MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
-
Upload
yayasan-satu-karsa-karya-yskk -
Category
Education
-
view
43 -
download
2
Transcript of MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
YAYASAN SATUKARSA KARYA
BULETIN Edisi IV/Juni 2016
Kemandirian Ekonomi untuk Kedaulatan Diri Perempuan
Pendidikan Ramah Anak Butuh Dukungan Orang Tua
Upaya Menurunkan Angka Kekerasan Anak di Sekolah
Pendidikan Ramah Anak Butuh Dukungan Orang Tua
Kemandirian Ekonomi untuk Kedaulatan Diri Perempuan
Upaya Menurunkan Angka Kekerasan Anak di Sekolah
Angka Kekerasan Tinggi, Pemerintah dan Masyarakat Perlu Bersinergi
Angka Kekerasan Tinggi, Pemerintah dan Masyarakat Perlu Bersinergi
2
DAFTAR ISI
Tim Redaksi
Alamat Redaksi:
Penanggungjawab : Kangsure SUROTO | Pemimpin Redaksi : Ana Susi Yuniasri | Dewan Redaksi :
Lusiningtias, Dewangga Saputra, Muhammad Histiraludin, Antonia Satrianti, Wahid Kurniawan, Sri
Wahyuni | Editor : Eko Bani | Layout : A. Supadmi | Distribusi: Divisi Pengelolaan Data & Informasi
Singopuran Rt.04/Rw.02 Kartasura Sukoharjo 57164 - Jawa Tengah | Telp./Fax.: *62-271784928 |
eMail: [email protected] | Website: www.yskk.org
02 Salam Redaksi
03 Fokus Utama
07 Sekolah MANTAP
09 Ekonomi Kerakyatan
11 Kepemimpinan Perempuan
13 Jejak Langkah
14 Gagasan
15 Profil
17 Tips Sang Inovator
18 Kabar Program
20 Agenda Program
Pendidikan Ramah Anak Butuh Dukungan Orang Tua
Upaya Menurunkan Angka Kekerasan Anak di Sekolah
Kemandirian Ekonomi untuk Kedaulatan Diri
Perempuan
Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak, Butuh Sinergi Berbagai Pihak
Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Murjikem, Berdayakan Korban KDRT dengan Kekuatan Jejaring
Pahami Karakter Anak, Menjadi Kunci PAUD
Pembaca yang Budiman,
Perempuan dan anak sangat rentan
mengalami kekerasan baik fisik dan psikis.
Untuk mencegahnya dibutuhkan upaya yang
terus-menerus dan berdampingan antara
orangtua, masyarakat dan pemerintah.
MEDIUM Edisi IV akan mengupas tentang
parenting education yang diterapkan
Lembaga PAUD dalam menggalang partisipasi
orangtua untuk mewujudkan pendidikan yang
ramah anak, upaya yang dapat dilakukan
untuk menurunkan angka kekerasan di
sekolah, dan informasi lainnya.
Semoga apa yang kami kupas melalui buletin
ini dapat meningkatkan pemahaman pembaca
terkait kekerasan terhadap perempuan dan
anak dalam berbagai konteks. Selamat
membaca! Semoga bermanfaat,
Salam Redaksi,
From the People of Japan
YAYASAN SATUKARSA KARYA
Pendidikan Ramah Anak Butuh Dukungan Orang Tua
emenuhan dan perlindungan hak anak Padalah sebuah komitmen
yang harus diwujudkan bersama. Pemerintah Indonesia pada tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sebagai sebuah langkah untuk upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak anak. Konvensi hak anak ini memuat berbagai hak yang harus dihormati dan dipenuhi oleh segala pihak. Terkait pemenuhan hak atas pendidikan, tertuang pada pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA) yang menekankan bahwa negara mengakui hak anak atas pendidikan dan untuk mewujudkannya hak ini secara bertahap dan berdasarkan
kesempatan yang sama. Negara juga harus mengambil langkah yang tepat untuk memastikan bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat kemanusiaan anak.
Komitmen di atas sebenarnya semakin menegaskan komitmen Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28C yang mengamanahkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Baik dalam konteks pemenuhan hak sebagai warga negara dan sebagai anak, pendidikan dipandang penting untuk dipenuhi oleh negara. Lalu pendidikan yang seperti apakah sehingga anak dapat berkembang dan bertumbuh sesuai dengan hak-haknya? Karena satu sisi negara harus memberikan pendidikan yang sekaligus menjamin bahwa dalam proses pendidikan tersebut memenuh dan melindungi hak-hak anak. Hal ini tertuang dalam KHA pasal 28B yang menyebutkan “Setiap
FOKUS UTAMA
3
©Amy Supadmi | 2016
Oleh: Dewangga Saputra, Pelaksana Divisi Pemberdayaan Anak YSKK
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminiasi.” Hal ini diperkuat dalam pasal 19 (1) KHA, bahwa negara akan mengambil semua langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran dan perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orangtua, wali atau orang lain yang memelihara anak.
Guna menjamin implementasi pemenuhan dan perlindungan anak di lapangan, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dan secara khusus di sektor pendidikan menerbitkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PP dan PA) Nomor 5 tahun 2011 tentang Pemenuhan Hak Pendidikan Anak.
Meski demikian, berbagai tindakan yang tidak responsif pada perlindungan anak tetap terjadi, hal ini tampak dari pemberitaan-pemberitaan yang mewarnai media massa baik
kasus kekerasan terhadap anak, eksploitasi, penelantaran, dsb. Di sektor pendidikan sendiri berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2013 terdapat 6.812 kasus tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan bagi anak, sudah semestinya menjadi tempat terbaik, teraman dan ternyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Lembaga pendidikan berkewajiban untuk menjamin anak terbebas dari ancaman dalam proses mengembangkan segala potensi yang dimilikinya dan wajib memenuhi hak-hak anak dalam proses di sekolah.
Hal ini pula yang harus diperhatikan oleh Kabupaten Sukoharjo yang sejak Desember 2014 lalu mencanangkan untuk menjadi Kabupaten Layak Anak. Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak. Program ini diarahkan agar kabupaten/kota memiliki sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Upaya tersebut tentu harus berpegang pada berbagai indikator yang perlu dipenuhi agar Sukoharjo bisa disebut sebagai kabupaten yang layak anak.
Terkhusus di sektor pendidikan hal-hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan layak anak meliputi: angka partisipasi pendidikan anak usia dini, persentase wajib belajar pendidikan 12 tahun, persentase sekolah ramah anak, jumlah sekolah yang memiliki program, sarana dan prasarana perjalanan
FOKUS UTAMA
4
anak ke dan dari sekolah serta tersedianya fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak, di luar sekolah yang dapat diakses semua anak.
Sekolah Ramah Anak Sejak Jenjang PAUD Mendasarkan dari indikator di atas jelas bahwa sekolah memiliki tanggungjawab menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi anak. Penyelenggara pendidikan harus sangat memperhatikan kebutuhan dan hak-hak anak dalam penyelenggaraan pendidikan. Saat ini program sekolah ramah anak sedang digaungkan dari pusat hingga di daerah. Sekolah ramah anak merupakan sebuah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan.
Pendidikan mendasar yang penting dipenuhi saat ini dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD). Berbicara pendidikan anak usia dini yang ramah, tentu akan terkait aspek akses PAUD serta sekolah itu sendiri, maka pelaksanaan program sekolah ramah anak perlu dilakukan mulai jenjang PAUD. PAUD merupakan jenjang pendidikan pertama seorang anak mengenal lingkungan sekolah dan diharapkan menjadi pelopor layanan pendidikan yang ramah untuk anak didiknya.
