i gusti ngurah kusuma yadnya

122
TESIS INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Transcript of i gusti ngurah kusuma yadnya

Page 1: i gusti ngurah kusuma yadnya

TESIS

INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN

JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN

INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL

FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN

INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: i gusti ngurah kusuma yadnya

TESIS

INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN

JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN

INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL

FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN

INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA

NIM: 0914118102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: i gusti ngurah kusuma yadnya

INJEKSI GENTAMICIN LOKAL MENURUNKAN

JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN

INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL

FIKSASI PATAH TULANG FEMUR TIKUS DENGAN

INOKULASI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Biomedik

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH KUSUMA YADNYA

NIM: 0914118102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: i gusti ngurah kusuma yadnya

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 14 November 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. DR. Dr. I K. Siki Kawiyana, SpB. SpOT (K) Dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)

NIP: 19480909 197903 1 002 NIP: 19660709 199412 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. DR. Dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS

NIP 19461213 197107 1 001

Prof.DR.Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP 19590215 198510 2 001

Tesis Ini Telah Diuji

Page 5: i gusti ngurah kusuma yadnya

Tanggal : 14 Novemver 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, No. : 4077/UN 14.4/ HK/2014

Tertanggal : 27 Oktober 2014

Penguji :

1. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K

2. Dr. I Ketut Suyasa Sp.B Sp.OT(K)

3. Prof Dr. I G.M. Aman, Sp.FK, Prof DR.

4. Dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D,

5. DR. Dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes,

Page 6: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 7: i gusti ngurah kusuma yadnya

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat-Nya penelitian ini dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.

Pada penelitian yang berjudul ”Injeksi Gentamicin Lokal Menurunkan Jumlah

Koloni Kuman yang Sama dengan Injeksi Gentamicin Sistemik pada Internal

Fiksasi Patah Tulang Femur Tikus dengan Inokulasi Staphylococcus Aureus” ini,

penulis banyak mendapat bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Melalui

kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas

Udayana atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Prof. DR. Dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), Mkes, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan

kepada penulis.

3. Prof. DR. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan

kepada penulis.

4. Prof. DR. Dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku Ketua

Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 8: i gusti ngurah kusuma yadnya

5. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), FICS dan Dr. I Ketut

Suyasa Sp.B Sp.OT(K) Spine, selaku pembimbing I dan pembimbing II

yang telah banyak memberikan petunjuk, masukan serta bimbingan dalam

penelitian ini.

6. Prof Dr. I G.M. Aman, Sp.FK, Prof DR. Dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,

Ph.D, DR. Dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes, selaku penguji tesis yang telah

banyak memberikan petunjuk, masukan serta bimbingan dalam penelitian

ini.

7. Prof. DR. Dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), FICS, selaku Ketua

Program Studi Orthopaedi dan Traumatologi Universitas Udayana/ RSUP

Sanglah atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.

8. Dr. I Ketut Suyasa Sp.B Sp.OT(K) Spine, selaku Sekertaris Program Studi

Orthopaedi dan Traumatologi Universitas Udayana/ RSUP Sanglah atas

kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.

9. Dr. K.G. Mulyadi Ridia, Sp.OT.(K) Spine, FICS, selaku Kepala Bagian

Orthopaedi dan Traumatologi, atas ijin yang telah diberikan kepada penulis

untuk melakukan penelitian ini.

10. Segenap staf pengajar di Bagian/ SMF Orthopaedi dan traumatologi FK

Udayana/ RSUP Sanglah.

11. Semua dosen pengajar Combined Degree Pasca Sarjana Universitas

Udayana yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan selama

ini.

Page 9: i gusti ngurah kusuma yadnya

12. Rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan

laporan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

semua saran dan kritik demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga penelitian yang dilaksanakan ini nantinya dapat bermanfaat

bagi kemajuan ilmu kedokteran, khususnya di bidang Orthopaedi dan

Traumatologi.

Denpasar, Maret 2014

Penulis

Page 10: i gusti ngurah kusuma yadnya

ABSTRAK

INJEKSI GENTAMICIN LOKAL

MENURUNKAN JUMLAH KOLONI KUMAN YANG SAMA DENGAN

INJEKSI GENTAMICIN SISTEMIK PADA INTERNAL FIKSASI PATAH

TULANG FEMUR TIKUS DENGAN INOKULASI

STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Pemberian antibiotik sistemik sebelum operasi memiliki efektivitas yang

cukup baik dalam menurunkan jumlah koloni kuman, akan tetapi kelemahan

mendasar dari pemberian antibiotik secara sistemik adalah kerusakan kapiler dan

jaringan lunak daerah fraktur dapat mengurangi konsentrasi antibiotik pada daerah

fraktur. Sedangkan pemberian antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi

dapat mencapai langsung ke daerah luka tanpa dipengaruhi kerusakan kapiler.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek injeksi Gentamicin lokal setelah

penutupan luka operasi dibandingkan dengan injeksi Gentamicin sistemik dalam

menurunkan jumlah koloni kuman pada internal fiksasi patah tulang femur tikus

dengan inokulasi Staphylococcus aureus.

Penelitian ini merupakan post test only control group design dengan

menggunakan tikus galur Wistar, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok kontrol,

kelompok antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi, kelompok antibiotik

sistemik dengan masing - masing sampel 10 sampel. Dosis Gentamicin yang

diberikan adalah 20 mg/KgBB. Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan

Colony Forming Unit (CFU) pada hari kedua setelah inokulasi Staphylococcus

aureus dan fiksasi intramedullary wire. Hasil jumlah koloni kemudian

dibadingkan secara statisik.

Dari hasil uji statistik non parametric didapatkan hasil yang berbeda

bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok antibiotik lokal (p<0,05), hasil

yang berbeda bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok antibiotik

sistemik (p<0,05), dan hasil yang tidak berbeda bermakna antara kelompok

antibiotik lokal dengan antibiotik sitemik (p>0,05).

Peneliti menyimpulkan bahwa antibiotik lokal dan sistemik memiliki efek

yang sama dalam menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus pada patah

tulang femur tikus dengan fiksasi intramedyllary wire.

Kata kunci: Patah tulang, infeksi Staphylococcus aureus, Gentamicin lokal/

sistemik, Colony Forming Unit.

Page 11: i gusti ngurah kusuma yadnya

ABSTRACT

LOCAL ADMINISTRATION OF GENTAMICIN

DECREASE THE SAME AMOUNT OF BACTERIAL COLONY

COMPARED WITH SISTEMIC ANTIBIOTIC

IN RATS FEMUR FRACTURE WITH INTERNAL FIXATION

AND STAPHYLOCOCCUS AUREUS INOCULATION

Systemic antibiotic administration before the operation have a good

effectivity to decrease bacterial colony, but it has disadvantage because the

capillary damage could decrease the antibiotic concentration on fracture site.

Local administration antibiotic after wound closure could penetrate directly to the

fracture site without depending on capillary damage. The aim of the study was to

know the effect of local administration of Gentamicin after wound closure

compared to systemic Gentamicin to decrease bacterial colony in rat femur

fracture with internal fixation with Staphylococcus aureus inoculation.

This study was post test only control group design, using Wistar strain rats

divided into 3 groups: control group, local administration of antibiotic after

wound closure group, and systemic antibiotic group, each group consist of 10

samples. Gentamicin dose for this experiment was 20 mg/kgBW. Quantitative

count using Colony Forming Unit (CFU) was performed at the second day after

Staphylococcus aureus inoculation and intramedullary fixation. After that, the

result was compared using statistical method.

According to non parametric test, there was significant difference between

control group and local antibiotic group (p<0,05), there was also significant

difference between control group and systemic antibiotic group (p<0,05), but

there was no significant difference between local antibiotic group and systemic

antibiotic group (p>0,05).

Researcher concluded that local administration of antibiotic has the same

result with systemic antibiotic to decrease Staphylococcus aureus colony in rats

femur fracture with intramedullary fixation.

Keywords: Fracture, Staphylococcus aureus infection, local/ systemic

Gentamicin, Colony Forming Unit.

Page 12: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 13: i gusti ngurah kusuma yadnya

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM .................................................................................. ii

PRASYARAT GELAR ............................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................ vi

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... vii

ABSTRAK ............................................................................................... x

ABSTRACT ............................................................................................. xi

DAFTAR ISI ............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvi

DAFTAR TABEL ................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv

BAB I

PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1

1.1 Latar belakang …………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………… 4

1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 4

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………… 4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………...….. 5

2.1 Infeksi Pasca Operasi …….………………………………….. 5

2.2. Etiologi Infeksi Pasca Operasi …………………………...…. 5

2.2.1 Staphylococcus aureus ..…………............................……... 6

2.2.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus …….....................…... 6

2.2.3 Patogenesis Staphylococcus aureus ….........…………...... 7

Page 14: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.2.4 Manifestasi klinis Staphylococcus aureus ………..……… 9

2.3 Infeksi Pasca Operasi Pada Penatalaksanaan Frakur ………. 9

2.3 Fraktur.…................................................................................. 10

2.3.1 Mekanisme terjadinya Fraktur ……..................…………. 10

2.3.2 Klasifikasi Fraktur …....................................................…… 11

2.3.3 Penatalaksanaan Fraktur…….........................................…... 12

2.3.5 Biofilm pada Internal Fiksasi ……......................................... 16

2.4 Diagnosis Infeki Sytaphylococcus aureus …................…..... 17

2.5 Antibiotik pencegah Infeksi Pasca Operasi …….................... 18

2.5.1 Antibiotik sistemik …...................................................…..... 18

2.5.2 Antibiotik lokal …........................................................…..... 20

2.6 Penggunaan tikus Wistar dalam Penelitian Eksperimental..... 20

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN…......... 22

3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………. 22

3.2 Konsep ....................................................................................... 24

3.3 Hipotesis Penelitian ………………………………………….. 25

BAB IV

METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 26

4.1 Rancangan Penelitian ………………………………………... 26

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………... 27

4.3 Populasi dan Sampel ………………………………………… 27

4.3.1 Kriteria Subyek ……………………………………………. 27

Page 15: i gusti ngurah kusuma yadnya

4.3.2 Besar Sampel ………………………………………………. 28

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel …………………………….... 29

4.4 Variabel Penelitian ………………………………………….. 29

4.4.1 Klasifikasi Variabel ……………………………………….. 29

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ……………………………... 29

4.5 Bahan Penelitian dan Instrumen Penelitian …………………. 32

4.6 Prosedur Penelitian …………………………………………... 34

4.7 Alur Penelitian ……………………………………………….. 37

4.8 Analisis Data ………………………………………………… 38

BAB V

HASIL PENELITIAN ……………………....………………………….. 39

5.1 Data Penelitian ………..…………....……………………...... 39

5.2 Analisis deskriptif .................………………………………... 40

5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas data …………….……….. 41

5.4 Hasil Uji Inferensi ………………………………..…………. 45

BAB VI

PEMBAHASAN ……..……………….....……………………………….. 49

6.1 Subyek Penelitian …………..……………….....…………...... 49

6.2 Media Pembiakan Kuman ……......………………………...... 49

6.3 Penghitungan Koloni Kuman ……..………………………...... 49

6.6 Hasil Penelitian …………..………………………………...... 50

6.7 Kelemahan Penelitian ………..……..……………………...... 55

Page 16: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 56

7.1 Kesimpulan……….………..………………………………...... 56

7.2 Saran…………………………………………………………... 56

DAFTAR PUSTAKA…………………................……………………….. 57

LAMPIRAN …………………………………………................................ 61

Page 17: i gusti ngurah kusuma yadnya

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Scanning Electron Micrograph

