MANUSIA YADNYA

download MANUSIA YADNYA

of 10

Transcript of MANUSIA YADNYA

Manusia yadnya 1. Tujuan Upacara Manusia YadnyaManusia yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara serta membersihkan lahir batin manusia sejak terjadi pembuahan di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Bagi mereka yang sudah tinggi kekuatan bathinya pembersihan itu dapat dilakukan sendiri, yaitu dengan melakukan yoga semadi yang tekun dan disiplin. Sebaliknya mereka yang merasa belum mampu melaksanakan hal tersebut akan memerlukan alat serta bantuan orang lain, misalnya melaksanakan upacara yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan upakara (banten), besar atau kecil disesuaikan dengan keadaan. Pembersihan lahir bathin manusia selama hidupnya dianggap perlu agar dapat menerima ilham/petunjuk suci dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga selama hidupnya tidak menempuh jalan yang sesat, melainkan dapat berfikir, berbicara dan berbuat yang benar, dan akhirnya setelah meninggal Roh/Atmanya menjadi suci bias bersatu kembali kehadapan Tuhan, setidak-tidaknya mendapat tempat di sisi-NYA. Seperti diketahui, salah satu kepercayaan agama Hindu adalah menejlma kembali (reinkarnasi). Waktu menjelma kembali akan dibawa akibat (baik-buruk) perbuatan semasa hidupnya yang lampau, disebut karma pala. Demikianlah menjelma kembali merupakan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, keburukan yang telah lampau dan akhirnya dapat mencapai kesempurnaan hidup, tidak menjelma lagi, disebut moksah. Unsur pembersihan dalam upacara Manusia Yadnya dapat dilihat dengan jelas karena adanya tirtha (air suci), misalnya tirtha-pebersihan, pengelukatan dan sejenis. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa tirtha adalah air yang telah dipujai, dibuat oleh sulinggih atau pimpinan upacara. Beliau dianggap suci karena telah melaksanakan upacara penyucian yang khusus, disebut mewinten, medwijati atau yang setingkat. Disamping itu selama hidupnya berbudi luhur, jujur, berpengetahuan (bisa membaca dan menulis), bijaksana dapat mentaati sesana yaitu peraturan serta pantangan yang telah ditetapkan. Perlunya penyucian dalam hidup manusia disebutkan dalam beberapa kitab suci. Dalam sumber tersebut dinyatakan pula adanya upacara Jatakrama (bayi lahir), namadeya (pemberian nama) dan upacara-upacara seperti yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali serta daerah lainnya. Pada dasarnya upacara tersebut dapat dibagi dua yaitu : a. Upacara penyucian terhadap hal yang kurang baik disebabkan oleh orang tua (ayah-ibu). Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara penyucian selama dalam kandungan, kelahiran bayi, pemberian nama, gelang serta perhiasan dan upacara lain sampai pada pengguntingan rambut pertama.

b. Upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik disebabkan oleh diri sendiri semasa hidup yang lampau ataupun sekarang. Yang tergolong dalam upacara ini adalah : peringatan hari kelahiran, meningkat dewasa, potong gigi dan perkawinan. 2. Rangkaian Upacara Manusia Yadnya Bila diperhatikan pelaksanaan upacara-upacara tersebut terutama di Bali, ada 4 rangkaian acara, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, menjadi satu kesatuan. Acara yang dimaksud : a. Mabyakala (Mabyakaonan). Sebenarnya acara ini tidak hanya dilaksanakan dalam upacara Manusia Yadnya melainkan juga dalam upacara Panca Yadnya sebagai pendahuluan dan bertujuan memberikan korban, memisahkan Bhuta Kala (unsur kekuatan alam) yang tidak sepatutnya berada pada tempat upacara. Setelah menerima korban berupa sesajen/banten, diharapkan agar pergi meninggalkan tempat atau orang yang akan diupacarai, tidak mengganggu tetapi sebaliknya memberi restu dan keselamatan. Perlu diketahui bahwa pengertian mabyakala (mabyakaonan) disini bukan dalam arti mekala-kalaan sebagaimana halnya dalam upacara perkawinan. Oleh karena itu pada waktu natab/ngayab banten, tangan diarahkan kebelakang/ke samping, tetapi dalam upacara perkawinan tangan diarahkan ke dada. Biasanya acara ini dilaksanakan di halaman merajan ataupun rumah menghadap ke dalam atau orang yang menghaturkan sesajen menghadap ke pintu masuk rumah /merajan. Ada pula yang mengambil posisi menghadap ke selatan. Upakara/banten yang digunakan dinamakan byakala dilengkapi dengan prayascita. b. Melukar dan Mejaya-jaya Upacara ini bertujuan membersihkan lahir bathin seseorang secara sepiritual; lahir dibersihkan dengan air kelapa muda (kelungah), air yang telah dipujai (tirtha) sedangkan bathin dibersihkan dengan mantra (doa pejaya-jayaan). Ada tiga tingkat upakara yaitu : y Tingkat terkecil dinamakan eteh-eteh pengelukatan dalam tingkatan ini hanya menggunakan air kelungah kelapa gading, tirtha pengelukatan dan pembersihan. y Tingkatan yang lebih besar (madya), dinamakan eteh-eteh pedudusan alit; upakara ini merupakan peningkatan dari Eteh-eteh pengelukatan dan menggunakan air/tirtha seperti diatas ditambahkan air kelungah kelapa udang (merah), kelapa bulan (putih), kelapa hijau (pengganti warna hitam) serta kelapa sudamala (wiswa warna) sehingga ada lima warna kelapa (kuning, merah, putih, hijau, wiswa warna). Demikian pula halnya penggunaan tirtha ditambahkan pada catur-kumba yaitu empat buah periyuk tanah diikat dengan benang berwarna merah, putih, kuning dan

hitam; tiap periyuk menggunakan satu warna benang dan bunga didalamnya disesuaikan dengan warna benang. Upacara ini dipimpin oleh seorang sulinggih/yang sederajat dengan beliau, bertempat di Merajan/Sanggah/salah satu bangunan yang biasa untuk upacara keagamaan. c. Ngayab / Natab Upakaranya disebut banten ayaban/tataban, terdiri atas beberapa buah banten tergabung menjadi satu kesatuan/sorohan banten dan mempunyai nama tertentu. Kesatuan/sorohan banten yang umum digunakan bernama Sesayut-pengambeyan, Pulagembel/sekar-taman dan bebangkit. Dalam pelaksanaannya banten tersbut dipersembahkan kehadapan para Dewa agar berkenan menerima serta memberkahi; kemudian diayabkan kepada orang diupacarai sebagai simbul menerima berkah yang diberikan. Lebih lanjut dihadapkan pula para Dewa berkenan berada pada diri orang tersebut sesuai dengan tempatnya. Di dalam lontar Anggastiyaprana disebutkan bahwa jasmani manusia ditempati oleh kekuatan para dewa, misalnya; Hati di tempat oleh Dewa Brahma, jantung oleh Dewa Iswara, empedu, oleh Dewa Wisnu dan sebagainya. Oleh karena itu waktu natab/ngayab tangan diarahkan ke dada. Dalam hal ini beberapa banten menjadi stana para Dewa, misalnya : penyeneng ditunjukkan ke hadapan Kaki Penyeneng, Nini Penyeneng, suatu sebutan kehadapan Tuhan yang mengadakan manusia, dan ditempati oleh Dewa Brahm, Wisnu dan Iswara. Demikian pula halnya dengan banten yang lain dan dapat dilihat dalam puja pengantarnya. Perlu dikethui bahwa acara ngayab/natab merupakan puncak upacara Manusia Yadnya. d. Bersembahyang (Muspa) Acara ini ada yang dilakukan setelah mabyakala tetapi sebelum melukat/mejayajaya dan ada juga yang dilakukan setelah Natab. Dalam tulisan ini acara Muspa dibagi menjadi dua yaitu : 1) Muspa yang dilakukan setelah mebyakala (sebelum Melukat), bertujuan untuk memohon waranugraha, persaksian bahwa seseorang akan melaksanakan upacara. Persembahyangan ditujukan kehadapan Sang Hyang Siwa Raditiya (Betara Surya) sebagai saksi, kehadapan para leluhur, serta Hyang Guru Kemulan (Betara Hyang Guru), untuk memohon restunya. 2) Muspa setelah acara Ngayab yaitu sebagai acra akhir/penutupan, bertujuan menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, para Dewa (sinar suci-Nya) dan para leluhur untuk memohon berkah yang disimbulkan dengan Wangsuh-pada (air penyuci kaki-NYA) dan bija.

