleks pembahasan kemiskinan dalam ajaran Islam. Untuk

itulah, setiap manusia dihimbau agar terus berusaha dalam mencukupi kebutuhan

hidupnya selama ia masih mempunyai kekuatan untuk melakukannya.

Metode

Pendekatan

Karena objek yang diteliti tidak sebatas pada pemahaman, pencarian dan

pendeskripsian data semata, maka diperlukan sebuah pendekatan analisis secara

mendalam guna diperoleh hasil yang lebih kompleks. Untuk itulah, maka jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kulitatif dimana penelitian

deskriptif ini mencoba mendeskripsikan suatu fenomena yang berlangsung ketika

penelitian dilakukan. Dalam artian penelitian deskriptif tersebut mencoba

memaparkan kekinian fenomena-fenomena yang diteliti (fenomena yang terjadi

pada saat ini).

Lokasi

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian studi kasus dimana penelitian

ini lebih spesifik mencoba untuk mempelajari dan mengamati fenomena yang ada

di suatu daerah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun tempat atau lokasi

penelitiannya yaitu dilakukan di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan

kabupaten Pamekasan pulau Madura. Dari pemilihan tempat tersebut, harapannya

mampu menjawab permasalahan penelitian.

Page 11: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

11

Informan

Untuk mengetahui keakuratan dan keaktualan informasi, maka kehadiran

informan sangat diperlukan. Untuk itulah, beberapa informan yang sengaja

ditunjuk diantaranya : pertama, masyarakat lokal yang terlibat dalam lingkup

penelitian (pengemis dan bukan pengemis). Dimana masyarakat ini secara

langsung terlibat dalam satu kesatuan sistem interaksi sosial suatu komunitas.

Adapun maksud dan tujuan peneliti memilih masyarakat pengemis adalah untuk

mengetahui sejauh mana paradigma yang berkembang sehingga berpengaruh pada

perilaku mengemis mereka.

Selanjutnya informan non-pengemis sengaja dipilih guna menjabarkan

bagaimana interaksi atau hubungan sosial pengemis dikalangan masyarakat umum

(pengemis dengan non-pengemis) dan sejauh mana pengaruh interaksi hubungan

sosial tersebut dalam pembentukan paradigma (pola fikir) bagi pengemis maupun

non-pengemis. Kedua, kepala desa yang secara langsung terlibat dan berpengaruh

terhadap mobilitas sosial-ekonomi kemasyarakatan di desa Branta Tinggi. Dari

kepala desa ini harapannya peneliti mampu memperoleh informasi mengenai

bagaimana peran kelembagaan dalam mempengaruhi mobilitas sosial-ekonomi

(utamanya yang berkaitan dengan isu-isu perilaku mengemis masyarakatnya) di

desa terkait melalui kebijakan-kebijakan yang diterapkan ataupun yang masih

direncanakan.

Ketiga, kyai dan tokoh masyarakat setempat yang secara struktur

kemasyarakatan informan tersebut memiliki pengaruh terhadap tindakan sosial

masyarakat. Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini

mempunyai "otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia

dianggap sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Chufron, 2009). Kyai

dan tokoh masyarakat tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran secara

umum mengenai hubungan antara masyarakat dengan sosok pemimpin informal

dan sejauh mana pengaruh keduanya (kyai dan tokoh masyarakat) terhadap

tindakan (perilaku) masyarkat desa Branta Tinggi.

Page 12: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

12

Analisis Data

Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terdapat empat tahapan yang

digunakan untuk menganalisis data yaitu :

1. Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil dari wawancara, observasi,

Dokumentasi dan lain sebagainya. Data-data yang terkumpul ini masih berupa

data mentah dan perlu dilakukan pemilahan untuk menemukan isu-isu utama

penelitian yang lebih fokus.

2. Penyajian Data

Penyajian data yaitu data yang dihasilkan melalui proses reduksi data akan

langsung disajikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penerikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi

data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil

(Miles dan Huberman, 1992). Maksud utama dari reduksi ini yaitu untuk

memeperoleh data yang lebih tajam dan lebih fokus terhadap penelitian sehingga

dapat mempermudah dalam penarikan kesimpulan.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus-menerus selama peneliti

melakukan penelitian. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk mengetahui

secara mendalam mengenai objek yang diteliti. Sehingga, mempermudah dalam

mengetahui isu-isu utama dari penelitian.

