ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN … · FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN...
-
Upload
nguyentruc -
Category
Documents
-
view
255 -
download
0
Transcript of ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN … · FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN...
i
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
SKRIPSI
DINAR FRIHASTIKA SARI H34070067
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
ii
RINGKASAN
DINAR FRIHASTIKA SARI, Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia, skripsi.Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA).
Ketahanan pangan dapat dilakukan melalui diversifikasi konsumsi. Diversifikasi konsumsi tidak hanya dilakukan pada pangan yang mengandung karbohidrat saja tetapi juga dilakukan pada pangan yang mengandung protein. Kacang-kacangan mengandung protein nabati dan dapat digunakan sebagai pangan pengganti protein hewani. Jenis kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kedelai. Tingginya permintaan kedelai di dalam negeri tidak diikuti dengan produksi kedelai lokal yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga impor terus dilakukan. Derasnya impor kedelai dengan harga murah membuat pasar kedelai di dalam negeri didominasi oleh kedelai impor. Hal ini yang membuat petani kedelai lokal semakin terhimpit sehingga gairah petani untuk menanam kedelai semakin berkurang. Melihat hal tersebut dibutuhkan beragam upaya dan dukungan dari semua pihak untuk merespon kondisi kedelai lokal saat ini sehingga dayasaing kedelai lokal dapat ditingkatkan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) menelaah sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (2) menganalisis daya saing agribisnis kedelai lokal Indonesia, (3) merumuskan strategi pengembangan dan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
Lingkup penelitian ini meliputi analisis agribisnis kedelai lokal secara nasional (makro). Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari hingga Mei 2011 mencakup ke dalam penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data hingga disimpulkannya hasil penelitian. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan wawancara khusus dengan Kasubid Pengembangan Kedelai, Kepala Seksi Pengembangan Kedelai Lokal, Kepala KOPTI kabupaten Bogor dan studi literatur dari berbagai sumber dan buku serta dengan browsing internet. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui dayasaing adalah Porter’s Diamond Theory sedangkan untuk merumuskan strategi maka digunakan alat analisis SWOT dan arsitektur strategik.
Pada penelitian ini, diketahui kondisi agribisnis kedelai lokal di Indonesia mulai dari subsistem agribisnis hulu, on farm hingga subsistem agribisnis hilir dan pemasaran. Selain itu, berdasarkan Porter’s Diamond Analyse diperoleh keterkaitan antar komponen pada Porter’s Diamond system dimana komponen yang saling mendukung pada komponen utama lebih sedikit bila dibandingkan dengan komponen yang tidak saling mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing kedelai lokal di Indonesia lemah. Namun komponen pendukung pada Porter’s Diamond system sangat mendukung komponen utama. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh sepuluh alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia: (1) Peningkatan produksi kedelai lokal, (2) Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal (3)
iii
Penguatan Kelembagaan (4) Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank (5) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai (6) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (7) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal, (8) Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal, (9) Pembatasan volume impor (10) Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai. Dari sepuluh strategi tersebut dihasilkan program-program untuk mencapai sasaran tersebut dengan menghadapi tantangan yang ada selama pelaksanaan program. Program-program tersebut dilakuakan secara bertahap dan rutin yang dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi.
iv
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
DINAR FRIHASTIKA SARI H34070067
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
v
Judul Skripsi : Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis
Kedelai Lokal di Indonesia
Nama : Dinar Frihastika Sari
NIM : H34070067
Disetujui,
Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA. Ec
NIP. 19640220 198903 1 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia” adalah karya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Juni 2011
Dinar Frihastika Sari H34070067
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Maret 1989. Penulis adalah
anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Achmad Yaelani dan Siti
Nurul Sukriati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Angkasa I Bogor pada
tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di
SLTP 6 Bogor. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada
tahun 2007 di SMA Negeri 1 Bogor.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008, penulis
diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai
Mayor.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di
Indonesia”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi sistem agribisnis dan
dayasaing kedelai lokal di Indonesia serta merumuskan alternatif strategi
pengembangannya yang kemudian dipetakan dalam sebuah rancangan arsitektur
strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
Namun demikian penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penulisan skripsi karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun
diharapkan skripsi ini dapat menjadi masukkan dan bermanfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2011
Dinar Frihastika Sari
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk
rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA. Ec selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, arahan dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Suharno M. Adv dan Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji
pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik
dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan seluruh
dosen serta staff pengajar Departemen Agribisnis yang selalu memberikan
saran dan masukkan kepada penulis.
4. Direktorat Jendral Tanaman Pangan Bapak Kasmin Nadaek selaku kasubid
kedelai dan perwakilan dewan kedelai, Direktorat Perbenihan Bapak Dhani
Permadi selaku kasi Aneka Kacang dan Umbi, Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) atas waktu, kesempatan dan informasi
yang diberikan kepada penulis.
5. Ayahanda Achmad Yaelani dan Ibunda Siti Nurul Sukriati atas kasih sayang
dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, kakakku Dias Permata
Sari dan adikku Dita Triambari yang selalu memberikan motivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini serta Ryza Satria Pamenang yang selalu
memberikan kasih sayang, semangat dan doa terhadap penulis.
6. Teman-teman kesebelasan dan teman-teman Agribisnis 44 khususnya Venty
Fitriani Nurunisa dan Nuning Indriyashari atas semangat dan sharing selama
penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2011
Dinar Frihastika Sari
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 4 1.3. Tujuan .......................................................................................... 7 1.4. Manfaat ........................................................................................ 7 1.5. Ruang Lingkup ............................................................................. 7
II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9 2.1. Kondisi Kedelai di Indonesia ....................................................... 9 2.2. Sistem Agribisnis Kedelai ............................................................ 10 2.3. Dayasaing Kedelai Lokal di Indonesia ........................................ 11 2.4. Strategi Pengembangan dan Arsitektur Strategik Komoditi
di Indonesia................................................................................. . 13
III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 15 3.1. Kerangka Teoritis ......................................................................... 15
3.1.1. Pengertian Agribisnis ......................................................... 15 3.1.2. Konsep Dayasaing ............................................................. 16 3.1.3. Formulasi Strategi .............................................................. 18
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 19
IV METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 22 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 22 4.2. Data dan Instrumentasi................................................................. 22 4.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 22 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 23
4.4.1. Analisis Berlian Porter ...................................................... 25 4.4.2. Analisis SWOT .................................................................. 32 4.4.3. Arsitektur Strategik ........................................................... 33
V GAMBARAN UMUM KEDELAI DUNIA DAN NASIONAL 5.1. Kedelai Dunia .............................................................................. 34
5.1.1. Produksi Kedelai Dunia ..................................................... 34 5.1.2. Negara Penghasil Kedelai Dunia ....................................... 35 5.1.3. Eksportir Kedelai di Dunia ................................................ 36 5.1.4. Importir Kedelai ............................................................... 36 5.1.5. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kedelai di
Negara Penghasil Kedelai ................................................. 37 5.1.6. Tingkat Harga Kedelai Dunia ............................................ 38
5.2. Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ........................................ 40 5.2.1. Subsistem Hulu .................................................................. 40 5.2.2. Subsistem Usahatani Kedelai ............................................ 42
xi
5.2.3. Subsistem Hilir dan Pemasaran .......................................... 44 5.2.4. Subsistem Penunjang .......................................................... 47
5.3. Impor Kedelai Indonesia ............................................................... 49
VI DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 6.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond System ........................... 52
6.1.1. Kondisi Faktor Sumberdaya ............................................... 52 6.1.2. Kondisi Permintaan............................................................ 64 6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung ............................ 67 6.1.4. Struktur, Persaingan dan Strategi Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia . ............................................................ 70 6.1.5. Peran Pemerintah ................................................................ 73 6.1.6. Kesempatan ........................................................................ 74
6.2. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System.. 75 6.3. Keterkaitan antar Komponen Penunjang dengan komponen
Utama ............................................................................................ 78
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN DAYASAING KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 7.1. Analisis SWOT Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing
Agribisnis Kedelai Lokal .............................................................. 82 7.1.1. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Berdasarkan Gambaran Umum dan Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ............ 82 7.1.2. Analisis Komponen SWOT ................................................ 84 7.1.3. Perumusan Strategi dengan Matriks SWOT ....................... 95
7.2. Rancangan Arsitektur Strategik Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ....................... 103 7.2.1. Sasaran Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia .................. 103 7.2.2. Tantangan Agribisnis Kedelai Lokal .................................. 103 7.2.3. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing
Agribisnis Kedelai Lokal ................................................... 103 7.2.4. Tahapan Arsitektur Strategik .............................................. 105
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ................................................................................... 108 8.2. Saran ............................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 111
LAMPIRAN ................................................................................................. 115
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai ....... 5
2 Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia (2000-2009) ..................... 6
3 Perkembangan Produksi dan Permintaan Kedelai Dunia (juta ton) Tahun 2006 – 2009 ............................................................................... 34
4 Jumlah Produksi Negara-Negara Penghasil Kedelai Terbesar di Dunia Tahun 2006/2007 – 2009/2010 (000) Ton ........................................... 35
5 Ekportir Utama Kedelai Dunia Tahun 2006/2007–2009/2010 (000) Ton ............................................................................................. 36
6 Importir Kedelai Dunia Tahun 2006/200 –2009/2010........................ 37
7 Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton) ......................................... 51
8 Luas Tanam Kedelai Lokal 2007-2010 (hektar) .................................. 54
9 Keterkaitan Antar Komponen Utama ................................................... 75
10 Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama.. 78
11 Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Sistem Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ................................................ 83
12 Matriks SWOT Agribisnis Kedelai Lokal ........................................... 96
13 Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal ....................................................................................... 104
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis .......................... 16
2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 21
3 Sistem Agribisnis Kedelai Lokal .......................................................... 24
4 The Complete System of National Competitif Advantage .................... 31
5 Matriks SWOT ..................................................................................... 32
6 Rata-rata Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2003-2007 ................... 38
7 Harga Kedelai Dunia Bulanan (Januari Tahun 2000-Januari 2010) ... 39
8 Klasifikasi Produk Olahan Kedelai ...................................................... 45
9 Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia ............................................... 46
10 Grafik Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Tahun
1999-2008 .................................................................................. 50
11 Persentase Permintaan Kedelai Berdasarkan Penggunaannya ............. 65
12 Produksi dan Konsumsi Kedelai dari Tahun 1970-2009 ..................... 66
13 Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond System .................... 80
14 Arsitektur Strategik Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ............... 107
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Proyeksi Konsumsi Kedelai Tahun 2010-2014 .................................. 116
2 Analisa Usahatani Kedelai di Jawa dan Luar Jawa ............................ 117
3 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi ................... 118
4 Perkembangan Produk Olahan di Indonesia ....................................... 119
5 Perbedaan Kualitas Kedelai Lokal dan Kedelai Impor ...................... 122
6 Varietas Unggul yang Memiliki Potensi Produksi > 2 ton/ha ............ 123
7 Perbandingan Produktivitas Kedelai Tahun 2007 dan 2008 (setelah pelaksanaan SL-PTT) ............................................................ 124
1
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia, karena itu
sangatlah penting untuk menjaga ketersediaannya. Hak untuk memperoleh pangan
merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27
UUD 1945. Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.7/1996 tentang
pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti
dan peranan penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang
lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan
ekonomi serta dapat mengakibatkan berbagai gejolak sosial dan politik (Abubakar
2008).
Ketahanan pangan merupakan kemampuan rumah tangga menyediakan
pangan bagi seluruh anggota rumah tangganya dalam jumlah, mutu, aman, merata
dan berkesinambungan. Kacang-kacangan termasuk ke dalam kelompok pangan
yang menduduki urutan ke lima dari sembilan kelompok pangan yang
dikonsumsi. Rumah tangga miskin yang mengkonsumsi umbi-umbian mencapai
42,5 persen dan kacang-kacangan 80,8 persen. Jadi hampir semua rumah tangga
miskin pedesaan menyertakan kelompok pangan kacang-kacang dalam pola
konsumsi pangannya. Oleh karena itu komoditas kacang-kacangan perlu
diperhitungkan dalam mewujudkan ketahanan pangan khususnya bagi rumah
tangga miskin pedesaan (Hanafie 2004).
Pemerintah bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan hidup
penduduknya. Dengan demikian tercapainya ketahanan pangan menjadi indikator
keberhasilan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Bergesernya konsep
ketahanan pangan dari orientasi komoditas menjadi orientasi nutrisi (kecukupan
gizi) telah membuka peluang berkembangnya intervensi kebijakan pencapaian
ketahanan pangan melalui konsumsi pangan yang lebih beragam (diversifikasi
konsumsi).
Diversifikasi konsumsi pangan adalah penganekaragaman bahan pangan
yang dikonsumsi, mencakup bahan pangan sumber energi dan zat gizi lainnya
(Hanafie 2004). Ketahanan pangan tidak hanya diwujudkan melalui diversifikasi
pangan yang bersumber dari pangan yang mengandung karbohidrat saja tetapi
2
juga diwujudkan melalui diversifikasi pangan dari sumber pangan yang
mengandung protein. Salah satu komoditi pangan alternatif sebagai sumber
protein non hewan adalah kedelai.
Kedelai (Glicine max) adalah tanaman semusim yang termasuk famili
Leguminosae, berasal dari Cina dan kemudian dikembangkan ke berbagai negara
seperti Amerika, Amerika Latin dan Asia. Kedelai dapat dibudidayakan di daerah
sub tropis dan tropis dengan teknis budidaya yang sederhana. Kandungan gizi
kedelai cukup tinggi, terutama proteinnya mencapai 34 persen sehingga sangat
diminati sebagai sumber protein nabati yang relatif murah dibandingkan dengan
protein hewani (Ditjentan 2004). Kedelai tidak hanya digunakan sebagai sumber
protein nabati, tetapi juga sebagai pangan fungsional untuk mencegah timbulnya
penyakit degeneratif, seperti jantung koroner dan hipertensi. Zat isoflavon yang
ada pada kedelai ternyata berfungsi sebagai antioksidan. Tidak hanya itu, saat ini
kedelai banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif (biofuel).
Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam
bentuk produk olahan, yaitu: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai dan berbagai
bentuk makanan ringan (Sudaryanto dan Swastika 2007). Di Indonesia sendiri,
kedelai digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tahu dan tempe
yang telah menjadi menu sehari-hari masyarakat Indonesia. Hal tersebut
menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas penting di Indonesia.
Sifat multiguna yang terdapat pada kedelai menyebabkan tingginya
permintaan kedelai di dalam negeri. Selain itu, manfaat kedelai sebagai salah satu
sumber protein murah membuat kedelai semakin diminati. Seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan kedelai di dalam negeri pun
berpotensi untuk meningkat. Konsumsi kedelai diproyeksikan mengalami
pertumbuhan sebesar 1,38 persen pertahun. Proyeksi konsumsi kedelai pada tahun
2010-2014 dapat dilihat pada Lampiran 1. Selain itu, berkembangnya industri
peternakan, terutama unggas telah mendorong berkembangnya industri pakan
ternak, dimana bungkil kedelai banyak digunakan sebagai sumber protein dalam
komposisi pakan unggas (Tangendjaja et al 2003). Hal ini menunjukkan adanya
peluang pasar yang cukup besar bagi pengembangan kedelai di Indonesia.
3
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Tanaman Pangan
(2010), produksi kedelai lokal di Indonesia selama tahun 1992-2007 terus
menurun dengan rata-rata produksi sebesar 6,26 persen per tahun. Pada tahun
1992 produksi kedelai mencapai 1,8 juta ton dengan luas panen sebesar 1,6 juta
ha dan produktivitas sebesar 1,12 ton/ha. Hingga tahun 2007 produksi kedelai
lokal terus menurun. Produksi kedelai tahun 2007 hanya sebesar 592.534 ton
dengan luas panen 459.116 ha dan produktivitas 1,3 ton/ha. Namun Sejak tahun
2008-2009 produksi kedelai lokal mulai mengalami peningkatan dengan
persentase produksi masing-masing tahun sebesar 30,91 persen dan 24,59 persen.
Kenaikan ini antara lain didorong dengan membaiknya harga kedelai dunia dan
berbagai insentif yang dilakukan pemerintah untuk tercapainya swasembada
kedelai tahun 2014.
Pada tahun 2009, produksi kedelai lokal sebesar 966.469 ton (angka
ramalan III, BPS) sedangkan kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2 juta ton.
Dalam hal ini kedelai lokal baru memenuhi 48 persen dari total kebutuhan kedelai
dalam negeri yang selebihnya dipenuhi oleh kedelai yang berasal dari impor.
Ketidakmampuan kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di
dalam negeri menyebabkan tingginya volume kedelai impor. Padahal untuk
melakukan impor dibutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit. Hal ini
tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja mengingat potensi untuk meningkatkan
produksi kedelai di dalam negeri dapat dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan
tersedianya lahan yang cukup luas dan sesuai untuk budidaya kedelai serta
terdapatnya teknologi spesifik lokasi dan sumberdaya manusia yang cukup
terampil dalam usahatani kedelai (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010).
Selain itu Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang
besar, dan terus berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai
menjadikan komoditas kedelai perlu mendapatkan prioritas untuk dikembangkan
di dalam negeri. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah berupaya
untuk mewujudkan swasembada kedelai di Indonesia. Swasembada kedelai
merupakan suatu keadaan tercukupinya kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri
oleh produksi kedelai nasional.
4
1.2. Perumusan Masalah
Pada tahun 1992 Indonesia mencapai puncak produksi tertinggi yaitu
sebesar 1,6 juta ton dan berhasil mencapai swasembada kedelai. Namun kondisi
tersebut tidak berlangsung lama, dari tahun ke tahun produksi dalam negeri terus
menurun. Hal ini terutama dipicu oleh perubahan kebijakan tataniaga kedelai,
yaitu dengan diberlakukannya pasar bebas yang mengakibatkan derasnya kedelai
impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat petani
karena insentif yang diterima rendah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010).
Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara importir kedelai merupakan
permasalahan bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Permintaan kedelai yang
tinggi di Indonesia tidak diimbangi dengan produksi kedelai yang cenderung
berkembang lambat. Hal ini terjadi karena produktivitas dan produksi kedelai
lokal masih rendah. Kondisi ini diperparah dengan semakin menurunnya luas
panen kedelai. Ariani (2005) menyatakan, tanpa perluasan areal tanam, upaya
peningkatan produksi kedelai sulit dilakukan karena laju peningkatan
produktivitas berjalan lambat, terlebih lagi bila harga sarana produksi tinggi dan
harga produk rendah1. Hal ini terlihat pada Tabel 2, luas panen terbesar terjadi
pada tahun 1995 yaitu sebesar 1,47 juta ha dan menurun drastis dengan area luas
panen terkecil pada tahun 2007 sebesar 459.116 ha. Penurunan areal tanam akan
diikuti dengan produksi kedelai yang ikut menurun. Hal ini berkaitan erat dengan
derasnya kedelai impor yang masuk ke Indonesia, karena untuk memenuhi
permintaan kedelai dalam negeri, maka dilakukan impor kedelai.
1 Ariani (2005) dalam Supandi (2008). Menggalang Partisipasi Petani untuk Meningkatkan
Produksi Kedelai Menuju Swasembada. http://www. pustaka. litbang. deptan. go. Id / publikasi / p3273085.pdf [diakses 27 Desember 2010]
5
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai
Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2010) [diolah]
Belum mampunya kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di
dalam negeri menyebabkan pasokan kedelai di dalam negeri bergantung pada
impor kedelai. Padahal ketergantungan yang makin besar pada impor dapat
merugikan industri pengolahan kedelai terutama jika harga pangan dunia sangat
mahal akibat stok menurun. Hal ini terjadi karena harga yang berlaku pada
kedelai impor mengikuti harga yang berlaku pada harga kedelai internasional
(dunia).
Besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor menyebabkan harga
kedelai dipasaran sulit untuk dikendalikan oleh instansi terkait sehingga harga
kedelai cenderung fluktuatif. Sesuai dengan penelitian Handayani (2007), yang
menjelaskan bahwa peningkatan harga riil pasar kedelai impor akan
meningkatkan harga riil kedelai domestik. Terlihat pada Tabel 2. Besarnya tingkat
ketergantungan terhadap impor kedelai sangat besar. Tingkat ketergantungan
impor kedelai pada tahun 2000 hingga 2009 selalu lebih dari 50 persen dari total
konsumsi kedelai di Indonesia. Dengan tingkat ketergantungan impor terbesar
pada tahun 2007 yaitu sebesar 70,4 persen.
Tahun Luas panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
1995 1.476.284 1,13 1.679.092 1996 1.277.736 1,18 1.515.937 1997 1.118.140 1,21 1.356.108 1998 1.094.262 1,19 1.304.950 1999 1.151.079 1,20 1.382.848 2000 824.484 1,23 1.017.634 2001 678.848 1,21 826.932 2002 544.522 1,23 673.056 2003 526.796 1,27 671.600 2004 565.155 1,28 23.483 2005 621.541 1,30 808.353 2006 580.534 1,28 747.611 2007 459.116 1,29 592.534 2008 590.956 1,31 775.710 2009 722.791 1,34 974.512
6
Tabel 2. Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1999- 2008
Tahun Konsumsi (000 Ton)
Impor (000 Ton)
Tingkat Ketergantungan %
2000 2.295,2 1.277,2 55,6 2002 2.038,1 1.365,1 66,8 2004 1.841,3 1.117,8 60,7 2006 1.837,2 1.028,8 56,0 2007 2.004,1 1.411,6 70,4 2008 1.945,5 1.169,0 60,0 2009 1.974,7 1.052,4 53,3
Sumber: BPS 2009 [diolah]
Ketergantungan ini tentunya sangat merugikan Indonesia karena harga
dari kedelai impor sangat fluktuatif. Jika kondisi ini berlanjut tentunya
ketergantungan impor kedelai yang semakin tinggi juga akan menyebabkan
pemborosan devisa, karena devisa dapat digunakan untuk tujuan strategis pada
sektor pertanian lainnya seperti pengembangan industri pertanian yang dapat
menyerap tenaga kerja. Selain itu keberadaan kedelai impor murah yang kini
mendominasi pasar kedelai di Indonesia membuat kedelai lokal semakin tersaingi.
Kedelai lokal tidak hanya harus bersaing harga namun juga harus bersaing dari
segi kualitas dengan kedelai impor.
Berdasarkan hal-hal di atas, terihat kondisi persaingan kedelai lokal
dengan kedelai impor yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan kajian yang
menghasilkan informasi mengenai gambaran umum agribisnis kedelai di
Indonesia, untuk kemudian dilakukan analisis dayasaing agribisnis kedelai lokal
di Indonesia.
Di satu sisi sulitnya memacu produksi membuat volume impor semakin
deras masuk, namun di sisi lain permintaan kedelai nasional selalu tinggi.
Mengingat potensi lahan di Indonesia cukup luas, jumlah penduduk yang cukup
besar dan berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai maka komoditas
kedelai perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan agar dapat menekan
ketergantungan terhadap impor. Upaya untuk menekan ketergantungan terhadap
impor kedelai tersebut dapat ditempuh melalui strategi pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia. Strategi yang telah dibuat selanjutnya dituangkan ke
dalam rancangan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hal
tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi faktor intenal dan eksternal agribisnis
7
kedelai serta kondisi pengembangan sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menghasilkan strategi untuk
pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Menelaah sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia
2) Menganalisis dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia
3) Merumuskan strategi pengembangan dan menyusun arsitektur strategik
agribisnis kedelai lokal di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Bagi penulis sendiri, penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan dalam
menganalisis permasalahan secara ilmiah
2) Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi bagi
penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditi kedelai.
3) Bagi masyarakat ataupun pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai rujukan serta sebagai bahan informasi bagi pembaca mengenai
dayasaing serta pengembangan kedelai lokal di Indonesia
4) Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait
dengan dayasaing kedelai lokal di Indonesia
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji komoditas kedelai sebagai komoditas strategis
yang memiliki banyak manfaat dan peluang untuk dikembangkan lebih lanjut.
Penelitian ini akan membahas mengenai sistem agribisnis, dayasaing serta strategi
pengembangan agribisnis kedelai lokal Indonesia dengan dua batasan lingkungan
yaitu lingkungan makro dan lingkungan mikro. Pada lingkungan makro,
subsistem yang dibahas dalam sistem agribisnis kedelai lokal dibatasi oleh sistem
agribisnis dan komponen pendukung pada Berlian Porter yang meliputi subsistem
8
jasa penunjang dan lingkungan ekonomi global. Sedangkan pada lingkungan
mikro dibatasi oleh sistem agribisnis dan komponen utama pada berlian porter
yang meliputi subsistem hulu, budidaya (on farm) dan subsistem hilir, untuk lebih
jelasnya lihat Gambar 4 pada Bab Metode Penelitian (Bab IV).
9
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Kedelai di Indonesia
Kedelai (Glyicne max), bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun
sejak abad ke XVI tanaman ini telah dibudidayakan di pulau Jawa yang dibawa
oleh imigran Cina sebagai bahan makanan. Kelanjutan usahatani di Indonesia
ditunjang dengan adanya pengolahan kedelai menjadi bahan makanan seperti
tempe, tahu, kecap dan tauco yang ternyata teknik pengolahannya tidak
ditemukan di negara tetangga yang pada zaman dulu berhubungan erat dengan
Indonesia seperti Thailand, India, Vietnam.
Awalnya, secara tradisional kedelai memang tidak pernah ditanam secara
luas sebagai tanaman inti seperti jagung atau ubikayu namun hanya sebagai
tanaman sisipan. Secara berangsur-angsur terjadi perubahan dari corak usahatani
tradisional ke corak usahatani komersial untuk memperoleh keuntungan
maksimal. Namun hingga saat ini usahatani dengan corak tradisional masih jelas
terlihat. Kenyataan ini yang mengakibatkan lambannya adopsi teknologi budidaya
kedelai oleh petani.
Dalam kelompok tanaman pangan kedelai merupakan komoditas
terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Lebih dari 90 persen kedelai Indonesia
digunakan sebagai bahan pangan, terutama pangan olahan, yaitu sekitar 88 persen
untuk tahu dan tempe, 10 persen untuk pangan olahan lainnya dan sekitar 2 persen
untuk benih (Sudaryanto, Swastika 2007). Manfaat kedelai yang beragam
merupakan keunggulan yang dimiliki oleh kedelai. Beberapa pangan olahan yang
dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia diantaranya berupa tahu,
tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan sebagainya.
