Materi Mata Kuliah Agama Katolik

download Materi Mata Kuliah Agama Katolik

of 26

Transcript of Materi Mata Kuliah Agama Katolik

  • 1

    Bagian I Hakikat, Panggilan dan Martabat

    A. Hakikat Hidup Manusia 1. Manusia Dicipta Sebagai Citra Allah Saat sang bayi dilahirkan, saat itulah kepadanya disampaikan panggilan agung, yakni panggilan untuk menjadi manusia. Sejak bayi, seseorang sudah dipanggil, diundang, dan diajak untuk memenuhi seruan menjadi manusia seutuhnya seturut martabat asali sebagai citra Allah.

    Dapat diibaratkan bagai seorang pelukis yang siap menggoreskan pena di atas kanvas putih dalam waktu-waktu kehidupannya. Anugerah panggilan itu bukan berarti pasif, artinya manusia hanya penikmat saja tanpa melakukan apa-apa.

    Manusia dengan kebebasannya tetap harus aktif untuk memanfaatkan dan menumbuhkembangkan anugerah itu sebaik mungkin. Jadi anugerah itu bagi manusia membawa konsekuensi suatu tugas dan tanggungjawab atas hidup.

    Dalam Kitab Suci, tidak hanya dikatakan bahwa manusia diciptakan sebagai citra Allah, tetapi juga ditegaskan mengenai panggilannya sebagai citra Allah. Setelah selesai mencipta manusia, Allah memberkati manusia dan memanggilnya untuk beranakcucu dan bertambah banyak; memenuhi bumi dan menaklukkannya, menguasai ciptaan Allah lainnya (lih. Kej 1: 26-30. 2: 15-16). Siapa yang menumpahkan darah manusia , darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri (lih. Kej. 9:6).

    Manusia itu sangat berbeda dengan ciptaan lainnya (batu, tumbuhan dan binatang).

    Manusia bukan hanya puncak karya keselamatan Allah dan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi manusia itu dijunjung lebih tinggi dengan inkarnasi dan penebusanKristus.

    Manusia bukan hanya puncak karya keselamatan Allah dan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi manusia itu dijunjung lebih tinggi dengan inkarnasi dan penebusanKristus.

    Manusia diciptakan sebagai citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang.

    Manusia mengenal dirinya sendiri, menjadi tuan atas dirinya sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, Pencipta-Nya.

    Dalam dunia modern sekarang ini, manusia menghadapi ancaman-ancaman berat yang tak terbilang jumlahnya.

    Manusia merasa terlindas oleh perasaan tak berdaya. Mereka merasa seolah-olah kebaikan tak pernah dapat memadai kekuatannya untuk mengalahkan kejahatan.

    Dalam perjalanan perwujudan sebagai citra Allah, manusia kerap dihadapkan dengan berbagai macam pertanyaan ada pertanyaan bersifat dangkal, namun ada pula yang sungguh mendalam.

    Apa pertanyaan yang bersifat dangkal? Apa pertanyaan yang bersifat mendalam?

  • 2

    2. Manusia Dipanggil & Diutus Allah

    Ada berbagai macam tantangan, rintangan, dan pertanyaan-pertanyaan hidup yang ada.

    Apa tantangan, rintangan dan pertanyaan hidupmu?

    3. Martabat Hidup Manusia Manusia dari mulai keberadaannya di dunia terus dipanggil untuk semakin

    menuju kepada martabat sebagai citra Allah. Martabat inilah yang sering disebut sebagai kesempurnaan. Kesempurnaan

    manusia sebagai citra Allah disadari dan dipahami bukan dalam arti manusia harus sama dengan Allah; melainkan justru dalam membuka diri dan menyambut panggilan dunia, terutama sesamanya manusia. Dalam keterbukaan terhadap dunia, terutama sesamanya, manusia semakin mewujudnyatakan panggilannya sebagai citra Allah.

    Martabat Manusia menurut Ajaran Gereja

    Gaudium et Spes artikel 12, 15, 16, 17, 24 Sebagai citra-Nya, manusia sangat dikasihi Allah (G.S Art. 12). Manusia "yang di dunia merupakan makhluk yang dikehendaki Allah demi diri-Nya sendiri" (G.S Art. 24). Ia dipanggil untuk mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Karena semua manusia adalah citra Allah, berasal dari Allah yang sama, dan sama-sama dikasihi Allah, maka semua manusia mempunyai ikatan kesatuan. Mereka harus saling mengasihi, menghormati, tidak saling menghina dan merendahkan, serta hidup sebagai saudara satu terhadap yang lain. Evangelium Vitae (Injil Kehidupan atau dalam bahasa Inggris disebut "The Gospel of Life" adalah judul dari ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohannes Paulus II yang merupakan sikap Gereja Katolik terhadap nilai-nilai kehidupan manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Ensiklik tersebut disebar luaskan pada tanggal 25 Maret 1995). Artikel 1: Injil tentang hidup menjadi inti ajaran Yesus. Artikel 2: manusia diberi martabat yang sangat berdasarkan ikatan mesra dengan Sang Pencipta; dalam diri manusia terpancarlah gambar Allah sendiri.asal usul dan tujuan hidup, yakni persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih dengan-Nya (art. 38) Dalam keadaan apapun, hidup manusia tetap bernilai. Keadaan jasmani dan rohani bukan ukuran bernilai tidaknya hidup manusia. Kerusakan jasmani seseorang bukanlah dasar bagi seseorang untuk menilai bahwa hidupnya tak bermakna. Demikian juga kecantikan dan ketampanan fisik seseorang bukan dasar untuk menilai bahwa hidupnya bermakna. Demikian pula suka duka hidup bukan ukuran dasar dari makna hidup manusia. Nilai tinggi hidup manusia terletak pertama-tama pada relasinya dengan Allah sendiri; Citra Allah, Anugerah Allah, Milik Allah, Kudus seperti Allah. Selain itu, hidup fana manusia juga memiliki nilai yang tinggi karena hidup fana

  • 3

    manusia mengandung benih keseluruhan dan kepenuhan yang akan terpenuhi dalam hidup ilahi abadi (EV 31). Manusia memiliki kemampuan spiritual yang khas kemampuan untuk memilih yang baik dan yang jahat dan kehendak bebas. (Art 34)

    Hidup manusia itu selalu sesuatu yang baik! Mengapa? Karena hidup itu berbeda jauh dengan hidup makhluk hidup lainnya, kendati ia dibentuk dari debu tanah. (Kej. 1: 26-27)

    Hidup manusia menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiran-Nya dan mencerminkan kemuliaan-Nya. Manusia dikaruniai martabat yang amat luhur (EV 34).

    Dignitatis Humanae (Keluhuran Hidup Manusia, Paus Yohanes Paulus II) Artikel 2: Martabat sebagai seorang pribadi yakni diberi akal budi dan kehendak bebas dan oleh karena itu mendapatkan priveligi untuk tanggung jawab pribadi. Bagaimana dengan penderitaan?

    Penderitaan kerapkali dinilai sebagai bencana atau bahkan mungkin buah dari dosa. Sehingga penderitaan itu sama sekali tak bermakna.

    Penderitaan hanya mensengsarakan manusia dan membuat manusia putus asa. Apakah benar demikian?

    Menurut ajaran kristiani, penderitaan secara khusus pada waktu menjelang kematian, memiliki tempat yang khusus dalam rencana keselamatan Allah.

    Penderitaan itu adalah tanda seseorang ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus dan bersatu dengan kurban penebusan Kristus yang mempersembahkan ketaatannya pada kehendak Bapa.

    Beberapa pertanyaan seputar keluhuran martabat manusia Apa akar martabat manusia? Martabat pribadi manusia berakar pada penciptaannya menurut gambar dan rupa Allah. Dilengkapi dengan jiwa yang spiritual dan tak dapat mati, intelek kebahagiaan kekal dalam jiwa dan badannya. Dalam arti apa kita mengerti bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambaran Allah? Pribadi manusia diciptakan menurut gambar Allah dalam arti bahwa dia mampu mengenal dan mencintai Penciptanya secara bebas. Manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia yang dikehendaki Allah demi mereka sendiri, dan dipanggil untuk mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya melalui pengenalan dan cinta kasih. Semua manusia, karena diciptakan menurut gambaran Allah, mempunyai martabat sebagai seorang pribadi. Seorang pribadi bukanlah sesuatu barang, tetapi seseorang yang mampu mengenal dirinya sendiri dan memberikan dirinya dengan bebas dan masuk ke dalam persatuan dengan Allah dan pribadi-pribadi lainnya.

