MANUSA YADNYA

29
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hindu merupakan suatu agama yang telah muncul sejak dahulu kala bahkan dinyatakan sebagai sanatana dharma yang berarti kebenaran atau agama yang abadi dengan kitab sucinya adalah Weda. Weda diyatakan sebagai suatu berisikan secara lengkap mengenai ajaran-ajaran yang menuntun manusia dalam kehidupan di dunia ini maupun di alam setelah kematian. Ajaran Weda yang lengkap tersebut merupakan suatu hal yang sangta berguna bagi kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari. Ajaran yang terdapat dalam weda berbentuk sutra dan mantra yang perlu penafsiran dan pemaknaan sehingga apa yang di maksud dalam sutra atau mantra tersebut dapat dipahami secara benar. Untuk memahami dan mampu memberikan makna yang tepat diperlukan suatu kemampuan yang baik dan memadai sehingga ada kalimat dalam Weda yang menyatakan bahwa “Weda takut dengan orang bodoh” Hal itu jelas menunjukan bahwa dibutuhkan suatu kecerdasan dan kemampuan menganalisa dan memaknai ajaran yang tertuang dalam kitab suci weda. Hal ini menjadi suatu permasalahan karena tidak semua manusia memiliki kecerdasan yang seperti itu. Tingkat kemampuan manusia yang satu dan yang lainnya tidak sama. Hal itulah yang menjadi suatu alasan mendasar dicarikannya suatu jalan keluar supaya ajaran yang demikian luas dan mendalam dapat diketahui dan dipahami oleh manusia 1

description

pati urip

Transcript of MANUSA YADNYA

Page 1: MANUSA YADNYA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hindu merupakan suatu agama yang telah muncul sejak dahulu kala bahkan

dinyatakan sebagai sanatana dharma yang berarti kebenaran atau agama yang abadi dengan

kitab sucinya adalah Weda. Weda diyatakan sebagai suatu berisikan secara lengkap mengenai

ajaran-ajaran yang menuntun manusia dalam kehidupan di dunia ini maupun di alam setelah

kematian. Ajaran Weda yang lengkap tersebut merupakan suatu hal yang sangta berguna bagi

kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari. Ajaran yang terdapat dalam weda berbentuk

sutra dan mantra yang perlu penafsiran dan pemaknaan sehingga apa yang di maksud dalam

sutra atau mantra tersebut dapat dipahami secara benar. Untuk memahami dan mampu

memberikan makna yang tepat diperlukan suatu kemampuan yang baik dan memadai

sehingga ada kalimat dalam Weda yang menyatakan bahwa “Weda takut dengan orang

bodoh” Hal itu jelas menunjukan bahwa dibutuhkan suatu kecerdasan dan kemampuan

menganalisa dan memaknai ajaran yang tertuang dalam kitab suci weda. Hal ini menjadi

suatu permasalahan karena tidak semua manusia memiliki kecerdasan yang seperti itu.

Tingkat kemampuan manusia yang satu dan yang lainnya tidak sama.

Hal itulah yang menjadi suatu alasan mendasar dicarikannya suatu jalan keluar supaya

ajaran yang demikian luas dan mendalam dapat diketahui dan dipahami oleh manusia pada

umumnya dan umat Hindu pada khususnya. Melihat kenyataan seperti itu para maharsi jaman

dulu memberikan suatu solusi dengan dituangkannya ajaran dalam Weda dalam bentuk

susastra Hindu. Hal itu juga ditegaskan dalam Kitab Sarasamuscaya dan purana yang

menyatakan bahwa Hendaknya Weda diajarkan melalui Itihasa dan Purana. Dengan metode

itihasa dan purana tentunya ajaran Weda akan lebih mudah dipahami sehingga dapat

dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini

maupun dalam mempersiapkan diri menghadapi kehidupan setelah meninggal nantinya.

Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap ajaran Weda mengingat terdapat berbagai

macam perbedaan budaya sehingga selanjutnya ajaran-ajaran tersebut dituangkan dalam

susastra daerah. Hal itu seperti terlihat di bali ajaran-ajaran Weda dituangkan dalam bentuk

lontar-lontar dengan berbahasa jawa kuno.

1

Page 2: MANUSA YADNYA

Selanjutnya dewasa ini mulai disalin dan diterjemahkan dalam hurup latin dan

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan demikian ajaran Weda semakin dekat dengan

umat Hindu karena secara langsung dapat dibaca dan ditafsirkan. Seperti di atas bahwa setiap

teks susastra perlu juga ditafsirkan kembali secara konstektual disesuaikan dengan

perkembangan jaman sehingga ajaran dalam lontar atau susastra Hindu di daerah dapat lebih

dipahami maka perlu dikaji dan ditafsirkan sehingga umat Hindu dapat memahami ajaran

tersebut. salah satu lontar yang telah ditulis dengan huruf latin dan telah diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia adalah lontar Bacakan Banten Pati Urip. Teks dan terjemahan lontar

Bacakan Banten Pati Urip telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan Judul “ Bacakan

Banten Pati Urip: Upakara Bayi Dalam Kandungan Sampai Orang Meninggal (Teks Dan

Terjemahan)” buku ini disusun oleh Drs. I Wayan Dunia yang diterbitkan oleh Paramita

Surabaya pada tahun 2009. Dalam buku tersebut diawali oleh pengantar dari penyusun,

selanjutnya teks lontar Bacakan Banten Pati Urip dalam huruf latin dan bagian yang ketiga

adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Lontar bacakan banten pati urip secara semiotik

jelas memiliki makna bahwa menguraikan sarana upakara selama kehidupan dan kematian.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa lontar bacakan banten pati urip merupakan salah

satu lontar tentang ritual keagamaan Hindu (Dunia, 2003:iii).

2

Page 3: MANUSA YADNYA

BAB II

Beberapa Kajian Bacakan Banten Pati Urip

2.1 Kajian Filosofis (Tattwa)

Setiap upacara yang dilaksanakan memiliki makna atau nilai tattwa atau filosofis hal

itu sesuai dengan konsep tri kerangka dasar agama Hindu. Tattwa atau filosofis agama Hindu

mencakup berbagai aspek makna sampai pada pada ketuhanan. Upacara – upacara yang

dilaksanakan atau tertuang dalam lontar merupakan penjabaran dari ajaran teks suci yaitu

Weda. Nilai filosofis dari upacara disebutkan bahwa upacara merupakan suatu kewajiban

umat Hindu sebagai manusia yang memiliki hutang yang disebut tri rna. Tri rna tersebut

merupakan dasar dari pelaksanaan upacara dalam umat Hindu (Wijayananda,2004a:1).