Pembahasan

Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi Ekonomi yang

Belum Optimal

Dilihat dari bentang alamnya, kondisi tanah di Madura sebagian besar

berupa tanah grumusol. Menurut Karjadi (2000), umumnya tanah grumusol yaitu

berupa batu-batuan endapan yang berkapur biasanya berada di daerah bukit

maupun gunung, sifat tanah seperti ini biasanya basah (becek berlumpur) jika

Page 13: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

13

musim hujan dan sangat kering jika musim kemarau. Bukan hanya itu saja,

sebagian besar wilayah Madura beriklim C (iklim hujan sedang), D (iklim agak

kering), dan E (iklim kering) dengan 8 – 10 bulan kering (Schmidt dan Ferguson

dalam Swarso, 2007). Karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung

untuk dikembangkannya tanaman yang mengandalkan kesuburan tanah, sehingga

sebagian besar masyarakat Madura terpaksa menanam tanaman seperti ketela

pohon, jagung, dan tembakau.

Tak ubahnya daerah Madura lainnya, desa Branta Tinggi juga mengalami

kondisi yang serupa. Kontur tanahnya yang kurang subur dan berpapasan

langsung dengan laut, menjadikan ketela pohon, jagung dan tembakau sebagai

tanamam favorit. Beberapa sumber pustaka sering kali memaparkan bahwasannya

tembakau Madura memiliki cita rasa yang unik dan berkualitas tinggi. Tembakau

Madura mempunyai mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok

sebagai bahan baku utama (Istiana, 2003). Untuk itulah, tembakau-tembakau yang

ada di Madura banyak dibudidayakan diberbagai tempat di Madura mulai

pegunungan hingga pesisir. Namun, kualitas tembakau tiap-tiap daerah berbeda-

beda sehingga muculah ketimpangan harga komoditas.

Kualitas tembakau yang dihasilkan desa Branta Tinggi tidaklah sebaik

tembakau didaerah Madura lainnya. Karena lokasinya berpapasan dengan laut

tersebut yang menjadi corak tersendiri sehingga kualitas tembakau di desa Branta

Tinggi ini kurang bagus. Tanah-tanah yang ada sebagian dibiarkan kering lantaran

jika ditanami tembakau hasil yang diperoleh tidak maksimal. Daun tembakau

yang tipis menjadikan bobot panen kurang sesuai dengan apa yang diharapkan

oleh para petani. Bukan hanya itu, cita rasa dari tembakau yang dihasilkanpun

kurang diminati oleh konsumen.

Walaupun karakteristik wilayahnya sebagian besar memiliki corak yang

kering dan kurang subur, tetapi potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh desa

Branta Tinggi ini sangatlah melimpah. Wilayahnya yang dekat dengan pantai dan

jalur transportasi utama antar wilayah di Madura merupakan salah satu aset

berharga yang perlu di tinjau lebih lanjut. Wilayah Branta Tinggi bagian selatan,

memiliki pantai dengan pasir putih yang luas dengan keanekaragaman hayati yang

terkandung didalamnya seperti kepiting, tiram, ikan, tanaman bakau, karang yang

Page 14: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

14

kondisinya masih utuh dan aneka flora dan fauna lainnya yang dijadikan sebagai

salah satu faktor penting penggerak perekonomian desa. Keindahan pantai hingga

saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian untuk dikembangkan lebih lanjut

(misalnya sebagai objek wisata atau untuk tambak ikan).

Bentang alam di bagian tengah desa Branta Tinggi sebagian besar berupa

tegalan dan kebetulan dilalui oleh jalur transportasi utama pulau Madura. Hal

inilah yang menjadikan wilayah ini semakin potensial untuk dikembangkan lebih

jauh. Pengembangan potensi yang ada berkaitan dengan adanya faktor pendukung

berupa sarana transportasi yang memadai yaitu berupa pengembangan industri

olahan. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat

dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan

(Nuryadin dkk, 2007).

Tidak berhenti pada dukungan dari adanya sarana transportasi saja, bagian

desa Branta Tinggi sebelah utara, untuk saat ini telah memiliki sumur bor. Dimana

sumur bor yang ada digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih beberapa

desa di Pamekasan. Selain itu, sumur bor yang ada oleh sebagian masyarakat

digunakan untuk mengairi ladang-ladang tembakau. Aset berharga seperti ini

seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber devisa desa. Pemaparan

tersebut diatas merupakan beberapa potensi yang hingga saat ini belum

terekplorasi secara maksimal. Bahkkan, walaupun desa ini memiliki akses air

bersih yang sangat lancar, namun melimpahnya air bersih yang dimiliki sebagian

besar dikuasai oleh PDAM Pamekasan. Sehingga, setiap hari masyarakat harus

mengeluarkan + Rp 2.000 untuk memenuhi bak mandi yang dimilikinya.