Staphylococcus aureus …………………………….. 7

Gambar 2.2 Patogenesis Staphylococcus aureus ……………….. 10

Gambar 2.3 Mechanism of Injury (MOI) fraktur ……………….. 12

Gambar 2.4 Skin traksi …………………………………………... 14

Gambar 2.5 Skeletal traksi ……………...………………………... 14

Gambar 2.6 Metode Plate-Screw ………………………………… 15

Gambar 2.7 Intramedullary Nail ………………………………… 16

Gambar 2.8 Fase Pembentukan Biofilm ………………………… 17

Gambar 3.1 Konsep penelitian ..……..……...............………….. 25

Gambar 4.1 Rancangan penelitian ………………………………. 27

Gambar 4.2 Bahan Penelitian (Tikus galur Wistar) ….………….. 33

Gambar 4.3 Instrumen Penelitian ……………...……………….. 34

Gambar 4.4 Prosedur Penelitian ……….……………………….. 37

Gambar 4.5 Alur Penelitian …………………………………….. 38

Gambar 5.1 Jumlah Koloni Total Masing - Masing Kelompok

(CFU/ml)..................................................................... 42

Page 18: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 5.2 Distribusi Data Kelompok Kontrol............................. 45

Gambar 5.4 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Sistemik......... 46

Gambar 5.5 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Lokal ............. 47

Page 19: i gusti ngurah kusuma yadnya

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Uji Statistik Normalitas Data …………....….....…....…. 48

Tabel 5.2 Uji Statistik Homogenitas Data …………………….…. 48

Tabel 5.3 Uji Statistik Kruskal - Wallis …..…………………….... 49

Tabel 5.4 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Kontrol

dan Gentamicin Lokal ............................................... 50

Tabel 5.5 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Kontrol

dan Gentamicin Sistemik.................................................. 51

Tabel 5.8 Uji Statistik Mann - Whitney Kelompok Gentamicin

Sistemik dan Gentamicin Lokal ...................................... 51

Page 20: i gusti ngurah kusuma yadnya

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Analisis Statistik ........................................................................... 69

Lampiran 2 Ethical Clearence .......................................................................... 90

Page 21: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 22: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi pasca operasi merupakan hal yang masih sering terjadi, disebabkan

oleh banhyak faktor yang memegang peranan penting seperti operator, prosedur

pembedahan, jangka waktu pembedahan, sterilitas sarana dan prasarana ruang

operasi. Dampak yang ditimbulkan meliputi kerugian berupa kecacatan fisik,

psikologis, material, dan waktu dapat dicegah pada pasien - pasien penderita. Hal

ini mengakibatkan infeksi pasca operasi merupakan masalah yang kompleks untuk

ditangani.

Infeksi pasca operasi merupakan masalah yang tidak hanya terjadi di

negara berkembang seperti Indonesia, akan tetapi juga di negara maju seperti

Amerika Serikat. Berdasarkan data dari The United States Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) adalah 2% sampai 3% dari total 30 juta prosedur

operasi tiap tahunnya (CDC, 2013). Sedangkan definisi infeksi pasca operasi

masih menjadi perdebatan untuk masing - masing bidang ilmu bedah.

The United States Centers for Disease Control and Prevention

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan infeksi pasca operasi adalah infeksi

terkait prosedur pembedahan yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari atau 90 hari

jika melibatkan penggunaan implan (CDC, 2013).

Penggunaan implan dalam bidang orthopaedi baik berupa intramedullary

nail ataupun plate-screw fixation untuk fiksasi fraktur merupakan media yang

1

Page 23: i gusti ngurah kusuma yadnya

ideal dalam pembentukan biofilm meningkatkan resistensi kuman terhadap

antibiotik (Galanakos, 2009). Kerusakan jaringan lunak khususnya kapiler

pembuluh darah akibat high energy trauma memperburuk penghantaran antibiotik

ke daerah fraktur (Mow, 2005). Kedua hal tersebut di atas menyebabkan infeksi

pasca operasi pada penatalaksanaan patah tulang menjadi lebih rentan dan sulit

diatasi apabila infeksi pasca operasi sudah terjadi (Yarboro 2007; Cavanough,

2009). Sehingga modalitas pemeriksaan infeksi pasca operasi memegang peranan

penting untuk mendiagnosis terjadinya infeksi pasca operasi.

Terdapat berbagai modalitas untuk menentukan adanya infeksi pasca

operasi, mulai teknik pengecatan sederhana hingga teknik yang canggih seperti

Polymerase Chain Reaction (PCR) (Matthews, 1997). Gold standard untuk

menentukan adanya infeksi pasca operasi adalah kultur bakteri. Untuk

mendapatkan hasil yang objektif, hasil kultur dapat diukur secara kuantitatif

dengan metode Colony Forming Unit (CFU) (Zhongli, 2011). Pada infeksi pasca

operasi yang disebabkan oleh Stapylococcus aureus, jumlah koloni yang dianggap

signifikan untuk menimbulkan infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi

adalah 50.000 – 100.000 CFU/ml (Yarboro, 2007). Selain modalitas diagnosis,

tentu saja diperlukan adanya solusi untuk mengatasi atau menurunkan jumlah

koloni kuman sehingga infeksi pasca operasi dapat dicegah.

Penggunaan antibiotik sistemik 60 menit sebelum penutupan luka operasi

terbukti efektif dalam menurunkan jumlah koloni kuman sehingga dapat

mencegah timbulnya infeksi pasca operasi (Dellinger, 1994; Bratzaler, 2004).

Akan tetapi pemberian antibiotik sistemik memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

Page 24: i gusti ngurah kusuma yadnya

Penghantaran antibiotik sangat tergantung dari viabilitas kapiler menuju

daerah fraktur, dalam kasus fraktur, terjadi kerusakan jaringan lunak

terutama kapiler yang disebabkan oleh trauma yang pada umumnya adalah

high energy trauma. Hal ini mengakibatkan konsentrasi antibiotik yang

mencapai daerah fraktur menjadi menurun sehingga dosis terapeutik tidak

dapat dicapai (Yarboro, 2007).

Tingginya efek samping antibiotik sistemik yang ditimbulkan berupa

ototoksik maupun nefrotoksik karena diinjeksikan secara langsung ke

pembuluh darah (Cavanough, 2009).

Untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut maka dipikirkan alternatif lain

sebagai modalitas penghantaran antibiotik yang tidak tergantung pada kerusakan

kapiler dan mengurangi efek samping sistemik yang ditimbulkan. Penggunaan

antibiotik lokal setelah penutupan luka operasi merupakan salah satu alternatif

solusi untuk masalah tersebut. Gentamicin merupakan antibiotik yang tepat untuk

penggunaan secara lokal karena bersifat broadspectrum dan memiliki daya tahan

terhadap perubahan lingkungan luar terutama suhu (Yarboro, 2007; Cavanough

2009).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis ingin mengetahui efek injeksi

Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi dibandingkan dengan injeksi

Gentamicin sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pada internal

fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi Staphylococcus aureus.

1.2 Rumusan Masalah

Page 25: i gusti ngurah kusuma yadnya

Apakah injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi

menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin

sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi

Staphylococcus aureus?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi

menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin

sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi

Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Teori:

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar kajian untuk penelitian –

penelitian berikutnya yang terkait dengan pemberian antibiotik profilaksis untuk

mengurangi insiden infeksi pasca operasi.

Manfaat Aplikatif:

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk menyusun

Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pemberian antibiotik mengurangi

insiden infeksi pasca operasi

Page 26: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Pasca Operasi

The United States Centers for Disease Control and Prevention

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan infeksi pasca operasi adalah infeksi

terkait prosedur pembedahan yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari atau 90 hari

jika melibatkan penggunaan implan (CDC, 2013).

Secara statistik, infeksi pasca operasi meningkat pada hari kedua pasca

operasi (Cavanough, 2009). Penyebab tersering infeksi pasca operasi dalam

bidang Orthopaedi adalah Staphylococcus aureus (CDC, 2013). Pada infeksi

pasca operasi yang disebabkan oleh Stapylococcus aureus, jumlah koloni

Staphylococcus aureus yang dianggap signifikan untuk menimbulkan infeksi

pasca operasi dalam bidang Orthopaedi adalah 50.000 – 100.000 CFU/ml

(Yarboro, 2007).

2.2 Etiologi Infeksi Pasca Operasi

Berdasarkan data dari The United States Centers for Disease Control and

Prevention, angka insiden infeksi pasca operasi yang disebabkan oleh

Stapylococcus aureus adalah 2% sampai 3% dari total 30 juta prosedur operasi

tiap tahunnya (CDC, 2013).

5

Page 27: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.2.1 Staphylococcus aureus

Staphyle dalam bahasa Latin berarti anggur sedangkan kokkos berarti berry

(bulat). Berdasarkan nomeklatur dapat dijabarkan sebagai berikut: kingdom:

eubakteria, filum: firmicutes, kelas: bacilli, ordo: bacillales, family:

Staphylococaceae, genus: Staphylococcus, dan spesies: aureus (Breuer. 2002).

Gambar 2.1 Scanning Electron Micrograph Staphylococcus aureus

(Huang, 2006)

2.2.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus

Penyebab tersering infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi adalah

Staphylococcus aureus (CDC, 2013). Tingginya angka infeksi pasca operasi yang

disebabkan oleh Staphylococcus aureus terkait dengan sifat alamiah yang dimiliki

oleh Staphylococcus aureus, yaitu:

Page 28: i gusti ngurah kusuma yadnya

1. Kemampuan untuk membuat koloni pada kulit yang merupakan

port de entry saat proses pembedahan (Kluytmans, 1997; Cole,

2001; Breuer, 2002).

2. Kemampuan untuk bertahan pada saluran rongga hidung, sehingga

individu yang sehat sekalipun dapat menjadi karier bagi

Staphylococcus aureus (Nouwen, 2004; Mertz, 2007).

3. Jika tidak mendapatkan penatalaksanaan antibiotika yang adekuat

maka Staphylococcus aureus dapat membentuk biofilm dan

berubah menjadi strain yang resisten terhadap antibiotika yaitu

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Whitt,

2002; Huang, 2006; Applebaum 2007).

2.2.3 Patogenesis Staphyloccocus aureus

Staphylococcus aureus memiliki kemampuan yang unik dalam

menginfeksi jaringan tubuh host serta mempertahankan diri dari ancaman

eksternal sehingga infeksi pasca operasi menjadi lebih sulit diatasi. Faktor – faktor

tersebut diuraikan sebagai berikut (Kloos, 1995; Todar, 2013):

1. Surface protein: yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan

Staphylococcus aureus dalam membentuk koloni pada jaringan

tubuh host.

2. Invasins: yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan

penyebaran Staphyloccus aureus dalam jaringan tubuh host.

Invasins terdiri dari: leukocidin, kinase, dan hyaluronidase.

Page 29: i gusti ngurah kusuma yadnya

3. Surface factor: yang berfungsi untuk mencegah fagositosis dari sel

– sel immune system host. Surface factor terdiri dari: capsule dan

Protein A.

4. Biochemical properties: yang berfungsi untuk meningkatkan

survival rate Staphylococcus aureus dari sel – sel fagosit.

Biochemical properties terdiri dari: carotenoids dan catalase.

5. Immunological disguise: yang berfungsi untuk menyamarkan diri

dari sel – sel immun host sehingga tidak dikenali. Immunological

disguise terdiri dari: Protein A dan coagulase.

6. Membrane-damaging toxins: yang melisiskan membran sel – sel

eukaryotic. Membrane-damaging toxins terdiri dari: hemolysins,

leukotonin, dan leucocidin.

7. Exotoxins: yang berfungsi untuk menghancurkan jaringan tubuh

host atau memprovokasi timbulnya gejala penyakit. Exotoxins

terdiri dari: SEA-G, TSST, dan ET

8. Staphylococcus aureus juga memiliki kemampuan untuk

membentuk resistensi terhadap antibiotik dan menurunkannya pada

generasi berikutnya.