Tri rna tersebut yaitu manusia memiliki utang kehidupan atau jiwa kepada Tuhan,

hutang pengetahuan kepada para orang suci dan hutang budhi atau jasa kepada orang tua dan

leluhur. Pada umumnya lontar tatwa ataupun yadnya secara langsung maupun tidak langsung

sudah pasti tersirat atau bahkan tersurat di dalam lontar tersebut mengenai aspek-aspek

ketuhanan dalam agama Hindu. Agama Hindu meyakini bahwa tuhan itu tunggal tiada

duanya (Pudja:1999:12). Tuhan yang satu itu disebut dengan banyak nama dan bentuk oleh

orang bijaksana (Suhardana, 2008:2). Tuhan yang tunggal dikenal dalam berbagai macam

aspek Beliau. Aspek ketuhanan dalam agama Hindu sangatlah benar - benar memposisikan

Tuhan sebagai sesuatu Yang Maha Kuasa. Dalam konsep Hindu diyakini bahwa Tuhan Maha

Kuasa dan Sumber dari segalanya. Tuhan meresapi segala ciptaanNya. Tuhan bersifat Sarva

Vyapi Vyapaka artinya Tuhan ada dimana-mana dan meresapi semua atau segala sesuatunya.

Tuhan yang maha kuasa dan tak terbatas tidaklah mampu dijangkau oleh manusia dengan

yang notabenenya memiliki keterbatasan dalam berbagai hal. Dengan keyakinan bahwa

Tuhan Maha kuasa, maka manusia Hindu meyakini apapun yang beliau kehendaki dapat

diwujudkan atau dalam pengertian Beliau dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk sesuai

dengan kehendakNya. Sebagai yang maha kuasa tentunya Beliau memiliki fungsi yang sangat

tak terbatas.

Tuhan dalam konteks secara ilmu dapat dinyatakan atau diibaratkan dalam bentuk

noumena yang akan menyatakan dirinya melalui fenomena. Dengan melalui fenomena inilah

manusia akan dapat mengetahui noumena dibalik perwujudan tersebut. umat Hindu

3

Page 4: MANUSA YADNYA

menyadari akan keterbatasan dirinya tetapi dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan Maha

Kuasa maka umat Hindu mendekati Tuhan dengan cara pendekatan terhadap fungsi yang

dianggap berhubungan dengan manusia. sehingga Tuhan Yang tunggal kemudian di

manifestasikan dan dipuja dalam berbagai bentuk dan cara berdasarkan Fungsi Beliau. Sebagi

contoh dalam agama Hindu ada yang disebut dengan Brahman, ada yang disebut Purusa

Pradana ada yang disebut Tri Murti dan seterusnya. Dengan adanya perwujudan dan

pemujaan berdasarkan fungsi maka bagi orang yang tidak memahami bagaimana kronologis

pemujaan dan perwujudan Tuhan maka akan memiliki penafsiran yang keliru terhadap

keyakinan terhadap Tuhan dalam Agama Hindu bahkan dalam umat Hindu yang awam

sendiri sering dipahami secara terpisah antara satu bentuk perwujudan dengan Tuhan padahal

itu semua merupakan perwujudan atau fungsi dari yang maha Tunggal. Adanya perwujudan

dan pemujaan yang tampak banyak justru hal itu merupakan implementasi dari keyakinan

bahwa Tuhan Maha Kuasa. Banyaknya perwujudan atau pemujaan yang berdasarkan fungsi

dalam mumat Hindu pada umumnya hal itu menunjukan banyaknya fungsi Tuhan dalam

kehidupan ini. Bahkan dalam Hindu sendiri di nyatakan bahwa apa yang menjadi satu

perwujudan merupakan bagian terkecil dari kemahakuasaan Tuhan. Fungsi merupakan

menunjukan pada kemampuan Tuhan. Dengan banyaknya fungsi berarti menunjukan

banyaknya kemampuan pula sehingga secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut

merupakan sebagai cetusan keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa.

Pencetusan kemahakuasaan Tuhan dalam bentuk bagian-bagian fungsi yang Tuhan

Perankan juga menjadi aspirasi para mahakawi umat Hindu di Indonesia dan umat Hindu di

Bali Khususnya dalam ajaran-ajarn yang tertuang dalam lontar-lontar. Termasuk lontar

bacakan banten pati urip. Seperti dinyatakan di atas bahwa lontar ini berisikan tentang yadnya

dimana yadnya terdapat nilai teologis yang terkandung didalamnya karena setiap yadnya

memiliki tujuan persembahan yadnya tersebut. konsep-konsep teologi dalam berbagai macam

upacara dan sarana dalam lontar ini tampaknya tidak semua bagian dari banyaknya upacara

yang dinyatakan diulas mengenai konsep teologinya. Ada bagian yang tidak mengulas teologi

tetapi ada bagian yang menyebutkan mengenai teologinya. Dalam lontar tersebut ada

disebutkan Bhatara Brahma, Dewa Kumara, Dewa Yoni, Dewa Siwa, Dewa Kama,

Sanghyang Jatiswara, Sanghyang Sri Guru, Sanghyang Mahadewa, Iswara, Saraswati, Wisnu.

Konsep teologi yang disebutkan dalam lontar tersebut tidak terdapat penjelasan secara jelas

tentang bagaimana konsep-konsep teologi tersebut. akan tetapi konsep teologi tersebut

dapatlah di jelaskan dengan dasar susastra lain. Hal itu mengingat konsep nama nama yang

sama merupakan merujuk pada aspek atau atribut yang sama.

