Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

4
MEMBANGUN KERAJAAN ALLAH LEWAT GEREJA AWAM Martin Suhartono, S.J. Pengantar Itulah tema yang diusulkan oleh Panitya. Saya bertanya-tanya, "Ada apakah di balik usulan itu?" Apakah yang baru dalam tema itu? Tentang "Kerajaan Allah", kita semua diandaikan tahu. Tentang "membangun" pun demikian juga. Kalau begitu hal yang baru adalah "Gereja Awam". Tentu yang dimaksud adalah Gereja Kaum Awam dan bukan Gereja Yang Bloon, Tak tahu apa- apa, seperti dalam ungkapan "Wah, saya awam dalam hal pesawat terbang" (artinya: bukan pakar). Pertanyaan spontan bisa muncul, "Apakah ada Gereja yang Bukan Kaum Awam?" Saya menduga, di balik tema itu ada suatu pengandaian, atau malahan suatu "kejengkelan", bahwa Gereja yang selama ini kita kenal adalah Gereja yang Bukan Awam, d.p.l., Gereja Kaum Rohaniwan. Mungkin inilah pengalaman banyak orang, Gereja kita terlalu dikuasai oleh Kaum Berjubah. Pertanyaannya, Selama Ini Selalu Gereja Kaum Berjubah? Bila Anda sekalian mengikuti karangan Rm. Mangun di Majalah HIDUP tentang Gereja Diaspora (artinya: Gereja yang tersebar-sebar, untuk membedakan dari Gereja Teritorial, yaitu Gereja yang terikat pada satu wilayah tertentu), maka Anda akan tahu bahwa tidak selamanya Gereja kita ini adalah Gereja Kaum Berjubah. Pada kurun waktu empat abad pertama hidup Gereja, Gereja kita adalah Gereja kaum awam. Artinya, kegiatan Gereja dikerjakan sebagian besar oleh kaum awam: dirintis, dimodali dan dikelola oleh kaum awam, yaitu pedagang, pelayar, prajurit, pejabat, perantau, dll. Merekalah yang pergi ke mana-mana untuk mewartakan Injil. Malah kemungkinan besar terjadi lewat kaum perempuan (sambil saling gossip, ngrumpi dll!), yaitu kaum janda dan beberapa malah menjadi Diakoness (Tim 5:9). Mereka mengemban fungsi pastoral (penggembalaan umat), cintakasih praktis, dan liturgis. Kita lihat bagaimana Perayaan Ekaristi pada jemaat pertama dilakukan berganti-ganti di rumah-rumah (Kis). Baru nanti pada abad kelima, kaum biarawan/watilah yang memusatkan diri pada kegiatan sebagai misionaris. Yang keliling mewartakan Injil bukanlah kaum awam lagi melainkan para padri dan biarawan-biarawan. Tradisi ini dilanjutkan terus di abad-abad berikutnya lewat Ordo Benediktin, Dominikan, Fransiskan, Yesuit dan ordo-ordo lain. Itu perkembangan di Eropa. Di Indonesia pun kita pernah mengenal periode Gereja Kaum Awam. Memang benih-benih Kristen pertama dibawa oleh para pastor. Tapi pada periode zaman Jepang, saat para pastor Belanda ditahan, kaum awamlah yang bergerak dan mengelola kehidupan gerejani. Di seluruh Indonesia cuma ada satu uskup pribumi (Mgr. Soegijapranata) yang diijinkan Jepang untuk aktif dibantu oleh Uskup pinjaman dari Jepang (Mgr. Yamaguchi). Di tiap provinsi cuma ada 1 atau 2 pastor. Sekolah Katolik tutup, termasuk seminari. Para seminaris, frater dll tersebar-sebar dititipkan di rumah umat. Ekaristi tidak setiap hari, tapi umat tetap berkumpul dan berdoa di gereja. Gereja melarat, kiriman uang dari Belanda tak bisa diharapkan lagi. Tapi iman menyala-nyala. Sayangnya begitu kita merdeka, Gereja kembali lagi ke tangan kaum berjubah. Bila kita kembali ke zaman Yesus sendiri, kita akan melihat bahwa baik Yesus maupun para rasul bukanlah termasuk kaum pejabat resmi agama (seperti imam dan ahli Taurat). Yesus bukan keturunan imam Yahudi (hanya dari suku Levi). Para rasul pun adalah "kaum awam" di mata orang-orang sebangsanya. Di zaman sekarang ini, banyak para imam mengakui bahwa Gereja Kaum Awam dalam Gereja Katolik ini secara paling mencolok terjadi di Kelompok Pembaharuan Karismatik Katolik. Para imam boleh dibilang cuma untuk penghias saja, berfungsi sebagai Moderator. Pertemuan Karismatik bisa saja dilaksanakan tanpa seorang imam pun. Di tempat-tempat terpencil, tempat kekurangan imam, para katekis dan pemuka jemaatlah yang aktif berperan.