Page 30: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 2.2 Patogenesis Staphylococcus aureus (Todar, 2013)

2.2.4 Manifestasi Klinis Infeksi Staphylococcus aureus

Berdasarkan tanda klasik dari reaksi infeksi menurut Celcus Aurelius

Cornelius, secara umum infeksi Staphylococcus aureus akan menghasilkan reaksi

infeksi pada luka pasca operasi sebagai berikut: rubor (kemerahan), calor

(hangat), tumor (bengkak) dan dolor (nyeri). Secara khas, Staphylococcus aureus

akan menghasilkan gambaran abses yang terdiri dari dinding fibrin yang

dikelilingi oleh jaringan inflamasi yang menutupi inti yang mengandung leukosit

dan mikroorganisme. Hal ini dimungkinkan karena Staphylococcus aureus dapat

menghasilkan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan (Todar, 2013).

2.3 Infeksi Pasca Operasi pada Penatalaksanaan Fraktur

Infeksi pasca operasi pada penatalaksanaan fraktur terkait erat dengan dua

hal, yaitu: kerusakan jaringan lunak khususnya pembuluh darah, dan penggunaan

implan sebagai modalitas internal fiksasi pada fraktur.

Page 31: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.3.1 Fraktur

Patah tulang atau sering disebut dengan istilah fraktur adalah:

diskontinyuitas struktural tulang disertai dengan kerusakan jaringan lunak

disekitarnya (Apley, 2010). Fraktur femur merupakan salah satu fraktur dengan

insiden tertinggi pada seluruh strata usia (Salminen, 2005)

2.3.2 Mekanisme Terjadinya Fraktur

Tulang memiliki tingkat elastisitas tertentu dalam menahan beban tubuh

dan dari trauma lingkungan luar. Apabila gaya yang diterima lebih besar dari

kemampuan tulang dalam menahan beban maka terjadi fraktur (Apley, 2010).

Mechanism of Injury (MOI) dari fraktur menentukan konfigurasi fraktur

yang akan ditimbulkan dan juga kerusakan jaringan lunak yang akan terjadi di

daerah sekitar fraktur (Utvag, 2003). Konfigurasi fraktur spiral dihasilkan dari

twisting force, konfigurasi short oblique dihasilkan dari compression force,

konfigurasi triangular butterfly fragment dari bending force, dan konfigurasi

transverse dihasilkan dari tension force. Konfigurasi fraktur spiral dan oblique

pada umumnya dihasilkan dari low energy indirect injury. Sedangkan konfigurasi

triangular butterfly fragment dan transverse disebabkan oleh high energy direct

trauma. Semakin tinggi energi yang diterima maka semakin besar tingkat

kerusakan jaringan lunak khususnya kerusakan pembuluh darah di sekitar daerah

fraktur (Salminen, 2005; Apley, 2010).

Page 32: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 2.3 Mechanism of Injury (MOI) fraktur (Apley, 2010)

a) spiral (twisting), b) short oblique (compression),

c) triangular butterfly fragment (bending), d) transverse (tension)

2.3.3 Klasifikasi Fraktur

Tscherne (1984) membagi klasifikasi fraktur berdasarkan kerusakan soft

tissue (otot, kulit), mechanism of injury, konfigurasi fraktur, dan cedera vaskuler

menjadi 4 grade, yaitu:

Grade 0: kerusakan soft tissue minimal, disebabkan oleh trauma tidak

langsung, konfigurasi fraktur sederhana

Grade 1: terdapat abrasi superficial dan kontusio yang disebabkan oleh

tekanan dari dalam, konfigurasi fraktur ringan sampai sedang

Grade 2: abrasi dalam, disertai dengan kontusio otot dan kulit, impending

compartment syndrome, konfigurasi fraktur yang berat

Grade 3: kontusio kulit yang luas disertai kerusakan otot yang luas (crush

injury), compartment syndrome, cedera vaskuler mayor, konfigutasi

fraktur yang berat

Page 33: i gusti ngurah kusuma yadnya

Fraktur dengan klasifikasi Tscherne grade 1 merupakan fraktur dengan

konfigurasi simple transverse, dengan kerusakan soft tissue moderat. Fraktur jenis

ini merupakan salah satu jenis fraktur yang sering terjadi pada fraktur femur

(Salminen, 2005).

2.3.4 Penatalaksanaan Fraktur

Penatalaksananaan fraktur pada long bone khususnya femur Tscherne

grade 1, beberapa modalitas dapat dilakukan, yaitu: konservatif (traksi) dan

operatif (plate-screw dan intramedullary nailing).

Indikasi penatalaksanaan patah tulang femur dengan menggunakan traksi

adalah: 1) patah tulang pada anak – anak. 2) pasien dengan kontraindikasi

pembiusan, 3) Kurangnya fasilitas dan dokter ahli untuk melakukan teknik

internal fiksasi (Salter, 1999). Secara umum, traksi dibagi menjadi 2 jenis yaitu

skin traksi dan skeletal traksi. Skin traksi merupakan terapi definitif pada patah

tulang femur anak – anak, hal ini disebabkan karena beban maksimal yang dapat

diberikan pada skin traksi adalah 7 kg, hal ini untuk menghindari terjadinya

komplikasi timbulnya bula dan kerusakan jaringan kulit akibat beban yang terlalu

tinggi (Apley, 2010). Pada pasien dewasa, beban yang diberikan antara 7-15 kg,

karena menggunakan Steinmann pin yang menembus tulang. Penatalaksanaan

menggunakan traksi memiliki kelemahan mendasar yaitu reduksi dan fiksasi

fraktur tidak dapat dicapai dengan adekuat, lamanya jangka waktu perawatan di

rumah sakit, prolong immobilization, dan kekakuan pada sendi lutut (Canale,

Page 34: i gusti ngurah kusuma yadnya

2007). Penatalaksanaan menggunakan traksi dapat dilakukan pada semua umur,

akan tetapi hasil yang lebih efektif didapatkan pada anak – anak (Demmer, 2013).

Gambar 2.4 Skin traksi (Demmer, 2013)

Gambar 2.5 Skeletal traksi (Demmer, 2013)

Page 35: i gusti ngurah kusuma yadnya

Indikasi penatalaksanaan fraktur femur dengan menggunakan plate-screw

adalah: 1) patah tulang pada daerah proximal atau distal dari shaft femur, 2)

fraktur shaft femur pada anak – anak, 3) patah tulang dengan cedera vaskuler yang

membutuhkan repair vaskuler (Chapman, 2001). Fiksasi menggunakan plate-

screw memungkinkan operator untuk melakukan reduksi fraktur dengan cara open

reduction akan tetapi penggunaan metode ini mengakibatkan kerusakan jaringan

lunak yang lebih luas karena diperlukan expose yang lebih luas untuk penempatan

posisi plate (Canale, 2007). Plate-screw merupakan weight shielding device (gaya

yang ditimbulkan dari berat badan sebagian besar disangga oleh plate) sehingga

angka kejadian implant failure menjadi lebih tinggi dan early weight bearing akan

lebih lama dilakukan jika dibandingkan dengan intramedullary nailing (Apley,

2010).

a) b) c)

Gambar 2.6 Metode Plate-Screw (Apley, 2010)

a) Fraktur femur, b) Plate-screw fixation, c) Implant failure

Page 36: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gold standard untuk penatalaksanaan fraktur pada long bone adalah

menggunakan intramedullary nail. Indikasi penatalaksanaan fraktur femur dengan

menggunakan intramedullary nail adalah 1) patah tulang pada daerah shaft femur

pada pasien dewasa, 2) multiple fraktur, 3) pasien dengan underlying disease

(dibetes mellitus, dll) yang membutuhkan early weight bearing untuk mencegah

timbulya komplikasi (Chapman, 2001; Apley, 2010). Fiksasi dengan

menggunakan intramedullary nail memungkinkan operator untuk melakukan

reduksi secara langsung tanpa harus melakukan diseksi jaringan lunak yang luas

yang memperburuk vaskularisasi pada daerah fraktur (Buchloz, 2005; Canale,

2007). Berbeda dengan plate-screw, metode intramedullary nail merupakan

weight sharing device (gaya yang ditimbulkan dari berat badan dibagi dua antara

tulang dan nail) sehingga angka kejadian implat failure menjadi minimal dan

early weight bearing dapat dilakukan dan pasien dapat melakukan mobilisasi

dengan lebih cepat (Apley, 2010).

a) b)

Gambar 2.7 Metode Intramedullary Nailing (Apley, 2010)

a) Intramedullary nail, b) Intarmedullary nail fixation

Page 37: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.3.5 Biofilm pada Internal Fiksasi

Biofilm adalah lapisan yang dihasilkan dari agregasi sel dan produk dari

sel itu sendiri yang melekat pada permukaan solid. Struktur biofilm dibentuk dari

sel – sel mikroba dan substansi polimer ekstraseluler yang menyediakan

lingkungan yang ideal untuk pertukaran genetik antar sel (Kaplan, 2004;

Galanakos, 2009).

Terdapat 5 fase dalam pembentukan biofilm pada permukaan implan, yaitu

(Galanakos, 2009):

Stage 1: Fase inisial melekatnya kuman pada permukaan implant

Stage 2: Produksi substansi polimer ekstraseluler

Stage 3: tahap awal pembentukan arsitektur biofilm (kolonisasi)

Stage 4: Maturasi arsitektur biofilm

Stage 5: dispersi sel tunggal dari biofilm. Pada fase akhir ini, apabila

suasana lingkungan tidak menguntungkan maka kuman akan berenang

mencari permukaan yang lebih ideal untuk tumbuh kembali.

Gambar 2.8 Fase Pembentukan Biofilm (Galanakos, 2009)

Page 38: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.4 Diagnosis Infeksi Staphylococcus aureus

Diagnosis dari Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan

pemerikasaan biokimia atau dengan enzyme based test (Felten, 2005). Pengecatan

gram adalah cara yang paling sederhana untuk menegakkan diagnosis infeksi

Staphylococcus aureus. Pengecatan tersebut akan memberikan gambaran tipikal

bakteri gram positif, berbentuk kokus, dan tergabung dalam suatu kluster

(Matthews, 1997).

Seiring dengan perkembangan kemajuan biologi molekuler, diagnosis dan

analisis Staphylococcus aureus dapat dilakukan secara cepat (real-time) tanpa

harus menunggu satu minggu untuk pertumbuhan kuman seperti yang dilakukan

pada pemerikasaan kultur. Diagnosis cepat ini meggunakan teknik yang disebut

real-time PCR (Polymerase Chain Reaction) dan kuantitatif PCR. Teknik ini

mencocokkan tipe kromosom sampel dengan Staphylococcus aureus yang sudah

tersedia di laboratorium dengan sediaan yang diperiksa (Matthews, 1997).

Gold standard untuk pemeriksaan infeksi Staphylococcus aureus adalah

kultur kuman. Mannitol salt agar merupakan medium selektif dan medium yang

ideal untuk pertumbuhan Stahylococcus aureus. Biakan tersebut akan

menghasilkan koloni dengan warna kuning yang merupakan hasil fermentasi dari

Mannitol dan juga penurunan pH dari medium yang digunakan. Untuk

differensiasi species yang lebih khusus, maka dilakukan ezyme based test yaitu

pemeriksaan katalase, koagulase, DNAse, lipase dan fosfatase (Felten, 1995;

Matthews, 1997).