Pelaksanaan kedua acara ini sering digabungkan setelah Ngayab, sebagai acara penutup. Dalam tulisan ini hanya dikemukakan untuk tingkat alit (nista) dan madya, yang bersumber pada Lontar Kuno Dresthi, Eka Pertama/Manarawati serta kebiasaan yang banyak berlaku di beberapa tempat (di Bali).

BEBERAPA UPACARA MANUSIA YADNYA Upacara Pagedong-gedongan Upacara ini terutama ditujukan kepada janin (si bayi yang ada dalam kandungan) dan merupakan upacara Manusa Yadnya pertama sejak menjadi manusia. Oleh karena itu dilaksanakan setelah kehamilan berumur 5 bulan (perhitungan Bali) atau 6 bulan kalender, dan sedapat mungkin sebelum si bayi lahir. Kehamilan yang berumur dibawah 5 bulan, dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi upacara Manusa Yadnya (menurut lontar Kuno Dresthi). Tujuannya adalah membersihkan serta memohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar kelak menjadi orang berguna bagi masyarakat dan keluarga. Demikian pula dimohonkan keselamatan atas diri si ibu dan lancar pada waktu melahirkan. Secara umum hal ini diwujudkan dengan memohon pengelukatan yang khusus untuk orang hamil dari seorang sulinggih terutama bertepatan dengan hari sabtu keliwon uku ayang (Tumpek ayang), atau dipilih hari yang dianggap baik untuk maksud tersebut. Susunan Upakara 1. Upakara yang terkecil (nistaning nista) Untuk memohon pengelukatan: Peras, ajuman, daksina, canang lengawangi-buratwangi, dan pebersihan. Banten ini diaturkan kepada Sulinggih. Untuk pengelukatan: Periyuk tanah yang baru (payuk anyar) berisi air pancuran, bunga 11 jenis, bunga tunjung/teratai beserta daunnya, dilengkapi ujung cabang bunut, ancak, beringin masingmasing 3 buah dan samsam daun dapdap, daun temen serta bija kuning. Air ini akan dipujai oleh sulinggih kemudian dipakai ngelukat orang yang hamil. Pelaksanaannya bersamaan dengan saat nyurya sewana (pemujaan pagi).

2. Upakara yang kecil (nista) Untuk pimpinan upacara, pesaksian di permandian dan dirumah (Surya, Sanggah Kemulan): Peras, ajuman, daksina, dan kelengkapannya. Pembersihan orang yang hamil: Seperti diatas ditambahkan pengelukatan di permandian, byakala dan prayasita serta tongkat bungbung. Untuk tataban: Peras, pengambeyan, penyeneng (sorohan tumpeng pitu), sesayut ketututan, sesayut pemahayu tuwuh dan sesayut tulus dadi. 3. Upakara yang Lebih Besar (Madya) Upakaranya seperti diatas ditambahkan banten pegedongan matah sedangkan tatbannya bisa ditingkatkan menggunakan pulagembal/sekartaman beserta runtutannya. Demikian pula banten pesaksi disesuaikan. Tata Upacara/pelaksanaan a. Bila upakaranya terkecil, maka upacara dilaksanakan di tempat Sulinggih Nyurya Sewana, kemudian setelah sampai dirumah bersembahyang di Merajan/Sanggah Kemulan dan mohon wangsuh-pada sebagaimana biasa. b. Bila upakaranya lebih besar (nista dan madya) maka selain mohon pengelukatan pada hari Sabtu Keliwon uku Wayang (Tumpek Wayang), dimohonkan pula pengelukatan di sungai yang besar atau pancuran dengan pembuangan air yang deras dengan susunan acara sebagai berikut: y Orang yang hamil diantar ke sungai atau pancuran bertongkat bungbung (seruas bambo yang telah dibuang ruasnya), diikat dengan benang satu tukel; Ujung benang dipegang oleh suaminya. Ada juga yang membuat permandian sementara di rumah dan perjalannya diwujudkan dengan mengelilingi tempat tersebut. y Sesampainya dipermandian, terlebih dahulu menghaturkan banten persaksian/atur uning disertai menghaturkan pengeresikan diteruskan kepada orang yang hamil. y Selanjutnya orang yang hamil disuruh mandi, mencuci rambut dan selama mandi tetap menggunakan pakaian.