description

In Indonesian language, "Building the Kingdom of God through the Church of the Laity", originally a reflection by Martin Suhartono, S.J. delivered to the Senior Prayer Group of the Catholic Charismatic Renewal, Semarang, 13 November 1998.

Transcript of Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

Page 1: Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

MEMBANGUN KERAJAAN ALLAH LEWAT GEREJA AWAM

Martin Suhartono, S.J.

Pengantar Itulah tema yang diusulkan oleh Panitya. Saya bertanya-tanya, "Ada apakah di balik usulan itu?" Apakah yang baru dalam tema itu? Tentang "Kerajaan Allah", kita semua diandaikan tahu. Tentang "membangun" pun demikian juga. Kalau begitu hal yang baru adalah "Gereja Awam". Tentu yang dimaksud adalah Gereja Kaum Awam dan bukan Gereja Yang Bloon, Tak tahu apa-apa, seperti dalam ungkapan "Wah, saya awam dalam hal pesawat terbang" (artinya: bukan pakar). Pertanyaan spontan bisa muncul, "Apakah ada Gereja yang Bukan Kaum Awam?" Saya menduga, di balik tema itu ada suatu pengandaian, atau malahan suatu "kejengkelan", bahwa Gereja yang selama ini kita kenal adalah Gereja yang Bukan Awam, d.p.l., Gereja Kaum Rohaniwan. Mungkin inilah pengalaman banyak orang, Gereja kita terlalu dikuasai oleh Kaum Berjubah. Pertanyaannya, Selama Ini Selalu Gereja Kaum Berjubah? Bila Anda sekalian mengikuti karangan Rm. Mangun di Majalah HIDUP tentang Gereja Diaspora (artinya: Gereja yang tersebar-sebar, untuk membedakan dari Gereja Teritorial, yaitu Gereja yang terikat pada satu wilayah tertentu), maka Anda akan tahu bahwa tidak selamanya Gereja kita ini adalah Gereja Kaum Berjubah. Pada kurun waktu empat abad pertama hidup Gereja, Gereja kita adalah Gereja kaum awam. Artinya, kegiatan Gereja dikerjakan sebagian besar oleh kaum awam: dirintis, dimodali dan dikelola oleh kaum awam, yaitu pedagang, pelayar, prajurit, pejabat, perantau, dll. Merekalah yang pergi ke mana-mana untuk mewartakan Injil. Malah kemungkinan besar terjadi lewat kaum perempuan (sambil saling gossip, ngrumpi dll!), yaitu kaum janda dan beberapa malah menjadi Diakoness (Tim 5:9). Mereka mengemban fungsi pastoral (penggembalaan umat), cintakasih praktis, dan liturgis. Kita lihat bagaimana Perayaan Ekaristi pada jemaat pertama dilakukan berganti-ganti di rumah-rumah (Kis). Baru nanti pada abad kelima, kaum biarawan/watilah yang memusatkan diri pada kegiatan sebagai misionaris. Yang keliling mewartakan Injil bukanlah kaum awam lagi melainkan para padri dan biarawan-biarawan. Tradisi ini dilanjutkan terus di abad-abad berikutnya lewat Ordo Benediktin, Dominikan, Fransiskan, Yesuit dan ordo-ordo lain. Itu perkembangan di Eropa. Di Indonesia pun kita pernah mengenal periode Gereja Kaum Awam. Memang benih-benih Kristen pertama dibawa oleh para pastor. Tapi pada periode zaman Jepang, saat para pastor Belanda ditahan, kaum awamlah yang bergerak dan mengelola kehidupan gerejani. Di seluruh Indonesia cuma ada satu uskup pribumi (Mgr. Soegijapranata) yang diijinkan Jepang untuk aktif dibantu oleh Uskup pinjaman dari Jepang (Mgr. Yamaguchi). Di tiap provinsi cuma ada 1 atau 2 pastor. Sekolah Katolik tutup, termasuk seminari. Para seminaris, frater dll tersebar-sebar dititipkan di rumah umat. Ekaristi tidak setiap hari, tapi umat tetap berkumpul dan berdoa di gereja. Gereja melarat, kiriman uang dari Belanda tak bisa diharapkan lagi. Tapi iman menyala-nyala. Sayangnya begitu kita merdeka, Gereja kembali lagi ke tangan kaum berjubah. Bila kita kembali ke zaman Yesus sendiri, kita akan melihat bahwa baik Yesus maupun para rasul bukanlah termasuk kaum pejabat resmi agama (seperti imam dan ahli Taurat). Yesus bukan keturunan imam Yahudi (hanya dari suku Levi). Para rasul pun adalah "kaum awam" di mata orang-orang sebangsanya. Di zaman sekarang ini, banyak para imam mengakui bahwa Gereja Kaum Awam dalam Gereja Katolik ini secara paling mencolok terjadi di Kelompok Pembaharuan Karismatik Katolik. Para imam boleh dibilang cuma untuk penghias saja, berfungsi sebagai Moderator. Pertemuan Karismatik bisa saja dilaksanakan tanpa seorang imam pun. Di tempat-tempat terpencil, tempat kekurangan imam, para katekis dan pemuka jemaatlah yang aktif berperan.