Meningkatnya konsumsi kedelai penduduk Indonesia seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri pangan olahan
yang berbahan baku kedelai tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri yang
mencukupi sehingga impor kedelai terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maka produksi dalam
negeri harus ditingkatkan. Peningkatan produksi kedelai tidak lepas dari
penerapan teknik budidaya kedelai yang benar. Pada dasarnya untuk
membudidayakan kedelai dibutuhkan teknik budidaya serta faktor lingkungan
10
yang mendukung. Komponen pada lingkungan seperti faktor iklim, kesuburan
fisik-kimia dan biologi tanah, gulma serta hama penyakit menjadi faktor penentu
keberhasilan usaha produksi kedelai. Berikut komponen lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan produksi kedelai:
1) Syarat Tumbuh
2) Benih
3) Penyiapan Lahan dan Penanaman
4) Pemeliharaan
5) Pemupukan
6) Pengairan
7) Penyiangan/Pemberantasan Gulma dan Penyakit
8) Panen
2.2. Sistem Agribisnis Kedelai
Penelitian yang membahas mengenai sistem agribisnis kedelai sudah
pernah dilakukan sebelumnya sebagai topik penelitian di Institut Pertanian Bogor
oleh Permata (2002) dalam penelitiannya mengenai Analisis Sistem Agribisnis
Kedelai yang dilakukan pada Desa Hegarmanah Kecamatan Sukaluyu Kabupaten
Cianjur Propinsi Jawa Barat. Menurut Permata (2002) belum ada keterkaitan yang
harmonis antar masing-masing subsistem agribisnis yang ada. Pada pengadaan
sarana produksi yang meliputi benih, pupuk, obat-obatan dan alat-alat pertanian di
lokasi penelitian telah tersedia dengan baik.
Menurut Permata (2002), hasil analisis usahatani kedelai yang dilakukan
pada lokasi penelitian menujukkan bahwa usahatani yang dilakukan petani
penyewa memiliki ratio R/C atas biaya tunai sebesar 1,08 dan ratio R/C atas biaya
total sebesar 0,86. Untuk petani pemilik penggarap hasil analisis menunjukkan
bahwa hasil ratio R/C atas biaya tunai sebesar 2,32 dan ratio R/C atas biaya total
sebesar 0,86.
Saluran pemasaran pada penelitian ini memiliki tujuh pola pemasaran.
Pola pemasaran yang dominan yaitu pola pemasaran kedelai dari petani ke
pedagang pengumpul kemudian diteruskan ke pedagang grosir. Sedangkan pada
analisis nilai tambah menunjukkan bahwa pengolahan kedelai pada ketiga pabrik
pengolah mampu memberikan nilai tambah yang tinggi dengan ratio nilai tambah
11
sebesar 63,46 persen. Sedangkan pada hasil analisis keefektifan koperasi
menunjukkan bahwa KUD Margamukti kurang mampu memberikan pelayanan
efektif dalam mendukung sistem agribisnis kedelai.
2.3. Dayasaing Kedelai Lokal di Indonesia
Penelitian yang membahas mengenai analisis dayasaing komoditi kedelai
lokal di Indonesia sudah pernah dilakukan sebelumnya sebagai topik penelitian di
Institut Pertanian Bogor oleh Handayani (2007) dalam penelitiannya mengenai
Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. Menurut
Handayani, dayasaing kedelai lokal dipengaruhi oleh fungsi luas panen,
produktivitas, harga riil kedelai lokal, harga tingkat produsen, volume impor dan
harga riil impor.
Menurut handayani (2007), luas panen kedelai dipengaruhi secara nyata
oleh harga riil kedelai lokal, harga riil jagung sebagai kompetitor utama dan luas
panen tahun sebelumnya. Sedangkan produktivitas kedelai itu sendiri dipengaruhi
oleh curah hujan, harga riil jagung dan produktivitas tahun sebelumnya. Dilihat
dari harga, harga riil kedelai lokal dipengaruhi oleh harga riil kedelai tingkat
produsen, harga riil kedelai impor, volume impor kedelai, produktivitas dan harga
riil kedelai lokal sebelumnya. Sedangkan harga riil di tingkat produsen
dipengaruhi oleh produksi kedelai, volume impor kedelai, konsumsi kedelai,
dummy monopoli Bulog dan harga riil di tingkat produsen tahun sebelumnya.
Handayani (2007) menyimpulkan bahwa volume impor kedelai
dipengaruhi produksi dan konsumsi kedelai. Harga riil kedelai impor dipengaruhi
oleh harga riil kedelai internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, tarif impor
kedelai dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Elastisitas harga terhadap
permintaan kedelai bernilai negatif, yang menunjukkan bahwa kenaikan harga
kedelai akan menurunkan jumlah kedelai yang diminta. Sebaliknya elastisitas
harga terhadap penawaran kedelai bernilai positif menunjukkan bahwa harga
kedelai akan merangsang petani untuk meningkatkan produksinya
Menurut Handayani (2007), kebijakan menaikkan harga kedelai tingkat
produsen (harga dasar) akan menguntungkan petani. Adanya kenaikan harga
dasar, membuat petani menerima harga lebih tinggi sehingga menggairahkan
petani untuk meningkatkan produksi sebagai akibat harga yang tinggi dan
12
menurunkan volume impor. Kebijakan kenaikan harga dasar akan efektif apabila
diikuti peraturan pendukung dan terobosan teknologi, sehingga terjadi
peningkatan produksi sekaligus peningkatan kualitas kedelai. Naiknya harga riil
kedelai tingkat produsen dari harga riil kedelai impor, menunjukkan bahwa harga
riil kedelai tingkat produsen mengalami penurunan. Hal ini yang menyebabkan
petani kurang berminat untuk menanam kedelai sehingga berakibat pada
penurunan luas panen dan produksi kedelai sehingga volume impor mengalami
peningkatan. Selain itu, naiknya harga riil kedelai di tingkat produsen dari harga
riil kedelai impor menunjukkan adanya peningkatan luas panen, produksi kedelai
dan harga riil kedelai lokal dan menyebabkan volume impor mengalami
penurunan. Membengkaknya harga kedelai lokal, membuat minat petani untuk
menanam kedelai meningkat, sehingga luas panen dan produksi kedelai semakin
meningkat yang berakibat volume impor akan semakin menurun.
Handayani (2007) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa kedelai
lokal dapat memiliki dayasaing dengan kedelai impor jika dilakukan
peningkatkan kualitas biji kedelai melalui pengembangan benih kedelai varietas
unggul bermutu dan berbiji besar, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan dan
kualitas biji dapat menyamai kedelai impor.
Penelitian mengenai dayasaing kedelai juga pernah dilakukan oleh
Gonzales (1993), yang dijelaskan dalam buku kumpulan penelitian
pengembangan kedelai yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Gonzales mengemukakan bahwa secara ekonomi usahatani kedelai di
Indonesia masih belum mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, baik
yang dilakukan secara tradisional maupun secara modern untuk ketiga rezim
pemasaran yaitu rumah tangga (IRT), subtitusi impor (IS), dan promosi ekspor
(EP). Kedelai tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk ketiga rezim
pemasaran. Sedangkan padi dan jagung untuk promosi ekspor tidak memiliki
keunggulan komparatif namun jika diproduksi untuk perdagangan antar wilayah
dan subtitusi impor jagung dan padi memiliki keunggulan komparatif.
Menurut Gonzales (1993), kebijakan pemerintah yang dapat melindungi
harga kedelai domestik, pemberlakuan tarif impor dan pembatasan jumlah impor
penting dijalankan. Selain itu pengembangan kedelai perlu diarahkan pada
13
peningkatan produksi, perbaikan kualitas dan dayaguna sebagai produk olahan
yang mampu bersaing dengan produk olahan dari bahan baku non kedelai. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan dayasaing kedelai lokal di Indonesia.
2.4. Strategi Pengembangan dan Arsitektur Strategik Komoditi di Indonesia Penelitian mengenai strategi pengembangan komoditas pernah dilakukan
oleh Puspita (2009). Pada penelitiannya Puspita (2009) menganalisis dayasaing
dan strategi pengembangan agribisnis gandum lokal di Indonesia. Dimana
masing-masing subsistem yang terdapat pada agribisnis gandum lokal belum
saling mendukung dan terkait satu sama lain.
Puspita (2009) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa agribisnis gandum
lokal di Indonesia dayasaingnya masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung pada
agribisnis gandum lokal di Indonesia. Pada penelitiannya Puspita (2009) telah
merumuskan beberapa strategi yang digunakan untuk mengembangkan dan
mengingkatkan dayasaing agribisnis gandum lokal. Puspita (2009) menjelaskan
bahwa beberapa strategi yang telah dibuat kemudian dipetakan kedalam
rancangan arsitektur strategik yang didalamnya terdapat program-program yang
dilakukan baik secara rutin maupun bertahap yang digunakan untuk mencapai
sasaran. Beberapa strategi yang dirumuskan diantaranya adalah:
1) Optimalisasi lahan gandum lokal
2) Membangun industri berbasis gandum lokal di pedesaan
3) Penguatan kelembagaan
4) Melakukan bimbingan, pembinaan dan pendampingan bagi petani
5) Membentuk kerjasama antara petani dengan industri makanan
6) Menciptakan sumber permodalan bagi petani
7) Mengatur ketersediaan benih
8) Menciptakan varietas gandum baru untuk dataran rendah dan medium
9) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis gandum lokal
10) Pembatasan volume impor
11) Menciptakan produk olahan gandum lokal berkualitas tinggi untuk
pasar tertentu
12) Meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gandum lokal
14
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedelai lokal di Indonesia belum memiliki baik keunggulan komparatif maupun
keunggulan kompetitif sehingga dayasaing kedelai lokal di Indonesia masih
lemah. Namun, terdapat beberapa varietas unggulan kedelai lokal yang mutunya
lebih baik dari kedelai impor yang dapat digunakan untuk meningkatkan
dayasaing kedelai lokal di Indonesia. Selain itu terdapat berbagai macam faktor
yang mempengaruhi dayasaing kedelai di Indonesia seperti fungsi luas panen,
produktivitas, harga riil kedelai lokal, harga tingkat produsen, volume impor dan
harga riil impor.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam
penelitian ini dilakukan analisis komponen-komponen penentu dayasaing suatu
komoditas serta keterkaitan antar komponen tersebut. Dengan menggunakan
Porter’s Diamond Theory. Selain itu, penelitian ini juga dilengkapi dengan
analisis pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan
analisis SWOT dan dipetakan dalam bentuk arsitektur strategi yang selanjutnya
analisis tersebut dapat digunakan sebagai informasi dalam membuat strategi
pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia untuk meningkatkan
dayasaing dalam upaya pencapaian swasembada kedelai di Indonesia.
15
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Pengertian Agribisnis
Sistem agribisnis adalah cara baru melihat sektor pertanian (Saragih
2010). Sistem agribisnis (termasuk agroindustri) dalam konteks strategi
industrialisasi yang mengandalkan industri atau kegiatan-kegiatan yang
memanfaatkan atau menciptakan nilai tambah baru bagi produk-produk pertanian
primer serta industri atau kegiatan lain yang memproduksi bahan-bahan dan alat-
alat untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Menurut Saragih (2010) sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari
pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem yakni: subsistem
agribisnis hulu (upstream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang
menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industri
pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain);
subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang pada masa lalu kita sebut
dengan sektor pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (downstream
agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer
menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak, siap untuk
disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar
domestik dan internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti
lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan
informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah,
asuransi agribisnis dan lain-lain. Berikut lingkup pembangunan dan sistem usaha
agribisnis dijelaskan pada Gambar 1.
16
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber: Saragih (2010)
3.1.2. Konsep Dayasaing
Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi
berbagai lingkungan kompetitif. Dayasaing dapat diartikan sebagai kemampuan
suatu produsen untuk memproduksi suatu produk dengan biaya yang cukup
rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan
produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak 1992).
Dayasaing (competitiveness) sangat penting bagi keberhasilan atau
kegagalan suatu industri. Konsep dayasaing pada tingkat nasional adalah
produktivitas. Menurut Porter (1990) dayasaing adalah produktivitas yang
didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Kemampuan
untuk menghasilkan suatu standar kehidupan yang tinggi dan meningkat bagi para
warga tergantung pada produktivitas dimana tenaga kerja dan modal suatu negara
digunakan. Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu unit
tenaga kerja atau modal. Produktivitas tergantung baik pada kualitas dan
penampilan produk (yang menentukan harga yang dapat mereka minta) maupun
Subsistem Agribisnis
Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Subsistem Pemasaran
Industri perbenihan/ Pembibitan tanaman Industri agrokimia Industri agrootomotif
Usaha tanaman pangan dan hortikultura Usaha perkebunan Usaha peternakan
Industri makanan Industri minumanIndustri pangan Industri barang serat alam Industri biofarma Industri agrowisata dan estetika
Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang
Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan
Transportasi dan Pergudangan
17
pada efisiensi dimana produk dihasilkan. Produktivitas adalah penentu utama dari
standar hidup negara yang berjangka panjang dan akar penyebab pendapatan per
kapita nasional. Produktivitas sumberdaya manusia menentukan upah karyawan,
produktivitas dimana modal digunakan dan return yang diperolehnya untuk para
pemegang sahamnya (Cho dan Moon 2003).
Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan dayasaing dapat
dilakukan dengan mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi
keunggulan kompetitif. Seperti halnya pembangunan agribisnis yang dilakukan
sebagai upaya untuk meningkatkan dayasaing, dimana suatu komoditi memiliki
dayasaing jika menghasilkan keuntungan yang maksimum.
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) sendiri merupakan alat
yang digunakan untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada
kondisi perekonomian aktual. Secara operasional, Simatupang (1995)
menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif adalah kemampuan memasok barang
dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar
domestik maupun pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih rendah
dibandingkan yang ditawarkan oleh pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak
sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Kondisi ini
menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan
komparatif (menghasilkan barang lebih murah dibandingkan dengan pesaing),
tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut
(karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Menurut Porter (1990), negara-negara cenderung berhasil dalam bersaing
pada industrinya disebabkan diamond nasionalnya yang saling mendukung.
Diamond tersebut mempuyai empat komponen yang saling terkait, yaitu: (1)
kondisi faktor, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur yang bersaing
dalam suatu industri, (2) kondisi permintaan pasar untuk barang dan jasa industri,
(3) industri terkait dan industri pendukung secara internasional bersifat kompetitif
serta (4) strategi perusahaan, struktur dan persaingan (Cho dan Moon 2003).
18
3.1.3. Formulasi Strategi
1) Analisis SWOT
Menurut Rangkuti (2005), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai
faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Setelah
diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, barulah dapat ditentukan
strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil
keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau
bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang
ada.
Kekuatan yang dimiliki perusahaan merupakan sisi positif perusahaan
yang dapat membimbing ke arah peluang yang lebih luas, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Sedangkan kelemahan yang dimiliki
perusahaan merupakan kekurangan yang dimiliki perusahaan dalam hal keahlian
dan sumberdaya perusahaan. Matriks SWOT membantu menyusun berbagai
alternatif strategi berdasarkan kombinasi antara faktor kekuatan, peluang dan
ancaman melalui pengembangan empat tipe strategi, yaitu SO (Srenght-
Opportunities), WO (Weaknesses-Threats), ST (Strenght-Threats) dan WT
(Weaknesses- Threats).
2) Arsitektur Strategik
Pada awal tahun 1990an Gary Hamel dan C.K. Prahalad memperkenalkan
pendekatan arsitektur strategik yang bersifat bentangan atau stretch. Pendekatan
arsitektur strategik muncul sebagai respon dari pendekatan klasik yang dirasa
kurang mampu untuk mengakomodasi perubahan lingkungan yang tergolong
cepat, karena ketika menyusun pendekatan klasik membutuhkan asumsi-asumsi
yang sangat ketat. Arsitektur strategik diciptakan untuk lebih adaptif dan lebih
fleksibel di dalam menanggapi suatu perubahan, sehingga dengan
diaplikasikannya arsitektur strategik ini, organisasi akan dengan leluasanya
mengembangkan skenario yang diperkirakan akan memuluskan jalan menuju
tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Strategi dengan skenario yang
dirumuskan kemudian dipetakan ke dalam secara petak biru atau yang lazim
19
disebut sebagai blue print strategi. Blue Print Strategy ini sepenuhnya disusun
guna mendukung tercapainya tujuan (visi) organisasi dalam waktu yang telah
ditentukan (Yoshida 2006).
Arsitektur strategik disusun dengan memperlihatkan unsur yang nantinya
unsur-unsur tersebut dipadukan untuk mendapatkan sebuah peta umum strategik
yang akan diimplementasikan untuk jangka waktu yang telah dirumuskan.
Beberapa unsur tersebut yaitu visi dan misi organisasi, analisis lingkungan
internal dan eksternal organisasi, mengetahui dan memahami tantangan organisasi
dan sasaran yang ingin dicapai. Analisis internal dan eksternal dalam analisis
strategik digunakan untuk memperoleh gambaran industri dimasa yang akan
datang sekaligus sebagai solusi dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis
yang semakin cepat.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Konsumsi kedelai di Indonesia semakin meningkat seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Kedelai sebagai tanaman
pangan berkontribusi sebagai bahan baku berbagai pangan olahan yang memiliki
nilai gizi yang tinggi namun juga berkontribusi pada industri pakan ternak. Hal
inilah yang membuat permintaan kedelai terus meningkat. Di lain pihak
kebutuhan kedelai yang begitu besar sedangkan produksi kedelai lokal yang
belum mampu untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri mengharuskan
pemerintah untuk melakukan impor kedelai. Padahal besarnya impor kedelai yang
dilakukan akan mengurangi devisa yang cukup besar. Sedangkan tingginya impor
kedelai murah yang mendominasi pasar kedelai di dalam negeri membuat kedelai
lokal semakin tersaingi. Karena itu dibutuhkan adanya kemandirian pangan atau
swasembada kedelai untuk mengurangi volume impor kedelai.
Penjelasan di atas menggambarkan suatu kondisi yang berkaitan dengan
agribisnis kedelai di Indonesia. Indonesia perlu untuk meningkatkan
dayasaingnya terhadap kedelai impor. Untuk meningkatkan dayasaing tersebut,
maka diperlukan peran serta dari seluruh pelaku agribisnis dan dukungan
kebijakan pemerintah.
20
Gambaran di atas menjadi dasar penelitian ini yaitu menganalisis kondisi
sistem agribisnis saat ini, kemudian melihat dayasaingnya serta merumuskan
strategi untuk pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan
menggunakan komponen Berlian Porter, kemudian dilanjutkan dengan
identifikasi SWOT terhadap komponen-komponen tersebut. Hasil identifikasi
tersebut kemudian dirumuskan ke dalam suatu strategi pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan matriks SWOT. Setelah
diperoleh strategi tersebut maka akan disusun ke dalam Rancangan Arsitektur
Strategik. Semua hal yang telah dijelaskan sebelumnya terangkum dalam
kerangka pemikiran operasional penelitian yang terdapat pada Gambar 2.
21
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Enam Komponen Berlian Porter: 1. Kondisi Faktor
Sumberdaya 2. Kondisi Permintaan 3. Industri Terkait dan
Industri Pendukung 4. Struktur, Persaingan
dan Strategi Perusahaan
5. Peran Pemerintah 6. Peran Kesempatan
• Kedelai sebagai bahan baku utama industri pengolahan tempe dan tahu
• Tingginya permintaan kedelai dalam negeri
● Peluang pasar kedelai di dalam negeri
Sistem Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Analisis SWOT
Analisis Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di
Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai Lokal di
Indonesia
Arsitektur Strategik
●Tingginya volume kedelai impor ●Dominansi kedelai impor di pasar
domestik ● Harga kedelai impor lebih murah
22
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini membahas tentang kondisi sistem agribisnis kedelai lokal di
Indonesia, dayasaing kedelai lokal dengan menganalisis faktor internal dan faktor
eksternal agribisnis kedelai di Indonesia, serta strategi pengembangan yang dapat
dihasilkan untuk meningkatkan dayasaing kedelai lokal. Lingkup penelitian ini
meliputi analisis dayasaing dan strategi pengembangan kedelai lokal dengan skala
nasional (makro). Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari hingga Mei
2011 mencakup ke dalam penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data dan
informasi, pengolahan data hingga disimpulkannya hasil penelitian.
4.2. Data dan Instrumentasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam dengan pihak-
pihak yang terkait dengan penelitian ini yaitu pemerintah pusat dan daerah,
KOPTI (Koperasi pengusaha Tahu Tempe Indonesia). Sedangkan data sekunder
diperoleh dari Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang
Pertanian), Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Pusat Data
dan Informasi Pertanian, literatur-literatur penelitian terdahulu, buku dan internet.
Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan berupa daftar
pertanyaan/panduan wawancara yang telah disusun secara tertulis sesuai dengan
masalah, alat pencatat, review dokumen dan alat penyimpanan data elektronik.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti dengan teknik
pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan wawancara khusus (Elite
Interviewing) dengan kelompok elite tertentu yaitu Kasubid Pengembangan
Kedelai, Kepala Seksi Pengembangan Kedelai Lokal, Kepala KOPTI dan studi
literatur dari berbagai sumber dan buku serta internet.
23
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.
Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran kondisi
sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Selain itu analisis deskriptif kualitatif
juga dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter untuk menganalisis
dayasaing agribisnis kedelai lokal, sedangkan metode analisis SWOT digunakan
untuk mengetahui strategi pengembangan untuk meningkatkan dayasaing
agribisnis kedelai lokal di Indonesia, kemudian strategi tersebut dipetakan ke
dalam Arsitektur Strategik.
Pada penelitian ini terdapat pihak internal dan pihak eksternal. Pihak
internal terdapat pada lingkungan mikro, sedangkan pihak eksternal berada pada
lingkungan makro. Pada penelitian ini yang menjadi pihak internal meliputi
subsistem hulu, petani kedelai lokal sebagai pelaku kegiatan usahatani (on farm),
subsistem hilir, faktor fisik dan infrastruktur. Sedangkan pada lingkungan makro
terdapat pihak eksternal yaitu subsistem jasa dan penunjang, Keberhasilan
lingkungan mikro pada agribisnis kedelai lokal di Indonesia didukung oleh
kondisi lingkungan makro dan kekuatan eksternal global yang ada.
24
Keterangan : Faktor Internal : Lingkungan Mikro
Faktor Eksternal : Lingkungan Makro dan Lingkungan Global
Gambar 3. Sistem Agribisnis Kedelai Lokal
Kekuatan Ekonomi dan Sosial Politik Global/Internasional
Lingkungan Makro
Subsistem Penunjang : ‐ Kebijakan pemerintah ‐ Lembaga keuangan ‐ Lembaga penelitian ‐ Lembaga pendidikan ‐ Pemerintah ‐ Asosiasi perdagangan
Lingkungan Mikro
Subsistem On farm (petani kedelai lokal)
Subsistem Hilir Kedelai: • Pengolahan • Pemasaran
Subsistem Hulu Kedelai: Industri pupuk organik dan anorganik, benih, alat dan mesin pertanian, industri pestisida
Faktor Fisik dan Infrastuktur : ‐ Tanah, air,
udara, sinar matahari, hewan dan vegetasi, iklim
‐ Lingkungan buatan manusia
25
4.4.1. Analisis Berlian Porter
Dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia dapat diketahui dengan
menggunakan Teori Berlian Porter. Analisis dilakukan dengan menggunakan tiap
komponen dari Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen
tersebut meliputi:
a) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu
industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur.
b) Demand Condition (DS), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa
dalam suatu negara.
c) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.
d) Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam
suatu industri domestik.
Keempat komponen di atas merupakan komponen utama pada Teori
Berlian Porter. Selain itu terdapat dua faktor pendukung Teori Berlian Porter yaitu
faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat komponen dan dua faktor
pendukung tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Dari hasil analisis
komponen penentu dayasaing, kita dapat menentukan komponen yang menjadi
keunggulan dan kelemahan dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hasil
keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan
perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari suatu industri.
Empat komponen Porter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan
faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor
produksi digolongkan ke dalam lima kelompok:
a) Sumberdaya Fisik atau Alam
Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing
nasional mencakup biaya, aksestabilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi),
ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan serta
26
sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah
geografis, kondisi topografis dan lain-lain.
b) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional
terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan
keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah),
dan etika kerja (termasuk moral).
c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,
pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan
dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber
pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan
pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber
pengetahuan dan teknologi lainnya.
d) Sumber Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber
modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan
perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter,
fiskal serta peraturan moneter dan fiskal.
e) Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri
dari ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang
mempengaruhi persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos,
giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.
2) Kondisi Pemintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik
merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing
di pasar global. Mutu permintaan (persiapan yang ketat) di dalam negeri
memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya
27
sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor
kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:
a) Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi:
i) Struktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi
dayasaing nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih
mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang
lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit.
ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan
tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu
dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu
produk, product features dan pelayanan.
iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri
merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.
b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat
persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh pembeli bebas, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan
permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih
awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan
keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika
industri melakukannya dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman
modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan
peningkatan produktivitas.
c) Internasionalisasi Pemintaan Domestik
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong
dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar
negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering
mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing
produk negeri yang dikunjungi tersebut.
28
3) Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki
dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama
dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,
pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama,
sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.
Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan
bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir
tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.
4) Struktur, Persaingan, Strategi Perusahaan
Struktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur
industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan
perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur
industri yang bersaing. Struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat
berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan
dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun
internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan
dayasaing global industri yang bersangkutan.
a) Struktur Pasar
Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukan tipe pasar. Derajat
persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai
untuk menunjukan sejauhmana perusahaan-perusahaan individual mempunyai
kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk
yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai sifat-sifat organisasi
pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual
dan keadaan produk (nature of the product) adalah dimensi-dimensi yang
penting dari struktur pasar. Adapula dimensi lainnya yaitu mudah atau sulitnya
memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan
mempengaruhi permintaan melalui iklan dan lain-lain. Beberapa struktur pasar
yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar
29
oligopoli, pasar monopsoni dan pasar oligopsoni. Biasanya struktur pasar yang
dihadapi suatu industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh
kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan
dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri.
b) Persaingan
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi
perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.
Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan
sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain
dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji
pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan
persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang
belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah.
c) Strategi Perusahaan
Dalam menjalankan suatu usaha, baik usaha yang berskala besar maupun
perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer
dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke dalam
lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus
yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Dalam penyusunan
suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan
semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.
5) Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya
peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu
dayasaing global. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu
menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah merupakan
fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri
agar senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan dayasaingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap
berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam,
tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi
serta informasi.
30
Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui
penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum, dan
berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi
permintaan domestik, baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal
yang dikeluarkannya maupun secara langsung melalui perannya sebagai pembeli
produk dan jasa. Kebijakan penerapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak dan
lain-lainnya yang juga menunjukkan terdapat peran tidak langsung dari
pemerintah dalam meningkatkan dayasaing global. Pemerintah dapat
mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang memperlemah faktor
penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung
menciptakan dayasaing global namun memfasilitasi lingkungan industri yang
mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga perusahaan-
perusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan faktor-faktor
penentu tersebut secara efektif dan efisien.
6) Peran Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali
perusahaan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri
nasional. Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing
industri global nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan
yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi
mata uang), meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih
tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta
berbagai faktor kesempatan lainnya.
31
Keterangan : Garis ( ), menunjukan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ), menunjukan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama.