Page 39: i gusti ngurah kusuma yadnya

Pada perkembangan terakhir, penggunaan chrom agar Staphylococcus

aureus dapat mencegah pertumbuhan bakteri lain sehingga bakteri yang tumbuh

hanya Staphylococcus aureus saja. Penghitungan kuantitatif Staphylococcus

aureus dapat dilakukan menggunakan Colony Forming Unit (CFU) dengan

metode swab plate dan penghitungan manual (Putman, 2005; Blodgett, 2008)

2.5 Antibiotik Pencegah Infeksi Pasca Operasi

Pilihan antibiotik pencegah infeksi pasca operasi sangat tergantung dari

epidemiologi mikroorganisme penyebab infeksi pasca operasi. Staphylococcus

aureus merupakan penyebab tersering dari infeksi pasca operasi pada fraktur

tertutup (Young, 2013). Pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi yang

umum dilakukan pada saat ini adalah antibiotik pencegah infeksi pasca operasi

secara parenteral yang memberikan dampak sistemik. Dalam penelitian terakhir,

pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi juga dapat diberikan dengan

cara injeksi lokal pada daerah operasi setelah penutupan luka operasi (Fletcher,

2007; Yarboro, 2007).

2.5.1 Antibiotik Sistemik Pencegah Infeksi Pasca Operasi

Pemberian antibiotik pencegah infeksi pasca operasi secara sistemik harus

mencapai konsentrasi yang adekuat pada lapangan operasi. Dosis inisial

tergantung dari volume distribusi, peak level, klirens, protein binding, dan

bioavoailabilitas. Salah satu antibiotik yang umum diberikan sebagai pencegahan

atau profilaksis untuk infeksi pasca operasi adalah Gentamicin yang merupakan

Page 40: i gusti ngurah kusuma yadnya

antibiotik jenis aminoglikosida. Sebagai antibiotik pencegah infeksi pasca operasi,

Gentamicin diberikan 60 menit sebelum insisi secara parenteral, karena pada

tenggang waktu tersebut, Gentamicin dapat mencapai level puncaknya pada

peredaran darah. Mekanisme kerja dari Gentamicin adalah menggangu sintesis

protein pada ribosom bakteri. Aminoglikosida berikatan dengan 30S ribosomal

subunit, yang mengakibatkan (Bosco, 2010):

– Kesalahan pembacaan kodon mRNA, yang menyebabkan

kesalahan dalam urutan pembentukan asam amino.

– Disrupsi dari polysome, yang menyebabkan penurunan efisiensi

protein sintesis polysome.

– Penghambatan translokasi tRNA antara ribosom A dan P binding

sites

Efek samping yang sering terjadi pada pemberian Gentamicin secara

sitemik adalah (Cavanaugh, 2009):

– Kerusakan apparatus cochlea dan vestibular yang mengakibatkan

gangguan keseimbangan tubuh, tinitus dan kehilangan

pendengaran

– Nephrotoxic effect yaitu kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh

efek toksik dari Gentamicin

– Reaksi alergi seperti nausea, muntah, dan skin rash

Page 41: i gusti ngurah kusuma yadnya

2.5.2 Antibiotik Lokal Pencegah Infeksi Pasca Operasi

Untuk meminimalkan efek samping dan memaksimalkan potensi

Gentamicin sebagai antibiotik pencegah infeksi pasca operasi maka diperkenalkan

cara pemberian dengan injeksi lokal pada kompartemen jaringan setelah

penutupan luka operasi. Kelebihan pemberian Gentamicin secara lokal adalah

Gentamicin dapat secara langsung diantarkan ke dalam daerah operasi tanpa

terpengaruh kerusakan kapiler yang terjadi sebagai akibat trauma langsung pada

jaringan lunak di sekitar fraktur. Pemberian Gentamicin setelah penutupan luka

operasi bertujuan untuk meningkatkan tenggang waktu antibiotik untuk berada di

dalam kavitas luka sehingga didapatkan hasil yang maksimal untuk eredikasi

bakteri. Kelebihan dari pemberian antibiotik secara lokal adalah efek toksisitas

sistemik yang lebih rendah sehingga efek samping sistemik seperti ototosik dan

nefrotoksik dapat diturunkan secara signifikan. Gentamicin merupakan pilihan

antibiotik yang utama karena sifatnya yang stabil pada lingkungan luar hingga

dapat tahan sampai suhu 100 derajat celcius (Yarboro, 2007).

2.6 Penggunaan Tikus Galur Wistar dalam Penelitian Eksperimental

Tikus Wistar adalah strain outbred tikus albino milik spesies Rattus

norvegicus. Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk

digunakan dalam biologi dan penelitian medis, terutama galur tikus pertama

dikembangkan sebagai model organisme pada saat laboratorium terutama

menggunakan Rattus Norvegicus (tikus), atau tikus rumah. Lebih dari separuh dari

semua strain tikus laboratorium adalah keturunan dari koloni asli yang

Page 42: i gusti ngurah kusuma yadnya

dikembangkan oleh Henry fisiologi Donaldson, J. Milton administrator ilmiah

Greenman, dan peneliti genetik/ embriologi Helen Dean King (Gunter, 2002).

Tikus galur Wistar dipilih dalam penelitian karena merupakan golongan

mamalia, relatif murah, berkembangbiak dengan cepat, memiliki ukuran tubuh

yang kecil, mudah dalam hal pemeliharaan, dan memiliki tingkat homologenitas

yang tinggi dengan manusia. Pemetaan genom pada tikus Wistar telah selesai

dilakukan pada tahun 2002. Genom haploid pada tikus Wistar memiliki panjang

sekitar tiga juta basa (3000Mb yang terdistribusi dalam 290 kromosom), hal ini

sebanding dengan jumlah dan ukuran genom pada manusia. Menghitung jumlah

pasti gen yang dimiliki oleh tikus Wistar sangatlah sulit dan masih menjadi

perdebatan oleh para ahli. Secara genetis, tikus memiliki jumlah gen kurang lebih

23.786, sedangkan pada manusia terdapat jumlah yang kurang lebih sama yaitu

23.686 gen (Gunter, 2002).

Page 43: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Kejadian infeksi pasca operasi dalam bidang Orthopaedi berkaitan erat

dengan faktor – faktor sebagai berikut:

Kerusakan jaringan lunak terutama kapiler pembuluh darah yang

diakibatkan oleh high energy trauma mengakibatkan terjadinya

insufisiensi aliran darah ke daerah fraktur. Berkurangnya aliran darah

ke daerah fraktur mengakibatkan antibiotik yang diberikan

perioperatif tidak dapat mencapai fokus infeksi dengan baik sehingga

dosis terapeutik tidak dapat dicapai. Kerusakan jaringan lunak

moderat Tscherne grade 1 memiliki insiden tertinggi dibandingkan

dengan yang lain.

Penggunaan intramedullary nail pada penatalaksanaan patah tulang

panjang dalam hal ini femur, merupakan gold standard untuk

mencapai reduksi dan fiksasi yang adekuat, serta mencegah timbulnya

implant failure. Akan tetapi, implan merupakan foreign body bagi

tubuh, permukaan solid pada implan merupakan media yang ideal

untuk pembentukan biofilm sehingga resistensi bakteri menjadi

meningkat.

Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama kejadian infeksi

pasca operasi pada penatalaksanaan fraktur dengan menggunakan

22

Page 44: i gusti ngurah kusuma yadnya

internal fiksasi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk merusak

jaringan serta pertahanan diri terhadap imunitas host dan antibiotik

Hal lain yang berpengaruh terhadap timbulnya infeksi pasca operasi dapat

dibagi mejadi dua yaitu:

Faktor internal: umur, jenis kelamin, berat badan, dan penyakit

penyerta.

Faktor eksternal: operator, ruang operasi, peralatan operasi, daerah

operasi, teknik operasi, durasi operasi, irigasi luka, penutupan luka,

dan perawatan luka pasca operasi.

Pemberian antibiotik perioperatif merupakan salah satu kunci utama dalam

keberhasilan pencegahan timbulnya infeksi pasca operasi. Metode pemberian

antibiotik perioperatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Antibiotik sistemik: pemberian antibiotik sistemik sangat tergantung pada

integritas jaringan vaskuler sebagai media penghantar antibiotik menuju

fokus infeksi.

Antibiotik lokal: antibiotik lokal dapat diberikan secara langsung menuju

fokus infeksi sehingga tidak tergantung pada integritas vaskuler untuk

mencapai dosis terapeutik.

Pada penelitian ini digunakan tikus galur Wistar karena memiliki fisiologi

dan struktur anatomi yang sangat mirip dengan manusia.

Page 45: i gusti ngurah kusuma yadnya

3.2 Konsep

Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun

kerangka konsep sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

: Variabel bebas : Variabel tergantung : Variabel Kendali

TIKUS GALUR WISTAR FRAKTUR FEMUR

TSCHERNE GRADE 1 DENGAN FIKSASI

INTRAMEDULARY NAIL DAN INOKULASI

STAPHYLOCOCCUS AUREUS

FAKTOR

INTERNAL:

- umur

- jenis kelamin

- berat badan

- penyakit

penyerta

FAKTOR

EKSTERNAL:

- operator

- ruang operasi

- peralatan operasi

- daerah operasi

- teknik operasi

- durasi operasi

- irigasi luka

- penutupan luka

- perawatan luka

pasca operasi

JUMLAH KOLONI

KUMAN

ANTIBIOTIK SISTEMIK

ANTIBIOTIK LOKAL

Page 46: i gusti ngurah kusuma yadnya

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah injeksi

Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi menurunkan lebih banyak

jumlah koloni kuman dibandingkan dengan injeksi Gentamicin sistemik pada

internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan inokulasi Staphylococcus aureus.

Page 47: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni post-test only control

group design yang bersifat analitik, prospektif. Pada kelompok subyek penelitian

(tikus galur Wistar), dilakukan pengambilan sampel yang memenuhi kriteria

inklusi penelitian, pada subyek penelitian dengan patah tulang femur Tscherne

grade 1 dan inokulasi Staphylococcus aureus kemudian dibagi menjadi 3

kelompok berdasarkan perlakuan yang diberikan: 1) Tanpa perlakuan (kontrol), 2)

Pemberian injeksi sistemik Gentamicin sebelum operasi, 3) Pemberian injeksi

Gentamicin secara lokal setelah penutupan luka operasi,

P S R O2

Gambar 4.1 Rancangan penelitian

Keterangan:

P : Populasi

S : Sampel

R : Random

26

P2

K0

P1

O1

O2

Page 48: i gusti ngurah kusuma yadnya

Ko : Kontrol (tanpa pemberian Gentamicin)

P1 : Injeksi Gentamicin sistemik

P2 : Injeksi Gentamicin lokal

O1, O2, O3 : Jumlah koloni kuman Staphylococcus aureus

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Udayana. Penghitungan kuantitatif CFU dilakukan di bagian

Mikrobiologi RSUP Sanglah, Denpasar. Penelitian ini dilakukan mulai bulan

Januari 2014 sampai dengan selesai

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah tikus galur Wistar. Sampel pada

penelitian ini adalah tikus galur Wistar yang memenuhi kriteria inklusi yang sudah

ditentukan oleh peneliti.

4.3.1 Kriteria Subyek

Kriteria inklusi:

a) Tikus galur Wistar dewasa dan sehat.

b) Umur 6 bulan karena umur 6 bulan memiliki persamaan dengan

manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik

c) Berat 200 - 300 gram

Page 49: i gusti ngurah kusuma yadnya

Kriteria drop out:

Tikus mati

4.3.2 Besar Sampel

Besaran sampel dihitung dengan rumus Federer (2008)

Keterangan:

n = besar sampel

t = jumlah perlakuan

Dari hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas, besar sampel minimal

yang diperlukan dalam masing - masing kelompok adalah 9 sampel. Ditambahkan

dengan 10% total sampel, sehingga jumlah yang digunakan pada penelitian ini

adalah 10 sampel untuk masing – masing kelompok

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

(t – 1) (n -1) > 15

(3 - 1) (n -1) > 15

(n - 1) >15 : 2

n -1 > 7,5

n> 8,5

Page 50: i gusti ngurah kusuma yadnya

Teknik pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut :

a) Dari populasi tikus galur Wistar diadakan pemilihan sampel

berdasarkan kriteria inklusi.

b) Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random

untuk mendapatkan jumlah sampel.

c) Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

1) kontrol, 2) Gentamicin sistemik, 3) Gentamicin lokal. Masing-masing

dengan jumlah sampel yaitu 10 ekor tikus.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

1) Variabel bebas: pemberian perlakuan yaitu Gentamicin sistemik dan lokal

2) Variabel tergantung: jumlah koloni kuman Staphylococcus aureus

3) Variabel kendali: fraktur femur Tscherne grade 1 dengan inoklasi

Staphylococcus aureus, faktor internal, dan faktor eksternal.