  • 4

    Apa tujuan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan? Allah menciptakan segala sesuatu bagi mereka, tetapi Dia menciptakan mereka untuk mengenal, melayani, dan mencintai Allah, untuk mempersembahkan untuk mengangkatnya ke dalam hidup bersama Dia di surga. Hanya dalam misteri kodrat ciptaan itu merupakan prinsip kebijaksanaan dan dasar moralitas. Penjelmaan Sang Sabda, misteri pribadi manusia dapat dimengerti secara baru. Semua ciptaan di dunia ini sebagai rasa syukur dan terima kasih kepada-Nya dan Laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk menghasilkan kembali gambar Putra Allah yang menjadi manusia , Allah yang tidak kelihatan (Kol 1:15). Hubungan apa yang ditetapkan Allah antara laki-laki dan perempuan? Laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dalam martabat yang setara karena mereka adalah pribadi-pribadi manusia. Sekaligus mereka diciptakan untuk saling melengkapi karena mereka laki-laki dan perempuan. Allah menghendaki agar mereka juga dipanggil untuk meneruskan kehidupan manusia dengan menjadi satu daging dalam perkawinan (Kej 2:24). Mereka juga dipanggil untuk menaklukkan dunia sebagai pelayan Allah. Apa peranan martabat manusia berhadapan dengan suara hati? Martabat pribadi manusia menuntut suara hati moral ini lurus dan benar (yang berarti sesuai dengan apa yang adil dan baik menurut hukum Allah). Karena menyangkut martabat manusia, tak seorang pun dapat dipaksa untuk melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hatinya, atau dihalangi untuk bertindak sesuai dengan suara hatinya, khususnya dalam hal-hal religius dan dalam batas-batas kebaikan umum. Sebagai makhluk bermartabat, manusia mengembangkan diri dan menghayati hidupnya berdasarkan pada beberapa unsur yang ada dalam dirinya. Dengan berpedoman pada ajaran St. Paulus (1Tes 5:23), ada 3 unsur konstitutif: 1) tubuh, 2) jiwa, dan 3) roh.

    - Tubuh. Tubuh menunjuk pada seluruh bidang kehidupan manusia yang fisik-material, yang berkaitan dengan jasmani atau badan. Segala sesuatu yang menyangkut tubuh adalah makan dan minum, kesehatan dan kenyamanan. Tetapi pemenuhan bagi tubuh manusia belum dapat membuat hidup manusia menjadi sungguh manusiawi. Menurut St. Paulus, tubuh manusia mengarah pada percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora (bdk. Galatia 5:19-21). Manusia tidak hanya mempunyai tubuh. Manusia juga punya jiwa.

    - Jiwa. Jiwa menyentuh sisi hati dan akal budi manusia. Melalui hati dan akal budi itu, manusia mengusahakan kebebasan, pendidikan, kehidupan bersama, kebudayaan, norma-norma hukum, pengetahuan dan teknologi. Usaha manusia untuk masuk pada berbagai bidang tersebut tidak tanpa masalah. Ada tuntutan dan tantangan yang ada dalam suara hati manusia. Dengan kemampuan suara hati, baik untuk mencermati peristiwa yang dialami, memilih atau menolak untuk mensikapi, dan menentukan sikapnya, manusia

  • 5

    menyadari bahwa seluruh hidupnya melampaui seluruh ketegangan yang dihadapi. Manusia menyadari ada dimensi kehidupan yang lebih unggul atau transenden.

    - Roh. Roh mencakup iman dan kepercayaan. Dengan beriman dan percaya, manusia membuka dirinya pada kuasa Allah yang hadir dan ada dalam dirinya. Roh yang ada dalam diri manusia memampukan pula untuk mengatasi kesengsaraan, kesedihan, dan keterbatasan dirinya. Dalam Galatia (Gal. 5: 22-23), St. Paulus menegaskan bahwa buah roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.

    Hidup manusia meliputi tubuh, jiwa dan roh. Ketiganya membentuk hidup manusia secara menyeluruh. Dengan demikian, secara singkat dapat pula disebutkan bahwa tubuh menghubungkan manusia dengan dunia, melalui indera manusia, kita dapat merasakan panas, dingin, dan sebagainya. Jiwa adalah organ yang menghubungkan dan memberi kita kesadaran akan diri sendiri. Roh adalah sesuatu yang membuat manusia sadar akan Allah dan yang menghubungkan kita dengan Allah.

  • 6

    BAGIAN 2 WAHYU DAN IMAN DALAM TRADISI KATOLIK

    I. Wahyu A. Wahyu sebagai komunikasi Interpesonal Allah-Manusia

    Bicara mengenai wahyu dan iman dalam tradisi Katolik, maka kata kunci utama yang digunakan adalah komunikasi. Dengan istilah ini, hendak ditunjukkan adanya relasi dan tindakan saling menyapa antara minimal dua pihak. Ada yang berinisiatif dan ada yang menanggapi. Komunikasi ini menjadi berjalan apabila ada pemahaman akan maksud dan isi yang disampaikan. Inilah syarat utama munculnya relasi tersebut, bukan pertama-tama masalah bahasa: karena bahasa itu sendiri sangat terbatas pada ruang dan waktu tertentu; melainkan pada relasi antara dua pihak yang saling memahami tentang hal yang dikomunikasikan.

    Dalam konteks wahyu-iman, terlihat sejumlah unsur dari komunikasi tersebut, yaitu adanya dua pihak yang saling berelasi, Allah dengan manusia. Pihak yang mengambil inisiatif adalah Allah dan pihak yang menanggapi adalah manusia. Inisiatif komunikasi Allah tersebut diwujudkan dalam perlbagai rupa dan melalui pelbagai cara hingga akhirnya Ia mengutus sendiri Yesus Kristus, PuteraNya. Berbeda dengan komunikasi antara dua orang manusia pada umumnya, komunikasi antara Allah-manusia itu berada dalam tataran yang berbeda: Allah dalam realitas ilahi yang tak kasat mata, sedangkan manusia berada dalam tataran duniawi yang indrawi. Maka untuk dapat mengenal apa yang dikomunikasikan, manusia menggunakan kemampuan-kemampuan rohaninya sehingga dapat mengenal Allah.

    Melihat relasi antara Allah dengan manusia, kita dapat mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadi subyek wahyu. Ada gerakan dari pihak Allah: dari keadaannya yang tidak terdeteksi oleh manusia, kini Allah keluar menyatakan diri dan kehendakNya menyelamatkan manusia. Allah yang semula diam kini berbicara pada manusia. Mengapa Allah berbuat demikian? Mengapa Allah kini menyatakan dirinya pada manusia? Apa tujuan tindakanNya tersebut? Konstitusi Dogmatis Dei Verbum art 2 mengungkapkan motivasi Allah untuk berkomunikasi dengan manusia adalah karena kebaikan dan kebijaksanaanNya. Maka motivasi tersebut digerakkan oleh kebebasan dan cinta Allah bagi manusia, bukan karena hal lain. Allah tidak memberikan diriNya karena digerakkan oleh manusia yang berdosa, melainkan karena kehendak Allah untuk bersekutu dengan manusia dan menyapa mereka sebagai sahabatNya (Dei Verbum art.2). Dalam hal inilah menjadi jelas bahwa pewahyuan berhubungan erat dengan keselamatan yang direncanakan Allah bagi manusia.

    B. Obyek dan Cara Penyampaian Wahyu B.1 Dalam Perjanjian Lama: Setelah menganalogikan wahyu sebagai komunikasi di antara dua pihak, kemudian kita perlu bertanya: apa yang dikomunikasikan? Apa yang menjadi obyek atau isi komunikasi dari Allah pada manusia. Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) mengungkap sejumlah segi mengenai obyek wahyu, yaitu apa yang disampaikan dari diri Allahi:

  • 7

    1. KehendakNya: Hal ini diwujudkan dalam hukum taurat, di dalamnya termuat aneka

    ketentuan dan ketetapan dari Allah bagi umat Israel yang menuntun mereka untuk mendapat keselamatan, Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel. (Mzm 147:19).

    2. Kemahakuasaan dan kemuliaanNya:

    Hal ini diwujudkan dalam penciptaan alam semesta, yang menggambarkan akan Allah yang hidup dan terlibat sejak awal mula dunia ada, Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. (Mzm 19:2).

    3. Pribadi Allah yang adil dan berbelas kasih

    Ini ditunjukkan dalam karya keterlibatannya bagi umat Israel, dalam memilih, membimbing, dan melindungi umat-Nya serta dalam pemerintahanNya di dunia. Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. (Kel 19:4).

    Hal-hal inilah yang kurang lebih disampaikan Allah bagi umat-Nya dan berkaitan

    erat dengan kehendak-Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Maka pewahyuan tidak dapat dilepaskan dari rangkaian tindakan Allah: untuk menyapa manusia, menerima mereka sebagai umat kesayanganNya, dan akhirnya membawa mereka dalam keselamatan.

    Isi pewahyuan ini kemudian berkaitan erat dengan tindakan proses bagaimana Wahyu itu sampai dari Allah pada manusia. Ada pengantara yang menyampaikan niat dan kehendak Allah bagi hidup manusia. Mengapa perlu ada perantara? Mengapa Allah tidak langsung menjumpai manusia dan menyampaikan isi kehendakNya buat mereka? Rupanya yang mendasari perlunya terdapat pemisahan antara Allah dan manusia adalah bahwa Allah itu kudus, sedangkan manusia tidak. Dua hal ini tidak dapat bertemu dalam tataran yang sama dan siapa pun yang berhadapan dengan Allah akan mati (Hak 13:22).

    Dalam sejarah umat Israel, terungkap sejumlah pihak yang memperantarai relasi antara Allah dengan manusia, misalnya para imam yang dalam tindakan kultisnya menghubungkan tataran ilahi dengan manusiawi. Merekalah yang menyampaikan ucapan syukur manusia pada Allah dan menjaga batas antara Allah yang kudus dan manusia. Namun dalam dunia Perjanjian Lama, pihak perantara wahyu Allah terutama dihadirkan dalam diri para nabi. Merekalah yang menyampaikan sejumlah sabda Tuhan bagi manusia, memberikan teguran bagi umat bila mereka dalam keadaan berdosa dan memberikan pengharapan dalam keadaan tertindas.