Gambar 4. The Complete System of National Competitif Advantage Sumber: Porter (1990)
Persaingan, Struktur, dan Strategi perusahaan 1. Persaingan Domestik 2. Struktur dan Strategi
perusahaan
Peranan Kesempatan
Kondisi Permintaan Domestik 1. Komposisi
permintaan domestik
2. Besar dan pola pertumbuhan permintaan domestik
3. Internasionalisasi permintaan domestik
Kondisi Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya
alam 2. Sumberdaya
manusia 3. Sumberdaya
IPTEK 4. Sumberdaya
modal 5. Sumberdaya
infrastruktur
Industri Terkait dan Pendukung 1. Industri terkait 2. Industri
pendukung
Peranan Pemerintah
32
4.4.2. Analisis SWOT
Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui faktor internal dan eksternal
kondisi agribisnis kedelai di Indonesia. Analisis SWOT dilakukan dengan
menggunakan matriks SWOT dan menghasilkan empat alternatif strategi yang
mampu menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal
yang dihadapi perusahaan serta kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.
Berikut ini merupakan matriks SWOT:
IFAS EFAS
Stengths (S) Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal
Weaknesses (W) Tentukan 5-10 faktor kelemahan internal
Opportunity (O) Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal
Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang
Threats (T) Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal
Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 5. Matriks SWOT Sumber David (2004)
Tahap analisis dilakukan setelah mengumpulkan semua informasi yang
berpengaruh terhadap kelangsungan agribisnis kedelai lokal melalui proses
identifikasi terhadap peluang, ancaman, kelemahan dan kekuatan. Identifikasi
kekuatan dalam analisis keunggulan kompetitif ditunjukan dengan keadaan suatu
atribut yang mendukung. Sedangkan kelemahan ditunjukan dengan keadaan
atribut yang kurang mendukung. Tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua
informasi tersebut dalam perumusan strategi dengan menggunakan model SWOT.
33
Menurut David (2004), terdapat delapan tahapan dalam membentuk
matriks SWOT yaitu:
1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan.
2. Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal organisasi atau perusahaan.
3. Tentukan faktor-faktor kekuatan internal kunci organisasi atau perusahaan.
4. Tentukan faktor-faktor kelemahan internal kunci organisasi atau
perusahaan.
5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan
strategi S-O.
6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk
mendapatkan strategi W-O.
7. Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk
mendapatkan strategi S-T.
8. Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk
mendapatkan strategi W-O.
4.4.3. Arsitektur Strategik
Arsitektur strategik adalah suatu gambar rancangan arsitektur strategi yang
bermanfaat bagi perusahaan untuk merumuskan strateginya ke dalam kanvas
rencana organisasi untuk meraih visi dan misinya. Guna menyusun sebuah
arsitektur strategik yang lengkap perlu diperhatikan komponen inti dan komponen
pendamping. Komponen inti adalah komponen penting yang menjadi syarat
cukup untuk menyusun arsitektur strategik. Sedangkan komponen pendamping
merupakan turunan lanjutan dari komponen inti yaitu berupa kompetensi inti
organisasi dan strategic intent (Yoshida 2006).
Penggunaan arsitektur strategik dalam penyusunan strategi mampu
memberikan kemudahan karena strategi disajikan dalam bentuk gambar sehingga
mudah untuk dipahami. Proses berfikir kreatif yang menggabungkan seni dengan
hasil strategi yang diperoleh dari tahapan pengambilan keputusan diwujudkan
dalam gambar arsitektur strategik yang telah dibuat. Teknik penggambaran suatu
arsitektur strategi tidak memiliki aturan baku yang menggambarkan suatu susunan
strategi.
34
V GAMBARAN UMUM KEDELAI DUNIA DAN NASIONAL
5.1. Kedelai Dunia
5.1.1. Produksi Kedelai Dunia
Volume produksi kedelai dunia selama empat tahun mulai dari tahun 2006
hingga tahun 2009 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2006 volume produksi
kedelai dunia mampu mencukupi permintaan kedelai dunia. Namun pada tahun
2007 dan 2008, dunia mengalami defisit kedelai sebesar 9 juta ton. Kondisi ini
berubah pada tahun 2009, dimana produksi kedelai dunia mengalami surplus
sebesar 16 juta ton, sehingga kebutuhan kedelai dunia dapat terpenuhi.
Tabel 3. Perkembangan Produksi dan Permintaan Kedelai Dunia (juta ton) Periode Tahun 2006 – 2009
Tahun Produksi (juta ton)
Konsumsi (Juta ton)
Defisit (Juta ton)
2006 237 225 12
2007 221 230 -9
2008 211 220 -9
2009 250 234 16
Sumber: USDA (2010) [diolah]
Berdasarkan data di atas konsumsi kedelai dunia selama empat tahun
terakhir terus mengalami kenaikan. Tingginya permintaan kedelai ini terjadi
karena berbagai manfaat yang dapat diambil dari kedelai, baik untuk memenuhi
kebutuhan pangan maupun kebutuhan non pangan. Bagi kebutuhan pangan
sendiri, protein nabati yang terkandung dalam kedelai cukup besar dan baik untuk
kesehatan. Di beberapa negara seperti Indonesia kedelai dikonsumsi ke dalam
berbagai jenis panganan dan banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati
yang relatif lebih murah bila dibandingkan dengan protein hewani yang ada pada
daging. Sedangkan pada sektor non pangan, kedelai banyak digunakan sebagai
sumber energi alternatif (biofuel). Beberapa keunggulan inilah yang membuat
permintaan kedelai dunia terus meningkat.
35
5.1.2. Negara Penghasil Kedelai Dunia
Berdasarkan data statistik Amerika merupakan negara penghasil kedelai
terbesar di dunia. Hal ini ditunjukan dengan rata-rata jumlah produksi kedelai
Amerika selama empat tahun terakhir sebesar 83 juta ton atau sebesar 35,75
persen dari total produksi dunia. Negara lain yang juga merupakan negara utama
penghasil kedelai terbesar di dunia diantaranya Brazil dengan rata-rata produksi
sebesar 26,58 persen, Argentina sebesar 19,54 persen, Cina sebesar 6,35 persen
dan India sebesar 3,8 persen atau dengan rata-rata jumlah produksi masing-
masing negara sebesar 61,7 juta ton, 45,4 juta ton, 14,7 ton, 8,8 juta ton.
Di pasar internasional, selain sebagai produsen utama kedelai dunia,
Amerika juga menguasai 43,11 persen ekspor dunia dan dipandang sebagai
negara besar yang menguasai perdagangan kedelai dunia. Untuk itu setiap
perubahan penawaran kedelai Amerika dapat menentukan harga kedelai
internasional. Berbagai kebijakan terkait perdagangan kedelai di Amerika akan
mempengaruhi kondisi perdagangan internasional kedelai.
Tabel 4. Jumlah Produksi Negara-Negara Penghasil Kedelai Terbesar di Dunia Periode Tahun 2006/2007 – 2009/2010 (000) Ton
Negara Poduksi Rata-rata
Jumlah Poduksi 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Amerika 87.001 72.859 80.749 91.417 83.006,50
Brazil 59.000 61.000 57.800 69.000 61.700,00
Argentina 48.800 46.200 32.000 54.500 45.375,00
Cina 15.074 13.400 15.540 14.980 14.748,50
India 7.690 9.470 9.100 9.000 8.815,00
Paraguay 5.856 6.900 4.000 7.200 5.989,00
Kanada 3.466 2.696 3.336 3.507 3.251,25
Lain-lain 9.346 7.875 9.427 10.618 9.316,50
Total 236.233 220.400 211.952 260.222 232.201,75
Sumber: USDA (2010)
36
5.1.3. Eksportir Kedelai di Dunia
Berdasarkan data ekspor kedelai dunia, terlihat bahwa terdapat lima
negara yang mendominasi ekspor kedelai dunia. Negara dengan volume ekspor
terbesar adalah Amerika diikuti oleh Brazil, Argentina, Paraguay dan Kanada.
Pada tahun 2009/2010 kelima negara tersebut telah berkontribusi sebesar 97,25
persen terhadap ekspor kedelai dunia. Selama empat tahun terakhir kontribusi
terbesar diberikan oleh Amerika sebesar 43,11 persen dari total ekspor kedelai
dunia yang diikuti oleh Brazil sebesar 33,66 persen, Argentina sebesar 13,18
persen, Paraguay sebesar 5,03 dan Kanada sebesar 2,41 persen.
Tabel 5. Ekportir Utama Kedelai Dunia Periode Tahun 2006/2007–2009/2010 (000) ton
Negara Volume
2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Amerika 30.386 31.538 34.817 40.852
Brazil 23.485 25.364 29.987 28.578
Argentina 9.560 13.839 5.590 13.088
Paraguay 3.907 4.585 2.234 5.350
Kanada 1.683 1.753 2.017 2.247
Lain-lain 1.840 1.696 2.197 2.548
Total 70.861 78.775 76.842 92.663
Sumber: USDA (2010)
5.1.4. Importir Kedelai
Negara pengimpor kedelai terbesar di dunia adalah Cina yaitu sebesar
50,75 persen dari total keseluruhan impor kedelai dunia, diikuti oleh Uni Eropa
di posisi kedua sebesar 17,97 persen dan Jepang sebesar 4,79 persen. Sedangkan
Indonesia sendiri merupakan negara importir kedelai ke delapan dengan volume
impor pada tahun 2006/2007 hingga 2009/2010 sebesar 1,76 persen dari total
impor dunia. Posisi Indonesia sebagai negara kecil dengan tingkat impor sebesar
1,76 persen dari total impor dunia menyebabkan perubahan permintaan impor dari
37
Indonesia, baik karena kebijakan maupun perubahan permintaan dalam negeri
tidak akan merubah harga kedelai dunia (Oktafiani 2010)2.
Tabel 6. Importir Kedelai Dunia Periode 2006/2007 – 2009/2010
Negara Volume
2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
China 28.726 37.816 41.098 50.338
Uni Eropa 15.291 15.123 13.213 12.301
Mexico 3.844 3.614 3.327 3.523
Jepang 4.094 4.014 3.396 3.401
Taiwan 2.436 2.148 2.216 2.469
Thailand 1.532 1.753 1.510 1.660
Mesir 1.328 1.061 1.575 1.638
Indonesia 1.309 1.147 1.393 1.620
Korea Selatan 1.231 1.232 1.167 1.197
Rusia 34 442 837 1.037
Lain-lain 9.238 9.761 7.644 7.531
Total 69.063 78.111 77.376 86.715
Sumber: USDA (2010)
5.1.5. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Negara Penghasil Kedelai
Perkembangan luas panen kedelai di dunia sejak tahun 1970 hingga 2007
cenderung meningkat dengan pola kecenderungan yang hampir serupa. Rata-rata
pertumbuhan luas panen pada periode ini adalah sekitar 3,32 persen setiap
tahunnya, sementara produksi tumbuh sekitar 4,89 persen setiap tahun. Menurut
data FAO tahun 2000 tercatat luas panen kedelai di dunia adalah sebesar 94,9 juta
hektar sementara produksinya adalah sekitar 216 juta ton (Pusat Data Informasi
Pertanian 2008).
2 Rina Oktafiani. 2006. Impor Kedelai: Dampaknya terhadap stabilitas harga dan permintaan
kedelai dalam negeri. http: //www. google. co. id/ url? sa=t &source= web&cd= 7&ved= 0CDgQFjAG& url= http%.
38
Berdasarkan luas panen, terdapat lima negara yang memiliki luas panen
kedelai terbesar di dunia. Jika dikomulatifkan kelima negara tersebut
menyumbang sebesar 89,9 persen terhadap luas panen dunia. Peringkat pertama
negara yang memiliki luas panen kedelai terbesar di dunia adalah Amerika
dengan kontribusi luas panen sebesar 32,53 persen, diikuti oleh Brazil dengan
kontribusi sebesar 23,10 persen, Argentina 15,7 persen, Cina 10,1 persen dan
India sebesar 8,46 persen. Jika ditinjau dari produksi kedelai dunia, kumulatif
produksi kelima negara tersebut sebesar 92,36 persen dan hampir 80 persen
produksi kedelai di dunia berasal dari tiga negara produsen kedelai yaitu Amerika
dengan kontribusi sebesar 37,51 persen, Brazil 25,10 persen dan Argentina 18,17
persen.
Bila dilihat dari keragaan produktivitas kedelai dunia terjadi fenomena
menarik, dimana negara-negara yang memiliki produktivitas tinggi justru tidak
dimiliki oleh negara-negara produsen utama kedelai dunia. Kelima negara yang
memiliki produktivitas tertinggi diantaranya Georgia, Turki, Mesir, Italia dan
Switzerland. Produktivitas kedelai dunia dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 6. Rata-rata Produktivitas Kedelai Dunia (Ton) Tahun 2003-2007 Sumber: Pusat Data Informasi Pertanian 2008
5.1.6. Tingkat Harga Kedelai Dunia
Harga kedelai dunia cenderung berfluktuasi, dimana ketersediaan kedelai
yang beredar di pasar internasional akan mempengaruhi harga kedelai dunia.
Berkurangnya ketersediaan kedelai dunia akan menyebabkan kenaikan harga
39
kedelai. Sedangkan pada saat produksi oleh sejumlah negara penghasil kedelai
mengalami peningkatan maka harga akan turun. Perkembangan harga kedelai
dunia dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Harga Kedelai Dunia Bulanan (Januari Tahun 2000–Januari 2010)
Sumber: World Bank dalam USDA (2010)
Menurut World Bank (November 2009), harga kedelai tahun 2009 rata-
rata setiap tonnya sebesar $ 437, turun 16 persen dari tahun 2008. Puncak harga
kedelai dunia terjadi pada tahun 2008. Kenaikan harga ini terjadi karena respon
terhadap permintaan yang kuat pada persaingan tanaman yang digunakan sebagai
bahan baku biofuel. Saat ini harga kedelai mengalami kenaikan. Kenaikan harga
kedelai dunia juga berimbas pada kenaikan harga kedelai di dalam negeri karena
sebagian besar kebutuhan kedelai dalam negeri berasal dari kedelai impor yang
harganya tergantung pada harga kedelai internasional. Berdasarkan data
Bloomberg dalam USDA (2010), harga kedelai di Chicago Board of Trade
(CBOT) untuk pengiriman Mei 2011 akhir pekan lalu ada di level US$ 13,71 per
bushel. Padahal, pada pertengahan Maret lalu harga kedelai ini sebesar US$ 12,7
per bushel. Menipisnya stok kedelai dunia menjadi salah satu pemicu kenaikan
harga kedelai ini. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) seperti dikutip
Bloomberg menyatakan, kemungkinan luas areal tanam kedelai di AS pada tahun
ini akan berkurang sekitar satu persen ketimbang tahun lalu. Penurunan lahan
40
kedelai ini disebabkan karena petani lebih banyak menanam jagung dan gandum
sehingga luas panen untuk kedua komoditas ini lebih besar3.
5.2. Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
5.2.1. Subsistem hulu
Subsistem hulu merupakan bagian dari sistem agribisnis kedelai lokal
yang meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan
pendistribusian sarana produksi seperti benih, pupuk dan alat-alat pertanian yang
dapat mendukung terlaksananya usahatani kedelai. Kuantitas dan kualitas hasil
panen kedelai sangat ditentukan oleh tersedianya input usahatani khususnya
penggunaaan benih unggul dan pupuk.
Benih yang digunakan oleh petani kedelai lokal berasal dari perbanyakan
yang dilakukan oleh balai benih. Benih yang diperbanyak oleh balai benih
merupakan benih unggul bermutu yang kemudian melewati tahap sertifikasi
hingga sampai ke tangan produsen. Petani kedelai lokal umumnya jarang yang
menggunakan benih unggul bermutu dalam pertanaman kedelai. Sebagian besar
petani kedelai lokal menggunakan benih hasil panen musiman sebelumnya atau
dari hasil panen sendiri atau membeli benih ke pedagang hasil bumi yang
mendapat kedelai dari hasil panen di wilayah lain dari musim panen sebelumnya
(sistem jabalsim). Pedagang benih tersebut biasanya melakukan pembersihan dan
sortasi benih agar kenampakan biji menjadi lebih baik. Hal tersebut dilakukan
untuk memperoleh tambahan keuntungan karena harga benih dapat lebih tinggi
daripada harga biji maupun calon benih tanpa dilakukan pembersihan dan sortasi.
Penggunaan benih kedelai dengan cara-cara tersebut diperkirakan mencapai 90
persen, yang berarti penggunaan benih kedelai bermutu dan bersertifikat tidak
lebih dari 10 persen. Padahal penggunaan benih bermutu sangat besar
pengaruhnya terhadap produksi kedelai yang dihasilkan.
3 Anonim. 2011. Stok Kedelai Dunia Menipis Harga Kedelai Melambung. http: //industri. kontan.
co.id /v2/read/ Industri/ 64458/ Stok-kedelai-dunia-menipis-harga-kedelai-melambung [diakses 2 maret 2011]
41
Berdasarkan penelitian Sejati et al (2009) di daerah Jawa Timur, Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan, penggunaan benih unggul bermutu di tingkat petani
kedelai dengan memakai benih berlabel masih sangat terbatas. Hal tersebut
tercermin pada petani Non SL-PTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu) yang umumnya menggunakan benih tanpa label baik dari hasil sendiri
maupun membeli dari kios penjual benih kedelai. Sedangkan pada kelompok SL-
PTT seluruhnya memakai benih berlabel dan kondisi tersebut terjadi karena
benihnya merupakan benih bantuan dari pemerintah. Pada umumnya yang
menjadi masalah dari perbenihan kedelai ini adalah stok yang terbatas atau tidak
tersediaannya benih yang diminta petani. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan
untuk perbanyakan benih yang diperbanyak oleh balai benih setempat.
Penggunaan pupuk bagi tanaman kedelai di berbagai wilayah bervariasi,
sesuai dengan spesifikasi lokasi. Pemerintah sendiri telah menggulirkan pupuk
bersubsidi bagi petani kedelai lokal. Beberapa masalah yang kerap kali dialami
petani kedelai adalah terbatasnya ketersediaan pupuk pabrik (anorganik) pada saat
dibutuhkan. Petani yang tergolong dalam kelompok tani membeli pupuk secara
kolektif bersama anggota lainnya dalam kelompok tani. Sebagian dari petani
melalui kelompok tani telah menyusun Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) yang mencantumkan dengan jelas kebutuhan pupuk kelompok dan
wilayahnya. Namun pada kenyataannya, pupuk yang tersedia di tingkat usahatani
tidak sesuai dengan yang petani usulkan dalam RDKK. Berbagai alasan
diutarakan distributor pupuk dan pengecer di lapangan kepada petani karena tidak
dapat menyediakan pupuk yang dibutuhkan petani. Kelangkaan pupuk ini
terutama terjadi di Kabupaten Garut (Jawa Barat) dan Kabupaten Pasuruan (Jawa
Timur) sedangkan dikabupaten Soppeng (Sulawesi Selatan), petani merasa cukup
tersedia pupuk pabrik yang mereka butuhkan (Sejati et al 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian Sejati et al (2009), semua
petani yang tergabung pada kelompok SLPTT menggunakan pupuk dalam
budidaya kedelai. Hal ini dikarenakan adanya program bantuan dari pemerintah
berupa bantuan pupuk. Sedangkan pada petani non SLPTT baru 60 persen yang
memakai pupuk kimia dan dari segi dosis pemakaian masih di bawah anjuran.
Bahkan untuk penggunaan pupuk organik hanya sebesar 20 persen. Padahal
42
dewasa ini anjuran penggunaan pupuk organik sedang digalakkan sebagai
komponen pupuk bio hayati. Menurut petani, masih rendahnya pemakaian pupuk
organik yang bersifat bio hayati dikarenakan selain harganya relatif mahal,
penggunaan pupuk organik juga masih dalam taraf uji coba. Pemberian pupuk
kimia seperti urea, SP-36 dan NPK dilakukan dengan cara disebarkan, karena
dianggap lebih efisien dalam pemakaian tenaga kerja.
Tersedianya alat mesin pertanian sangat mempengaruhi hasil produksi
kedelai, dimana alsintan digunakan sebagai teknologi yang mampu membantu
pengembangan budidaya kedelai lokal. Begitu juga dengan tersediannya
amelioran yang mampu membantu kesuburan tanaman kedelai. Tersedianya input
yang baik akan berpengaruh pada hasil produksi kedelai.
Pada subsistem agribisnis kedelai lokal pelaku subsistem hulu untuk
pengadaan benih diantaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, balai benih
provinsi maupun kabupaten, BPSBTPH (Balai Pengawasan Sertifikasi Benih
Tanaman pangan dan Hortikultura), swasta. Sedangkan pelaku untuk pengadaan
pupuk diantaranya, pemerintah pusat dan daerah, BUMN, swasta,
pedagang/pengecer pupuk dan alat mesin pertanian (alsintan).
5.2.2. Subsistem Usahatani Kedelai
Usahatani kedelai di Indonesia tidak diusahakan pada suatu wilayah
khusus yang diperuntukkan sebagai areal utama bagi pertanaman kedelai,
melainkan diusahakan sebagai tanaman tambahan dengan pola tanam tertentu
yang diusahakan dengan komoditas lain dalam penanamannya. Kedelai yang
merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering.
Sekitar 60 persen areal pertanaman kedelai terdapat di lahan sawah dan 40 persen
di lahan kering4. Pada lahan kering kedelai biasa digunakan sebagai tanaman
tambahan dimana padi sebagai tanaman utamanya. Begitu juga pada lahan kering
dimana jagung atau padi gogo ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari
kedelai. Hal ini sangatlah berbeda dengan usahatani kedelai di Amerika Serikat.
4 Simatupang, Marwoto, Swastika. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di
Indonesia. http: // www. pdfking. net / PENGEMBANGAN-KEDELAI-DAN-KEBIJAKAN-PENELITIAN-DI-INDONESIA1-- PDF.html [diakses 12 februari 2011]
43
Di Amerika Serikat sendiri kedelai diproduksi pada suatu wilayah yang tanah dan
iklimnya sangat sesuai atau sesuai untuk kedelai dan diperuntukkan untuk
pengembangan kedelai.
Pertanaman kedelai di Indonesia praktis seluruhnya merupakan milik
petani bukan milik swasta besar atau perkebunan. Karena sifatnya yang demikian,
maka pertanaman individu petani umumnya sempit dan sangat jarang yang
melebihi 1 ha. umumnya kurang dari 0,5 ha. Selain kepemilikan lahannya sempit,
usahatani kedelai di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu
pertanaman kedelai tidak dijumpai dalam bentuk hamparan luas tetapi berupa
spot-spot dengan luasan puluhan hektar saja. Kondisi ini kurang menguntungkan
bagi pengembangan kedelai karena pembinaan sulit dilakukan (Subandi, Harsono
dan Kuntyastuti 2007).
Tanaman kedelai pada lahan sawah menunjukkan tingkat produktivitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedelai yang ditanam pada lahan
kering, karena: (1) pada saat pertumbuhan tanaman kedelai, gangguan iklim
terutama kekeringan lebih besar pada lahan kering dibandingkan dengan lahan
sawah yang memperoleh air irigasi, (2) residu pemupukan tanaman padi di lahan
sawah akan membantu pertumbuhan tanaman kedelai menjadi lebih baik, (3) pada
lahan kering, terutama wilayah produksi di luar Jawa, sering dijumpai derajat
keasaman tanah dengan kandungan alumunium (Al) terlarut yang tinggi, dan (4)
tanaman kedelai pada lahan kering banyak mendapat gangguan gulma. Potensi
pengembangan kedelai di luar Jawa sebagian besar terdiri dari lahan kering. Pada
lahan kering pengelolaan tanaman kedelai mengalami keterbatasan persediaan
unsur hara. Namun keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan pemberian bahan
organik dari pupuk kandang (Rahmawati M, 1999).
Penentuan pola tanam kedelai didasarkan atas tipe lahan, curah hujan dan
musim. Di lahan sawah irigasi pada MK I (Maret-Juni), kedelai diusahakan dalam
pola padi - palawija - sayuran atau padi - palawija - palawija sedangkan pada MK
II (Juli-September) diusahakan dalam pola padi - padi - palawija. Penanaman
kedelai di lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH (Nopember-Februari)
dalam pola palawija - padi dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi -
palawija. Di lahan kering pada MH I (Nopember-Februari), kedelai ditanam
44
dalam pola palawija - palawija dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo
- palawija atau sayuran - palawija1 (Marwoto dan Hilman 2005).
Pengembangan usahatani kedelai dapat dilakukan melalui usaha
ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Pengembangan
usahatani, baik di sawah maupun di lahan kering dapat ditempuh melalui
perluasan areal tanam, peningkatan produktivitas dan pengurangan kehilangan
hasil, sistem produksi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
5.2.3. Subsistem Hilir dan Pemasaran
Subsistem agribisnis hilir kedelai lokal meliputi kegiatan pasca panen,
kegiatan pengolahan hingga pemasaran. Berdasarkan data Ditjentan (2004),
kegiatan pascapanen kedelai dimulai setelah kedelai dipanen. Beberapa kegiatan
pasca panen yang dilakukan diantaranya pengeringan kedelai dan perontokan
kedelai. Sebagian besar petani melakukan pengeringan kedelai dengan cara
sederhana di pekarangan rumah. Petani yang melakukan pengeringan kedelai
dengan menggunakan alat pengering kedelai (drier) masih sangat terbatas. Begitu
juga dengan perontokan kedelai, sebagian besar petani melakukan perontokan
kedelai secara tradisional dengan menggunakan batang pemukul yang terbuat dari
kayu dan pelepah kelapa. Namun di beberapa daerah telah menggunakan Soybean
Tresher (mesin perontok kedelai).
Selain kegiatan pasca panen subsistem agribisnis hilir kedelai juga
mencakup kegiatan pengolahan kedelai. Kedelai dapat diolah menjadi berbagai
macam produk pangan, pakan ternak dan produk-produk untuk keperluan industri.
Pengolahan produk turunan kedelai dilakukan melalui pengolahan modern
maupun sederhana. Kedelai yang diolah secara modern dilakukan dengan
menggunakan mesin pengolah kedelai sedangkan pengolahan kedelai secara
tradisional dilakukan secara manual tanpa menggunakan mesin.
Pengolahan kedelai terbagi menjadi dua jenis yaitu pengolahan melalui
fermentasi maupun non fermentasi. Beberapa hasil olahan kedelai melalui
fermentasi diantaranya tempe, kecap, oncom, tauco sedangkan hasil olahan
kedelai non fermentasi diantaranya tahu, kembang tahu, tepung kedelai, susu
kedelai. Produk fermentasi hasil industri tradisional yang populer adalah tempe,
45
kecap dan tauco, sedangkan tahu dan kembang tahu adalah produk non fermentasi
hasil industri tradisional.
Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai produk olahan kedelai
berupa tempe dan tahu. Sebanyak 57 persen kedelai dikonsumsi dalam bentuk
tempe, 38 persen dalam bentuk tahu dan sisanya dalam bentuk olahan lain. Pada
pengolahan kedelai sebagian besar kedelai berasal dari kedelai impor. Untuk
industri pengolahan kedelai sendiri sebagian besar berskala kecil dan rumah
tangga. Berikut dapat dilihat klasifikasi produk olahan kedelai pada Gambar 8.