Di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2015, menurut data Bidang PNFI capaian APK 30,34 persen (usia 0-6 tahun) atau 77,22 persen (usia 3-6 tahun). Di Sukoharjo terdapat 647 Lembaga PAUD yang melayani 32.756 anak
pada usia 0-6 tahun atau 31.660 anak pada usia 3-6 tahun. Dari data tersebut akses anak usia dini terhadap pendidikan di Kabupaten Sukoharjo sudah semakin terbuka. Jumlah anak yang dilayani di jenjang PAUD ini tidaklah sedikit sehingga perlu memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan aman, nyaman dan menyenangkan.
Program sekolah ramah anak dirasa perlu dilakukan mulai dari jenjang pendidikan anak sedini mungkin. PAUD merupakan jenjang pendidikan pertama seorang anak mengenal lingkungan sekolah dan diharapkan menjadi pelopor layanan pendidikan yang ramah untuk anak didiknya. Diharapkan dengan adanya Program Sekolah Ramah Anak ini, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan segala keceriannya perlu memastikan pendidikan mereka tanpa ada kekerasan, tanpa ada rasa takut sehingga anak mampu mengeskpresikan dan mengaktualisasikan dirinya secara positif dalam berbagai bentuk.
Butuh Dukungan Orang TuaTerselenggaranya sekolah ramah anak di PAUD tentunya menjadi tanggungjawab berbagai pihak baik penyelenggara pendidikan, masyarakat sekitar, dan tentu orang tua/wali murid. Penyelenggara pendidikan termasuk didalamnya pendidik sebagai elemen yang bersentuhan langsung dalam proses stimulasi tumbuh kembang anak usia dini pendidik diharapkan dapat memenuhi hak-hak anak di PAUD. Masyarkaat memiliki peran dalam menciptakan lingkungan masyarakat di sekitar sekolah yang mendukung terhadap program ramah anak.
Begitu pula orang tua, adalah elemen penting dalam mewujudkan pendidikan anak sejak usia dini yang ramah. Ada berbagai bentuk dukungan orang tua yang dapat dilakukan untuk mendukung program ramah anak. Mulai dari mendukung lingkungan yang sehat di sekolah dengan berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sekolah, menyediakan menu sehat untuk
FOKUS UTAMA
5
Kegiatan Parenting Education yang diselenggarakan salah satu lembaga PAUD dan YSKK beberapa waktu lalu mengangkat tema tentang Hak Anak.
anak, tidak merokok di lingkungan sekolah. Atau dengan menciptakan lingkungan yang bebas kekerasan seperti selalu bersikap ramah, murah senyum kepada setiap anak, tidak berbicara kasar pada anak, tidak memarahi anak didepan teman-temannya dan tidak mencubit/menjewer anak.
Pentingnya dukungan orangtua sangatlah berdampak penting untuk mewujudkan program sekolah ramah anak. Terkait dengan hal itu maka perlu ada strategi yang dikembangkan untuk mendorong peran serta orangtua dalam mewujudkan PAUD Ramah Anak. Strategi yang dilakukan Taman Pintar-Pos PAUD di Kecamatan Weru untuk mendorong dukungan orangtua dengan menggunakan media Parenting Education.
Parenting Education adalah sebuah sarana transfer pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada para orangtua terkait dengan pengasuhan anak usia dini. Parenting education diyakini mampu mentransfer mengenai pendidikan ramah anak kepada orangtua. Bahasan yang diangkatpun beragam mulai dari sosialisasi mengenai hak-hak anak hingga diskusi mengenai tips-tips mengasuh anak usia dini.
ungkap Pendidik PAUD Nurul Amal, Bunda Istiyana.
“Parenting education, menjadi sarana bagi
pendidik untuk sosialisasi tentang hak
anak, untuk menyampaikan
kepada orangtua agar kekerasan tidak
terjadi lagi pada anak seperti membentak
atau mencubit anak,”
Melalui kegiatan yang dilaksanakan rutin bulanan ini lahir berbagai kegiatan orangtua guna mendukung program sekolah ramah anak. Seperti program penghijauan lingkungan sekolah dengan tanaman buah dan sayur, membuat mainan dari barang bekas yang ramah lingkungan atau program menu sehat untuk anak. Kegiatan-kegiatan tersebut diprogramkan secara bersama sama antara pendidik dan orangtua.
Melalui parenting education jugalah pola pengasuhan yang
ramah anak di lingkungan sekolah dapat dilanjutkan oleh orangtua di lingkungan keluarga. Orangtuapun akan tahu, sadar dan siap untuk berkomitmen mengasuh anak dengan kasih sayang dan penuh keramahan.
Diharapkan kerjasama segenap pihak termasuk pendidik dan orangtua dapat mewujudkan Sekolah Ramah Anak ini, termasuk di jenjang PAUD. Sekolah Ramah Anak sekolah yang aman, nyaman dan menyenangkan untuk anak.
FOKUS UTAMA
6
Sebagian besar anak menghabiskan waktu di dalam lingkungan keluarga, untuk itu orangtua perlu memahami pola asuh yang sesuai anak.
Upaya Menurunkan Angka Kekerasan Anak di Sekolah
ndonesia telah memiliki regulasi tentang perlindungan anak yakni Iundang-undang 23 Tahun 2002.
Aturan tersebut dilahirkan dari keprihatinan mendalam atas berbagai kasus yang menimpa anak dan pelaku tidak dihukum secara adil. Meski demikian tujuan umum perlindungan anak agar ada jaminan pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi anak. Sehingga setiap anak akan tumbuh secara optimal dengan potensi yang dimiliki. Sementara tujuan khusus yang ingin diraih: (a). Menjamin perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak patut, termaksud kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi. (b). Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan
terlindungi dari tindak diskriminasi. (c). Mengakui dan menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati bu daya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.
Berdasarkan data yang dikutip dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kekerasan terhadap anak tiap tahun terus bertambah. Tahun 2011 sebanyak 2178 kasus, tahun 2012 sebanyak 3512 kasus, tahun 2013 sebanyak 4311 kasus, tahun tahun 2014 sebanyak 5066 kasus dan di tahun 2015 hingga Bulan April tercatat sebanyak 6.006 kasus. Anak-anak bisa menjadi korban atau pelaku kekerasan. Lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91
persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat. Angka kekerasan anak di sekolah tidak cukup signifikan turunnya karena hingga 2015 berdasar data International Center for Research on Women (ICRW) kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah tetap tinggi yakni 84 persen.
Kasus kekerasan yang marak di sekolah yang ditangani Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga akhir 2015 meliputi: kekerasan fisik, seksual verbal, psikis dan cyber bullying. Sedangkan untuk pelaku kekerasan di sekolah, KPAI menemukan 79 kasus bullying dan 103 kasus tawuran yang pelakunya justru anak-anak. Dan angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya ditemukan 67 kasus anak-anak pelaku bullying
Oleh: Muhammad Histiraludin, Kadiv Pemberdayaan Anak YSKK
SEKOLAH MANTAP
7
©YSKK/P.D&I/Amy Supadmi | 2016
Sebanyak 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar disebabkan mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan yang dilakukan kepada anak lain dan menirunya. Pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, orang tua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah. Kedua, tenaga kependidikan yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam, sopir antar jemput yang disediakan sekolah. Ketiga, orang yang tidak dikenal. Artinya, anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Dari penjelasan diatas terlihat, lingkungan pendidikan memberi pengaruh yang signifikan. Setidaknya ada 1764 kasus dalam dunia pendidikan dan sekolah menjadi salah satu lokus terjadinya kekerasan.