4

Page 5: MANUSA YADNYA

2.2. Kajian Etika (Susila).

Dalam lontar bacakan banten pati urip sangat jelas terkandung nilai-nilai etika. Hal itu

berdasarkan adanya konsep tri kerangka dasar agama Hindu yang merupakan suatu satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama yang lainnya dimana ketiganya terdapat

dalam upacara. Salah satu bagian dari tri kerangka dasar itu adalah etika yang merupakan

suatu norma atau aturan bertingkah laku yang benar dan baik. Seperti dinyatakan bahwa

dalam upacara sudah tentu mengandung suatu etika dalam pelaksanaannya. Hal itu terlihat

jelas dalam upacara terdapat suatu aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya umat

Hindu melaksanakan upacara. Demikian pula dalam berbagaimacam upacara yang terdapat

dalam ajaran lontar Bacakan banten pati urip. Ajaran etika yang terdapat dalam lontar

tersebut terutama dalam bentuk bagaimana sarana yang baik dan kepada siapa upacara

tersebut diberikan. Setiap upacara memiliki suatu bentuk dan jenis sesajen atau upakara yang

berbeda satu dengan yang lainnya walaupun ada sebagian upacara yang memiliki sama akan

tetapi secara umumnya ada sarana yang membedakan. Hal ini membuat perlu diketahui suatu

aturan dalam berupacara.

Berupacara merupakan suatu persembahan suci yang harus di dasari dengan kesucian.

Hal itu tampak dalam berbagai macam jenis bahan atau bentuk upakara yang diajarkan dalam

lontar ini. memang secara tersurat tidak ada penjelasan yang pasti mengenai arti fungsi

upacara tersebut akan tetapi hal tersebut dapat di dekati atau dijelaskan dengan makna atau

arti dari sarana dan bentuknya menurut susastra lainnya. Dalam berbagai sarana semua

merupakan suatu symbol yang merupakan suatu cetusan rasa kesucian dan ketulusan. Rasa

kesucian dan ketulusan tersebut sudah tentunya berkaitan dengan konsep-konsep kesucian

dalam ajaran agama Hindu. Secara aspek pokoknya ada tiga dasar dalam beretika dalam

agama Hindu yaitu yang disebut dengan tri kaya parisudha. ajaran etika dalam Hindu bukan

hanya menyangkut aspek perilaku tetapi juga dalam aspek lainnya yaitu pikiran dan

perkataan. Hal itu mengingat kebaikan dalam perilaku atau sikap belum tentu menunjukan

kebaikan dalam perkataan dan pikiran. Oleh karena itu ketiganya harus seimbang untuk

disucikan sehingga keharmonisan dan kebahagiaan diperoleh. Dalam Hindu dengan konsep

tri kaya parisudha ini adalah menunjukan adanya keselarasan kesucian antara ketiganya. Tri

kaya pari sudha sebagai dasar etika Hindu mengajarkan bahwa pikiran, perkataan dan

perbuatan harus disucikan.

5

Page 6: MANUSA YADNYA

2.3 Kajian Ritual (Upacara)

Ritual dalam agama Hindu di Indonesia disebut dengan istilah Upacara dan secara

susastra Hindu khususnya dalam ajaran Weda disebut dengan istilah Yadnya. Sehingga sering

keduanya digabungkan di Indonesia khususnya di Bali dengan istilah Upacara yadnya. Dalam

agama Hindu banyak sekali terdapat upacara tetapi secara umum dikenal ada lima jenis

yadnya yaitu yang disebut dengan panca yadnya. Setiap yadnya merupakan suatu rangkaian

system yang didalamnya terdapat unsure-unsur yang saling berkaitan dan memiliki fungsi

masing-masing untuk terlaksananya upacara tersebut. Dalam upacara terdapat pelaksana,

sarana dan pemuput atau pemimpin upacara. Pemimpin upacara bukanlah dapat dilaksanakan

oleh sembarang orang, tetapi oleh orang suci. Hal itu seperti dinyatakan oleh Wayan Budha

Gautama (2003:1) yang menyatakan “setiap pelaksanaan upacara yajna, dipimpin oleh

seorang pendeta (sulinggih), atau Pinandhita (pemangku) sesuai dengan kewenangan masing-

masing.” Pelaksanaan upacara dapat membawa manusia pada suatu kesucian diri. Hal itu

seperti dinyatakan Eliade (dalam Ghazali, 2011:62) ritus merupakan media untuk umat

beragama untuk menuju dari yang tidak suci kea rah kesucian. Hal ini juga ditegaskan dalam

salah satu tujuan ritual atau upacara menurut Ida PAndita Mpu Jaya Wijayananda (2004b:10)

bahwa upacara memiliki maksud untuk mencapai spiritual.

2.3.1. Ngerujaki

Dalam lontar bacakan banten pati urip ngerujaki merupakan suatu upacara yang

pertama kalinya dilakukan terhadap wanita yang hamil. Adapun sarana yang digunakan

dalam upacara ngerujaki yang dinyatakan dalam lontar ini adalah sesayut satu pajeg lengkap

dan byakala di tambah dengan persembahan yang dihaturkan di sanggah kemulan yang

dipimpin oleh seorang pemangku atau orang suci yang disertai makan rujak. Kapan upacara

ini dilakukan masih kurang jelas hanya ditegaskan ketika hamil dalam lontar bacakan banten

pati urip. Tetapi dapat diketahui melihat dari nama dan sarana maka upacara ini di laksanakan

pada saat ngidam atau pada saat mulai diketahui kehamilan itu. Ngidam atau mulai

diketahuinya kehamilan antara orang satu dengan yang lainnya terkadang berbeda-beda

terlebih dalam kehidupan kontemporer ini dimana manusia disibukan akan urusan pekerjaan

dan pikiran yang dibebeni oleh berbagaimacam keinginan sehingga kepekaan untuk

mengetahui kehamilan sangat berkurang.

Di sisi lain dalam konteks modernitas dewasa ini manusia dimudahkan dengan alat

pendeteksi kehamilan sehingga yang tidak sibuk akan lebih dini mengetahui kehamilan. Hal

ini yang terlihat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan kehidupan umat Hindu

6

Page 7: MANUSA YADNYA

khususnya sering terjadi ada yang baru satu bulan sudah diketahui dan ada pula setelah dua

bulan atau bahkan lebih. Dalam lontar tersebut ada disebutkan upacara tiga bulanan

kehamilan sedangkan upacara ngerujaki disebutkan sebelum upacara tiga bulanan dengan

demikian secara logikanya upacara tersebut dilaksanakan sebelum tiga bulan usia kehamilan.

