i gusti ngurah kusuma yadnya
Transcript of i gusti ngurah kusuma yadnya
TESIS
INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN
JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN
INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL
FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN
INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS
I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN
JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN
INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL
FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN
INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS
I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA
NIM: 0914118102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN
JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN
INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL
FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN
INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Biomedik
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA
NIM: 0914118102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 14 November 2014
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR. Dr. I K. Siki Kawiyana, SpB. SpOT (K) Dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)
NIP: 19480909 197903 1 002 NIP: 19660709 199412 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. DR. Dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS
NIP 19461213 197107 1 001
Prof.DR.Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji
Tanggal : 14 Novemver 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, No. : 4077/UN 14.4/ HK/2014
Tertanggal : 27 Oktober 2014
Penguji :
1. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K
2. Dr. I Ketut Suyasa Sp.B Sp.OT(K)
3. Prof Dr. I G.M. Aman, Sp.FK, Prof DR.
4. Dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D,
5. DR. Dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes,
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya penelitian ini dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.
Pada penelitian yang berjudul ”Injeksi Gentamicin Lokal Menurunkan Jumlah
Koloni Kuman yang Sama dengan Injeksi Gentamicin Sistemik pada Internal
Fiksasi Patah Tulang Femur Tikus dengan Inokulasi Staphylococcus Aureus” ini,
penulis banyak mendapat bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas
Udayana atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Prof. DR. Dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), Mkes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis.
3. Prof. DR. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis.
4. Prof. DR. Dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku Ketua
Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
5. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), FICS dan Dr. I Ketut
Suyasa Sp.B Sp.OT(K) Spine, selaku pembimbing I dan pembimbing II
yang telah banyak memberikan petunjuk, masukan serta bimbingan dalam
penelitian ini.
6. Prof Dr. I G.M. Aman, Sp.FK, Prof DR. Dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,
Ph.D, DR. Dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes, selaku penguji tesis yang telah
banyak memberikan petunjuk, masukan serta bimbingan dalam penelitian
ini.
7. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), FICS, selaku Ketua
Program Studi Orthopaedi dan Traumatologi Universitas Udayana/ RSUP
Sanglah atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
8. Dr. I Ketut Suyasa Sp.B Sp.OT(K) Spine, selaku Sekertaris Program Studi
Orthopaedi dan Traumatologi Universitas Udayana/ RSUP Sanglah atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
9. Dr. K.G. Mulyadi Ridia, Sp.OT.(K) Spine, FICS, selaku Kepala Bagian
Orthopaedi dan Traumatologi, atas ijin yang telah diberikan kepada penulis
untuk melakukan penelitian ini.
10. Segenap staf pengajar di Bagian/ SMF Orthopaedi dan traumatologi FK
Udayana/ RSUP Sanglah.
11. Semua dosen pengajar Combined Degree Pasca Sarjana Universitas
Udayana yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan selama
ini.
12. Rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
laporan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
semua saran dan kritik demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga penelitian yang dilaksanakan ini nantinya dapat bermanfaat
bagi kemajuan ilmu kedokteran, khususnya di bidang Orthopaedi dan
Traumatologi.
Denpasar, Maret 2014
Penulis
ABSTRAK
INJEKSI GENTAMICIN LOKAL
MENURUNKAN JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN
INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL FIKSASI PATAH
TULANG FEMUR TIKUS DENGAN INOKULASI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Pemberian antibiotik sistemik sebelum operasi memiliki efektivitas yang
cukup baik dalam menurunkan jumlah koloni kuman, akan tetapi kelemahan
mendasar dari pemberian antibiotik secara sistemik adalah kerusakan kapiler dan
jaringan lunak daerah fraktur dapat mengurangi konsentrasi antibiotik pada daerah
fraktur. Sedangkan pemberian antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi
dapat mencapai langsung ke daerah luka tanpa dipengaruhi kerusakan kapiler.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek injeksi Gentamicin lokal setelah
penutupan luka operasi dibandingkan dengan injeksi Gentamicin sistemik dalam
menurunkan jumlah koloni kuman pada internal fiksasi patah tulang femur tikus
dengan inokulasi Staphylococcus aureus.
Penelitian ini merupakan post test only control group design dengan
menggunakan tikus galur Wistar, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok kontrol,
kelompok antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi, kelompok antibiotik
sistemik dengan masing - masing sampel 10 sampel. Dosis Gentamicin yang
diberikan adalah 20 mg/KgBB. Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan
Colony Forming Unit (CFU) pada hari kedua setelah inokulasi Staphylococcus
aureus dan fiksasi intramedullary wire. Hasil jumlah koloni kemudian
dibadingkan secara statisik.
Dari hasil uji statistik non parametric didapatkan hasil yang berbeda
bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok antibiotik lokal (p<0,05), hasil
yang berbeda bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok antibiotik
sistemik (p<0,05), dan hasil yang tidak berbeda bermakna antara kelompok
antibiotik lokal dengan antibiotik sitemik (p>0,05).
Peneliti menyimpulkan bahwa antibiotik lokal dan sistemik memiliki efek
yang sama dalam menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus pada patah
tulang femur tikus dengan fiksasi intramedyllary wire.
Kata kunci: Patah tulang, infeksi Staphylococcus aureus, Gentamicin lokal/
sistemik, Colony Forming Unit.
ABSTRACT
LOCAL ADMINISTRATION OF GENTAMICIN
DECREASE THE SAME AMOUNT OF BACTERIAL COLONY
COMPARED WITH SISTEMIC ANTIBIOTIC
IN RATS FEMUR FRACTURE WITH INTERNAL FIXATION
AND STAPHYLOCOCCUS AUREUS INOCULATION
Systemic antibiotic administration before the operation have a good
effectivity to decrease bacterial colony, but it has disadvantage because the
capillary damage could decrease the antibiotic concentration on fracture site.
Local administration antibiotic after wound closure could penetrate directly to the
fracture site without depending on capillary damage. The aim of the study was to
know the effect of local administration of Gentamicin after wound closure
compared to systemic Gentamicin to decrease bacterial colony in rat femur
fracture with internal fixation with Staphylococcus aureus inoculation.
This study was post test only control group design, using Wistar strain rats
divided into 3 groups: control group, local administration of antibiotic after
wound closure group, and systemic antibiotic group, each group consist of 10
samples. Gentamicin dose for this experiment was 20 mg/kgBW. Quantitative
count using Colony Forming Unit (CFU) was performed at the second day after
Staphylococcus aureus inoculation and intramedullary fixation. After that, the
result was compared using statistical method.
According to non parametric test, there was significant difference between
control group and local antibiotic group (p<0,05), there was also significant
difference between control group and systemic antibiotic group (p<0,05), but
there was no significant difference between local antibiotic group and systemic
antibiotic group (p>0,05).
Researcher concluded that local administration of antibiotic has the same
result with systemic antibiotic to decrease Staphylococcus aureus colony in rats
femur fracture with intramedullary fixation.
Keywords: Fracture, Staphylococcus aureus infection, local/ systemic
Gentamicin, Colony Forming Unit.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .................................................................................. ii
PRASYARAT GELAR ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................ vi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................... x
ABSTRACT ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
1.1 Latar belakang …………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 4
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………… 4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………...….. 5
2.1 Infeksi Pasca Operasi …….………………………………….. 5
2.2. Etiologi Infeksi Pasca Operasi …………………………...…. 5
2.2.1 Staphylococcus aureus ..…………............................……... 6
2.2.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus …….....................…... 6
2.2.3 Patogenesis Staphylococcus aureus ….........…………...... 7
2.2.4 Manifestasi klinis Staphylococcus aureus ………..……… 9
2.3 Infeksi Pasca Operasi Pada Penatalaksanaan Frakur ………. 9
2.3 Fraktur.…................................................................................. 10
2.3.1 Mekanisme terjadinya Fraktur ……..................…………. 10
2.3.2 Klasifikasi Fraktur …....................................................…… 11
2.3.3 Penatalaksanaan Fraktur…….........................................…... 12
2.3.5 Biofilm pada Internal Fiksasi ……......................................... 16
2.4 Diagnosis Infeki Sytaphylococcus aureus …................…..... 17
2.5 Antibiotik pencegah Infeksi Pasca Operasi …….................... 18
2.5.1 Antibiotik sistemik …...................................................…..... 18
2.5.2 Antibiotik lokal …........................................................…..... 20
2.6 Penggunaan tikus Wistar dalam Penelitian Eksperimental..... 20
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN…......... 22
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………. 22
3.2 Konsep ....................................................................................... 24
3.3 Hipotesis Penelitian ………………………………………….. 25
BAB IV
METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 26
4.1 Rancangan Penelitian ………………………………………... 26
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………... 27
4.3 Populasi dan Sampel ………………………………………… 27
4.3.1 Kriteria Subyek ……………………………………………. 27
4.3.2 Besar Sampel ………………………………………………. 28
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel …………………………….... 29
4.4 Variabel Penelitian ………………………………………….. 29
4.4.1 Klasifikasi Variabel ……………………………………….. 29
4.4.2 Definisi Operasional Variabel ……………………………... 29
4.5 Bahan Penelitian dan Instrumen Penelitian …………………. 32
4.6 Prosedur Penelitian …………………………………………... 34
4.7 Alur Penelitian ……………………………………………….. 37
4.8 Analisis Data ………………………………………………… 38
BAB V
HASIL PENELITIAN ……………………....………………………….. 39
5.1 Data Penelitian ………..…………....……………………...... 39
5.2 Analisis deskriptif .................………………………………... 40
5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas data …………….……….. 41
5.4 Hasil Uji Inferensi ………………………………..…………. 45
BAB VI
PEMBAHASAN ……..……………….....……………………………….. 49
6.1 Subyek Penelitian …………..……………….....…………...... 49
6.2 Media Pembiakan Kuman ……......………………………...... 49
6.3 Penghitungan Koloni Kuman ……..………………………...... 49
6.6 Hasil Penelitian …………..………………………………...... 50
6.7 Kelemahan Penelitian ………..……..……………………...... 55
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 56
7.1 Kesimpulan……….………..………………………………...... 56
7.2 Saran…………………………………………………………... 56
DAFTAR PUSTAKA…………………................……………………….. 57
LAMPIRAN …………………………………………................................ 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Scanning Electron Micrograph
Staphylococcus aureus …………………………….. 7
Gambar 2.2 Patogenesis Staphylococcus aureus ……………….. 10
Gambar 2.3 Mechanism of Injury (MOI) fraktur ……………….. 12
Gambar 2.4 Skin traksi …………………………………………... 14
Gambar 2.5 Skeletal traksi ……………...………………………... 14
Gambar 2.6 Metode Plate-Screw ………………………………… 15
Gambar 2.7 Intramedullary Nail ………………………………… 16
Gambar 2.8 Fase Pembentukan Biofilm ………………………… 17
Gambar 3.1 Konsep penelitian ..……..……...............………….. 25
Gambar 4.1 Rancangan penelitian ………………………………. 27
Gambar 4.2 Bahan Penelitian (Tikus galur Wistar) ….………….. 33
Gambar 4.3 Instrumen Penelitian ……………...……………….. 34
Gambar 4.4 Prosedur Penelitian ……….……………………….. 37
Gambar 4.5 Alur Penelitian …………………………………….. 38
Gambar 5.1 Jumlah Koloni Total Masing - Masing Kelompok
(CFU/ml)..................................................................... 42
Gambar 5.2 Distribusi Data Kelompok Kontrol............................. 45
Gambar 5.4 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Sistemik......... 46
Gambar 5.5 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Lokal ............. 47
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Uji Statistik Normalitas Data …………....….....…....…. 48
Tabel 5.2 Uji Statistik Homogenitas Data …………………….…. 48
Tabel 5.3 Uji Statistik Kruskal - Wallis …..…………………….... 49
Tabel 5.4 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Kontrol
dan Gentamicin Lokal ............................................... 50
Tabel 5.5 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Kontrol
dan Gentamicin Sistemik.................................................. 51
Tabel 5.8 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Gentamicin
Sistemik dan Gentamicin Lokal ...................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Analisis Statistik ........................................................................... 69
Lampiran 2 Ethical Clearence .......................................................................... 90
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi pasca operasi merupakan hal yang masih sering terjadi, disebabkan
oleh banhyak faktor yang memegang peranan penting seperti operator, prosedur
pembedahan, jangka waktu pembedahan, sterilitas sarana dan prasarana ruang
operasi. Dampak yang ditimbulkan meliputi kerugian berupa kecacatan fisik,
psikologis, material, dan waktu dapat dicegah pada pasien - pasien penderita. Hal
ini mengakibatkan infeksi pasca operasi merupakan masalah yang kompleks untuk
ditangani.