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas: Antibiotik Gentamicin (generik)

Antibiotik sistemik: Konsentrasi Gentamicin generik 40 mg/ml, dosis

pemberian sistemik pada tikus adalah 20 mg/kgBB. Dari hasil

konversi maka 0,1 ml Gentamicin diinjeksikan melalui vena lateral

pada ekor tikus. Injeksi sistemik diberikan 60 menit sebelum operasi.

Page 51: i gusti ngurah kusuma yadnya

Antibiotik lokal: Setelah inokulasi, diberikan Gentamicin lokal

dengan dosis yang sama dengan Gentamicin sistemik (20 mg/kgBB)

pada kompartmen femur. Injeksi lokal Gentamicin diberikan pada

daerah operasi setelah penutupan luka operasi

2. Variabel tergantung: Jumlah koloni kuman

Penghitungan jumlah koloni kuman dilakukan dengan cara membuka

kembali kompartemen femur setelah hari kedua (secara statistik

insiden infeksi pasca operasi terjadi pada hari kedua pasca operasi),

kemudian dilakukan swab secara merata pada seluruh kavitas femur

dan dilakukan penghitungan Colony Forming Unit (CFU) metode

spread plate atau tebaran kemudian dihitung secara manual.

Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali dengan pengenceran 10-1

sampai 10-4

.

3. Variabel kendali:

a) Patah tulang femur Tscherne grade 1: pada tikus diberikan clip dan dijepit

selama 10 menit untuk menghasilkan kerusakan kapiler, kemudian

dilakukan frakturasi femur secara manual oleh operator yang sama.

b) Fiksasi Intramedullary nail: dilakukan dengan menggunakan Kirschner

wire ukuran 0,6 mm secara retrograde.

c) Inokulasi Staphylococcus aureus: setelah ekspose fraktur, diteteskan 1 ml

Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 8 x 10-5

CFU/ml.

d) Faktor internal:

Umur: tikus dengan umur 6 bulan

Page 52: i gusti ngurah kusuma yadnya

Jenis kelamin: tikus dengan jenis kelamin jantan

Berat badan: tikus dengan berat badan 200 - 300 gram

Penyakit penyerta: tikus dinyatakan sehat oleh dokter hewan

e) Faktor eksternal:

Operator: prosedur operasi dilakukan oleh satu orang operator yang

sama.

Ruang operasi: ruang operasi dilakukan di laboratorium Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Peralatan operasi: digunakan set bedah minor steril

Daerah operasi: operasi dilakukan pada paha kiri tikus yang telah

dicukur, desinfeksi dengan povidone iodine, dan dilakukan

drapping steril

Teknik operasi: dilakukan dengan lateral approach

Durasi operasi: operasi dilakukan kurang dari 1,5 jam

Irigasi luka: dilakukan dengan NaCl 0,9% sebanyak 0,5 cc

penutupan luka: dilakukan dengan penjahitan subkutis kontinyu

perawatan luka pasca operasi: dengan kasa steril dibuka pada hari

kedua

Page 53: i gusti ngurah kusuma yadnya

4.5 Bahan Penelitian dan Instrumen Penelitian

Bahan penelitian:

a. Tikus galur Wistar

b. Strain Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap Gentamicin

c. Chrom agar Staphylococcus aureus

d. Pakan tikus secara ad libitum

e. Air minum secara ad libitum

Gambar 4.2 Bahan Penelitian (Tikus galur Wistar)

Instrumen penelitian:

a. Kandang tikus

b. Meja operasi

c. Set bedah minor

d. Spuit 5 cc

Page 54: i gusti ngurah kusuma yadnya

e. Spuit 1 cc

f. Mess

g. Kirschner wire 0,6 mm

h. Swab steril

i. Tabung eksperimen

j. Non absorbable suture no 5

k. Kain steril

l. Masker

m. Cap

n. Apron

o. Handschoen steril

p. Ketamin

q. Povidone iodine

r. Gentamicin

s. Acetaminophen

Page 55: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 4.3 Instrumen Penelitian

4.6 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan secara berurutan sebagai berikut:

1) Tikus sehat dipilih dan diadaptasi ke dalam kandang selama 5 - 7

hari kemudian dibagi menjadi 3 kelompok.

2) Tikus dipelihara dalam kandang stainless steel dengan ukuran 50

cm x 50 cm x 40 cm, 1 kandang berisi 5 tikus. Tikus diberi pakan

dan minum secara ad libitum.

3) Anesthesia dilakukan dengan cara pemberian 1 ml ketamine (50

mg/ml) diinjeksikan intramuskular, setara dengan dosis 50

mg/kgBB.

4) Setelah tikus terbius, dilakukan pencukuran bulu pada daerah paha

luar, desinfeksi dengan povidone iodine, dan dilakukan drapping

steril.

Page 56: i gusti ngurah kusuma yadnya

5) Dilakukan penjepitan paha tikus dengan menggunakan klip selama

10 menit untuk menghasilkan kerusakan kapiler

6) Dilakukan frakturasi tulang femur secara manual oleh satu orang

operator.

7) Dilakukan insisi dengan lateral approach lapis demi lapis sampai

daerah fraktur.

8) Dilakukan inokulasi Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 8,0

x 105 CFU dengan menggunakan Pasteur pipett, didiamkan selama

2,5 menit.

9) Dilakukan fiksasi dengan intramedullary wire ukuran 0,6 mm

secara retrograde sebagai fiksasi dan media pertumbuhan kuman.

10) Dilakukan irigasi dengan NaCL 0,9% sebanyak 0,5 ml.

11) Dilakukan penjahitan luka operasi secara kontinyu dengan

nonabsobable suture No. 5.

12) Dilakukan dressing dengan kasa steril dan plaster.

13) Untuk kontrol nyeri diberikan 4 ml acetaminophen elixir (setara

dengan konsentrasi 125 mg/5ml) dilarutkan dalam 100 ml air

dengan sebagai minuman tikus.

Pemberian perlakuan dilakukan sebagai berikut:

1) Kontrol: tanpa pemberian antibiotik

2) Antibiotik sitemik: Gentamicin merupakan golongan

aminoglikosida yang mengganggu proses sinterisi ribosom

bakteri. Diberikan secara sistemik dengan konsentrasi 40 mg/ml

Page 57: i gusti ngurah kusuma yadnya

diberikan dengan dosis 0,1 ml (setara dengan dosis 20 mg/kgBB)

diinjeksikan melalui vena lateral pada ekor tikus. Injeksi sistemik

diberikan 60 menit sebelum operasi. Dilakukan sebelum langkah

No. 1 yaitu sebelum tikus terbius

3) Antibiotik lokal: Gentamicin lokal dengan konsentrasi 40 mg/ml

diberikan dengan dosis 0,1 ml (setara dengan dosis 20 mg/kgBB)

pada kompartmen femur. Injeksi lokal Gentamicin diberikan pada

daerah operasi setelah langkah No. 9 yaitu setelah penutupan

luka operasi.

Setelah hari kedua pasca operasi dilakukan pemeriksaan koloni kuman

dengan cara sebagai berikut:

1) Anesthesia dilakukan dengan cara pemberian ketamine

intramuskular dengan dosis 50 mg/kgBB.

2) Setelah tikus terbius, desinfeksi dengan povidone iodine, dan

dilakukan drapping steril.

3) Dilakukan insisi dengan lateral approach lapis demi lapis sampai

fracture site.

4) Dilakukan swab secara merata pada kavitas femur

5) Hasil swab diserahkan ke laboratorium mikrobiologi, dan setelah

hari kedua kultur dilakukan penghitungan Colony Forming Unit

(CFU) dengan metode spread plate atau tebaran kemudian

Page 58: i gusti ngurah kusuma yadnya

Pemilihan tikus galur Wistar yang

memenuhi kriteria inklusi, dengan

adaptasi 7 hari pada kandang mencit

Frakturasi Femur Tscherne Grade 1

dengan Fiksasi Intramedullary Nail dan

Inokulasi Staphylococcus aureus

Kontrol Gentamicin

sistemik

Gentamicin

lokal

dihitung secara manual. Pengulangan dilakukan sebanyak empat

kali dengan pengenceran 10-1

sampai 10-4

.

6) Setelah peneitian selesai dilakukan maka dilakukan euthanasia

pada seluruh sampel penelitian dengan menggunakan barbiturate

kemudian dibakar.

Gambar 4.4 Prosedur Penelitian

4.7 Alur Penelitian

Page 59: i gusti ngurah kusuma yadnya

Penghitungan kuantitatif CFU

(Hari ke dua)

Gambar 4.5 Alur Penelitian

4.8 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2009)

1. Analisis deskriptif

2. Analisis normalitas dan homogenitas:

Uji normalitas dengan Saphiro Wilk Test

Data tidak berdistribusi normal p < 0,05

Uji homogenitas = test of the equality of variance = F test (Levene’s

test for equality of variance)

Data tidak homogen p < 0,05

3. Setelah dilakukan transformasi, data tetap tidak berdistribusi normal dan

tidak homogen

4. Analisis Inferensial

Page 60: i gusti ngurah kusuma yadnya

Data tidak berdistribusi normal maka dilakukan

o Uji Kruskal Wallis

o Post Hoc test dilakukan dengan Mann-Whitney test

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Data Penelitian

Perhitungan kuantitatif secara manual yang dilakukan secara manual

dengan metode spread plate dengan 4 kali pengenceran dan 2 kali pengulangan

adalah sebagai berikut:

Page 61: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 5.1 Jumlah Koloni Total Masing - Masing Kelompok (CFU/ml)

5.2 Analisis Deskriptif

Data yang telah didapatkan kemudian dianalisa secara deskriptif

yang bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi masing - masing

kelompok sebagai berikut:

Pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya drop out pada subyek

penelitian. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel, dengan

jumlah koloni 3.732 CFU/ml.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

Kontrol Gentamicin lokal GentamicinSistemik

Jumlah Koloni Kuman

39

Page 62: i gusti ngurah kusuma yadnya

Pada kelompok Gentamicin sistemik, tidak ada sampel yang memenuhi

kriteria drop out. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel,

dengan jumlah koloni 1.886 CFU/ml. Secara deskriptif, Gentamicin sistemik

memiliki efek yang baik dalam menurunkan jumlah kuman bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Akan tetapi, uji statistik masih diperlukan untuk

membuktikan hal ini.

Pada kelompok Gentamicin lokal tidak ada sampel yang memenuhi

kriteria drop out. Didapatkan jumlah koloni kuman tumbuh pada semua sampel,

dengan jumlah koloni 1.590 CFU/ml. Secara deskriptif, Gentamicin lokal

memiliki efek yang baik dalam menurunkan jumlah kuman bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Sedangkan bila dibandingkan dengan kelompok

Gentamicin sistemik, tidak terdapat perbedaan jumlah koloni kuman yang terpaut

jauh, hal ini berarti bahwa Gentamicin sistemik dan Gentamicin lokal memiliki

efek yang sama dalam menurunkan jumlah koloni kuman. Akan tetapi, uji statistik

masih diperlukan untuk membuktikan hal ini.

5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Dengan jumlah data masing - masing kelompok adalah 10, dan jenis data

numerik dan kategorik lebih dari 2 kelompok maka dilakukan uji statistik dengan

one way ANOVA, dengan syarat data harus berdistribusi normal (Uji Shapiro-

Wilk p>0,05) dan varian data harus homogen (Levene test p>0,05).