Upacara ngerujaki ini dilaksanakan di sanggah merajan yang dimiliki masing-masing umat

hal itu karena dalam lontar disebutkan adanya persembahan yang dipersembahkan di

sanggah. Banten yang digunakan berupa sesayut merupakan sebagai suatu symbol atau

penanda dari sesuatu obyek yang dimaksudkan atau istilah lainnya petanda. Sesayut sebagai

suatu symbol tentunya memiliki suatu makna yang perlu ditafsirkan dan dipahami oleh umat

Hindu. Istilah sesayut dapat diuraikan dari asal katanya yaitu dari kata pokok “sayut” yang

memiliki pengertian mendoakan atau mengharapkan dan juga sebagai symbol dari sthana

Tuhan beserta manifestasinya (Wijayananda, 2004:80). Dalam upacara ngerujaki dengan

digunakan banten sesayut akan memiliki makna bahwa dengan atau melalui pelaksanaan

upacara ngerujaki umat Hindu mengharapkan atau mendoakan kepada Tuhan berserta

manifestasinya supaya benih atu janian dalam kandungan kuat atau selamat tidak mengalami

keguguran demikian pula kepada ibu yang mengandung janin tersebut. hal itu dipertegas lagi

dengan pengunaan banten byakala yang disebutkan dalam lontar bacakan banten pati urip

tersebut.

2.3.2. Tiga Bulanan

Upacara kedua dari dalam manusia yadnya yang dinyatakan dalam lontar bacakan

banten pati urip adalah upacara setelah usia kehamilan menginjak tiga bulan. Tidak

dijelaskan perhitungan hari untuk menyatakan bahwa kandungan berumur tiga bulan apakah

perhitungan bulan tahun masehi atau kalender bali. tetapi berdasarkan sejarah dan tempat

lontar tersebut dibuat yaitu dibali dimana dibali sendiri memiliki perhitungan kalender

sehingga dapat dinyatakan yang dimaksud tiga bulan dalam lontar tersebut adalah tiga bulan

dalam perhitungan kalender bali dimana satu bulannya terdiri dari 35 hari. Hal itu berarti

perhitungan hari dalam setiap bulannya kalender bali lebih bantyak dari pada kalender masehi

yang jumlah harinya tidak tetap setiap bulannya jumlah hari yang tertinggi adalah sebanyak

31 hari dan jumlah yang paling sedikit sebanyak 28 hari.

Dengan demikian pelaksanaan upacara tiga bulannan kehamilan disesuaikan dengan

kalender bali. Menurut Sri Rsi Ananda Kusuma (2009:28) upacara tiga bulanan kehamilan

sering disebut dengan “megedong-gedongan”. Adapun sarananya yang dinyatakan dalam

lontar bacakan banten pati urip adalah jenisnya sama dengan upacara ngerujaki, yaitu sesayut

7

Page 8: MANUSA YADNYA

satu pajeg dan byakala ditambah dengan persembahan di sanggah kemulan. Banten yang

yang dinyatakan dalam lonter tampak lebih sederhana dibandingkan dengan yang dinyatakan

oleh Sri Ananda Kusuma dimana terdapat beberapa uraian yang terinci yaitu Rujak kelapa

gading dengan gula yang bermacam-macam dan madu, bunga kecubung, jajan berujud bayi 2

orang, seekor ikan belut yang masih hidup dibungkus dengan daun byah-byah sumbu 5 buah,

klakat yang berisi sesari 250 kepeng, sorohan bertumpeng tujuh, delima seadanya, dua buah

rumah kecil untuk laki-laki dan perempuan, canang daksina 2 buah untuk dewa trimurti dan

pendeta. Hal itu diyatakan sebagai upacara yang besar dengan sarana upakara sedemikian

rupa. Hal ini berarti upacara tiga bulanan tentunya dapat dilaksanakan dengan upacara yang

sederhana atau kecil seperti yang dinyatakan oleh lontar tersebut dan apabila seseorang

mampu dapat melaksanakan dengan upacara yang besar. Besar kecil upacara merupakan

tergantung dari keadaan ekonomi dan keinginan umat Hindu untuk melaksanakan upacara

tersebut. yang terpenting adalah tatwa dari upacara tersebut sesuai dengan ajaran agama

sehingga dapat memperoleh berkah yang baik.

2.3.3. Upacara Kepus Pungsed

Sebagai upacara ketiga yang dinyatakan dalam lontar bacakan baten pati urip adalah

upacara lepas tali pusar. Pelaksanaan upacara ini tidak dijelaskan dengan perhitungan hari

akan tetapi melihat kapan tali pusar seorang bayi itu putus atau lepas. Tidak adanya kepastian

perhitungan hari pelaksanaan upacara ini dalam lontar tetntunya sangat ditentukan keyataan

kehidupan sehari-hari dimana setiap seorang bayi dengan yang lainnya memiliki masa

perhitungan hari untuk lepas pusarnya adalah tidak sama. Ada yang lima hari ada pula yang

satu minggu dan seterusnya. Oleh karena itu, hanya ditentukan pada saat tali pusar putus pada

saat itulah dilaksanakan upacara ini. upakara atau sarana upacara ini yang dinyatakan dalam

lontar yaitu: penyeneng, ayam biing, peras satu, canang, kelanan, abu satu tamas berisi daun

satu ikat, lekesan berisi cincin uang kepeng, rokok lampu dari kapas yang digiling tulisan

nama berwadahkan kojong, canang saagan, buwu satu buah, dan berjenis daun-daunan seperti

daun sakeling, daun miana cemeng, daun gunggang rumput dreman, kundang kasih yang

diikat menjadi satu, tempurung kelapa berisi abu, dedaunan, sirih rokok, lampu dari kapas

digiling satu kojong, serta pohon pandan dibungkus dengan ijuk. Nasinya kepelan dan canang

setelah bayinya dipersem,bahi di dapur tempurung kelapa diletakan disisi pintu dapur. Selain

itu juga dilakukan suatu persembahan berupa saji jerimpen kepada dewa kumara dan

persembahan kepada penjaga berupa kelanan dan canang, serta persembahan kepada dewa

yoni berupa saji jerimpen. Sementara di bawah mengunakan persembahan berupa saagan.

8

Page 9: MANUSA YADNYA

Selanjutnya dilaksanakan juga suatu persembahan di sungai dengan sarana atau sesajen

berupa kelanan, canang dan saagan.