Meski demikian, sudah banyak satuan pendidikan yang memiliki upaya untuk meminimalisir terjadinya kekerasan. Bagi mereka, lingkungan pendidikan harus steril dari kasus kekerasan. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Sekolah SDN Kleco 1 Surakarta Joko Sudibyo dan SMPN 16 Bandarlampung Purwadi. “Sebagai lembaga pendidikan, kami terus berupaya meminimalisir bahkan menghapuskan kasus kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan orang dewasa maupun anak” ujar Joko Sudibyo yang ditemui diruang kerjanya. Sebagai kepala sekolah yang baru 1 tahun menjabat, Joko terus menerus mengingatkan guru untuk menjaga sikap pada anak-anak. Termasuk mengawasi anak-anak saat istirahat. Selain itu, dalam berbagai kesempatan dirinya juga menyampaikan tentang UUPA sehingga guru memahami betul fungsi pendidikan yang diembannya. Salah satu jalan keluar bila muncul masalah, harus diselesaikan secara kekeluargaan. “Semua anak yang terlibat pertengkaran, perkelahian atau kasus lainnya kami undang ke kantor beserta orang tuanya. Agar semua tahu dan menyadari apa yang terjadi untuk kemudian diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap
mantan kepala sekolah SDN Bratan 1 Surakarta ini.
Sedangkan SMPN 16 Bandarlampung mengantisipasi terjadinya kekerasan terhadap anak dengan mengeluarkan buku siswa. Buku ini merupakan buku kontrol yang dipegang tiap siswa dan berisi tentang catatan perilakunya selama disekolah. “Yang bisa dicatat disitu berupa point atas pelanggaran yang dilakukannya. Tidak hanya perkelahian tapi termasuk jajan saat jam pelajaran, membolos, hingga membuang sampah sembarangan juga kena point” urai Purwadi. Guru yang memergoki perilaku siswa tersebut langsung meminta buku siswa dan menuliskan kesalahan serta dibubuhi paraf. Bila point mencapai 50 akan dipanggil ke BK beserta orang tua, point 75 akan dibuat surat perjanjian tidak mengulangi hingga permintaan pengunduran diri.
Buku siswa diberikan saat awal tahun ajaran dan orang tua siswa juga diberitahukan. Buku itu tiap bulan direkap di BK sehingga meski buku tersebut hilang, rekapan masih tersimpan jelas. Menghilangkan buku ini juga termasuk pelanggaran yang harus dicatat. Kini pria asal Jawa itu tengah mendorong perubahan perilaku tidak hanya di sekolah tetapi juga dirumah, dilingkungan tempat ibadah bahkan di media sosial. Perkembangan teknologi menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan sehingga menjadi salah satu hal yang ikut diperhatikan. “Membully di medsos itu yang paling rawan dan kami tidak boleh abai mendidik perilaku anak termasuk di medos” ujarnya yang dihubungi via telepon.
Anak-anak SMPN 16 Bandarlampung juga menandai nama akun medsosnya dengan tambahan
“spanambelas”. Artinya ada kebanggaan yang disandang. “Menyandang nama spanambelas itu harus menjaga citra atau ibaratnya semacam duta anti bullying. Nama itu membuat mereka harus menjaga karena banyak alumni yang juga turut menjaga adik kelasnya. Kalau ada yang membully, bisa dilaporkan ke sekolahan” urai pria yang sangat ramah ini panjang lebar. Maka dari itu Purwadi tidak jemu berpesan dalam berbagai kesempatan, pemakaian nama itu harus diiringi rasa tanggungjawab menjaga citra dan perilaku maupun tutur kata. Etika pergaulan baik dalam kehidupan dunia nyata ataupun maya harus berstandar sama, punya moral. Meski tidak mudah, Purwadi menyadari hal itu menjadi salah satu tugas sebagai pendidik. Setiap waktu terus memikirkan langkah terbaik agar anak-anak didiknya tumbuh dan berperilaku positif.
Kedua kepala sekolah yang berpredikat MANTAP (Manajemen Transparan, Akuntabel dan Partisipatif) rupanya tidak sekedar menerapkan MANTAP dalam tata kelola sekolah. Namun juga melakukan upaya yang terbaik bagi anak-anak didik mereka. Keduanya menjawab tantangan terberat yakni perkembangan teknologi yang makin massif dan menjangkau ke semua lapisan masyarakat sehingga berpengaruh signifikan terhadap pola pikir, cara berkomunikasi hingga perilaku anak didik. Bagi keduanya, sekolah harus mampu membentuk pribadi anak yang seutuhnya sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki dengan karakter diri yang kuat. Dengan demikian tidak aka nada lagi kekerasan yang terjadi baik di sekolah, lingkungan maupun di rumah.
SEKOLAH MANTAP
8
©YSKK/P.D&I/Amy Supadmi | 2016
Kemandirian Ekonomi untuk Kedaulatan Diri Perempuan
emandirian ekonomi yang dimiliki oleh seorang Kperempuan akan
meningkatkan harga diri dan posisi tawarnya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga misalnya, seringkali terjadi karena ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki sangat tinggi.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015, persentase angka kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul mencapai 20,83% dari 698.825 jiwa. Salah satu dampak dari kemiskinan ini salah satunya adalah mendorong terjadinya migrasi karena lapangan pekerjaan yang kurang memadai. Hal ini didukung dengan sering terjadinya kekeringan di wilayah Kabupaten Gunungkidul khususnya bagian selatan, sehingga
hasil pertanian yang menjadi andalan utama mata pencaharian penduduk tidak mampu mendukung perekonomian keluarga.
Kemiskinan ini mendorong penduduk mencari sumber kehidupan di luar Kabupaten Gunungkidul, atau sering disebut penduduk lokal “merantau” . Meskipun tidak ada data secara pasti, kebanyakan yang merantau adalah kaum laki-laki (suami/anak laki-laki/bapak), sedangkan kaum perempuan sebagian besar akan tetap tinggal di desa untuk mengurus urusan domestik, merawat keluarga, ternak dan pertanian.
Persoalannya kemudian adalah perempuan-perempuan ini seringkali mereka belum tentu mendapatkan kiriman uang dari suami mereka, sedangkan satu sisi kaum perempuan ini sangat tergantung
terhadap kiriman sang suami. Mereka (perempuan) harus bertahan dengan kebutuhan mereka, dan tidak sedikit pula berakhir pada perceraian. Hal ini menimbulkan krisis ekonomi dalam keluarga, dan inilah salah satu kondisi riil mengapa kekerasan ekonomi terjadi terhadap perempuan.
Selain kondisi di atas, kondisi lain yang nampak adalah perempuan harus ikut ambil bagian dalam pemenuhan kebutuhan keluarga namun juga masih dibebani denggan urusan domestik sehingga terjadi double burden di rumah. Fakta lain, tahun 2008 tercatat 21.849 perempuan (Analisis Statistik Gender, 2008) menjadi kepala keluarga, karena akibat perceraian, karena suami meninggal, dsb. Ini tentu perempuan harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sisi lain perempuan tidak
9
EKONOMI KERAKYATAN
Oleh: Ana Susi Y.,Kadiv Pengelolaan Data & Informasi YSKK
memiliki “kuasa” terhadap kekayaan keluarga yang dikelola serta tidak memiliki akses ekonomi di ruang publik karena keterbatasan ketrampilan, keterbatasan jaringan, keterbatasan pasar, keterbatasan di bidang Teknologi Informasi (TI). Ini semakin memiskinkan perempuan sehingga pemenuhan hak ekonomi perempuan tidak terpenuhi.