    B.2 Dalam Perjanjian Baru: Yesus Kristus Puncak Wahyu

    Sementara itu, obyek wahyu dalam Kitab Suci Perjanjian Baru adalah sangat khas, yaitu bahwa isi komunikasi Allah itu hadir dalam pribadi Yesus Kristus, sang Anak Allah. Dialah yang menjadi puncak dari seluruh sejarah pewahyuan, dari mulai

  • 8

    kisah janji pada Abraham, dari Musa ke jaman para nabi, sesudah pembuangan, melalui sejarah umat Israel sampai pada jaman kehadiran Yesus di dunia. Dei Verbum art 4 mengungkapkan bahwa dalam diri Kristuslah komunikasi Allah kepada manusia menjadi nyata sepenuhnya.

    Teks kunci dalam Kitab Suci untuk melihat keistimewaan Yesus sebagai kepenuhan Wahyu adalah Ibr 1:1-12 yang berbunyi:

    Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya (Ibr 1:1-2)

    Teks ini mengungkap dengan sangat jelas bagaimana ada aspek kontinuitas

    (keberlanjutan) dari peristiwa Yesus Kristus dengan sejarah pewahyuan yang sebelumnya. Namun pewahyuan itu menjadi definitif, penuh, lengkap, tak ditambahkan lagi; dalam diri Yesus Kristus. Istilah puncak hendak menyatakan bahwa Yesuslah pewahyuan definitif dari diri Allah, karena barangsiapa telah melihat Yesus, telah melihat Bapa (Yoh 14:9). Ciri lain yang hendak ditampilkan adalah bahwa kehadiran Yesus punya arti yang mendasar untuk menentukan hubungan manusia dengan Allah. Sebelum peristiwa Yesus Kristus, perjanjian Allah-manusia kerap kali gagal langgeng karena ketidaksetiaan pihak manusia yang tidak taat pada Allah. Dan kini Yesus hadir dari Allah menjadi manusia, dan dengan demikian berada di pihak manusia. Maka dari itu, perjanjian tidak dapat dibatalkan lagi karena Yesus menjadi penjamin relasi perjanjian Allah-manusia. Dari keistimewaan Yesus Kristus ini hendak diungkapkan bahwa Ia adalah pembawa sekaligus isi wahyu tersebut.

    Dari uraian di atas hendak diungkapkan hakekat wahyu yaitu Allah yang berkomunikasi dengan manusia. Ia keluar dari keadaannya yang tersembunyi dan kemudian menyatakan diriNya kepada manusia. Pernyataan diri Allah itu secara sempurna hadir dalam pribadi Yesus Kristus, Anak Allah.

    C. Sarana Penerusan Wahyu

    Kontinuitas wahyu bagi umat dari jaman ke jaman hingga ke diri kita, hanya dimungkinkan dengan kehadiran Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Dasar penerusan Wahyu adalah kehendak Allah sendiri untuk menyelamatkan semua orang (1 Tim 2:4). Dalam tradisi Katolik, kisah penyataan dan komunikasi diri Allah bagi manusia terus menerus hadir sepanjang sejarah melalui Tradisi dan Kitab Suci. Pembentukan wahyu itu sendiri mulai baku dan definitif pada masa selesainya jaman para rasul, sehingga para penerus atau pun umat masing-masing jemaat yang dibangun di atas rasul tertentu, kini hanya sekedar menyampaikan dan meneruskan apa yang sudah mereka terima dari diri para rasul. Dalam hal inilah kita bicara mengenai sarana penerusan wahyu

    Dei Verbum art 8 menuliskan: Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes 2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka

  • 9

    Kutipan di atas hendak mengungkapkan adanya 2 cara dalam penerusan

    Wahyu (lihat juga Dei Verbum art 7), yaitu Kesaksian Lisan dan Kesaksian Tertulis:

    C.1 Kesaksian Lisan (Tradisi) Adalah bentuk pewartaan dan penerusan Wahyu yang tidak tertulis, yaitu dalam tradisi para rasul. Tampak dalam pewartaan lisan, teladan hidup, dan penetapan-penetapan tertentu dari para rasul. Seluruh kesaksian ini, baik yang mereka terima dari hidup Yesus Kristus sendiri maupun yang mereka terima atas dorongan Roh Kudus, diteruskan secara turun temurun dalam jemaat dari jaman ke jaman. Tradisi dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1) Tradisi Apostolik (Para Rasul): sungguh berasal dari para rasul yang menyangkut tema iman akan Yesus Kristus. Sifatnya tetap dan tak berubah. Contohnya adalah iman akan Yesus Kristus Putera Allah adalah bentuk kesaksian rasuli yang tidak berubah. 2) Tradisi Gerejani: berasal dari perkembangan Gereja dari jaman ke jaman yang ditampilkan dalam refleksi hidup dan aneka praktek hidup. Sifatnya bisa berubah dan mencerminkan perkembangan terus menerus dalam Gereja. Contohnya: tampil dalam tata tertib ibadat dan pandangan-pandangan moral

    Penerusan Wahyu secara lisan ini merupakan pewartaan iman yang hadir secara manusiawi dalam hidup para rasul dan jemaat perdana. Dalam perkembangan waktu, sesuai dengan perkembangan jaman, daya penerangan Roh Kudus senantiasa membimbing Gereja untuk mengartikulasikan iman dalam konteksnya masing-masing, sehingga tradisi ini (yaitu tradisi gerejani) senantiasa berubah untuk menjawab pelbagai kegelisahan dan tantangan yang berbeda dari setiap jaman.

    C.2 Kesaksian Tertulis (Kitab Suci)

    Adalah bentuk penerusan wahyu dalam bentuk yang tertulis, yaitu Kitab Suci. Bentuk kesaksian ini dihadirkan dalam proses, yaitu ketika para rasul dan tokoh-tokoh rasuli (murid para rasul) mendapat inspirasi Roh Kudus untuk membukukan amanat keselamatan tentang hal-hal yang pokok bagi pengembangan iman jemaat. Mereka menjadi pengarang dalam arti luas, yaitu ketika memberikan pengajaran pada jemaat, untuk kemudian sejumlah murid, dalam tuntunan Roh Kudus, mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Walaupun ditulis dengan inspirasi dari Roh Kudus, tidak dapat dikesampingkan unsur manusiawi si pengarang, meliputi konteks jaman, kemampuan berbahasa, masalah yang dihadapi dalam jemaatnya, dsb; sehingga mempengaruhi formula dan pilihan kata-kata yang digunakan dalam membahasakan pokok yang sama: iman keselamatan akan Yesus Kristus.

  • 10

    Maka Kitab Suci Perjanjian Baru merupakan refleksi iman jemaat tentang karya penyelamatan Allah yang tampil dalan hidup dan karya Yesus Kristus. Wahyu Allah yang ilahi dihadirkan dalam tulisan dan bahasa khas manusia, yang dengan sendirinya amat terbatas.

    Amanat keselamatan (Wahyu Allah) itu dibukukan dan mendapat bentuk tertulis yaitu dalam KSPB (Kitab Suci Perjanjian Baru). Di sinilah perbendaharaan rohani iman akan Yesus Kristus dapat tetap lestari serta menjadi dasar dan tiang iman bagi kehidupan jemaat selanjutnya. Dua faktor manusiawi yang mendasari kebutuhan penulisan risalah iman ini adalah:

    Kematian para rasul dan murid-murid pertamanya, sehingga tidak ada lagi saksi hidup tentang peristiwa Yesus Kristus

    Perbedaan jarak geografis dalam penyebaran kekristenan, sehingga alat komunikasi yang paling dimungkinkan adalah dalam bentuk surat atau tulisan.

    Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, tersimpanlah dengan setia apa yang disampaikan para rasul dalam pewartaan mereka yang tidak tertulis, yaitu dalam iman mereka sendiri dan dalam cara hidup jemaat yang mereka dirikan.

    Dari dua cara penerusan Wahyu ini, terdapat relasi yang sangat erat. Perbedaan keduanya hanya pada cara pengungkapan, antara lisan dengan tulisan. Namun ada banyak unsur yang sama. Dei Verbum art 9 menyebutkan bahwa unsur kesamaan antara Kitab Suci dan Tradisi terletak pada:

    1) berasal dari sumber yang sama, yaitu pemberian Allah sendiri 2) memiliki maksud yang sama, yaitu meneruskan Wahyu 3) memiliki muatan yang sama, yaitu Sabda Allah yang dijamin keutuhannya

    dalam Roh Kudus Antara Kitab Suci dan Tradisi terdapat kesesuaian isi, karena Kitab Suci

    menghadirkan pengungkapan-pengungkapannya daam tradisi, sedangkan tradisi pada gilirannya selalu memberi kesaksian yang tak tergantikan mengenai Injil tertulisii.