Gambar 8. Klasifikasi Produk Olahan Kedelai
Sumber: Widowati (2007)
Pemasaran hasil menjadi tolak ukur terhadap tingkat penerimaan dari
kegiatan usahatani yang dijalankan. Dalam hal ini, kedudukan atau posisi tawar
petani cenderung masih lemah. Lemahnya posisi tawar petani antara lain
disebabkan karena kurangnya atau terbatasnya akses petani terhadap informasi
harga bagi produk yang akan dipasarkan. Selain itu dengan sifat pasar yang
cenderung oligopsoni, semakin melemahkan petani untuk bernegosiasi. Adanya
keterpaksaan dari petani untuk segera menjual produknya karena didorong atas
kebutuhan rumah tangga atau desakan untuk membayar hutang dan membiayai
kegiatan usahatani selanjutnya membuat posisi tawar petani semakin lemah. Oleh
karena itu, terciptanya harga kedelai yang wajar dalam rangka meningkatkan
• Tahu • Kembang
tahu
• Susu kedelai • Tepung kedelai • Daging tiruan • Minyak kedelai
• Tempe • Kecap • Tauco
• Soygurt • Keju kedelai
Kedelai
Non Fermentasi Fermentasi
Tradisional Tradisional Modern Modern
46
pendapatan petani kedelai sekaligus peningkatan kesejahteraan rumah tangga
petani perlu mendapat perhatian dari pemerintah (Sejati et al 2009).
Adapun secara umum rantai pemasaran kedelai adalah seperti disajikan
pada Gambar 9.
Gambar 9. Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia Sumber: Sudaryanto dan Swastika (2007)
Kedelai di Indonesia mulai dari daerah sentra produksi hingga ke industri
pengolahan dipasarkan melalui pedagang pengumpul di tingkat desa, kecamatan,
kabupaten dan provinsi hingga bermuara ke konsumen akhir. Kedelai yang
beredar dipasaran ada yang berasal dari petani, adapula yang berasal dari kedelai
impor. Namun sebagian besar perdagangan kedelai di dalam negeri didominasi
oleh kedelai yang berasal dari impor. Kedelai lokal yang diproduksi oleh petani
dijual kepada pedagang pengumpul baik ditingkat desa, kecamatan maupun
ditingkat kabupaten. Kedelai yang telah berada di tingkat pedagang pengumpul
kemudian dijual ke pedagang grosir. Kedelai yang telah berada pada tingkat
grosir kemudian dijual baik ke pedagang pengecer maupun ke KOPTI dan
selanjutnya dijual kembali ke industri pengolah kedelai dan konsumen akhir.
Kedelai yang berasal dari impor umumnya dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan
tempe (KOPTI), selanjutnya dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe hingga
sampai ke konsumen.
Pedagang Pengumpul Desa
Pengolah
KOPTI
Importir
Grosir Pengecer
Konsumen akhir
Petani
47
5.2.4. Subsistem Penunjang
Subsistem penunjang merupakan subsistem yang mendukung
pelaksanaan kegiatan dari keempat subsistem agribisnis kedelai lokal yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Beberapa lembaga yang menunjang agribisnis
kedelai lokal diantaranya:
1) Pemerintah
Pemerintah merupakan salah satu pihak yang ikut serta dalam menunjang
pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Beberapa peran serta
pemerintah bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia diwujudkan dalam berbagai
kegiatan, salah satunya adalah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SL-PTT). Pada tanggal 7-10 Juni 2009 diselenggarakan Jambore SL-PTT di
Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Hal ini merupakan bukti komitmen
pemerintah untuk melanjutkan upaya peningkatan produksi menuju kemandirian
pangan. Tema dari Jambore Nasional ini adalah “Bersama Mewujudkan
Swasembada Pangan dan Membangun Kemandirian Pangan Nasional”. SL-PTT
ini berfokus pada kedelai dan tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung.
Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan diantaranya pengusaha agribisnis,
praktisi pertanian, penentu kebijakan, petani, dan kelompok tani dari berbagai
daerah di Indonesia yang telah melaksanakan program PTT padi, jagung dan
kedelai.
2) Perguruan Tinggi
Lembaga perguruan tinggi dapat mengambil peran dalam memberikan
kontribusi dalam menghasilkan informasi dan inovasi teknologi bagi
pengembangan agribisnis kedelai. Sebagai contoh Universitas Hasanuddin yang
memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian di kawasan timur
Indonesia. Beberapa kegiatan yang dilakukan Universitas Hasanuddin antara lain,
alih teknologi melalui sekolah lapang yang berbasis teknologi benih/sumber,
kemitraan dengan industri benih dan produksi pupuk cair organik (rumah
kompos) (Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2009).
3) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan merupakan lembaga yang berperan
dalam penyediaan inovasi teknologi untuk membantu pengembangan agribisnis
48
kedelai lokal di Indonesia. Dalam hal ini beberapa kegiatan yang telah dilakukan
antara lain:
(a) Simposium Tanaman Pangan
Puslitbangtan menyelenggarakan Simposium V Tanaman Pangan pada
tanggal 28-29 Agustus 2007 di Bogor, dengan tema “Inovasi Teknologi
Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan”. Salah satu hal yang dibahas dalam
simposium ini adalah pengembangan tanaman pangan melalui inovasi
teknologi dalam rangka peningkatan produksi kedelai menuju swasembada
pada tahun 2014.
(b) Gelar Teknologi Kacang-kacangan dan umbi-umbian
Pada 10 November 2007 di Malang, diselenggarakan “Gelar Teknologi
Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian” oleh Puslitbangtan dan Balitkabi.
Acara ini dimulai dengan temu lapang dimana pengunjung dapat melihat
sendiri dari dekat hamparan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian yang
tumbuh dengan baik di kebun percobaan Kendalpayak yang menggambarkan
keunggulan teknologi. Teknologi yang digelar antara lain varietas unggul
kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar, teknologi
pengendalian hama dan penyakit kedelai yang ramah lingkungan. Selain itu
pengunjung diberi kesempatan untuk mencicipi produk pangan yang
dihasilkan dari kacang-kacangan dan umbi-umbian.
(4) Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN)
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengembangan varietas
unggul kedelai yang dilakukan oleh BATAN adalah dengan melakukan induksi
mutasi dengan iradiasi sinar gamma yang dapat dimanfaatkan oleh petani dan
pengguna lainnya. Dengan demikian petani dapat memperoleh pilihan varietas
lain dengan sifat-sifat unggul tertentu selain varietas hasil penelitian
Puslitbangtan.
5) Lembaga Perbankan
a) Realisasi penyaluran KUR pada tanggal 30 Juni 2009 pada bank pelaksana
(Mandiri, Syariah Mandiri, BNI, Bukopin, BRI, BTN) sebesar 14,8 trilyun.
Dari total kredit tersebut sektor pertanian termasuk kedelai memperoleh
49
sebesar 3,9 trilyun atau sebesar 26,6 persen dengan penerima kredit sebanyak
613.780 orang atau rata-rata sebesar Rp 6,45 juta per orang.
b) Data Kementrian Pertanian (2010), menunjukkan bahwa sampai bulan Juni
2009 sebanyak 7,8 trilyun dari plafon 8,1 trilyun KKP-E berhasil disalurkan
oleh Bank Umum maupun Bank Pembangunan Daerah. Hal ini merupakan
bentuk realisasi penyerapan kredit untuk pengembangan padi, jagung dan
kedelai5.
5.3. Impor Kedelai Indonesia
Menurut Swastika, Nuryanti, Sawit (2007), sampai dengan tahun 1974,
Indonesia pernah mengalami surplus kedelai. Namun sejak tahun 1975,
perdagangan kedelai Indonesia selalu dalam posisi defisit dimana volume impor
kedelai selalu jauh lebih besar dari volume kedelai yang diekspor Indonesia.
Masalah baru mulai muncul sejak krisis moneter tahun 1998, Indonesia
menandatangani LOI (Letter of Intent) IMF. Berdasarkan LOI (Letter of Intent)
IMF importir swasta bebas mendatangkan kedelai dari luar negeri. Hal ini
diperparah dengan adanya kebijakan yang diberikan pemerintah Amerika Serikat
yang memberikan fasilitas kredit tanpa bunga selama enam bulan kepada negara
yang mengimpor kedelai Amerika. Kredit yang diberikan Amerika kepada
Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai Amerika membuat kedelai dalam
negeri berangsur-angsur tidak kompetitif dan tataniaga kedelai semakin dikuasai
importir. Terlebih lagi dengan diberlakukannya tarif impor kedelai sebesar nol
persen, sehingga kedelai impor semakin deras masuk. Hal ini tentu saja semakin
menguntungkan kedelai impor yang saat ini mendominasi pasar kedelai di dalam
negeri. Tingginya impor kedelai ini dikarenakan ketidakmampuan produksi dalam
negeri dalam memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Semakin besar volume
impor kedelai yang dilakukan maka semakin besar pula devisa negara yang harus
dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai.
Menurut Afifa (2006), kebijakan impor kedelai yang digunakan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kedelai merupakan suatu hal yang sangat
5 Sayaka et al. 2010. Peningkatan 20 Persen Akses Petani Terhadap Berbagai Sumber
Pembiayaan Usahatani. http: //pse. litbang. deptan. go.id /ind/pdffiles/ MAKPROP_SYK. pdf [diakses 2 Maret 2011 ]
50
menentukan gairah petani dalam melakukan budidaya kedelai. Harga kedelai
impor yang lebih murah daripada harga kedelai lokal membuat gairah petani
dalam melakukan budidaya kedelai menurun. Lebih rendahnya harga kedelai
impor disebabkan oleh kemampuan petani luar negeri (Amerika, Brazil,
Argentina, Cina dan lain-lain) dalam memproduksi kedelai dengan biaya rendah
ditambah lagi dengan tersedianya areal dalam skala luas dan penerapan teknologi
atau mekanisasi yang modern dalam usahatani kedelai mereka. Sedangkan petani
kedelai lokal hanya melaksanakan usahatani pada lahan-lahan yang sempit (0,25
s/d 1 hektar). Hal itu menyebabkan harga kedelai impor lebih murah, sehingga
petani kedelai lokal semakin terdesak.
Gambar 10. Grafik Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Tahun 1998-
2009 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010) [diolah]
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang besar, maka
pemerintah melakukan impor kedelai. Sejak tahun 1998 hingga tahun 2009
volume impor kedelai mengalami fluktuasi. Namun volume impor kedelai mulai
mengalami peningkatan yang drastis, dimana pada tahun 1998 volume impor
kedelai sebesar 0,34 juta ton dan meningkat drastis pada tahun 1999 sebesar 1,27
juta ton. Hal ini dikarenakan berlakunya perdagangan bebas bagi komoditas
kedelai sehingga kedelai impor bebas masuk ke dalam pasar kedelai dalam negeri.
51
Indonesia merupakan negara pengimpor kedelai terbesar ke delapan di
dunia. Pada tahun 2006 volume impor kedelai sebesar 1,02 juta ton dan
meningkat pada tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton. Pada tahun 2008 impor kedelai
sebesar 1,16 juta ton dan pada tahun 2009 sebesar 1,05 juta ton. Selama periode
2007 hingga 2009 volume impor kedelai mengalami penurunan. Hal ini terjadi
karena ketersedian kedelai dunia yang menurun serta produksi kedelai lokal
selama periode tersebut mengalami kenaikan. Berdasarkan data Direktorat Jendral
Tanaman Pangan (2010), kenaikan produksi kedelai lokal pada periode tersebut
masing-masing sebesar 0,59 juta ton pada tahun 2007, 0,77 juta ton pada tahun
2008 dan pada tahun 2009 produksi kedelai lokal sebesar 0,97 juta ton. Jika
kondisi ini terus berlanjut diharapkan dalam jangka panjang Indonesia akan
mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasionalnya.
Tabel 7. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton).
Negara Asal 2000 2001 2002 2003 2004* Share (%) Unites States Argentina Malaysia Kanada Singapura Lainnya
539.368 92.066 31.322 46.333
4.631 563.967
399.472 0
93.429 10.503 14.207
618.808
1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546
4.558
1.122.900 10.276 17.983 18.393
549 22.616
549.759 92.805
5.255 353
38 3.770
66 5 4 2 1
22
Total 1.277.683 1.136.419 1.365.253 1.192.717 651.979 100 Keterangan: * = Data sampai bulan Juli 2004 Sumber: Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004 dalam Purnamasari
(2006) [diolah] Berdasarkan Tabel 7, terlihat negara utama yang mengekspor kedelai ke
Indonesia. Negara pemasok kedelai terbesar ke Indonesia adalah Amerika dengan
persentase sebesar 66 persen terhadap total volume impor Indonesia selama tahun
2000 hingga 2004. Diikuti oleh Argentina sebesar 5 persen dari total impor ke
Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2004.
52
VI DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
6.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond System
6.1.1. Kondisi faktor Sumberdaya Dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi
faktor sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan
alam dan teknologi, sumberdaya modal dan sumberdaya infrastuktur. Kelima
sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Sumberdaya Alam
a) Syarat, Kondisi dan Luas Lahan
Tanaman kedelai responsif terhadap faktor iklim karena berasal dari
daerah subtropis. Namun tanaman kedelai dapat tumbuh subur di daerah tropis
apabila berbagai persyaratan teknis penanaman dapat terpenuhi. Sumberdaya
lahan yang digunakan untuk menanam kedelai memenuhi beberapa kondisi,
antara lain kedelai tumbuh baik pada tempat terbuka dengan ketinggian 50-500
m pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral, yaitu pada pH 5,5-
7,0 dan ph optimal 6,0-6,5. Tanah dengan tekstur agak berliat dan berdrainase
baik atau tanah lempung berpasir (sandy loam) yang kaya bahan organik, sangat
sesuai untuk tanaman kedelai. Kedelai merupakan tanaman yang memerlukan
penyinaran matahari secara penuh. Suhu yang sesuai dengan pertumbuhan
tanaman kedelai berkisar antara 22-27°C. Pada umumnya curah hujan yang
merata 100-150 milimeter per bulan pada dua bulan pertama sejak tanam
merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai (Sumarno,
Manshuri 2007).
Kriteria kesesuaian agroklimat untuk lahan kedelai cukup luas, karena
hampir pada seluruh lahan sawah di Indonesia dan sebagian besar lahan kering
dapat ditanami kedelai. Pengaturan tanam dan perhitungan umur tanaman yang
tepat sangat perlu untuk memperoleh hasil yang baik. Pada lahan kering yang
umumnya terdapat di Sumatera dan NTB dapat ditanami kedelai dengan
melakukan penyesuaian waktu tanam dengan curah hujan. Untuk lahan kering
bereaksi masam diperlukan tambahan perlakuan pengapuran (kalsit atau
dolomite). Sesuai dengan pola tanam yang ada disetiap daerah, kedelai ditanam
53
hampir pada semua tipologi tanah, baik pada sawah irigasi teknis, setengah
teknis, lahan kering, lahan tadah hujan dan lahan pasang pasang surut (Ditjentan
2004).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2010), luas lahan
kedelai di Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 722.931 ha. Dari tahun ke
tahun luas lahan kedelai cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1992 luas
lahan kedelai mencapai 1,67 juta ha dan pada tahun 1999 lahan kedelai turun
menjadi 1,16 juta ha. Penurunan lahan kedelai secara drastis terjadi pada tahun
2000 dengan luas lahan sebesar 824.484 ha. Hal ini terjadi karena dampak dari
banyaknya impor kedelai pada tahun tersebut akibat insentif yang diberikan
Amerika berupa kredit tak berbunga terhadap negara pengimpor kedelai Amerika
termasuk Indonesia. Hal ini membuat kedelai impor semakin deras masuk dan
gairah petani untuk menanam kedelai lokal berkurang. Lahan kedelai tersebar di
seluruh Indonesia, dimana luas tanam terbesar selama empat tahun terakhir
terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Aceh, Yogyakarta dan Jawa
Barat dengan luas masing-masing daerah sebesar 231.992 ha, 104.976 ha, 76.905
ha, 32.513 ha, 31.347 ha, 28.680. Sebaran lahan untuk komoditas kedelai di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 9.
Menurut Agus dalam Pusat Penelitian Tanaman Pangan (2007), daerah
yang berpotensi untuk ditanami kedelai terdapat di NAD, Sumatera Barat, Jambi,
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB. Hal ini didukung oleh penelitian
(Agus et al 2005) di dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
(2007) yang menyatakan bahwa lahan subur yang berpotensi tinggi dan sedang
untuk pengembangan kedelai terdapat di Pulau Jawa.
54
Tabel 8. Luas Tanam Kedelai Lokal 2007-2010 (Hektar)
Provinsi Luas Area (ha) 2007 2008 2009 2010
Aceh 14.748,06 32.750,00 45.094,39 37.460,24 Sumatera Utara 3.745,69 9.593,90 11.493,53 7.800,83 Sumatera Barat 882,90 7.385,28 1.882,04 1.112,86 Riau 2.264,98 4.317,68 4.905,56 5.282,88 Kepulauan Riau - 2,00 2,00 6,00 Jambi 3.406,47 4.786,69 7.236,13 4.243,03 Sumatera Selatan 1.989,61 5.351,65 9.165,22 751,45 Kepulauan Bangka Belitung - 8,00 1,00 53,01 Bengkulu 1.880,52 2.487,65 5.603,16 2.655,27 Lampung 3.007,97 5.659,32 13.517,15 6.197,12 DKI Jakarta - - - - Jawa Barat 12.429,08 23.804,05 41.787,10 36.701,51 Banten 2.040,50 4.974,56 12.193,40 8.359,86 Jawa Tengah 84.101,71 111.637,76 110.091,77 114.072,82 DI Yogyakarta 27.620,47 32.526,02 31.665,09 33.576,82 Jawa Timur 199.546,32 216.795,15 264.724,29 246.902,55 Bali 5.753,25 6.346,49 9.376,56 4.825,37 Nusa Tenggara Barat 56.920,97 76.145,72 87.932,11 86.625,12 Nusa Tenggara Timur 1.528,89 2.325,23 2.010,53 1.758,65 Kalimantan Barat 693,17 1.332,76 1.757,73 2.541,67
Kalimantan Tengah 719,27 1.653,33 1.888,59 2.161,18 Kalimantan Selatan 1.805,43 3.260,46 3.346,12 3.153,15 Kalimantan Timur 1.521,21 2.142,98 1.877,60 1.679,36 Sulawesi utara 2.661,63 5.225,92 5.649,96 6.834,09 Gorontalo 4.004,22 1.873,32 4.727,97 2.883,90 Sulawesi Tengah 2.299,29 2.362,39 3.618,39 2.782,13 Sulawesi Selatan 12.030,44 19.048,40 25.799,38 23.632,69 Sulawesi barat 792,95 1.498,18 2.075,71 2.082,79 Sulawesi Tenggara 3.716,96 4.098,92 6.716,51 2.660,30 Maluku 1.227,20 1.293,87 1.307,12 988,30 Maluku Utara 965,93 1.046,68 542,88 787,32 Papua 3.600,36 3.657,48 3.624,66 3.764,28 Papua Barat 1.281,54 1.624,65 1.150,48 570,88 Total Luas Tanam 459.186,99 597.016,49 722.764,13 654.907,43
Ket: (-) Tidak Tanam Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010) [diolah]
55
b) Aksestabilitas Terhadap Input
Aksestabilitas terhadap input merupakan kemudahan bagi para petani
kedelai untuk memperoleh input-input pertanian seperti benih, pupuk, obat-
obatan dan mesin-mesin pertanian yang digunakan untuk mendukung usahatani
kedelai. Untuk tercapainya produktivitas usahatani kedelai yang tinggi maka
ketersediaan input pertanian tersebut sangat diperlukan.
i) Benih
Benih kedelai diproduksi dan diedarkan oleh pemerintah (Badan Usaha
Milik Negara/BBI/BBU) dan swasta. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah
dalam menetapkan otonomi daerah, saat ini kewenangan pengelolaan balai benih
telah diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah (Direktorat Jendral
Tanaman Pangan 2005).
Benih awalnya diperoleh dari pemulia benih yang berada di bawah
koordinasi Balitbang. Setelah itu benih diperbanyak oleh balai benih yang berada
ditingkat provinsi maupun kabupaten. Benih yang telah diperbanyak oleh balai
benih disalurkan kepada para penangkar atau produsen benih. Setelah benih
berada pada penangkar atau produsen benih, benih disalurkan langsung kepada
petani atau melalui distributor kepada petani. Selain melalui balai benih, benih
juga diperbanyak oleh pihak swasta maupun BUMN. Beberapa BUMN yang
melakukan perbanyakan benih diantaranya PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani.
Beberapa perusahaan benih yang sudah cukup besar tidak hanya memperoleh
benih dari balai benih namun beberapa perusahaan mengeluarkan benih-benih
sendiri. Benih yang berasal dari balai benih maupun yang berasal dari swasta atau
BUMN, melalui tahap sertifikasi benih hingga benih sampai ke tangan produsen.
Sertifikasi ini dilakukan oleh BPSBTPH (Balai Pengawasan Sertifikasi Benih
Tanaman pangan dan Hortikultura)6.
Hingga saat ini petani kedelai umumnya memperoleh benih dari hasil
panen sendiri atau membeli hasil panen musim sebelumnya. Benih juga
didapatkan dengan membeli benih ke pedagang hasil bumi yang mendapatkan
kedelai dari musim panen sebelumnya baik antar kecamatan, kabupaten, maupun
6 Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Seksi Aneka Kacang dan Umbi Direktorat
Perbenihan Ir. Dhani Permadi, MM [28 Maret 2011]
56
provinsi, bahkan ada yang lintas pulau misalnya dari Pulau Jawa ke luar Pulau
Jawa. Untuk lebih menjamin penyediaan benih bermutu, penyediaan benih
dilakukan melalui sistem jalur benih antar lapang dan musim atau Jabalsim
(Harnowo, Hidajat, Suyamto 2007)
Penggunaan benih bermutu varietas unggul sangat terbatas, karena
persepsi petani terhadap manfaat penggunaan benih bermutu cukup bervariasi.
Sebagian petani sudah memahami manfaat penggunaan benih bermutu sehingga
mereka selalu menggunakannya, tetapi sebagian besar petani belum memahami
manfaatnya sehingga masih banyak yang menggunakan benih asalan. Benih
asalan yang digunakan petani berasal dari pertanaman sendiri, dibeli dari pasar
atau barter (tukar menukar dengan petani lain). Hal ini tidak menjamin mutu
kedelai tersebut (tidak melalui proses setifikasi benih). Pada beberapa daerah,
benih bermutu varietas unggul atau benih bersertifikasi sulit didapat petani,
sehingga petani menggunakan benih asalan (Ditjentan 2004).
ii) Pupuk
Pupuk merupakan sarana produksi yang relatif penting dalam menentukan
hasil produksi. Penggunaan pupuk di daerah-daerah bervariasi sesuai dengan
spesifikasi lokasi. Kemampuan permodalan petani sangat menentukan petani
dalam melaksanakan anjuran dosis pemupukan yang ideal. Sebagian besar petani
belum melakukan Teknologi Hemat Biaya PMMG (Pupuk Mikroba Multi Gure)
yaitu pemberian pupuk Bio Hayati (Rhizoplus, Bio P 2000, feather tea) karena
keterbatasan modal dan informasi. Namun pada beberapa daerah telah
melaksanakan Teknologi Hemat Biaya PMMG ini, karena medapatkan program
bantuan pemerintah (Ditjentan 2004).
Untuk memacu peningkatan produktivitas tanaman kedelai dalam
mewujudkan ketahanan pangan maka pemerintah telah menetapkan kebijakan
pupuk bersubsidi bagi petani kedelai lokal. Pupuk bersubsidi merupakan pupuk
yang diberikan pemerintah kepada petani dengan tujuan untuk membantu petani
dalam mengembangkan usahataninya. Seperti yang dilakukan oleh Dinas
Pertanian Sumatera Utara yang meminta produsen pupuk yang dipercayai
57
pemerintah untuk menyalurkan pupuk bersubsidi yakni PT Petrokima Gresik dan
PT Pusri benar-benar menyalurkan pupuk sesuai ketentuan7.
Umumnya petani yang terkumpul dalam kelompok tani membeli pupuk
secara kolektif bersama dengan kelompok tani tersebut. Namun petani yang tidak
tergabung dalam kelompok tani membeli pupuk secara individu ke toko pengecer
pupuk. Namun meskipun begitu aksestabilitas petani untuk memperoleh pupuk
pada beberapa daerah sering mengalami masalah. Beberapa masalah yang kerap
kali dialami petani kedelai adalah terbatasnya ketersediaan pupuk pabrik
(anorganik) pada saat dibutuhkan. Meskipun sebelumnya terdapat petani yang
telah mengajukan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara
kolektif bersama kelompok tani namun pupuk yang diajukan sering tidak tersedia.
Sebagai contoh kelangkaan pupuk yang terjadi di daerah Garut, Jawa Barat dan
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur sedangkan di kabupaten Soppeng, Sulawesi
Selatan, petani merasa cukup tersedia pupuk pabrik yang mereka butuhkan.
Selain itu hingga saat ini banyak petani kedelai yang beranggapan bahwa
penggunaan pupuk hanya akan menjadikan biaya produksi yang lebih besar pada
usahatani kedelai karena tidak sebanding dengan harga jual kedelai lokal yang
keuntungannya dinilai masih rendah. Untuk itu beberapa petani menanam kedelai
setelah padi agar mendapat sisa-sisa pupuk dari penanaman sebelumnya. Hal
inilah yang menyebabkan seringkali kedelai tidak diberi pupuk sebagaimana
mestinya karena pada dasarnya kedelai dapat tumbuh tanpa diberi pupuk.
Meskipun begitu penggunaan pupuk sangat penting bagi peningkatan
produktivitas kedelai8.
c) Biaya-biaya Terkait
Biaya-biaya yang diperlukan dalam usahatani kedelai lokal antara lain
biaya tenaga kerja yang terdiri dari biaya penyiapan lahan, biaya penanaman,
biaya pemupukan, biaya penyiangan, biaya penyemprotan, biaya panen, biaya,
pengeringan, biaya perontokan, dan biaya penyimpanan. Selain itu terdapat
biaya-biaya terkait sarana produksi diantaranya biaya benih terutama untuk
7 Serapan Pupuk Subsidi Masih Minim. 2011. http://www. medanbisnisdaily.com/ news/read/
2011 / 04/14/29145/ serapan_pupuk_subsidi_masih_minim/ [diakses 20 Maret 2011] 8 Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Kedelai sekaligus perwakilan Dewan
Kedelai Ir. Kasmin Nadaek, MM [28 Maret 2011]
58
tanaman awal, biaya pupuk seperti urea dan NPK, biaya pestisida. Biaya lain-lain
seperti sewa lahan menjadi tambahan biaya dalam usahatani kedelai.