Lebih parahnya lagi, air yang diperoleh dari PDAM tersebut tidak bisa

digunakan untuk kebutuhan konsumsi lantaran rasanya agak asin. Dan itupun

sebagian masyarakat Branta Tinggi ada yang tidak memperoleh bagian jatah air

dari sumur bor lantaran sebagian air yang ada disalurkan ke beberapa desa lain.

Untuk kebutuhan air konsumsi, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan +

Rp 4.000 demi membeli air bersih yang digunakan sebagai air konsumsi selama

dua hari. Dengan uang Rp 4.000 air yang diperoleh sebanyak 10 jirigen berukuran

5 liter per jirigennya. Pembelian air konsumsi ini biasanya dilakukan di salah satu

rumah penduduk yang telah ditunjuk oleh PDAM sebagai agen penyuplai air

Page 15: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

15

konsumsi. Kondisi ini memperparah kehidupan masyarakat desa lantaran biaya-

biaya kebutuhan harian cukup tinggi.

Memang, pengelolaan sumberdaya (alam maupun manusia) yang ada di

desa ini menimbulkan kontradiksi tersendiri. Melimpahnya potensi yang ada tidak

disikapi secara luar biasa oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Sehingga,

pengembangan desa melalui potensi sumberdaya tersebut dirasa stagnan dan tidak

menunjukkan perkembangan yang berarti. Tak dapat disangkal lagi, ketidak

maksimalan pengelolaan inilah yang menjadikan masyarakat setempat terkukung

dalam jeratan kemiskinan dan rela melakukan kegiatan mengemis.

Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Berkaitan dengan Perilaku

Mengemis

Tak ubahnya didaerah Madura lainnya, hubungan kekerabatan yang terjadi

di desa Branta Tinggi ini sangatlah erat. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada

di desa ini beraneka ragam bentuknya. Mulai selamatan setelah panen tembakau,

pengajian bulanan, hingga pengajian bersama setiap hari kamis (malam jum’at).

Karena begitu banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkan interaksi

sosial, tak jarang interaksi tersebut menimbulkan efek resiprokal kepada warga

yang lain. Pengaruh yang sangat nampak yaitu pada penularan perilaku mengemis

yang merupakan tradisi turun-temurun di desa ini. Dari data-data empiris

dilangan, masyarakat Branta Tinggi yang menjalankan tradisi untuk mengemis

terbatas untuk masyarakat di dusun Pelanggaran semata (salah satu dusun di desa

Branta Tinggi). Namun, karena adanya hubungan sosial yang begitu kuat, perilaku

ini berpengaruh dan menular pada masyarakat di dusun lain bahkan masyarakat di

luar desa Branta Tinggi.

Dengan jumlah penduduk 2.210 jiwa, di desa ini diperkirakan ada sekitar

250 jiwa atau 70 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengemis (data

kelurahan, 2006 diolah). Kegiatan mengemis bukan hanya dilakukan oleh orang

dewasa semata, namun anak-anak juga terlibat dalam kegiatan ini. Jumlah 250

jiwa yang dipaparkan dalam data kelurahan tersebut hanya perkiraan saja lantaran

ada sebagian masyarakat yang menjadi pengemis kambuhan.

Page 16: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

16

Ada sebuah kecenderugan tersendiri yang menggambarkan bagaimana

mental lokal itu terbentuk di desa ini. Kesamaan pola konsumsi yang mencolok

antar warga mengakibatkan pendapatan harian tidaklah berarti apa-apa. Pola

konsumsi yang mengarah pada pembelian barang-barang yang dianggap mubadzir

ini lah yang disinyalir sebagai salah satu hal yang melatarbelakangi biasnya

sebuah anggapan mengenai masyarakat Madura. Pendapatan yang seharusnya

digunakan untuk menabung atau berinvestasi jangka panjang di bidang perikanan

atau pertanian ternyata terbuang secara sia-sia.