    Proses penafsiran Kitab Suci pertama-tama dipercayakan pada tradisi jemaat, dengan prinsip pemersatu adalah Roh Kudus. Dalam perkembangan waktu, ada instrumen (alat) yang menjaga kesatuan jemaat dalam hal menafsirkan kitab suci. Instrumen tersebut adalah magisterium, yang penyelenggaraannya diberikan pada hirarki Gereja, dengan Paus sebagai pemimpin tertinggi. Sebagai umat Allah yang percaya akan penyelamatan dalam diri Yesus Kristus, kaum beriman kristiani dipersatukan oleh Tuhan sendiri. Dan karya penyatuan itu terwujud dalam perkumpulan orang beriman di sekitar para rasul dan para pengganti mereka. Inilah cikal bakal landasan teologis yang melahirkan hirarki.

    D. Wahyu dalam Konteks Masa Kini Emmanuel

    Mencermati gagasan tentang wahyu yang berkembang dalam sejarah dan refleksi iman, kini kita patut bertanya: apa makna dan relevansi wahyu bagi hidup kita saat ini? Dalam keadaan konkret kita masing-masing, dalam situasi dan kondisi tertentu yang kita hidupi sekarang, apa makna pewahyuan buat kita?

  • 11

    Pemberian diri Allah dan pemakluman kehendakNya mencapai kepenuhan dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia. Ia berada di pihak manusia dan terlibat dalam perjuangan hidup sebagai manusia pada jamanNya. Maka dalam konteks terkini, makna pewahyuan dapat diuraikan dengan sebuah gagasan Emmanuel, yang artinya Allah beserta kita. Ia tidak lagi hanya memandang anak-anak manusia dari surga sana sambil mencatat kebaikan dan keburukan manusia. Ia tidak lagi pasif menunggu manusia bertobat dan mengarahkan diri padaNya. Namun Tuhan kini hadir di tengah manusia, menyapa manusia, dan menjanjikan penyertaanNya bagi hidup kita selalu: Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat 28: 20).

    II. Iman A. Iman Sebagai Tanggapan dan Pilihan

    Sebagai pihak yang disapa oleh Allah, maka manusia adalah pihak yang menjawab sapaan dari Allah. Jawaban dan tanggapan manusia akan penyataan diri Allah, itulah yang disebut iman. Maka iman perlu pertama-tama dilihat sebagai sebuah tindakan manusia untuk menyerahkan diri pada Allah yang telah memberikan diriNya untuk manusia. Iman menjadi tindakan peng-Iya-an terhadap Allah dan rencanaNya. Iman menjadi sebuah tindakan responsif untuk menjalin relasi dengan DiriNya. Ketika Allah berbicara, berkomunikasi, manusia mendengarkan dan memilih untuk menjawab sapaan Allah tersebut.

    Iman juga merupakan pilihan bebas manusia untuk menanggapi Allah dan menjalin relasi denganNya. Dengan melihat iman sebagai tanggapan, maka pengandaiannya adalah ada pewahyuan yang mendahului iman. Sedangkan iman sebagai sebuah pilihan, maka mengandaikan ada kebebasan manusiawi terhadap persetujuan tersebut (karena manusia juga dapat menolak untuk beriman). Dengan demikian, beriman tidak dapat dipaksakan. Beriman jauh lebih besar dan bermakna ketimbang beragama. Orang bisa saja mengaku beragama, tapi justru tidak beriman atau tidak menampakkan iman yang utuh dan seimbang.

    Selain menekankan unsur kebebasan manusia, ada tiga ciri untuk melihat iman sebagai sebuah pilihan:

    1. Mutlak: artinya melibatkan keseluruhan diri manusia: akal budi, kehendak, hati, tindakan. Dalam hal inilah, iman merupakan suatu penyerahan diri manusia.

    2. Menyelamatkan: artinya dengan beriman, orang menjalin relasi dengan Allah yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia.

    3. Kristiani: artinya, merupakan perwujudan dari sikap mengikuti Kristus. Dengan beriman, ia siap meneladan dan menjadi murid-murid Kristus, memanggul salib, menyangkal diri dan mengikuti Dia (Luk 9:23)

    Dalam kajian iman, perlu dibedakan antara fides qua (tindakan percaya) dan

    fides quae (isi iman). Unsur utama dari Iman adalah tindakan percaya dan menyerahkan diri dari pihak manusia kepada Allah yang mewahyukan diri. Sedangkan tentang hal-hal apa saja yang dihayati, dihayati, dan diterima kebenarannya menunjuk pada isi iman. Ini meliputi kepercayaan akan Allah yang mahaesa, akan kehadiran Yesus Kristus ke dunia, dsb.

  • 12

    B. Bagaimana manusia bisa beriman: Berkat Roh Kudus Meskipun iman merupakan tindakan dan pilihan manusia, n namun itu semua

    juga diperoleh berkat karya Roh Kudus. Maka beriman juga merupakan suatu rahmat, sebagaimana juga ditekankan dalam Dei Verbum art 5, Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus. Maka ada daya roh kudus yang berkarya dalam diri manusia sehingga ia dapat beriman. Pokok yang mau ditekankan adalah bahwa iman diperoleh bukan semata-mata karena tindakan dan usaha manusia saja, melainkan juga karena karya Allah dalam Roh Kudus. Dalam Kitab Suci, kita mengenal sejumlah karya Roh Kudus sebagai berikutiii:

    Jaminan untuk memperoleh keselamatan (Ef 1:14) Menjadikan manusia sebagai anak-anak Allah (Rom 8:15) Menyempurnakan iman manusia melalui kurnia-kurniaNya (1Kor 12:1-11,

    Rom 12:6-8) Inilah peran Roh Kudus supaya manusia dapat beriman menurut Dei Verbum art 5:

    1. Menggerakkan hati manusia dan membalikkannya pada Allah, sehingga membuat manusia selalu terbuka terhadap segala bentuk pewahyuan dari Allah

    2. Membuka mata budi manusia bahwa dalam tanda-tanda nyata yang dilihatnya, Allah hadir dan berbicara dengan manusia, sehingga manusis dapat sungguh mengenal Allah.

    3. Menimbulkan pada diri semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran pewahyuan Allah.

    Bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak beriman? Memilih untuk tidak menanggapi pewahyuan Tuhan? Atau tidak mempunyai pengalaman iman? Bahkan menolak mempercayai adanya Allah (menjadi atheis)? Terhadap ini semua, Gereja menyatakan bahwa secara asali manusia memiliki keterarahan batin pada Yang Ilahi (Tuhan) dan martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah, sehingga atheisme itu, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asli, melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terhadap agama kristiani(Lumen Gentium art.19).

    Maka, secara dasariah, Roh Kudus tetap bekerja dalam diri mereka hanya saja mereka tidak dapat merasakannya sebagai sebuah pengalaman iman atau batiniah karena sejumlah sebab, terutama dari pengaruh modernitas. Salah satu sebab utamanya adalah pengagungan akan kebebasan manusia yang radikal bahwa manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, adalah satu-satunya perancang dan pelaksana bagi riwayatnya sendiri. Dan hal itu, menurut mereka tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan Tuhan sebagai pencipta dan tujuan segala sesuatu (Lumen Gentium art.20).

    Walaupun mengecam atheisme, Gereja tetap mengundang mereka untuk mempertimbangkan Injil dan ajaran iman dengan hati terbuka sambil senantiasa menggandeng mereka untuk bekerjasama membangun dunia ini dengan baik, karena dunia ini adalah rumah bersama untuk seluruh manusia.

  • 13

    Adanya fakta orang tidak beriman atau tidak percaya pada Allah rupanya juga menjadi sebuah kesempatan bagi kita sebagai orang beriman untuk memberi kesaksian tentang Rahmat Allah yang bekerja dalam diri manusia dan menggerakkan mereka untuk mewujudkannya dalam perjuangan kehidupan di dunia. Adanya Allah tidak membuat manusia menjadi tidak bebas, tetapi justru menjadi landasan ilahi dalam aktualisasi penggunaan kebebasannya. Dalam inilah, kebebasan manusia selalu mengarah pada nilai-nilai universal.

    C. Iman yang utuh : tindakan melengkapi ungkapan

    Setelah kita menyadari iman sebagai sebuah tanggapan dan pilihan, kini kesadaran itu juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam hal inilah kita memiliki iman yang utuh, yaitu ketika pengungkapan iman (lewat kata-kata) dibuktikan dengan praksis hidup (lewat tindakan) yang sesuai dengan norma-norma moral. Dengan kata lain hendak diungkapkan bahwa perjumpaan Allah-manusia, yaitu dalam peristiwa beriman ditampakkan paling nyata dalam keterlibatan aktif manusia (dalam tindakannya). Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Yakobus:

    Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak 2:17-18)

    Maka dalam kajian tentang iman yang utuh, pertama-tama perlu dibedakan

    antara ungkapan iman dan perwujudan iman. Keduanya berbeda tetapi saling melengkapi.

    1. Ungkapan iman, tampil secara eksplisit dalam rumusan kalimat pengakuan akan Allah yang senantiasa kita ucapkan dalam doa-doa dan liturgi. Salah satu pokok ungkapan iman kita adalah Syahadat para rasul (doa Aku Percaya)

    2. Perwujudan Iman, tampil dalam tindakan moral konkret keseharian yang menampakkan dengan lebih nyata adanya relasi antara Allah dengan manusia. Maka iman juga melibatkan praksis hidup moral.