Infeksi pasca operasi merupakan masalah yang tidak hanya terjadi di
negara berkembang seperti Indonesia, akan tetapi juga di negara maju seperti
Amerika Serikat. Berdasarkan data dari The United States Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) adalah 2% sampai 3% dari total 30 juta prosedur
operasi tiap tahunnya (CDC, 2013). Sedangkan definisi infeksi pasca operasi
masih menjadi perdebatan untuk masing - masing bidang ilmu bedah.
The United States Centers for Disease Control and Prevention
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan infeksi pasca operasi adalah infeksi
terkait prosedur pembedahan yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari atau 90 hari
jika melibatkan penggunaan implan (CDC, 2013).
Penggunaan implan dalam bidang orthopaedi baik berupa intramedullary
nail ataupun plate-screw fixation untuk fiksasi fraktur merupakan media yang
1
ideal dalam pembentukan biofilm meningkatkan resistensi kuman terhadap
antibiotik (Galanakos, 2009). Kerusakan jaringan lunak khususnya kapiler
pembuluh darah akibat high energy trauma memperburuk penghantaran antibiotik
ke daerah fraktur (Mow, 2005). Kedua hal tersebut di atas menyebabkan infeksi
pasca operasi pada penatalaksanaan patah tulang menjadi lebih rentan dan sulit
diatasi apabila infeksi pasca operasi sudah terjadi (Yarboro 2007; Cavanough,
2009). Sehingga modalitas pemeriksaan infeksi pasca operasi memegang peranan
penting untuk mendiagnosis terjadinya infeksi pasca operasi.
Terdapat berbagai modalitas untuk menentukan adanya infeksi pasca
operasi, mulai teknik pengecatan sederhana hingga teknik yang canggih seperti
Polymerase Chain Reaction (PCR) (Matthews, 1997). Gold standard untuk
menentukan adanya infeksi pasca operasi adalah kultur bakteri. Untuk
mendapatkan hasil yang objektif, hasil kultur dapat diukur secara kuantitatif
dengan metode Colony Forming Unit (CFU) (Zhongli, 2011). Pada infeksi pasca
operasi yang disebabkan oleh Stapylococcus aureus, jumlah koloni yang dianggap
signifikan untuk menimbulkan infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi
adalah 50.000 – 100.000 CFU/ml (Yarboro, 2007). Selain modalitas diagnosis,
tentu saja diperlukan adanya solusi untuk mengatasi atau menurunkan jumlah
koloni kuman sehingga infeksi pasca operasi dapat dicegah.
Penggunaan antibiotik sistemik 60 menit sebelum penutupan luka operasi
terbukti efektif dalam menurunkan jumlah koloni kuman sehingga dapat
mencegah timbulnya infeksi pasca operasi (Dellinger, 1994; Bratzaler, 2004).
Akan tetapi pemberian antibiotik sistemik memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
Penghantaran antibiotik sangat tergantung dari viabilitas kapiler menuju
daerah fraktur, dalam kasus fraktur, terjadi kerusakan jaringan lunak
terutama kapiler yang disebabkan oleh trauma yang pada umumnya adalah
high energy trauma. Hal ini mengakibatkan konsentrasi antibiotik yang
mencapai daerah fraktur menjadi menurun sehingga dosis terapeutik tidak
dapat dicapai (Yarboro, 2007).
Tingginya efek samping antibiotik sistemik yang ditimbulkan berupa
ototoksik maupun nefrotoksik karena diinjeksikan secara langsung ke
pembuluh darah (Cavanough, 2009).
Untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut maka dipikirkan alternatif lain
sebagai modalitas penghantaran antibiotik yang tidak tergantung pada kerusakan
kapiler dan mengurangi efek samping sistemik yang ditimbulkan. Penggunaan
antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi merupakan salah satu alternatif
solusi untuk masalah tersebut. Gentamicin merupakan antibiotik yang tepat untuk
penggunaan secara lokal karena bersifat broadspectrum dan memiliki daya tahan
terhadap perubahan lingkungan luar terutama suhu (Yarboro, 2007; Cavanough
2009).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis ingin mengetahui efek injeksi
Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi dibandingkan dengan injeksi
Gentamicin sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pada internal
fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi Staphylococcus aureus.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi
menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin
sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi
Staphylococcus aureus?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi
menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin
sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi
Staphylococcus aureus.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Teori:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar kajian untuk penelitian –
penelitian berikutnya yang terkait dengan pemberian antibiotik profilaksis untuk
mengurangi insiden infeksi pasca operasi.
Manfaat Aplikatif:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk menyusun
Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pemberian antibiotik mengurangi
insiden infeksi pasca operasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Pasca Operasi
The United States Centers for Disease Control and Prevention
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan infeksi pasca operasi adalah infeksi
terkait prosedur pembedahan yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari atau 90 hari
jika melibatkan penggunaan implan (CDC, 2013).
Secara statistik, infeksi pasca operasi meningkat pada hari kedua pasca
operasi (Cavanough, 2009). Penyebab tersering infeksi pasca operasi dalam
bidang Orthopaedi adalah Staphylococcus aureus (CDC, 2013). Pada infeksi
pasca operasi yang disebabkan oleh Stapylococcus aureus, jumlah koloni
Staphylococcus aureus yang dianggap signifikan untuk menimbulkan infeksi
pasca operasi dalam bidang Orthopaedi adalah 50.000 – 100.000 CFU/ml
(Yarboro, 2007).
2.2 Etiologi Infeksi Pasca Operasi
Berdasarkan data dari The United States Centers for Disease Control and
Prevention, angka insiden infeksi pasca operasi yang disebabkan oleh
Stapylococcus aureus adalah 2% sampai 3% dari total 30 juta prosedur operasi
tiap tahunnya (CDC, 2013).
5
2.2.1 Staphylococcus aureus
Staphyle dalam bahasa Latin berarti anggur sedangkan kokkos berarti berry
(bulat). Berdasarkan nomeklatur dapat dijabarkan sebagai berikut: kingdom:
eubakteria, filum: firmicutes, kelas: bacilli, ordo: bacillales, family:
Staphylococaceae, genus: Staphylococcus, dan spesies: aureus (Breuer. 2002).
Gambar 2.1 Scanning Electron Micrograph Staphylococcus aureus
(Huang, 2006)
2.2.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus
Penyebab tersering infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi adalah
Staphylococcus aureus (CDC, 2013). Tingginya angka infeksi pasca operasi yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus terkait dengan sifat alamiah yang dimiliki
oleh Staphylococcus aureus, yaitu:
1. Kemampuan untuk membuat koloni pada kulit yang merupakan
port de entry saat proses pembedahan (Kluytmans, 1997; Cole,
2001; Breuer, 2002).
2. Kemampuan untuk bertahan pada saluran rongga hidung, sehingga
individu yang sehat sekalipun dapat menjadi karier bagi
Staphylococcus aureus (Nouwen, 2004; Mertz, 2007).
3. Jika tidak mendapatkan penatalaksanaan antibiotika yang adekuat
maka Staphylococcus aureus dapat membentuk biofilm dan
berubah menjadi strain yang resisten terhadap antibiotika yaitu
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Whitt,
2002; Huang, 2006; Applebaum 2007).
2.2.3 Patogenesis Staphyloccocus aureus
Staphylococcus aureus memiliki kemampuan yang unik dalam
menginfeksi jaringan tubuh host serta mempertahankan diri dari ancaman
eksternal sehingga infeksi pasca operasi menjadi lebih sulit diatasi. Faktor – faktor
tersebut diuraikan sebagai berikut (Kloos, 1995; Todar, 2013):
1. Surface protein: yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan
Staphylococcus aureus dalam membentuk koloni pada jaringan
tubuh host.
2. Invasins: yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan
penyebaran Staphyloccus aureus dalam jaringan tubuh host.
Invasins terdiri dari: leukocidin, kinase, dan hyaluronidase.
3. Surface factor: yang berfungsi untuk mencegah fagositosis dari sel
– sel immune system host. Surface factor terdiri dari: capsule dan
Protein A.
4. Biochemical properties: yang berfungsi untuk meningkatkan
survival rate Staphylococcus aureus dari sel – sel fagosit.
Biochemical properties terdiri dari: carotenoids dan catalase.
5. Immunological disguise: yang berfungsi untuk menyamarkan diri
dari sel – sel immun host sehingga tidak dikenali. Immunological
disguise terdiri dari: Protein A dan coagulase.
6. Membrane-damaging toxins: yang melisiskan membran sel – sel
eukaryotic. Membrane-damaging toxins terdiri dari: hemolysins,
leukotonin, dan leucocidin.
7. Exotoxins: yang berfungsi untuk menghancurkan jaringan tubuh
host atau memprovokasi timbulnya gejala penyakit. Exotoxins
terdiri dari: SEA-G, TSST, dan ET
8. Staphylococcus aureus juga memiliki kemampuan untuk
membentuk resistensi terhadap antibiotik dan menurunkannya pada
generasi berikutnya.