y

y

y

Setelah selesai lalu berganti pakaian dilanjutkan dengan bersembahyang diakhiri mohon pengelukatan. Periyuk untuk mohon pengelukatan seperti diatas demikian pula perlengkapan (bunga dan lain-lain) yang ada didalamnya. Ada juga yang menggunakan sangku sudamala. Seusai melukat di permandian, lalu kembali ke rumah (bertongkat bumbung seperti tadi) untuk mebyakala dan meprayasita di halaman rumah atau di halaman Merajan/Sanggah sesuai kebiasaan, dilanjutkan bersembahyang di Merajan sesuai dengan petunjuk pimpinan upacara. Menurut lontar Kuno Dresthi, hanya si suami yang bersembahyang sedangkan si istri/orang yang hamil duduk di sebelahnya.. Setelah itu lalu mejaya-jaya, serta ngayab/natab banten pagedongan dan tataban. Upacara ini dilaksanakan di kamar tidur orang yang hamil dan banten pegedongan dibiarkan sampai lewat tiga hari, sedangkan yang lain boleh diambil pada hari itu juga. Demikian pula bila upacara dilaksanakan di tempat lain, maka banten pegedongan dibawa dan ditempatkan disamping tempat tidur orang yang hamil sampai tiga hari. Penejelasan beberapa banten 1. Banten Pagedongan Matah Sebuah bakul/paso diisi tampak, beras, kelapa telur, ketan, injin, beras merah, gantusan, pelawa peselan, base temple, benang putih dan lain-lain seperti isi daksina masing-masing satu biji. 2. Sesayut Pemahayu Tuwuh Alasnya aled sesayut diisi nasi penek/tumpeng 1 buah, rerasmen 1 tangkih berisi satu ekor ayam panggang dilengkapi buah-buahan, jajan sampian nagasari, penyeneng dan canang-genten/canang sari. 3. Sesayut Tulus Dadi Alasnya aled sesayut diisi nasi penek merah, rerasmen disertai ayam panggang 1 ekor, bulunya berwarna merah (siap biying), dilengkapi jajan, buah-buahan dan lainya seperti di atas, tetebus berwarna merah, putih dan hitam (tridatu).

4.

Sesayut Ketututan Aled sesayut diisi nasi telompokan/penek tapak disusuni kelapa yang disisir, rerasmen dan disebelahnya rempah-rempah untuk obat (basan ubad), kapur sirih masing-masing satu bungkus kemudian dilengkapi jalan, buah-buahan, sampaian nagasari, dan canang genten/canang sari. Berate/pantangan Orang yang hamil tidak boleh menyembah jenazah, mengungsung tirtha pengentas dan dan juga bersembahyang di Pura Dalem/Rajapati, dan lainlain sesuai dengan adat setempat/keluarga. Suaminya agar berusaha menjaga ketentraman kebahagiaan istrinya, sering memperdengarkan ceritra keagamaan dan kepahlawanan.

BAYI LAHIR Upacara ini tidak mempunyai arti yang khusus kecuali sebagai rasa gembira dan angayubagia atas kelahiran si bayi. Upakaranya disebut dapetan; Tingkatannya disesuaikan dengan keadaan misalnya : 1. Dapetan yang terkecil a. Muncuk kuskusan, adalah : Sebuah aled diisi nasi muncuk kuskusan (berbentuk tumpeng agak pendek), rerasmen, jajan, buah-buahan, sampian nagasari atau sampian jait, penyeneng, dan canang genten/canang sari. b. Ajuman putih-kuning, adalah sebuah aled diisi penek-tapak berwarna putih dan kuning masingmasing satu buah, dilengkapi rerasmen, jajan, buah-buahan, sampian-soda/ajuman, dan canang genten. 2. Dapetan yang lebih Besar Seperti di atas ditambahkan jerimpen diwakul, yaitu sebuah wakul kecil berisi sebuah tumpeng sedangkan perlengkapan lain seperti Muncukkuskusan.