Berdasarkan analisis, usahatani budidaya kedelai memberikan keuntungan
secara finansial dari tingkat pendapatan yang mencapai Rp. 4,8 juta per hektar
permusim tanam di wilayah Jawa dan 4,4 juta per hektar per musim tanam
diwilayah luar Jawa. Bila dilihat pada analisis usahatani kedelai diperoleh nilai
R/C ratio untuk wilayah Jawa sebesar 2,01 sedangkan untuk wilayah luar Jawa
sebesar 2,12 Lampiran 2. Hal ini menunjukan bahwa usahatani kedelai lokal
cukup layak untuk diusahakan.
d) Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan untuk tanaman kedelai diukur berdasarkan
kemampuan suatu lahan dalam menghasilkan kedelai tiap hektarnya. Berdasarkan
data Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010), diketahui bahwa produktivitas
lahan kedelai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007
produktivitas kedelai di Indonesia sebanyak 1,29 ton/ha. Selanjutnya pada tahun
2008 mengalami peningkatan produktivitas menjadi 1,3 ton/ha. Pada tahun 2009
menjadi 1,35 ton/ha dan pada tahun 2010 meningkat dengan angka sementara
sebesar 1,37 ton/ha. Produktivitas lahan kedelai pada setiap provinsi berbeda-
beda. Produktivitas terbesar selama beberapa tahun terakhir terjadi pada tahun
2007 pada provinsi Sulawesi Utara sebesar 1,72 ton/ha, sedangkan pada tahun
2010 sendiri produktivitas terbesar dicapai Provinsi Sumatra Barat dan Jawa
Tengah sebesar 1,65 ton/ha.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Pertanian
(2008), produktivitas kedelai Indonesia masih di bawah negara-negara Asia
lainnya seperti Cina, Jepang, Thailand dan Vietnam. Kedelai yang banyak
digunakan di Indonesia adalah kedelai putih yang bukan merupakan tanaman asli
daerah tropis. Hal ini mengakibatkan teknologi yang dikembangkan untuk
pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat
fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain kedelai hitam yang tidak bersifat fotosensitif
kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dalam segi adaptasi lebih
cocok bagi Indonesia. Kedelai hitam merupakan bahan baku utama kecap yang
dari sisi prospek pengembangannya juga cukup baik. Dengan teknik budidaya
59
yang baik dan teknologi yang mendukung maka kedelai lokal mampu berproduksi
dengan baik. Banyak wilayah Indonesia yang dapat dijadikan sebagai lahan untuk
penanaman kedelai lokal. Luas panen, produktivitas dan jumlah produksi dapat
dilihat pada Lampiran 3.
2) Sumberdaya Manusia
Keberadaan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi
agribisnis kedelai lokal sangatlah penting. Sumberdaya manusia yang memadai
dan berkualitas akan membantu menghasilkan kedelai lokal yang baik dan mampu
menghasilkan sistem agribisnis kedelai lokal yang berdayasaing. Pada sistem
agribisnis kedelai mulai dari hulu hingga ke hilir, sumberdaya manusia yang
terkait didalamnya antara lain peneliti, petani, pedagang, Petugas Pemandu
Lapang (PPL) dan jabatan lainnya.
Peneliti merupakan pihak yang melakukan kegiatan penelitian terkait
tanaman kedelai yang dapat menunjang pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia dan berada di bawah koordinasi lembaga penelitian. Sebagai contoh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian yang
memberikan kontribusi berupa inovasi teknologi yang mampu meningkatkan
produksi kedelai serta berbagai penelitian lainnya yang dapat mendukung
pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
Petani merupakan subjek utama yang mengendalikan dan mengelola
berbagai proses usahatani dan terlibat langsung dalam proses produksi tanaman
kedelai. Jumlah petani kedelai saat ini lebih dari 75 persen berumur 45 tahun
dengan pendidikan terbanyak sekolah dasar. Untuk itu, diperlukan pembinaan
kemampuan petani dan kelompoknya agar partisipasi petani dalam proses
produksi kedelai lebih meningkat dan bersifat mandiri. Selain itu juga diperlukan
pengembangan kualitas kelompok tani agar terjadi kekompakan antar anggota
dalam kelompok dan peningkatan kerja sama antar kelompok yang lebih baik.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adopsi teknologi produksi kedelai
oleh petani masih dihadapkan pada beberapa hambatan, antara lain persepsi petani
terhadap teknologi, kemampuan modal petani yang terbatas, skala usaha yang
sempit dan terpencar, risiko kegagalan panen yang besar dan kecilnya insentif
bagi petani. Petani kedelai lokal di Indonesia sebagian besar merupakan petani
60
kecil, dengan luas areal tanam kurang dari 1 ha. Beberapa diantaranya tergabung
dalam sebuah kelompok tani (Adisarwanto 2010). Menurut Ditjentan (2004)
Terdapat kelompok tani yang terdiri dari tingkat pemula, lanjut dan madya.
Kelompok tani yang pernah disurvei pernah berprestasi sebagai juara kelompok
tani dibidang agribisnis kedelai salah satunya adalah kelompok petani Karya
Bakti Dusun Jatirejo, Desa Glagahagung yang merupakan salah satu desa di
Banyuwangi yang menjuarai lomba intesifikasi kedelai tingkat Provinsi tahun
2008. Selain itu kelompok tani Karya bakti berhasil menjadi perwakilan Provinsi
Jawa Timur pada Lomba Intensifikasi Kedelai Tingkat Nasional tahun 2008.
Pedagang atau pengumpul merupakan pihak yang menyalurkan kedelai
hingga sampai ke perantara lain maupun ke konsumen akhir. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Ditjentan (2004), sebagian besar pedagang kedelai di
Indonesia lebih banyak menjual kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal.
Pedagang pada umumnya mendapatkan kedelai lokal langsung dari petani. Masih
terbatasnya petani yang menjual secara berkelompok membuat posisi tawar petani
rendah sehingga harga jual kedelai lokal ditentukan oleh pedagang atau
pengumpul.
Pemandu lapang adalah pihak yang memberikan informasi-informasi yang
berkaitan dengan kegiatan usahatani di daerah provinsi dan kabupaten
pengembangan kedelai lokal. Berdasarkan data Ditjentan (2004), pada umumnya
tingkat pendidikan penyuluh adalah SLTA dengan masa kerja bervariasi antara
15-23 tahun dimana frekuensi kunjungan kelompok tani bevariasi, berkisar antara
1-2 kali perbulan. Dalam kunjungannya sebagian penyuluh menggunakan
kendaraan operasional dalam melaksanakan tugasnya.
3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada agribisnis kedelai lokal,
mulai dari input, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, panen, pasca panen
merupakan hal penting untuk menunjang dayasaing agribisnis kedelai.
Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan ilmiah
dan inovasi teknologi dalam melakukan produksi yang dapat diperoleh melalui
lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, perguruan tinggi dan teknologi lainnya.
61
a) Lembaga Penelitian
Lembaga penelitian yang berperan sebagai sumber teknologi di bidang
agribisnis kedelai di Indonesia adalah Pusat Penelitian dan pengembangan
Tanaman pangan (Puslitbangtan) yang berlokasi di Bogor. Selain itu terdapat
lembaga Penelitian yang khusus meneliti tentang kacang-kacangan termasuk
kedelai yaitu Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian yang berlokasi di Malang. Puslitbangtan berperan dalam
menghasilkan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan
pendapatan petani dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.
Bersama-sama dengan Direktorat Jendal Tanaman Pangan dan Pemerintah
Daerah, Puslitbangtan di bawah koordinasi Badan Litbang Pertanian
mengembangkan berbagai inovasi teknologi seperti varietas unggul, budidaya,
pasca panen dan pengelolaan tanaman terpadu (PPT) terkait tanaman kedelai.
Penelitian dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca, kebun percobaan dan lahan
petani. Kegiatan di lahan petani diselenggarakan melalui kerja sama dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Dinas Pertanian setempat.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 pasal 175
ayat 1 menyatakan bahwa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(PSE-KP) sebagai unsur penunjang Departemen yang berada di bawah dan
betanggung jawab kepada Menteri Pertanian melalui Sekretaris Jendral. PSE-KP
merupakan lembaga yang berperan dalam menghasilkan informasi sosial ekonomi
dari pertanian termasuk kedelai.
b) Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTI)
Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) merupakan wadah
untuk menghimpun para pengusaha dan pengrajin tempe, tahu. KOPTI sendiri
tersebar di berbagai daerah bahkan di kota maupun kabupaten, sebagai contoh
KOPTI yang terdapat di kabupaten Bogor, KOPTI kota Bogor, KOPTI kota
Bandung dan KOPTI lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
KOPTI tersebut menghimpun pengusaha dan pengrajin tempe dan tahu pada
wilayahnya masing-masing dan memberikan kemudahan untuk distribusi kedelai
dan berbagai kebutuhan lainnya bagi anggota KOPTI.
62
c) Dewan Kedelai Indonesia
Dewan Kedelai bertugas sebagai lembaga yang memberikan saran dan
pertimbangan kepada presiden dalam merumuskan kebijakan ke arah
pengembangan sistem dan usaha agribisnis kedelai yang efektif dan efisien.
Dewan kedelai sendiri baru didirikan pada tahun 2009. Adanya Dewan Kedelai
ini diharapkan mampu mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia sehingga dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia semakin
meningkat.
d) Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan mampu menghasilkan informasi-informasi yang
berkaitan dengan agribisnis kedelai melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi memberikan kontribusinya melalui
informasi-informasi berupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna bagi
pengembangan agribisnis kedelai lokal. Seperti yang dilakukan oleh perguruan
tinggi Universitas Hasanuddin yang berkontribusi dalam pembangunan pertanian
kawasan Indonesia Timur. Kontribusi tersebut ditunjukkan diantaranya dengan
menghasilkan inovasi teknologi melalui beberapa kegiatan diantaranya alih
teknologi melalui Sekolah Lapang (SL) yang berbasis teknologi, teknologi
produksi benih/bibit sumber, kemitraan dengan industri benih dan produksi pupuk
cair organik (rumah kompos). Selain itu kontribusi lainnya dilakukan oleh
Fakultas Pertanian UGM yang bekerjasama dengan PT Unilever untuk
mengembangkan kedelai hitam lokal. Tim peneliti Fakultas Pertanian UGM
akhirnya menghasilkan varietas unggul dari seleksi tanaman asal Bantul,
Yogyakarta, yang dinamai Mallika9.
e) Sumberdaya IPTEK lainnya
Sumberdaya IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti
jurnal-jurnal penelitian, surat kabar atau majalah agribisnis, media elektronik
berupa internet, dan media penyedia informasi lainnya. Keragaman dan
kelengkapan sumberdaya IPTEK diharapkan dapat mendukung agribisnis kedelai
lokal dalam menerapkan teknologi-teknologi yang tepat guna. Penerapan
9 Faiz Faza. Produksi Kedele Masih Memble. 2007. http: //www.agrina online.com /show_article.
php?rid =7&aid=1113 [diakses 28 April 2011]
63
teknologi yang tepat guna dalam agribisnis kedelai diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dan pengembangan kedelai lokal di Indonesia.
Sumberdaya IPTEK yang ada saat ini menjadi satu faktor yang mendukung
dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
4) Sumberdaya Modal
Sumberdaya modal merupakan faktor penting dalam agribisnis kedelai
lokal yang digunakan petani untuk memulai atau mengembangkan usaha.
Permodalan bagi usahatani kedelai lokal berasal dari dua sumber yaitu modal
sendiri dan modal yang berasal dari pinjaman.
Peran pemerintah dalam permodalan sangat besar, untuk itu pemerintah
memberikan berbagai bantuan dalam perolehan modal seperti subsidi pupuk atau
BLP (Bantuan Langsung Pupuk), BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul),
KUR (Kredit Usaha Rakyat), KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi)10.
Hal ini tentunya dapat membantu para petani kedelai lokal yang memiliki
keterbatasan terhadap modal karena petani kedelai lokal umumnya merupakan
petani kecil. Meskipun pemerintah telah menyediakan KKP-E di bank dan
menganggarkan dana untuk subsidi bunga, hal ini tidak sepenuhnya berhasil. Pada
kenyataannya di lapangan para petani sulit mendapakan KKP-E. Melalui
Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), para petani mengajukan pinjaman ke bank
untuk mendapatkan KKP-E, namun pihak bank tetap meminta jaminan dari para
petani. Hal yang sama juga terjadi pada pencairan KUR yang bunganya sudah
diturunkan. Dalam hal ini pihak bank meminta petani untuk menyediakan jaminan
dan mendapatkan pendampingan serta bimbingan teknis dari Kementerian
Pertanian. Bagi petani yang tidak memiliki agunan tentu saja pinjaman melalui
KKP-E maupun KUR sulit untuk diperoleh. Hal inilah yang menyebabkan
sulitnya permodalan bagi para petani kedelai.
5) Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastruktur yang mendukung agribisnis kedelai lokal antara
lain transportasi/jalan, pasar, dan alat telekomunikasi. Pada usaha pertanian
kedelai, infrastruktur kedelai pada lahan sawah lebih baik bila dibandingkan pada
10 Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Kedelai sekaligus perwakilan Dewan
Kedelai Ir. Kasmin Nadaek, MM [ 21 Maret 2011]
64
infrastruktur pada lahan kering. Sumberdaya infrastruktur pada tiap daerah
pengembangan kedelai berbeda-beda. Sebagai contoh pada penanaman kedelai
lokal di daerah Grobogan, Jawa Tengah yang sebagian lahannya berupa lahan
sawah dan dilengkapi dengan saluran irigasi yang mendukung. Ketersediaan
infrastruktur ini tentunya akan mempermudah petani dalam melakukan kegiatan
agribisnis kedelai lokal. Sedangkan pada daerah Sumatra Utara, sebagian usaha
pertanian termasuk kedelai masih mengandalkan tadah hujan dan infrastruktur
berupa irigasi masih kurang11. Selain itu semenjak bencana tsunami di Sumatra
utara dan Aceh banyak infrastruktur di daerah Aceh dan Sumatera Utara yang
telah rusak seperti jalan, pasar, telekomunikasi. Hal tersebut tentunya akan
mempengaruhi pengembangan kedelai di Sumut dan Aceh.
6.1.2. Kondisi Permintaan
Dalam upaya peningkatan dayasaing agribisnis kedelai lokal Indonesia
kondisi permintaan merupakan faktor penting untuk diperhitungkan. Kondisi
permintaan akan dijelaskan melalui tiga faktor yaitu komposisi permintaan
domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan, serta internasionalisasi
permintaan domestik.
1) Komposisi Permintaan Domestik
Komposisi permintaan domestik untuk komoditas kedelai diberikan
dalam bentuk bahan pangan dan non pangan. Sebagian besar permintaan kedelai
digunakan untuk pemakaian bahan makanan sebesar 78,73 persen sedangkan
untuk pemakaian bahan non pangan seperti pakan sebesar 0,36 persen, bibit
sebesar 1,43 persen, dan pemakaian untuk diolah menjadi manufaktur sebesar
14,47 persen. Sedangkan terdapat 5,01 persen kedelai yang tercecer.
11 Anonim. 2009. Infrastruktur Pengembangan Kedelai yang Rusak di Sumatera Utara. http:
//www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=382&q=infrastruktur+pengembangan+kedelai+yang+rusak+di+daerah+sentra+kedelai+di+sumatra+utara [diakses 25 Maret 2011]
65
Gambar 11. Persentase Permintaan Kedelai Berdasarkan Penggunaannya Sumber: Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian 2009 [diolah]
2) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Berdasarkan data Ditjentan (2009) dalam Zakaria AK (2010), konsumsi
kedelai cenderung berfluktuasi tergantung ketersediaan dalam negeri. Pada tahun
1970 hingga tahun 1992 konsumsi kedelai mengalami peningkatan. Sejak tahun
1970 hingga tahun 2009 konsumsi kedelai cenderung meningkat. Dimana
konsumsi kedelai mengalami puncaknya pada tahun 1992 sebesar 2,56 juta ton.
Kebutuhan kedelai dalam negeri selalu mengalami defisit yang cenderung
meningkat yaitu dari 0,17 juta ton pada tahun 1976 menjadi 1,03 juta ton pada
tahun 2006. Puncak defisit terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 1,37 juta ton dan
tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton dan tahun 2008 sebesar 1,16 juta ton. Defisit
konsumsi ini menandakan bahwa produksi kedelai dalam negeri belum mampu
mencukupi banyaknya permintaan kedelai. Tingginya permintaan kedelai di
Indonesia disebabkan karena kedelai merupakan komoditi kebutuhan pokok
masyarakat Indonesia yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan
pakan ternak.
66
Gambar 12. Produksi dan Konsumsi Kedelai dari tahun 1970-2009 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2009) dalam Zakaria AK (2010)
3) Internasionalisasi Permintaan Domestik
Internasionalisasi permintaan domestik terjadi pada produk tempe yang
telah menjadi makanan sehari-hari bangsa Indonesia. Tempe yang mulanya hanya
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia kini dikonsumsi oleh negara-negara lain
seperti Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa. Tempe dikenal oleh
masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada tahun 1895, Prinsen
Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) melakukan usaha yang
pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe. Perusahaan-perusahaan tempe
yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari Indonesia. Pada
tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di
Jepang12.
Contoh lainnya yaitu warga negara Indonesia yang berasal dari Grobogan
yang pindah ke Jepang dan menjadi pengusaha tempe di Jepang. Ia
mempopulerkan tempe sebagai makanan asli Indonesia. Kini tempe banyak
dipromosikan melalui berbagai media di Jepang. Sebagai contoh buku yang
mengupas tentang tempe, diantaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh,
tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan
12 Ali Warto. 2009. Esuk Dele Sore Tempe. http: //djomomangunkaryo.wordpress.Com /2009/10/
04 / esuk-dele-sore-tempe/ [diakses 15 April 2011]
67
uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar
belakang budaya Indonesia, terutama Jawa. Ada juga buku terbitan Asosiasi
Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini
mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe.
Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan
berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe tempura tempe dan
burger tempe13. Untuk burger tempe sendiri Jepang telah memberikan hak paten
pada pengolahannya. Meskipun begitu tempe tetap dikenal di dunia sebagai
makanan asli Indonesia. Para imigran yang berasal dari Indonesia ini
memperkenalkan produk dalam negeri berupa tempe ke mancanegara sehingga
tempe semakin dikenal dunia dan dikonsumsi oleh masyarakat dunia.
6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki
dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas secara vertikal.
Sedangkan industri pendukung merupakan industri yang memberikan kontribusi
tidak langsung dalam sistem komoditas secara vertikal.
1. Industri Terkait
a) Industri Pemasok Bahan Baku
Kemampuan industri pemasok bahan baku dalam menyediakan input
produksi seperti benih, pupuk dan alat serta mesin pertanian sangat
mempengaruhi perkembangan agribisnis kedelai lokal. Industri sarana produksi
khususnya industri perbenihan mempunyai peran yang strategis dalam agribisnis
kedelai. Ketersediaan benih sangat menentukan kelangsungan kegiatan budidaya
kedelai lokal. Penyediaan benih kedelai saat ini diproduksi oleh produsen benih,
seperti Balai Benih Provinsi, Balai Benih Kabupaten, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP), perusahaan benih BUMN, swasta atau penangkar. Beberapa
perusahaan benih yang cukup besar yaitu PT Sang Hyang Seri, PT Pertani. Di
Indonesia industri perbenihan masih sulit berkembang, karena dibandingkan
13 Rustono. 2010. King of Tempe Jepang dari Grobogan http: //kradenangrobogan. wordpress.
Com/2010/ 07/20/rustono-king-of-tempe-jepang-dari-grobogan/ [diakses 15 April 2011]
68
dengan benih padi dan jagung, harga benih kedelai relatif murah namun proses
produksinya lebih sulit. Selain itu banyak petani yang belum menyadari
pentingnya sertifikasi benih dalam pengadaan benih kedelai lokal. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab sulit berkembangnya sistem penangkaran dan
industri benih kedelai. Hingga saat ini produksi benih kedelai yang digunakan
petani berlangsung melalui sistem Jalur Benih Antar Lapang dan Musim atau
lebih populer disebut Jabalsim. Produsen atau sumber benih adalah penangkar
berskala usaha kecil yang jumlahnya masih terbatas dan petani yang menanam
kedelai untuk tujuan konsumsi.
b) Industri Jasa Tataniaga
Industri jasa tataniaga merupakan lembaga-lembaga yang menjadi
perantara pemasaran. Pihak-pihak yang terlibat dalam industri pemasaran kedelai
lokal diantaranya petani, pengumpul, pedagang besar/grosir, KOPTI, pedagang
kecil/pengecer, konsumen. Pemasaran hasil kedelai oleh petani, pada umumnya
dijual secara langsung kepada pedagang. Petani yang menjual kedelai secara
berkelompok masih terbatas sehingga harga jual petani sangat ditentukan oleh
pedagang dan posisi tawar petani kedelai lokal masih lemah.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kedelai di Indonesia
mulai dari daerah sentra produksi kedelai lokal hingga ke industri pengolahan
dipasarkan melalui pedagang pengumpul di tingkat desa, kecamatan, kabupaten
dan provinsi hingga sampai ke konsumen akhir. Kedelai yang diproduksi oleh
petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul baik di tingkat desa,
kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Kedelai yang beredar dipasaran sebagian
besar kedelai berasal dari impor dan sisanya berasal dari kedelai lokal. Kedelai
yang telah berada di tingkat pedagang pengumpul kemudian dijual ke pedagang
grosir setelah itu dijual lagi baik ke pengecer maupun ke KOPTI dan selanjutnya
ke pengolah dan konsumen akhir. Sedangkan kedelai yang berasal dari impor
umumnya dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI), selanjutnya
dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe hingga sampai ke konsumen.
69
c) Industri Pengolahan
Pengolahan kedelai sangat penting dilakukan guna menciptakan nilai
tambah kedelai itu sendiri, meningkatkan permintaan dan meningkatkan daya
tahan kedelai. Berkembangnya industri pengolahan mampu menciptakan
diversifikasi konsumsi, membagi pendapatan dan meningkatkan devisa serta
mampu menyerap tenaga kerja.
Berbagai industri pengolahan kedelai yang paling banyak dilakukan adalah
industri pengolahan makanan berupa tempe dan tahu, selain itu terdapat juga
industri olahan lainnya seperti kosmetik dan obat-obatan. Karakter industri
pengolahan pangan dari kedelai di Indonesia yaitu sebagian besar berproduksi
dalam skala kecil atau rumah tangga dan semua proses pengolahannya diawali
dengan perendaman yang membutuhkan banyak air (Suryana et al 2005).
Menurut Sarwoto (2004), sekitar 57 persen kedelai di Indonesia
dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya dalam
bentuk kecap, tauco, kembang tahu, dan lain-lain. Hal ini membuktikan sebagian
besar kedelai dipergunakan untuk industri pengolahan kedelai yaitu pembuatan
tempe dan tahu.
Industri pengolahan kedelai di Indonesia menggunakan kedelai sebagai
bahan bakunya baik yang berasal dari impor maupun kedelai lokal. Kandungan
protein kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai impor, sehingga
jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari kedelai lokal
dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar,
seragam dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena
volume bijinya yang mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh
lebih banyak. Untuk industri kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai daripada
kedelai impor karena memiliki cita rasa khas dan kecap yang dihasilkan lebih
gurih (Handayani 2007).
Industri pengolahan kedelai tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
dan sebagian besar berproduksi dalam skala industri kecil dan rumah tangga.
Untuk itulah besarnya permintaan kedelai dalam bentuk olahan membuat industri
pengolahan kedelai semakin berkembang. Dalam industri pengolahan kedelai,
permasalahan yang kerap kali dihadapi diantaranya sulitnya ketersediaan bahan
70
baku lokal dalam segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Berikut ini dapat dilihat
banyaknya perusahaan serta penyebaran produk olahan kedelai di Indonesia pada
Lampiran 4.
2. Industri Pendukung
Industri pendukung dalam agribisnis kedelai diantaranya industri
perbankan sebagai lembaga yang mendukung permodalan petani kedelai. Dalam
hal ini bank memberikan dukungan permodalan dalam bentukan pinjaman kredit
usahatani kedelai. Selain itu terdapat industri lain yang mendukung agribisnis
kedelai lokal di Indonesia yaitu industri pengemasan. Industri pengemasan
mendukung kegiatan agribisnis kedelai melalui kemasan-kemasan yang
digunakan untuk mengemas olahan kedelai seperti susu kedelai, ataupun snack
yang berbahan dasar kedelai.
6.1.4. Struktur, Persaingan dan Strategi Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Dayasaing antar unit-unit perusahaan yang terdapat dalam suatu industri
didukung oleh faktor persaingan yang ada pada industri tersebut. Persaingan
dalam suatu industri memberikan pengaruh terhadap bentuk struktur industri
tersebut dan setiap perusahaan menentukan strategi yang dapat dilakukan untuk
dapat bersaing dalam industri tersebut.
1) Struktur
Struktur pasar kedelai di Indonesia pada masa orde baru adalah pasar
monopoli yang dikendalikan BULOG. Namun pasar kedelai di Indonesia yang
tadinya dikendalikan oleh BULOG kini berubah menjadi perdagangan bebas
terhitung semenjak kabinet reformasi memimpin.
Saat ini, struktur pasar yang dihadapi oleh kedelai impor adalah struktur
pasar oligopoli. Pasar oligopoli adalah suatu bentuk pasar dimana terdapat salah
satu atau beberapa penjual yang bertindak sebagai pemilik pangsa pasar terbesar.
Hal ini ditunjukan dengan adanya produsen-produsen kedelai impor (importir)
yang menguasai pasar kedelai dalam negeri. Dalam hal ini terdapat empat importir
besar yang menguasai pasar kedelai di Indonesia. Derasnya arus impor kedelai di
Indonesia serta struktur pasar oligopoli yang dikuasai oleh para importir kedelai
membuat produsen kedelai lokal semakin terhimpit dan sulit untuk memperoleh
71
pasar yang menguntungkan karena pasar kedelai dalam negeri dikuasai oleh para
importir kedelai. Hal ini semakin mempersulit posisi kedelai lokal untuk
meningkatkan dayasaingnya.
Sedangkan untuk kedelai lokal sendiri struktur pasar yang terjadi adalah
oligopsoni. Pasar oligopsoni adalah kondisi pasar dimana terdapat beberapa
pembeli, dimana masing-masing pembeli memiliki peranan cukup besar untuk
mempengaruhi harga. Dalam hal ini kedudukan atau posisi petani tawar petani
sebagai penjual cenderung masih lemah dan tidak punya kekuatan untuk
bernegosiasi dengan para pedagang/pengumpul.
2) Persaingan
Saat ini kedelai lokal menghadapi persaingan dengan kedelai impor.
Kedelai yang beredar dipasaran sebagian besar didominasi oleh kedelai impor.
Kualitas kedelai impor dinilai lebih baik dari kedelai lokal khususnya bagi
pengusaha tempe. Meskipun telah tersedia benih-benih unggul yang dapat
menghasilkan kedelai lokal dengan kualitas baik namun pada kenyataannya
banyak petani kedelai lokal yang belum menggunakan benih unggulan tersebut.
