Mandeknya Inovasi Bahan Pakan Pengganti...

1
u Maret 2020 84 u Maret 2020 85 Penggunaan kedua bahan pakan ini mencapai 80%. Sayangnya, hanya jagung yang mendekati keamanan stok dalam negeri. Penggunaan pasokan jagung dalam negeri sudah mendekati 90-95% dalam pakan, sedangkan bungkil kedelai masih 100% tergantung dari pasokan impor. Kemampuan memproduksi dan menyediakan kedua komoditas ini setidaknya sudah dapat menjamin keamanan pakan lebih stabil. Inovasi terbesar harusnya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan kedua bahan pakan ini. Strategi pemenuhan yang dilakukannya pun semuanya hampir sama, yaitu swasembada atau mensubstitusi dengan bahan lain yang mempunyai nilai sama, baik ketersediaan, manfaat biologis, maupun ekonomisnya. Jagung sebagai komponen terbesar dalam pakan sebenarnya secara perlahan tapi pasti mulai terpenuhi dari produksi lokal. Impornya makin ke sini makin menurun karena makin meningkatnya produksi jagung dalam negeri. Faktor lain yakni bisa dikarenakan strategi industri pakan dalam menggunakan jagung pada formulasi pakan, karena harga jagung lokal masih relatif mahal. Pada periode tahun 2019, harga jagung sampai ke pabrik pernah mencapai Rp6.100 per kilogram, padahal harga di petani jagung tidak pernah lebih dari Rp3.500 per kilogram. Tentunya harga seperti itu tidak menggembirakan industri pakan dan peternak, bahkan para konsumen pun terkena rentetannya. Petani jagung pun hanya bisa mendengar baiknya kabar, tetapi tidak menikmati tingginya harga. Penurunan harga jagung dapat dilakukan dengan cara B erbicara karya ilmiah bidang nutrisi, terutama nutrisi unggas, selalu diawali dengan kata-kata bahwa peternakan kita bermasalah dengan penyediaan pakan yang mahal dan bahan pakan selalu berbasis impor. Akibatnya pengeluaran untuk pakan mencapai proporsi yang tertinggi untuk usaha peternakan. Hal ini menyebabkan kurang efisien dan mempunyai daya saing yang rendah serta merupakan permasalahan klasik yang sampai hari ini belum ditemukan jawabannya. Hampir puluhan tahun sudah, kita tersesat tidak menemukan solusi pengembangan bahan pakan yang lebih murah dan efisien. Sepanjang waktu itu bukannya tidak ada penelitian tentang penggunaan dan pengganti bahan pakan impor, masalahnya hasil yang didapatkan hanya memuaskan pada skala laboratorium tetapi tidak siap dalam skala industri. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa hal tersebut tidak bisa diindustrialisasi, antara lain bahan pakan pengganti tidak mempunyai basis produksi dan industrinya. Kedua, bahan pakan pengganti tidak siap pakai, sehingga membutuhkan proses tambahan yang rumit dan membutuhkan biaya tambahan, kalaupun ada, barang tersebut dipastikan memiliki harga yang tinggi sehinga tidak kompetitif dan mahal. Selanjutnya adalah penerimaan pasar, kadang kala produk yang dihasilkan kurang memenuhi harapan pengguna. Terakhir, bahan pakan yang ditawarkan tidak stabil dalam kualitas dan jumlahnya sehingga mengakibatkan terganggunya proses produksi. Ketahanan bahan pakan sangat rapuh, dari 20 jenis jenis bahan pakan yang digunakan, sekitar 16 jenis item berbasis impor. Bukan tidak percaya pada bahan pakan lokal, tetapi sampai hari ini bahan pakan lokal masih jauh dari harapan pengguna, terutama dalam ketersediaan, kontinuitas, kualitas, dan harga yang kompetitif. Akhirnya penggunaannya belum menjadi pilihan utama. Pada sisi lain, berdasarkan GPMT (2019), besaran biaya untuk kebutuhan bahan pakan pada industri pakan mencapai 85% dan konsumsi pakan setiap tahunnya mengalami pertumbuhan yang meningkat sebesar 6%. Berangkat dari hal tersebut, tentu ada peluang dan tantangan yang sangat besar sekali untuk mencapai kemandirian pakan. Bahan pakan yang penggunaanya paling besar adalah jagung dan bungkil kedelai, masing-masing sekitar 50-60% dan 20-30%. Mandeknya Inovasi Bahan Pakan Pengganti Impor Oleh Dr. Mansyur, S.Pt, MM Peran ahli nutrisi pakan dan tanaman sangat dibutuhkan sekali pada industri perunggasan. Sudah saatnya mereka membuka diri untuk riset dalam tanaman pakan untuk unggas, tidak hanya berkutat pada tanaman pakan untuk ruminansia. peningkatan produktivitas jagung dan menurunkan biaya produksi dan logistik jagung. Peningkatan produksi jagung masih sangat memungkinkan secara agronomis karena didukung oleh ketersediaan lahan, kecocokan agroekosistem, dan kemudahan akses sarana produksi. Apalagi kalau kita melihat model GAEZ (IIASA, 2009), bahwa produktivitas lahan di Asia masih berada pada kisaran 45% dari potensi produktivitas tertingginya. Lahan masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan produktivitasnya. Inovasi peningkatan produksi yang dilakukan oleh praktisi pertanian dari daerah Cepu, Jawa Tengah melalui peningkatan kapasitas fotosintesis berpotensi meningkatkan