Page 2: Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

Martin/Kerajaan Allah/hal. 2

Nah, meski kelihatan istilah ini baru, tapi pada prakteknya, hal itu sudah pernah terjadi dan nyatanya juga sudah dilaksanakan dalam Gerakan Pembaharuan Karismatik dan di tempat-tempat terpencil. Jadi soal istilah "Gereja Kaum Awam" ini tak perlu diperpanjang lagi. Kini saya masuk dalam pengandaian kedua, yaitu bahwa Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah Dari tema "membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam", maka dimengerti bahwa Gereja Awam itu, atau bahkan Gereja sekali pun, tidak sama dengan Kerajaan Allah! Seandainya sama, tentu cukup kalau dikatakan "Membangun Gereja Awam". Dengan jelas dimengerti bahwa Gereja hanyalah alat, sarana, dan lewat alat itulah kita membangun Kerajaan Allah. Hal ini penting saya kemukakan agar jelas bagi kita sekalian, mana tujuan dan mana yang cuma sarana. Ingat, tujuan kita bukanlah membangun Gereja Awam, tapi Kerajaan Allah. Dalam perjalanan sejarah, kita sekalian pernah terkecoh dengan menyamakan, mengidentikkan Kerajaan Allah dengan Gereja, dan khususnya Gereja Katolik Roma! Kita waktu itu berpendapat dan bersikap bahwa di luar Gereja (Katolik Roma) tak ada keselamatan Allah. Dan tujuan segala kegiatan misionaris, contohnya Santo Fransiskus Xaverius, adalah membaptis orang sebanyak-banyaknya. Tak penting apakah mereka mengerti atau tidak, pokoknya baptis. Dan strateginya adalah memikat para penguasa lebih dulu: dengan prinsip bahwa kalau rajanya dibaptis, pastilah rakyatnya juga ikut baptis. Semakin banyak orang dibaptis, semakin kita berpikir bahwa Kerajaan Allah sudah diperluas! Di zaman Belanda, Romo Hoevenaars bentrok dengan Romo Van Lith dalam soal strategi. Romo Hoevenaars menekankan banyaknya orang yang dibaptis, sedangkan Romo Van Lith tidak. Romo Van Lith lebih menekankan pembentukan karakter murid-murid lewat Sekolah Guru di Muntilan, entah murid katolik atau pun bukan. Itu dari segi jumlah yang dibaptis. Lebih celaka lagi, sering kita berpikir bahwa Kerajaan Allah itu dibangun kalau kita berhasil membangun gedung gereja! Nah, akibatnya di mana-mana gereja dibangun, dan kadang mencuat megah di tengah-tengah kemiskinan. Maka jangan heran kalau menimbulkan rasa iri dan benci, dan kita semua tahu, entah ada rekayasa khusus atau tidak, nyatanya ratusan gereja