2.3.4. Upacara Bayi Berumur 12 Hari

Upacara bayi berumur 12 hari sesuai dengan namanya dilaksanakan pada saat bayi

berumur 12 hari. Tidak dijelaskan dalam lontar mengenai perhitungan mengapa setelah dua

belas hari perlu dilaksanakan suatu upacara bagi bayi. Apabila dilihat dari angka-angka

mistik atau sacral ayang berhubungan dengan suatu symbol dalam agama Hindu maka 12 hari

adalah sama dengan 3 yaitu 1+2. Angka 3 dalam Hindu sangat berhubungan dengan konsep

ketuhanan yaitu tri murti dan tri purusa. Tri murti tersebut yaitu brahma sebagai pencipta,

wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pemralina, sedangkan tri purusa adalah siwa,

sadasiwa dan parama siwa. Dengan demikian upacara ini dilakukan berhunbungan dengan

manusia sebagai mahluk dalam dunia ini selalu memiliki aspek dari ketiga tersebut. di

samping itu juga tiga yang dimaksudkan juga berkenaan dengan tri premana yaitu sabda,

bayu, idep. Ketiganmya itu harus dijaga dan dipeliharra dengan baik supaya tercipta

kehidupan yang sejahtera. Hal itu sesuai dengan pendapat Sri Reshi Ananda Kusuama

(2009:31) yang menyatakan tujuan upacara 12 hari adalah untuk memohon kemakmuran bagi

bayi, kesehatan dan panjang umur. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara ini yang

dinyatakan dalam lontar adalah seperangkat guru kurenan, lwang jerimpen, pucakmanik,

pangulap, pangambean, panyejeg, peras guling, jajanganan, teenan, baywan, dan daksina.

Terdapat pula persembahan kepada dewa yoni berupa jerimpen satu buah. Untuk dewa

kumara jerimpen satu buah.

2.3.5. Upacara Bayi Berumur 42 Hari

Upacara ini juga sesuai dengan namanya dilaksanakan ketiga bayi telah berumur 42

hari. Adapun sarana yang digunakan adalah daksina satu buah, ketupat satu kelan, canang

bayuan dua buah, canang sari dua buah, uang 225 , saagan. Apabila melihat pengunaan angka

42 hari dapat diuraikan 4+2 adalah 6, enam dalam konsep Hindu ada yang disebut Sadripu

atau enam musuh dalam diri manusia. selanjutnya pengunaan uang sebanyak 225 yang

dinyatakan dalam lontar dapat diuraikan 2+2+5 adalah 9 dalam agama Hindu Sembilan

adalah mengacu pada dewata nawa sanga atau Sembilan dewa penjaga penjuru. Hal ini ini

dapat berarti bahwa adanya musuh dalam diri manusia sebagai buana alit haruslah dijaga atau

dikendalikan supaya manusiah berhasil mencapai kehidupan yang bahagia dan untuk menjaga

tersebut sepatutnya memohon perlindungan dari Sembilan Dewa penjaga penjuru dalam alam

9

Page 10: MANUSA YADNYA

ini termasuk dalam diri manusia. hal ini sesuai dengan pernyataan dalam lontar yang

menyebutkan bahwa pada saat ini dibuatkan berupa penjaga atau pengijeng untuk si bayi. Hal

itu juga sesuai dengan pendapat Sri Reshi Ananda Kusuma (2009:32) yang menyatakan

bahwa tujuan upacara ini adalah supaya bayi mendapatkan panjang umur bahagia dan

mendapat perlindungan dari Tuhan.

2.3.6. Upacara Bayi Berumur Tiga Bulan

Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berumur tiga bulan seperti hal nya upacara tiga

bulan kehamilan pada upacara ini juga tidak dijelaskan tiga bulan dalam kalender bali atau

kalender masehi. Namun seperti diatas jelas bahwa tiga bulanan yang dimaksud adalah tiga

bulan dalam perhitungan kalender bali. apabila merujuk pengunaan 3 dalam perhitungan

bulan pelaksanaan upacara ini maka memiliki makna mistis dimana tiga berhubungan dengan

beberapa aspek dalam agama Hindu yaitu trimurti , tripurusa dan tri kaya parisudha atau

tripemana. Sarana atau upakanra dalam upacara tiga bulanan ini lebih banyak disebutkan

dalam lontar ini disbanding upacara yang disebutkan di atas. Adapun sarananya adalah satu

perangkat atau Batekan pikekeh, tegenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak manic,

pemagpag, pangiring, congkak wedel, pangulap, pangabean, panyejeg, peras guling, jerimpen

bebaywan, sesayut sesukanya, janganan, pabangkit rebah, satu tungkuh, banten bajang wadah

bakul, berisi boki periuk tanah yang sudah usang lis dari daun kelapa, tua, bingas berisi jajan,

tangkai buah kelapa, berisi mumbang, berisi ketupat siun, blayag, kosong jantung, pisang

ditulisi kapur, berbentuk orang-orangan berisi telinga dari uang kepeng, penjor kecil,

memakai paying dari daun kumbang. Banten bajang seperangkat terdiri dari penyeneng berisi

guling babengke, ayam colong, dan perwujudan bajang dari waligo satu buah telur itik satu

butir, batu hitam satu buah, disertai dengan kain bebali, jamu pupuk, ayunan uangnya 225

kepeng. Pada saat bajangnya berkeliling bersama-sam penmjor satu buah, lumping satu buah,

sikat berisi uang 25 kepeng sebagi symbol si bajang berkeliling. Pasu satu buah berisikan

telor ayam ikat pingang, atu-atu, uang 225 sebagai alas si bajang mandi dan bayi yang

diupacarai. Selanjutnya lis satu pasang sebagi runtutan sesayut, persembahan ke kumara

berupa jerimpen satu buah, untuk dewa yoni satu buah bayuan, saagan.

2.3.7. Otonan

Otonan merupakan suatu upacara yang dilaksanakan setelah bayi berumur enam

bulan. Enam bulan sebagai otonan mengingat perhitungan kalender bali bahwa setelah enam

bulan maka perhitungan wuku akan kembali pada ketika wuku bayi lahir. Dengan demikian

10

Page 11: MANUSA YADNYA

dalam konsep otonan yang diperhatikan adalah wuku dan sapta wara yang sudah pasti akan

berulang setiap enam bulan sekali. Oleh karena itu, menurut tradisi Hindu di bali otonan ini

selalu berulang dalam kehidupan manusia sampai menemui ajalnya. Otonan ini sama serupa

dengan ulang tahun dalam konteks kalender masehi sehingga memunculkan peringatan ulang

tahun yang menjadi trend bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi lain halnya di bali

perayaan ulang tahun tidak terlalu menjadi suatu yang terlalu penting terutama masyarakat