Kondisi di atas tentu saja telah terpetakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sendiri menargetkan untuk menurunkan kemiskinan 15,6% sampai dengan tahun 2021. Upaya yang nampak seperti penyelenggaraan Desa PRIMA, Pembentukan kelompok-kelompok produktif yang berbasis perempuan, pelatihan ketrampilan teknis dan usaha menengah kecil mikro (UMKM), serta bantuan peralatan untuk meningkatkan produktifitas perempuan di sektor ekonomi.
Selain dari pemerintah daerah, inisiasi dari masyarakat untuk terlibat dalam menghadapi persoalan di atas sangatlah dibutuhkan. Keprihatinan terhadap kondisi perempuan dan kemiskinan di 3 desa: Desa Watusigar Kecamatan Ngawen, Desa Kampung Kecamatan Ngawen dan Desa Semin Kecamatan Semin mendorong beberapa aktivis perempuan di desa melakukan upaya-upaya konkrit untuk mengatasi persoalan yang dihadapi perempuan ini . Aktivis perempuan ini merangkul perempuan-perempuan di desa untuk mengkonsilidasikan diri dalam sebuah kelompok ekonomi produktif dan sekarang telah menjelma diri menjadi koperasi. Terdapat 3 koperasi perempuan yang diinisiasi di desa Masing-masing, dimana saat ini 3 koperasi tersebut telah beranggotakan kurang lebih 250 orang. 3 koperasi tersebut adalah Koperasi Karya Perempuan Mandiri (KPM) di Desa Watusigar, Koperasi Mitra Usaha Perempuan (MUP) di Desa Kampung Kec. Ngawen, serta Koperasi Sekar Arum (SA) di Desa Semin kec. Semin.
Gerakan ekonomi produktif yang diinisiasi ini ingin meningkatkan
posisi tawar perempuan di sektor ekonomi. Ketika perempuan memiliki sumber penghasilan sendiri yang mampu memberikan sumbangan bagi perekonomian keluarga dan desa. Maka kesejahteraaan perempuan dapat terpenuhi. Koperasi sendiri memiliki dua fungsi strategis yakni fungsi produktif dan fungsi pendidikan bagi anggotanya.
Fungsi Ekonomi Produktif berbicara bagaimana koperasi mampu memfasilitasi anggotanya secara konsisten dan berkelanjutan melakukan usaha produktif. Jalan panjang harus mereka tempuh dengan melunturkan stigma masyarakat bahwa mereka bukan “kelompok ubyang ubyung” (kelompok kesana kemari) yang tidak bermanfaat. Didampingi YSKK, ketiga kelompok ini memberikan wadah bagi perempuan dan sekaligus mendorong perempuan untuk mengembangkan usaha produktif atau mendorong bertumbuhnya perempuan pengusaha di pedesaan. Usaha yang dibangunpun didekatkan dengan kehidupan mereka yaitu meningkatkan nilai tambah hasil pertanian yang mereka hasilkan. Misalnya hasil bumi singkong, mereka tidak harus menjual dalam bentuk singkong saja namun bisa diolah dan diinovasikan produknya misalnya menjadi keripik balado, keripik berasa, dsb.
Fungsi Pendidikan merupakan fungsi dimana koperasi menjadi wadah bagi perempuan untuk memperkaya pengetahuan, ketrampilan serta sikap anggota koperasi. Saling bertukar pengalaman dan perasaan serta menemukan solusi bersama inilah yang menjadi kekuatan dan pengikat antar anggota koperasi. Sampai sekarang 3 koperasi ini secara rutin menyelenggarakan pertemuan sebulan sekali dan terus berupaya menjaga konsistensi pertemuan. Pertemuan inilah yang menjadi sarana memperkaya diri dan mengasah pikir perempuan. Melalui pertemuan ini pengurus menggulirkan persoalan-persoalan yang up to date tidak hanya persoalan mengenai ekonomi produktif namun juga terhadap
persoalan perempuan lain seperti kekerasan rumah tangga, pembangunan desa, tehnologi informasi, dsb. Meskipun pengurus masih terbatas juga pengetahuannya, tidak sedikit pula pengurus melakukan konsultasi dengan ekternal resource seperti YSKK, Pemerintah Desa dan Kabupaten, dsb untuk memperkaya wacana mereka.
Salah satu keunikan yang dilakukan oleh salah satu Koperasi, yaitu Koperasi Wanita KPM membuka ruang konsultasi bagi anggotanya. Ruang konsultasi ini memang tidak sengaja ditemukan, pengurus belajar dari pengalaman berelasi dengan anggota ketika setiap anggota ke sekretariat koperasi selain memberikan angsuran pinjaman anggota, mereka juga curhat (curahan hati) ke pengurus. Isi dari curhat sendiri beraneka ragam; tentang usaha, tentang kesehatan, tentang persoalan rumah tangga. Belajar dari sinilah kemudian KPM selalu membuka ruang konsultasi dengan anggota. Ruang konsultasi ini sangat bermanfaat karena bisa membantu perempuan dalam menghadapi persoalan, namun juga melalui ruang konsultasi ini memberikan pemahaman bagi pengurus tentang persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan. Peta persoalan ini yang kemudian bisa menjadi bahan diskusi dengan anggota serta pihak lain.
3 koperasi perempuan punya impian besar untuk menjadi holding company-nya hasil produk perempuan. 3 dari 2 koperasi perempuan sedang mempersiapkan diri untuk menguatkan koperasi sebagai pusat bisnis perempuan serta meningkatkan kapasitas perempuan dalam produktivitas usahanya. Koperasi Karya Perempuan Mandiri (KPM) misalnya telah mengujicobakan koperasi sebagai bisnis center, dan telah membangun relasi dengan jaringan pertokoan oleh-oleh. Dan hasil uji tersebut masih perlu dibenahi agar mampu mendukung tujuan utama mereka agar menguntungkan bagi perempuan.
EKONOMI KERAKYATAN
10
11
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Angka Kekerasan Tinggi, Pemerintah dan Masyarakat Perlu Bersinergi
Oleh: Sri Wahyuni, Pelaksana Divisi Pemberdayaan Perempuan YSKK
asus-kasus kekerasan seksual terhadap Kperempuan dan anak
seperti sebuah fenomena gunung es yang kelihatan hanya bagian atasnya saja, tetapi faktanya masih banyak kasus-kasus yang tidak terungkap ke permukaan. Beberapa waktu belakangan ini aksi kekerasan kembali marak bermunculan bahkan semakin hari jumlah angkanya semakin meningkat. Pelaku kekerasannya pun sangat beragam dan berasal dari berbagai latar belakang, dan mayoritas bisa dibilang berasal dari lingkungan terdekat korban (keluarga, teman, ataupun pacar). Pun demikian yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul.
Berdasarkan data yang dihimpun
Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Perempuan & Keluarga Berencana
(BPMP&KB) Kab. Gunungkidul,
jumlah kekerasan terhadap
perempuan tahun 2014 sebanyak
40 kasus, tahun 2015 meningkat
menjadi 44 kasus. Bahkan
Kepolisian Resor (Polres)
Gunungkidul mencatat selama
tahun 2016 terjadi 26 kasus
kekerasan terhadap perempuan
dan anak. Sementara itu Women
Crisis Center Rifka Anisa merilis
data yang tidak kalah mengejutkan.
Tercatat pada tahun 2015 kasus
kekerasan yang rentan menimpa
perempuan dan anak tersebut
melonjak hingga 313 kasus. Atau
meningkat 61 kasus dibandingkan
tahun 2014. Dari 313 kasus
15 diantaranya merupakan kasus kekerasan yang dialami anak-anak dan remaja putri berusia rata-rata 8-17 tahun.
Terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tentunya tidak terlepas dari banyak faktor, diantaranya keegoisan orang tua, lemahnya kontrol pendidik terhadap anak-anak didik, abainya tanggungjawab masyarakat, lemahnya komitmen dan kinerja sebagian birokrat, serta lemahnya kontrol anggota dewan.
Kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus meningkat di Kabupaten yang mendapat julukan “Kota Thiwul” ini semakin mengundang keprihatinan banyak pihak. Baik
©Amy Supadmi | 2016
pemerintah, kepolisian, dinas-dinas terkait dengan isu perempuan dan anak, serta tak terkecuali lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan apabila ada sinergitas berbagai pihak untuk bersama melakukan pencegahan dan tindakan jika terjadi kekerasan. Pasalnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang sudah seharusnya menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat, terlebih bagi pemerintah baik dari level desa, daerah bahkan sampai ke pusat.
Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus dalam isu perempuan dan anak, tahun 2015 lalu mengkonsolidasikan kembali pos data dan informasi perempuan dan anak tingkat desa yang telah dirintis sejak tahun 2012. Pos data dan informasi yang diberi tajuk TIFA (Tim Informasi dan Advokasi) dan TAPA (Tim Advokasi Perempuan dan Anak) ini tersebar di 8 desa yang terletak di 5 kecamatan Kabupaten Gunungkidul. Delapan desa tersebut antara lain 2 desa di Kecamatan Ngawen yakni Watusigar dan Sambirejo, 2 desa di Kecamatan Semin yaitu Semin dan Kalitekuk, 2 Desa di Kecamatan Karangmojo yaitu Ngawis dan Karangmojo, desa Kemiri di Kecamatan Tanjungsari, dan desa Natah di Kecamatan Nglipar.
Pos informasi ini selain sebagai pusat data dan informasi tentang perempuan dan anak di tingkat desa, para kader perempuan yang kebetulan mendominasi kepengurusan di dalam tim ini sepakat untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa mereka. Sebagai elemen masyarakat yang turut bertanggung jawab terhadap nasib generasi penerus bangsa, kelompok perempuan tingkat desa bersama dengan pemerintah desa
melalui pos informasi ini mengupayakan pencegahan di tingkat masyarakat dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak baik di kalangan remaja, forum-forum PKK serta forum RT/RW di padukuhan-padukuhan. Melalui kegiatan semacam ini diharapkan kesadaran kritis masyarakat mengenai pentingnya menekan dan mencegah terjadinya kekerasan dapat terbangun.
Hal ini serupa dengan yang dilakukan TIFA Desa Ngawis yang dipelopori Murjikem, selama kurang lebih 1 tahun sudah melakukan pendampingan korban KDRT yang ada di Desa tersebut. Selain itu juga rutin melakukan sosialisasi-sosialisasi anti kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui forum-forum padukuhan yang ada. Dalam melakukan sosialisasi, TIFA ini menggandeng beberapa pihak berkepentingan dan kompeten di bidangnya masing-masing.
Upaya-upaya preventif dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini jelas tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh satu kelompok atau elemen saja. Butuh sinergi antar pihak agar sistem pencegahan dan penanganan kekerasan dapat berjalan dengan optimal. Hal ini dibuktikan tim TIFA yang ada di Desa Ngawis, Kecamatan Karangmojo dalam melakukan penanganan kasus kekerasan yang terjadi di Desa Ngawis. Mereka berjejaring dengan beberapa pihak diantaranya kepolisian dalam
upaya hukum dan pengamanan, pemerintah desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta dinas terkait seperti BPMP&KB Kabupaten Gunungkidul kaitannya dengan akses penguatan ekonomi pasca penanganan kasus. Sinergi semacam ini jelas menjadi kebutuhan mutlak dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena tanpa adanya sinergi antar pihak (keluarga, masyarakat, sekolah, aparat penegak hukum, serta pemerintah mulai dari level desa, daerah, sampai dengan pusat), maka niscaya angka kekerasan di Kabupaten Gunungkidul tidak bisa ditekan.
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
12
“Dalam bekerja atau menangani kasus
kekerasan yang ada di level desa pun kita (TIFA)
tidak bisa bekerja sendirian, karena susah.
Makanya kita selalu melibatkan pemerintah
desa, tokoh-tokoh masyarakat, BPMPKB,
bahkan juga pihak Polsek (Kepolisian
Sektor) untuk mendukung serta
bersama-sama dengan kami mengurai masalah
kekerasan terhadap perempuan dan anak,”
ujar Ketua TIFA Desa Ngawis, Murjikem.
Kelompok perempuan saat audiensi dengan Kaukus Perempuan Parlemen Gunungkidul.
JEJAK LANGKAH
13
Sebuah Upaya Membangun PAUD Ramah Anak
ersoalan akses Pendidikan Anak Usia Dini sekiranya bukan menjadi persoalan urgent lagi, namun persoalan baru adalah bagaimana meningkatkan kualitas layanan PAUD. Salah satu aspek yang Pperlu diperhatikan adalah bagaimana pendidikan yang diselenggarakan ramah terhadap anak,
dimana sekolah secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi seluruh aspek kehidupan anak. Hal ini kemudian menjadi landasan pikir YSKK mendorong LPAUD untuk menyelenggarakan PAUD Ramah Anak.
Mengembangkan Indeks PAUD Ramah Anak
Memperkuat kapasitas pengelola dan kelembagaan PAUD agar Ramah
Anak
Membangun sinergitas dengan
berbagai pihak
Mendorong kebijakan PAUD
yang Ramah Anak
Strategi yang digunakan:
GAGASAN
14
emakin meningkatnya angka kekerasan terhadap Sanak, baik yang terjadi
dalam keluarga, di sekitar lingkungan, serta di sekolah dengan pelaku orang dewasa maupun anak. Sebagai orang tua, dimana merupakan orang yang paling dekat dengan anak sungguh harus memperhatikan dan mengupayakan untuk melakukan pencegahan kekerasan minimal terhadap anak sendiri. Sebagai orang tua tentu tidak mungkin untuk mengurung anak agar terhindar kekerasan, dan tindakan ini sendiri merupakan bentuk kekerasan. Lalu bagaimana orang tua dapat melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak?
Tindakan pencegahan anak antara anak usia dini dengan anak usia SD sampai SMA tentu akan berbeda. Orang tua perlu mengambil tindakan preventif yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak. Setidaknya ada 3 upaya sederhana yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk pencegahan kekerasan pada anak di usia di bawah 6 tahun.
Pertama, orang tua perlu mengenali lingkungan sekolah tempat anak bersekolah. Mengenali ini bermakna bahwa orang tua tidak begitu saja menyerahkan dan tidak tahu
menahu mengenai dinamika yang terjadi di sekolah. Orang tua punya tanggung jawab untuk memonitoring perkembangan anak di sekolah. Untuk melakukan ini tentu saja orang tua harus mengenali lingkungan sekolahnya, mengenali pendidiknya, bagaimana pola-pola pendidik dalam mendampingi anak, mengenali teman-teman dari anaknya dan orang tuanya. Sehingga memang orang tua harus menyempatkan diri ke sekolah untuk bisa berkumpul dengan orang tua lain dan menjadi penting untuk mengenal bagaimana mereka, dan melalui berkumpul ini orang tua jadi tahu dinamika yang terjadi di sekolah. Selain itu juga perlu memastikan selama di lingkungan sekolah dijaga aman oleh pihak di sekolah. Misalnya apakah guru masih menunggui ketika anak belum dijemput orang tua.
Kedua, mengenali lingkungan tempat anak sering bermain. Hal ini penting karena anak usia dini memang menjadi masa bersosialisasi. Anak perlu bermain dengan teman sebaya. Ketika bermain awasi. Selain itu orang tua juga harus mengenali orang-orang yang tinggal di dekatnya, dan tentu ketika mengetahui gelagat yang tidak baik dari orang lain bisa melaporkan ke pihak yang berwenang.