Berbagai faktor seperti mahalnya benih unggul bermutu dan ketersediaan benih
unggul bermutu yang sulit didapat membuat petani tidak menggunakan benih
unggul bermutu. Hal inilah yang membuat kedelai lokal yang banyak beredar
dipasaran lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan kedelai impor karena
para petani kedelai lokal banyak yang menggunakan benih asalan. Selain itu
harga kedelai impor cenderung lebih murah bila dibandingkan dengan kedelai
lokal sehingga konsumen banyak menggunakan kedelai impor. Diberlakukannya
tarif impor kedelai sebesar nol persen membuat impor kedelai semakin sulit
dibendung. Terlebih lagi dengan adanya kredit lunak tanpa bunga selama enam
bulan yang diberikan Amerika kepada negara yang bersedia mengimpor kedelai
mereka. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor kedelai Amerika
yang mendapat bantuan kredit. Hal ini membuat kedelai impor semakin banyak
masuk ke dalam pasar kedelai dalam negeri sehingga kedelai lokal harus
menghadapi persaingan dengan kedelai impor.
72
Selain bersaing dengan kedelai impor, persaingan lahan harus dihadapi
kedelai lokal dengan tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Jika pada
suatu kondisi menanam jagung dinilai lebih menguntungkan maka petani akan
beralih untuk menanam jagung. Lain halnya dengan padi yang penanamannya
dinilai lebih menjanjikan.
3) Strategi
Pengembangan kedelai lokal di Indonesia hingga saat ini terus
ditingkatkan. Tanaman kedelai lokal yang dihasilkan petani saat ini masih banyak
dijual dalam bentuk biji. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba
meningkatkan nilai tambah kedelai dengan mengolah kedelai lokal menjadi
berbagai berbagai produk turunannya seperti tempe, tahu, kecap, oncom, tepung
kedelai dan berbagai olahan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar keuntungan yang
diperoleh produsen semakin meningkat. Upaya peningkatan nilai tambah bagi
komoditas kedelai dilakukan oleh beberapa produsen seperti yang dilakukan oleh
produsen di Bojonegoro yang membuat tahu dengan bahan dasar kedelai lokal.
Contoh lain adalah produsen di Bogor, Bojonegoro dan Cirebon yang
menggunakan kedelai lokal untuk pembuatan kecap yang rasanya dinilai lebih
gurih jika menggunakan kedelai lokal.
Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pengembangan kedelai lokal di Indonesia adalah dengan melakukan promosi.
Pada pelaksanaannya promosi dan publikasi dilakukan melalui berbagai pihak
seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Seperti yang dilakukan oleh
Puslitbang dalam periode 2005-2009, dimana Puslitbang telah meluncurkan 75
publikasi hasil penelitian dalam bentuk jurnal ilmiah primer, buletin teknik,
prosiding seminar, buku, buku saku, berita (news), laporan tahunan penelitian,
lefleat, booklet dan CD. Publikasi tersebut didistribusikan ke berbagai institusi
antara lain Balai Pengkajan Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Pertanian,
Perguruan Tinggi dan Lembaga penyuluhan. Selain itu promosi dan publikasi juga
dilakukan dalam bentuk workshop, seminar, simposium dan pameran atau
ekspose.
73
6.1.5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya program-program serta
kebijakan-kebijakan baik secara langsung maupun secara tidak langsung berkaitan
dengan agribisnis kedelai di Indonesia yang dilakukan melalui Departemen
Pertanian, Dinas Pertanian provinsi dan kabupaten serta berbagai pihak lainnya.
Upaya pemerintah untuk mengembangkan kedelai lokal di Indonesia dilakukan
mulai dari hulu hingga ke hilir dengan mengintegrasikan berbagai pihak dan
instansi terkait agar agribisnis kedelai lokal dapat berkembang.
Upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan kedelai lokal
dilakukan dengan membuat kebijakan intensif pengembangan produksi kedelai
dengan mengacu pada Sasaran Strategis Departemen Pertanian 2010-2014, yaitu :
(1) Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan; (2) Ketahanan pangan
dan gizi (3) Peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor; (4) Peningkatan
pendapatan petani. Intensif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama
yaitu subsidi sarana produksi (seperti pupuk, benih, kredit, dan mekanisasi
pertanian) dan perlindungan harga hasil produksi berupa tarif dan jaminan harga
(Sejati et al 2009).
Peran pemerintah lainnya diimplementasikan dalam bentuk dijalankannya
program SLPTT (Sekolah Lapang Pegelolaan Tanaman Terpadu) yang dibuat
pemerintah untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia. SLPTT merupakan Sekolah Lapang bagi petani dalam menerapkan
teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut
spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk
menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Pada program ini
pemerintah menggulirkan berbagai bantuan untuk menunjang terlaksananya
program ini. Bantuan tersebut berupa bantuan kredit seperti KUR dan KKP-E,
BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) dan BLP (Bantuan Langsung Pupuk)
bagi peserta program SL-PTT.
74
6.1.6. Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali petani,
pemerintah dan pengusaha namun dapat meningkatkan dayasaing global industri
nasional. Sektor pertanian kini menghadapi tantangan baru dari persoalan krisis
energi global. Menjulangnya harga minyak global mendorong pencarian sumber
energi alternatif pengganti minyak bumi. Kenyataan bahwa minyak bumi sebagai
sumber energi yang berasal dari fosil dan banyak digunakan oleh manusia ini,
suatu saat akan habis. Hal ini membuat tren biofuel sebagai sumber energi
alternatif yang berasal dari tumbuhan, muncul ke permukaan.
Krisis energi (kenaikan BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang
yang tidak dapat diabaikan karena kenaikan BBM merupakan sumberdaya yang
tidak dapat diperbaharui. Manakala harga BBM naik diatas $ 100/barel, negara
maju seperti Amerika Serikat dan UE sebagai negara produsen penting komoditas
pangan dunia mengubah kebijakannya. Amerika Serikat mensubsidi besar-besaran
untuk tanaman (jagung) sebagai bahan baku etanol. Akibatnya terjadilah peralihan
areal dari tanaman gandum dan kedelai menjadi areal tanaman jagung. Pada tahun
2008 misalnya, diperkirakan 30 persen produksi jagung di Amerika Serikat telah
beralih ke etanol, sebelumnya digunakan untuk pangan dan pakan. Padahal
Amerika Serikat menyumbang sekitar 37,51 persen produksi kedelai dunia, dan
sekitar 26 persen produksi gandum dunia. Uni Eropa juga mengalihkan sejumlah
pangan, terutama kanola dan kedelai untuk bahan baku biodiesel dan gandum
untuk etanol (Sawit 2003).
Adanya tren penggunaan biofuel sebagai sumber energi alternatif ini
merupakan faktor kesempatan karena jika sebagian besar negara produsen kedelai
mengkonversi lahan kedelainya menjadi lahan untuk jagung sebagai bahan
pembuatan etanol atau menggunakan kedelai sebagai bahan untuk pembuatan
biodiesel, maka produksi kedelai sebagai kebutuhan pangan akan semakin sedikit,
hal ini tentunya akan mengurangi pasokan kedelai dunia sebagai kebutuhan
pangan. Berkurangnya pasokan kedelai dunia akan membuat harga kedelai dunia
meningkat. Meningkatnya harga kedelai impor akan meningkatkan harga kedelai
lokal di pasar dalam negeri. Hal ini akan meningkatkan gairah petani untuk
menanam kedelai lokal karena harga kedelai tinggi di pasaran.
75
6.2. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System
Setelah kita menganalisis sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia
dengan menggunakan Porter’s Diamond System maka akan terlihat keterkaitan
antara komponen utama dan komponen penunjang. Keterkaitan antar komponen
tersebut ada yang bersifat saling mendukung maupun tidak saling mendukung.
Keterkaitan antar komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Keterkaitan Antar Komponen Utama
No Komponen A Komponen B Keterkaitan
Antar Komponen
Keterangan
1. Persaingan, Struktur dan Strategi
Kondisi faktor Sumberdaya
Saling mendukung
• Hasil-hasil penelitian yang merupakan sumber daya IPTEK mendukung strategi promosi dan publikasi yang dilakukan untuk pengembangan kedelai lokal
• Strategi promosi seperti dibuatnya jurnal ilmiah, buletin buku, seminar, simposium yang banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
2. Kondisi faktor Sumberdaya
Industri terkait dan industri pendukung
Tidak saling mendukung
• Kondisi faktor sumberdaya yang belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri
• Banyak industri terkait dan industri pendukung menggunakan kedelai impor
3. Kondisi Permintaan
Industri terkait dan industri pendukung
Saling mendukung
• Tingginya permintaan kedelai dalam bentuk olahan membuat berkembangnya industri pengolahan kedelai di dalam negeri
• Adanya promosi yang dilakukan industri terkait dan industri pendukung untuk meningkatkan permintaan produk mereka
4. Industri terkait dan industri pendukung
Persaingan, struktur dan strategi
Tidak saling mendukung
• Industri terkait dan industri pendukung mengimpor bahan baku dari negara lain sehingga kedelai lokal tersaingi
• Struktur pasar oligopoli membuat industri terkait dan pendukung kesulitan karena harga kedelai impor ditentukan oleh importir
5. Kondisi permintaan
Persaingan, struktur dan strategi
Tidak saling mendukung
• Tingginya permintaan kedelai membuat kedelai impor semakin deras masuk sehingga kedelai lokal tersaingi oleh kedelai impor
• Strategi yang diterapkan belum mampu membuat konsumsi kedelai lokal meningkat, karena tingginya permintaan sebagian besar didominasi oleh kedelai impor
6. Kondisi faktor sumberdaya
Kondisi faktor permintaan
Tidak saling mendukung
• Kondisi faktor sumberdaya belum mampu memenuhi kebutuhan domestik
• Kondisi permintaan sebagian besar bergantung pada kedelai impor
76
Penjelasan dari Tabel 9 mengenai keterkaitan antar komponen utama pada
Porter’s Diamond System sebagai berikut:
1) Persaingan, struktur dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya
Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada komponen persaingan,
struktur, strategi dengan komponen faktor sumberdaya. Hal ini terlihat pada
strategi promosi yang banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan
agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Sedangkan untuk faktor sumberdaya sendiri
seperti sumberdaya IPTEK telah banyak menghasilkan berbagai hasil penelitian
yang mampu mendukung kegiatan promosi dan publikasi. Berbagai penelitian
tersebut dihasilkan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Promosi
yang ada dapat berupa jurnal ilmiah, buletin buku, seminar, simposium dan lain-
lain dan digunakan untuk membantu pengembangan kedelai lokal di Indonesia.
2) Kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung
Keterkaitan yang tidak saling mendukung terdapat pada komponen kondisi
faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini
dikarenakan karena sumberdaya yang ada belum mampu memasok bahan baku
industri yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri terkait dan industri
pendukung. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri tidak
mendukung faktor sumberdaya karena sebagian besar industri terkait dan industri
pendukung membeli pasokan bahan baku kedelai dari luar negeri.
3) Kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung
Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada kondisi permintaan
domestik dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini dikarenakan
tingginya permintaan kedelai dalam bentuk olahan seperti tahu dan tempe
membuat berkembangnya industri pengolahan kedelai di dalam negeri.
Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri mendukung
kondisi permintaan domestik. Hal ini terlihat dengan adanya promosi yang
dilakukan industri terkait dan industri pendukung untuk meningkatkan permintaan
produk mereka yang berbahan baku kedelai.
77
4) Industri terkait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur dan strategi
Keterkaitan yang saling tidak mendukung lainnya juga terjadi pada
komponen industri terkait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur
dan strategi. Hal ini terjadi karena industri terkait dan industri pendukung
mengimpor kedelai dari luar. Sehingga kedelai lokal tersaingi dengan adanya
kedelai impor. Selain itu struktur pasar kedelai impor yang oligopoli membuat
industri terkait dan industri pendukung mengalami kesulitan dalam
mempertahankan usahanya. Karena pasar kedelai didominasi oleh para importir
yang kerap kali mengendalikan harga kedelai impor. Terlihat jelas bahwa
keterkaitan antara komponen industri terkait dan industri pendukung dengan
komponen struktur pasar tidak saling mendukung.
5) Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur dan strategi
Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur dan strategi memiliki
keterkaitan yang tidak saling mendukung. Tingginya permintaan kedelai
membuat kedelai impor semakin deras masuk sehingga kedelai lokal tersaingi
oleh kedelai impor. Hal ini terjadi karena tingginya permintaan kedelai sebagian
besar ditujukan untuk pembuatan tempe dimana para pengusahanya sebagian
besar menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku. Hal ini membuat kedelai
lokal tersaingi oleh kedelai impor. Selain itu, strategi yang ada belum
mendukung kondisi permintaan domestik. Strategi yang ada belum mampu
membuat konsumsi kedelai lokal meningkat, karena tingginya permintaan
sebagian besar ditujukan untuk kedelai impor.
6) Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi faktor permintaan
Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi faktor permintaan memiliki
keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini terlihat pada kondisi faktor
sumberdaya yang belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Kondisi
permintaan kedelai dalam negeri yang tinggi tidak mendukung faktor
sumberdaya. Karena permintaan kedelai sebagian besar ditujukan untuk kedelai
impor. Kondisi permintaan sebagian besar bergantung pada kedelai impor.
78
6.3. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
Selain keterkaitan antar komponen utama seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Terdapat pula keterkaitan antara komponen penunjang dengan
komponen utama. Keterkaitan antara komponen penunjang dengan komponen
utama akan dijelaskan pada Tabel 10.
Tabel 10. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
No Komponen Penunjang
Komponen Utama
Keterkaitan Antar
Komponen Keterangan
1. Peranan pemerintah
• Kondisi faktor sumberdaya
• Industri terkait dan industri pendukung
• Kondisi permintaan• Persaingan, struktur
dan strategi
Mendukung Mendukung Mendukung Mendukung
• Pemerintah memberikan bantuan bagi kegiatan usahatani
• Penyediaan dan pendistribusian benih serta pemberlakuan tarif impor nol persen
• Dibuatnya program swasembada kedelai
• Dukungan terhadap program promosi dan publikasi
2. Peranan Kesempatan
• Kondisi faktor sumberdaya
• Industri terkait dan
industri pendukung • Kondisi permintaan
• Persaingan, struktur
dan strategi
Mendukung Mendukung Mendukung Mendukung
• Peningkatan harga kedelai dunia karena peralihan lahan kedelai di negara produsen kedelai di dunia akan meningkatkan kinerja petani kedelai lokal agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga.
• Pengalihan lahan kedelai pada negara-negara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia sehingga membuat industri terkait dan pendukung menggunakan kedelai dalam negeri
• Pengalihan lahan kedelai pada negara-negara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia hal ini akan meningkatkan permintaan domestik terhadap kedelai lokal
• Adanya kesempatan bagi kedelai lokal untuk merebut pasar kedelai karena ketersediaan kedelai impor yang semakin berkurang karena pengalihan lahan kedelai di Amerika
1) Peran pemerintah mendukung semua komponen utama
Pemerintah sangat berperan dalam mendukung setiap komponen
dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Dukungan pemerintah terhadap
kondisi faktor sumberdaya ditunjukkan dengan dibuatnya program pencapaian
swasembada kedelai melalui program SLPTT serta bantuan pembiayaan berupa
bantuan kredit yang disalurkan melalui lembaga perbankan untuk pengembangan
79
agribisnis kedelai lokal. Selain itu pemerintah juga berperan sebagai pendukung
dan penyalur benih bagi petani. Pemerintah juga berperan bagi sektor industri
terkait dan industri pendukung. Pemberlakuan tarif nol persen bagi petani kedelai
lokal memang merugikan. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada industri
pengolahan kedelai yang sebagian besar menggunakan kedelai impor. Berlakunya
tarif tersebut menguntungkan industri pengolahan kedelai karena pasokan kedelai
impor yang mereka butuhkan lebih murah. Pada kondisi permintaan, pemerintah
sendiri memberi dukungan yaitu dengan membuat program swasembada kedelai
2014. Diharapkan dengan dibuatnya program ini maka produksi kedelai lokal
dapat meningkat sehingga permintaan kedelai nasional dapat terpenuhi. Selain itu
pemerintah juga memberikan dukungan bagi komponen persaingan, struktur dan
strategi berupa dukungan bagi kegiatan promosi dan publikasi pengembangan
agribisnis kedelai lokal di Indonesia berupa buku, seminar dan lain-lain.
2) Peran kesempatan mendukung seluruh komponen utama
Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui komponen
penunjang yaitu peranan kesempatan memiliki keterkaitan yang saling
mendukung dengan seluruh komponen utama. Peran kesempatan mendukung
komponen sumberdaya yaitu, peningkatan harga kedelai dunia karena peralihan
lahan kedelai di negara produsen kedelai di dunia akan meningkatkan kinerja
petani kedelai lokal agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga.
Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung peran kesempatan juga
mendukungnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengalihan lahan kedelai
pada negara-negara produsen kedelai dunia yang akan mengurangi ketersediaan
kedelai dunia. Hal ini merupakan kesempatan untuk membuat industri terkait dan
pendukung menggunakan kedelai dalam negeri. Selain itu peran kesempatan
mendukung kondisi permintaan. Adanya pengalihan lahan kedelai pada negara-
negara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia hal
ini akan meningkatkan permintaan domestik terhadap kedelai lokal. Peran
kesempatan juga mendukung kondisi persaingan, struktur dan strategi. Adanya
kesempatan bagi kedelai lokal untuk merebut pasar kedelai karena ketersediaan
kedelai impor yang semakin berkurang karena pengalihan lahan kedelai di
Amerika.
80
Keterangan : Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung
Gambar 13. Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond System
Peranan Kesempatan: 1. Prospek pasar yang besar 2. Krisis Energi
Persaingan, Struktur, dan Strategi perusahaan 1. Persaingan dengan kedelai impor 2. Struktur pasar kedelai impor berbentuk
oligopoli dan struktur pasar kedelai lokal berbentuk oligopsoni
3. Strategi yang dilakukan berupa sosialisasi dan publikasi
Kondisi Permintaan Domestik 1. Komposisi permintaan domestik:
Bahan makanan, pakan, bibit, industri manufaktur, tercecer
2. Besar dan pola pertumbuhan permintaan domestik: Pola pertumbuhan permintaan fluktuatif namun permintaan tetap tinggi
Kondisi Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya alam 2. Sumberdaya manusia 3. Sumberdaya IPTEK 4. Sumberdaya modal 5. Sumberdaya infrastruktur
Industri Terkait dan Pendukung 1. Industri terkait:
Industri pemasok, dan industri jasa tataniaga
2. Industri pendukung: Industri pengolahan dan industri perbankan
Peranan Pemerintah: 1. Pembiayaan 2. Penyediaan benih 3. Upaya mewujudkan
swasembada kedelai 4. Strategi promosi
81
Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan
bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena
hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Namun
dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia tersebut sangat didukung oleh
komponen pendukungnya. Pada komponen peranan pemerintah ternyata
kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah terhadap agribisnis kedelai lokal
di Indonesia telah mendukung seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di
Indonesia. Begitu juga dengan komponen kesempatan yang memberikan
dukungan terhadap seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Hal
tersebut menunjukan adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu
meningkatkan posisi dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia apabila
seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.
82
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
7.1 Analisis SWOT Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal
Setelah dilakukannya analisis terhadap sistem agribisnis kedelai lokal serta
dayasaing agribisnis kedelai lokal dengan menggunakan Sistem Berlian Porter
sebagai alat analisisnya, kita dapat mengetahui bagaimana sistem agribisnis dan
dayasaing kedelai lokal saat ini. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa agribisnis kedelai lokal belum terintegrasi dan berkembang
dengan baik. Selain itu, kondisi dayasaing kedelai lokal saat ini masih lemah. Hal
ini terlihat dari banyaknya komponen-komponen yang tidak saling mendukung.
Oleh karena itu, penting untuk merumuskan suatu strategi pengembangan
agribisnis kedelai lokal untuk meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal di
Indonesia.
Strategi pengembangan kedelai lokal di Indonesia disusun dengan
menggunakan alat analisis SWOT. SWOT digunakan untuk mengidentifikasi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki agribisnis kedelai lokal
yang diperoleh dari hasil analisis dayasaing kedelai lokal dengan menggunakan
Teori Berlian Porter pada bab sebelumnya.
7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Berdasarkan Gambaran Umum dan Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Identifikasi faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
diperoleh berdasarkan uraian dari gambaran umum agribisnis kedelai lokal di
Indonesia dan analisis dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia pada Bab
sebelumnya. Faktor kekuatan dan kelemahan diperoleh dari lingkungan internal
agribisnis kedelai lokal di Indonesia, dalam hal ini yang termasuk ke dalam
lingkungan internal adalah subsistem hulu, subsistem on farm, subsistem hilir
kedelai. Sementara faktor peluang dan ancaman diperoleh dari lingkungan
eksternal yang terdiri dari subsistem jasa penunjang serta lingkungan luar yang
berada di luar lingkup agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Penjelasan lebih
lanjut mengenai identifikasi faktor-faktor tersebut ditunjukan oleh Tabel 11.
83
Tabel 11. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam Sistem Agribisnis Kedelai di Indonesia
Komponen Identifikasi SWOT Keterangan
Agribisnis Kedelai di Indonesia Subsistem Hulu • Kekuatan
• Kekuatan • Kekuatan • Kelemahan
• Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (Subtropis)
• Memiliki kedelai unggul lokal yang lebih berkualitas daripada kedelai impor
• Memiliki benih kedelai yang unggul dan bermutu • Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri
Subsistem Usahatani • Peluang • Adanya lahan potensial untuk penanaman kedelai di Indonesia Subsistem Penunjang • Peluang
• Peluang
• Peluang • Peluang • Peluang
• Adanya program SL-PTT • Adanya Kemitraan dengan dengan perusahaan swasta besar
untuk pengembangan kedelai lokal • Adanya dukungan kredit perbankan • Adanya dukungan D ewan Kedelai • Adanya balai benih
Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai di Indonesia A. Kondisi faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam • Syarat, Kondisi dan Luas
Lahan • Aksestabilitas Terhadap
Input - Benih - Pupuk • Biaya- biaya terkait • Produktivitas lahan 2. Sumberdaya Manusia 3. Sumberdaya IPTEK • Lembaga Penelitian • KOPTI • Dewan Kedelai • Lembaga Pendidikan • Sumber IPTEK Lainnya
4. Sumberdaya Modal 5. Sumberdaya Infrastruktur
Kelemahan Kelemahan Kelemahan Kekuatan Kekuatan Kelemahan Peluang Peluang Peluang Peluang Peluang Kelemahan Kelemahan
Lahan yang digunakan untuk menanam kedelai lokal semakin sedikit Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan Banyak petani yang belum menggunakan pupuk sesuai anjuran Usahatani kedelai lokal cukup layak untuk diusahakan Produktivitas lahan kedelai lokal semakin meningkat Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun Banyaknya penelitian pengembangan kedelai lokal yang sudah dilakukan dan diaplikasikan Memberi dukungan bagi agribisnis kedelai lokal Memberikan masukan kebijakan kepada presiden terkait pengembangan kedelai lokal Meningkatkan mutu SDM dan penghasil informasi yang dapat mendukung agribisnis kedelai lokal Penghasil informasi melalui media cetak, website dan lainnya yang dapat mendukung agribisnis kedelai lokal di Indonesia Ketidakmampuan petani kedelai lokal untuk mengakses permodalan Infrastruktur kurang memadai
B. Kondisi Permintaan 1. Kondisi Permintaan
Domestik 2. Intenasionalisasi Permintaan
Domestik
Peluang Peluang
Tingginya permintaan dalam negeri Adanya perluasan pasar baru untuk konsumsi tempe
C. Industri terkait dan Industri pendukung
1. Industri Terkait • Industri Pemasok Bahan
Baku • Industri Jasa Tataniaga • Industri pengolahan
2. Industri Pendukung
Kekuatan Kelemahan Kekuatan Kekuatan
Terus mengembangkan berbagai penemuan varietas unggulan kedelai lokal Industri tataniaga yang cenderung merugikan petani Banyaknya usaha pengolahan kedelai yang tersebar hampir di seluruh Indonesia Adanya industri perbankan dan industri pengemasan yang membantu pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia
D. Persaingan,Struktur dan Strategi
Ancaman Tingginya volume kedelai impor membuat persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat
E. Peran Pemerintah Peluang Ancaman
Pemerintah sangat mendukung agribisnis kedelai lokal dengan berbagai program dan kegiatan yang dilakukan Diberlakukannya kebijakan impor nol persen
F. Peran Kesempatan Peluang Harga kedelai dunia meningkat
84
7.1.2 Analisis Komponen SWOT
Analisis komponen SWOT terdiri dari analisis kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman yang diperoleh dari analisis sistem agribisnis kedelai lokal
pada bab sebelumnya dengan menggunakan Sistem Berlian Porter. Berikut ini
akan dijelaskan apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Selanjutnya kita dapat
merumuskan strategi untuk mengembangan dan meningkatkan dayasaing kedelai
lokal di Indonesia berdasarkan analisis tiap komponen SWOT yang telah
dilakukan.
1) Analisis Kekuatan
a) Usahatani kedelai lokal layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan secara finansial
Usahatani budidaya kedelai layak untuk diusahakan dan memberikan
keuntungan secara finansial, tercermin dengan nilai R/C rasio sebesar 2,01 yang
artinya untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani sebesar satu rupiah maka
petani tersebut memperoleh penerimaan sebesar 2,01. Hal ini menunjukan
usahatani kedelai lokal layak untuk diusahakan karena nilai R/C rasionya lebih
dari satu. Keuntungan finansial dan kelayakan usahatani kedelai ini tentunya
menjadi kekuatan dalam pengembangan agribisnis kedelai lokal.
b) Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (subtropis)
Tanaman kedelai di Indonesia umumnya telah berbunga pada umur 25-40
hari, pada saat tinggi tanaman baru mencapai 40-50 cm. Di wilayah subtropis,
yang memiliki panjang hari 14-16 jam pada musim semi musim panas, tanaman
kedelai baru berbunga setelah berumur 50-70 hari. Umur kedelai di Indonesia
sangat genjah, berkisar antara 75-95 hari, sedang umur kedelai di daerah subtropis
mencapai 150-160 hari. Hal ini menjadi kekuatan bagi pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia karena dengan umur panen kedelai lokal yang lebih
pendek dibandingkan kedelai impor, diharapkan mampu menghasilkan kedelai
lokal yang lebih banyak dibandingkan dengan kedelai impor yang usia panennya
lebih panjang.