dibakar. Barusan ini saya ke Situbondo. Gereja yang dulu dibakar itu memang sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya, dibangun gereja yang jauh lebih megah lagi. Dan orang di sana bersyukur, pembakaran gereja itu ternyata rahmat Allah karena justru karena dibakar mereka sekarang punya gereja lebih besar dan megah! Mendengar antusiasme orang di sana, saya malah bertanya dalam hati, "Apakah itu justru tak menimbulkan kebencian dan iri hati yang lebih besar lagi bagi orang-orang di sekeliling mereka?" Satu lagi contoh konkret. Di zaman awal orde baru ada pikiran, Kerajaan Allah itu diperluas kalau semakin banyak orang Katolik duduk dalam lembaga-lembaga negara, entah di pemerintahan, legislatif dan yudikatif. Prinsipnya: semakin banyak orang katolik duduk dalam posisi pengambil keputusan, semakin kepentingan kita orang katolik bisa terwakili, dan otomatis kepentingan Kerajaan Allah juga terjamin. Apakah ini tepat? Nyatanya, gairah atau nafsu untuk berkuasa ini justru menimbulkan reaksi balik negatif. Bukan rahasia lagi bahwa saudara-saudara dari golongan lain merasa bahwa pemerintah Orde Baru pada awalnya terlalu dikuasai oleh orang-orang Kristen dengan merugikan kepentingan golongan lain. Nah, apakah Kerajaan Allah diperluas dengan semakin banyak orang baptis? Dengan semakin banyak gereja yang megah dan indah? Dengan semakin banyak orang Katolik/Kristen duduk dalam pemerintahan? Maksud saya, bila kita berpikir tentang membangun atau memperluas Kerajaan Allah, hendaknya ketiga hal ini tidak menjadi perhatian atau tujuan utama kita! Saya masuk dalam pengandaian ketiga, Kitalah yang membangun Kerajaan Allah Dari tema itu bisa disimpulkan bahwa pembangunan Kerajaan Allah itu tergantung pada kita semua. Kerajaan Allah tidak jatuh begitu saja dari langit. Tapi harus dipahami bahwa kita tidak bekerja sendirian, kita bekerja sama dengan Allah sendiri. Tanpa ini maka sia-sialah usaha kita, seperti dikatakan oleh Pemazmur, "Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya...." Mz 127:1). Jadi memang kita diundang untuk mencari keseimbangan: jangan semata-mata mengandalkan kemampuan kita sendiri (entah uang, entah kuasa, entah kepandaian dll), tapi juga jangan kita cuma ongkang-ongkang kaki, bahasa Jawanya tenguk-tenguk nemu gethuk, mlaku-mlaku oleh tumbu, dan menunggu Kerajaan Allah itu jatuh dari langit! Ketika para rasul