produktivitas jagung. Peningkatan produksi ini pastinya akan meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga pokok produksi. Biaya produksi yang membebani petani jagung antara lain bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja. Pada era pasar bebas pertanian, penggunaan bibit berkualitas didefinsikan dengan label biru, tanah yang subur diartikan pemupukan kimia, pengendalian penyakit lebih cenderung sebagai pembasmian dengan obat-obatan. Kesulitan dan langkanya tenaga kerja pertanian terjadi di mana-mana, sedangkan mekanisasi tidak semuanya menjawab kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja pertanian menjadi mahal. Itu semua meningkatkan biaya, termasuk dalam biaya produksi jagung. Biaya kedua yang membuat harga jagung tinggi adalah biaya perpindahan, karena rantai tata niaga yang terlalu panjang, setidaknya jagung sebelum sampai ke gudang pabrik pakan mengalami transit dua kali bahkan lebih. Biaya transportasi dan bongkar muatnya saja tidak kurang dari Rp400 per kilogram, pelaku tata niaga akan mengambil keuntungan berkisar Rp50- 500 per kilogram tergantung banyakna barang. Biasanya makin besar volume, pengambilan keuntungan akan lebih kecil. Tetapi makin banyak perpindahan akan meningkatkan biaya lebih besar lagi. Perpindahan tiga kali saja sudah dapat meningkatkan harga jagung sekitar Rp1.500 per kilorgam. Setidaknya kalau tidak dapat memutus rantai tata niaga, harus dapat meminimalkan biaya logistiknya. Ini juga jelas masalah klasik yang sudah diketahui secara umum tetapi solusinya tidak mudah untuk diterapkan. Hal ini bisa jadi karena terlalu banyak kepentingan yang bermain atau juga solusi yang ditawarkan tidak membuat semua orang berbahagia. Survei Jagung Pusdatin (2015) menyebutkan bahwa struktur penggunaan komoditas jagung di Indonesia yakni penggunaan untuk pakan mencapai 66,37%, industri pangan 23,96%, dikonsumsi langsung 2,41%, dan sisanya untuk keperluan benih dan lainnya. Melihat data tersebut persaingan dengan kebutuhan jagung untuk pangan tidak tinggi, apalagi dengan produk jagung yang dikonsumsi langsung sangat kecil sekali. Penggunaan untuk pakan masih sangat aman dilihat dari persaingannya dengan keperluan pangan manusia. Hal ini berbeda jauh dengan bahan pakan kedua, yaitu bungkil kedelai. Menjawab ketersediaan bungkil kedelai dengan suplai dalam negeri, diibaratkan seperti membuat kolam dengan sendok makan, dapat terlaksana namun membutuhkan waktu yang sangat lama sekali. Alasannya, jangankan untuk dibuat minyak sayur yang menghasilkan produk sampingan bungkil kedelai, produksi kedelai kita untuk membuat tahu dan tempe saja kedodoran. Industri minyak sayur Indonesia ada yang lebih efisien jika dibandingkan dengan menggunakan kedelai, setidaknya kita mempunyai minyak kelapa sawit dan minyak kelapa. Peningkatan produksi pakan akan memperbesar ketergantungan terhadap impor bungkil kedelai, karena kita tidak mempunyai basis industri pengolahan minyak kedelai, sementara alasan untuk memproduksi minyak kedelai hampir tidak ada. Strategi substitusi harusnya menjadi pilihan untuk bahan pakan ini, bukan memproduksi sendiri. Berdasarkan hal tersebut, adakah bahan pakan yang berpotensi dapat menggantikan bungkil kedelai baik secara jumlah maupun nilai biologisnya dalam pakan? Kalau melihat potensi produksi, setidaknya ada dua industri yang dapat memproduksi bahan pakan untuk mensubstitusi bungkil kedelai, yaitu industri minyak sawit dan industri pengolahan jagung. Sebagai negara yang memproduksi CPO terbesar di dunia, tentunya kita mempunyai produk sampingan industri sawit yang sangat banyak. Permasalahannya adalah nilai biologisnya yang belum setara, sentuhan inovasi teknologi yang efisien sangat diperlukan untuk mengubah produk sampingan industri sawit. Tentu dibutuhkan banyak proses dan perlakuan agar produk sampingan tersebut dapat setara atau setidaknya mendekati nilai biologis dari bungkil kedelai. Selanjutnya adalah pengembangan industri pengolahan jagung (seandainya produksinya melimpah), baik untuk pangan maupun energi dapat menghasilkan produk sampingan seperti DDGS, CGM, dan CGF. Model pengembangan tersebut apabila disentuh dengan inovasi teknologi berpotensi menggantikan bungkil kedelai. Terakhir, inovasi akan selalu dibutuhkan. Mari kita fokus untuk meningkatkan produksi jagung yang efisen dan logistik yang lebih murah, serta mengoptimalkan bahan pakan yang berbasis industri untuk mendekati nilai biologis bungkil kedelai. Peran ahli nutrisi pakan dan tanaman sangat dibutuhkan sekali. Sudah saatnya para ahli tanaman pakan membuka diri untuk riset dalam tanaman pakan untuk unggas, jangan hanya berkutat pada tanaman pakan untuk herbivora saja. *Associate Professor pada Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran

Transcript of Mandeknya Inovasi Bahan Pakan Pengganti...

Page 1: Mandeknya Inovasi Bahan Pakan Pengganti Imporpeternakan.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2020/03/... · kedelai, yaitu industri minyak sawit dan industri pengolahan jagung. Sebagai

u Maret 202084 u Maret 2020 85

Penggunaan kedua bahan pakan ini mencapai 80%. Sayangnya, hanya jagung yang mendekati keamanan stok dalam negeri. Penggunaan pasokan jagung dalam negeri sudah mendekati 90-95% dalam pakan, sedangkan bungkil kedelai masih 100% tergantung dari pasokan impor.

Kemampuan memproduksi dan menyediakan kedua komoditas ini setidaknya sudah dapat menjamin keamanan pakan lebih stabil. Inovasi terbesar harusnya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan kedua bahan pakan ini. Strategi pemenuhan yang dilakukannya pun semuanya hampir sama, yaitu swasembada atau mensubstitusi dengan bahan lain yang mempunyai nilai sama, baik ketersediaan, manfaat biologis, maupun ekonomisnya.

Jagung sebagai komponen terbesar dalam pakan sebenarnya secara perlahan tapi pasti mulai terpenuhi dari produksi lokal. Impornya makin ke sini makin menurun karena makin meningkatnya produksi jagung dalam negeri. Faktor lain yakni bisa dikarenakan strategi industri pakan dalam menggunakan jagung pada formulasi pakan, karena harga jagung lokal masih relatif mahal. Pada periode tahun 2019, harga jagung sampai ke pabrik pernah mencapai Rp6.100 per kilogram, padahal harga di petani jagung tidak pernah lebih dari Rp3.500 per kilogram. Tentunya harga seperti itu tidak menggembirakan industri pakan dan peternak, bahkan para konsumen pun terkena rentetannya. Petani jagung pun hanya bisa mendengar baiknya kabar, tetapi tidak menikmati tingginya harga.

Penurunan harga jagung dapat dilakukan dengan cara

Berbicara karya ilmiah bidang nutrisi, terutama nutrisi unggas, selalu diawali dengan kata-kata bahwa peternakan kita bermasalah dengan penyediaan pakan yang mahal dan bahan pakan selalu berbasis impor.