Hindu yang di desa sementara sebagaian masyarakat kota sudah mulai menganggap ulang

tahun sebagai suatu yang penting, sehingga selain otonan mereka juga melaksanakan ulang

tahun. Umat Hindu bali sering menyebut istilah otonan dengan sebutan ngotonen yang berarti

melakukan upacara otonan. Adapun sarana atau upakara yang digunakan adalah seperangkat

pakekeh, pulekerti,teenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak manic, pamagpag, pangiring,

congkak odel, bayuan pangulap, pangambaean, panyegjeg, sesayut telaga, pancoran, jarimpen

be sambutan, jajanganan, peras, serta guling. Semua itu adalah banten untuk ayaban. Untuk

megogoan di buatkan lobang ditanah, diisi air, diisi berbagai jenis isi sungai, bijaratus bijian

gelang cincin, uang 225, sangkar, nyahnyah gringsing, ayam betina, untuk turun tanah

bantennya peras satu buah, pekekeh, pulakerti dan sambutan. Selanjutnya untuk persembahan

yang di haturkan kepada dewa kumara berupa jerimpen sebanyak satu buah, untuk dewa yoni

dandanan dan jerimpen.

2.3.8. Upacara Tanggal Gigi

Tanggal gigi merupakan suatu hal yang dialami oleh seseorang dalam kehidupannya.

Tanggal gigi dimaksud dalam lontar ini tentunya bukanlah tanggal gigi yang sengaja

dilakukan oleh manusia karena dicabut dengan paksa. Akan tetapi, dimaksudkan di sini

adalah tanggal gigi untuk pertama kalinya yang pada umumnya dialami seseorang dalam

hidupnya. Pada saat tanggal gigi inilah dilakukan suatu upacara. Adapun sarana bantennya

yang disebutkan dalam lontar ini adalah satu perangkat lengkap dengan pajegan, sesayut atma

teka, bayu rauh, guru asih, pepek bayu, dan biakala, pengreting suara, bantennya sesayut satu

dulang berisi tumpeng satu buah ikannya muluk gajih dan darah, sesayut memakai aledan

seliwah ikannya bawang putih Sembilan ulas, sesayut satu buah ikannya hati babi satu wilah

atau seiris, sesayut sumpeng memakai aledan peras ikannya usus dan limpa, penyeneng

memakai tumpeng merah ikannya ayam biring, lis satu pasang , api beralaskan kekeb,

ayabannya di tambah dengan sesayut nirmala kasuweran, suka stata, kecap mandi.

11

Page 12: MANUSA YADNYA

2.3.9. Upacara Meningkat Dewasa

Upacara meningkat dewasa dalam lontar tidak dijelaskan secara jelas mengenai kapan

upacara itu dilaksanakan. Dalam lontar hanya disebutkan ketika remaja meningkat dewasa

dilekati kekotoran. Walaupun tidak jelas apa yang dimaksud kekotoran dalam lontar tersebut

namun dapat dijelaskan mengunakan susastra lain mengenai kekotoran. Pada umumnya

secara sastra dijelaskan bahwa yang dimaksud menginjak dewasa adalah ketika wanita

mengalami dating bulan dan laki-laki mimpi basah untuk pertama kalinya.

Keadaan seperti ini sangat tergantung pada diri seseorang karena setiap orang tidak

sama waktunya atau umurnya ketika mengalami semua itu. Oleh karena itu dalamn lontar

tidak disebutkan kapan dalam arti umur berapa upacara ini dilaksanakan. Hal itu berarti

upacara ini dilaksanakan sesuai dengan masanya atau waktunya seseorang mengalami tanda-

tanda menginjak dewasa. Menginjak dewasa dalam bahasa umumnya disebut dengan puber

pertama merupakan suatu masa yang sangat rentan dimana seseorang sudah mulai

membedakan secara jelas jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan pada saat ini mulai pula

ada ketertarikan antara lawan jenis, wanita tertarik pada laki-laki dan laki-laki tertarik pada

wanita. Adanya fenomena semacam itu merupakan suatu hal yang perlu dikendalikan supaya

tidak terjadi penyalah gunaan atau penyimpangan prilaku atau terjadi prilaku yang tidak baik

atas pengaruh hal tersebut maka dalam konsep Hindu termasuk dalam lontar bacakan banten

pati urip perlu dilakukan suatu pensucian. Penyucian terhadap kekotoran tersebut dan supaya

terkontrol kea rah yang baik atau suci maka dilakukan dengan suatu upacara meningkat

dewasa dengan mengunakan sarana yang dinyatakan dalam lontar ini yaitu membuat bale

papajangan, dengan sarana upakaranya pikekeh, pulakerti, teteg, pulagembal, pletik cangkir,

sekar setaman, bale bunga, nasi dedari, peras, penyeneng, sasayut paguntingan, krik keramas,

papedetan, prangkatan,padamel. Sesayut untuk ayabannya adalah banten satu perangkat

seutamanya disertai dengan jerimpen sumbu, sate babali, adegan gayah, biakala agung,

tumpeng agung, air anyar satu sangku, berbagai jenis sate dan lawn, tekor dari ubi berisi

segau, kapas berisi minyak, asam dari limao setengah biji, sirih tulak, pinang, serabut kelapa,

di jepit, benang merah dua, telur ayam satu butir, balung gending, lis satu buah, saagan, obor

dari daun kelapa berwadah kekeb.

2.3.10 Upacara Potong Gigi

Dalam lontar bacakan banten pati urip tidak terdapat penjelasan mengenai pengertian

dan maksud upacara potong gigi. Demikian pula mengenai waktu pelaksanaannya tidak

dijelaskan dalam lontar ini. namun pada umumnya pelaksanaan potong gigi dilaksanakan

12

Page 13: MANUSA YADNYA

ketika seseorang sudah meningkat remaja atau setelah upacara meningkat remaja hal ini juga

secara sistematis atau urutan upacara yang disebutkan dalam lontar upacara ini urutannya

setelah upacara meningkat dewasa. Mengenai kepastian pelaksanaan waktu potong gigi

disebutkan dalam lontar rare angon yang diterjemahkan oleh Wayan Budha Gautama

(2008:41) pelaksanaan upacara potong gigi dilaksanakan pada saat usia 16 tahun. Upacara ini

memiliki suatu maksud untuk menghilangkan Sad Ripu atau enam musuh. Enam musih

tersebut hasu di basmi atau dihilangkan dri dalam diri manusia (Suhardana, 2010:94). Hal ini

juga ditegaskan oleh Sri Reshi Ananda Kusuma (2009a: 38) “ tujuannya agar kotoran gigi itu

bersih dan dapat mengalahkan musuh yang ada pada tubuh manusia yang dinamai sad ripu”.

