Masalah Kesehatan Dan Kebijakan Kesehatan Di Indonesia Pada Agregat Ibu
-
Upload
indah-lindiana-dewi-retha -
Category
Documents
-
view
369 -
download
5
Transcript of Masalah Kesehatan Dan Kebijakan Kesehatan Di Indonesia Pada Agregat Ibu
masalah Kesehatan dan Kebijakan Kesehatan di Indonesia pada Agregat ibu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan penduduk yang masih
perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari semua pihak antara lain: anemia pada ibu
hamil, kekurangan kalori dan protein pada bayi dan anak-anak, terutama di daerah endemic,
kekurangan vitamin A pada anak, anemia pada kelompok mahasiswa, anak-anak usia sekolah,
serta bagaimana mempertahankan dan meningkatkan cakupan imunisasi. Permasalahan tersebut
harus ditangani secara sungguh-sungguh karena dampaknya akan mempengaruhi kualitas bahan
baku sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang.
Salah satu ukuran untuk menggambarkan pencapaian hasil pembangunan suatu negara
termasuk pembangunan bidang kesehatan digunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Beberapa indikator IPM adalah kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Salah satu indikator
kesehatan adalah umur harapan hidup sebagai ukuran pencapaian derajat kesehatan masyarakat.
IPM negara Indonesia berada di peringkat 108 dari 177 negara di dunia, lebih rendah dari
negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand.
Komposisi penduduk Indonesia menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk
yag berusia muda (0-14 tahun) sebesar 29,30%, usia produktif (15-64 tahun) sebesar 65,05 %
dan usia lanjut (> 65 tahun) sebesar 5,65%. Dengan beban Tanggungan (Dependency Ratio)
penduduk Indonesia pada tahun 2007 sebesar 53,73 %. Angka ini mengalami kenaikan
dibandingkan tahun 2006 sebesar 49,90%.
Angka kematian Ibu/maternal bersama dengan Angka kematian Bayi senantiasa menjadi
indikator keberhasilan sektor pembangunan kesehatan . AKI (Angka Kematian Ibu) mengacu
kepada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan dan nifas. Hasil
survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI tahun 2007
sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini dibandingkan AKI tahun 2002 sebesar 307
per 100.000 kelahiran hidup.
Upaya pencapaian MDG 4 untuk mengurangi tingkat kematian anak dan MDG 5 untuk
meningkatkan kesehatan ibu di Indonesia sampai saat ini masih berat. Banyak hambatan baik
dari segi teknis program maupun dari faktor pembiayaan kesehatan yang mempengaruhi upaya-
upaya yang telah dan sedang dilakukan. Sistem desentralisasi kesehatan yang telah diterapkan
selama bertahun-tahun memberi kesempatan daerah untuk lebih berperan dalam merencanakan
dan melaksanakan program kesehatan khususnya untuk kesehatan ibu dan anak, namun di dalam
pelaksanaannya banyak menghadapi kendala.
Saat ini telah dilakukan analisis mengenai hambatan dan sumbatan (bottleneck) pada
sistem perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah. Telah dilakukan pula
berbagai diskusi dan pengamatan tentang pendanaan kesehatan ibu dari pemerintah pusat selama
beberapa tahun terkahir. Hasilnya adalah ada berbagai hambatan dan sumbatan dalam peraturan,
sistem penyaluran, dan aspek politik. Akibatnya dana pemerintah pusat tidak mampu secara
efektif menjangkau yang membutuhkan.
Untuk mengatasi hambatan dan sumbatan yang ada dalam upaya pencapaian MDG 4 dan
5 baik dari segi teknis program maupun pembiayaan, diperlukan perbaikan sistem penganggaran
dan penyaluran anggaran pemerintah. Dalam proses penganggaran dan penyaluran anggaran
untuk KIA saat ini, masih belum banyak peranan LSM dan universitas. Aktor-aktor pelaku lebih
banyak pada Kementrian (Kesehatan dan Keuangan), DPR, dan Bappenas. Secara konkrit, belum
ada semacam Watch Group untuk penganggaran dan penyaluran dana pemerintah untuk KIA.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan?
2. Masalah apa saja yang terjadi pada agregat ibu di indonesia?
3. Kebijakan – kebijakan kesehatan apa saja yg dilakukan untuk agregat ibu di indonesia?
4. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi masalah kesehatan?
5. Upaya kebijakan kesehatan reproduksi apa saja yg ada di indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian kebijakan kesehatan.
2. Mengetahui masalah kesehatan pada agregat ibu di indonesia
3. Mengetahui kebijakan-kebijakan kesehatan pada agregat ibu di indonesia
4. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
5. Mengetahui kebijakan kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Kebijakan
Kebijakan merupakan aturan tertulis yang dimana merupakan keputusan formal
organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan
tatanilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi
atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving
dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih bersifat
adaptif dan intepratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak
boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal
yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diintepretasikan sesuai kondisi spesifik yang
ada.