Ketiga, membangun komunikasi dengan anak. Anak usia dini tentu masih memiliki keterbatasan pemahaman mengenai apakah kekekerasan itu dan bagaimana kekerasan terjadi. Ini akan mudah kalau dengan anak yang usianya lebih besar. Komunikasi tentu harus menggunakan dengan bahasa yang dipahami oleh anak. Dengan pertanyaan yang sederhana tentu sebagai orang tua mampu mendeteksi gejala-gejala kekerasan yang terjadi. Orang tua harus menyempatkan diri berkomunikasi dengan anak. Misalnya: di sekolah hari ini kegiatannya apa? Kegiatan apa yang tidak kamu suka? Dsb.
Untuk meminimalisir dan mencegah tindak kekerasan terhadap anak memang sangat membutuhkan partisipasi dan kesadaran banyak pihak. Dalam UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak disana disebutkan siapa saja yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemenuhan terhadap hak anak, yaitu negara, pemerintah Daerah, Masyarakat dan Orangtua. Maka sangat penting untuk kemudian semua komponen – komponen ini bersatu dan membangun kesadaran yang sama akan pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dengan demikian maka kekerasan terhadap anak akan dapat diminimalisir.
“ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia (memiliki karakter) yahudi, atau (memiliki karakter) nasrani atau (memiliki karakter) majusi.”
( HR. Muslim )
Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Oleh: Lusiningtias, Kadiv Pemberdayaan Perempuan YSKK
PROFIL
15
Murjikem
Berdayakan
Korban KDRT
dengan Kekuatan
Jejaring
“Sudah bukan saatnya lagi perempuan yang menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) berdiam diri dan memendam luka. Kita perlu mendorong mereka untuk keluar rumah, bersosialisasi. Paling tidak ketika bersosialisasi dengan orang lain—yang senasib, mereka punya semangat untuk maju,” terang Murjikem, perempuan paruh baya yang merupakan Ketua Tim Informasi dan Advokasi (TIFA) Desa Ngawis, Karangmojo,
©Amy Supadmi | 2016
Siang itu, Selasa (29/03)
perempuan kelahiran 1 Oktober
1965 itu sedang sibuk
memisahkan kacang tanah dari
batangnya bersama dua
perempuan lainnya. Ia
menuturkan setelah menjalani
aktivitas di luar rumah, ia akan
disibukkan dengan ladang
pertaniannya. Seperti pagi itu, ia
telah menghadiri pertemuan UPK
(Unit Pengelola Keuangan) di
kecamatan.
Kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami perempuan dan
anak memang masih menjadi hal
tabu bagi masyarakat di sekitar
tempat tinggalnya. Korban KDRT
lebih memilih untuk menyimpan
luka itu rapat-rapat dibandingkan
mencari bantuan untuk melawan.
“Jangankan melindungi diri
sendiri, masyarakat sendiri belum
tahu KDRT itu seperti apa,” ujar
perempuan yang penbawaannya
ramah ini. Bersama dengan
anggota TIFA ia
mensosialisasikan berbagai hal
terkait KDRT melalui pertemuan-
pertemuan informal seperti PKK,
rapat desa, arisan dan lain
sebagainya. Selain itu, dalam
melakukan pendekatan kepada
korban ia tidak bisa secara serta
merta mendapatkan informasi.
Akan tetapi melalui proses yang
panjang, karena harus mengubah
pola pikir korban.
PROFIL
16
Menurutnya menangani korban
KDRT membutuhkan kesabaran
yang luar biasa. Karena dari
pengalaman yang ia miliki,
korban seringkali berhenti di
tengah jalan—tidak melanjutkan
proses advokasi—karena takut
dengan suami yang dalam hal ini
melakukan tindak kekerasan.
“Pernah ada korban yang
disembunyikan di rumah
orangtuanya agar tidak bertemu
dengan pelaku yang pada saat itu
adalah suami. Untuk melakukan
ini kami (TIFA) bekerja sama
dengan pemerintah desa. Akan
tetapi, malamnya si korban ini
justru kabur bersama anaknya,
yang kemungkinan besar
bertemu dengan suaminya,”
kenangnya.
Kendati demikian, TIFA Desa
Ngawis, Karangmojo,
Gunungkidul yang telah diinisiasi
sejak tahun 2009 telah mampu
memberikan meningkatkan
kapasitas korban KDRT melalui
pelatihan yang diselenggarakan
BPMP&KB Kabupaten
Gunungkidul.
Perempuan-perempuan korban
yang kami dampingi ini lebih
banyak yang kategori ditinggal
suami karena faktor ekonomi.
Suami merantau dan tidak
kembali. Agar mereka berdaya
kami membangun jejaring dengan
BPMP&KB kabupaten.
Alhamdulillah ada alumni
peningkatan kapasitas yang
membuka salon dan ramai,” tutur
Murjikem.
Selain dengan BPMP&KB, TIFA
Desa Ngawis juga berjejaring
dengan Dinsos, Diperindagkop,
dan lain sebagainya. Melalui
jejaring yang dibangun, TIFA Desa
Ngawis menjadi rujukan data &
informasi bagi instansi
pemerintahan dalam mengakses
data terkait perempuan dan anak.
Perempuan dapat meminimalisir
terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga ketika mereka
dapat mandiri secara finansial
maupun wawasan. Untuk itu Ibu
dari dua orang anak perempuan
ini ingin perempuan—baik
korban KDRT maupun bukan,
Perempuan Mandiri
untuk mandiri. “Jangan hanya
mengandalkan lelaki atau suami,
selama masih diberi kesehatan
harus selalu berusaha melakukan
kegiatan yang berarti bagi diri
sendiri, oranglain dan
masyarakat,” ujarnya di lain
kesempatan.
Ia tidak menampik perempuan
yang telah berkeluarga akan
memiliki kesibukan dalam
mengurus rumah tangga. Tapi hal
tersebut dapat dikomunikasikan
dengan suami, agar ketikga
perempuan memiliki aktivitas di
luar rumah tidak menganggu
perannya sebagai seorang istri
dan ibu.
“Saya ini kalau ada aktivitas di
luar rumah dari pagi sampai sore
bahkan malam, suami tidak akan
bertanya ataupun mengeluh.
Karena sejak awal sudah ada
komunikasi yang baik antara saya
sebagai istri dan suami. Kan kalau
semua diawali dengan baik,
mengerjakan apa-apa juga enak,
hati dan pikiran tenang,”
pungkasnya.
Murjikem saat terlibat dalam kegiatan konsolidasi TIFA-TAPA, 9 Februari 2016, di Balai Desa Ngawis, Karangmojo, Gunungkidul.
TIPS SANG INOVATOR
17
Bunda Rida Panca Rahmawati, Bunda Sri Hartini, Bunda Rahmasari Mega Angkasa, merupakan pendidik Taman Pintar Candi Asri, Desa Ngreco Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo. Ketiga bunda ini tidak muluk-muluk dalam mengimplementasikan PAUD yang Ramah Terhadap Anak, namun untuk memperhatikan terpenuhinya Hak-Hak Anak dalam penyelenggaraan bermain dan belajar di lingkup TP. Candi Asri. Nah, apa saja yang perlu diperhatikan pendidik! Yuks simak tips mereka.