85
c) Kualitas kedelai varietas unggul lokal lebih baik dari kedelai impor Menurut (Balitbang 2008), di Indonesia sebagian besar kedelai digunakan
untuk pembuatan tempe dan tahu. Bagi pengusaha tempe sendiri lebih menyukai
tempe berbiji besar. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan kedelai berbiji
besar dengan bobot 14-17 gram/100 biji, mirip kedelai impor dengan bobot rata-
rata 16 gram/100 biji. Varietas unggul kedelai berbiji besar tersebut diantaranya
adalah Anjasmoro, Burangrang, Bromo, dan Argomulyo. Tempe yang dibuat
dengan menggunakan ketiga varietas unggul kedelai nasional ini baik bobot,
volume yang dimiliki sama dengan tempe yang dibuat dari kedelai impor, bahkan
kandungan proteinnya lebih tinggi.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian telah
menghasilkan galur harapan kedelai berbiji hitam dengan kadar protein lebih
tinggi (43-44,6 persen bk) dan bobot biji besar (±14 g /100 biji). Kecap manis
yang diolah dari galur harapan kedelai berbiji hitam ini berkadar protein relatif
lebih tinggi dibanding kedelai berbiji kuning, sedangkan bobot, volume kecap
relatif sama. Sedangkan untuk kedelai varietas Argopuro dan Gumitir dengan
bobot biji masing-masing 15 gr dan 18 gr per 100 biji memiliki rendemen tempe
18 persen lebih tinggi dari kedelai impor. Badan Litbang Pertanian juga telah
menghasilkan 12 varietas unggul dan satu galur harapan kedelai dengan kadar
protein 40-44 persen bobot kering (bk), rendemen dan tekstur tahunya lebih baik
dibanding kedelai impor yang kadar proteinnya hanya 35-37 persen bk. Kadar
protein biji kedelai, terutama fraksi globulin, berkorelasi positif dengan bobot dan
tekstur tahu, sedangkan bobot atau ukuran biji kedelai relatif tidak mempengaruhi
mutu tahu. Beberapa hal diatas menjadikan kualitas kedelai lokal lebih baik
dibandingkan dengan kedelai impor. Hal ini menjadi kekuatan kedelai lokal untuk
bersaing dengan kedelai impor. Perbedaan kualitas kedelai lokal dan impor dapat
dilihat pada Lampiran 5. Selain itu kedelai lokal memiliki varietas unggul yang
mampu berproduksi lebih dari 2 ton/ha. Hal ini merupakan kekuatan yang dimiliki
kedelai lokal untuk meningkatkan dayasaing dengan kedelai impor. Varietas
unggul yang memiliki potensi produksi > 2 ton/ha dapat dilihat pada Lampiran 6.
86
d) Banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai
Seiring dengan besarnya konsumsi kedelai maka industri pengolahan
berbahan baku kedelai juga semakin berkembang. Pada Lampiran 4, terlihat
banyaknya perusahaan pengolahan kedelai terutama untuk pengolahan tempe dan
tahu. Industri pengolahan kedelai ini tersebar hampir di seluruh wilayah di
Indonesia dan sebagian besar merupakan industri berskala kecil dan rumah
tangga. Banyaknya industri pengolahan kedelai di Indonesia merupakan peluang
pasar yang dapat dimanfaatkan bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
2) Analisis Kelemahan
a) Lahan yang digunakan untuk penanaman kedelai semakin sedikit
Berdasarkan data Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010, lahan bagi
penanaman kedelai cenderung menurun. Pada tahun 1999 lahan kedelai sebesar
1.16 juta ha. Penurunan secara drastis terjadi pada tahun 2000 luas lahan menjadi
sebesar 824.484 ha. Pada tahun 2009 lahan kedelai sebesar 722.931. Seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya hal ini terjadi karena gairah petani kedelai
yang terus menurun karena sulitnya bersaing dengan kedelai impor sehingga
membuat petani beralih untuk menanam komoditi lainnya yang dinilai lebih
menguntungkan.
b) Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan
Berdasarkan wawancara dengan Kasi Aneka Kacang dan Umbi Direktorat
Perbenihan, petani kedelai kerap kali kesulitan dalam memperoleh benih kedelai
yang diinginkan. Ketidaktersediaan benih yang diinginkan petani atau stok benih
yang terbatas menjadi alasan sulitnya perolehan benih bagi para petani. Dalam hal
ini seringkali benih kedelai yang tersedia dibalai benih tidak sesuai dengan jenis
benih kedelai yang diinginkan oleh beberapa petani karena adanya keragaman
penggunaan berbagai jenis benih kedelai lokal yang berbeda yang digunakan
petani. Selain itu, stok benih yang ada seringkali terbatas karena balai benih
membagi lahan untuk perbanyakan benih dengan tanaman pangan yang lain
sehingga perbanyakan benih kedelai oleh balai benih terbatas oleh lahan yang
tersedia di balai benih. Selain masalah ketersediaan, mahalnya harga benih
berkualitas menjadi alasan banyaknya petani kedelai yang belum menggunakan
benih berkualitas.
87
c) Penggunaan pupuk yang belum sesuai anjuran
Penggunaan pupuk di daerah-daerah bervariasi, sesuai dengan spesifikasi
lokasi. Kemampuan permodalan petani sangat menentukan petani dalam
melaksanakan anjuran dosis pemupukan yang ideal. Pada kenyataannya, banyak
petani yang belum menggunakan pupuk yang sesuai anjuran. Hal ini karena
keterbatasan modal dan informasi pada petani serta harga pupuk yang dinilai
cukup mahal. Untuk itu beberapa petani menanam kedelai sesudah penanaman
padi. Hal ini dilakukan agar tanaman kedelai mendapatkan sisa-sisa pemupukan
dari pertanaman sebelumnya. Selain itu pada beberapa daerah kerap kali terjadi
kelangkaan pupuk, seperti yang terjadi di Kabupaten Garut dan Pasuruan. Hal ini
tentu saja menghambat petani dalam penggunaan pupuk.
d) Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun
Berdasarkan data Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian 2004,
gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun drastis sejak tahun
1992. Hal tersebut antara lain disebabkan karena bercocok tanam kedelai
dianggap tidak menguntungkan, dibandingkan apabila petani melakukan budidaya
tanaman lain. Selain itu masuknya kedelai impor dengan harga murah dimana bea
masuk impor sebesar nol persen membuat kedelai impor semakin deras masuk
sehingga kedelai lokal sulit bersaing karena pada umumnya kedelai impor lebih
murah bila dibandingkan dengan kedelai lokal. Kondisi inilah yang menyebabkan
minat petani untuk menanam kedelai semakin rendah banyak petani beralih
menanam komoditi lain seperti jagung, kacang tanah, kacang hijau dan lain-lain.
e) Ketidakmampuan petani kedelai lokal dalam mengakses permodalan
Hingga saat ini petani kedelai di Indonesia masih mengalami kesulitan
modal. Padahal permodalan petani sangat menentukan petani dalam menghasilkan
kedelai yang baik. Saat ini sumber permodalan petani untuk kegiatan usahatani
kedelai berasal dari permodalan sendiri dan dari pembiayaan pemerintah yang
digulirkan melalui program bantuan seperti bantuan Bantuan Langsung Benih
Unggul dan Bantuan Langsung Pupuk. Namun bantuan ini masih jauh dari
sempurna karena hingga saat ini masih banyak petani kedelai yang belum
mendapatkan bantuan. Sebenarnya pemerintah telah memberikan bantuan kredit
seperti KKPE. Namun pada prakteknya di lapangan para petani sulit mendapatkan
88
KKP-E. Melalui Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), petani mengajukan
pinjaman ke bank untuk mendapatkan KKP-E, namun pihak bank tetap meminta
jaminan dari para petani. Hal yang sama juga terjadi pada pencairan KUR, yang
bunganya sudah diturunkan. Dalam hal ini pihak bank meminta petani untuk
menyediakan jaminan dan mendapatkan pendampingan serta bimbingan teknis
dari Kementerian Pertanian. Bagi petani yang tidak memiliki agunan tentu saja
pinjaman melalui KKP-E maupun KUR sulit untuk diperoleh. Sedangkan
sebagian besar petani kedelai merupakan petani kecil yang rata-rata kekurangan
modal dan tidak memiliki agunan. Hal inilah yang menjadi alasan sulitnya petani
kedelai lokal dalam mengakses pinjaman modal. Keterbatasan permodalan petani
ini tentunya menghambat pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
f) Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri Banyaknya petani kedelai lokal yang tidak menggunakan benih unggul
bermutu (benih asalan) dengan berbagai alasan baik karena kurangnya informasi
maupun keterbatasan modal membuat mutu kedelai lokal yang dihasilkan rendah.
Padahal penggunaan benih bermutu sangat menentukan kualitas kedelai yang
dihasilkan. Hal ini menjadi penyebab rendahnya kualitas kedelai lokal yang
beredar di dalam negeri.
g) Sistem tataniaga yang cenderung merugikan petani Tataniaga semakin merugikan petani ketika LoI (Letter of Intent) pada 24
Juni 1998 dalam butir 16 menyebutkan pemerintah harus membebaskan tataniaga
pangan termasuk kedelai dengan tarif bea masuk (BM) 0 persen, padahal
sebelumnya tarif BM impor 20 persen (1997). Sejak saat itu, Bulog dan swasta
mendapat peran sama dalam importasi dan pemasaran. Hal ini sangat merugikan
petani kedelai lokal karena tidak adanya Bulog sebagai lembaga penstabil harga
membuat harga kedelai yang beredar di dalam negeri menjadi tidak stabil. Selain
itu tanpa adanya lembaga yang membatasi, kedelai impor semakin deras masuk14.
14 Anonim. 2008. Peran Bulog harus Permanen. http: //els.bappenas.go.id/ upload/ kliping
/Peran%20bulog.pdf [diakses 15 April 2011]
89
h) Petani yang tergabung dalam kelompok tani masih terbatas
Menurut Dirjen Tanaman Pangan (2004), masih terbatasnya petani yang
tergabung dalam kelompok tani membuat posisi tawar petani menjadi lemah.
Padahal keberadaan kelompok tani bagi petani kedelai sendiri sangat besar. Hal
ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya petani yang menjual hasil panen secara
berkelompok sehingga harga jual sangat ditentukan oleh pedagang pengumpul.
3) Analisis Peluang
a) Adanya lahan potensial untuk penanaman kedelai di Indonesia
Menurut data Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2004,
Indonesia memiliki potensi lahan penanaman kedelai dengan kriteria kesesuaian
agroklimat yang cukup luas. Kedelai dapat ditanam hampir di seluruh lahan
sawah dan lahan kering yang ada di wilayah Indonesia. Pada lahan kering kedelai
dapat ditanam dengan melakukan penyesuaian waktu tanam dengan curah hujan.
Lahan kering ini umumnya terdapat di Sumatera, NTB.
Terdapat 12 provinsi yang diidentifikasi masih tersedia lahan yang dapat
diusahakan untuk usahatani kedelai seluas 12,9 juta ha. Di 12 provinsi (NAD,
Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra dan
NTB) terdapat 3,54 juta ha yang berpotensi tinggi 3 juta yang berpotensi sedang
dan 5,46 juta ha yang berpotensi rendah. Disebutkan bahwa dari 12 provinsi yang
telah dievaluasi, lahan yang berpotensi tinggi dan sedang untuk pengembangan
kedelai terdapat dipulau Jawa (Agus et al 2005) di dalam Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan (2007). Adanya lahan potensial yang dapat
ditanami kedelai menjadi kekuatan bagi pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia.
b) Banyaknya penelitian pengembangan kedelai lokal yang sudah dilakukan dan diaplikasikan
Upaya pengembangan kedelai lokal di Indonesia didukung oleh berbagai
penelitian yang dilakukan baik oleh lembaga penelitian seperti Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Batan Tenaga Atom Nasional (BATAN) maupun
perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut mampu memberikan informasi yang
berguna untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hingga saat
ini, Badan Penelitian Pertanian terus melakukan penelitian untuk menemukan
varietas kedelai unggul baru. Beberapa hasil penelitian yang ada diantaranya
90
adalah telah dilepasnya 73 varietas unggul kedelai, dari jumlah tersebut 19
varietas unggul memiliki potensi produksinya antara 2,16 - 3,50 ton/ha.
Ditemukannya varietas benih unggul tersebut tentunya sangat membantu
pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia karena dapat meningkatkan
produksi kedelai lokal sehingga memberikan peluang bagi agribisnis kedelai lokal
di Indonesia agar semakin berkembang. Rincian varietas unggul dapat dilihat
pada Lampiran 6.
c) Adanya dukungan KOPTI
KOPTI sebagai wadah yang menghimpun para pengusaha tahu tempe di
Indonesia tidak hanya bertindak sebagai penyalur kedelai semata (tidak bersifat
komersil) melainkan bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya yaitu para
pengusaha tempe dan dan tahu yang tergabung dalam KOPTI.
Keberadaan KOPTI sendiri sebagai perwujudan dari koperasi, mampu
memberikan peluang untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia. Karena KOPTI tidak hanya berperan sebagai penyalur yang membantu
tataniaga kedelai lokal sendiri, keberadaan KOPTI juga membantu dalam akses
permodalan bagi para anggotanya yaitu pengusaha tahu dan tempe. Diharapkan
dengan semakin eksisnya peran KOPTI maka agribisnis kedelai lokal akan
semakin berkembang.
d) Tingginya permintaan dalam negeri
Meskipun pertumbuhan permintaan kedelai di Indonesia berfluktuatif
namun permintaan untuk kedelai dalam negeri tetap tinggi. Tingginya permintaan
kedelai ini dapat dilihat dari besarnya defisit kedelai yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga dilakukan impor kedelai yang cukup
tinggi. Tingginya permintaan kedelai juga disebabkan karena berbagai manfaat
yang terdapat pada kedelai. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi berbagai makanan olahan
kedelai seperti tempe dan tahu yang merupakan makanan turun temurun
masyarakat Indonesia.
91
e) Harga kedelai dunia akan meningkat
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh (Sejati et al 2009),
membaiknya harga kedelai dunia membuat harga kedelai impor meningkat.
Kondisi tersebut terjadi, karena adanya pencabutan terhadap subsidi harga kedelai
di USA dan Brazil. Selain itu adanya pengalihan lahan kedelai menjadi jagung
yang digunakan untuk pembuatan biofuel yang secara teknis digunakan sebagai
bahan bakar minyak alternatif. Dalam hal ini tentu saja akan mengurangi stok
kedelai dunia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
kedelai Indonesia yang sebagian besar berasal dari impor. Dengan adanya kondisi
tersebut merupakan peluang untuk meningkatkan produksi kedelai lokal, sehingga
kedelai lokal mampu memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sebagian
besar masih berasal dari impor.
f) Adanya program SL-PTT
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (SL-
PTT) merupakan sekolah lapang bagi petani. SL-PTT ini menerapkan berbagai
teknologi usahatani melalui input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi
sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang
peningkatan produksi secara berkelanjutan. Penerapan program SL-PTT kedelai,
mampu meningkatkan produktivitas usahatani kedelai yang mengikuti SL-PTT
ini. Produktivitas usahatani kedelai yang mengikuti SL-PTT dengan non SL-PTT
sangat berbeda. Produktivitas usahatani kedelai SL-PTT lebih tinggi bila
dibandingkan dengan non SL-PTT. Peningkatan produktivitas yang terjadi pada
beberapa sentra kedelai yang mengikuti SL-PTT ini dapat dilihat pada Lampiran
7. Hal ini menunjukkan bahwa adanya program SL-PTT ini menjadi peluang
dalam meningkatkan pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia.
g) Adanya dukungan kredit perbankan
Adanya dukungan kredit perbankan yang diberikan pemerintah untuk
mendukung kegiatan usahatani bagi petani kedelai lokal, diantaranya adalah
KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) yang disalurkan melalui Bank
Umum maupun Bank Pembangunan Daerah, KUR yang disalurkan melalui bank
Mandiri, Syariah Mandiri, BNI, Bukopin, BRI, BTN sebesar 14,8 milyar. Untuk
KUR sendiri, dari total kredit tersebut sektor pertanian termasuk kedelai
92
memperoleh sebesar 3,9 milyar, (26,6 persen) dengan penerima kredit sebanyak
613.780 orang atau rata-rata sebesar Rp6,45 juta per orang. Adanya bantuan
pembiayaan yang disalurkan melaui perbankan ini dapat menjadi peluang untuk
mengatasi masalah permodalan bagi para petani kedelai.
h) Adanya dukungan Dewan Kedelai
Dewan Kedelai merupakan lembaga yang memberikan masukan kepada
pemerintah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang berguna bagi
pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia. Dewan Kedelai mampu
memberikan peluang untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia dari hulu hingga ke hilir. Diharapkan dengan adanya Dewan Kedelai ini
masalah-masalah terkait kedelai nasional dapat teratasi serta dayasaing sistem
agribisnis kedelai di Indonesia semakin meningkat.
i) Adanya LKMS di Indonesia
Pertumbuhan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia
makin menunjukkan tren kemajuan yang signifikan. Dengan sasaran utama para
pelaku usaha mikro dan super mikro yang umumnya berada di pedesaan, LKMS
menjelma menjadi penggerak ekonomi rakyat kecil yang tangguh. Saat ini,
terdapat sekitar tiga juta nasabah mikro yang memperoleh pembiayaan dari
LKMS atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Aset yang dikelola LKMS/BMT pun
sudah menyentuh angka Rp 3 triliun, dengan 4.000 LKMS/BMT yang tersebar di
seluruh Indonesia. Meningkatnya aset BMT/LKMS membuktikan jika lembaga
tersebut mampu menunjukkan diri sebagai lembaga yang handal dalam
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, dimana mayoritas anggota dan
nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro yang selama ini tidak
diperhitungkan oleh perbankan sebagai sumber dana15.
j) Adanya balai benih
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan otonomi
daerah, saat ini kewenangan pengelolaan balai benih telah diserahkan kepada
masing-masing pemerintah daerah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2005).
Balai benih berfungsi untuk menyediakan benih-benih yang dibutuhkan petani
15 Krisman Purwoko. 2010. BMT Indonesia Kelola Aset Rp 3 Triliun. http://bmt-link.co.id/bmt-
Indonesia-kelola-aset-rp-3-triliun/ [diakses 12 April 2011]
93
kedelai lokal. Balai benih sendiri terdapat di tingkat kecamatan, kabupaten
maupun provinsi. Benih yang telah diperbanyak oleh balai benih disalurkan
kepada para penangkar atau produsen benih. Setelah benih berada pada para
penangkar atau produsen benih, benih disalurkan kepada petani atau melalui
distributor kepada petani.
k) Adanya kemitraan dengan perusahaan swasta besar untuk mengembangkan kedelai lokal di Indonesia
Adanya kemitraan dengan perusahaan swasta besar. Dalam hal ini petani
kedelai lokal memiliki kewajiban untuk menyediakan pasokan kedelai lokal
dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan permintaan industri mitra. Di lain
sisi industri mitra memiliki kewajiban untuk menjamin pasar kedelai lokal yang
dihasilkan serta memberi pinjaman modal bagi para petani kedelai lokal. Selain
dari kedua pihak tersebut dukungan pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan
kemitraan tersebut penting dilakukan seperti dukungan infrastruktur atau
menugaskan badan penelitian ataupun perguruan tinggi yang mampu memberikan
masukan teknologi yang dapat menunjang kegiatan produksi.
Salah satu bentuk kemitraan dengan perusahaan swasta besar dilakukan
oleh perusahaan Unilever. Semakin berkembangnya produk kecap bango
dipasaran membuat PT Unilever sebagai pemilik kecap Bango membangun petani
mitra untuk memenuhi kebutuhan pasokan kedelai hitam. Untuk menjamin
ketersediaan bahan baku, PT Unilever Indonesia berkomitmen mengembangkan
budidaya kedelai hitam di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama
antara Unilever, Universitas Gajah Mada (UGM), dan petani di Yogyakarta.
Kerjasama dengan pola kemitraan itu telah berhasil menemukan varietas kedelai
hitam lokal bernama Kedelai Mallika. Saat ini benih Mallika telah dipergunakan
petani yang mengikuti kemitraan dengan Unilever. Sejak program dirintis pada
2001, telah 5.000 petani dan 126 kelompok tani terlibat dalam kemitraan. Mereka
tersebar di Bantul, Sleman, Nganjuk, Trenggalek, Madiun, Blitar, dan Jombang,
serta beberapa daerah di Jawa Tengah. Pada 2005 total lahan mencapai 416,459
ha. Tahun 2006 meningkat menjadi 650 ha, dan 2007 sudah mencapai 1.800 ha16.
Dalam hal ini Unilever memberikan bantuan saprodi dan menjadi pembeli dari
16 Yan Suhendar. 2007. Benih Kecap Segurih Rasanya. http: //www. agrina - online. Com /
show_article. Php ? rid = 7 & aid = 1115 [diakses 28 April 2011]
94
kedelai hitam yang dikembangkan. Pembinaan dilakukan oleh petugas lapang dari
Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta seperti
yang dilakukan pada kabupaten Pacitan Jawa Timur. Apabila hal ini terus
berlanjut tentunya, akan menjadi peluang bagi petani kedelai lokal untuk
mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Pengembangan kedelai
hitam yang dilakukan PT Unilever dan UGM Yogyakarta, diharapkan mampu
membangkitkan semangat petani, peneliti, dan pemerintah sekaligus industri
dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan dan mencegah ketergantungan
impor kedelai dari negara lain.
4) Analisis Ancaman
a) Tingginya volume kedelai impor membuat persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat
Tingginya volume impor kedelai di Indonesia membuat semakin tingginya
persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor. Tingginya volume impor ini
ditunjukkan dengan volume impor yang semakin meningkat dan pada tahun 2010
volume impor sebesar 1,62 juta ton. Kedelai impor yang harganya lebih murah
dengan kualitas yang baik membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Dominasi
kedelai impor pada pasar di dalam negeri akan membuat kedelai lokal semakin
terhimpit. Tidak hanya persaingan kualitas namun persaingan harga juga harus
dihadapi petani kedelai lokal dimana mereka harus menghadapi harga kedelai
impor yang umumnya selalu lebih rendah. Tingginya volume impor ini akan
berpengaruh terhadap gairah petani dalam menanam kedelai. Jika tidak segera
diperbaiki kondisi ini akan mengancam kelangsungan pengembangan kedelai
lokal di Indonesia.
b) Berlakunya kebijakan impor nol persen. Kebijakan tarif impor sebesar nol persen membuat impor kedelai semakin
deras. Adanya kebijakan impor ini membuat kedelai impor semakin mudah masuk
dan semakin melemahkan petani kedelai lokal. Posisi kedelai lokal di dalam
negeri sangat terhimpit dengan keberadaan kedelai impor. Meskipun secara
finansial usahatani kedelai lokal menguntungkan namun dengan adanya kebijakan
yang merugikan petani kedelai lokal maka petani kedelai lokal menjadi tidak
diuntungkan. Diberlakukannya tarif impor nol persen semakin memudahkan
95
kedelai impor masuk ke dalam negeri. Hal ini membuat petani kedelai lokal
semakin merasa dirugikan.
7.1.3. Perumusan Strategi dengan Matriks SWOT
Alat analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan
kedelai lokal di Indonesia. Perumusan strategi dilakukan dengan menganalisis
empat faktor pada SWOT seperti kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
pada agribisnis kedelai lokal di Indonesia yang diperoleh berdasarkan analisis
pada komponen Berlian Porter. Keempat faktor yang telah dianalisis tersebut
kemudian dituangkan dalam sebuah matrik SWOT. Matriks SWOT tersebut
mempertemukan ke empat faktor yang ada agar dapat dirumuskan menjadi
strategi yang saling mendukung (Tabel 12).
Strategi S-O dirumuskan dengan menggunakan kekuatan dari agribisnis
kedelai lokal untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan strategi W-O
dirumuskan untuk memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan.
Strategi S-T dirumuskan dengan menggunakan kekuatan agribisnis kedelai lokal
untuk mengatasi ancaman, sedangkan strategi W-T dirumuskan dengan
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal.
96
Tabel 12. Matriks SWOT Agribisnis Kedelai Lokal Internal
Eksternal
Kekuatan (Strenght - S) 1. Usahatani kedelai lokal layak
untuk diusahakan dan memberikan keuntungan secara finansial
2. Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (Subtropis)
3. Memiliki varietas kedelai unggul lokal yang lebih berkualitas daripada kedelai impor
4. Banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai
Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Lahan yang digunakan untuk
penanaman kedelai semakin sedikit
2. Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan
3. Penggunaan pupuk yang belum sesuai anjuran
4. Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun
5. Ketidakmampuan petani mengakses permodalan
6. Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri
7. Tataniaga petani yang cenderung merugikan petani kedelai lokal
8. Petani yang tergabung dalam kelompok tani masih terbatas
Peluang (Opportunities-O) 1. Adanya lahan potensial
untuk penanaman kedelai di Indonesia
2. Banyaknya penelitian pengembangan kedelai lokal
3. Adanya Kopti 4. Tingginya permintaan dalam
negeri 5. Harga kedelai dunia
meningkat 6. Adanya program SL-PTT 7. Adanya dukungan kredit
perbankan 8. Adanya dukungan dewan
kedelai 9. Adanya LKMS 10. Adanya balai benih 11. Adanya kemitraan dengan
perusahaan swasta besar untuk mengembangkan kedelai lokal di Indonesia
Strategi S-O 1. Peningkatan Produksi Kedelai
lokal (S1,S2,S3,O1, O4,O5,O6,O7, O8, O10, O11)
2. Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal (S1, S2, S3, S4, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7, O8, O11)
3. Penguatan kelembagaan (S4,O3, O7, O8, O9, O10, O11)
Strategi W-O 1. Membentuk kerjasama dengan
lembaga permodalan non bank (W2, W3, W5, O9)
2. Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai (W2,W3,W6, O8, O10)
3. Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia (W1, W2, W3, W4, W5, W8, O4, O7)
4. Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal (W1,W2, W3, W4, W6, O1, O2,O3, O4, O5, O6, O8)
5. Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal
(W2, W3,W4, W6, W8, O6, O8)
Ancaman (Threats-T) 1. Tingginya volume kedelai
impor membuat persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat
2. Berlakunya kebijakan impor kedelai nol persen.
Strategi S-T 1. Pembatasan volume impor
(S1,S2, S3, S4, T1, T2)
Strategi W-T 1. Membentuk Lembaga Stabilitas
Harga kedelai (W4,W7, T1,T2)
97
1) Strategi S-O
Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada pada
agribisnis kedelai lokal untuk meraih dan memanfaatkan peluang yang ada
dengan sebesar-besarnya. Strategi yang dapat dilakukan diantaranya:
a) Peningkatan Produksi kedelai lokal
Permintaan kedelai nasional selalu defisit dikarenakan produksi kedelai
lokal yang belum mampu memenuhi permintaan kedelai nasional. Hal ini
tentunya perlu ditindaklanjuti yaitu dengan melakukan upaya untuk meningkatkan
produksi kedelai lokal di Indonesia. Beberapa cara untuk meningkatkan produksi
kedelai lokal di Indonesia diantaranya dapat ditempuh melalui:
(1) Perluasan areal panen
Perluasan areal panen merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
produksi kedelai lokal. Perluasan areal panen dapat dilakukan melalui beberapa
cara diantaranya (Puslitbang Tanaman Pangan 2007).