    Dalam perwujudan iman, tindakan moral manusia haruslah bersifat sadar dan digerakkan oleh suara hati yang berakar pada hati nurani. Dalam hati nurani inilah, manusia menemukan keterarahan pada Tuhan, yang telah meletakkan hukum moral dalam hati manusia. Tuntutan untuk bertindak sesuai hati nurani ini bersifat mutlak dan menggugah hati manusia secara terus menerus. Maka ada unsur personal (pribadi) yang kita hadapi dalam suara hati. Orang yang mengabaikan suara hatinya akan diguncang oleh rasa bersalah. Orang bisa saja keliru dalam bertindak, sehingga dalam prakteknya akal budi manusia pun turut bekerja dalam menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya dalam keadaan konkret tertentu. Namun dalam kemutlakan tuntutan suara hati yang juga personal inilah, orang akhirnya bisa menemukan pengalaman batin akan hadirnya Tuhan yang senantiasa hadir dalam hati manusia, menuntunnya untuk melakukan yang benariv.

    Memang tindakan moral tidak mengandaikan iman, karena orang yang tidak beriman pun dapat berbuat baik dan hidup menurut norma-norma moral yang ada. Namun bagi orang Kristen, tindakan moral menjadi perwujudan iman. Dasarnya

  • 14

    adalah Cinta Allah yang telah lebih dahulu mengasihi manusia tanpa syarat. Karena Allah lebih dahulu telah mencintai kita, maka kita pun dapat mencintai sesama kita. Inilah yang dimaksud dengan prinsip moral Indikatif-Imperatif: Allah telah mencintai kita terlebih dahulu sehingga kita dapat mencintai dan mengasihi sesama. Dasar biblisnya ditemukan dalam Injil Yohanes 13:34, Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. D. Iman: Sebuah Proses Berkelanjutan. Iman bukanlah proses sekali jadi. Ketika orang mengiyakan Allah dan menanggapi pemberian diri Allah itu dengan percaya padaNya dan bertindak menurut perintahNya, bukan berarti semua selesai. Selalu senatiasa ada pergulatan jatuh bangun dalam merefleksikan bahwa Allah berkarya, menyapa, dan merencanakan karya keselamatan buat manusia. Proses pun berkaitan dengan perkembangan pemahaman akan apa yang disebut dengan iman.

    Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel memahami iman dalam tingkatan berikutv: Iman pertama-tama merupakan sikap mendengarkan sabda Allah (bdk 1 Sam 3:10). Setelah mendengarkan, firman tersebut diresapkan dalam hati serta taat dan patuh pada apa yang diperintahkan Tuhan. Hal ini nampak terutama dari kisah panggilan Abraham yang memberikan kepatuhan budi dan penyerahan diri pada Allah (Kej 12:1.4a). Selanjutnya iman juga dimaknai sebagai kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah, yaitu hidup menurut perjanjian yang telah mereka tetapkan. Dalam hal inilah, para nabi israel senantiasa mengingatkan umat agar setia pada Allah Yahwe (hos 6:6, Yer 5:1-9, Mik 6:8). Akhirnya iman juga merupakan tindakan percaya pada janji Allah, bahwa Allah akan menggenapi apa yang telah dijanjikanNya buat umat manusia (Kej 15:6).

    Dalam Perjanjian Baru, paham iman tersebar dalam aneka tulisan yang kurang lebih menyatakan iman sebagai: mendengar dan memahami sabda Allah (Mrk 4:9, Mat 13:19), bertobat sebagai wujud kepercayaan akan sabda Allah (Mat 1:15), sikap batin dalam ketaatan dan persekutuan yang total dan mutlak dengan Yesus Kristus (Kis 3:16), dan mengenal serta percaya akan misteri Allah dalam Yesus Kristus (1 Kor 1:17-24). Intinya adalah pengiyaan terhadap apa yang diwartakan Yesus dan yang dihadirkan Yesus Kristus, yaitu sabda dan karya keselamatan Allah dalam diriNya. Paham iman terus bergulir dan berkembang sejalan dengan perkembangan waktu dan tantangan-tantangan jaman yang dihadapi. Tantangan jaman yang dialami oleh para Bapa Gereja (abad 3-4) berbeda dengan tantangan yang dihadapi pada abad modern di eropa (abad 17-18), juga berbeda dengan tantangan yang kita hadapi sekarang. Tantangan itu mempengaruhi formula-formula tentang apa itu iman. Ada saatnya, iman diterima sebagai pengenalan akan Allah, yang didahului oleh proses percaya dan mencinta pada Allah. Demikianlah salah satu proses pergulatan pada jaman Bapa-bapa Gereja. Namun iman juga kemudian dipahami sebagai percaya bahwa apa yang diberikan Allah itu adalah benar dan selaras dengan akal budi manusia. Hal ini dirumuskan terutama ketika Gereja berhadapan dengan aliran rasionalisme (yang menyatakan bahwa tak sesuatu pun dapat dianggap benar, kalau tidak sesuai dengan akal budi) dan aliran fideisme (menyingkirkan peran akal budi karena tak berguna bagi iman dan hanya mengandalkan iman buta semata-mata)vi.

  • 15

    Maka adalah sebuah tantangan buat kita untuk memformulasikan apa itu iman dan bagaimana mewujudkannya di tengah konteks terkini bangsa indonesia: keberanekaan agama dan budaya, kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial, dst.

    E. Iman dalam Konteks Masa Kini Ketika iman dimaknai sebagai sebuah proses, maka iman itu juga harus dihayati sesuai dengan konteks pergulatan masing-masing orang dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Walaupun senantiasa berkembang dan mengalami pasang surut, iman juga mengandung unsur yang senantiasa melekat di dalamnya. Teolog JL CH Abineno meringkaskan unsur-unsur inheren iman sebagai sebuah tindakan percaya, adalah sebagai berikutvii: 1. Mengatakan Ya kepada Allah dan tidak kepada ilah yang lain

    Tentang ilah yang lain ini, harus dipahami dalam perbedaan konteks jaman dan tantangannya. Pada jaman bangsa Israel, ilah ini berwujud pada penyembahan berhala dan dewa-dewi kesuburan bangsa Kanaan. Pada masa kini, juga sering muncul pengakuan akan kuasa gaib yang membuat manusia menggantungkan diri padanya dan tidak percaya pada Allah. Aneka kuasa gaib itu bisa berupa jimat, mantra, dan ragam guna-guna. Pada masa ini, juga banyak hal dapat digolongkan sebagai ilah modern, yang membuat manusia mengorientasikan hidupnya pada ilah-ilah ini bahkan membuat manusia melupakan Allah. Ilah-ilah modern ini tampak pada uang, jabatan, seks, gengsi, ideologi, dst. Pada dirinya sendiri, hal-hal tersebut tersebut bersifat netral, namun kalau manusia sampai mengikatkan dirinya secara mutlak pada hal tersebut bahkan mengurbankan banyak hal demi mendapatkannya, hal-hal duniawi tersebut menjelma menjadi ilah-ilah modern.

    2. Membuktikan ketaatan dan kesetiaan kepada Allah dengan dan dalam

    perbuatan nyata. Didasarkan oleh kepercayaan, maka harus ada bukti otentik untuk menyatakan kepercayaan tersebut, yaitu dengan tindakan konkret. Iman bukan sesuatu yang abstrak, namun tampil dalam realitas. Dalam kitab suci, tampil sejumlah figur yang melakukan aksi nyata setelah menyatakan kepercayaanya pada Tuhan: Abraham yang meninggalkan negerinya untuk berangkat ke tempat yang telah dijanjikan (Kej 12:1-4) Petrus dan Andreas yang meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan untuk mengikuti Yesus (Mat 4:18-20). Demikianlah dalam hal ini, senada dengan penjelasan yang sudah diberikan, iman menjadi nyata dalam perbuatan, karena iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:20)

    3. Teguh berpegang pada Allah di tengah segala cobaan

    Tindakan percaya pada Allah yang menyelenggarakan kehidupan juga menuntut manusia untuk teguh berpegang dan berharap padanya di tengah-tengah pencobaan hidup yang dialaminya: dalam aneka penderitaan, kegagalan, dan pelbagai macam pertanyaan atas hidup. Iman menjadi sangat nyata justru ketika orang berada dalam situasi sulit sekali pun, ia tetap percaya akan Allah yang

  • 16

    menggerakkannya untuk berbuat sesuatu dalam mengatasi pelbagai problem hidup. Manusia seringkali protes kepada Allah atas setiap ketidakadilan dalam hidup, seolah-olah Allah tidak menunjukkan drinya sebagai Yang Berbelas kasih dan Yang Mau Menolong manusia. Sikap protes ini cukup wajar mengingat dalam Kitab Suci pun, kita mengenal kisah tentang Ayub yang mengalami aneka penderitaan walaupun ia tergolong sebagai orang yang saleh. Protes menunjukkan sisi manusiawi kita ketika berhadapan dengan aneka penderitaan dan ketidakadilan dalam hidup. Namun sikap yang tepat tidak berhenti pada protes saja, tapi pada iman bahwa dalam keadaan itu pun Allah tidak diam. Peristiwa salib Yesus Kristus adalah bukti solidaritas Allah untuk penderitaan manusia. Allah ikut menderita bersama manusia. Namun sebagaimana salib dan penderitaan bukanlah akhir dari segalanya, demikian juga penderitaan yang dialami manusia. Kematian Yesus disusul oleh kebangkitanNya dari mati, kemenangannya atas maut dan dosa. Maka rangkaian peristiwa salib dan akhirnya kebangkitan memberikan ruang harapan bagi manusia untuk bertindak mengusahakan pembebasan dari penderitaan yang dialami. Manusia tidak bertindak sendirian, karena Allah pun menyertai dan ikut berjuang bersama manusia. Ia terlibat dalam perjuangan hidup manusia mendapatkan hasil yang lebih membahagiakan dalam hidup. Dalam hal ini, kita harus membedakan antara cobaan dan ujian dengan godaan. Cobaan dan ujian selalu berasal dari Allah yang diberikan untuk mematangkan dan mendewasakan iman manusia, sebagaimana ia telah lakukan kepada umat Israel di padang gurun (Ul 8:2). Namun dalam pergumulan ini, juga dapat hadir godaan dari pihak iblis yang mengajak manusia untuk menjauhkan diri dari Allah. Dalam setiap peristiwa pahit yang kita hadapi, kita dapat merefleksikannya entah sebagai ujian atau godaan, namun arah yang dituju keduanya berbeda.