Pengusahaan dibidang pertanian manupun perikanan sebenarnya cukup

menjanjikan walaupun terdapat beberapa risiko tersendiri. Disektor pertanian

misalnya, walaupun kualitas tembakau yang dihasilkan kurang memadai, namun

pendapatan yang diperoleh tiap kali panen bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Sebenarnya pendapatan tersebut bisa ditingkatkan lagi jika asymmetric

information yang terjadi bisa ditanggulangi dengan baik. Dalam pemasaran

tembakau yang terjadi, sebagian besar informasi harga di kuasai oleh oknum-

oknum tertentu yaitu tengkulak. Sehingga informasi riil mengenai harga tembakau

cenderung tertutup dan sulit untuk diketahui.

Tidak berhenti pada pemasaran semata untuk kasus yang terjadi di sektor

pertanian tembakau ini. Sulitnya permodalan dalam pengusahaan pertanian

tersebut lantaran pendapatan yang diperoleh digunakan untuk konsumsi yang

berlebihan mengakibatkan petani terjerat kontrak dengan para rentenir. Ini lah

sekelumit bukti kongkrit disektor pertanian yang mengakibatkan kemarginalan

petani tembakau nyata adanya.

Kasus yang mendera pada sektor pertanian sebenarnya juga hampir sama

dengan kasus yang terjadi disektor perikanan. Ketidaktahuan masyarakat nelayan

setempat dalam memanfaatkan potensi laut secara lebih kreatif menimbulkan

sebuah keniscayaan tersendiri. Sebagian besar nelayan setempat hanya

memanfaatkan ikan-ikan tertentu dari hasil tangkapan. Sehingga, ikan-ikan lain

yang terjerat dalam jaring sering kali dibuang atau bahkan dibagi-bagikan secara

sukarela kepada penduduk sekitar. Padahal, jika dilakukan diversifikasi produk

dari hasil tangkapan tersebut tentunya akan memberikan sumbangan yang positif

bagi pertumbuhan perekonomian desa. Selain itu, pemanfaatan kekayaan alam

Page 17: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

17

laut hingga saat ini hanya sebatas untuk mengeruk ikan-ikan yang ada

didalamnya. Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan lebih jauh untuk

dikembangkan. Sebab, pemanfaatan laut bukan hanya untuk menangkap ikan

semata tetapi bisa dimanfaatkan sebagai sarana budi daya ikan melalui jaring

apung maupun sebagai tambak-tambak ikan di bibir pantai.

Jika ditinjau lebih jauh mengenai interaksi yang terjadi di masyarakat

sendiri, sebetulnya terdapat beberapa pola penting yang perlu diperhatikan. Yaitu

bagaimana pola interaksi dengan kelembagaan terkait, interaksi dengan tokoh

masyarakat informal, dan interaksi antar warga. Dari beberapa pola interaksi

tersebut tentunya akan menimbulkan sebuah efek tersendiri yang mengarah pada

pembentukan pola fikir individu. Pola interaksi masyarakat dengan kelembagaan

terkait tidaklah menunjukkan sebuah pola yang cukup membanggakan. Artinya

kelembagaan terkait yang memiliki andil dalam menanggulangi perilaku

mengemis hanya sebatas untuk menghadapi masalah (facing problem) bukan

untuk menyelesaikan masalah (solving problem).

Kelembagaan terkait sering kali memberikan bantuan-bantuan pendanaan

dan hewan-hewan ternak kepada pengemis. Dan ini tentunya justru menimbulkan

efek ketergantungan (dependendcy effect) masyarakat terhadap bantuan dari

pemerintah. Bantuan-bantuan tersebut akan memanjakan masyarakat sehingga

mental produksi sulit terbentuk. Sedangkan untuk interaksi dengan sosok

pemimpin informal utamanya kyai sebernarnya sangat bagus. Namun, beberapa

petuah dari kyai sering kali diabaikan terutama yang bersangkutan dengan

pelarangan mengemis. Kyai sebagai sosok pemimpin informal hanya dijadikan

sebuah kebanggaan (simbol) yang mana petuahnya tidak sepenuhnya diikuti.

Diabaikannya petuah dari sosok kyai tersebut dengan dalih bahwasannya

desa akan celaka jika masyarakatnnya berhenti mengemis. Untuk itulah

keberadaan pengemis di desa ini menimbulkan dilematika tersendiri bagi seorang

kyai dalam berdakwah. Tingginya interaksi sosial yang ada di desa ini sering kali

mempersulit penanggulangan keberadaan pengemis. Risiko-risiko yang cukup

tinggi dibidang pertanian dan perikanan memeberikan andil yang cukup besar

dalam menyumbang kemunculan sosok pengemis-pengemis baru. Selain itu pola

konsumsi yang terlalu dominan mengakibatkan perilaku mengemis ini semakin

Page 18: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

18

menjamur dan mengakar kuat. Untuk itulah, diperlukan sebuah solusi yang

mumpuni sehingga keberadaan pengemis di desa ini mampu tereduksi.

Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik

kesimpulan :

1. Hubungan sosial yang kuat antara masyarakat bukan pengemis dan pengemis

menjadi poin penting dalam pembentukan mental lokal. Pola perilaku

konsumtif tanpa diimbangi pola produksi yang memadai menjadikan aktivitas

mengemis terpaksa dijalani oleh orang-orang yang sejatinya bukan pengemis.

Sebenarnya, perilaku mengemis yang merupakan tradisi (membudaya) secara

turun-temurun hanya berlaku pada mayarakat di salah satu dusun di Branta

Tinggi yaitu dusun Pelanggaran. Namun, kenyataan dilapangan berkata lain.

Perilaku ini telah menular pada masyarakt dusun lain bahkan di desa lain

lantaran adanya kecenderungan sosial bahwasannya mengemis begitu

mudahnya mendapatkan kepingan rupiah. Selain itu adanya kesamaan pola

kunsumtif (konsumsi tinggi) pada masyarakat daerah setempat semakin

memperkuat kegiatan mengemis sulit ditinggalkan.

2. Kegiatan mengemis memang telah menjadi tradisi di Branta Tinggi lantaran

adanya mitos yang beredar di masyarakat. Tradisi kelokalan yang sangat kuat

menjadikan perilaku mengemis ini sulit untuk ditinggalkan. Bahkan dari

waktu ke waktu kegiatan ini menimbulkan dilema lantaran memunculkan

sosok pengemis-pengemis musiman dari daerah lain.

3. Potensi luarbiasa yang terdapat pada sektor-sektor pertanian dan perikanan

hingga saat ini tidak dieksplorasi secara maksimal. Residu dari sektor basis

yang bernilai ekonomi tinggi belum termanfaatkan dengan baik. Potensi lain

di bidang perikanan hanya sebatas dijadikan konsumsi harian. Lebih parahnya

lagi, Kelembagaan formal maupun informal yang bertanggungjawab dalam

peningkatan perekonomian basis sektor desa tidak jelas keberadaannya.

Adapun sektor kelembagaan informal semakin mempersulit nasib pelaku

Page 19: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

19

ekonomi desa lantaran informasi pemasaran produk dikuasai dan ditentukan

oleh kelembagaan informal ini.

4. Sosok kyai sebagai pemimpin informal di Madura sebenarnya memiliki peran

penting dalam menanggulangi perilaku mengemis ini. Namun, alasan klasik

dari masyarakat (adanya kutukan dari leluhur) yang sejatinya tidak

berhubungan degan kegiatan mengemis menjadikan prosesi dakwah menjadi

terhambat. Munculnya kecenderungan sosial karena risiko-risiko yang sering

dihadapi pada sektor basis menjadi dilematika tersendiri bagi kyai dalam

berdakwah.

Rekomendasi

Menanggulangi kemiskinan yang mengarah pada perilaku mengemis

memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan analisis yang

lebih mendalam guna menemukan formula kebijakan yang lebih tepat dan terarah.

Adapun rekomendasi yang bisa diberikan oleh peneliti atas hasil penelitian yang

dilakukan yaitu :

1. Ada pepatah Cina yang mengatakan “untuk bisa menikmati bubur panas yang

begitu lezat, maka makanlah dari pinggir”. Seperti itulah sebuah kebijakan.

Dimana agar kebijakan bisa tercapai secara maksimal dimulailah dari hal

kecil yang berpotensi menimbulkan efek yang luar biasa dalam jangka

panjang. Ini bisa diimplementasikan melalui penanggulangan internalisasi

perilaku mengemis yang ditularkan dari orang tua ke anak. Lembaga

pendidikan terkait (formal maupun informal) haruslah membuat sebuah

model pengajaran yang lebih inovatif (mengajarkan pola produktif pada

anak). Sehingga, mind-set mengemis yang ditularkan dari keluarga kepada

anak mampu diubah dengan mind-set produktif yang diajarkan di sekolah.