Akibatnya pengeluaran untuk pakan mencapai proporsi yang tertinggi untuk usaha peternakan. Hal ini menyebabkan kurang efisien dan mempunyai daya saing yang rendah serta merupakan permasalahan klasik yang sampai hari ini belum ditemukan jawabannya. Hampir puluhan tahun sudah, kita tersesat tidak menemukan solusi pengembangan bahan pakan yang lebih murah dan efisien.

Sepanjang waktu itu bukannya tidak ada penelitian tentang penggunaan dan pengganti bahan pakan impor, masalahnya hasil yang didapatkan hanya memuaskan pada skala laboratorium tetapi tidak siap dalam skala industri. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa hal tersebut tidak bisa diindustrialisasi, antara lain bahan pakan pengganti tidak mempunyai basis produksi dan industrinya. Kedua, bahan pakan pengganti tidak siap pakai, sehingga membutuhkan proses tambahan yang rumit dan membutuhkan biaya tambahan, kalaupun ada, barang tersebut dipastikan memiliki harga yang tinggi sehinga tidak kompetitif dan mahal. Selanjutnya adalah penerimaan pasar, kadang kala produk yang dihasilkan kurang memenuhi harapan pengguna. Terakhir, bahan pakan yang ditawarkan tidak stabil dalam kualitas dan jumlahnya sehingga mengakibatkan terganggunya proses produksi.

Ketahanan bahan pakan sangat rapuh, dari 20 jenis jenis bahan pakan yang digunakan, sekitar 16 jenis item berbasis impor. Bukan tidak percaya pada bahan pakan lokal, tetapi sampai hari ini bahan pakan lokal masih jauh dari harapan pengguna, terutama dalam ketersediaan, kontinuitas, kualitas, dan harga yang kompetitif. Akhirnya penggunaannya belum menjadi pilihan utama. Pada sisi lain, berdasarkan GPMT (2019), besaran biaya untuk kebutuhan bahan pakan pada industri pakan mencapai 85% dan konsumsi pakan setiap tahunnya mengalami pertumbuhan yang meningkat sebesar 6%. Berangkat dari hal tersebut, tentu ada peluang dan tantangan yang sangat besar sekali untuk mencapai kemandirian pakan.

Bahan pakan yang penggunaanya paling besar adalah jagung dan bungkil kedelai, masing-masing sekitar 50-60% dan 20-30%.

Mandeknya Inovasi Bahan Pakan Pengganti ImporOleh Dr. Mansyur, S.Pt, MM

Peran ahli nutrisi pakan dan tanaman sangat dibutuhkan sekali pada industri perunggasan. Sudah saatnya mereka

membuka diri untuk riset dalam tanaman pakan untuk unggas, tidak hanya berkutat pada tanaman pakan untuk ruminansia.

peningkatan produktivitas jagung dan menurunkan biaya produksi dan logistik jagung. Peningkatan produksi jagung masih sangat memungkinkan secara agronomis karena didukung oleh ketersediaan lahan, kecocokan agroekosistem, dan kemudahan akses sarana produksi. Apalagi kalau kita melihat model GAEZ (IIASA, 2009), bahwa produktivitas lahan di Asia masih berada pada kisaran 45% dari potensi produktivitas tertingginya. Lahan masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan produktivitasnya. Inovasi peningkatan produksi yang dilakukan oleh praktisi pertanian dari daerah Cepu, Jawa Tengah melalui peningkatan kapasitas fotosintesis berpotensi meningkatkan produktivitas jagung. Peningkatan produksi ini pastinya akan meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga pokok produksi.

Biaya produksi yang membebani petani jagung antara lain bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja. Pada era pasar bebas pertanian, penggunaan bibit berkualitas didefinsikan dengan label biru, tanah yang subur diartikan pemupukan kimia, pengendalian penyakit lebih cenderung sebagai pembasmian dengan obat-obatan. Kesulitan dan langkanya tenaga kerja pertanian terjadi di mana-mana, sedangkan mekanisasi tidak semuanya menjawab kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja pertanian menjadi mahal. Itu semua meningkatkan biaya, termasuk dalam biaya produksi jagung.