Kebijakan merupakan Praktik pemerintahan yang ditujukan dan diarahkan untuk
kepentingan seluruh interaksi sosial seperti kebijakan pertahanan nasional, kebijakan di bidang
lingkungan, kebijakan di bidang ekonomi, dan kebijakan di bidang kesehatan. Sedangkan
Kebijakan publik adalah Sekumpulan rencana kegiatan yang dimaksudkan untuk memberi efek
perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dimana hasil-hasil keputusan
yang diambil oleh pelaku-pelaku tertentu untuk tujuan-tujuan publik atau produk akhir setiap
pemerintahan dalam arti merupakan suatu kesepakatan terakhir antara eksekutif dengan legislatif
(wakil rakyat) dimana hasil keputusan-keputusan eksekutif sebagai respons terhadap
lingkungannya dan dipercayai akan bermanfaat pada perbaikan kondisi sosio-eknomis
masyarakat serta disepakati atau disetujui oleh legislative.
Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres,
(4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang
dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan.
Contoh di atas juga memberi pengetahuan pada kita semua bahwa ruang lingkup kebijakan dapat
bersifat makro, meso, dan mikro.
Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk
menciptakan, menerapkan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan substansi kebijakan.
Proses analisis kebijakan terdiri atas tiga tahap utama yang saling terkait, yang secara bersama-
sama membentuk siklus aktivitas yang komplek dan tidak linear.
2.2 Masalah – masalah Kesehatan Pada Agregat Ibu
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di
Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood
yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama pada masa
kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal
care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta berbagai
kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai
hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara
rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan
menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.
Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat
dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132
ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang
pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan
akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di
daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak
khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-
turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat
melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi.
Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi
dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak
heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Dari data SKRT 1986 terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar
73,7%, dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada
tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita
hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9
bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil
pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar
sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi
yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si
bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-
lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama
masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil
karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan
kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya
faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi
keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk
menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga
tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek
persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996)
menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi"
(membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok"
(memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda"
(setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama
berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena
beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu
dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40
hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada.
Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu
masih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong
persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis,
penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia
(keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional
dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak
hanya karena penanganan yang kurang baik tetapi juga karena ada faktor keterlambatan
pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan
terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih
tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis
yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat
menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-
nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil.
Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan
tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala
ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya
yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan
kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu
keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir
yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada
masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh
dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut
perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
Ramu-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan
darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan kesehatan terkatit dengan agregat ibu di
Indonesia, antara lain :
Masih tingginya angka kematian ibu, akibat perdarahan persalinan
Kurangnya pendidikan dan rendahnya informasi tentang kehamilan dan persalinan
Faktor ekonomi, sehingga masih banyak ibu yang melahirkan di dukun, karena mahalnya
biaya persalinan di rumah sakit
Faktor geografis, yaitu jauhnya layanan kesehatan, sehingga ibu dan keluarga terlambat
mendapatkan penganan yang tepat
Faktor budaya,nilai dan kepercayaan, yaitu adanya keyakinan terhadap mitos-mitos
tertentu, seperti seorang ibu hamil tidak boleh makan terlalu banyak dan ibu postpartum
tidak boleh makan telur, daging, dll.
2.3 Kebijakan – kebijakan Kesehatan Pada Agregat Ibu
Kebijakan di bidang kesehatan merupakan Tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk
menyelamatkan dan meningkatkan kesehatan serta memberikan pelayanan kesehatan pada
masyarakat. Adapun kebijakan yang di berikan yaitu:
1. Kepmenkes RI 450/MENKES/SK/IV 2004 tentang pemberian ASI secara eklusif bagi bayi di
Indonesia sejak lahir sampai usia 6 bulan dan dianjurkan sampai anak berusia 2 tahun.
Yaitu dengan pemberian makanan tambahan yg sesuai dan semua tenaga kesehatan yang
bekerja disarana kesehatan agar menginformasikan kepada semua ibu melahirkan agar
memberikan ASI eklusive dengan mengacu pada 10 langkah keberhasilan menyusui.
2. Target MDG4 adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi menjadi 2/3 dalam kurun
waktu 1990 – 2015.
Penyebab utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%
kematian balita didasari oleh kurang gizi. Pemberian ASI secara eklusif selama 6 bulan dan
diteruskan sampai usia 2 tahun disamping pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI)
secara adekuat terbukti merupakan salah satu intervensi efektif dapat menurunkan AKB.
3. UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, terutama dalam Bab V. Perlindungan kesehatan
reproduksi sebagai pencegahan penyakit infeksi menular pada ibu dan anak.
Visi dan Misi Departemen Kesehatan yaitu meningkatnya akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka untuk mencapai upaya tersebut adalah :
1. Pelayanan Kesehatan Dasar yang terdiri dari :
a. Pelayanan Kesehatan ibu dan anak :
Kebijakan tentang KIA secara khusus berhubungan dengan pelayanan antenatal,
persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di semua fasilitas
kesehatan, dari posyandu sampai rumah sakit pemerintah maupun fasilitas kesehatan
swasta.
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional
(dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat) seperti
pengukuran berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri, imunisasi
Tetanus Toxoid (TT) serta pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama masa
kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada
kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan
pelayanan ibu hamil K1 dan K4.
b. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi Kebidanan. Komplikasi
dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa di
sekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70,62 % - 77,21 %.
c. Deteksi Resiko, Rujukan Kasus Resti dan Penanganan Komplikasi.
Kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan perlu
lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Deteksi risiko
oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 sebesar 46,17% sedangkan deteksi risiko oleh
masyarakat (kader, tokoh masyarakat,dll) sebesar 22,08%.
Resti komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung
menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Resti/komplikasi kandungan
meliputi Hb < > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedeme nyata, ekslampsia,
perdarahan pervaginam, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan > 32
minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur.
2. Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
Masa subur seorang wanita memiliki peranan penting bagi terjadinya kehamilan
sehingga peluang wanita melahirkan menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian, usia
subur seorang wanita terjadi antara usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah
kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/ pasangan lebih diprioritaskan untuk
menggunakan alat/cara KB.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, persentase wanita berumur
10 tahun keatas yang pernah kawin dengan jumlah anak yang dilahirkan hidup terbesar
adalah 2 orang (23,02%), 1orang (19,52%) dan 3 orang (17,11%). Sedangkan rata-rata
jumlah anak lahir hidup per wanita usia 15-19 tahun adalah 1,79 untuk daerah perkotaan dan
1,98 di pedesaan.
3. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi 0-1 tahun
(BCG,DPT, Campak, Polio, HB), imunisasi untuk wanita usia subur/ibu hamil TT dan
imunisasi untuk anak SD (kelas 1; DT dan kelas 2-3; TT), sedangkan kegiatan imunisasi
tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah seperti desa non UCI, potensial/resti
KLB, ditemukan/diduga adanya virus polio liar atau kegiatan lainnya berdasarkan kebijakan
teknis.
Pencapaian UCI pada dasarnya merupakan proksi terhadap cakupan atas imunisasi
secara lengkap pada kelompok bayi. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu
wilayah tertentu, berarti eilayah tersebut tergambarkan besarnya tingkat kekebalan
masyarakat atau bayi (herd immunity) terhadap penularan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD31). Dalam hal ini pemerintah menargetkan pencapaian UCI pada
wilayah administrasi desa dan kelurahan. Pencapaian UCI pada tahun 2007 sebesar 71,18 %
dengan target nasional UCI 80%.
Adapun Program-program kebijakan pemerintah terhadap kesehatan ibu dan anak di Indonesia
yang sedang berlangsung diantara meliputi :
1. Perawatan Penyakit Anak yang Terpadu (IMCI)
2. Rencana Kesehatan Remaja Nasional
3. kebijakan dan rencana untuk mencegah malaria dalam kehamilan dan malaria
bawaan, penularan vertikal HIV dan syphilis dalam kehamilan
4. Making Pregnancy Safer
5. Peningkatan kesadaran akan HIV/AIDS
2.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi kemunduran pelaksanaan kebijakan:
1. Pemda, Dinkes
Tidak semua pemda menindaklanjuti secara kongkrit peraturan tentang pemberian ASI
eklusif melalui 10 langkah keberhasilan menyusui, misalkan dalam perda (termasuk
reward dan sangsi bagi yang melaksanakannya), penganggaran dalam APBD misalnya
untuk pelatihan-pelatihan untuk petugas kesehatan dan promosi.
2. Petugas kesehatan (bidan, perawat, dokter)
Masih banyak petugas kesehatan yang belum menjalankan kebijakan ini. Petugas
kesehatan sangat berperan dalam keberhasilan proses menyusui, dengan cara memberikan
konseling tentang ASI sejak kehamilan, melaksanakan inisiasi menyusui dini (IMD) pada
saat persalinan dan mendukung pemberian ASI dengan 10 langkah kebehasilan
menyusui. Beberapa hambatan kurang berperannya petugas kesehatan dalam
menjalankan kewajibannya dalam kontek ASI ekslusif lebih banyak karena kurang
termotivasinya petugas untuk menjalankan peran mereka disamping pengetahuan
konseling ASI yang masih kurang.
