Memahami Konflik Non Realist Is Dalam Sengketa Lingkungan Hidup Dan Sumberdaya Alam
-
Upload
tua-hasiholan-hutabarat -
Category
Documents
-
view
692 -
download
0
Transcript of Memahami Konflik Non Realist Is Dalam Sengketa Lingkungan Hidup Dan Sumberdaya Alam
MEMAHAMI KONFLIK NONREALISTIS DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
DAN SUMBERDAYA ALAM
Oleh:Tua Hasiholan Hutabarat
Mataram, 02 Juli 2010
ajian konflik atau sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam
tergolong bukan barang baru bagi banyak pihak. Beberapa dekade
terakhir, kajian konflik lingkungan hidup dan sumberdaya alam menjadi
fokus banyak pihak, mengingat semakin besarnya ancaman degradasi lingkungan
dan sumberdaya alam terhadap kesinambungan hidup manusia. Sayangnya,
beberapa kajian terhadap sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam
cenderung mereduksi beberapa fakta yang sebenarnya berpengaruh besar, baik
dalam sisi akar konflik maupun mekanisme penyelesaiannya. Reduksi terhadap
realitas konflik tersebut tentunya berdampak besar terhadap kemampuan penggiat
konflik lingkungan, khususnya dalam hal menemukan dan mendukung strategi
resolusi.
K
Ada satu prinsip yang harus dipahami oleh ilmuan maupun pelaku-pelaku
resolusi konflik. Prinsip ini sering dilupakan, direduksi, bahkan cenderung
dihilangkan dalam analisis terhadap konflik lingkungan, yakni dimensi realistik dan
non realistiknya sengketa lingkungan dan sumberdaya alam. Mengapa kita harus
membedakan konflik lingkungan hidup dan sumberdaya alam dalam dalam dua
bentuk tersebut? Hal itu dilandasi oleh adanya perkembangan sulitnya mencari
solusi atas konflik yang banyak terjadi belakangan ini. Gagalnya mencari solusi atas
konflik salah satunya disebabkan oleh kesalahan analisis terhadap akar konflik,
sehingga berdampak terhadap penarikan kesimpulan atas tipe konflik yang terjadi.
Konflik lingkungan hidup selama ini banyak dipengaruhi oleh dua paradigma
besar, yakni human-centered dan nature-centered. Paradigma pertama lebih
menekankan pada kepentingan atau sudut pandang manusia atas alam dan
sumberdaya yang ada di alam. Akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk dan
semakin kompleksnya kebutuhan manusia, maka meningkat pula kompetisi untuk
memperolehnya. Kompetisi tersebut menciptakan ketegangan, karena sumberdaya
alam cenderung tetap dan semakin lama akan semakin rendah daya dukungnya
terhadap kepentingan manusia. Kompetisi tersebut menurut kacamata David
Schmidtz sebagai konflik penggunaan atau conflict in use. Semakin bertambahnya
penduduk dunia dan modernisasi gaya hidup manusia telah meningkatkan volume,
kualitas dan jenis sumberdaya alam.
Konflik penggunaan tersebut kerap menimbulkan konflik antar sesama
kelompok masyarakat, negara maupun organisasi, karena masing-masing memiliki
landasan untuk mendapatkan dan mengeksploitasi sumberdaya yang ada. Konflik
jenis kedua menurut David Schmidtz adalah yang didasarkan pada nilai, sehingga
dinamakan konflik nilai (values conflict). Jenis konflik kedua ini berakar dari
paradigma environmental centered, dimana manusia bukan dianggap satu-satunya
aktor pemilik dan penguasa sumber alam, karena alam sendiri di personifikasi
sebagain pihak yang memiliki landasan moral independen (moral standing
independent), terlepas dari manusia. Dalam konflik seperti ini, sangat tidak
mungkin meletakkan hak, dan kepemilikan (property rights) sebagai landasan
analisis. Hak moral yang dimiliki oleh alam (nature) tersebut sama sekali tak bisa
dihubungkan dengan manusia, sehingga keberadaannya harus dipertahankan, dijaga
dan dilestarikan demi kepentingan alam.