Biaya kedua yang membuat harga jagung tinggi adalah biaya perpindahan, karena rantai tata niaga yang terlalu panjang, setidaknya jagung sebelum sampai ke gudang pabrik pakan mengalami transit dua kali bahkan lebih. Biaya

transportasi dan bongkar muatnya saja tidak kurang dari Rp400 per kilogram, pelaku tata niaga akan mengambil keuntungan berkisar Rp50-500 per kilogram tergantung banyakna barang. Biasanya makin besar volume, pengambilan keuntungan akan lebih kecil. Tetapi makin banyak perpindahan akan meningkatkan biaya lebih besar lagi. Perpindahan tiga kali saja sudah dapat meningkatkan harga jagung sekitar Rp1.500 per kilorgam. Setidaknya kalau tidak dapat memutus rantai tata niaga, harus dapat meminimalkan biaya logistiknya. Ini juga jelas masalah klasik yang sudah diketahui secara umum tetapi solusinya tidak mudah untuk diterapkan. Hal ini bisa jadi karena terlalu banyak kepentingan yang bermain atau juga solusi yang ditawarkan tidak membuat semua orang berbahagia.

Survei Jagung Pusdatin (2015) menyebutkan bahwa struktur penggunaan komoditas jagung di Indonesia yakni penggunaan untuk

pakan mencapai 66,37%, industri pangan 23,96%, dikonsumsi langsung 2,41%, dan sisanya untuk keperluan benih dan lainnya. Melihat data tersebut persaingan dengan kebutuhan jagung untuk pangan tidak tinggi, apalagi dengan produk jagung yang dikonsumsi langsung sangat kecil sekali. Penggunaan untuk pakan masih sangat aman dilihat dari persaingannya dengan keperluan pangan manusia. Hal ini berbeda jauh dengan bahan pakan kedua, yaitu bungkil kedelai.

Menjawab ketersediaan bungkil kedelai dengan suplai dalam negeri, diibaratkan seperti membuat kolam dengan sendok makan, dapat terlaksana namun membutuhkan waktu yang sangat lama sekali. Alasannya, jangankan untuk dibuat minyak sayur yang menghasilkan produk sampingan bungkil kedelai, produksi kedelai kita untuk membuat tahu dan tempe saja kedodoran. Industri minyak sayur Indonesia ada yang lebih efisien jika dibandingkan dengan menggunakan kedelai, setidaknya kita mempunyai minyak kelapa sawit dan minyak kelapa. Peningkatan produksi pakan akan memperbesar ketergantungan terhadap impor bungkil kedelai, karena kita tidak mempunyai basis industri pengolahan minyak kedelai, sementara alasan untuk memproduksi minyak kedelai hampir tidak ada. Strategi substitusi harusnya menjadi pilihan untuk bahan pakan ini, bukan memproduksi sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, adakah bahan pakan yang berpotensi dapat menggantikan bungkil kedelai baik secara jumlah maupun nilai biologisnya dalam pakan? Kalau melihat potensi produksi, setidaknya ada dua industri yang dapat memproduksi bahan pakan untuk mensubstitusi bungkil kedelai, yaitu industri minyak sawit dan industri pengolahan jagung. Sebagai negara yang memproduksi CPO terbesar di dunia, tentunya kita mempunyai produk sampingan industri sawit yang sangat banyak. Permasalahannya adalah nilai biologisnya yang belum setara, sentuhan inovasi teknologi yang efisien sangat diperlukan untuk mengubah produk sampingan industri sawit. Tentu dibutuhkan banyak proses dan perlakuan agar produk sampingan tersebut dapat setara atau setidaknya mendekati nilai biologis dari bungkil kedelai.

Selanjutnya adalah pengembangan industri pengolahan jagung (seandainya produksinya melimpah), baik untuk pangan maupun energi dapat menghasilkan produk sampingan seperti DDGS, CGM, dan CGF. Model pengembangan tersebut apabila disentuh dengan inovasi teknologi berpotensi menggantikan bungkil kedelai.

Terakhir, inovasi akan selalu dibutuhkan. Mari kita fokus untuk meningkatkan produksi jagung yang efisen dan logistik yang lebih murah, serta mengoptimalkan bahan pakan yang berbasis industri untuk mendekati nilai biologis bungkil kedelai. Peran ahli nutrisi pakan dan tanaman sangat dibutuhkan sekali. Sudah saatnya para ahli tanaman pakan membuka diri untuk riset dalam tanaman pakan untuk unggas, jangan hanya berkutat pada tanaman pakan untuk herbivora saja. *Associate Professor pada Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran