Menafsir Budaya melalui Bilangan Pi

2

Click here to load reader

Transcript of Menafsir Budaya melalui Bilangan Pi

Page 1: Menafsir Budaya melalui Bilangan Pi

Menafsir Budaya melalui Bilangan Pi1

Iwan Pranoto

2

1 Tulisan ini merupakan rangkaian tulisan dalam rangka menuju Bulan Budaya Ilmiah, Mei 2013. Ikut ramaikan perayaan Hari Pi, Maret 14, 2013, ini dengan tagar #HariPi dan #PiDay di Twitter. 2 Matematika, ITB, @iwanpranoto

Kalangan matematikawan dan saintis dengan agak berseloroh menetapkan bahwa bulan ke-3 dan tanggal 14, atau bulan Maret tanggal 14, setiap tahunnya sebagai hari pi. Fisikawan Larry Shaw di tahun 1988 yang pertama kali mendeklarasikan tanggal ini sebagai Hari Pi. Kemudian lembaga Kongres-nya Amerika Serikat menyepakati untuk menetapkan bahwa 14 Maret dinyatakan sebagai Hari Pi secara resmi. Secara kebetulan, 14 Maret juga merupakan hari ulang tahun fisikawan ternama Albert Einstein.

Dari kejadian di atas, tersirat bahwa budaya yang melingkungi matematika sejatinya adalah kejenakaan. Bilangan pi bukan sesuatu yang sakral, tetapi justru masyarakat modern memandangnya sebagai lambang matematika yang mengungkapkan kejeniusan dalam “kesintingan”. Budaya yang manusiawi, hangat, yang justru mendasari matematika. Budaya yang dikembangkan sekaligus mempengaruhi matematikawan dan juga ilmuwan umumnya adalah budaya yang luwes, tidak dogmatis. Kecuali itu, yang langsung dapat ditafsirkan bahwa budaya yang mendasari matematika dan sains adalah tekad untuk menentukan segala hal pada tataran individu dan masyarakat. Segala hal adalah tanggungjawab kita secara individu atau pun kelompok. Dalam matematika, tidak perlu penguasa untuk menetapkan kesahihan. Kebenaran bukan milik penguasa. Gagasan awal menetapkan tanggal ini sebagai Hari Pi, juga bukanlah dari pemerintah mana pun atau proses politik apa pun. Namun, penetapan ini benar-benar dari inisiatif dan didasarkan keisengan masyarakat ilmu pengetahuan.

Siswa-siswi SD mengerti bahwa konstanta pi merupakan sebuah bilangan yang jika dikalikan dengan garis tengah sebuah lingkaran, akan diperoleh ukuran panjang keliling lingkaran tersebut. Di banyak negara, khususnya Amerika Serikat, anak-anak SD dikenalkan pendekatan awal nilainya adalah 3,14. Disebut pendekatan karena bilangan pi tidak mungkin disajikan dalam bentuk desimal secara eksak. Namun, yang menarik, justru di Indonesia, bilangan pi diperkenalkan dengan pendekatan nilainya berbentuk pecahan 22/7. Bilangan 22/7 ini disebut bilangan pi Archimedes.

Pertama, dari sistem pengukuran, di Indonesia menggunakan Sistem Internasional yang tentunya lebih cocok dengan sistem desimal. Namun, uniknya malah tradisi pembelajaran matematika di Indonesia justru tak mengenalkan pi mulai dengan nilai 3,14, tetapi dengan bilangan pi Archimedes 22/7 itu.

Benar bahwa bilangan pi Archimedes itu pendekatan yang lebih baik dibanding 3,14. Malahan, bilangan pi Archimedes itu pendekatan yang cukup lumayan akuratnya. Dalam bentuk desimal, bilangan pi Archimedes ini bernilai 3,142857142857... Ini lebih besar dibanding dengan bilangan pi sebenarnya, yakni 3,14159265358979323846264... Galatnya cukup kecil, kurang dari 0,00126. Kecuali itu, benar juga bahwa mengingat 22/7 lebih mudah. Namun, yang sebenarnya lebih perlu dipertanyakan adalah dari sudut pandang anak, bilangan mana yang lebih mudah dimaknai dan dirasakan besarnya. Kebijakan pendidikan matematika nasional perlu melakukan penelitian mendalam tentang hal ini.