Konflik jenis ketiga adalah konflik yang terkait dengan prioritas (priority
conflicts). Jenis konflik seperti ini kerap terjadi akibat adanya kesenjangan
pandangan tentang kepentingan manusia yang bersifat jangka pendek dan
mengutamakan kepentinga/keuntungan sesaat (immediate goals) dan kepentingan
yang bersifat jangka panjang. Konflik seperti ini sering dikaitkan dengan persoalan
kemiskinan di negara-negara kaya sumberdaya alam. Di satu sisi, persoalan
kemiskinan yang dihadapi masyarakat membutuhkan pemenuhan kebutuhan secepat
mungkin, namun di sisi lain, harus ada proses pemanfaatan yang bersifat
sustainable. Sedangkan kerap kali sistem pengelolaan sumberdaya alam yang
sustainable membutuhkan waktu yang agak panjang dan keuntungan/manfaat yang
diperoleh pun tidak secepat pola yang diinginkan oleh masyarakat.
Pandangan serupa juga diperkenalkan oleh Burton (dalam Burgess and
Burgess, 1994). Menurut mereka, konflik lingkungan disebabkan oleh adanya
perbedaan kepercayaan dan pandangan tentang hubungan yang paling tepat antara
manusia sebagai mahluk sosial dengan lingkungan hidup (natural environment).
Pandangan ini paling tidak mirip dengan apa yang dikemukakan oleh David
Schmidtz, dimana konflik sumberdaya alam dan lingkungan hidup berhubungan
dengan manusia beserta sistem nilainya terhadap alam.
Berdasarkan tiga jenis konflik yang dikemukakan oleh David Schmidtz dan
Burton tersebut, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita tarik. Pertama, konflik
lingkungan berhubungan dengan manusia sebagai aktor pemanfaat lingkungan dan
lingkungan hidupatau sumberdaya alam sebagai unsur penyedia ataupun unsur
independen yang memiliki hak moral independen. Kedua, beberapa landasan
analisis konflik lingkungan tersebut meletakkan sistem nilai manusia sebagai dasar
hubungan dengan alam, walaupun pada satu sisi juga memberi hak moral kepada
lingkungan hidup untuk lepas dari kepentingan manusia. Kedua kesimpulan
tersebut jika di analisis tetap saja meletakkan perspektif dan titik pandang terhadap
lingkungan hidup dan sumberdaya alam kepada manusia. Sayangnya, sudut
pandang manusia terhadap lingkungan dan sumberdaya alam tersebut sangat
dipengaruhi oleh paradigma pengetahuan kita terhadap alam yang sangat bersifat
empirik.
Kita lupa bahwasannya dinamika dalam struktur sosial kita tidak hanya
ditentukan oleh realitas objektif yang menjadi kajian utama pengetahuan umat
manusia. Ternyata ada begitu banyak realitas hidup yang dilandasi oleh sistem nilai
yang berdiri sendiri, walaupun lahir dari sebuah proses interaksi manusia terhadap
alam dan lingkungan sosial. Sistem nilai tersebut cenderung tidak atau lambat
mengalami perubahan, karena dilandasi oleh nilai-nilai transendental. Sistem nilai
tersebut dalam kacamata ilmiah dianggap tidak ilmiah, di luar konteks ranah
pengetahuan.
Dalam realitas hidup manusia yang tidak bisa dilepaskan dengan
keterhubungan dan ketergantungannya dengan alam. Sistem nilai tersebut tetap
hidup dalam pranata sosial, dan mempengaruhi perilaku, tindakan dan proses sosial,
karena dilandasi oleh basis spiritual, etika dan prinsip-prinsip eksistensi sebuah
komunitas/masyarakat. Sistem nilai ini sering sulit dihubungkan dengan realitas
objektif, karena keterkaitannya dengan alam dan lingkungan sosial berlangsung
sangat rumit dan absurd. Malah sering sekali sistem nilai tersebut tersembunyi
dalam kultur laten masyarakat, yang hanya akan menampakkan diri pada saat
eksistensinya terancam.
Keberadaan sistem nilai ini dalam ranah konflik lingkungan hidup memiliki
hubungan dengan konflik non realistik seperti yang diungkapkan oleh Lewis Coser.
Sebagai Sosiolog yang dipengaruhi oleh paradigma positivistik, Lewis Coser
membagi konflik menjadi dua jenis, yakni konflik yang bersifat realistik dan non
realistik. Konflik bersifat realistik ketika sumber atau akar konfliknya konkrit atau
berhubungan dengan sumber-sumber material. Sedangkan konflik non realistik
adalah konflik yang dibangkitkan oleh keinginan yang tidak rasional, tidak masuk
akal, bahkan cenderung berada di luar konteks konflik.
