Maulid Nabi 1440 H TOLERANSI KENABIAN -...

4
Maulid Nabi 1440 H TOLERANSI KENABIAN pada prinsip liberal. Hal ini ditegaskan sendiri dalam pasal 1 ayat 2 dari deklarasi tersebut, bahwa toleransi yang dimaksud adalah penjunjung tinggi atas hak asasi, pluralisme, demokrasi, dan hukum. Dengan kata lain, toleransi yang kita peringati setiap 16 November ini adalah peringatan atas “toleransi pluralistik.” Terlepas dari peringatan hari toleransi yang simbolis, di Indonesia, tampaknya pemaknaan toleransi masih bersandar pada prinsip pluralisme tersebut. Untuk memahami konteks “toleransi pluralistik” di Indonesia yang dimaksud, perlu sekiranya untuk memahami pluralisme yang sering dilekatkan pada toleransi itu sendiri. Pada dasarnya, pluralisme adalah keyakinan bahwa keberagaman adalah hal yang harus dihargai, dan ini sekilas sangat mirip dengan denisi toleransi yang lazim dipahami. Padahal sejatinya, pluralisme memiliki konsekuensi makna yang perlu digali lebih dalam. Misalnya, ada yang memaknai bahwa konsekuensi dari pluralisme itu artinya meyakini bahwa kebenaran bersifat relatif: artinya tidak ada kebenaran mutlak dalam setiap unsur perbedaan, termasuk dalam agama. Jika demikian, maka kebenaran yang diyakini baik dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya adalah relatif. Kalau kita berangkat dari pemahaman ini, jelas kaum beragama akan menolak mentah-mentah karena kebenaran dalam ajaran agama yang mereka yakini masing-masing adalah mutlak, dan itu sebuah keniscayaan. Bagaimana mungkin seorang penganut agama tertentu tidak sepenuhnya yakin terhadap kebenaran ajaran yang diikutinya bukan? Momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW seperti biasa akan kita temui setiap tahunnya, termasuk tahun ini akan kita peringati pada 20 November 2018. Namun pertanyaannya, sudah seberapa serius kita berusaha mencontoh keteladanan dari manusia terbaik yang pernah hidup di dunia, Nabi Muhammad SAW. Hingga, peringatan tahunan Maulid tidak sebatas pada perayaan sesaat tanpa ada dampak yang nyata bagi kebaikan diri kita pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa. Salah satu keteladanan Nabi yang penting kita contoh untuk merespon isu kontemporer di negara kita hari ini adalah, mengamalkan nilai toleransi. Narasi pertentangan antara golongan toleran dan intoleran telah sama-sama kita ketahui menguat akhir- akhir ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Narasi ini justru cenderung memicu perpecahan antar kelompok, apalagi jika sebuah kelompok terlalu berlebihan mengekspresikan “kami toleran” sementara dengan mudah menilai “kelompok lain intoleran”. Lebih sedihnya lagi, kampanye mengenai toleransi ini mengalami pergeseran makna, sering disalah artikan, dan itu diikuti oleh kebanyakan masyarakat umum, khususnya pemuda muslim. Sebenarnya, apakah kita sebagai muslim, sebagai manusia, pantas bersikap keras terhadap seseorang atau kelompok, pada non Muslim, padahal Rasulullah SAW sendiri adalah pembawa rahmah? Pada hal apa saja sebenarnya toleransi ini berlaku, mana yang merupakan toleransi, mana yang merupakan ketegasan sikap dalam menjalankan syariat? Berbicara mengenai toleransi, 16 November 2018 yang lalu diperingati sebagai hari toleransi internasional sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO. Itu artinya, sudah 22 kali negara-negara anggota PBB di dunia memperingati momentum penandatanganan deklarasi atas prinsip-prinsip toleransi (Declaration of Principles on Tolerance). Sebagaimana definisi dalam deklarasi tersebut, toleransi adalah sikap saling menghormati (respect), saling menerima (acceptance), dan saling menghargai (appreciation) atas keragaman budaya, ekspresi, dan jalan hidup masing-masing individu. Bahkan dengan tegas, deklarasi itu menyebutkan bahwa toleransi bukan hanya dimensi moral semata, lebih dari itu, toleransi adalah urusan yang sangat politis. Untuk itulah negara yang berkomitmen atas deklarasi itu harus menjaminnya dalam seperangkat aturan formal. Pengukuhan makna toleransi oleh PBB adalah pengakuan atas pluralisme yang tentu saja bermuara Toleransi adalah sikap saling menghormati (respect), saling menerima (acceptance), dan saling menghargai (appreciation) atas keragaman budaya, ekspresi, dan jalan hidup masing-masing individu

Transcript of Maulid Nabi 1440 H TOLERANSI KENABIAN -...