Page 63: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 5.2 Distribusi Data Kelompok Kontrol

Page 64: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 5.3 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Sistemik

Page 65: i gusti ngurah kusuma yadnya

Gambar 5.4 Distribusi Data Kelompok Gentamicin Lokal

Page 66: i gusti ngurah kusuma yadnya

Tabel 5.1 Uji Statistik Normalitas Data

KLPK Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

KOLO-

NI

Kontrol .356 10 .001 .588 10 .000

Genta

Lokal

.474 10 .000 .388 10 .000

Genta

sistemik

.524 10 .000 .366 10 .000

Tabel 5.2 Uji Statistik Homogenitas Data

KOLONI

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.443 2 27 .647

Dari hasil uji statistik normalitas data Shapiro-Wilk, didapatkan data tidak

berdistribusi normal pada kelompok kontrol, kelompok Gentamicin sistemik dan

Gentamicin lokal. (p=0.000).

Dari hasil uji statistik homogenitas data, didapatkan data tidak homogen

(p=0,647). Setelah dilakukan transformasi data, tetap didapatkan hasil yang tidak

berdistribusi normal dan tidak homogen.

Dari uraian di atas, syarat uji statistik menggunakan one way ANOVA

tidak dapat dipenuhi, sehingga uji statistik dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis.

Page 67: i gusti ngurah kusuma yadnya

5.4 Hasil Uji Inferensi

Pengujian terhadap hasil jumlah kuman menggunakan Kruskal-Wallis

didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.3 Uji Statistik Kruskal –Wallis

KOLONI

Chi-Square 13.821

Df 2

Asymp. Sig. .001

Berdasarkan uji statistik Kruskal-Wallis pada tabel di atas, didapatkan

p=0,001, dari hasil tersebut didapatkan adanya perbedaan jumlah koloni yang

bermakna diantara ketiga kelompok.

Page 68: i gusti ngurah kusuma yadnya

Berdasarkan Post Hoc test untuk mengetahui perbedaan antara ketiga

kelompok didapatkan:

1. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok kontrol berbeda bermakna

dengan kelompok Gentamicin lokal (p=0,006)

Tabel 5.4 Uji Statistik Mann-Whitney

Kelompok Kontrol dan Gentamicin lokal

KOLONI

Mann-Whitney U 15.000

Wilcoxon W 70.000

Z -2.736

Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007b

Page 69: i gusti ngurah kusuma yadnya

2. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok kontrol berbeda bermakna

dengan kelompok Gentamicin sistemik (p=0,001)

Tabel 5.5 Uji Statistik Mann-Whitney

Kelompok Kontrol dan Gentamicin

sistemik

KOLONI

Mann-Whitney U 9.000

Wilcoxon W 64.000

Z -3.525

Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001b

3. Rerata jumlah koloni kuman pada kelompok perlakuan 1 tidak berbeda

bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (p=0,627)

Tabel 5.6 Uji Statistik Mann-Whitney

Kelompok Gentamicin Sistemik dan

Gentamicin Lokal

KOLONI

Mann-Whitney U 46.000

Wilcoxon W 101.000

Z -.486

Asymp. Sig. (2-tailed) .627

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .796b

Page 70: i gusti ngurah kusuma yadnya

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa injeksi

Gentamicin lokal memiliki efek yang sama dibandingkan dengan Gentamicin

sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman.

Hipotesis penelitian bahwa injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan

luka operasi menurunkan lebih banyak koloni kuman dibandingkan dengan injeksi

Gentamicin sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan

inokulasi Staphylococcus aureus tidak terbukti.

Page 71: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Subyek Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan subyek penelitian tikus galur Wistar. Tikus

jenis ini dipilih karena memiliki kemiripan yang sangat tinggi secara fisiologis

dan anatomis dengan manusia (Gunter, 2002).

Diharapkan penelitian eksperimental pada tikus galur Wistar ini dapat

memberikan gambaran awal dari hasil yang diharapkan pada manusia (Gunter,

2002).

6.2 Media Pembiakan Kuman

Media pembiakan kuman yang umum dipakai dalam penelitian adalah

Mannitol Salt Agar, akan tetapi pada penelitian ini digunakan Chrom agar

Staphyloccus aureus sebagai media pembiakan khusus sehingga pertumbuhan

kuman lain dapat dicegah (Felten, 1995).

6.3 Penghitungan Koloni Kuman

Penghitungan jumlah koloni kuman Colony Forming Unit (CFU) memiliki

beberapa metode, pour plate method, spread plate method, Miles and Misra

method, dan membrane filter method. Pada penelitian ini digunakan spread plate

method karena relatif sederhana, murah, dan akurat. Penghitungan jumlah koloni

kuman dilakukan dengan cara menghitung manual oleh satu orang analis yang

49

Page 72: i gusti ngurah kusuma yadnya

sama untuk masing – masing kelompok (Matthew, 1997; Puttman, 2005;

Blodgett, 2008).

6.4 Hasil Penelitian

Pada penelitian ini ditemukan hasil yang berbeda bermakna antara

kelompok Gentamicin sistemik dengan kelompok kontrol, hal ini membuktikan

bahwa pemberian Gentamicin sistemik sebelum operasi dilakukan efektif dalam

menurunkan jumlah koloni kuman pada fraktur femur Tscherne grade 1 dengan

fiksasi intramedullary nail dan inokulasi Staphylococcus aureus. Pada beberapa

meta-analysis yang melibatkan penelitian multi-center di seluruh dunia,

ditemukan bahwa pemberian antibiotik sistemik memberikan hasil yang efektif

dalam menurunkan angka insiden infeksi pasca operasi baik dalam bidang

Orthopaedi maupun dalam bidang bedah secara umum (Dale, 2004; Keely, 2004;

Prokuski, 2008). Terdapat kontroversi dalam hal timming pemberian antibiotik

sistemik, secara umum pemberian antibiotik sistemik akan efektif diberikan sesaat

sebelum operasi sampai dengan kurang dari 24 jam sebelum operasi (Classen,

1992; Dale 2004). Para ahli sepakat bahwa pemberian antibiotik sistemik sebelum

operasi memperoleh hasil yang terbaik bila dilakukan 60 menit sebelum insisi, hal

ini kemudian dijadikan sebagai Standard Operational Procedure (SOP) di banyak

center di seluruh dunia (Classen, 1992; Bratzler 2005).

Pada penelitian ini juga ditemukan hasil yang berbeda bermakna antara

kelompok Gentamicin lokal dengan kelompok kontrol, hal ini membuktikan

bahwa pemberian Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi, efektif dalam

Page 73: i gusti ngurah kusuma yadnya

menurunkan jumlah koloni kuman pada fraktur femur Tscherne grade 1 dengan

fiksasi intramedullary nail dan inokulasi Staphylococcus aureus. Beberapa

penelitian mencoba menguji efektivitas antibiotik lokal dengan berbagai macam

metode delivery, antara lain: irigasi Bacitracin, calcium sulfate flakes, systemic

Gentamicin, local aqueus Gentamicin, local Gentamicin-loaded calcium flakes,

local Gentamicin, local Cefazolin. Pada penelitian tersebut, pemberian antibiotik

local aqueus Gentamicin memberikan penurunan jumlah koloni kuman yang

tertinggi dibandingkan dengan metode antibiotik lokal lain, hal ini disebabkan

karena substansi pembawa Gentamicin seperti calcium flakes dapat berperan

sebagai foreign bodies yang meningkatkan survival rate dari bakteri. Hal ini juga

membuktikan bahwa kemungkinan untuk local aqueus Gentamicin keluar dari

kompatemen fraktur dapat diminimalisasi dengan teknik penjahitan watershield

yang benar (Yarboro, 2007).

Kedua metode pemberian antibiotik tersebut di atas memberikan hasil

yang efektif dalam menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Akan tetapi,

efektivitas kedua metode di atas, baik sistemik maupun lokal, masih menjadi

perdebatan di antara para ahli untuk menentukan metode delivery terbaik dalam

menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Hal ini disebabkan karena masih

sedikit penelitian yang membandingkan efektivitas antibiotik lokal dengan

antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pasca operasi. Pada

penelitian ini, peneliti berusaha untuk membuktikan hal tersebut (Cavanough,

2009).

Page 74: i gusti ngurah kusuma yadnya

Pada penelitian terakhir, didapatkan hasil bahwa pemberian antibiotik

lokal memiliki efektivitas yang lebih baik dalam menurunkan jumlah koloni

kuman pasca operasi dibandingkan dengan antibiotik sistemik, hal tersebut

diuraikan sebagai berikut:

Yarboro (2007) melakukan penelitian dengan judul Locally Administered

Antibiotic for Prophylaxis Against Surgical Wound Infection. Penelitian ini

menggunakan subyek penelitian tikus yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan,

yaitu: 1) kontrol (tanpa perlakuan), 2) irigasi Bacitracin, 3) calcium sulfate flakes,

4) systemic Gentamicin, 5) local aqueus Gentamicin, 6) local Gentamicin-loaded

calcium flakes, dan 7) kombinasi antara local Gentamicin-loaded calcium flakes

dengan systemic Gentamicin. Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi

pengerusakan jaringan lunak ataupun frakturasi tulang femur, dilakukan

pembuatan kavitas secara tumpul pada otot femur dengan ukuran 2 x 2 x 2 cm dan

32-gauge stainless-steel suture dililitkan pada femur yang berfungsi sebagai

foreign body.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Cavanough (2009) dengan judul

Better Prophylaxis Against Surgical Site Infection with Local as Well as Systemic

Antibiotics. Penelitian ini menggunakan subyek penelitian tikus yang dibagi

menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu: 1) Kontrol (tanpa perlakuan), 2) local

Gentamicin, 3) systemic Cefazolin, 4) local Cefazolin, 5) Systemic Cefazolin plus

local Gentamicin, dan 6) Systemic Cefazolin plus local Cefazolin. Penelitian ini

memberikan hasil bahwa kombinasi antara Systemic Cefazolin plus local

Gentamicin memberikan hasil yang paling baik untuk menurunkan jumlah koloni

Page 75: i gusti ngurah kusuma yadnya

kuman pasca operasi. Hal ini membukikan bahwa kombinasi antara antibiotik

lokal dan sistemik memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan

antibiotik lokal saja. Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi pengerusakan

jaringan lunak ataupun frakturasi tulang femur, dilakukan pembuatan kavitas

secara tumpul pada otot femur dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 cm, dan 32-gauge

stainless-steel suture dililitkan pada femur yang berfungsi sebagai foreign body.

Sedangkan pada penelitian ini, didapatkan hasil yang tidak berbeda

bermakna antara kedua kelompok perlakuan, artinya adalah metode delivery

antibiotik secara lokal setelah penutupan luka operasi memiliki efektivitas yang

sama dengan antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni kuman pada

fraktur femur Tscherne grade 1 dengan fiksasi intramedullary nail dan inokulasi

Staphylococcus aureus.

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda dengan kedua penelitian

sebelumnya yang menyatakan bahwa antibiotik lokal memiliki efek yang lebih

baik dibandingkan dengan antibiotik sistemik dalam menurunkan jumlah koloni

kuman, hal ini disebabkan karena perbedaan metode penelitian yang diuraikan

sebagai berikut:

Pada kedua penelitian sebelumnya, tidak dilakukan manipulasi

jaringan lunak, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pengerusakan

jaringan lunak dengan cara melakukan penjepitan otot femur dengan

menggunakan clip selama 10 menit (Tscherne grade 1). Hal ini

mengakibatkan delivery antibiotik sistemik ke daerah fraktur menjadi

menurun

Page 76: i gusti ngurah kusuma yadnya

Pada kedua penelitian sebelumnya tidak dilakukan frakturasi tulang

femur, sedangkan pada penelitian ini dilakukan frakturasi tulang shaft

femur sepertiga tengah dengan konfigurasi simple transverse. Hal ini

mengakibatkan delivery antibiotik sistemik ke dalam kompartemen

femur menjadi meningkat karena perdarahan endosteal yang terejadi

akibat fraktur.