    4. Awal hidup yang baru

    Iman juga merupakan awal hidup yang baru dalam Kristus. Dengan penerimaan sakramen baptis, sebagai pondasi iman, hidup manusia diperbarui dalam Kristus sebagai yang memimpin (Gal 2:20). Daya Roh Kudus tinggal dalam diri dan menggerakkan hati kita untuk mengarahkan hidup sepenuhnya pada Allah. Adanya awal mengandaikan adanya akhir dari perjalanan hidup kita, yaitu ketika Kritus hadir untuk kedua kalinya, ketika kita dapat berhadapan denganNya muka dengan muka (1Kor 13:12). Iman sebagai awal hidup baru juga bermakna sebagai sebuah pertobatan batin dan transformasi hidup manusia. Ia meninggalkan hidupnya yang lama, yang seringkali berorientasi pada hal-hal duniawi, kini berorientasi pada Allah dan nilai-nilai kebenaranNya. Namun selama masih hidup di dunia dan terbatas pada kelemahannya sebagai manusia, kita sering jatuh dalam dosa dan menjauhkan diri dari Allah. Maka dari itu, iman selalu menggerakkan diri manusia untuk senantiasa memperbarui diri, bertobat, dan mentransformasi hidupnya ke arah yang lebih baik dari hari ke hari. Ini bukanlah usaha yang

  • 17

    mudah dan juga bukan rutinitas, tetapi selalu mengandalkan karya Allah dalam hidup manusia.

    5. Bersikap Kritis

    Akhirnya, iman juga tampil dalam sikap kritis manusia terhadap aneka pewartaan dan apa yang ia imani. Manusia perlu menggunakan akal budi dan suara hatinya untuk melihat apakah jenis pewartaan tertentu sungguh-sungguh berasal dari Allah atau hanya proyeksi manusia dan kelompok tertentu. Demikian pula sikap kritis kita diperlukan dalam melihat aneka bentuk pewartaan yang menuntut seseorang untuk berbuat ini dan itu atau mendapat celaka bila tidak melakukannya. Sebagai contohnya yaitu aneka sms berantai ataupun pesan-pesan lain yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa kita bisa selamat bila melakukan perbuatan A dan meneruskan pesan ini ke sejumlah pihak lainnya, dan akan celaka bila tidak melakukannya. Apakah ini iman kita? Apakah demikian paham Allah yang kita punya? Apakah keselamatan manusia ditentukan berdasarkan sms berantai dan tindakan murahan tersebut? Bersikap kritis dan bertanya banyak hal terhadap aneka ajaran untuk kemudian mendiskusikannya dengan pihak-pihak yang dianggap punya kompetensi, adalah tanda kedewasaan iman sehingga saya sungguh tahu apa yang saya imani. Hal itu pulalah yang dikatakan Petrus dalam kisah kemuridannya, Kami percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah (Yoh 6:69). Sebaliknya, sangatlah disayangkan sikap kekurang ingin tahuan dari sejumlah umat, yang merasa cukup saja dengan berdoa, sehingga dapat timbul bahwa pada saatnya ketika iman itu mulai goyah, ia tidak lagi berjuang untuk mempertahankannya. Akhirnya harus dikatakan bahwa dalam perjumpaan Allah-manusia, yang

    diistilahkan sebagai peristiwa Wahyu dan Iman, terjadi relasi dan kerjasama dari kedua belah pihak. Dari Allah: Ia berinisiatif untuk menyapa manusia, memberikan daya Roh KudusNya sehingga kita bisa mengenal Dia, dan hadir selalu beserta kita dalam setiap pergulatan hidup yang kita alami. Sedangkan dari pihak kita sebagai manusia, kita bukan tidak bekerja sama sekali bagaikan wayang di tangan para dalang. Namun kita pun ikut berpartisipasi, yaitu: menanggapi pemberian Allah itu dengan tindakan percaya, mewujudkannya dalam perbuatan, dan senantiasa mau berjuang dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa memang Allah yang kita imani bukanlah Allah yang jauh dan tak terjangkau manusia, melainkan sungguh dekat dengan hidup kita. Dialah Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia.

  • 18

    Bagian tiga Menghayati Kekristenan Kita

    (Katolisitas kaum muda dan tantangan zamannya)

    Bagaimana perkembangan teknologi informasi dewasa ini?

    Hakekat orang kristiani (Menjadi murid/pengikut Yesus Kristus, Baptis sebagai pertobatan, pembersihan dan peresmian menjadi murid Yesus Kristus.

    Baptis berarti menjadi ahli waris Kerajaan Allah dan sekaligus penyaksi dan pewarta Kerajaan Allah).

    Yesus Kristus dan warta Kerajaan Allah

    Siapa Yesus Kristus? Bagaimana situasi hidup Yesus? Apa yang diwartakan? Paguyuban Gereja Katolik yang apostolik (Gereja adalah Umat Allah, Umat Allah

    mendapat rahmat keselamatan dan penerus/pembagi/pelaksana keselamatan. Gereja Paguyuban murid-murid Yesus Kristus (Kis 2:42-47). Gereja Katolik sebagai kelanjutan Gereja Para Rasul.

    Gereja sebagai paguyuban mistik Gereja bukanlah sekadar kelompok orang yang sudah dibaptis dan menjadi Katolik. Namun lebih merupakan paguyuban orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Yesus. Gereja sebagai Paguyuban Mistik tampak dari kedekatan antara kehidupan para rasul dengan Yesus sendiri. Yesus melibatkan para murid-Nya mengambil bagian dan tinggal dalam kehidupan-Nya. Ambil bagian dalam perutusan, kegembiraan dan dalam kesengsaraan-Nya. Nilai mistik Gereja terletak pada sisi kedalaman relasi dengan Allah. Kehadiran Gereja menjadi tanda kehadiran Allah sendiri di tengah kehidupan masyarakat.

    Membangun Gereja sebagai paguyuban mistik Membangun relasi yang lebih akrab dan mendalam dengan Allah. Menanggapi segala perkembangan zaman dengan terang Injil dan turut menata

    segala kemajuan untuk keselamatan manusia. Menghadirkan Kristus yang membawa budaya kasih, budaya kerukunan, budaya

    kesederhanaan dan budaya hidup serta mengusahakan terwujudnya kedamaian dan keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

    Kaum muda merupakan bagian dari Gereja sebagai paguyuban mistik. Bila demikian, maka kaum muda juga mendapat undangan untuk menjadi tanda kehadiran Allah. Pada kenyataannya, dunia zaman ini sudah ditandai pesatnya perkembangan dunia digital. Dunia ini tanpa sadar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari hidup

    kaum muda dan menyusupi segala sudut kehidupan hariannya.

  • 19

    Di samping itu, zaman digital amat menggugah kebutuhan dasar manusia akan koneksi dan

    relasi. Sangat didengungkan kesadaran bahwa manusia tidak bisa mengurung diri menjadi

    sebuah pulau yang terisolasi. Namun, seperti masih akan diuraikan di bawah nanti, relasi-

    relasi yang ditawarkan di sini cenderung bercorak instan, tanpa proses, dangkal dan tanpa

    disertai komitmen apapun. Orang menikmati ketersambungan dengan sesamanya secara

    cepat dan sesaat, namun tidak melangkah lebih jauh dari sekedar mencari tanggapan atas

    pernyataan atau statusnya tanpa kesungguhan. Semua ini mengisyaratkan akan suatu

    tawaran relasi yang jauh lebih otentik, yang lebih abadi, disertai suatu komitmen yang

    mengubah dan memperbaharui kehidupan, yang datang dari Allah sendiri.

    Dengan mencoba menghayati sikap-sikap beriman di tengah dunia digital ini, terbuka juga

    peluang bagi orang kristiani untuk menyingkap lebih dalam lagi isi iman kepercayaannya

    (fides quae), justru dalam mengamati macam-macam gejala dalam budaya digital ini. Misalnya: digitalisasi ternyata merambah ke hampir seluruh kehidupan kita; kehilangan

    handphone lebih membingungkan daripada kehilangan Kitab Suci. Dari pagi sampai

    malam orang tidak bisa lepas dari aneka keterlibatan gadget digital. Apakah ini semua

    tidak mengisyaratkan suatu kehadiran yang jauh lebih menyeluruh, yaitu kehadiran Allah

    dalam hidup kita? Allah adalah dasar dari segala sesuatu yang ada, Dialah Pencipta langit

    dan bumi. Contoh lain: lewat internet kita mendapatkan banyak sekali informasi berupa

    gambar dan cerita. Bahasa internet tidak sama dengan bahasa budaya cetak; bahasa internet

    adalah bahasa stimulasi audio-visual. Tidakkah ini mengingatkan orang akan cara Yesus

    berkisah mengenai Kerajaan Allah tatkala Dia berkeliling di Palestina 2000 tahun yang

    silam? Banyak hal tentang Allah dan Kerajaan-Nya hanya bisa disampaikan dalam bahasa

    gambaran. Bila sekarang justru bahasa itulah yang lebih dipergunakan dalam komunikasi

    virtual, bukankah itu membuka jalan untuk lebih bercerita mengenai cinta Allah?