Gambar 2.2 Patogenesis Staphylococcus aureus (Todar, 2013)
2.2.4 Manifestasi Klinis Infeksi Staphylococcus aureus
Berdasarkan tanda klasik dari reaksi infeksi menurut Celcus Aurelius
Cornelius, secara umum infeksi Staphylococcus aureus akan menghasilkan reaksi
infeksi pada luka pasca operasi sebagai berikut: rubor (kemerahan), calor
(hangat), tumor (bengkak) dan dolor (nyeri). Secara khas, Staphylococcus aureus
akan menghasilkan gambaran abses yang terdiri dari dinding fibrin yang
dikelilingi oleh jaringan inflamasi yang menutupi inti yang mengandung leukosit
dan mikroorganisme. Hal ini dimungkinkan karena Staphylococcus aureus dapat
menghasilkan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan (Todar, 2013).
2.3 Infeksi Pasca Operasi pada Penatalaksanaan Fraktur
Infeksi pasca operasi pada penatalaksanaan fraktur terkait erat dengan dua
hal, yaitu: kerusakan jaringan lunak khususnya pembuluh darah, dan penggunaan
implan sebagai modalitas internal fiksasi pada fraktur.
2.3.1 Fraktur
Patah tulang atau sering disebut dengan istilah fraktur adalah:
diskontinyuitas struktural tulang disertai dengan kerusakan jaringan lunak
disekitarnya (Apley, 2010). Fraktur femur merupakan salah satu fraktur dengan
insiden tertinggi pada seluruh strata usia (Salminen, 2005)
2.3.2 Mekanisme Terjadinya Fraktur
Tulang memiliki tingkat elastisitas tertentu dalam menahan beban tubuh
dan dari trauma lingkungan luar. Apabila gaya yang diterima lebih besar dari
kemampuan tulang dalam menahan beban maka terjadi fraktur (Apley, 2010).
Mechanism of Injury (MOI) dari fraktur menentukan konfigurasi fraktur
yang akan ditimbulkan dan juga kerusakan jaringan lunak yang akan terjadi di
daerah sekitar fraktur (Utvag, 2003). Konfigurasi fraktur spiral dihasilkan dari
twisting force, konfigurasi short oblique dihasilkan dari compression force,
konfigurasi triangular butterfly fragment dari bending force, dan konfigurasi
transverse dihasilkan dari tension force. Konfigurasi fraktur spiral dan oblique
pada umumnya dihasilkan dari low energy indirect injury. Sedangkan konfigurasi
triangular butterfly fragment dan transverse disebabkan oleh high energy direct
trauma. Semakin tinggi energi yang diterima maka semakin besar tingkat
kerusakan jaringan lunak khususnya kerusakan pembuluh darah di sekitar daerah
fraktur (Salminen, 2005; Apley, 2010).
Gambar 2.3 Mechanism of Injury (MOI) fraktur (Apley, 2010)
a) spiral (twisting), b) short oblique (compression),
c) triangular butterfly fragment (bending), d) transverse (tension)
2.3.3 Klasifikasi Fraktur
Tscherne (1984) membagi klasifikasi fraktur berdasarkan kerusakan soft
tissue (otot, kulit), mechanism of injury, konfigurasi fraktur, dan cedera vaskuler
menjadi 4 grade, yaitu:
Grade 0: kerusakan soft tissue minimal, disebabkan oleh trauma tidak
langsung, konfigurasi fraktur sederhana
Grade 1: terdapat abrasi superficial dan kontusio yang disebabkan oleh
tekanan dari dalam, konfigurasi fraktur ringan sampai sedang
Grade 2: abrasi dalam, disertai dengan kontusio otot dan kulit, impending
compartment syndrome, konfigurasi fraktur yang berat
Grade 3: kontusio kulit yang luas disertai kerusakan otot yang luas (crush
injury), compartment syndrome, cedera vaskuler mayor, konfigutasi
fraktur yang berat
Fraktur dengan klasifikasi Tscherne grade 1 merupakan fraktur dengan
konfigurasi simple transverse, dengan kerusakan soft tissue moderat. Fraktur jenis
ini merupakan salah satu jenis fraktur yang sering terjadi pada fraktur femur
(Salminen, 2005).
2.3.4 Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksananaan fraktur pada long bone khususnya femur Tscherne
grade 1, beberapa modalitas dapat dilakukan, yaitu: konservatif (traksi) dan
operatif (plate-screw dan intramedullary nailing).
Indikasi penatalaksanaan patah tulang femur dengan menggunakan traksi
adalah: 1) patah tulang pada anak – anak. 2) pasien dengan kontraindikasi
pembiusan, 3) Kurangnya fasilitas dan dokter ahli untuk melakukan teknik
internal fiksasi (Salter, 1999). Secara umum, traksi dibagi menjadi 2 jenis yaitu
skin traksi dan skeletal traksi. Skin traksi merupakan terapi definitif pada patah
tulang femur anak – anak, hal ini disebabkan karena beban maksimal yang dapat
diberikan pada skin traksi adalah 7 kg, hal ini untuk menghindari terjadinya
komplikasi timbulnya bula dan kerusakan jaringan kulit akibat beban yang terlalu
tinggi (Apley, 2010). Pada pasien dewasa, beban yang diberikan antara 7-15 kg,
karena menggunakan Steinmann pin yang menembus tulang. Penatalaksanaan
menggunakan traksi memiliki kelemahan mendasar yaitu reduksi dan fiksasi
fraktur tidak dapat dicapai dengan adekuat, lamanya jangka waktu perawatan di
rumah sakit, prolong immobilization, dan kekakuan pada sendi lutut (Canale,
2007). Penatalaksanaan menggunakan traksi dapat dilakukan pada semua umur,
akan tetapi hasil yang lebih efektif didapatkan pada anak – anak (Demmer, 2013).
Gambar 2.4 Skin traksi (Demmer, 2013)
Gambar 2.5 Skeletal traksi (Demmer, 2013)
Indikasi penatalaksanaan fraktur femur dengan menggunakan plate-screw
adalah: 1) patah tulang pada daerah proximal atau distal dari shaft femur, 2)
fraktur shaft femur pada anak – anak, 3) patah tulang dengan cedera vaskuler yang
membutuhkan repair vaskuler (Chapman, 2001). Fiksasi menggunakan plate-
screw memungkinkan operator untuk melakukan reduksi fraktur dengan cara open
reduction akan tetapi penggunaan metode ini mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih luas karena diperlukan expose yang lebih luas untuk penempatan
posisi plate (Canale, 2007). Plate-screw merupakan weight shielding device (gaya
yang ditimbulkan dari berat badan sebagian besar disangga oleh plate) sehingga
angka kejadian implant failure menjadi lebih tinggi dan early weight bearing akan
lebih lama dilakukan jika dibandingkan dengan intramedullary nailing (Apley,
2010).
a) b) c)
Gambar 2.6 Metode Plate-Screw (Apley, 2010)
a) Fraktur femur, b) Plate-screw fixation, c) Implant failure
Gold standard untuk penatalaksanaan fraktur pada long bone adalah
menggunakan intramedullary nail. Indikasi penatalaksanaan fraktur femur dengan
menggunakan intramedullary nail adalah 1) patah tulang pada daerah shaft femur
pada pasien dewasa, 2) multiple fraktur, 3) pasien dengan underlying disease
(dibetes mellitus, dll) yang membutuhkan early weight bearing untuk mencegah
timbulya komplikasi (Chapman, 2001; Apley, 2010). Fiksasi dengan
menggunakan intramedullary nail memungkinkan operator untuk melakukan
reduksi secara langsung tanpa harus melakukan diseksi jaringan lunak yang luas
yang memperburuk vaskularisasi pada daerah fraktur (Buchloz, 2005; Canale,
2007). Berbeda dengan plate-screw, metode intramedullary nail merupakan
weight sharing device (gaya yang ditimbulkan dari berat badan dibagi dua antara
tulang dan nail) sehingga angka kejadian implat failure menjadi minimal dan
early weight bearing dapat dilakukan dan pasien dapat melakukan mobilisasi
dengan lebih cepat (Apley, 2010).
a) b)
Gambar 2.7 Metode Intramedullary Nailing (Apley, 2010)
a) Intramedullary nail, b) Intarmedullary nail fixation
2.3.5 Biofilm pada Internal Fiksasi
Biofilm adalah lapisan yang dihasilkan dari agregasi sel dan produk dari
sel itu sendiri yang melekat pada permukaan solid. Struktur biofilm dibentuk dari
sel – sel mikroba dan substansi polimer ekstraseluler yang menyediakan
lingkungan yang ideal untuk pertukaran genetik antar sel (Kaplan, 2004;
Galanakos, 2009).
Terdapat 5 fase dalam pembentukan biofilm pada permukaan implan, yaitu
(Galanakos, 2009):
Stage 1: Fase inisial melekatnya kuman pada permukaan implant
Stage 2: Produksi substansi polimer ekstraseluler
Stage 3: tahap awal pembentukan arsitektur biofilm (kolonisasi)
Stage 4: Maturasi arsitektur biofilm
Stage 5: dispersi sel tunggal dari biofilm. Pada fase akhir ini, apabila
suasana lingkungan tidak menguntungkan maka kuman akan berenang
mencari permukaan yang lebih ideal untuk tumbuh kembali.
Gambar 2.8 Fase Pembentukan Biofilm (Galanakos, 2009)
2.4 Diagnosis Infeksi Staphylococcus aureus
Diagnosis dari Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan
pemerikasaan biokimia atau dengan enzyme based test (Felten, 2005). Pengecatan
gram adalah cara yang paling sederhana untuk menegakkan diagnosis infeksi
Staphylococcus aureus. Pengecatan tersebut akan memberikan gambaran tipikal
bakteri gram positif, berbentuk kokus, dan tergabung dalam suatu kluster
(Matthews, 1997).
Seiring dengan perkembangan kemajuan biologi molekuler, diagnosis dan
analisis Staphylococcus aureus dapat dilakukan secara cepat (real-time) tanpa
harus menunggu satu minggu untuk pertumbuhan kuman seperti yang dilakukan
pada pemerikasaan kultur. Diagnosis cepat ini meggunakan teknik yang disebut
real-time PCR (Polymerase Chain Reaction) dan kuantitatif PCR. Teknik ini
mencocokkan tipe kromosom sampel dengan Staphylococcus aureus yang sudah
tersedia di laboratorium dengan sediaan yang diperiksa (Matthews, 1997).
Gold standard untuk pemeriksaan infeksi Staphylococcus aureus adalah
kultur kuman. Mannitol salt agar merupakan medium selektif dan medium yang
ideal untuk pertumbuhan Stahylococcus aureus. Biakan tersebut akan
menghasilkan koloni dengan warna kuning yang merupakan hasil fermentasi dari
Mannitol dan juga penurunan pH dari medium yang digunakan. Untuk
differensiasi species yang lebih khusus, maka dilakukan ezyme based test yaitu
pemeriksaan katalase, koagulase, DNAse, lipase dan fosfatase (Felten, 1995;
Matthews, 1997).
Pada perkembangan terakhir, penggunaan chrom agar Staphylococcus
aureus dapat mencegah pertumbuhan bakteri lain sehingga bakteri yang tumbuh
hanya Staphylococcus aureus saja. Penghitungan kuantitatif Staphylococcus
aureus dapat dilakukan menggunakan Colony Forming Unit (CFU) dengan
metode swab plate dan penghitungan manual (Putman, 2005; Blodgett, 2008)
2.5 Antibiotik Pencegah Infeksi Pasca Operasi
Pilihan antibiotik pencegah infeksi pasca operasi sangat tergantung dari
epidemiologi mikroorganisme penyebab infeksi pasca operasi. Staphylococcus
aureus merupakan penyebab tersering dari infeksi pasca operasi pada fraktur
tertutup (Young, 2013). Pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi yang
umum dilakukan pada saat ini adalah antibiotik pencegah infeksi pasca operasi
secara parenteral yang memberikan dampak sistemik. Dalam penelitian terakhir,
pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi juga dapat diberikan dengan
cara injeksi lokal pada daerah operasi setelah penutupan luka operasi (Fletcher,
2007; Yarboro, 2007).
2.5.1 Antibiotik Sistemik Pencegah Infeksi Pasca Operasi
Pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi secara sistemik harus
mencapai konsentrasi yang adekuat pada lapangan operasi. Dosis inisial
tergantung dari volume distribusi, peak level, klirens, protein binding, dan
bioavoailabilitas. Salah satu antibiotik yang umum diberikan sebagai pencegahan
atau profilaksis untuk infeksi pasca operasi adalah Gentamicin yang merupakan
antibiotik jenis aminoglikosida. Sebagai antibiotik pencegah infeksi pasca operasi,
Gentamicin diberikan 60 menit sebelum insisi secara parenteral, karena pada
tenggang waktu tersebut, Gentamicin dapat mencapai level puncaknya pada
peredaran darah. Mekanisme kerja dari Gentamicin adalah menggangu sintesis
protein pada ribosom bakteri. Aminoglikosida berikatan dengan 30S ribosomal
subunit, yang mengakibatkan (Bosco, 2010):
– Kesalahan pembacaan kodon mRNA, yang menyebabkan
kesalahan dalam urutan pembentukan asam amino.
– Disrupsi dari polysome, yang menyebabkan penurunan efisiensi
protein sintesis polysome.
– Penghambatan translokasi tRNA antara ribosom A dan P binding
sites
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian Gentamicin secara
sitemik adalah (Cavanaugh, 2009):
– Kerusakan apparatus cochlea dan vestibular yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan tubuh, tinitus dan kehilangan
pendengaran
– Nephrotoxic effect yaitu kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh
efek toksik dari Gentamicin
– Reaksi alergi seperti nausea, muntah, dan skin rash
2.5.2 Antibiotik Lokal Pencegah Infeksi Pasca Operasi
Untuk meminimalkan efek samping dan memaksimalkan potensi
Gentamicin sebagai antibiotik pencegah infeksi pasca operasi maka diperkenalkan
cara pemberian dengan injeksi lokal pada kompartemen jaringan setelah
penutupan luka operasi. Kelebihan pemberian Gentamicin secara lokal adalah
Gentamicin dapat secara langsung diantarkan ke dalam daerah operasi tanpa
terpengaruh kerusakan kapiler yang terjadi sebagai akibat trauma langsung pada
jaringan lunak di sekitar fraktur. Pemberian Gentamicin setelah penutupan luka
operasi bertujuan untuk meningkatkan tenggang waktu antibiotik untuk berada di
dalam kavitas luka sehingga didapatkan hasil yang maksimal untuk eredikasi
bakteri. Kelebihan dari pemberian antibiotik secara lokal adalah efek toksisitas
sistemik yang lebih rendah sehingga efek samping sistemik seperti ototosik dan
nefrotoksik dapat diturunkan secara signifikan. Gentamicin merupakan pilihan
antibiotik yang utama karena sifatnya yang stabil pada lingkungan luar hingga
dapat tahan sampai suhu 100 derajat celcius (Yarboro, 2007).
2.6 Penggunaan Tikus Galur Wistar dalam Penelitian Eksperimental
Tikus Wistar adalah strain outbred tikus albino milik spesies Rattus
norvegicus. Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk
digunakan dalam biologi dan penelitian medis, terutama galur tikus pertama
dikembangkan sebagai model organisme pada saat laboratorium terutama
menggunakan Rattus Norvegicus (tikus), atau tikus rumah. Lebih dari separuh dari
semua strain tikus laboratorium adalah keturunan dari koloni asli yang
dikembangkan oleh Henry fisiologi Donaldson, J. Milton administrator ilmiah
Greenman, dan peneliti genetik/ embriologi Helen Dean King (Gunter, 2002).
Tikus galur Wistar dipilih dalam penelitian karena merupakan golongan
mamalia, relatif murah, berkembangbiak dengan cepat, memiliki ukuran tubuh
yang kecil, mudah dalam hal pemeliharaan, dan memiliki tingkat homologenitas
yang tinggi dengan manusia. Pemetaan genom pada tikus Wistar telah selesai
dilakukan pada tahun 2002. Genom haploid pada tikus Wistar memiliki panjang
sekitar tiga juta basa (3000Mb yang terdistribusi dalam 290 kromosom), hal ini
sebanding dengan jumlah dan ukuran genom pada manusia. Menghitung jumlah
pasti gen yang dimiliki oleh tikus Wistar sangatlah sulit dan masih menjadi
perdebatan oleh para ahli. Secara genetis, tikus memiliki jumlah gen kurang lebih
23.786, sedangkan pada manusia terdapat jumlah yang kurang lebih sama yaitu
23.686 gen (Gunter, 2002).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kejadian infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi berkaitan erat
dengan faktor – faktor sebagai berikut:
Kerusakan jaringan lunak terutama kapiler pembuluh darah yang
diakibatkan oleh high energy trauma mengakibatkan terjadinya
insufisiensi aliran darah ke daerah fraktur. Berkurangnya aliran darah
ke daerah fraktur mengakibatkan antibiotik yang diberikan
perioperatif tidak dapat mencapai fokus infeksi dengan baik sehingga
dosis terapeutik tidak dapat dicapai. Kerusakan jaringan lunak
moderat Tscherne grade 1 memiliki insiden tertinggi dibandingkan
dengan yang lain.
Penggunaan intramedullary nail pada penatalaksanaan patah tulang
panjang dalam hal ini femur, merupakan gold standard untuk
mencapai reduksi dan fiksasi yang adekuat, serta mencegah timbulnya
implant failure. Akan tetapi, implan merupakan foreign body bagi
tubuh, permukaan solid pada implan merupakan media yang ideal
untuk pembentukan biofilm sehingga resistensi bakteri menjadi
meningkat.
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama kejadian infeksi
pasca operasi pada penatalaksanaan fraktur dengan menggunakan
22
internal fiksasi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk merusak
jaringan serta pertahanan diri terhadap imunitas host dan antibiotik
Hal lain yang berpengaruh terhadap timbulnya infeksi pasca operasi dapat
dibagi mejadi dua yaitu:
Faktor internal: umur, jenis kelamin, berat badan, dan penyakit
penyerta.
Faktor eksternal: operator, ruang operasi, peralatan operasi, daerah
operasi, teknik operasi, durasi operasi, irigasi luka, penutupan luka,
dan perawatan luka pasca operasi.
Pemberian antibiotik perioperatif merupakan salah satu kunci utama dalam
keberhasilan pencegahan timbulnya infeksi pasca operasi. Metode pemberian
antibiotik perioperatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Antibiotik sistemik: pemberian antibiotik sistemik sangat tergantung pada
integritas jaringan vaskuler sebagai media penghantar antibiotik menuju
fokus infeksi.
Antibiotik lokal: antibiotik lokal dapat diberikan secara langsung menuju
fokus infeksi sehingga tidak tergantung pada integritas vaskuler untuk
mencapai dosis terapeutik.
Pada penelitian ini digunakan tikus galur Wistar karena memiliki fisiologi
dan struktur anatomi yang sangat mirip dengan manusia.
3.2 Konsep
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun
kerangka konsep sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
: Variabel bebas : Variabel tergantung : Variabel Kendali
TIKUS GALUR WISTAR FRAKTUR FEMUR
TSCHERNE GRADE 1 DENGAN FIKSASI
INTRAMEDULARY NAIL DAN INOKULASI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
FAKTOR
INTERNAL:
- umur
- jenis kelamin
- berat badan
- penyakit
penyerta
FAKTOR
EKSTERNAL:
- operator
- ruang operasi
- peralatan operasi
- daerah operasi
- teknik operasi
- durasi operasi
- irigasi luka
- penutupan luka
- perawatan luka
pasca operasi
JUMLAH KOLONI
KUMAN
ANTIBIOTIK SISTEMIK
ANTIBIOTIK LOKAL
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah injeksi
Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi menurunkan lebih banyak
jumlah koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin sistemik pada
internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi Staphylococcus aureus.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni post-test only control
group design yang bersifat analitik, prospektif. Pada kelompok subyek penelitian
(tikus galur Wistar), dilakukan pengambilan sampel yang memenuhi kriteria
inklusi penelitian, pada subyek penelitian dengan patah tulang femur Tscherne
grade 1 dan inokulasi Staphylococcus aureus kemudian dibagi menjadi 3
kelompok berdasarkan perlakuan yang diberikan: 1) Tanpa perlakuan (kontrol), 2)
Pemberian injeksi sistemik Gentamicin sebelum operasi, 3) Pemberian injeksi
Gentamicin secara lokal setelah penutupan luka operasi,
P S R O2
Gambar 4.1 Rancangan penelitian
Keterangan:
P : Populasi
S : Sampel
R : Random
26
P2
K0
P1
O1
O2
Ko : Kontrol (tanpa pemberian Gentamicin)
P1 : Injeksi Gentamicin sistemik
P2 : Injeksi Gentamicin lokal
O1, O2, O3 : Jumlah koloni kuman Staphylococcus aureus
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana. Penghitungan kuantitatif CFU dilakukan di bagian
Mikrobiologi RSUP Sanglah, Denpasar. Penelitian ini dilakukan mulai bulan
Januari 2014 sampai dengan selesai
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus galur Wistar. Sampel pada
penelitian ini adalah tikus galur Wistar yang memenuhi kriteria inklusi yang sudah
ditentukan oleh peneliti.