Page 3: Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

Martin/Kerajaan Allah/hal. 3

bertanya pada Yesus, "Apakah saat ini Kau akan memulihkan Kerajaan bagi Israel", Yesus malahan berkata "Kalian harus menjadi saksi-KU yaitu bila kalian diperlengkapi oleh Roh Kudus!" (Kis 1:8). Jadi hal "gereja Awam", hal "Kerajaan Allah", hal "membangun" sudah jelas batas-batasnya. Kini saya masuk dalam persoalan apa sih itu yang namanya Kerajaan Allah? Dan kapan datangnya sih? Kenapa kok kita terus menerus berdoa dalam Bapa Kami, "Datanglah kerajaan-Mu!" Jadi sekarang ini belum datang? Kerajaan Allah ada di antara kita: Marilah kita menengok apa pesan para Penginjil sehubungan dengan Kerajaan Allah. Kita lihat saja satu penginjil, misalnya Lukas. Lukas itu khas, karena menggambarkan Yesus yang melakukan perjalanan panjang sebelum Ia sampai ke Yerusalem untuk sengsara dan wafat-Nya. Bayangkan dari bab 9 sampai 19, jadi sepuluh bab sendiri bercerita tentang perjalanan Yesus. Nah, persis sebelum memasuki Yerusalem, Yesus memberi beberapa pelajaran penting tentang Kerajaan Allah itu. Kita lihat Lk 17:30: orang-orang Farisi bertanya "kapan Kerajaan Allah itu datang". Yesus menjawab, "Kerajaan Allah itu datang tanpa tanda-tanda lahiriah. Sebab Kerajaan Allah itu ada di antara kamu!" Orang-orang Yahudi di zaman Yesus, dan sebenarnya juga di zaman sekarang ini, kerap membayangkan bahwa akan ada kejadian dahsyat pada saat Allah datang untuk meraja. Zaman ini pun kita sering mendengar kotbah-kotbah yang mengatakan bahwa kinilah saatnya akhir zaman. Nah, Yesus memperingatkan kita. Bukan hal-hal itulah yang penting! Karena kita tak perlu menunggu hal macam-macam: Kerajaan Allah itu ada di antara kita! Sebelum itu, dalam debat dengan orang-orang yang menuduh Yesus mengusir dengan kuasa setan, Yesus menjawab, "Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu!" (Lk 11:20). Kita tahu bahwa Yesus berkarya dengan kuasa Allah, nah maka Kerajaan Allah memang sudah datang. Kerajaan Allah itu ada di antara kita, bila kuasa Allah itu memang merajai hati kita masing-masing, bukan saja menguasai hati kita, tapi juga mengatur hubungan-hubungan yang ada di antara kita. Ada definisi demikian: "Kerajaan Allah adalah sebuah kumpulan - sebuah jaringan manusia yang telah menyerahkan hati dan hubungan-hubungannya kepada pemerintahan Allah. Kerajaan Allah itu terwujud bila Allah memerintah dalam hati dan hubungan sosial itu. Kerajaan Allah itu bukanlah sekedar serangkaian hubungan telpon rohani yang mandiri antara Raja dengan setiap warganya!" (Kerajaan Sungsang, hlm. 5-6). Mari kita lihat kenyataannya. Apakah Allah benar-benar meraja dalam hati kita? Ataukah justru kekayaan? Hobbi kita? Ketakutan kita? Apakah yang menggerakkan kita dalam hidup kita ini? Apakah kuasa Allah itu yang mengatur hubungan di antara kita? Ataukah untung-rugi? Kepentingan diri sendiri? Dalam jawaban kepada orang Farisi itu Yesus menganjurkan agar kita tak bersikap seperti istri Lot yang menengok ke belakang dan akibatnya ia menjadi patung garam. Kemudian juga ia menganjurkan agar kita terus menerus berdoa seperti janda yang terus menerus minta perkaranya diadili oleh hakim yang jahat. Apa artinya ini? Artinya adalah agar Allah menjadi pusat hidup kita. Istri Lot menengok ke belakang karena dua hal: pertama, ia merasa sayang pada rumah dll yang ditinggalkannya di belakang karena itu semua akan musnah, ia lebih sayang pada barang daripada pada hidupnya sendiri; kedua, ia menengok ke belakang karena takut kalau-kalau bencana itu menerkam dia, ia lebih percaya pada ketakutannya sendiri daripada pada janji Allah yang mau menyelamatkan dia. Dalam doa yang terus menerus itu intinya: orang menjalin hubungan terus menerus dengan Allah. Kerajaan Allah adalah Kerajaan Sungsang ("bukan dari dunia ini") Meskipun dikatakan bahwa Kerajaan Allah itu ada di antara kita, atau dengan kata lain, kita bersama-sama inilah yang mewujudkan Kerajaan Allah, Yesus juga mengajarkan bahwa Kerajaan Allah ini berbeda dengan Kerajaan di dunia ini. Artinya, nilai-nilai Kerajaan Allah itu ternyata berbanding terbalik dengan nilai-nilai yang umum dianut di dunia kita ini. Ada buku bagus yang saya anjurkan Anda sekalian membacanya, Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang (BPK). Kita lihat saja urutan peristiwa dan ajaran yang dikatakan Yesus setelah Lk bab 17 itu. Pertama, lewat contoh bahwa dalam Kerajaan Allah itu orang pemungut cukai ternyata lebih dihargai oleh Allah daripada orang Farisi. Kedua, anak-anak juga lebih dihargai daripada