Semua banten tersebut (1 atau 2) dihaturkan kepada Sang dumadi, ditempatkan di samping tempat tidurnya agak ke hulu. Perawatan Ari-ari Ari-ari dibersihkan, dibilas dengan air bercampur bunga serta minyak wangi (yeh kumkuman), lalu dimasukkan ke dalam sebutir kelapa yang telah dibelah dua, airnya dibuang; kelapa bagian atas ditulisi huruf Ongkara sedangkan bagian bawahnya ditulisi ahkara selain Ari-ari, dimasukkan pula sirih-lekesan beserta perlengkapannya dan beberapa jenis duri (dahan mawar, terung serta yang lain), lalu dibungkus dengan kain putih. Ada yang melengkapi dengan ijuk lalu dipendam sebagai berikut : - Bila si bayi laki, dipendam di sebelah kanan pintu masuk bangunan tempat tidur si bayi (dilihat dari dalam). - Sebaliknya bila wanita, dipendam disebelah kirinya.

Setelah mengucapkan doa tersebut lalu diurugi, ditindih batu hitam, dan ditandai (mesawen) pohon pandan yang berduri (pandan wong). Hal ini dimaksudkan agar Ari-ari si bayi tidak diganggu oleh binatang ataupun Bhuta Kala, kekuatan yang tidak baik serta mahluk halus lainnya. Selanjutnya menghaturkan segehan nasi kepel 4 kepel, dijadikan satu tempat, ikannya : bawng, jahe yang masih mentah dan garam, dilengkapi canang genten atau sampian cenik (ditujukan kepada Sang Catur Sanak). Catatan : Mengenai tulisan pada kelapa, ucapan atau doa pada waktu memendam Ari-ari demikian pula

-

-

perlengkapan serta segehannya disesuaikan dengan petunjuk Sulinggih atau rokhaniawan yang dipercaya sebab taip lontar Manusa Yadnya ada perbedaannya tetapi mempunyai pengertian dan tujuan yang sama. Tiap ada upacara yang ditujukan kepada si Bayi (kepus puser, 42 hari dan lain-lain), agar tidak melupakan Ari-arinya dan sesajennya disesuaikan dengan petunjuk pimpinan upacara. Bila keadaan tidak memungkinkan untuk memendam Ari-ari, bisa dihanyutkan ke laut atau dibiarkan diurus oleh petugas ditempat melahirkan, sedangkan upacara serta upakaranya disesuaikan.

KEPUS PUSER Apabila puser si bayi sudah lepas (kepus) diselenggarakan upacara penelahan yang bertujuan menyucikan rumah serta Merajan/Sanggah dan kepada si ibu diberi labahan sebagai tanda dibolehkan makan ikan laut, daging serta jenis lauk-pauk lainnya sebagaimana biasa. Hal ini juga sebagai melatih kekebalan si Bayi terhadap berjenis-jenis makanan, umpama daging babi ataupun ikan laut. Selain itu secara sepiritual si bayi mulai diasuh oleh Sang Hyang Kumara dan untuk Beliau dibuatkan kemara (sejenis pelangkiran) digantungkan/ditempelkan pada tembok di atas tempat tidurnya. Menurut metologi (lontar Siwa Gama), Sanghyang Kumara adalah salah satu putra Dewa Siwa yang dikutuk tetap menjadi anak-anak agar tidak termakan (ketadah) oleh kakanya yaitu Sanghyang Gana dan Sanghyang Kala;. Supaya kelahirannya berguna maka Sanghyang Kumara ditugaskan menjaga bayi sampai giginya tanggal (meketus) sedangkan Sanghyang Gana menjadi penuntun para Dewa,

manusia, membebaskan rintangan serta kesulitan dan Sanghyang Kala dibolehkan makan orang yang lalai pada dharma, tidak melaksanakan ajaran agama. Sesungguhnya wewenang Sanghyang Kala yang demikian untuk menyadarkan manusia agar kembali ke jalan dharma, ingat berbakti kepada Tuhan.