4.3.1 Kriteria Subyek
Kriteria inklusi:
a) Tikus galur Wistar dewasa dan sehat.
b) Umur 6 bulan karena umur 6 bulan memiliki persamaan dengan
manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik
c) Berat 200 - 300 gram
Kriteria drop out:
Tikus mati
4.3.2 Besar Sampel
Besaran sampel dihitung dengan rumus Federer (2008)
Keterangan:
n = besar sampel
t = jumlah perlakuan
Dari hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas, besar sampel minimal
yang diperlukan dalam masing - masing kelompok adalah 9 sampel. Ditambahkan
dengan 10% total sampel, sehingga jumlah yang digunakan pada penelitian ini
adalah 10 sampel untuk masing – masing kelompok
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
(t – 1) (n -1) > 15
(3 - 1) (n -1) > 15
(n - 1) >15 : 2
n -1 > 7,5
n> 8,5
Teknik pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut :
a) Dari populasi tikus galur Wistar diadakan pemilihan sampel
berdasarkan kriteria inklusi.
b) Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random
untuk mendapatkan jumlah sampel.
c) Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1) kontrol, 2) Gentamicin sistemik, 3) Gentamicin lokal. Masing-masing
dengan jumlah sampel yaitu 10 ekor tikus.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
1) Variabel bebas: pemberian perlakuan yaitu Gentamicin sistemik dan lokal
2) Variabel tergantung: jumlah koloni kuman Staphylococcus aureus
3) Variabel kendali: fraktur femur Tscherne grade 1 dengan inoklasi
Staphylococcus aureus, faktor internal, dan faktor eksternal.
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas: Antibiotik Gentamicin (generik)
Antibiotik sistemik: Konsentrasi Gentamicin generik 40 mg/ml, dosis
pemberian sistemik pada tikus adalah 20 mg/kgBB. Dari hasil
konversi maka 0,1 ml Gentamicin diinjeksikan melalui vena lateral
pada ekor tikus. Injeksi sistemik diberikan 60 menit sebelum operasi.
Antibiotik lokal: Setelah inokulasi, diberikan Gentamicin lokal
dengan dosis yang sama dengan Gentamicin sistemik (20 mg/kgBB)
pada kompartmen femur. Injeksi lokal Gentamicin diberikan pada
daerah operasi setelah penutupan luka operasi
2. Variabel tergantung: Jumlah koloni kuman
Penghitungan jumlah koloni kuman dilakukan dengan cara membuka
kembali kompartemen femur setelah hari kedua (secara statistik
insiden infeksi pasca operasi terjadi pada hari kedua pasca operasi),
kemudian dilakukan swab secara merata pada seluruh kavitas femur
dan dilakukan penghitungan Colony Forming Unit (CFU) metode
spread plate atau tebaran kemudian dihitung secara manual.
Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali dengan pengenceran 10-1
sampai 10-4
.
3. Variabel kendali:
a) Patah tulang femur Tscherne grade 1: pada tikus diberikan clip dan dijepit
selama 10 menit untuk menghasilkan kerusakan kapiler, kemudian
dilakukan frakturasi femur secara manual oleh operator yang sama.
b) Fiksasi Intramedullary nail: dilakukan dengan menggunakan Kirschner
wire ukuran 0,6 mm secara retrograde.
c) Inokulasi Staphylococcus aureus: setelah ekspose fraktur, diteteskan 1 ml
Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 8 x 10-5
CFU/ml.
d) Faktor internal:
Umur: tikus dengan umur 6 bulan
Jenis kelamin: tikus dengan jenis kelamin jantan
Berat badan: tikus dengan berat badan 200 - 300 gram
Penyakit penyerta: tikus dinyatakan sehat oleh dokter hewan
e) Faktor eksternal:
Operator: prosedur operasi dilakukan oleh satu orang operator yang
sama.
Ruang operasi: ruang operasi dilakukan di laboratorium Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Peralatan operasi: digunakan set bedah minor steril
Daerah operasi: operasi dilakukan pada paha kiri tikus yang telah
dicukur, desinfeksi dengan povidone iodine, dan dilakukan
drapping steril
Teknik operasi: dilakukan dengan lateral approach
Durasi operasi: operasi dilakukan kurang dari 1,5 jam
Irigasi luka: dilakukan dengan NaCl 0,9% sebanyak 0,5 cc
penutupan luka: dilakukan dengan penjahitan subkutis kontinyu
perawatan luka pasca operasi: dengan kasa steril dibuka pada hari
kedua
4.5 Bahan Penelitian dan Instrumen Penelitian
Bahan penelitian:
a. Tikus galur Wistar
b. Strain Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap Gentamicin
c. Chrom agar Staphylococcus aureus
d. Pakan tikus secara ad libitum
e. Air minum secara ad libitum
Gambar 4.2 Bahan Penelitian (Tikus galur Wistar)
Instrumen penelitian:
a. Kandang tikus
b. Meja operasi
c. Set bedah minor
d. Spuit 5 cc
e. Spuit 1 cc
f. Mess
g. Kirschner wire 0,6 mm
h. Swab steril
i. Tabung eksperimen
j. Non absorbable suture no 5
k. Kain steril
l. Masker
m. Cap
n. Apron
o. Handschoen steril
p. Ketamin
q. Povidone iodine
r. Gentamicin
s. Acetaminophen
Gambar 4.3 Instrumen Penelitian
4.6 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan secara berurutan sebagai berikut:
1) Tikus sehat dipilih dan diadaptasi ke dalam kandang selama 5 - 7
hari kemudian dibagi menjadi 3 kelompok.
2) Tikus dipelihara dalam kandang stainless steel dengan ukuran 50
cm x 50 cm x 40 cm, 1 kandang berisi 5 tikus. Tikus diberi pakan
dan minum secara ad libitum.
3) Anesthesia dilakukan dengan cara pemberian 1 ml ketamine (50
mg/ml) diinjeksikan intramuskular, setara dengan dosis 50
mg/kgBB.
4) Setelah tikus terbius, dilakukan pencukuran bulu pada daerah paha
luar, desinfeksi dengan povidone iodine, dan dilakukan drapping
steril.
5) Dilakukan penjepitan paha tikus dengan menggunakan klip selama
10 menit untuk menghasilkan kerusakan kapiler
6) Dilakukan frakturasi tulang femur secara manual oleh satu orang
operator.
7) Dilakukan insisi dengan lateral approach lapis demi lapis sampai
daerah fraktur.
8) Dilakukan inokulasi Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 8,0
x 105 CFU dengan menggunakan Pasteur pipett, didiamkan selama
2,5 menit.
9) Dilakukan fiksasi dengan intramedullary wire ukuran 0,6 mm
secara retrograde sebagai fiksasi dan media pertumbuhan kuman.
10) Dilakukan irigasi dengan NaCL 0,9% sebanyak 0,5 ml.
11) Dilakukan penjahitan luka operasi secara kontinyu dengan
nonabsobable suture No. 5.
12) Dilakukan dressing dengan kasa steril dan plaster.
13) Untuk kontrol nyeri diberikan 4 ml acetaminophen elixir (setara
dengan konsentrasi 125 mg/5ml) dilarutkan dalam 100 ml air
dengan sebagai minuman tikus.
Pemberian perlakuan dilakukan sebagai berikut:
1) Kontrol: tanpa pemberian antibiotik
2) Antibiotik sitemik: Gentamicin merupakan golongan
aminoglikosida yang mengganggu proses sinterisi ribosom
bakteri. Diberikan secara sistemik dengan konsentrasi 40 mg/ml
diberikan dengan dosis 0,1 ml (setara dengan dosis 20 mg/kgBB)
diinjeksikan melalui vena lateral pada ekor tikus. Injeksi sistemik
diberikan 60 menit sebelum operasi. Dilakukan sebelum langkah
No. 1 yaitu sebelum tikus terbius
3) Antibiotik lokal: Gentamicin lokal dengan konsentrasi 40 mg/ml
diberikan dengan dosis 0,1 ml (setara dengan dosis 20 mg/kgBB)
pada kompartmen femur. Injeksi lokal Gentamicin diberikan pada
daerah operasi setelah langkah No. 9 yaitu setelah penutupan
luka operasi.
Setelah hari kedua pasca operasi dilakukan pemeriksaan koloni kuman
dengan cara sebagai berikut:
1) Anesthesia dilakukan dengan cara pemberian ketamine
intramuskular dengan dosis 50 mg/kgBB.
2) Setelah tikus terbius, desinfeksi dengan povidone iodine, dan
dilakukan drapping steril.
3) Dilakukan insisi dengan lateral approach lapis demi lapis sampai
fracture site.
4) Dilakukan swab secara merata pada kavitas femur
5) Hasil swab diserahkan ke laboratorium mikrobiologi, dan setelah
hari kedua kultur dilakukan penghitungan Colony Forming Unit
(CFU) dengan metode spread plate atau tebaran kemudian
Pemilihan tikus galur Wistar yang
memenuhi kriteria inklusi, dengan
adaptasi 7 hari pada kandang mencit
Frakturasi Femur Tscherne Grade 1
dengan Fiksasi Intramedullary Nail dan
Inokulasi Staphylococcus aureus
Kontrol Gentamicin
sistemik
Gentamicin
lokal
dihitung secara manual. Pengulangan dilakukan sebanyak empat
kali dengan pengenceran 10-1
sampai 10-4
.
6) Setelah peneitian selesai dilakukan maka dilakukan euthanasia
pada seluruh sampel penelitian dengan menggunakan barbiturate
kemudian dibakar.
Gambar 4.4 Prosedur Penelitian
4.7 Alur Penelitian
Penghitungan kuantitatif CFU
(Hari ke dua)
Gambar 4.5 Alur Penelitian
4.8 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2009)
1. Analisis deskriptif
2. Analisis normalitas dan homogenitas:
Uji normalitas dengan Saphiro Wilk Test
Data tidak berdistribusi normal p < 0,05
Uji homogenitas = test of the equality of variance = F test (Levene’s
test for equality of variance)
Data tidak homogen p < 0,05
3. Setelah dilakukan transformasi, data tetap tidak berdistribusi normal dan
tidak homogen
4. Analisis Inferensial
Data tidak berdistribusi normal maka dilakukan
o Uji Kruskal Wallis
o Post Hoc test dilakukan dengan Mann-Whitney test
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Data Penelitian
Perhitungan kuantitatif secara manual yang dilakukan secara manual
dengan metode spread plate dengan 4 kali pengenceran dan 2 kali pengulangan
adalah sebagai berikut:
Gambar 5.1 Jumlah Koloni Total Masing - Masing Kelompok (CFU/ml)
5.2 Analisis Deskriptif
Data yang telah didapatkan kemudian dianalisa secara deskriptif
yang bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi masing - masing
kelompok sebagai berikut:
Pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya drop out pada subyek
penelitian. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel, dengan
jumlah koloni 3.732 CFU/ml.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Kontrol Gentamicin lokal GentamicinSistemik
Jumlah Koloni Kuman
39
Pada kelompok Gentamicin sistemik, tidak ada sampel yang memenuhi
kriteria drop out. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel,
dengan jumlah koloni 1.886 CFU/ml. Secara deskriptif, Gentamicin sistemik
memiliki efek yang baik dalam menurunkan jumlah kuman bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Akan tetapi, uji statistik masih diperlukan untuk
membuktikan hal ini.