    Prinsip merasul dalam zaman digital tidaklah berbeda dengan prinsip kerasulan dalam

    zaman-zaman sebelumnya: Apa yang sudah kita alami sebagai keselamatan dan makna

    sejati kehidupan, kita bagikan kepada sesama. Menemui macam-macam orang, termasuk

    yang paling jauh dan paling berbeda, menjumpai mereka dalam lubuk dambaan mereka

    yang terdalam akan kebahagiaan, akan makna kehidupan, akan pencerahan hidup, akan

    persahabatan dan cinta, akan penerimaan dan pengakuan martabat, akan kekeluargaan dan

    persaudaraan, dan selanjutnya. Dalam titik-titik kehidupan ini nama Yesus Penyelamat

    diwartakan, dikisahkan, disharingkan, dipertemukan, dipersaksikan sebagai yang

    memenuhi dambaan-dambaan tersebut. Seperti halnya ini semua telah terjadi selama ini,

    demikian pula halnya dengan merasul dalam zaman internet dan digital. Hanya saja, dalam

    zaman digital ini dambaan-dambaan tersebut perlu dicari dan dipertemukan dalam macam-

    macam cara orang terhubung satu sama lain di dunia virtual, begitu pula kesaksian akan

    Kabar Gembira disampaikan lewat dan bahasa komunikasi digital dengan segala

    karakteristik yang telah disebut di atas: langsung, bahasa gambar, demokratis, dalam

    kompetisi dengan ide-ide lain dunia ini. Kalau sungguh mau memberi kesaksian Kabar

    Gembira, kejujuran dan ketulusan amat dibutuhkan, mengingat bahwa di dunia maya hal

    ini mudah sekali dikompromikan.

  • 20

    Sekarang ini di dunia virtual terdapat situs-situs yang mendapat kunjungan dari paling

    beraneka ragam orang, khususnya situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter atau

    YouTube. Lewat jejaring-jejaring ini, kaum muda Katolik dalam aneka cara yang kreatif

    masuk dalam dunia pergaulan virtual dengan berbekalkan integritas kristiani dipadukan

    dengan kreativitas berkomunikasi: lewat status, lewat gambar, lewat pemberitaan, lewat

    sharing hal-hal yang berguna, lewat blog pribadi dan lain sebagainya.

  • 21

    Bagian 4 Gereja dalam Dunia Modern

    A. Latar Belakang Katolisisme Pra-Vatikan I 1. Gereja pada pertengahan abad ke-20 terkepung bahaya. 2. Gereja defensif. 3. Buku-buku pengarang Katolik harus mendapatkan imprimatur (izin boleh

    terbit) dan nihil obstat (pernyataan isi buku tidak berlawanan dengan ajaran Gereja).

    4. Sejumlah sarjana Katolik dibungkam dan dilarang menulis tentang topik tertentu. Ketakutan terhadap modernisme.

    5. Secara Liturgi, imam hanya berdoa dengan menggunakan bahasa Latin dan membelakangi umat. Tidak ada dialog.

    B. Arus Pembaruan:

    - Gerakan kembali ke sumber (Kitab Suci, Bapa-Bapa Gereja, Liturgi, dan Filsafat). - Gereja Katolik memasuki era baru ecclesia semper reformanda > Konsili Vatikan II

    1. Dari Rerum Novarum Sampai Dengan Konsili Vatikan II a. Membangun kembali tatanan sosial Ajaran Sosial Gereja dalam dunia modern berawal pada tahun 1891 ketika Paus Leo XIII dalam ensikliknya Rerum Novarum (ensiklik sosial yang pertama tentang kondisi para buruh, Paus Leo XIII, 15 Maret 1891). Paus Leo XIII menyatakan 3 faktor mendasari kehidupan ekonomi, yaitu para buruh, modal dan negara. Prinsip-prinsip yang dikemukakan adalah petunjuk-petunjuk untuk menciptakan masyarakat yang adil. Dokumen itu menjadi terkenal sebagai Magna Charta untuk membangun kembali tatanan ekonomi dan sosial. Pada tahun 1931, pada peringatan ke-40 tahun Rerum Novarum, Paus Pius XI menulis ensiklik Quadragesimo Anno. Ditengah-tengah depresi ekonomi yang memuncak, dalam ensiklik itu Pius XI menanggapi masalah-masalah ketidakadilan sosial, dan mengajak untuk mengatur kembali tatanan sosial berdasarkan arah yang telah ditunjukan oleh Paus Leo XIII. Pius XI menegaskan kembali hak dan kewajiban Gereja dalam menanggapi masalah-masalah sosial, mengecam kapitalisme dan persaingan bebas dan komunisme yang menganjurkan pertentangan klas dan pendewaan sempit pada kepemimpinan kaum buruh (kepemimpinan kediktatoran kelas buruh). Paus menegaskan perlunya tanggung jawab sosial dari milik pribadi dan hak-hak kaum buruh atas kerja, upah yang adil, serta berserikat guna melindungi hak-hak mereka. Pius XI juga mengemukakan peranan positif pemerintah dalam mengusahakan keadaan perekonomian yang baik bagi semua orang dalam

  • 22

    masyarakat. Usaha ekonomi seharusnya berdasarkan keadilan dan cinta kasih sebagai prinsip utama kehidupan sosial. Tiga puluh tahun kemudian Paus Yohanes XXIII menulis 2 ensiklik untuk menanggapi masalah-masalah pokok pada zamannya, yaitu Mater et Magistra 1961) dan Pacem in Terris (1963). Paus Yohanes menyampaikan sejumlah prinsip sebagai petunjuk bagi umat kristiani pada umumnya dan para pengambil kebijakan, policy makers, dalam menghadapi kesenjangan di antara bangsa-bangsa kaya dan miskin, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Dalam ensiklik-ensiklik itu Paus Yohanes mengemukakan dimensi global dari keadilan sosial dan memaparkan ajaran sosial Gereja.

    b. Menghadirkan Gereja yang mendunia Paus Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatikan II, Oktober 1962. Konsili ekumenis yang ke-21 inilah yang pertama kali merefleksikan Gereja yang sungguh-sungguh mendunia. Selama 3 tahun para Kardinal dan para Uskup dari berbagai benua dan hampir semua bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hakikat Gereja dan perutusannya ke dunia serta di dalam dunia. Para Bapa Konsili memberi kesaksian dari sumber langsung tentang akibat-akibat buruk sengitnya perlombaan senjata, kerusakan lingkungan, dan kesenjangan antara kaya dan miskin. Mereka juga menyadari bahwa Gereja berdasarkan perutusan yang dipercayakan Kristus kepadanya memiliki tanggung jawab yang khas untuk membentuk nilai-nilai dan lembaga-lembaga dunia. Selama Konsili Vatikan II, para Bapa Konsili mencetuskan dalam Gaudium et Spes (par. 42), bahwa perutusan khas religius Gereja memberinya tugas, terang, dan kekuatan, yang dapat membantu pembentukan dan pemantapan masyarakat manusia menurut hukum ilahi. Gereja dapat dan malah harus memulai kegiatan demi semua orang.

    2. Keadaan Gereja Sesudah Konsili Vatikan II

    a. Iman yang mewujudkan keadilan Sejak Konsili Vatikan II, pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II, Sinode Para Uskup dan konverensi-konverensi para uskup regional maupun nasional semakin mempertajam peranan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah. Kedua Paus dan para uskup itu sepenuhnya sadar bahwa mencari kehendak Allah dalam arus sejarah dunia bukanlah tugas yang sederhana. Mereka juga menyadari bahwa Gereja tidak mempunyai pemecahan yang langsung dan secara universal sahih untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat yang kompleks dan semakin mendesak. - Populorum progressio (ensiklik mengenai kemajuan bangsa-bangsa, oleh

    Paus Paulus VI, 26 Maret 1967).

  • 23

    Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, dan menunjukan dimensi struktural dari ketidakadilan. Ia menghimbau negara-negara kaya maupun miskin agar bekerja sama dalam semangat solidaritas untuk membangun tata keadilan dan memperbaharui tata dunia. Untuk meneguhkan usaha ini Paus Paulus VI mendirikan Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian.