3. Promosi produsen susu formula.
Meskipun sudah ada peraturan dan kode etik tentang pemasaran susu formula, tetapi
dalam pelaksanaanya masih ada produsen yang tidak melaksanakan secara benar.
Gencarnya promosi produsen susu formula baik untuk publik maupun untuk petugas
kesehatan (dengan memberikan bantuan untuk kegiatan ilmiah) menghambat pemberian
ASI ekslusif.
4. Ibu bekerja.
Dengan semakin banyaknya prosentasi ibu menyususi yang bekerja akan menghambat
praktek pemberian ASI ekslusif. Meskipun sudah ada SKB bersama 3 menteri tentang
hak ibu bekerja yang menyusui dalam prakteknya tidak semua tempat kerja mendukung
praktek pemberian ASI
5. Ibu dengan HIV positif.
Pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif didasarkan kalkulasi antara kerugian dan
manfaat penghentian atau melanjutkan pemberian ASI, yaitu kemungkinan anak tertular/
terinfeksi virus HIV dari ASI dan kerugian akibat anak tidak mendapat ASI syang
berakibat meningkatkan risiko terjadinya diare, pneumonia, kurang gizi dan infeksi lain.
Sebelumnya WHO merekomendasikan salah satu cara dalam Preventive mother to child
transmission (PMCT) adalah menghentikan pemberian ASI kecuali bila susu formula
tidak memenuhi syarat affordable, accessabel, safety, sustainable (AFASS). Penelitian
terbaru membuktikan bahwa pemberian ARV pada ibu hamil lebih awal dan dilanjutkan
selama menyusui terbukti dapat mencegah transmisi virus HIV melalui ASI, sehingga
WHO (2009) merekomendasikan pemberian ASI pada ibu yang telah yang telah
mendapat ARV profilaksi.
6. Kondisi darurat misalnya bencana.
Pada kondisi yang darurat pemberian ASI menjadi lebih penting karena sangat
terbatasnya sarana untuk penyiapan susu formula, seperti air bersih, bahan bakar dan
kesinambungan ketersediaan susu formula dalam jumlah yang memadai. Pemberian susu
formula akan meningkatkan risiko terjadinya diare, kekurangan gizi dan kematian bayi.
Bila mendapat sumbangan susu formula, maka distribusi maupun penggunaannya harus
di monitor oleh tenaga yang terlatih, dan hanya boleh diberikan pada keadaan sangat
terbatas, yaitu: telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui dari ibu, dan relaktasi
tidak memungkinkan, diberikan hanya kepada anak yang tidak dapat menyusu, misalnya:
anak piatu, bagi bayi piatu dan bayi yang ibunya tidak lagi bisa menyusui, persediaan
susu formula harus dijamin selama bayi membutuhkannya, dan harus diberikan konseling
pada ibu tentang penyiapan dan pemberian susu formula yang aman, dan tidak boleh
dengan menggunakan dot. Belajar dari pengalaman tsunami di Aceh dan gempa di DIY,
bantuan susu formula menyebabkan turunnya pencapaian ASI eklusif.
2.5 Upaya Kebijakan dan Strategi Nasional dalam Kesehatan Reproduksi di Indonesia
Dalam rangka mencapai tujuan kesehatan reproduksi perlu disusun kebijakan dan strategi
umum yang dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen kesehatan reproduksi di
Indonesia. Upaya penanganan kesehatan reproduksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan
nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk
peningkatan kualitas hidup manusia.
2.5.1 Upaya Kebijakan Umum
1. Menempatkan upaya kesehatan reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan Nasional.
2. Melaksanakan percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak reproduksi ke seluruh
Indonesia.
3. Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui pendekatan siklus
hidup.
4. Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi.
5. Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin.
2.5.2 Upaya Strategi Umum
1. Menempatkan dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reproduksi (KKR) pada tingkat Menteri
Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan kabupaten/kota.
2. Mengupayakan terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi.
3. Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan komitmen politis di semua tingkat.
4. Mengupayakan kecukupan anggaran dana pelaksanaan kesehatan reproduksi.
5. Masing-masing penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan reproduksi sesuai
ruang lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor terkait, organisasi profesi dan LSM.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum
(Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih bersifat adaptif dan intepratatif, meskipun
kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan
dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus
memberi peluang diintepretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk
menciptakan, menerapkan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan substansi kebijakan.
Proses analisis kebijakan terdiri atas tiga tahap utama yang saling terkait, yang secara bersama-
sama membentuk siklus aktivitas yang komplek dan tidak linear.
http://rhizaners.blogspot.com/2011/05/masalah-kesehatan-dan-kebijakan.html