Maulid Nabi 1440 H

TOLERANSI KENABIAN

pada prinsip liberal. Hal ini ditegaskan sendiri dalam pasal 1 ayat 2 dari deklarasi tersebut, bahwa toleransi yang dimaksud adalah penjunjung tinggi atas hak asasi, pluralisme, demokrasi, dan hukum. Dengan kata lain, toleransi yang kita peringati setiap 16 November ini adalah peringatan atas “toleransi pluralistik.” Terlepas dari peringatan hari toleransi yang simbolis, di Indonesia, tampaknya pemaknaan toleransi masih bersandar pada prinsip pluralisme tersebut.

Untuk memahami konteks “toleransi pluralistik” di Indonesia yang dimaksud, perlu sekiranya untuk memahami pluralisme yang sering dilekatkan pada toleransi itu sendiri. Pada dasarnya, pluralisme adalah keyakinan bahwa keberagaman adalah hal yang harus dihargai, dan ini sekilas sangat mirip dengan definisi toleransi yang lazim dipahami. Padahal sejatinya, pluralisme memiliki konsekuensi makna yang perlu digali lebih dalam. Misalnya, ada yang memaknai bahwa konsekuensi dari pluralisme itu artinya meyakini bahwa kebenaran bersifat relatif: artinya tidak ada kebenaran mutlak dalam setiap unsur perbedaan, termasuk dalam agama. Jika demikian, maka kebenaran yang diyakini baik dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya adalah relatif. Kalau kita berangkat dari pemahaman ini, jelas kaum beragama akan menolak mentah-mentah karena kebenaran dalam ajaran agama yang mereka yakini masing-masing adalah mutlak, dan itu sebuah keniscayaan. Bagaimana mungkin seorang penganut agama tertentu tidak sepenuhnya yakin terhadap kebenaran ajaran yang diikutinya bukan?

Momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW seperti biasa akan kita temui setiap tahunnya, termasuk tahun ini akan kita peringati pada 20 November 2018. Namun pertanyaannya, sudah seberapa serius kita berusaha mencontoh keteladanan dari manusia terbaik yang pernah hidup di dunia, Nabi Muhammad SAW. Hingga, peringatan tahunan Maulid tidak sebatas pada perayaan sesaat tanpa ada dampak yang nyata bagi kebaikan diri kita pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa. Salah satu keteladanan Nabi yang penting kita contoh untuk merespon isu kontemporer di negara kita hari ini adalah, mengamalkan nilai toleransi.

Narasi pertentangan antara golongan toleran dan intoleran telah sama-sama kita ketahui menguat akhir-akhir ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Narasi ini justru cenderung memicu perpecahan antar kelompok, apalagi jika sebuah kelompok terlalu berlebihan mengekspresikan “kami toleran” sementara dengan mudah menilai “kelompok lain intoleran”. Lebih sedihnya lagi, kampanye mengenai toleransi ini mengalami pergeseran makna, sering disalah artikan, dan itu diikuti oleh kebanyakan masyarakat umum, khususnya pemuda muslim. Sebenarnya, apakah kita sebagai muslim, sebagai manusia, pantas bersikap keras terhadap seseorang atau kelompok, pada non Muslim, padahal Rasulullah SAW sendiri adalah pembawa rahmah? Pada hal apa saja sebenarnya toleransi ini berlaku, mana yang merupakan toleransi, mana yang merupakan ketegasan sikap dalam menjalankan syariat?

Berbicara mengenai toleransi, 16 November 2018 yang lalu diperingati sebagai hari toleransi internasional sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO. Itu artinya, sudah 22 kali negara-negara anggota PBB di dunia memperingati momentum penandatanganan deklarasi atas prinsip-prinsip toleransi (Declaration of Principles on Tolerance). Sebagaimana definisi dalam deklarasi tersebut, toleransi adalah sikap saling menghormati (respect), saling menerima (acceptance), dan saling menghargai (appreciation) atas keragaman budaya, ekspresi, dan jalan hidup masing-masing individu. Bahkan dengan tegas, deklarasi itu menyebutkan bahwa toleransi bukan hanya dimensi moral semata, lebih dari itu, toleransi adalah urusan yang sangat politis. Untuk itulah negara yang berkomitmen atas deklarasi itu harus menjaminnya dalam seperangkat aturan formal.