Perspektif Sosiologi tersebut memberi penjelasan yang cukup baik tentang
konflik lingkungan, khususnya dalam konflik lingkungan dan sumberdaya alam
yang berbasis sistem nilai dan budaya masyarakat. Sering sekali, konflik
lingkungan dan sumberdaya alam yang berlangsung di negara-negara berkembang
seperti Indonesia sulit untuk diselesaikan karena berhubungan dengan sistem nilai
yang hidup dalam masyarakat. Sistem nilai tersebut sering kerap bersifat laten dan
tidak memiliki hubungan langsung dengan System Property Rights atau sistem
kepemilikan sumberdaya alam. Pada banyak kasus, konflik sering dipicu oleh
keterancaman, atau tekanan terhadap sistem nilai ini. Ketika pengelolaan
sumberdaya alam yang dilakukan oleh negara, organisasi maupun kelompok
masyarakat tertentu bersinggungan dengan sistem nilai ini, maka konflik akan
semakin rumit dan sulit dicarikan pemecahannya.
Konflik yang bersifat realistik sangat berhubungan dengan landasan-landasan
objektif atau material yang bisa dikaji demi mendapatkan strategi penyelesaiannya.
Sedangkan konflik yang bersifat nonrealistik sering berakar dari sumber-sumber
masalah dan ketegangan yang sama sekali tak berhubungan dengan akar
permasalahan, sehingga strategi penyelesaiannya juga akan sulit ditemukan.
Beberapa konflik non realistik yang sulit untuk diselesaikan kerap berakhir dengan
tindakan-tindakan kekerasan, karena terus-menerus direproduksi oleh masyarakat
atau komunitas yang sistem nilainya terancam. Penggunaan strategi rasional dan
instrumen yang empirik malah seirng memperburuk keadaan, sehingga
penyelesaiannya banyak menggunakan alat kekerasan.
Dalam menghadapi konflik seperti ini, para penyedia jasa penyelesaian
konflik harus keluar dari konteks konflik lingkungan dan sumberdaya alam, untuk
terlebih dahulu memasuki wilayah sistem nilai yang laten hidup di masyarakat.
Penyelesaiannya sering sekali tak bisa dipaksakan, malah harus ditempuh melalui
cara-cara yang sama sekali tak berhubungan dengan konteks dimana konflik terjadi.
Namun hal ini sering tidak dilakukan, karena pihak berkonflik, terutama organisasi
yang berseteru dengan masyarakat memiliki kepentingan sesaat yang sulit meng
kompromikan waktu penyelesaian. Pemaksaan penyelesaian dengan cara dan
metode yang didasarkan pada keterhubungan dialektik antara alam dengan manusia
dengan alam kerap mengalami kegagalan, sehingga mendorong penggunaan
instrumen kekerasan.
Kajian terhadap pendekatan penyelesaian konflik melalui strategi di luar
konteks konflik memang belum banyak berkembang. Selain dianggap tidak
memiliki landasan empiris, strategi ini juga tidak menjanjikan penyelesaian yang
memuaskan. Jika berhadapan dengan kondisi seperti ini, maka sebenarnya harus
ada kebijakan luar biasa bagi pihak yang berkonflik, terutama pihak yang dianggap
melanggar sistem nilai masyarakat. Pertama, harus lebih bersabar, untuk bisa
memahami sistem nilai yang hidup di masyarakat dan berpengaruh terhadap
terbentuknya perseteruan, untuk kemudian kembali menjalankan pendekatan yang
lebih mengakui dan menghormati kedaulatan sistem nilai tersebut. Cara kedua
adalah cara ekstrim, dimana pihak yang bertentangan dengan masyarakat harus
berbesar hati untuk mundur dan tidak memaksakan kehendaknya dalam mengelola
atau pun memanfaatkan sumberdaya alam yang di seterukan dengan masyarakat.
*********************************
Bahan Bacaan
Burgess, Guy and Heidi Burgess, 1994. Environmental Mediation: Beyond The Limits Applying Dispute Resolution Principles To Intractable Environmental Conflicts, Working Paper, University of Colorado at Boulder.
Lewis Coser, 1957. Social Conflict and The Theory of Social Change, British Journal of Sociology.
Scmidtz, David, 2001. Natural Enemies: An Anatomy of Environmental Conflict, University of Arizona