Pemutusan rantai generasi mengemis ini memberikan dampak yang sangat

luar biasa dimasa depan. Karena generasi penerus yang menjalankan aktivitas

mengemis dari waktu ke waktu tereduksi lantaran adanya program pemutusan

rantai generasi tersebut.

2. Penguatan kaidah-kaidah Islamiah dengan penyampaian yang lebih bagus

haruslah terus digalakkan oleh tokoh masyarakat setempat (pemimpin formal

Page 20: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

20

dan informal). Ini dikarenakan nilai-nilai agama Islam selalu dijunjung tinggi

di wilayah ini. Penyampaian tersebut bisa melalui pemberian pelatihan-

pelatihan membuat kerajianan tangan atau membuat sebuah usaha baru bagi

anak-anak yang notabene banyak melakukan kegiatan keagamaan di

pesantren. Kegiatan kewirausahaan sejatinya juga merupakan wujud apresiasi

seseorang dalam menegakkan kaidah-kaidah keislaman. Dimana dalam nilai-

nilai ajaran Islam juga ada anjuran-anjuran untuk berusaha sendiri melalui

berwirausaha. Model pendekatan ini tentunya dimaksudkan untuk mengubah

mind-set masyarakat menjadi orang yang lebih produktif. Sebagaimana

diajarkan dalam Islam, bahwasannya mengemis sangatlah dilarang bagi

orang-orang yang masih memiliki kemampuan dengan sempurna. Tentunya

rekomendasi ini haruslah memperoleh apresiasi yang mumpuni dari

stakeholder terkait baik dari pemerintah maupun jaringan kerjasama dengan

lembaga lainnya. Untuk itulah, unit-unit yang dimaksud (kelembagaan dan

stakeholder) mampu bersinergi dengan baik agar rekomendasi yang

dicanangkan mampu merasuk pada sendi-sendi vital permasalahan sosial-

ekonomi masyarakat desa Branta Tinggi.

Daftar Pustaka

A’la, Abdul. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Madura Pasca Suramadu Melalui

Agama, Budaya dan Tradisi. http://blog.sunan-

ampel.ac.id/abdala/2010/03/01/pemberdayaan-masyarakat-madura-pasca-

suramadu-melalui-agama-budaya-dan-tradisi/

Abidin, Muhammad Zainal. 2009. Pengertian Pembinaan Mental.

http://meetabied.wordpress.com/2009/12/24/pengertian-pembinaan-mental

BPS. 2009. Data Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 2010.

Effendi, Nursyirwan. 2006. Keberadaan dan Fungsi Pasar Tradisional. Jurnal

Antropologi.

Elizabeth, Roosgandha. 2004. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal Untuk

Menunjang Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial

Page 21: Hubungan mental Lokal dengan perilaku mengemis (penentuan pola konsumsi dan produksi masyarkat)

21

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian

Bogor. Bogor.

Hadiyanti, Puji. 2006. Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal

Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Negeri Jakarta. Jakarta.

Humaidy, M Ali. 2002. Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa

Pragaan Daya Sumenep Madura. STAIN Pamekasan. Pamekasan.

Istiana, Heri. 2003. Teknik Pemetikan Daun Tembakau Madura. Buletin Teknik

Pertanian Vol. 8. Malang.

Miles, M. B dan A. M Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook

of New Methods. SAGE. Beverly Hills.

Nuryadin, Didi dkk. 2007. Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi ; Peran

Karakteristik Regional di Indonesia. Fakultas Ekonomi UPN Veteran

Yogyakarta. Yogyakarta.

Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu. Jakarta.

Ramdhani, Neila. Tanpa Tahun. Sikap dan Beberapa Definisi untuk

Memahaminya. Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.

Republik Indonesia. 1992. Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan

Perundang-undangan. Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.

Sativa, Khoridah dan Juliatin Putri Utami. 2010. Pencegahan Dampak

Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Ekologi Dengan Metode

Master Plan Madura Terpadu. Program Kreativitas Mahasiswa Universitas

Negeri Malang. Malang.

Sirodj, Chufron. 2009. Peran dan Posisi Kyai di Tengah Masyarakat Pamekasan

Madura. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Soekarni, M. 2004. Kebijakan Penanganan Kemiskinan dalam Islam.

http://www.undp.or.id./mdg/index.asp

Sujito. 2007. Laporan MDGs Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Bangkalan.

Wibowo, H. J Dkk. 2002. Tatakrama Suku Bangsa Madura. Badan

Pengembangan Kebudayaan dan Paiwisata. Yogayakarta.