Pengukuhan makna toleransi oleh PBB adalah pengakuan atas pluralisme yang tentu saja bermuara

Toleransi adalah sikap saling menghormati (respect), saling

menerima (acceptance), dan saling menghargai (appreciation) atas keragaman budaya,

ekspresi, dan jalan hidup masing-masing individu

Maulid Nabi 1440 HTapi kita tidak boleh berhenti sampai di situ. Sebab, kalangan pluralis sendiri mengoreksi proponen itu sebagai pandangan yang keliru. Pemaknaan pluralisme yang dianggap tepat adalah pandangan bahwa setiap unsur perbedaan memiliki kebenaran mutlaknya masing-masing. Artinya, jika kita gunakan dalam dimensi keagamaan, orang Islam akan menganggap ajaran Islam adalah kebenaran mutlak, dan hal ini juga berlaku bagi pemeluk agama yang lain. Lantas, apakah konsep toleransi pluralistik ini layak untuk kita terapkan sebagai muslim sejati? Lebih dalam lagi, berikut akan dielaborasikan lebih dalam untuk menunjukkan kelemahan utama dalam konsep “toleransi pluralistik” tersebut.

Paradoks PluralismeAnggap saja kita menerima makna pluralisme yang kedua: bahwa setiap ekspresi individu atau kelompok memiliki nilai kebenarannya masing-masing. Tentu saja, dengan kita meyakini bahwa setiap ekspresi memiliki nilai kebenarannya, akan membuat kita saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Tapi sayangnya, meyakini hal ini akan menimbulkan problem kebingungan yang cukup serius. Problem itu terletak dari sesuatu yang mendasari penghormatan dan penghargaan yang kita munculkan: yaitu pengakuan atas nilai kebenaran yang dimiliki individu atau kelompok lain. Jika demikian, konsekuensi secara tidak langsungnya adalah kita telah mengaminkan nilai kebenaran individu atau kelompok lain, yang bisa jadi bertentangan dengan nilai kebenaran kita sendiri.

Contoh yang paling jelas, misalnya, tentang bagaimana bersikap toleran terhadap kelompok homoseksual sedangkan kita tahu bahwa ajaran agama menentang hal itu. Kalau kita bersandar pada prinsip pluralistik dalam sikap toleransi kita, mau tidak mau kita secara tidak langsung juga mengakui bahwa jalan yang ditempuh kaum homoseksual itu sebagai kebenaran. Meskipun hanya sebatas meyakini bahwa homoseksual adalah hal yang benar menurut orang lain, dan bukan menurut kita, tapi sikap penerimaan itu telah membuat kita juga mengamini sikap orang tersebut. Padahal sistem kebenaran yang kita yakini – misalnya ajaran agama – justru menolak perilaku homoseksual karena itu adalah perilaku menyimpang.

Agar penjelasan saya lebih mudah, saya coba ilustrasikan sebagai berikut. Tono meyakini bahwa “X” adalah satu-satunya agama yang benar, sedangkan Tini meyakini sebaliknya, yaitu “Y” adalah agama yang benar. Jika kita memakai semesta pluralistik, keyakinan antara Tono dan Tini akan saling bercampur aduk. Karena, meskipun Tono meyakini bahwa “X” adalah satu-satunya agama yang

benar, karena prinsip pluralistik, Tono pun mengakui bahwa “Y” adalah agama yang benar meskipun pengakuannya itu diambil dari kacamata Tini. Begitu pun berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, kebenaran mutlak itu dapat bersifat ganda, tergantung kacamata siapa yang digunakan. Jelas ini menimbulkan dilema serius, terutama bagi kaum muslim, karena muslim sejati tidak mungkin mengakui kebenaran Tuhan lain atau pun perilaku homoseksual yang jelas-jelas ditentang oleh ketentuan agama.

Tapi “sialnya” banyak orang yang terjebak pada semesta pluralisme yang dianggap sebagai satu-satunya fondasi dalam memaknai toleransi. Saat seseorang atau sebuah kelompok menyatakan penolakan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agamanya, saat itu pula orang atau kelompok tersebut bisa dianggap intoleran. Labelisasi intoleran – yang belakangan dikaitkan dengan radikalisme – dapat dengan mudah muncul hanya karena seorang, misalnya, memilih pemimpin yang seagama dengannya. Dengan jelas hal dapat kita amati di beberapa survei mengenai toleransi individu yang menempatkan elemen kognisi sebagai indikator dalam menentukan apakah seseorang toleran atau tidak. Padahal, seharusnya toleransi itu dilihat dari bagaimana tindakan yang diambil, bukan semata-mata pada aspek kognisi belaka.