    - Octogesima Adveniens yang ditulis Paus Paulus VI tahun 1971 untuk merayakan 80 tahun dokumen Rerum Novarum mengetengahkan bahwa kesulitan menciptakan tatanan baru melekat dalam proses pembangunan tatanan itu sendiri, sekaligus Paulus VI menegaskan peranan jemaat-jemaat kristiani dalam mengemban tanggung jawab baru ini. Terserahlah kepada jemaat-jemaat Kristiani untuk menganalisis secara objektif situasi yang khas dalam negaranya sendiri, menyinarinya dengan terang kata-kata Injil yang tak pernah berubah dan menyusun prinsip-prinsip untuk refleksi, norma-norma pertimbangan serta pegangan bertindak dari ajaran sosial Gereja (par. 4)

    Paus Paulus VI menegaskan bahwa Allah memanggil setiap orang dan jemaat kristiani untuk menjadi pendengar dan pelaksana sabda-Nya. Proses itu mencakup 3 tahap yang terpisah: Tahap 1: evaluasi dan analisis situasi yang mereka hadapi saat ini; Tahap 2: doa, penegasan dan refleksi, membawa Injil dan ajaran Gereja untuk menyoroti situasi-situasi khusus; Tahap 3: tindakan pastoral konkret yang melawan ketidakadilan dan kerja untuk mengubah dan membangun tata masyarakat baru. Dengan demikian berjuang untuk mewujudkan kerajaan Allah menjadi kenyataan.

    b. Perubahan sikap

    Konsili Vatikan II menjadi permulaan periode baru dalam kehidupan Gereja. Satu segi fundamental dari periode yang baru ini adalah perubahan sikap Gereja terhadap dunia. Philip Land, SJ menyebut 4 ciri: - Mengecam sikap apatis di bidang politik.

    Bagaimana mungkin Gereja dapat tetap tenang dan pasif melihat kekejian akibat Perang Dunia II? Para Bapa Konsili Vatikan II menyadari bahwa Gereja mempunyai tanggung jawab baik terhadap sejarah dunia sekular maupun terhadap sejarah religius.

    - Melibatkan diri dalam kegiatan memanusiawikan kehidupan. Tanggung jawab Gereja terhadap dunia, yaitu dunia yang diciptakan Allah dan di mana Yesus pernah hidup. Tambahan pula seperti ditegaskan oleh para Bapa Konsili dan dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens, 1981, masyarakat ikut serta merealisasikan bahwa manusia dapat dengan benar berpandangan bahwa dengan kerja dia memperkembangkan karya Allah dan memberi sumbangan bagi terwujudnya rencana penyelamatan Allah dalam sejarah.

    - Melibatkan diri dalam mengusahakan keadilan dunia.

  • 24

    Dalam Iustitia in Mundo (Keadilan dalam Dunia, sinode 6 November 1971) para Uskup mendesak agar keadilan diusahakan di berbagai lapisan masyarakat, terutama diantara bangsa-bangsa kaya dan kuat, serta bangsa-bangsa yang miskin dan lemah.

    - Memilih memihak kaum miskin Gereja memahami bahwa Kristus menyamakan diri-Nya dengan kaum miskin. Dalam membaca tanda-tanda zaman, orang-orang kristiani melihat wajah Allah terutama dalam wajah-wajah mereka yang menderita dan sengsara. Akibatnya kesetiaan kepada Kristus menuntut identifikasi dan memihak kaum miskin. Keyakinan ini menjadi prioritas bagi Gereja dalam refleksi teologis dan karya pastoralnya.

    C. Dasar-dasar Keprihatinan Gereja a. Rerum Novarum tentang pelbagai perubahan revolusioner yang tidak hanya

    melanda kehidupan politik, tetapi juga melanda praktek ekonomi. b. Quadragessimo Anno tentang Gereja yang tidak hanya bertugas untuk

    membimbing manusia hanya ke arah kebahagiaan yang bersifat fana dan sementara, tetapi juga ke arah kebahagiaan yang abadi . (QA 41).

    c. Paus Yohanes XXIII melalui Ensikliknya Mater et Magistra menegaskan bahwa hukum cinta merupakan dasar kompetensi Gereja dalam urusan permasalahan sosial yang sedang dihadapi oleh umat manusia. Menurutnya, cinta kasih merupakan ikhtisar seluruh Ajaran Sosial dan segenap kegiatan sosial Gereja yang prihatin atas permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.

    Erat terkait dengan dasar keprihatinan Gereja adalah:

    a. Prinsip Solidaritas Prinsip solidaritas sebagai keterlibatan demi kesejahteraan bersama adalah pesan pokok ensiklik Sollicitudo Ret Socialis. Dalam ensiklik ini solidaritas dirumuskan sebagai tekad untuk tetap dan kontinu berkarya demi kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan bagi semua dan setiap orang karena kita bertanggung jawab atas semuanya. Disini terkandung makna saling ketergantungan dalam kehidupan dunia modern ini, dalam arti sebagai suatu sistem yang ditandai dengan pelbagai hubungan yang diterima sebagai suatu kategori moral yang mengandung unsur unsur ekonomi kultur politis dan religius . Manakala saling ketergantungan ini dipandang sebagai suatu sikap moral dan sosial itulah solidaritas. (SRS 38).

    b. Prinsip Subsidiaritas Prinsip subsidiaritas menjelaskan bahwa apa saja yang dapat dilaksanakan oleh orang perorangan atas prakarsa dan tenaga sendiri sekali-sekali tak boleh dirampas dari padanya lalu diserahkan kepada masyarakat. Tidaklah adil jika sesuatu yang dapat dikerjakan serta diusahakan oleh kelompok yang lebih kecil dan bawahan itu dirampas oleh kelompok yang lebih besar dan lebih tinggi posisinya. Hal ini akan mendatangkan ketidakadilan dan merupakan sumber

  • 25

    kekacauan sosial. Menurut maknanya setiap usaha masyarakat itu bersifat subsidier artinya usaha anggota masyarakat itu harus senantiasa ditolong dan bukan dimusnahkan atau dirampas. Atas dasar itu otoritas publik haruslah menyerahkan pelaksanaan urusan urusan yang terlampau banyak menyita perhatiannya kepada aparat bawahan. Dengan demikian negara akan dapat lebih leluasa untuk menjalankan tugas-tugasnya yang hanya boleh dilakukannya secara khusus (QA 79-80 MM 54).

    3. Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja

    a. Setiap pribadi manusia itu adalah dasar, sebab, dan tujuan yang terutama dari segala lembaga sosial (MM 219). Dari prinsip yang mendasar ini, yang mempermaklumkan dan mempertahankan martabat pribadi manusia ini, Keterlibatan Sosial Gereja dikembangkan sedemikian rupa dalam rangka mengatur hubungan yang saling menguntungkan (mutual relationship) di antara manusia.

    b. Dalam ensiklik Mater et Magistra (MM), Paus Yohanes XXIII secara eksplisit

    menyebut cinta kasih sebagai motivasi Keterlibatan Sosial Gereja (MM 6). Pernyataan ini dikuatkan oleh Konsili Vatikan II. Melalui konstitusi pastoral Gaudium et Spes, Konsili melihat kaum beriman maupun kaum tak beriman hampir sependapat bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya (GS 12).

    E. Kesejahteraan bersama (Bonum Commune)

    Dalam Mater et Magistra, kesejahteraan bersama adalah seluruh persyaratan yang diperlukan oleh kehidupan sosial yang memungkinkan manusia untuk menyempurnakan dirinya secara sepenuhnya dan seutuhnya. Kesejahteraan bersama ini harus sepenuhnya disadari makna dan eksistensinya serta ditanggapi secara positif oleh setiap otoritas publik (MM 66). Aspek esensi kesejahteraan bersama itu karakteristik etnik yang membedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Akan tetapi aspek ini bukanlah segalanya. Hal ini mengingat bahwa kesejahteraan bersama itu erat sekali hubungannya dengan kodrat manusia, yang tidak lain adalah pribadi manusia. Kesejahteraan bersama baru akan tereksa dengan sepenuhnya jika dengan memperhitungkan pribadi manusia ini sebagai hakikatnya yang esensial dan sebagai tujuan relaisasinya (PT 55).

    F. Panggilan sebagai Umat Kristiani

    1. Tugas Umat Kristiani Paus Yohanes XXIII menekankan bahwa orang Katolik hendaknya merasa wajib untuk menyempurnakan lembaga-lembaga duniawi serta lingkungan mereka masing-masing. Mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegah jangan sampai lembaga-lembaga itu memperkosa martabat kemanusiaan. Mereka mendorong segala hal yang mengantar manusia kepada ketulusan dan

  • 26

    keutamaan dan menyingkirkan rintangan yang menghalangi tercapainya tujuan itu (MM 179, PT 146-147). Paus juga menunjukkan penghargaan dan dukungannya atas karya umat Katolik di pelbagai negeri (MM 182-183). Hal ini sekaligus menjadi bukti vitalitas Gereja dalam reksa kemajuan dan peradaban (MM 184). 2. Keterlibatan Sosial Gereja Paus Yohanes XXIII menekankan bahwa Keterlibatan Sosial Gereja itu merupakan dimensi integral pemahaman Kristiani tentang kehidupan ( MM 222). Tidak ada pendidikan Kristiani yang dapat dipandang lengkap selama belum meliputi segala kewajiban. Pendidikan harus bertujuan untuk menanam dan memupuk kesadaran umat akan tugas mereka menjalankan kegiatan mereka di bidang ekonomi dan sosial secara Kristiani (MM 228). Para uskup bahkan menyatakan bahwa Keterlibatan Sosial Katolik yang tidak lain adalah prinsip-prinsip dasar Injil yang diterapkan secara konkrit merupakan sumber utama bagi pendidikan tentang keadilan (IM 56).