Pada kelompok Gentamicin lokal tidak ada sampel yang memenuhi
kriteria drop out. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel,
dengan jumlah koloni 1.590 CFU/ml. Secara deskriptif, Gentamicin lokal
memiliki efek yang baik dalam menurunkan jumlah kuman bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Sedangkan bila dibandingkan dengan kelompok
Gentamicin sistemik, tidak terdapat perbedaan jumlah koloni kuman yang terpaut
jauh, hal ini berarti bahwa Gentamicin sistemik dan Gentamicin lokal memiliki
efek yang sama dalam menurunkan jumlah koloni kuman. Akan tetapi, uji statistik
masih diperlukan untuk membuktikan hal ini.
5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Dengan jumlah data masing - masing kelompok adalah 10, dan jenis data
numerik dan kategorik lebih dari 2 kelompok maka dilakukan uji statistik dengan
one way ANOVA, dengan syarat data harus berdistribusi normal (Uji Shapiro-
Wilk p>0,05) dan varian data harus homogen (Levene test p>0,05).
Gambar 5.2 Distribusi Data Kelompok Kontrol
Gambar 5.3 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Sistemik
Gambar 5.4 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Lokal
Tabel 5.1 Uji Statistik Normalitas Data
KLPK Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
KOLO-
NI
Kontrol .356 10 .001 .588 10 .000
Genta
Lokal
.474 10 .000 .388 10 .000
Genta
sistemik
.524 10 .000 .366 10 .000
Tabel 5.2 Uji Statistik Homogenitas Data
KOLONI
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.443 2 27 .647
Dari hasil uji statistik normalitas data Shapiro-Wilk, didapatkan data tidak
berdistribusi normal pada kelompok kontrol, kelompok Gentamicin sistemik dan
Gentamicin lokal. (p=0.000).
Dari hasil uji statistik homogenitas data, didapatkan data tidak homogen
(p=0,647). Setelah dilakukan transformasi data, tetap didapatkan hasil yang tidak
berdistribusi normal dan tidak homogen.
Dari uraian di atas, syarat uji statistik menggunakan one way ANOVA
tidak dapat dipenuhi, sehingga uji statistik dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis.
5.4 Hasil Uji Inferensi
Pengujian terhadap hasil jumlah kuman menggunakan Kruskal-Wallis
didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.3 Uji Statistik Kruskal –Wallis
KOLONI
Chi-Square 13.821
Df 2
Asymp. Sig. .001
Berdasarkan uji statistik Kruskal-Wallis pada tabel di atas, didapatkan
p=0,001, dari hasil tersebut didapatkan adanya perbedaan jumlah koloni yang
bermakna diantara ketiga kelompok.
Berdasarkan Post Hoc test untuk mengetahui perbedaan antara ketiga
kelompok didapatkan:
1. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok kontrol berbeda bermakna
dengan kelompok Gentamicin lokal (p=0,006)
Tabel 5.4 Uji Statistik Mann-Whitney
Kelompok Kontrol dan Gentamicin lokal
KOLONI
Mann-Whitney U 15.000
Wilcoxon W 70.000
Z -2.736
Asymp. Sig. (2-tailed) .006
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007b
2. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok kontrol berbeda bermakna
dengan kelompok Gentamicin sistemik (p=0,001)
Tabel 5.5 Uji Statistik Mann-Whitney
Kelompok Kontrol dan Gentamicin
sistemik
KOLONI
Mann-Whitney U 9.000
Wilcoxon W 64.000
Z -3.525
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001b
3. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok perlakuan 1 tidak berbeda
bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (p=0,627)
Tabel 5.6 Uji Statistik Mann-Whitney
Kelompok Gentamicin Sistemik dan
Gentamicin Lokal
KOLONI
Mann-Whitney U 46.000
Wilcoxon W 101.000
Z -.486
Asymp. Sig. (2-tailed) .627
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .796b
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa injeksi
Gentamicin lokal memiliki efek yang sama dibandingkan dengan Gentamicin
sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman.
Hipotesis penelitian bahwa injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan
luka operasi menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi
Gentamicin sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan
inokulasi Staphylococcus aureus tidak terbukti.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan subyek penelitian tikus galur Wistar. Tikus
jenis ini dipilih karena memiliki kemiripan yang sangat tinggi secara fisiologis
dan anatomis dengan manusia (Gunter, 2002).
Diharapkan penelitian eksperimental pada tikus galur Wistar ini dapat
memberikan gambaran awal dari hasil yang diharapkan pada manusia (Gunter,
2002).
6.2 Media Pembiakan Kuman
Media pembiakan kuman yang umum dipakai dalam penelitian adalah
Mannitol Salt Agar, akan tetapi pada penelitian ini digunakan Chrom agar
Staphyloccus aureus sebagai media pembiakan khusus sehingga pertumbuhan
kuman lain dapat dicegah (Felten, 1995).
6.3 Penghitungan Koloni Kuman
Penghitungan jumlah koloni kuman Colony Forming Unit (CFU) memiliki
beberapa metode, pour plate method, spread plate method, Miles and Misra
method, dan membrane filter method. Pada penelitian ini digunakan spread plate
method karena relatif sederhana, murah, dan akurat. Penghitungan jumlah koloni
kuman dilakukan dengan cara menghitung manual oleh satu orang analis yang
49
sama untuk masing – masing kelompok (Matthew, 1997; Puttman, 2005;
Blodgett, 2008).
6.4 Hasil Penelitian
Pada penelitian ini ditemukan hasil yang berbeda bermakna antara
kelompok Gentamicin sistemik dengan kelompok kontrol, hal ini membuktikan
bahwa pemberian Gentamicin sistemik sebelum operasi dilakukan efektif dalam
menurunkan jumlah koloni kuman pada fraktur femur Tscherne grade 1 dengan
fiksasi intramedullary nail dan inokulasi Staphylococcus aureus. Pada beberapa
meta-analysis yang melibatkan penelitian multi-center di seluruh dunia,
ditemukan bahwa pemberian antibiotik sistemik memberikan hasil yang efektif
dalam menurunkan angka insiden infeksi pasca operasi baik dalam bidang
Orthopaedi maupun dalam bidang bedah secara umum (Dale, 2004; Keely, 2004;
Prokuski, 2008). Terdapat kontroversi dalam hal timming pemberian antibiotik
sistemik, secara umum pemberian antibiotik sistemik akan efektif diberikan sesaat
sebelum operasi sampai dengan kurang dari 24 jam sebelum operasi (Classen,
1992; Dale 2004). Para ahli sepakat bahwa pemberian antibiotik sistemik sebelum
operasi memperoleh hasil yang terbaik bila dilakukan 60 menit sebelum insisi, hal
ini kemudian dijadikan sebagai Standard Operational Procedure (SOP) di banyak
center di seluruh dunia (Classen, 1992; Bratzler 2005).
Pada penelitian ini juga ditemukan hasil yang berbeda bermakna antara
kelompok Gentamicin lokal dengan kelompok kontrol, hal ini membuktikan
bahwa pemberian Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi, efektif dalam
menurunkan jumlah koloni kuman pada fraktur femur Tscherne grade 1 dengan
fiksasi intramedullary nail dan inokulasi Staphylococcus aureus. Beberapa
penelitian mencoba menguji efektivitas antibiotik lokal dengan berbagai macam
metode delivery, antara lain: irigasi Bacitracin, calcium sulfate flakes, systemic
Gentamicin, local aqueus Gentamicin, local Gentamicin-loaded calcium flakes,
local Gentamicin, local Cefazolin. Pada penelitian tersebut, pemberian antibiotik
local aqueus Gentamicin memberikan penurunan jumlah koloni kuman yang
tertinggi dibandingkan dengan metode antibiotik lokal lain, hal ini disebabkan
karena substansi pembawa Gentamicin seperti calcium flakes dapat berperan
sebagai foreign bodies yang meningkatkan survival rate dari bakteri. Hal ini juga
membuktikan bahwa kemungkinan untuk local aqueus Gentamicin keluar dari
kompatemen fraktur dapat diminimalisasi dengan teknik penjahitan watershield
yang benar (Yarboro, 2007).
Kedua metode pemberian antibiotik tersebut di atas memberikan hasil
yang efektif dalam menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Akan tetapi,
efektivitas kedua metode di atas, baik sistemik maupun lokal, masih menjadi
perdebatan di antara para ahli untuk menentukan metode delivery terbaik dalam
menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Hal ini disebabkan karena masih
sedikit penelitian yang membandingkan efektivitas antibiotik lokal dengan
antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Pada
penelitian ini, peneliti berusaha untuk membuktikan hal tersebut (Cavanough,
2009).
Pada penelitian terakhir, didapatkan hasil bahwa pemberian antibiotik
lokal memiliki efektivitas yang lebih baik dalam menurunkan jumlah koloni
kuman pasca operasi dibandingkan dengan antibiotik sistemik, hal tersebut
diuraikan sebagai berikut:
Yarboro (2007) melakukan penelitian dengan judul Locally Administered
Antibiotic for Prophylaxis Against Surgical Wound Infection. Penelitian ini
menggunakan subyek penelitian tikus yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan,
yaitu: 1) kontrol (tanpa perlakuan), 2) irigasi Bacitracin, 3) calcium sulfate flakes,
4) systemic Gentamicin, 5) local aqueus Gentamicin, 6) local Gentamicin-loaded
calcium flakes, dan 7) kombinasi antara local Gentamicin-loaded calcium flakes
dengan systemic Gentamicin. Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi
pengerusakan jaringan lunak ataupun frakturasi tulang femur, dilakukan
pembuatan kavitas secara tumpul pada otot femur dengan ukuran 2 x 2 x 2 cm dan
32-gauge stainless-steel suture dililitkan pada femur yang berfungsi sebagai
foreign body.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Cavanough (2009) dengan judul
Better Prophylaxis Against Surgical Site Infection with Local as Well as Systemic
Antibiotics. Penelitian ini menggunakan subyek penelitian tikus yang dibagi
menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu: 1) Kontrol (tanpa perlakuan), 2) local
Gentamicin, 3) systemic Cefazolin, 4) local Cefazolin, 5) Systemic Cefazolin plus
local Gentamicin, dan 6) Systemic Cefazolin plus local Cefazolin. Penelitian ini
memberikan hasil bahwa kombinasi antara Systemic Cefazolin plus local
Gentamicin memberikan hasil yang paling baik untuk menurunkan jumlah koloni
kuman pasca operasi. Hal ini membukikan bahwa kombinasi antara antibiotik
lokal dan sistemik memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan
antibiotik lokal saja. Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi pengerusakan
jaringan lunak ataupun frakturasi tulang femur, dilakukan pembuatan kavitas
secara tumpul pada otot femur dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 cm, dan 32-gauge
stainless-steel suture dililitkan pada femur yang berfungsi sebagai foreign body.