Kita boleh menolak homoseksual, tapi tindakan kitalah yang akan menentukan apakah kita adalah orang yang toleran atau tidak terhadap kaum homoseksual. Saat kita ikut mencaci, mengucilkan, bahkan ikut dalam kekerasan fisik, itu jelas tidak toleran. Tapi saat kita tetap memberikan penghargaan, pertemanan, dan kasih sayang kepada orang lain yang homoseksual itu dalam rangka mengharapkan kebaikan pada mereka, meski kita menolak jalan hidupnya, kita tetap bisa menjadi seseorang yang toleran. Sebab yang kita musuhi adalah jalan hidup/sikap homoseksualnya yang dalam banyak kajian ilmiah menimbulkan keburukan, bukan orang/individunya yang kita musuhi. Namun masalahnya adalah, dalam semesta yang serba oposisi biner (hitam-putih) ini, membuat kita sulit untuk mengambil sikap yang moderat: tetap religius, dan juga toleran. Saat seseorang menyatakan penolakan terhadap sesuatu yang

Jelas ini menimbulkan dilema serius, terutama bagi kaum muslim, karena

muslim sejati tidak mungkin mengakui kebenaran Tuhan lain atau pun

perilaku homoseksual yang jelas-jelas ditentang oleh ketentuan agama.

Maulid Nabi 1440 Hmenyimpang saja, dengan mudah orang tersebut sudah dianggap intoleran. Sebaliknya, saat seseorang bersikap toleran, malah bisa jadi kita dianggap tidak religius. Oleh sebab itu, kita perlu keluar dari ruang sempit ini, dan membangun definisi baru tentang toleransi yang sesungguhnya.

Toleransi KenabianMeneladani nilai “toleransi kenabian” dari Rasulullah SAW bisa menjadi solusi penting menyikapi keragaman yang ada di negara kita Indonesia. Istilah toleransi memang dasarnya tidak ada padanan linearnya dalam agama Islam. Satu-satunya yang kita kenal, dan mungkin mendekati adalah, sikap tasamuh. Tasamuh secara tekstual berarti sama-sama berlaku baik, dan saling memaafkan satu sama lain. Kalau kita menemukan problem toleransi baru di era belakangan ini, sejatinya di era Rasulullah dulu bab mengenai toleransi sudah selesai, karena sudah jelas panduannya, yaitu ada pada diri Rasulullah sendiri. Maka dari itu, tulisan ini ingin mengajak Anda semua untuk keluar dari pemahaman konvensional tentang toleransi yang begitu didominasi oleh wacana pluralisme. Mari lupakan sejenak deklarasi PBB tentang prinsip toleransi, dan saatnya kita berkaca pada mata air keteladanan utama, yaitu pribadi Rasulullah sendiri.

Coba kita lihat, semua sikap toleransi Rasulullah tercermin dari setiap tindakannya. Bahkan sikap toleransi itu juga terlihat dari metode dakwah yang digunakan. Kalau kita membaca kisah sejarah nabi (sirah nabawiyah), saya rasa kita dapat mudah menemukan keteladanan yang sangat luar biasa dalam ber-muamalah (menjalin hubungan antar sesama manusia) dengan kalangan kafir, yang secara sikap, beliau jelas menentangnya, tapi mampu berkasih sayang dan lemah lembut kepada mereka. Kisah dakwah nabi di daerah yang bernama Thaif – enam puluh mil dari Mekah – adalah contoh paling nyata bagaimana toleransi beliau kepada orang yang memusuhinya.

Syahdan, saat nabi menyampaikan seruan Islam kepada gembong bani Tsaqif, justru nabi dianggap sebagai pengacau. Beliau, bersama pembantu yang menemaninya, Zaid bin Haritsah, justru dilempari batu disertai dengan cacian oleh penduduk Thaif. Saat beliau keluar dalam keadaan muram, malaikat Jibril menawarkan bagaimana kalau penduduk Thaif diratakan oleh gunung. Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, jawaban Rasulullah membuat siapa pun yang mendengarnya pasti terenyuh. Kira-kira begini jawaban sang Rasul: “wahai Jibril, saya berharap dan mendoakan agar keturunan mereka adalah anak-anak yang memiliki keimanan.” Jawaban ini, yang seharusnya kita baca

sembari berkontemplasi, menunjukkan betapa indah dan mulianya sikap toleransi nabi. Ya, Rasulullah jelas menentang kekufuran penduduk Thaif, tapi itu tidak membuat beliau berlaku kasar kepada mereka. Justru sebaliknya, Rasulullah mendoakan kebaikan untuk mereka, yaitu dengan harapan semoga nantinya anak cucunya terlahir sebagai orang-orang yang beriman.