Page 4: Membangun Kerajaan Allah lewat Gereja Awam

Martin/Kerajaan Allah/hal. 4

orang dewasa. Ketiga, mengikut Yesus lebih dihargai daripada segala macam pengetahuan dan ketaatan pada hukum. Keempat, mengikuti Yesus yang menderita lebih dihargai daripada Yesus yang penuh kuasa. Hal-hal yang serba terbalik ini memang sulit dimengerti, maka dikatakan juga tentang para murid, "arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka!" Dan bukan kebetulan bahwa setelah uraian tentang Kerajaan Allah itu ada penyembuhan orang buta. Artinya: mata kita memang harus dibukakan dahulu sebelum mengerti rahasia Kerajaan Allah itu. Tapi jangan kuatir. Ada juga contoh orang yang mengerti pesan Yesus itu: Zakheus. Ia bertobat dan melaksanakan tobatnya itu. Pengetahuan tentang Kerajaan Sungsang ini bagaikan talenta, yang memang harus dilaksanakan dan dikembangkan. Nah, saya ingin masuk dalam hal-hal praktis bagaimana Kerajaan Sungsang ini kita praktekkan, terutama oleh Gereja Kaum Awam. Dijiwai oleh Roh Kudus Secara mudah bisa dikatakan, ikuti saja dorongan Roh Kudus pasti beres. Mengapa? Ya, karena konkretnya Allah memerintah dalam Kerajaan-Nya lewat kehadiran Roh Kudus dalam diri kita semua. Ya, tapi ke mana kira-kira Roh Kudus itu membimbing kita? Sebagai pedoman praktis tentu saja adalah Deklarasi Nazareth Yesus sendiri ketika pertama kalinya tampil di muka umum. Yesus bilang begini, "Roh Allah ada pada-KU sebab Ia telah mengurapi Aku ....." (Lk 4:18-19). Nah, arahnya adalah pelayanan konkret kepada saudara-saudara kita yang menderita dan kekurangan, yang mengalami penindasan dan ketidakadilan. Kita lihat sendiri bagaimana Kerajaan Allah Allah itu adalah Kerajaan yang Sungsang, serba terbalik dengan kerajaan duniawi. Yang dianggap hina, rendah, bangsat oleh dunia ternyata malah ditinggikan oleh Yesus: para pelacur, pemungut cukai, janda-janda, anak-anak, para gembala dll. Masalahnya tentu bukan cuma mengumpulkan uang dan memberikan derma bagi orang miskin. Tapi lebih jauh dan lebih dalam lagi dari itu. Kerap justru kita dituntut untuk bertindak lebih daripada yang diwajibkan secara legal oleh pemerintah/negara. Bila kita didorong oleh Roh Kudus, kita tentunya tak puas hanya memberikan Upah Minimum kepada pekerja kita. Kita akan didorong juga sejauh memungkinkan mempekerjakan kelompok marjinal dalam masyarakat seperti para penyandang cacat, bekas narapidana dan tapol, drop-out sekolahan dll. Bila kita membangun pabrik, kita pun akan mendirikannya di daerah penduduk yang memang butuh pekerjaan. Kita tak akan puas hanya memberikan bingkisan Natal, tapi juga penyediaan lapangan kerja, pinjaman bunga rendah, kredit, jaminan keamanan, proyek pendidikan, orangtua asuh dan bahkan juga jaminan untuk pinjaman perumahan. Kita tidak akan menimbun harta bagi diri dan keluarga sendiri melainkan memberikan ke bawah dengan berlimpah. Rm. Mangun kerap mengeritik sekolah-sekolah yang dikelola oleh kaum berjubah karena hanya memperhatikan anak-anak orang kaya dan pintar saja. Bagaimana nasib mereka yang NEMnya rendah dan tidak mampu? Di sini justru kaum awam dapat berperan aktif. Dirikan yayasan untuk mendirikan sekolah/pendidikan bagi anak-anak yang tersingkir dan tak memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah favorit. Dalam pergaulan dengan saudara-saudara dari agama lain pun, kaum awam dapat lebih berperan aktif karena Anda sekalianlah yang setiap harinya memang berjumpa dan bergaul dengan warga masyarakat di lingkungan hidup Anda, di lingkungan kerja Anda sekalian. Jadi bukan cuma ikut Siskamling karena ada ancaman kerusuhan dan menyuruh pembantu kalau ada giliran ronda. Tentu ini semua tak bisa hanya dikerjakan secara individual atau sendiri-sendiri. Perlulah dibentuk suatu bentuk konkret kerja sama di antara Anda sekalian. Gunakan saja struktur yang sudah ada, misalnya lewat Dewan Paroki, atau Organisasi Persekutuan Doa Karismatik, dll. Kegiatan ini mengandaikan tiga hal utama: prakarsa dari pihak kita, tanpa pandang status/golongan dll., tak mengharapkan imbalan (Kerajaan sungsang, hlm. 183). Patut diingat juga bahwa cinta kasih kristiani ini, seperti kita lihat dipraktekkan oleh orang Samaria dalam perumpamaan Yesus (Lk 10) memang berat karena: tak pilih kasih, berani menerjang rintangan sosial, merepotkan, mengandung resiko, menghabiskan waktu, dan mahal! (ibid., hlm. 176-177).

Semarang, 13 November 98 (Ceramah pada PD Senior Karismatik,

Rayon Semarang)