Sedangkan pada penelitian ini, didapatkan hasil yang tidak berbeda
bermakna antara kedua kelompok perlakuan, artinya adalah metode delivery
antibiotik secara lokal setelah penutupan luka operasi memiliki efektivitas yang
sama dengan antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pada
fraktur femur Tscherne grade 1 dengan fiksasi intramedullary nail dan inokulasi
Staphylococcus aureus.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda dengan kedua penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa antibiotik lokal memiliki efek yang lebih
baik dibandingkan dengan antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni
kuman, hal ini disebabkan karena perbedaan metode penelitian yang diuraikan
sebagai berikut:
Pada kedua penelitian sebelumnya, tidak dilakukan manipulasi
jaringan lunak, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pengerusakan
jaringan lunak dengan cara melakukan penjepitan otot femur dengan
menggunakan clip selama 10 menit (Tscherne grade 1). Hal ini
mengakibatkan delivery antibiotik sistemik ke daerah fraktur menjadi
menurun
Pada kedua penelitian sebelumnya tidak dilakukan frakturasi tulang
femur, sedangkan pada penelitian ini dilakukan frakturasi tulang shaft
femur sepertiga tengah dengan konfigurasi simple transverse. Hal ini
mengakibatkan delivery antibiotik sistemik ke dalam kompartemen
femur menjadi meningkat karena perdarahan endosteal yang terejadi
akibat fraktur.
Pada kedua penelitian sebelumnya, 32-gauge stainless-steel suture
hanya dililitkan pada permukaan tulang femur yang berfungsi sebagai
foreign bodies, sedangkan pada penelitian ini dilakukan difiksasi
fraktur dengan menggunakan intramedullary wire. Intramedullary
wire berperan sebagai foreign bodies untuk menghasilkan deep
infection. Pemberian antibiotik sistemik sebelum operasi dilakukan
dapat mencegah terjadinya deep infection karena antibiotik sudah
masuk ke dalam kompartemen femur terlebih dahulu sebelum bakteri
diinokulasi
Pada kedua penelitian sebelumnya dilakukan pembuatan kavitas/
kantong secara tumpul pada otot femur sehingga didapatkan ruang
untuk containment dari antibiotik lokal, dalam keadaan nyata dan
pada penelitian ini tidak dilakukan pembuatan kavitas / kantong pada
otot femur. Hal ini mengakibatkan antibiotik lokal dapat merembes
keluar dari kompartemen femur meskipun telah dilakukan teknik
penjahitan watershield, karena kurangnya ruangan untuk menampung
antibiotik intrakompartemen
Keempat perbedaan metode penelitian tersebut dia atas mengakibatkan
hipotesis penelitian yang didasari penelitian terdahulu tidak terbukti dalam
penelitian ini.
6.7 Kelemahan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan bias
pada penelitian:
Teknik pengambilan koloni kuman dari kompartemen femur dengan
menggunakan swab steril sehingga cukup sulit untuk mendapatkan
hapusan yang merata pada seluruh kompartemen femur untuk
mendapatkan jumlah koloni yang sama sebelum penghitungan
Penghitungan jumlah koloni kuman dilakukan secara manual oleh
seorang analis. Faktor human error dapat mengakibatkan kesalahan
penghitungan, hal ini dapat diatasi apabila tersedia system
penghitungan otomatis menggunakan software.
Teknik penjahitan watershield tidak menjamin mencegah keluarnya
antibiotik dari kompartemen femur
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi memiliki efek
yang sama dalam menurunkan koloni kuman dibandingkan dengan injeksi
Gentamicin sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan
inokulasi Staphylococcus aureus.
7.2 Saran
Karena memiliki tingkat efektivitas yang sama dalam menurunkan jumlah
koloni kuman, maka teknik pemberian antibiotik prophylaxis secara sistemik
dapat dipertahankan.
56
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A.G. 2010. Apley’s Sistem of Orthopaedic and Fractures. Ninth Editon.
London: Hodder Arnold. p.687-732.
Appelbaum, P.C. 2007. Microbiology of Antibiotic Resistance in Staphylococcus
aureus. Oxford Medical Journal, (serial online). [cited 2010 Jun 25].
Available from: http://cid.oxfordjournals.org/content/45/Supplement_3/
S165.long
Bibbo, C., Patel, D.V., Gehrmann, R.M., Lin, S.S. 2005. Chlorhexidine provides
superior skin decontamination in foot and ankle surgery: a prospective
randomized study. Clinical orthopaedics and related research, 438, 204-
208.
Blodgett, R.J. 2008. Mathematical treatment of plates with colony counts outside
the acceptable range. Food Microbiol. 2008;25:92–98
Bosco, J.A., Slover, J.D., Haas, J.P. 2010. Perioperative Strategies for Decreasing
Infection. Journal of Bone and Joint Surgery, Vol 92-A, (serial online).
[cited 2010 Jun 29]. Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/full/
92/1/232#responses
Bratzler, D. W., & Houck, P. M. (2005). Antimicrobial prophylaxis for surgery:
an advisory statement from the National Surgical Infection Prevention
Project. The American Journal of Surgery, 189(4), 395-
Bratzler, D.W., Houck, P.M. 2004. Antimicrobial prophylaxis for surgery: an
advisory statement from the national surgical infection prevention project.
Clin Infect Dis 2004;38:1706-15.
Breuer, K., Häussler, S., Kapp, A., & Werfel, T. 2002. Staphylococcus aureus:
colonizing features and influence of an antibacterial treatment in adults
with atopic dermatitis. British Journal of Dermatology, 147(1), 55-61.
Bucholz, Robert, Heckman, J.D. 2005. Rockwood and Green's Fractures in
Adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.
Canale, S.T. 2007. Campbell's Operative Orthopaedics. St. Louis, 11th ed,
MO: Mosby.
Cavanaugh, D.L., Berry, J., Yarboro, S.R., Dahners, E.L. 2009. Better
Prophylaxis Against Surgical Site Infection with Local as Well as
Systemic Antibiotics. Journal of Bone and Joint Surgery, (serial online).
[cited 2010 Jun 25] Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/
full/91/8/1907,
CDC/NHSN. 2013. Procedure associated module SSI, (serial online). [cited Jan
2010]. Available from: http://www.cdc.gov/nhsn/PDFs/pscManual/
9pscSSIcurrent.pdf
Chapman, Michael, W. 2001. Chapman's Orthopaedic Surgery. 3rd ed.
Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.
Classen, D. C., Evans, R. S., Pestotnik, S. L., Horn, S. D., Menlove, R. L., &
Burke, J. P. 1992. The timing of prophylactic administration of antibiotics
and the risk of surgical-wound infection. New England Journal of
Medicine, 326(5), 281-286.
Cole, A. M., Tahk, S., Oren, A., Yoshioka, D., Kim, Y. H., Park, A., Ganz, T.
2001. "Determinants of Staphylococcus aureus nasal carriage". Clin Diagn
Lab Immunol 8 (6): 1064–9.
Creech, C. B., Kernodle, D. S., Alsentzer, A., Wilson, C., & Edwards, K. M.
(2005). Increasing rates of nasal carriage of methicillin-resistant
Staphylococcus aureus in healthy children. The Pediatric infectious
disease journal, 24(7), 617-621.
Dale, W. B., Peter, M. H. 2004. Antimicrobial prophylaxis for surgery: an
advisory statement from the National Surgical Infection Prevention
Project. Clinical Infectious Diseases, 38(12), 1706-1715.
Dellinger, E.P., Gross, P.A., Barrett, T.L. 1994. Quality standard for antimicrobial
prophylaxis in surgical procedures. Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis 1994;18:422-7.
Demmer, P., Colton, C. 2012. Fracture Management with Limited Resources. AO
Foundation.(serial online). [cited Jan 2013] . Available from:
https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery/?showPage=redfix&bo
ne=Femur&segment=Shaft&basicTechnique=Femur%20shaft%20fracture
%20management%20with%20minimal%20resources.
Federer, W.T. 2008. Randomization and Sample Size in Experimentation. Cornel
University, (serial online). [cited Jun 2010]. Availabe from:
http://dspace.library.cornell.edu/bitstream/1813/32334/1/BU-236-M.pdf
Felten, A., Lepage, E., Lagrange, P. 1995. Critical analysis of tests for rapid
detection of Staphylococcus aureus, Pastorex Staph plus, Slidex Staph-
kit and Staph aureus in clinical isolates. Pathol Biol. 43:471–476.
Fletcher, N., Safianos, D., Berkes, M.B., Ombremsky, W.T. 2007. Prevention of
Perioperative Infection. Journal of Bone and Joint Surgery, (serial online).
[cited 2010 Jun 25]. Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/
full/89/7/1605/DC1
Galanakos, S.P., Papadakis, S.A., Kateros, K., Papakostas, I., Macheras, G. 2009.
Biofilm in Orthopaedic Practice: a World of Microbes in a World of
Implant. (serial online), [cited Jun 2013]. Available from:
http://www.marineaquariumsa.com/attachment.php?attachmentid=11297&
d=1376330309.
Gunter, C., Dhand, R. 2002. The Mouse Genome. Nature 420; doi:
10.1038/420509a
Huang, H., Flynn, N.M., King, J.H, Monchaud, C., Morita, M., Cohen S. 2006.
Comparisons of Community-Associated Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) and Hospital-Associated MSRA
Infections in Sacramento, California. J. Clin. Microbiol. July 2006 vol. 44
no. 7 2423-2427.
Kaplan. J.B., Ragunath, C., Velliyagounder, K., Fine, D.H., Ramasubbu, N.
2004. "Enzymatic detachment of Staphylococcus epidermidis
biofilms". Antimicrobial Agents and Chemotherapy 48 (7): 2633–6.
Keely, J. P., Russo, R. R., March, L., Cumming, R., Cameron, I., & Brnabic, A. J.
2004. Antibiotic prophylaxis in hip fracture surgery: a metaanalysis.
Clinical orthopaedics and related research, 419, 179-184.
Kloos, W.E., Bannermann, T.L. 1995. Staphylococcus and Micrococcus. In:
Murray, P. R., Baron, E.J., Pfaller, M.A., Tenover, F.C., Yolken, R.H.,
editors. Manual of clinical microbiology. 6th ed. Washington, D.C.:
American Society for Microbiology; 1995. pp. 282–298.
Kluytmans, J., van Belkum, A., Verbrugh, H. 1997. Nasal carriage of
Staphylococcus aureus: epidemiology, underlying mechanisms, and
associated risks. Clin. Microbiol. Rev. 10 (3): 505–20.
Matthews, K.R., Roberson, J., Gillespie, B.E., Luther, D.A., Oliver, S.P. 1997.
Identification and Differentiation of Coagulase-Negative Staphylococcus
aureus by Polymerase Chain Reaction. Journal of Food Protection60 (6):
686–8.