Banyak contoh lain yang mana toleransi Rasulullah dimunculkan dalam tindakan. Misalnya, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah sempat berdiri saat jenazah seorang Yahudi melintas di depannya. Saat ditanya mengapa beliau berdiri, Rasulullah menjawab bahwa tindakannya tersebut semata-mata hanya sebagai bentuk penghormatan. Tapi apakah tindakan Rasul membuat beliau mengatakan bahwa Yahudi tersebut telah menempuh keyakinan yang benar? Tentu saja tidak. Yahudi tetaplah Yahudi, dan tidak mengakui kenabian Muhammad, tapi itu tidak menghalanginya untuk memberikan tanda hormatnya. Contoh lain yang paling jelas dari keteladanan Rasulullah dalam toleransi adalah saat peristiwa Fathul Mekah, di mana tidak ada satu pun pertumpahan darah di sana. Padahal, bisa saja Rasulullah melakukan balas dendam terhadap kaum Quraisy di Mekah karena pernah menyiksa dirinya dan umatnya bertahun-bertahun. Tapi lagi-lagi itu tidak beliau lakukan.

Agar pemahaman kita utuh, khususnya bagi seorang Muslim, ingat, kita perlu juga melihat sisi lain keteladanan Nabi dalam toleransi kenabian ini, yaitu sikap tegas Nabi untuk tidak memberikan tolerasi, pada hal-hal yang memang melampaui batas dari ajaran agama/syariat. Sekali lagi, Rasul memang memiliki keagungan dalam akhlak kepada siapapun, termasuk non Muslim, namun tegas pada hal-hal prinsip dalam beragama. Kita tahu bahwa Rasulullah SAW pernah mengaminkan doa Malaikat yang mengatakan bahwa Allah akan memberi laknat/dijauhkan dari Rahmat Allah kepada tiga golongan manusia, yaitu orang yang mendapati bulan Ramadan namun dosanya tidak diampuni, orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya namun Ia masuk ke dalam neraka, serta orang yang disebutkan di hadapannya Nabi SAW, namun tidak bershalawat.

Kalau kita menemukan problem

toleransi baru di era belakangan

ini, sejatinya di era Rasulullah

dulu bab mengenai toleransi sudah

selesai, karena sudah jelas

panduannya, yaitu ada pada diri

Rasulullah sendiri.

Hal lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Inilah yang dimaksudkan mengenai toleransi kenabian. Sebuah konsep toleransi yang dinarasikan dari keteladanan dalam diri Rasulullah sendiri. Ada saat di mana Rasul bersikap lemah lembut terhadap “musuh”, dan ada saatnya beliau bertindak tegas. Kisah-kisah dalam sirah dan ajaran yang syarat dengan ketegasan pada hal-hal prinsip dalam beragama. Begitu pun di sisi lain, fragmen-fragmen yang menunjukkan kelembutan hati Rasulullah juga begitu kaya. Ini yang menjadi bukti bahwa toleransi kenabian memiliki garis batas yang jelas, kapan seorang muslim harus bertindak tegas, dan kapan seorang muslim harus memberikan maaf.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Tentu saja kita harus mulai membumikan toleransi kenabian ini. Caranya adalah dengan tindakan. Seorang muslim sejatinya harus menunjukkan akhlak kenabian dalam toleransinya, mulai dari mendoakan kebaikan, dan turut mengarahkan pihak-pihak yang menyimpang untuk kembali pada jalan kebenaran. Mari menjadi golongan pertengahan yang tepat menempatkan makna toleransi, bermuamalah dan menebar kebaikan kepada siapapun, namun di sisi lain tetap tegas jika berkaitan dengan penerapan hukum syariat. Tidak perlu kita memaksakan diri, yang ada adalah usaha. Karena kita, adalah perantara bagi hidayah Allah kepada jiwa-jiwa yang jauh dari cahaya kebenaran.

Grady Nagara, S.I.P.Ketua Forum Studi Islam (FSI) FISIP UI 2013Pegiat di Kelompok Muslim Dialektis (KEMUDI)

Maulid Nabi 1440 H