Pada kedua penelitian sebelumnya, 32-gauge stainless-steel suture

hanya dililitkan pada permukaan tulang femur yang berfungsi sebagai

foreign bodies, sedangkan pada penelitian ini dilakukan difiksasi

fraktur dengan menggunakan intramedullary wire. Intramedullary

wire berperan sebagai foreign bodies untuk menghasilkan deep

infection. Pemberian antibiotik sistemik sebelum operasi dilakukan

dapat mencegah terjadinya deep infection karena antibiotik sudah

masuk ke dalam kompartemen femur terlebih dahulu sebelum bakteri

diinokulasi

Pada kedua penelitian sebelumnya dilakukan pembuatan kavitas/

kantong secara tumpul pada otot femur sehingga didapatkan ruang

untuk containment dari antibiotik lokal, dalam keadaan nyata dan

pada penelitian ini tidak dilakukan pembuatan kavitas / kantong pada

otot femur. Hal ini mengakibatkan antibiotik lokal dapat merembes

keluar dari kompartemen femur meskipun telah dilakukan teknik

penjahitan watershield, karena kurangnya ruangan untuk menampung

antibiotik intrakompartemen

Page 77: i gusti ngurah kusuma yadnya

Keempat perbedaan metode penelitian tersebut dia atas mengakibatkan

hipotesis penelitian yang didasari penelitian terdahulu tidak terbukti dalam

penelitian ini.

6.7 Kelemahan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan bias

pada penelitian:

Teknik pengambilan koloni kuman dari kompartemen femur dengan

menggunakan swab steril sehingga cukup sulit untuk mendapatkan

hapusan yang merata pada seluruh kompartemen femur untuk

mendapatkan jumlah koloni yang sama sebelum penghitungan

Penghitungan jumlah koloni kuman dilakukan secara manual oleh

seorang analis. Faktor human error dapat mengakibatkan kesalahan

penghitungan, hal ini dapat diatasi apabila tersedia system

penghitungan otomatis menggunakan software.

Teknik penjahitan watershield tidak menjamin mencegah keluarnya

antibiotik dari kompartemen femur

Page 78: i gusti ngurah kusuma yadnya

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Injeksi Gentamicin lokal setelah penutupan luka operasi memiliki efek

yang sama dalam menurunkan koloni kuman dibandingkan dengan injeksi

Gentamicin sistemik pada internal fiksasi patah tulang femur tikus dengan

inokulasi Staphylococcus aureus.

7.2 Saran

Karena memiliki tingkat efektivitas yang sama dalam menurunkan jumlah

koloni kuman, maka teknik pemberian antibiotik prophylaxis secara sistemik

dapat dipertahankan.

56

Page 79: i gusti ngurah kusuma yadnya

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.G. 2010. Apley’s Sistem of Orthopaedic and Fractures. Ninth Editon.

London: Hodder Arnold. p.687-732.

Appelbaum, P.C. 2007. Microbiology of Antibiotic Resistance in Staphylococcus

aureus. Oxford Medical Journal, (serial online). [cited 2010 Jun 25].

Available from: http://cid.oxfordjournals.org/content/45/Supplement_3/

S165.long

Bibbo, C., Patel, D.V., Gehrmann, R.M., Lin, S.S. 2005. Chlorhexidine provides

superior skin decontamination in foot and ankle surgery: a prospective

randomized study. Clinical orthopaedics and related research, 438, 204-

208.

Blodgett, R.J. 2008. Mathematical treatment of plates with colony counts outside

the acceptable range. Food Microbiol. 2008;25:92–98

Bosco, J.A., Slover, J.D., Haas, J.P. 2010. Perioperative Strategies for Decreasing

Infection. Journal of Bone and Joint Surgery, Vol 92-A, (serial online).

[cited 2010 Jun 29]. Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/full/

92/1/232#responses

Bratzler, D. W., & Houck, P. M. (2005). Antimicrobial prophylaxis for surgery:

an advisory statement from the National Surgical Infection Prevention

Project. The American Journal of Surgery, 189(4), 395-

Bratzler, D.W., Houck, P.M. 2004. Antimicrobial prophylaxis for surgery: an

advisory statement from the national surgical infection prevention project.

Clin Infect Dis 2004;38:1706-15.

Breuer, K., Häussler, S., Kapp, A., & Werfel, T. 2002. Staphylococcus aureus:

colonizing features and influence of an antibacterial treatment in adults

with atopic dermatitis. British Journal of Dermatology, 147(1), 55-61.

Bucholz, Robert, Heckman, J.D. 2005. Rockwood and Green's Fractures in

Adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.

Canale, S.T. 2007. Campbell's Operative Orthopaedics. St. Louis, 11th ed,

MO: Mosby.

Cavanaugh, D.L., Berry, J., Yarboro, S.R., Dahners, E.L. 2009. Better

Prophylaxis Against Surgical Site Infection with Local as Well as

Systemic Antibiotics. Journal of Bone and Joint Surgery, (serial online).

[cited 2010 Jun 25] Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/

full/91/8/1907,

CDC/NHSN. 2013. Procedure associated module SSI, (serial online). [cited Jan

2010]. Available from: http://www.cdc.gov/nhsn/PDFs/pscManual/

9pscSSIcurrent.pdf

Chapman, Michael, W. 2001. Chapman's Orthopaedic Surgery. 3rd ed.

Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.

Classen, D. C., Evans, R. S., Pestotnik, S. L., Horn, S. D., Menlove, R. L., &

Burke, J. P. 1992. The timing of prophylactic administration of antibiotics

Page 80: i gusti ngurah kusuma yadnya

and the risk of surgical-wound infection. New England Journal of

Medicine, 326(5), 281-286.

Cole, A. M., Tahk, S., Oren, A., Yoshioka, D., Kim, Y. H., Park, A., Ganz, T.

2001. "Determinants of Staphylococcus aureus nasal carriage". Clin Diagn

Lab Immunol 8 (6): 1064–9.

Creech, C. B., Kernodle, D. S., Alsentzer, A., Wilson, C., & Edwards, K. M.

(2005). Increasing rates of nasal carriage of methicillin-resistant

Staphylococcus aureus in healthy children. The Pediatric infectious

disease journal, 24(7), 617-621.

Dale, W. B., Peter, M. H. 2004. Antimicrobial prophylaxis for surgery: an

advisory statement from the National Surgical Infection Prevention

Project. Clinical Infectious Diseases, 38(12), 1706-1715.

Dellinger, E.P., Gross, P.A., Barrett, T.L. 1994. Quality standard for antimicrobial

prophylaxis in surgical procedures. Infectious Diseases Society of

America. Clin Infect Dis 1994;18:422-7.

Demmer, P., Colton, C. 2012. Fracture Management with Limited Resources. AO

Foundation.(serial online). [cited Jan 2013] . Available from:

https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery/?showPage=redfix&bo

ne=Femur&segment=Shaft&basicTechnique=Femur%20shaft%20fracture

%20management%20with%20minimal%20resources.

Federer, W.T. 2008. Randomization and Sample Size in Experimentation. Cornel

University, (serial online). [cited Jun 2010]. Availabe from:

http://dspace.library.cornell.edu/bitstream/1813/32334/1/BU-236-M.pdf

Felten, A., Lepage, E., Lagrange, P. 1995. Critical analysis of tests for rapid

detection of Staphylococcus aureus, Pastorex Staph plus, Slidex Staph-

kit and Staph aureus in clinical isolates. Pathol Biol. 43:471–476.

Fletcher, N., Safianos, D., Berkes, M.B., Ombremsky, W.T. 2007. Prevention of

Perioperative Infection. Journal of Bone and Joint Surgery, (serial online).

[cited 2010 Jun 25]. Available from: http://www.ejbjs.org/cgi/content/

full/89/7/1605/DC1

Galanakos, S.P., Papadakis, S.A., Kateros, K., Papakostas, I., Macheras, G. 2009.

Biofilm in Orthopaedic Practice: a World of Microbes in a World of

Implant. (serial online), [cited Jun 2013]. Available from:

http://www.marineaquariumsa.com/attachment.php?attachmentid=11297&

d=1376330309.

Gunter, C., Dhand, R. 2002. The Mouse Genome. Nature 420; doi:

10.1038/420509a

Huang, H., Flynn, N.M., King, J.H, Monchaud, C., Morita, M., Cohen S. 2006.

Comparisons of Community-Associated Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) and Hospital-Associated MSRA

Infections in Sacramento, California. J. Clin. Microbiol. July 2006 vol. 44

no. 7 2423-2427.

Kaplan. J.B., Ragunath, C., Velliyagounder, K., Fine, D.H., Ramasubbu, N.

2004. "Enzymatic detachment of Staphylococcus epidermidis

biofilms". Antimicrobial Agents and Chemotherapy 48 (7): 2633–6.

Page 81: i gusti ngurah kusuma yadnya

Keely, J. P., Russo, R. R., March, L., Cumming, R., Cameron, I., & Brnabic, A. J.

2004. Antibiotic prophylaxis in hip fracture surgery: a metaanalysis.

Clinical orthopaedics and related research, 419, 179-184.

Kloos, W.E., Bannermann, T.L. 1995. Staphylococcus and Micrococcus. In:

Murray, P. R., Baron, E.J., Pfaller, M.A., Tenover, F.C., Yolken, R.H.,

editors. Manual of clinical microbiology. 6th ed. Washington, D.C.:

American Society for Microbiology; 1995. pp. 282–298.

Kluytmans, J., van Belkum, A., Verbrugh, H. 1997. Nasal carriage of

Staphylococcus aureus: epidemiology, underlying mechanisms, and

associated risks. Clin. Microbiol. Rev. 10 (3): 505–20.

Matthews, K.R., Roberson, J., Gillespie, B.E., Luther, D.A., Oliver, S.P. 1997.

Identification and Differentiation of Coagulase-Negative Staphylococcus

aureus by Polymerase Chain Reaction. Journal of Food Protection60 (6):

686–8.

Meakins, J.L. 2008. Prevention of Post Operative Infection. ACS Surgery:

Principle and Practice. ACS Surgery. (serial online). [cited 2010 Jun 25]

Available from: http://www.acssurgery.com/acs/pdf/ACS0101.pdf

Mertz, D., Ott, A., Marjolein, F. Q., Vandenberg, K, Hélène, A.M. 2007. Throat

Swabs Are Necessary to Reliably Detect Carriers of Staphylococcus

aureus. Oxford Jounal. (serial online), [cited jun 2010]. Available from:

http://cid.oxfordjournals.org/content/45/4/475.full

Mow, V.C., Huiskes, R. 2005. Basic orthopaedic biomechanics & mechano-

biology. Lippincott Williams & Wilkins.

Nouwen, J.L., Ott, A., Marjolein, F.Q, Vandenbergh, K., Boelens, A.M., Hofman,

A. 2004. Predicting the Staphylococcus aureus Nasal Carrier State:

Derivation and Validation of a “Culture Rule”. Oxford Jounal. (serial

online), [cited jun 2010]. Available from: http://cid.oxfordjournals.org/

content/ 39/6/806.long

Prokuski, L. 2008. Prophylactic antibiotics in orthopaedic surgery. Journal of the

American Academy of Orthopaedic Surgeons, 16(5), 283-293.

Putman, M., Burton, R., Nahm, M.H. 2005. Simplified method to automatically

count bacterial colony forming unit. J Immunol Methods. 2005;302:99–

102.