Meakins, J.L. 2008. Prevention of Post Operative Infection. ACS Surgery:
Principle and Practice. ACS Surgery. (serial online). [cited 2010 Jun 25]
Available from: http://www.acssurgery.com/acs/pdf/ACS0101.pdf
Mertz, D., Ott, A., Marjolein, F. Q., Vandenberg, K, Hélène, A.M. 2007. Throat
Swabs Are Necessary to Reliably Detect Carriers of Staphylococcus
aureus. Oxford Jounal. (serial online), [cited jun 2010]. Available from:
http://cid.oxfordjournals.org/content/45/4/475.full
Mow, V.C., Huiskes, R. 2005. Basic orthopaedic biomechanics & mechano-
biology. Lippincott Williams & Wilkins.
Nouwen, J.L., Ott, A., Marjolein, F.Q, Vandenbergh, K., Boelens, A.M., Hofman,
A. 2004. Predicting the Staphylococcus aureus Nasal Carrier State:
Derivation and Validation of a “Culture Rule”. Oxford Jounal. (serial
online), [cited jun 2010]. Available from: http://cid.oxfordjournals.org/
content/ 39/6/806.long
Prokuski, L. 2008. Prophylactic antibiotics in orthopaedic surgery. Journal of the
American Academy of Orthopaedic Surgeons, 16(5), 283-293.
Putman, M., Burton, R., Nahm, M.H. 2005. Simplified method to automatically
count bacterial colony forming unit. J Immunol Methods. 2005;302:99–
102.
Salminen, S. 2005. "Femoral Shaft Fractures in Adults: Epidemiology, Fracture
Patterns, Nonunons, and Fatigue Fractures” (dissertation). Department of
Orthopaedics and Traumatology Helsinki University Central Hospital
Helsinki, Finland.
Salter, Robert. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung :
CV Alfabeta.
Todar, K. 2013. Pathogenesis of Staphylococcus aureus. Todar’s Online Textbook
of Bacteriology. (serial online), [cited 2013 Jun 5]. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/staph_2.html.
Tscherne, H., Oestern, H.J. 1984. Fractures With Soft Tissue
Injuries.Pathophysiology and classification of soft tissue injuries
associated with fractures.ed. Berlin, Germany: Springer-Verlag. p. 6–7.
Utvag, S.E., Grundnes, O., Rindal D.B., Reikeras, O. Influence of Extensive
Muscle Injury on Fracture Healing in Rat Tibia. Journal of Orthopaedic
Trauma, Vol. 17, No. 6, 2003, pp. 430-435.
Whitt, Dixie, D., Salyers, Abigail, A. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular
Approach.Second Edition. USA: ASM Press.
Yorboro SR, Baum EJ, Dahners LE. 2007. Locally Administered Antibiotics for
Prophylaxis Against Surgical Wound Infection. Journal of Bone and Joint
Surgery. (serial online). [cited 2010 Jun 29] Available from:
http://www.ejbjs.org/cgi/content/full/90/2/384
Young, S., Lie, S.A., Hallan, G., Zirkle, L.G., Engesæter, L.B., Havelin, L.I.
2013. Risk Factors for Infection after 46,113 Intramedullary Nail
Operations in Low and Middle-income Countries. World J
Surg. 2013;37(2):349–55.
Zhongli, C., Chattopadhyay, N., Liu, J.W., Chan, C., Pignol, J.P., Reilly, R.M.
2011. Optimized digital counting colonies of clonogenic assays using
Image software and customized macros: comparison with manual
counting. International Journal of Radiation Biology 87 (11): 1135–1146
LAMPIRAN
EXAMINE VARIABLES=Koloni BY Kelompok
/PLOT BOXPLOT STEMLEAF HISTOGRAM NPPLOT
/COMPARE GROUPS
/STATISTICS DESCRIPTIVES
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.
Explore
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:26:59
Comments
Input
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values for dependent
variables are treated as
missing.
Cases Used
Statistics are based on
cases with no missing
values for any dependent
variable or factor used.
Syntax
EXAMINE
VARIABLES=Koloni BY
Kelompok
/PLOT BOXPLOT
STEMLEAF HISTOGRAM
NPPLOT
/COMPARE GROUPS
/STATISTICS
DESCRIPTIVES
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.
Resources Processor Time 00:00:06.33
Elapsed Time 00:00:22.00
[DataSet0]
KLPK
Case Processing Summary
KLPK Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KOLONI
Kontrol 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%
Genta Sistemik 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%
Genta Lokal 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%
Descriptives
KLPK Statistic Std. Error
KOLONI Kontrol
Mean 29877.78 4240.145
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 20099.99
Upper Bound 39655.57
5% Trimmed Mean 29614.20
Median 28500.00
Variance 161809444.44
4
Std. Deviation 12720.434
Minimum 14000
Maximum 50500
Range 36500
Interquartile Range 23550
Skewness .480 .717
Kurtosis -.836 1.400
Genta Sistemik
Mean 5633.33 4255.519
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound -4179.91
Upper Bound 15446.58
5% Trimmed Mean 4092.59
Median .00
Variance 162985000.00
0
Std. Deviation 12766.558
Minimum 0
Maximum 39000
Range 39000
Interquartile Range 5850
Skewness 2.786 .717
Kurtosis 7.988 1.400
Genta Lokal
Mean 5555.56 4070.084
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound -3830.08
Upper Bound 14941.19
5% Trimmed Mean 4200.62
Median .00
Variance 149090277.77
8
Std. Deviation 12210.253
Minimum 0
Maximum 35500
Range 35500
Interquartile Range 7250
Skewness 2.328 .717
Kurtosis 5.275 1.400
Tests of Normality
KLPK Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KOLONI
Kontrol .163 9 .200* .938 9 .557
Genta Sistemik .377 9 .001 .520 9 .000
Genta Lokal .453 9 .000 .549 9 .000
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
KOLONI
Histograms
Stem-and-Leaf Plots
KOLONI Stem-and-Leaf Plot for
Kelompok= Kontrol
Frequency Stem & Leaf
3.00 1 . 469
2.00 2 . 78
2.00 3 . 06
1.00 4 . 6
1.00 5 . 0
Stem width: 10000
Each leaf: 1 case(s
KOLONI Stem-and-Leaf Plot for
Kelompok= Genta Sistemik
Frequency Stem & Leaf
6.00 0 . 000000
.00 0 .
1.00 0 . 5
1.00 0 . 6
1.00 Extremes (>=39000)
Stem width: 10000
Each leaf: 1 case(s)
KOLONI Stem-and-Leaf Plot for
Kelompok= Genta Lokal
Frequency Stem & Leaf
7.00 0 . 0000000
2.00 Extremes (>=14500)
Stem width: 10
Each leaf: 1 case(s)
Normal Q-Q Plots
Detrended Normal Q-Q Plots
ONEWAY Koloni BY Kelompok
/STATISTICS HOMOGENEITY
/MISSING ANALYSIS.
Oneway
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:31:42
Comments
Input
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values are treated as
missing.
Cases Used
Statistics for each analysis
are based on cases with no
missing data for any
variable in the analysis.
Syntax
ONEWAY Koloni BY
Kelompok
/STATISTICS
HOMOGENEITY
/MISSING ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.01
Elapsed Time 00:00:00.00
[DataSet0]
Test of Homogeneity of Variances
KOLONI
Levene
Statistic
df1 df2 Sig.
.158 2 24 .855
ANOVA
KOLONI
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 3538108888.88
9
2 1769054444.44
4
11.199 .000
Within Groups 3791077777.77
8
24 157961574.074
Total 7329186666.66
7
26
NPAR TESTS
/K-W=Koloni BY Kelompok(0 2)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests
\
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:38:47
Comments
Input
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values are treated as
missing.
Cases Used
Statistics for each test are
based on all cases with
valid data for the
variable(s) used in that
test.
Syntax
NPAR TESTS
/K-W=Koloni BY
Kelompok(0 2)
/MISSING ANALYSIS.
Resources
Processor Time 00:00:00.01
Elapsed Time 00:00:00.00
Number of Cases Alloweda 112347
a. Based on availability of workspace memory.
[DataSet0]
Kruskal-Wallis Test
Ranks
KLPK N Mean Rank
KOLONI
Kontrol 9 21.44
Genta Sistemik 9 10.67
Genta Lokal 9 9.89
Total 27
Test Statisticsa,b
KOLONI
Chi-Square 13.409
df 2
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:
KLPK
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY Kelompok(0 1)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:39:41
Comments
Input
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values are treated as
missing.
Cases Used
Statistics for each test are
based on all cases with
valid data for the
variable(s) used in that
test.
Syntax
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY
Kelompok(0 1)
/MISSING ANALYSIS.
Resources
Processor Time 00:00:00.01
Elapsed Time 00:00:00.00
Number of Cases Alloweda 112347
a. Based on availability of workspace memory.
[DataSet0]
Mann-Whitney Test
Ranks
KLPK N Mean Rank Sum of Ranks
KOLONI
Kontrol 9 13.22 119.00
Genta Sistemik 9 5.78 52.00
Total 18
Test Statisticsa
KOLONI
Mann-Whitney U 7.000
Wilcoxon W 52.000
Z -3.013
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
.002b
a. Grouping Variable: KLPK
b. Not corrected for ties.
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY Kelompok(0 2)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:40:03
Comments
Input Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values are treated as
missing.
Cases Used
Statistics for each test are
based on all cases with
valid data for the
variable(s) used in that
test.
Syntax
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY
Kelompok(0 2)
/MISSING ANALYSIS.
Resources
Processor Time 00:00:00.01
Elapsed Time 00:00:00.00
Number of Cases Alloweda 112347
a. Based on availability of workspace memory.
[DataSet0]
Mann-Whitney Test
Ranks
KLPK N Mean Rank Sum of Ranks
KOLONI
Kontrol 9 13.22 119.00
Genta Lokal 9 5.78 52.00
Total 18
Test Statisticsa
KOLONI
Mann-Whitney U 7.000
Wilcoxon W 52.000
Z -3.047
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
.002b
a. Grouping Variable: KLPK
b. Not corrected for ties.
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY Kelompok(1 2)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests
Notes
Output Created 19-MAR-2014 15:40:36
Comments
Input
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
File
27
Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing
values are treated as
missing.
Cases Used
Statistics for each test are
based on all cases with
valid data for the
variable(s) used in that
test.
Syntax
NPAR TESTS
/M-W= Koloni BY
Kelompok(1 2)
/MISSING ANALYSIS.
Resources
Processor Time 00:00:00.01
Elapsed Time 00:00:00.00
Number of Cases Alloweda 112347
a. Based on availability of workspace memory.
[DataSet0]
Mann-Whitney Test
Ranks
KLPK N Mean Rank Sum of Ranks
KOLONI
Genta Sistemik 9 9.89 89.00
Genta Lokal 9 9.11 82.00
Total 18
Test Statisticsa
KOLONI
Mann-Whitney U 37.000
Wilcoxon W 82.000
Z -.391
Asymp. Sig. (2-tailed) .696
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
.796b
a. Grouping Variable: KLPK
b. Not corrected for ties.