1. Bunda harus RAMAHMenjadi Bunda Pendidik Anak Usia Dini (AUD) harus banyak senyum, dan menunjukkan sikap yang hangat baik terhadap anak maupun orang tua anak. Sikap kehangatan yang ditunjukkan akan membuat anak merasa nyaman berada di sekitar orang-orang dewasa dan akan merangsang kedekatan. Dan orang tua yang menitipkan anaknya untuk didampingipun akan nyaman dan aman pula, karena menyerahkan anak mereka ke orang yang dipercaya.
2. Pahami Karakter Anak Memahami karakter anak haruslah dilakukan oleh para Bunda Pendidik AUD, karena dengan memahami karakter anak satu demi satu akan mudah
dengan orang tua murid selama 5 menit, dan perlu juga melibatkan anak. Melalui komunikasi yang terbuka ini akan memungkinkan orang tua dan atau pendidik untuk saling memberikan masukan bahkan supporting untuk perkembangan anak mereka.
5. Bunda harus kreatif Bunda pendidik juga harus kreatif. Dengan kreatif, anak tidak akan pernah bosan, bahkan dapat merangsang anak untuk kreatif pula. Metode yang monoton tentu akan berpengaruh terhadap motivasi anak untuk mengikuti proses dengan baik.
6. Jadilah anak ketika bersama dengan anak-anakDan tips yang terakhir ketika bunda pendidik bersama dengan anak, maka jadilah anak. Bahasa lisan dan bahasa tubuh juga harus yang mudah diterima oleh anak. Misalnya kalau berbicara dengan anak tentu bunda pendidik perlu mensejajarkan diri dengan anak, dan bukan anak yang menengadah ke atas. Kalau mau mengajarkan berguling-guling, maka bunda pendidik pun harus berguling-guling. Menjadi bunda PAUD itu enak, karena selalu tertawa dan bahagia.
Pahami Karakter Anak, Menjadi Kunci PAUD
membangun komunikasi dengan anak. Hal ini menekankan prinsip bahwa setiap anak adalah unik. Memahami karakter anak akan membantu para bunda pendidik untuk menentukan metode pendekatan yang efektif untuk mentransformasi tata nilai, sikap, serta pengetahuan ke anak.
3. Hargai pendapat dan hak-hak anak Yang penting lagi adalah ketika melakukan proses bermain dan belajar baik di kelas maupun di luar kelas hargai pendapat serta melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Sebagai misal dalam merencanakan kegiatan pun anak pantas untuk dilibatkan, apa yang mereka inginkan. Kecenderungannya adalah ketika melakukan kegiatan dengan mendengarkan pendapat anak membuat anak termotivasi. Inilah menjadi tugas bunda pendidik untuk menyesuaikan keinginan anak dengan tema-tema (tahapan pencapaian indikator) dalam proses belajar dan bermain.
4. Bangunlah Komunikasi yang terbuka Komunikasi yang terbuka antara pendidik – orang tua (wali siswa) – anak didik haruslah dilakukan. Menyempatkan diri berbicara
©YSKK/P.D&I/Amy Supadmi | 2016
KABAR PROGRAM
18
Sukoharjo – “Mendongeng itu s a r a n a a t a u m e d i a u n t u k membentuk karakter anak melalui c e r i t a . A k t i v i t a s t e r s e b u t memerlukan metode maupun strategi, salah satunya metode CAS-CIS-CUS.” Kata pendidik PAUD Lazuardi Kamila Solo, Muhammad Nasyir. Hal tersebut terungkap dalam acara Temu Inspiratif Pendidik PAUD yang difasilitasi P r o g r a m P A U D D i v i s i Pemberdayaan Anak Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Sukoharjo.
Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu, 23 April 2016 di Taman Pintar Permata Hati Desa Ngreco, Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah. Workshop kali ini difasilitatori Dewangga Saputra dan Antonia Satrianti selaku pendamping PAUD di beberapa desa di Kecamatan Weru. Sekitar 21 perempuan pendidik PAUD aktif mengikuti
Kegiatan ini dari jam 8.30 hingga 15.00.
K a k N a s y i r m e n g a t a k a n mendongeng itu tidak perlu banyak jenis suara dan tokoh, “Dalam mendongeng terlalu banyak jenis suara dan tokoh malah akan merusak konsentrasi pendongeng. Sehingga cukup dua tokoh dan dua jenis suara saja, agar anak-anak mudah menyerap pesan moral dalam dongeng yang ibu-ibu sampaikan. Dan dalam mendongeng cukup gunakan CAS-CIS-CUS saja”.
L e b i h l a n j u t , K a k N a s y i r menjelaskan, “CAS singkatan dari Cipta Aksi Super; CIS, Cipta Imajinasi Super; dan CUS, Cipta Usulan Super. CAS merupakan pembuka dongeng dengan aksi yang menggugah perhatian anak-anak. CIS adalah imajinasi pendidik saat menjelaskan cerita dongengnya. Sementara CUS adalah internalisasi pesan moral dongeng kepada anak-anak sebagai penutup dongeng” urai
Selesai mendengarkan presentasi Tips dan Trik Mendongeng, para pendidik praktik membuat dongeng dan diperagakan di depan peserta untuk dievaluasi. Tiga peserta memb awa ka n don g en g ya n g dibuatnya dan mendapatkan penghargaan dari penyelenggara.
Yatmini, salah satu pendidik PAUD Permata Hati di akhir acara mengatakan, “kegiatan semacam ini p e n t i n g d i l a k u k a n u n t u k menyegarkan dan memperbarui strategi pembelajaran PAUD yang s e r i n g d i l a k u k a n d e n g a n mendongeng. Ke depan kami berharap pelatihan mendongeng dilakukan beberapa kali setiap tahunnya.” (Bonnie EB)
Mendongeng dengan CAS-CIS-CUS
Stakeholders sekolah turut berperan serta dalam menciptakan lingkungan sekolah yang baik. Dalam hal ini, keberadaan stakeholders seperti orang tua siswa, komite sekolah dan sekolah. Salah satu sekolah dampingan YSKK, SDN Kleco 1 Surakarta , terdapat 1 komunitas lagi yang turut mewarnai dialektika dalam tata kelola sekolah yakni paguyuban kelas. Paguyuban itu semacam organisasi orang tua siswa dalam setiap kelas. Pada Senin, 11 April 2016 diselenggarakan pertemuan Komite Sekolah membahas sinergi antara sekolah, komite sekolah maupun paguyuban wali murid kelas. Hal ini dilakukan dilatarbelakangi selama ini yang
berperan aktif berkomunikasi dengan orang tua yakni paguyuban kelas, dan jalur komunikasi dengan komite sekolah belum terbangun dengan baik.
Disisi lain, secara formal kelembagaan yang diakui secara resmi sesuai PP 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan yakni Komite Sekolah. Maka dari itu, dibutuhkan sinergi dan penataan yang jelas bagaimana kedudukan, fungsi maupun mekanisme
hubungan antara orang tua siswa, paguyuban, sekolah dan komite sekolah. “Kami ingin menginventarisir kebutuhan apa yang memang harus dibenahi agar dimasa mendatang komunikasi yang terjalin antar stakeholders di SDN Kleco bisa makin baik” tegas Trijono, Ketua Komite Sekolah SDN Kleco 1 Surakarta. Dalam pertemuan tersebut terungkap beberapa hal yang akan dibenahi sehingga komunikasi yang terbangun makin baik.
Penting(kah) Sinergisitas Stakeholder Sekolah
KABAR PROGRAM
19
Wonosari – Kelompok perempuan di Kabupaten Gunungkidul memerlukan kapasitas tertentu dalam partisipasinya mengawal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Hal tersebut mengemuka dalam acara Seminar Pengawalan Implementasi UU Desa di Bangsal Sewoko Projo, Wonosari pada Kamis (7/4).