Maksud upacara ini juga disebutkan dalam lontar rare angon yang diterjemahkan oleh Wayan

Budha Gautama (2008:41) bahwa tujuan pelaksanaan upacara ini adalah untuk

menghilangkan atau membersihakan gigi, kulit dan rambut. Dengan dilaksanakan upacara ini

orang tersebut akan mampu selalu sadar dalam kehidupannya mengenai adanya musuh yang

ada atau muncul dalam dirinya dan mensucikan dirinya, sehingga kehidupan yang dijalaninya

dapat memperoleh berkah berupa kesejahteraan dan kebahagiaan.

2.3.11. Upacara Mediksa

Dalam lontar ini ada disebutkan suatu upacara yang disebut mediksa. Akan tetapi

tidak di jelaskan kapan pelaksanaan ini dan siapa yang patut bisa melaksanakan upacara ini.

Apabila kita melihat pengertian secara umum mendiksa merupakan suatu inisiasi untuk

menjadikan seseorang suci. Khusus dalam umat Hindu orang suci ada dua jenis yaitu eka jati

dan dwi jati. Selama ini yang dipahami upacara mendiksa adalah untuk menjadi orang suci

dalam tingkatan dwijati. Sementara untuk ekajati hanya dilakukan dengan upacara mawinten.

Seorang suci yang pada tingkat diksa atau dwi jati sering disebut ida pedanda, pandita, rsi

sedangkan umtuk eka jati sering disebut pemangku dan pinandita.

Dengan demikian mediksa dalam konteks lontar ini tentunya menunjukan pada

upacara untuk mencapai tingkat dwijati. Dalam proses yang dapat melaksanakan diksa secara

umumnya di bali terdapat proser tertentiu tidak dapat secara langsung mencapai diksa dari

umat biasa, akan tetapi umat terlebih dahulu melalui jenjang kepemangkuan yaitru dari

mangku alait, selanjutnya mangku gde dan baru meningkat ke dwijati dengan melalui upacara

diksa. Kata diksa merupakan bahasa Sanskerta yang memiliki makna pemberkatan atau

pentasbihan (Wiana,tt:225). Diksa merupakan suatu yang dapat diyatakan pengukuhan atau

peresmian secara umum bahwa seseorang menjadi dwi jati hal itu dapat dilakukan bila

seseorang memang telah memiliki suatu kualitas pandita. Menurut lontar bacakan banten pati

13

Page 14: MANUSA YADNYA

urip tata cara melakukan diksa adalah sebagai berikut mendirikan sangar guru karma dengan

tiga ruang, disebelah utara menghadap keselatan, sarana sesajen yang dipersembahkan pada

sanggar tersebut adalah daksina empat buah, dewa dewi empat buah, banten panglemek

empat tamas, tigasan putih berisi uang 225 kepeng sebanyak empat pasang yang masing-

masing diikat dengan benang. Sirih pinang satu tamas, beserta tegenan-tegenan, bijaratus

berwadah sopak.

Di bawah sangar guru karma dipersembahkan sarana berupa sesayut memakai

tumpeng merah, ayam biring dipangang, sampyan dari daun andong merah uang 225 kepeng

daksina satu buah berisi uang 4000 kepeng. Di depan sanggar tersebut uang sebanyak empat

keranjang masing-masing 4000 kepeng. Untuk sangah tutuan dipersembahkan satu soroh atau

macam lengkap daksina dua buah yang isinya sama dengan yang di sebutkan di atas di sertai

uang dua keranjang masing-masing 4000 kepeng dan dewa dewi dua buah. Sementara banten

ayaban untuk orang yang didiksa sesayut satu pajeg tidak memakai jerimpen sumbu, tidak

memakai sate babali, hanya dilengkapi dengan biakala. Selanjutanya banten utuk

persembahan kepada sang guru yaitu suci satu soroh, peras, daksina berisi uang nista madya

atau utama sesuai dengan kemampuan orang yang melaksanakan diksa serta jauman lengkap,

panguriaga, pamreman, patarana, wastra lengkap, pasurian pojen, beserta banten ditempat

tidur. Ditammbah lagi untuk orang yang didiksa pabersihan, dan pakaian putih satu pasang,

panguriaga, ponjen, sekah suwun, pungu-pungu, dan alat-alat padudusan untuk pensucian.

2.3.12. Upacara Mawinten

Upacara mawinten juga tidak dijelaskan dalam lontar ini, akan tetapi secara umum

mawinten memiliki maksud pensucian kepada seseorang yang berhubungan dengan kesucian

misalnya pemangku atau pinandita, tukang banten dan lain-lain. Secara logikanya kesucian

akan dapat didekati atau diambil oleh orang yang memiliki kesucian. Mensucikan yang

dimaksud adalah mensucikan diri dalam konteks tri premana dengan tri kaya parisudha.

kesucian yang dimaksud bukanlah hanya sebagai suatu symbol melainkan harus secara

sebenarnya dalam konteks penyucian idep atau pikiran, sabda atu perkataan, dan bayu atau

perbuatan. Dengan demikian mewinten dimaksudkan adalah untuk mensucikan ketiga aspek

dalam diri manusia tersebut. adapun sarana dan tata cara yang disebutkan dalam lontar ini

yaitu mendirikan sanggar tutuan dengan persembahan sesaji suci satu perangkat lengkap,

daksuina dua buah, dewa dewi satu buah, sirih pinang satu tamas, sesayut gana, serta peras

dengen, daksina satu buah berisi uang tiga keranjang di tempatkan di tutuan. Untuk banten

tataban dalam lontar ini tidak ditentukan artinya artinya tidak ada ketentuan keharusan

14

Page 15: MANUSA YADNYA

jumlahnya. Untuk labaan orang yang diwinten yaitu pisang kayu 20 biji, bantalk lenga 20

buah, gagodoh 20 buah, bubur pradnyan, ditambah sirih pinang untuk pangurip ditulisai

aksara Ka Ga Gha Nga Ya Ra La Wa. Yang diwinten ditulisi aksara nista, madya dan utama.

Banten untuk pawedaan suci satu buah, peras, daksina, uang utamanya 8000, madya 4000,

dan nista 1700.