Salminen, S. 2005. "Femoral Shaft Fractures in Adults: Epidemiology, Fracture

Patterns, Nonunons, and Fatigue Fractures” (dissertation). Department of

Orthopaedics and Traumatology Helsinki University Central Hospital

Helsinki, Finland.

Salter, Robert. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal

System. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung :

CV Alfabeta.

Todar, K. 2013. Pathogenesis of Staphylococcus aureus. Todar’s Online Textbook

of Bacteriology. (serial online), [cited 2013 Jun 5]. Available from:

http://textbookofbacteriology.net/staph_2.html.

Page 82: i gusti ngurah kusuma yadnya

Tscherne, H., Oestern, H.J. 1984. Fractures With Soft Tissue

Injuries.Pathophysiology and classification of soft tissue injuries

associated with fractures.ed. Berlin, Germany: Springer-Verlag. p. 6–7.

Utvag, S.E., Grundnes, O., Rindal D.B., Reikeras, O. Influence of Extensive

Muscle Injury on Fracture Healing in Rat Tibia. Journal of Orthopaedic

Trauma, Vol. 17, No. 6, 2003, pp. 430-435.

Whitt, Dixie, D., Salyers, Abigail, A. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular

Approach.Second Edition. USA: ASM Press.

Yorboro SR, Baum EJ, Dahners LE. 2007. Locally Administered Antibiotics for

Prophylaxis Against Surgical Wound Infection. Journal of Bone and Joint

Surgery. (serial online). [cited 2010 Jun 29] Available from:

http://www.ejbjs.org/cgi/content/full/90/2/384

Young, S., Lie, S.A., Hallan, G., Zirkle, L.G., Engesæter, L.B., Havelin, L.I.

2013. Risk Factors for Infection after 46,113 Intramedullary Nail

Operations in Low and Middle-income Countries. World J

Surg. 2013;37(2):349–55.

Zhongli, C., Chattopadhyay, N., Liu, J.W., Chan, C., Pignol, J.P., Reilly, R.M.

2011. Optimized digital counting colonies of clonogenic assays using

Image software and customized macros: comparison with manual

counting. International Journal of Radiation Biology 87 (11): 1135–1146

Page 83: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 84: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 85: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 86: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 87: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 88: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 89: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 90: i gusti ngurah kusuma yadnya

LAMPIRAN

EXAMINE VARIABLES=Koloni BY Kelompok

/PLOT BOXPLOT STEMLEAF HISTOGRAM NPPLOT

/COMPARE GROUPS

/STATISTICS DESCRIPTIVES

/CINTERVAL 95

/MISSING LISTWISE

/NOTOTAL.

Explore

Notes

Output Created 19-MAR-2014 15:26:59

Comments

Input

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Page 91: i gusti ngurah kusuma yadnya

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values for dependent

variables are treated as

missing.

Cases Used

Statistics are based on

cases with no missing

values for any dependent

variable or factor used.

Syntax

EXAMINE

VARIABLES=Koloni BY

Kelompok

/PLOT BOXPLOT

STEMLEAF HISTOGRAM

NPPLOT

/COMPARE GROUPS

/STATISTICS

DESCRIPTIVES

/CINTERVAL 95

/MISSING LISTWISE

/NOTOTAL.

Resources Processor Time 00:00:06.33

Elapsed Time 00:00:22.00

[DataSet0]

Page 92: i gusti ngurah kusuma yadnya

KLPK

Case Processing Summary

KLPK Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KOLONI

Kontrol 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%

Genta Sistemik 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%

Genta Lokal 9 100.0% 0 0.0% 9 100.0%

Descriptives

KLPK Statistic Std. Error

KOLONI Kontrol

Mean 29877.78 4240.145

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 20099.99

Upper Bound 39655.57

5% Trimmed Mean 29614.20

Median 28500.00

Variance 161809444.44

4

Std. Deviation 12720.434

Page 93: i gusti ngurah kusuma yadnya

Minimum 14000

Maximum 50500

Range 36500

Interquartile Range 23550

Skewness .480 .717

Kurtosis -.836 1.400

Genta Sistemik

Mean 5633.33 4255.519

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound -4179.91

Upper Bound 15446.58

5% Trimmed Mean 4092.59

Median .00

Variance 162985000.00

0

Std. Deviation 12766.558

Minimum 0

Maximum 39000

Range 39000

Interquartile Range 5850

Skewness 2.786 .717

Kurtosis 7.988 1.400

Genta Lokal

Mean 5555.56 4070.084

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound -3830.08

Upper Bound 14941.19

Page 94: i gusti ngurah kusuma yadnya

5% Trimmed Mean 4200.62

Median .00

Variance 149090277.77

8

Std. Deviation 12210.253

Minimum 0

Maximum 35500

Range 35500

Interquartile Range 7250

Skewness 2.328 .717

Kurtosis 5.275 1.400

Tests of Normality

KLPK Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

KOLONI

Kontrol .163 9 .200* .938 9 .557

Genta Sistemik .377 9 .001 .520 9 .000

Genta Lokal .453 9 .000 .549 9 .000

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

Page 95: i gusti ngurah kusuma yadnya

KOLONI

Histograms

Page 96: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 97: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 98: i gusti ngurah kusuma yadnya

Stem-and-Leaf Plots

KOLONI Stem-and-Leaf Plot for

Kelompok= Kontrol

Page 99: i gusti ngurah kusuma yadnya

Frequency Stem & Leaf

3.00 1 . 469

2.00 2 . 78

2.00 3 . 06

1.00 4 . 6

1.00 5 . 0

Stem width: 10000

Each leaf: 1 case(s

KOLONI Stem-and-Leaf Plot for

Kelompok= Genta Sistemik

Frequency Stem & Leaf

6.00 0 . 000000

.00 0 .

1.00 0 . 5

1.00 0 . 6

1.00 Extremes (>=39000)

Stem width: 10000

Each leaf: 1 case(s)

Page 100: i gusti ngurah kusuma yadnya

KOLONI Stem-and-Leaf Plot for

Kelompok= Genta Lokal

Frequency Stem & Leaf

7.00 0 . 0000000

2.00 Extremes (>=14500)

Stem width: 10

Each leaf: 1 case(s)

Page 101: i gusti ngurah kusuma yadnya

Normal Q-Q Plots

Page 102: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 103: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 104: i gusti ngurah kusuma yadnya

Detrended Normal Q-Q Plots

Page 105: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 106: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 107: i gusti ngurah kusuma yadnya
Page 108: i gusti ngurah kusuma yadnya

ONEWAY Koloni BY Kelompok

/STATISTICS HOMOGENEITY

/MISSING ANALYSIS.

Page 109: i gusti ngurah kusuma yadnya

Oneway

Notes

Output Created 19-MAR-2014 15:31:42

Comments

Input

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Page 110: i gusti ngurah kusuma yadnya

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values are treated as

missing.

Cases Used

Statistics for each analysis

are based on cases with no

missing data for any

variable in the analysis.

Syntax

ONEWAY Koloni BY

Kelompok

/STATISTICS

HOMOGENEITY

/MISSING ANALYSIS.

Resources Processor Time 00:00:00.01

Elapsed Time 00:00:00.00

[DataSet0]

Test of Homogeneity of Variances

KOLONI

Levene

Statistic

df1 df2 Sig.

.158 2 24 .855

Page 111: i gusti ngurah kusuma yadnya

ANOVA

KOLONI

Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 3538108888.88

9

2 1769054444.44

4

11.199 .000

Within Groups 3791077777.77

8

24 157961574.074

Total 7329186666.66

7

26

NPAR TESTS

/K-W=Koloni BY Kelompok(0 2)

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

\

Notes

Output Created 19-MAR-2014 15:38:47

Comments

Page 112: i gusti ngurah kusuma yadnya

Input

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values are treated as

missing.

Cases Used

Statistics for each test are

based on all cases with

valid data for the

variable(s) used in that

test.

Syntax

NPAR TESTS

/K-W=Koloni BY

Kelompok(0 2)

/MISSING ANALYSIS.

Resources

Processor Time 00:00:00.01

Elapsed Time 00:00:00.00

Number of Cases Alloweda 112347

a. Based on availability of workspace memory.

[DataSet0]

Page 113: i gusti ngurah kusuma yadnya

Kruskal-Wallis Test

Ranks

KLPK N Mean Rank

KOLONI

Kontrol 9 21.44

Genta Sistemik 9 10.67

Genta Lokal 9 9.89

Total 27

Test Statisticsa,b

KOLONI

Chi-Square 13.409

df 2

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:

KLPK

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY Kelompok(0 1)

Page 114: i gusti ngurah kusuma yadnya

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

Notes

Output Created 19-MAR-2014 15:39:41

Comments

Input

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values are treated as

missing.

Cases Used

Statistics for each test are

based on all cases with

valid data for the

variable(s) used in that

test.

Syntax

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY

Kelompok(0 1)

/MISSING ANALYSIS.

Page 115: i gusti ngurah kusuma yadnya

Resources

Processor Time 00:00:00.01

Elapsed Time 00:00:00.00

Number of Cases Alloweda 112347

a. Based on availability of workspace memory.

[DataSet0]

Mann-Whitney Test

Ranks

KLPK N Mean Rank Sum of Ranks

KOLONI

Kontrol 9 13.22 119.00

Genta Sistemik 9 5.78 52.00

Total 18

Test Statisticsa

KOLONI

Mann-Whitney U 7.000

Page 116: i gusti ngurah kusuma yadnya

Wilcoxon W 52.000

Z -3.013

Asymp. Sig. (2-tailed) .003

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

.002b

a. Grouping Variable: KLPK

b. Not corrected for ties.

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY Kelompok(0 2)

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

Notes

Output Created 19-MAR-2014 15:40:03

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Page 117: i gusti ngurah kusuma yadnya

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values are treated as

missing.

Cases Used

Statistics for each test are

based on all cases with

valid data for the

variable(s) used in that

test.

Syntax

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY

Kelompok(0 2)

/MISSING ANALYSIS.

Resources

Processor Time 00:00:00.01

Elapsed Time 00:00:00.00

Number of Cases Alloweda 112347

a. Based on availability of workspace memory.

[DataSet0]

Page 118: i gusti ngurah kusuma yadnya

Mann-Whitney Test

Ranks

KLPK N Mean Rank Sum of Ranks

KOLONI

Kontrol 9 13.22 119.00

Genta Lokal 9 5.78 52.00

Total 18

Test Statisticsa

KOLONI

Mann-Whitney U 7.000

Wilcoxon W 52.000

Z -3.047

Asymp. Sig. (2-tailed) .002

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

.002b

a. Grouping Variable: KLPK

b. Not corrected for ties.

Page 119: i gusti ngurah kusuma yadnya

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY Kelompok(1 2)

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

Notes

Page 120: i gusti ngurah kusuma yadnya

Output Created 19-MAR-2014 15:40:36

Comments

Input

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data

File

27

Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing

values are treated as

missing.

Cases Used

Statistics for each test are

based on all cases with

valid data for the

variable(s) used in that

test.

Syntax

NPAR TESTS

/M-W= Koloni BY

Kelompok(1 2)

/MISSING ANALYSIS.

Resources

Processor Time 00:00:00.01

Elapsed Time 00:00:00.00

Number of Cases Alloweda 112347

a. Based on availability of workspace memory.

Page 121: i gusti ngurah kusuma yadnya

[DataSet0]

Mann-Whitney Test

Ranks

KLPK N Mean Rank Sum of Ranks

KOLONI

Genta Sistemik 9 9.89 89.00

Genta Lokal 9 9.11 82.00

Total 18

Page 122: i gusti ngurah kusuma yadnya

Test Statisticsa

KOLONI

Mann-Whitney U 37.000

Wilcoxon W 82.000

Z -.391

Asymp. Sig. (2-tailed) .696

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

.796b

a. Grouping Variable: KLPK

b. Not corrected for ties.