Page 2: Menafsir Budaya melalui Bilangan Pi

Kedua, dalam buku-buku ajar matematika di Indonesia, bilangan 22/7 sebagai pendekatan pi itu harus dihafal. Rangkaian soal di buku itu kebanyakan meminta siswa menentukan ukuran keliling atau luas lingkaran jika garis tengah atau jari-jarinya diberikan. Kemudian, mungkin pragmatisme menuntun penulis buku untuk senantiasa memberikan jari-jari atau garis tengah kelipatan dari 7, agar perhitungannya sederhana. Kecuali itu, tradisinya di kita mengharuskan siswa mengingat bahwa pi itu bernilai 22/7.

Di negara lain, dalam soal matematika diberikan asumsi pendekatan nilai pi itu pada soalnya, jadi tak perlu dihafal. Karena memang pendekatan nilai pi yang berbeda akan memberikan hasil perhitungan yang berbeda pula. Oleh karenanya, misalnya, dalam buku ajar sepatutnya ditanyakan: “Berapa perkiraan keliling lingkaran itu?” Kata perkiraan di sana sangat mutlak perlu. Jika garis tengah lingkaran 7 cm, kelilingnya bukan 22 cm. Tetapi kelilingnya mendekati 22 cm. Umumnya, tak mungkin menemukan jawab eksak yang disajikan dengan angka sederhana. Jadi, karena perkiraan, jawabannya tidak mungkin tunggal.

Perilaku memonopoli kebenaran tampaknya menurun pada dunia pendidikan matematika nasional sampai abad 21 ini. Obsesi terhadap jawab benar tunggal ini membawa isu ketiga, yakni tradisi yang terlalu mendewakan kepastian. Gara-gara penerjemahan wiskunde dari Bahasa Belanda sebagai ilmu pasti, matematika di Indonesia dikesankan tabu bekerja dalam ketakpastian. Mungkin kesan keliru ini pula yang menyebabkan sebagian kita tak nyaman untuk menghadapi keraguan. Beberapa dari kita tak cakap menentukan keputusan berdasarkan pernalaran mandiri. Akhirnya, kita butuh “penguasa” untuk membantu menentukan “kebenaran” itu. Siklus lingkaran setan akan semakin rumit jika penguasanya juga punya kelemahan dalam mengatasi keraguan.

Setiap peradaban menggunakan nilai pendekatan pi yang berbeda-beda. Pada era Pra-Kristen, pi umumnya didekati dengan bilangan 3. Kemudian, pada abad pertama, peradaban di Cina menggunakan pendekatan 3,1547. Yang menakjubkan adalah yang dilakukan oleh matematikawan dan astronom Cina Tsu Chung-Chi (430–501), yang menemukan pendekatan pi dengan sangat baik, yakni 355/113. Bilangan ini hebatnya dihitung tanpa bantuan alat apapun di abad ke-5. Bahkan perhitungannya tidak menggunakan abacus atau sempoa. Lebih dari itu, di dunia Barat, bilangan ini tidak diketahui sampai abad ke-16. Pecahan 355/113 ini begitu bagusnya, sampai pecahan selanjutnya yang lebih baik untuk mendekati pi baru ditemui pada 52.163/16.604. Begitu hebatnya Tsu Chung-Chi ini, sampai namanya sekarang dikenang untuk menamai sebuah kawah di bulan.

Dalam rancangan Kurikulum 2013, siswa diminta mengamati benda-benda berbentuk lingkaran dan kemudian membanding keliling dan garis tengahnya. Dari pengumpulan data itu, dapat ditemukan pendekatan nilai pi. Namun, itu bukan bermatematika. Perkiraan nilai haruslah diturunkan melalui pembuktian deduktif. Keunikan matematika yang tidak menggantungkan pada cara empirik ini yang tampaknya diabaikan dalam Kurikulum 2013. Kecerobohan menganggap matematika sebagai bagian dari sains akan merusak hakikat matematika. Matematika adalah seni berpikir.