2.3.13. Upacara Untuk Orang Meninggal

Dalam lontar bacakan banten pati urip upacara untuk orang yang meningal dapat

dikelompokan atau dikategorikan kedalam 2 tingkatan upacara yaitu atitiwa atau atiwa-tiwa

dan yang kedua adalah atma wedana. Dalam lontar ini tidak ada disebutkan istilah ngaben,

ngeroras tau nyekah. Akan tetapi apabila dilihat dari proses dan pelaksanaannya maka dapat

dibandingkan yaitu proses atitiwa untuk orang meninggal dapat dipadankan dengan ngaben

dan atma wedana dipadankan dengan ngeroras, nyekah. Sementara menurut wariga dewasa

seperti yang dinyatakan Sri Reshi Ananda Kusuma (2009b: 21-22) menyatakan bahwa ada

tiga macam atiwa-tiwa yaitu Apratiwa, tandang mantra dan tumandang mantra. Proses atitiwa

mulai dilakukan sejak seseorang meninggal dunia sampai ngirim. Setelah itu selesai

dilanjutkan dengan atma wedana yang hari pelaksanaannya tidak dijelaskan dalam lontar ini

kapan waktunya yang pasti pelaksanaan upacara tersebut yang dijelaskan hanya

pelaksanaannya setelah upacara atitiwa selesai. Upacara atma wedana dalam lontar ini

dinyatakan ada tiga tingkatan yaitu utama, madya dan nista. Untuk utama atwma wedana

disebut dengan istilah baligia, tingkat madya disebut dengan tileman, dan nista disebut

dengan ngeroras.

Untuk tingkat utama dilaksanakan selama tiga hari dan pada hari ketiga tau puncak

acara disebut dengan panguptian yaitu puspalinga diusung mapurwa daksina sebanyak tiga

kali setelah itu dinaikan dalam bukur beserta sangge. Untuk tingkat madya atau tileman

ditandai dengan mendirikan sanggar tawang dengan jumlah ruang tiga upakara yang dinaikan

sama hanya pada akhir purwa daksina puspe linga ditempatkan tidak mengunakan bukur

tetapi madya dan sangge juga menyesuaikan dengan madya. Untuk tingkat nista upakaranya

ditandai dengan mendirikan sangar tutuan beruang satu mempersembahkan suci satu soroh

dengan saji lengkap. Di bawah tutuan dipersembahkan banten satu pajeg, jarimpen sumbu 2

buah, caru sor seperti pada patileman tata cara atmalinganya sama memakai sangge laki

perempuan setelah melaksanakan purwa daksina sebanyak tiga kali dinaikan ditempatnya di

sini tidak mengunakan bukur atau madya tetapi hanya mengunakan juli-julian yang

arepannya sama dengan upacara tileman. Setelah dipujakan lalu diturunkan dengan tanpa

15

Page 16: MANUSA YADNYA

membuat liwet . setelah dibakar dimasukan dalam kelapa gading muda di busanai kain putih

lalu dihanyut.

Di samping upacara tersebut di atas, dalam lontar ini juga dinyatakan beberapa

upacara yaitu ngenteg pedagingan ibu dan runtutan pedamel. Semua yang dijelaskan tersebut

adalah berkaitan dengan pura ibu dari pelaksanan ngenteg sampai urutan sajen dan

persembahyangan di pura tersebut. pura ibu merupakan diyatakan sebagai pura kawitan atau

pura tempat memuja leluhur. Sistematika rangkaian upacara dinyatakan setelah upacara

atmawedana hal ini menunjukan bahwa dalam proses selanjutnya adalah menstanakan roh

suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara di pura ibu dengan pesimpangan sanggah tiap-

tiap rumah masing-masing keluarga. Hal ini sesuai juga yang dinyatakan oleh Prof. Dr I

Made Titib (2003:100) pura kawitan seperti sanggah, merajan, ibu, panti, dadya, batur,

penataran, padharman dan yang sejenisnya. Sebagai pura kawitan sudah jelas pura ibu

merupakan temnpat menuja leluhur. Mengingat leluhur telah menjadi dewa pitara menjadi

suatu pemahaman yang sulit untuk mengklasifikasikan jenis upacara tersebut apakan

termasuk dewa yadnya atau pitra yadnya.

16

Page 17: MANUSA YADNYA

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sebagai salah satu lontar yang berisikan tentang uraian upacara dalam kehidupan

sampai kematian umat manusia tentunya merupakan suatu hal yang penting bagi manusia.

setiap upacara yang dilaksanakan tentunya memiliki suatu nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya. Secara intinya, sesuai dengan ajaran agama Hindu di dalam upacara terdapat

pemersatuan tri kerangka dasar agama Hindu yang merupakan aspek dalam agama Hindu

yaitu Tattwa, Susila atau ettika, dan upacara. Setiap upacara selalu memiliki landasan tatwa

yang berisikan makna dari upacara tersebut. sedangkan etika atau susila merupakan aturan

yang mendasari pelaksanaan upacara tersebut, sehingga mencapai keberhasilan dan

kesempurnaan dan upacara merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan oleh manusia

dalam upacara itu sendiri. Upacara yang dinyatakan dalam lontar banten pati urip pada

dasarnya ada perbedaan dan persamaan dengan pengetahuan dan susasatra lainnya. dalam

lontar ini hanya diuraikan mengenai upacara manusia yadnya dan pitra yadnya pada

umumnya.

17

Page 18: MANUSA YADNYA

DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazali.2011. Antropologi agama:Upaya memahami

keanekaragaman kepercayaan, keyakinan dan agama. Bandung: Alfabeta

Ananda Kusuma, Sri Rsi. 2009a. AUM Upacara Manusia Yadnya. Kayumas Agung

2009b. AUM Upacara Pitra Yadnya. CV Kayu Mas Agung

Budha Gautama, Wayan .2003. Puja Stawa: Penunjang Pegangan Para Pemangku dan

Balian. Surabaya: Paramita (Penj).2008. Tutur Rare Angon. Surabaya: Paramita

Jaya Wijayananda, Ida Pandita Mpu.2004a. Pitra Pakerti: Berbhakti Kepada Leluhur

Disaat Beliau Meninggal Dunia. Surabaya: Paramita

2004b. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita

Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: PAramita

Suhardana, Komang. 2008. Tri Murti : Tiga Perwujudan Tuhan. Surabaya: Paramita

2010. Kerangka Dasar Agama Hindu: Tattwa, Susila Upacara.Surabaya: Paramita

Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya:

Paramita.

18