Seminar ini menghadirkan 4 (empat) narasumber. Muhammad Farkhan, Kasi Keuangan dan Kekayaan Bagian Administrasi Pemerintahan Desa; Tri Sutarno, Kepala Desa Semin, Semin; Melisa Rachmat, kader perempuan Desa Sambirejo, Ngawen; dan Lusiningtias, Kepala Divisi Pemberdayaan Perempuan YSKK.
Melisa Rocmat (29 tahun) mengatakan, kelompok perempuan dan pemerintah desa perlu bersinergi untuk mengawal implementasi UU Desa. “Pertama, perempuan harus tahu cara membaca dokumen desa seperti APBDes, RPJMDes, dan lainnya. Kedua, pemerintah desa harus menyediakan informasi tersebut bagi masyarakat.”
Melisa menambahkan, “Perempuan bisa mengawal UU Desa dengan terlibat Musrenbangdes, untuk itu harus memiliki dokumen desa. Sehingga mereka dapat memastikan usulan dan program yang diprioritaskan bagi kesejahteraan perempuan”. Melisa menandaskan, sebelum terlibat Musrenbangdes perempuan harus menyiapkan basis data dan informasi yang kuat terkait perempuan dan anak agar usulannya tidak dimentahkan oleh perangkat desa.
Peran berbagai pihak untuk mengawasi implementasi UU Desa
sangat diperlukan, tak terkecuali
kelompok perempuan. Terlebih
pada 2016 ini sebanyak 144 desa
se-Gunungkidul akan mengelola
dana desa sebesar Rp.
207.654.264.960,-. Agar dana desa
sebesar itu juga menyasar kepada
kelompok perempuan.(red)
Modal Perempuan Mengawal UU Desa
Sukoharjo – Beberapa pepatah bijak mengatakan, “Yang terucap akan lenyap tertiup angin dan tak berjejak, sedangkan yang tertulis akan abadi.” Sejarawan, filsuf, dan penulis Amerika Serikat mengatakan, “Scripta manent verba volant: kata-kata tertulis, abadi; kata-kata terucap, lenyap.” Di sisi lain, sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat sejak 2001, Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) juga berkepentingan mengendapkan hasil-hasil pergumulannya dengan masyarakat dalam bentuk dokumentasi tertulis. Agar tranformasi sosial yang terjadi di masyarakat karena bersinggungan dengan YSKK bisa menyebar luas kepada masyarakat pembaca.
Filosofi dan tujuan itulah yang
mendasari Divisi Pengelolaan Data dan Informasi (PD & I) menyelenggarakan Dapur Inovasi – Menulis Dokumentatif Catatan Lapangan. Kegiatan tersebut diselenggarakan pada Jumat (8/4) di ruang pertemuan YSKK. Dapur Inovasi kali ini difasilitasi oleh Ana Susi Yuniasri selaku Kepala Divisi PD & I. ”Catatan lapangan penting dibuat menyesuaikan kebutuhan lembaga. Sebab, hal tersebut akan menjadi sumber informasi dan memudahkan lembaga dalam mengelolan data dan informasi yang dihasilkan dari aktivitas teman-teman pelaksana program.” kata Ana Susi dalam pembukaan Dapur Inovasi seri kedua ini.
Dapur Inovasi kali ini diikuti semua Badan Pelaksana Program YSKK, dari direktur eksektif, kepala divisi hingga para pengelola/pelaksana program. Kegiatan diawali pemaparan singkat mengenai kerangka penulisan catatan lapangan yang dikonstruksi sesuai
kebutuhan lembaga. Selesai mendengarkan pemaparan singkat, peserta menanyakan beberapa hal untuk memperdalam pemahaman tentang penulisan dokumentatif catatan lapangan. Aktivitas dilanjutkan dengan proses menuliskan aktivitas yang dilakukan para peserta selama seminggu terakhir. Dari hasil penulisan, beberapa teman menunjukkan peningkatan signifikan dalam menulis catatan lapangan.
Di akhir kegiatan, Kepala Divisi PD & I berharap Dapur Inovasi kali ini dapat membantu pelaksana program menuliskan aktivitas lapangannya secara terstruktur, runtut, dan sistematis. Sehingga aktivitas pemberdayaan masyarakat YSKK dapat tersebar luas ke masyarakat luar secara informatif. Di sisi lain, imbuh Susi, materi Dapur Inovasi kali juga untuk menguatkan kapasitas para pelaksana program. (Bonnie EB)
Menulis Catatan Lapangan itu Penting!
AGENDA PROGRAM
20
Divisi Pemberdayaan Perempuan
Divisi Pemberdayaan Anak
1) Workshop Pengembangan Usaha Koperasi dengan tema :“Gairah Koperasi Dalam
Membangun Ekonomi Perempuan” – Mei 2016
2) Pelatihan Kewirausahaan Bagi Anggota Koperasi – Juli 2016
3) Workshop Kelembagaan Pos Informasi Perempuan dan Anak Tingkat Desa – Mei 2016
Tujuan dari kegiatan ini antara lain : 1) Mempersiapkan restrukturisasi Koperasi, 2)
Meningkatkan kemampuan pengurus koperasi dalam melakukan penggalangan modal
swadana, 3)Mereview kembali tujuan besar koperasi perempuan. Kegiatan ini direncanakan
akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan mei 2016 dan diikuti oleh 30 orang yang
merupakan pengurus, pengawas dan anggota dari 3 Koperasi Wanita yang didampingi YSKK.
Dan difasilitasi oleh tim divisi pemberdayaan perempuan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah 1) Meningkatkan motivasi anggota koperasi dalam
mengelola usaha, 2) Meningkatkan kemampuan anggota koperasi dalam menyusun rencana
usaha. Hasil dari pelatihan ini antara lain 1) anggota koperasi memiliki motivasi yang kuat
untuk mengelola usaha, 2) anggota koperasi memiliki rancangan pengembangan usaha.
Tujuan dari kegiatan ini adalah 1) Merumuskan bentuk kelembagaan Pos Informasi
perempuan dan anak tingkat desa, seperti struktur kelembagaan, program dan kegiatan 2)
Merumuskan ruang lingkup aktivitas dari pos informasi. Hasil Dari kegiatan ini antara lain 1)
Adanya rumusan bentuk/konsep kelembagaan pos informasi perempuan dan anak, 2)
adanya rumusan ruang lingkup aktivitas dari pos informasi perempuan dan anak tingkat
desa.
1) Seminar Pendidikan – Mei 2016
2) Pertemuan Stakeholder PAUD tingkat Kecamatan Weru – April 2016
3) Penelitian Penyusunan Indeks Sekolah MANTAP – April-Juni 2016
Seminar pendidikan yang digelar di Surakarta dengan mengambil tema “Mewujudkan Tata
Kelola Pendidikan Sebagai Alat Ukur Performance Sekolah, Mungkinkah ?” ini bertujuan
untuk membedah bagaimana konsep MBS yang dimaksudkan oleh UU No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendapat gambaran tata kelola satuan pendidikan
yang sudah menerapkan MBS dan tantangan yang dihadapi, serta memperoleh gambaran
sejauh mana partisipasi masyarakat dalam tata kelola satuan pendidikan terutama
memenuhi prinsip akuntabilitas dan partisipasi.
Tujuan dari kegiatan pertemuan stakeholder ini adalah mensosialisasikan mengenai kondisi
Pendidikan Anak Usia Dini dan perkembangan PAUD di Kecamatan Weru, serta mendorong
peran serta stakeholder dalam mendukung keberlanjutan PAUD di Kecamatan Weru.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan indikator tata kelola sekolah yang
manajemennya sudah TAP sekaligus merumuskan ukuran, rentang nilai, batas atas batas
bawah poin TAP .