(a) Perluasan areal tanam kedelai lokal dapat dilakukan pada lahan bukaan baru
atau lahan pasang surut yang sudah direklamasi. Untuk lahan bukaan baru
diperlukan rhizobium sedangkan pada lahan pasang surut diperlukan kapur
pertanian sebagai amelioran.
(b) Peningkatan indeks pertanaman dengan memasukkan kedelai pada MK II
untuk sawah irigasi dan MK 1 pada sawah tadah hujan, atau tumpang sari
dengan tanaman perkebunan yang belum menghasilkan di provinsi-provinsi
yang potensial dan sudah pernah berhasil dalam menanam kedelai.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan daerah-daerah yang potensial untuk
penanam kedelai di Indonesia. Hal ini tentunya dapat dimanfaatkan untuk
perluasan areal panen kedelai tanam kedelai lokal. Diperluasnya areal tanam
maka areal panen juga akan bertambah sehingga produksi kedelai lokal dapat
meningkat.
(2) Peningkatan produktivitas
Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan memberdayagunakan
teknologi inovasi. Dalam hal ini salah satu teknologi yang berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan produktivitas adalah benih unggul bermutu. Dalam rangka
peningkatan produksi untuk mencapai swasembada kedelai, maka penggunaan
98
benih unggul bermutu perlu ditingkatkan. Penggunaan benih unggul bermutu
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal.
Dalam hal ini pemerintah telah meluncurkan benih unggul bermutu kedelai lokal
yang memiliki potensi hasil di atas 2 ton/ha. Penggunaan benih unggul bermutu
dalam usahatani kedelai lokal akan meningkatkan produksi kedelai.
b) Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal
Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal penting untuk
dilakukan mengingat banyaknya industri pengolahan kedelai di Indonesia yang
menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan industri
pengolahan kedelai seperti tempe, tahu dan kecap yang berbahan dasar kedelai
lokal. Selain itu perlunya menanamkan pemikiran kepada para pelaku industri
pengolahan kedelai di Indonesia bahwa mutu kedelai lokal tidak kalah dengan
kedelai impor. Sehingga para pengusaha tempe khususnya beralih menggunakan
kedelai lokal.
c) Penguatan Kelembagaan
Kebijakan dan program pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan
kedelai lokal di Indonesia tidak akan tercapai jika tidak didukung oleh semua
lembaga terkait. Untuk itu mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan kerjasama
yang kuat dan saling terintegrasi antar lembaga terkait. Hubungan yang kuat antar
lembaga terkait diharapkan dapat terjadi antara pemerintah, stakeholder/swasta,
petani kedelai lokal, kelompok petani, lembaga penelitian, perguruan tinggi
penyuluh, lembaga keuangan dan lembaga pemasaran.
2) Strategi W-O
a) Membentuk kerjasama dengan lembaga keuangan non bank
Permodalan merupakan aspek yang sangat penting bagi usahatani kedelai.
Ironisnya banyak petani kedelai lokal di Indonesia yang masih mengalami
kesulitan dalam memperoleh aspek ini. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk
petani kedelai lokal yang masih kekurangan modal seperti diberikannya kredit
kepada petani kedelai lokal. Meskipun banyak bantuan kredit yang digulirkan
namun petani kita tetap saja sulit untuk mengakses kredit tersebut. Untuk itu perlu
dibentuknya kerjasama dengan lembaga keuangan non bank seperti LKMS
(Lembaga Mikro Syariah) yang mampu memberikan kredit kepada petani kedelai
99
lokal yang sebagian besar merupakan petani kecil. Hingga kini telah terdapat
lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia. Keberadaan lembaga ini dapat
diarahkan untuk membantu permodalan petani kedelai untuk mengembangkan
usahatani mereka. Dalam hal ini lembaga mikro tersebut memiliki jaringan sosial
yang kuat dan dapat didirikan dengan mengikuti aturan main koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam. Nasabah yang akan meminjam uang dalam hal ini petani
kedelai yang akan meminjam dana tidak harus mengikuti persyaratan teknis
perbankan sehingga pelayanannya lebih cepat dan memiliki jaminan sosial yang
kuat karena lembaga ini berada dekat dengan konsumen. Selain itu lembaga
tersebut memiliki kegiatan simpan-pinjam dengan prinsip bagi hasil/syariah yang
mengikuti aturan main koperasi sehingga permodalan simpan pinjam dapat
diberdayakan. Dengan adanya lembaga mikro agribisnis syariah ini maka akan
membantu para petani kedelai lokal selaku nasabah kecil yang tidak memiliki
akses ke bank.
b) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai Ketersediaan benih dan pupuk menjadi hal yang sangat penting bagi
usahatani kedelai. Masalah yang kerap terjadi adalah sering tidak tersedianya
benih kedelai yang diinginkan petani. Untuk itu perlu kebijakan pemerintah
terhadap masalah perbenihan yaitu berupa subsidi benih. Hal ini ditujukan agar
petani dapat menggunakan benih unggul dengan harga yang lebih terjangkau.
Harga benih unggul yang relatif mahal menjadi alasan petani kedelai untuk tidak
menggunakan benih unggul. Selain itu, sering tidak tersedianya benih yang
diinginkan petani juga menjadi masalah dalam perbenihan kedelai. Kurangnya
lahan yang dimiliki balai benih untuk perbanyakan kedelai dinilai menjadi alasan
terbatasnya ketersediaan benih. Untuk itu perlu diadakannya program untuk
memperluas lahan untuk perbanyakan benih kedelai pada balai-balai benih yang
ada baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten. Hal ini dilakukan agar
benih kedelai yang diinginkan petani kedelai selalu tersedia. Untuk pupuk sendiri
perlunya kerjasama yang dilakukan antara pemerintah dan para pengusaha pupuk
penting dilakukan. Selain itu memberdayakan kelompok tani untuk mengakses
pupuk akan mempermudah aksestabilitas pupuk untuk petani kedelai lokal di
Indonesia.
100
c) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia
Pengembangan kelompok tani kedelai sangat perlu ditingkatkan
mengingat masih banyak petani kedelai di Indonesia yang belum tergabung dalam
kelompok tani. Hal ini menjadi salah satu alasan lemahnya posisi tawar petani
dalam tataniaga kedelai. Keberadaan kelompok tani sebagai lembaga yang
mampu membantu petani dalam meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal
sehingga petani kedelai memiliki posisi tawar yang lebih tinggi bila dibandingkan
bila petani tidak tergabung dalam kelompok tani. Untuk itu peningkatan peran
kelompok tani perlu digalakkan untuk mendukung pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia.
d) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal di Indonesia
Menurunnya gairah petani dalam menanam kedelai mengharuskan
kerjasama berbagai pihak untuk meningkatkan kembali gairah petani untuk
menanam kedelai. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan berbagai sosialisasi
dan promosi kepada petani dan pihak terkait lainnya untuk menanamkan investasi
pada agribisnis kedelai. Sosialisasi yang dilakukan secara rutin oleh seluruh pihak
terkait diharapkan mampu mendukung pengembangan dan peningkatan dayasaing
kedelai lokal di Indonesia.
e) Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal Pembinaan dan pendampingan bagi petani perlu dilakukan agar.
Pembinaan dilakukan oleh Dinas Pertanian setempat dan Petugas Pemandu
Lapang (PPL) kepada para petani. Dalam hal ini Dinas Pertanian dan PPL
membina dan memonitoring kegiatan agribisnis petani. Optimalisasi pembinaan
untuk meningkatkan produktivitas dilakukan agar para petani mampu melakukan
kegiatan agribisnis dengan lebih efisien dan menguntungkan. Hal ini dilakukan
melalui optimalisasi pemanfaatan infrastruktur dan alsintan, skim pembiayaan dan
melakukan pembinaan atau pengawalan kepada petani atau kelompok tani yang
sarana produksinya dicukupi secara swadaya agar usahataninya dapat berlangsung
dengan optimal. Pendampingan dilakukan oleh Dinas pertanian dan PPL untuk
memberikan pengarahan kepada para petani kedelai lokal dalam menerapkan
teknologi bertani kedelai.
101
3) Strategi S-T
a) Pembatasan volume impor kedelai
Saat ini sebagian besar kebutuhan kedelai nasional berasal dari kedelai
impor. Derasnya impor yang masuk membuat petani kedelai lokal semakin
tersudut. Sulitnya kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor karena
berbagai kendala membuat usahatani kedelai lokal dinilai kurang menguntungkan
bagi petani sehingga banyak petani kedelai lokal menjadi tidak bergairah untuk
menanam kedelai. Perlunya membatasi jumlah impor kedelai ke Indonesia
penting dilakukan. Hal ini dilakukan agar petani kedelai lokal kembali termotivasi
untuk menanam kedelai lokal sehingga produksi kedelai nasional bisa semakin
bertambah. Pembatasan kedelai impor ini dilakukan antara lain dengan
memberlakukan tarif impor bagi kedelai luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Dengan diberlakukannya tarif impor diharapkan volume impor yang masuk akan
semakin berkurang karena setiap kedelai impor yang masuk ke dalam negeri
dikenakan biaya impor dimana negara yang mengekspor kedelai ke Indonesia
harus membayar sejumlah tertentu sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam
setiap kedelai yang diekspor ke Indonesia.
Selain itu upaya pembatasan kedelai impor lainnya dilakukan dengan cara
melakukan impor kedelai hanya jika kebutuhan kedelai nasional mengalami
kekurangan. Selama hal tersebut dilakukan maka kedelai lokal sendiri berupaya
untuk terus meningkatkan produksi agar mampu memenuhi kebutuhan kedelai
nasionalnya dengan cara mengembangkan kemitraan dengan industri pengolahan
kedelai. Dalam hal ini petani kedelai lokal memiliki kewajiban untuk
menyediakan pasokan kedelai lokal dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan
permintaan industri mitra. Di lain sisi industri mitra memiliki kewajiban untuk
menjamin pasar kedelai lokal yang dihasilkan serta memberi pinjaman modal bagi
para petani kedelai lokal. Selain dari kedua pihak tersebut dukungan pemerintah
untuk memfasilitasi kegiatan kemitraan tersebut penting dilakukan seperti
dukungan infrastruktur atau menugaskan badan penelitian ataupun perguruan
tinggi yang mampu memberikan masukan teknologi yang dapat menunjang
kegiatan produksi. Kualitas kedelai merupakan salah satu faktor pertimbangan
konsumen dalam memilih kedelai untuk dikonsumsi. Kualitas kedelai impor yang
102
dinilai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia lebih baik dari kedelai lokal
membuat kualitas kedelai lokal harus semakin ditingkatkan. Peningkatan kualitas
kedelai lokal dapat dilakukan dengan penggunaan benih unggul bermutu agar
kedelai yang dihasilkan baik. Kenyataan yang sering terjadi adalah banyaknya
petani yang masih menggunakan benih asalan sehingga kedelai yang dihasilkan
kurang baik. Untuk itu penggunaan benih unggul bermutu perlu diterapkan. Selain
itu penggunaan pupuk dan penerapan teknologi dalam produksi kedelai mampu
meningkatkan mutu kedelai lokal. Dalam hal ini peningkatan kualitas kedelai juga
dilakukan dengan terus dikembangkannya penelitian-penelitian terkait
pengembangan agribisnis kedelai lokal seperti penelitian penemuan varietas
unggul baru ataupun teknologi pendukung agribisnis kedelai lokal.
4) Strategi W-T
a) Pembentukan lembaga stabilitas harga kedelai
Sejak dicabutnya wewenang Bulog sebagai lembaga stabilitas kedelai
nasional, maka tataniaga kedelai berubah menjadi pasar bebas. Kedelai impor
yang harganya sangat fluktuatif semakin mudah masuk dan mendominasi pasar
perkedelaian dalam negeri. Untuk itu dibutuhkanlah sebuah badan penyeimbang
dan pelaksana impor kedelai, sebagai pengontrol harga. Keseimbangan dan
pelaksanaan impor kedelai dapat diarahkan pada KOPTI sebagai lembaga yang
menyalurkan kedelai. Pemberian hak prioritas kepada KOPTI sebagai importir
utama dalam perdagangan kedelai dalam negeri dapat membantu menghilangkan
pengaruh importir swasta yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sendiri
tanpa memperdulikan kepentingan para pelaku industri pengolahan. Importir
swasta dengan bebas menaikkan atau menurunkan harga kedelai sehingga para
pelaku industri yang menggunakan bahan baku kedelai impor merasa dirugikan.
Meskipun KOPTI berperan sebagai importir namun hal ini tidak akan merugikan
pihak industri pengolahan karena KOPTI bertujuan untuk mensejahterakan
anggotanya yaitu adalah para pengusaha tahu dan tempe. Peran KOPTI di dalam
negeri sangat diperlukan agar harga kedelai di dalam negeri lebih stabil karena
KOPTI akan memiliki kekuatan untuk menstabilkan harga kedelai di dalam
negeri. Bagi kedelai lokal sendiri, secara nyata KOPTI juga bisa langsung terjun
ke lapangan untuk membeli kedelai dari petani sehingga ada jaminan pasar dalam
103
bentuk jaminan harga dan jaminan pembelian barang. Hal ini tentunya dapat
meningkatkan gairah petani untuk menanam kedelai lokal dan produksi akan
meningkat karena ada kepastian bagi petani dalam menjalankan usahataninya.
7.2 Rancangan Arsitektur Strategik Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal
7.2.1. Sasaran Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan kedelai lokal
dilakukan dengan membuat kebijakan intensif pengembangan produksi kedelai
dengan mengacu pada Sasaran Strategis Departemen Pertanian 2010-2014, yaitu :
(1) Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan
(2) Ketahanan pangan dan gizi
(3) Peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor
(4) Peningkatan pendapatan petani
Tercapainya swasembada kedelai di Indonesia bukanlah suatu hal yang
mudah dicapai. Untuk itu dibutuhkan berbagai langkah untuk mewujudkan
swasembada kedelai pada tahun 2014.
7.2.2. Tantangan Agribisnis Kedelai Lokal
Berdasarkan atas sasaran yang ingin dicapai oleh agribisnis kedelai lokal
di Indonesia yaitu tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2014. agribisnis
kedelai lokal menghadapi beberapa tantangan diantaranya antara lain:
1) Lahan pengusahaan kedelai lokal yang semakin sempit karena kurangnya
minat petani untuk menanam kedelai lokal.
2) Tingginya volume impor kedelai
3) Kurangnya permodalan petani
4) Produksi kedelai lokal masih rendah
7.2.3. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal
Program-program yang telah disusun untuk meningkatkan dayasaing
agribisnis kedelai lokal di Indonesia merupakan bentuk nyata dari strategi yang
telah dirumuskan berdasarkan hasil analisis SWOT. Program tersebut dapat
dilihat pada Tabel 13.
104
Tabel 13. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Strategi Program Penanggung Jawab
Peningkatan produksi kedelai lokal
• Perluasan areal tanam kedelai lokal baik pada pada lahan bukaan baru atau melalui pengkapuran pada lahan kering
• Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari
• Peningkatan produktivitas
Petani, Balitbang Pertanian, Dinas Pertanian Daerah
Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal
• Sosialisasi penggunaan kedelai lokal untuk industri pengolahan kedelai
Pemerintah, KOPTI, kelompok tani, petani
Penguatan kelembagaan
• Membina kerjasama yang kuat dan integrasi antar lembaga terkait
• Optimalisasi setiap program yang ada di masing-masinglembaga terkait
Deptan, Badan Litbang Pertanian, Dinas Pertanian Daerah, KOPTI, Petani
Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank
• Mengarahkan peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) untuk membantu permodalan petani kedelai lokal
Pemerintah, Stakeholder
Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai
• Perluasan lahan pada balai benih untuk perbanyakan benih kedelai lokal serta pupuk
• Pembentukan kerjasama dengan para penangkar benih
Pemerintah, Balai benih, Swasta
Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia
• Pemberdayaan petani kedelai lokal melalui kelompok tani
Petani
Melakukan Sosialisasi dan promosi Agribisnis kedelai lokal
• Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis kedelai lokal secara rutin kepada masyarakat luas baik melalui kegiatan langsung maupun hasil kegiatan melalui berbagai media
Pemerintah, stakeholder, Perguruan tinggi
Melakukan pembinaan dan pendampingan bagi petani
• Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani mulai dari penggunaan benih, pengolahan hingga pasca panen
Dinas pertanian daerah, PPL
Pembatasan impor
• Pemberlakuan kuota impor • Pengembangan kemitraan dengan pihak
swasta
Pemerintah, Perusahaan pengolahan kedelai
Membentuk Lembaga stabilitas harga kedelai
• Peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga penyalur kedelai dan penjaga stabilitas harga kedelai
Pemerintah
105
7.2.4. Tahapan Arsitektur Strategik
Setelah penulis menyusun strategi pengembangan dan peningkatan
dayasaing agribisnis kedelai lokal dengan menggunakan alat analisis SWOT
maka dibuatlah sebuah rancangan arsitektur strategi agribisnis kedelai lokal di
Indonesia yang direkomendasikan penulis untuk menjawab tantangan yang
dihadapi oleh agribisnis kedelai lokal. Rancangan ini merupakan peta strategi
(blue print) untuk mencapai sasaran agribisnis kedelai lokal yaitu swasembada
kedelai di Indonesia. Strategi yang telah dibuat kemudian melalui berbagai
tahapan hingga didapatkan hasil yang kemudian dipetakan kedalam sebuah
gambar berupa arsitektur strategi.
Berdasarkan program yang dicanangkan oleh pemerintah sasaran
swasembada kedelai akan dicapai pada tahun 2014. Penulis telah menggambar
rancangan arsitektur strategik dengan menggunakan dua sumbu dimana sumbu
vertikal (sumbu x) merupakan rentang waktu yang dipersiapkan agribisnis kedelai
lokal. Sedangkan untuk sumbu horizontal (sumbu y) menggambarkan rentang
kegiatan yang ingin dicapai oleh agribisnis kedelai lokal. Penulis membuat
rancangan arsitektur strategik dengan tidak terpaku pada penentuan rentang
waktu, penulis menggunakan patokan periodisasi dan tidak menggunakan patokan
tahun dimana setelah selesai dilaksanakan program pada periode I, maka tanpa
menunggu patokan waktu yang telah ditentukan program pada periode II dapat
segera dilakukan. Pelaksanaan periode ini didasarkan pada tingkat kepentingan
program yang lebih mendesak untuk dilakukan. Semakin penting program
tersebut maka pelaksanaan programnya akan ditempatkan lebih dulu yaitu pada
periode I hingga periode selanjutnya. Diharapkan dengan dibuatnya rancangan
arsitektur strategik ini maka program swasembada kedelai segera tercapai. Di
dalam rancangan arsitektur strategi ini digambarkan berbagai tantangan yang
dihadapai agribisnis kedelai lokal dan serangkaian strategi yang dibuat untuk
mencapai sasaran agribisnis kedelai lokal yaitu swasembada kedelai. Perubahan
atau transformasi yang akan dilalui untuk mencapai sasaran ditandai dengan anak
panah yang mengarah ke kanan.
106
Untuk mencapai sasaran agribisnis kedelai yaitu swasembada kedelai maka
dibutuhkan beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya:
a) Program yang dilaksanakan secara bertahap dintaranya:
1) Periode I, program yang dilaksanankan meliputi: pemberlakuan kuota
impor, peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga penyalur kedelai dan
penjaga stabilitas harga kedelai
2) Periode II, program yang dilaksanakan meliputi: membentuk kerjasama
dengan lembaga permodalan non bank
3) Periode III,program yang dilaksanakan meliputi: perluasan lahan pada
balai benih untuk perbanyakan benih kedelai lokal serta pupuk,
pembentukan kerjasama dengan para penangkar benih
4) Periode IV, program yang dilaksanakan meliputi: Pengembangan
kemitraan dengan pihak swasta, sosialisasi penggunaan kedelai lokal
untuk industri pengolahan kedelai
b) Program yang dilakukan secara terus-menerus atau rutin diantaranya:
1) Perluasan areal tanam kedelai lokal
2) Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari
3) Peningkatan produktivitas
4) Membina hubungan yang kuat dan saling terintergrasi antar lembaga
terkait
5) Optimalisasi setiap program yang ada di masing-masing lembaga terkait
6) Pemberdayaan petani kedelai melalui kelompok tani
7) Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani mulai dari
penggunaan benih, pengolahan hingga pasca panen
8) Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis kedelai lokal secara rutin
kepada masyarakat luas baik melalui kegiatan langsung maupun hasil
kegiatan melalui berbagai media
107
Sumbu Y (Rentang
Kegiatan)
Sumbu x (Rentang Periode)
Gambar 14: Arsitektur Strategik Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Sasaran : (1)Peningkatan produksi da
swasembada berkelanjutan
(2) Ketahanan pangan dan gizi
(3)Peningkatan nilai tambahdayasaing dan ekspor
(4)Peningkatan pendapatan petani
Kegiatan yang dilakukan terus-menerus: 1. Perluasan areal tanam kedelai lokal 2. Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari 3. Peningkatan produktivitas 4. Membina hubungan yang kuat dan saling terintergrasi antar lembaga terkait 5. Optimalisasi setiap program yang ada di masing-masing lembaga terkait 6. Pemberdayaan petani kedelai melalui kelompok tani 7. Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani mulai dari penggunaan
benih, pengolahan hingga pasca panen 8. Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis kedelai lokal secara rutin kepada
masyarakat luas baik melalui kegiatan langsung maupun hasil kegiatan melalui berbagai media
Tantangan agribisnis kedelai lokal: 1.Lahan pengusahaan kedelai
lokal yang semakin sempit karena kurangnya minat petani untuk menanam kedelai lokal
2.Tingginya volume impor kedelai
3. Kurangnya permodalan petani
4.Produksi kedelai lokal masih rendah
Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank
Peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga penyalur kedelai dan penjaga stabilitas harga kedelai
Pemberlakuan kuota impor
Perluasan lahan pada balai benih untuk perbanyakan benih kedelai lokal pupuk
Pembentukan kerjasama dengan para penangkar benih
Pengembangan kemitraan dengan pihak swasta
II IV III I
Sosialisasi penggunaan kedelai lokal untuk industri pengolahan kedelai
108
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, adapun kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis dayasaing agrbisnis kedelai lokal di Indonesia diperoleh
gambaran kondisi kedelai lokal di Indonesia dari subsistem hulu, on farm,
subsistem hilir dan pemasaran sebagai berikut: 1) Subsistem hulu:
Penggunaan benih unggul bermutu dan pupuk yang sesuai anjuran masih
sangat jarang dilakukan petani karena berbagai alasan seperti kurangnya
modal petani kedelai lokal. 2) Subsistem On farm: Pertanaman kedelai di
Indonesia sebagian besar merupakan milik petani bukan milik swasta besar
atau perkebunan. Luas lahan sempit, umumnya < 1 ha. Usahatani kedelai
secara finansial memiliki keuntungan, namun faktor kebijakan sangat
mempengaruhi keuntungan dalam pengusahaan kedelai. 3) Subsistem hilir:
kegiatan pasca panen kedelai seperti pengeringan dan perontokan masih
dilakukan dengan cara yang sederhana/tradisional. Pengolahan kedelai di
Indonesia sebagian besar dalam bentuk pangan olahan seperti tahu, tempe,
kecap, oncom dan susu kedelai. 2) Pemasaran kedelai: kedelai dipasarkan
melalui berbagai pihak seperti petani, pedagang/ pengumpul, grosir dan
KOPTI. Posisi tawar petani kedelai lokal lemah. Kebutuhan kedelai dalam
negeri sebagian besar dipenuhi dari kedelai impor. Apabila produksi kedelai
nasional tidak dapat mengikuti peningkatan konsumsi maka Indonesia akan
semakin tergantung pada kedelai impor yang akan membahayakan ketahanan
pangan nasional.
2. Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan
bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing,
karena hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung yaitu:
persaingan, struktur dan strategi saling mendukung dengan faktor sumberdaya
dan kondisi faktor sumberdaya saling mendukung dengan Industri terkait dan
industri pendukung, sedangkan komponen utama lainnya saling tidak
mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing agribisnis kedelai lokal
masih lemah. Meskipun komponen utama agribisnis kedelai lokal di Indonesia
109
dayasaingnya lemah, namun dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia
tersebut sangat didukung oleh komponen pendukungnya. Pada komponen
peranan pemerintah ternyata kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah
terhadap agribisnis kedelai lokal di Indonesia telah mendukung seluruh
komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Begitu juga dengan
komponen kesempatan yang memberikan dukungan terhadap seluruh
komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Hal tersebut menunjukan
adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu meningkatkan
posisi dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia apabila seluruh
stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.
3. Alternatif strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT terdiri dari sepuluh
strategi, diantaranya: (1) Peningkatan produksi kedelai lokal, (2)
Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal (3) Penguatan
Kelembagaan (4) Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non
bank (5) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai
(6) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan
agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (7) Melakukan sosialisasi dan promosi
agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (8) Melakukan bimbingan dan
pembinaan petani kedelai lokal di Indonesia, (9) Pembatasan volume impor
(10) Membentuk lembaga stabilitas harga kedelai. Rancangan arsitektur
strategik dibuat berdasarkan perumusan strategi pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia. Program-progam yang dibuat ditujukan untuk
mencapai sasaran dengan menghadapi tantangan yang ada selama program
dilaksanakan.
110
8.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan bagi pengembangan kedelai lokal di Indonesia diantaranya:
1. Dalam melakukan analisis gambaran sistem agribisnis kedelai Indonesia,
penulis belum mampu melakukan analisis secara mendalam pada setiap
subsistem yang dianalisis. Oleh karena itu diharapkan dalam penelitian
selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus yang membahas masing-
masing subsistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia sehingga dapat
diketahui potensi serta permasalahan yang belum mampu peneliti ungkap.
2. Untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia
disarankan untuk meneliti tentang pengaruh kebijakan terhadap produksi
kedelai nasional.
3. Selain itu, bagi para peneliti juga disarankan untuk meneliti tentang peramalan
kedelai di Indonesia pada masa mendatang.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar M. 2008. Kebijakan Pangan, Peran Perum BULOG dan Kesejahteraan Petani. Dalam: Agnes Aulia Dwi. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Adisarwanto DT, Wudianto R. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
Afifa. 2006. Analisis Permintaan Kedelai pada Industri Kecap di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Agus, Mulyani, Hadian. 2005. Potensi Sumberdaya Lahan untuk Tanaman Kedelai, prospek dan Tantangannya. Dalam: Sumarno, Mansuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 16-17.
Amang, B.1996. Ekonomi kedelai di Indonesia. Dalam Handayani D. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Badan Ketahanan Pangan. 2009. Neraca Bahan Makanan Indonesia 2007-2008. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Mutu kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor. http://www.litbang.deptan.go.id
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. 5 Tahun (2005-2009) Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor : Kementrian Pertanian
[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia .2009.http://www. bps.go.id/ tnmn_pgn.php?eng= 0. [diakses 03 Februari 2011]
Cho DS, Moon HC. 2003. Evolusi Teori Daya Saing. Di Dalam: Puspita. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
David FR. 2004. Konsep Manajemen Strategis. Jakarta: PT Indeks.
Deptan.2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Departemen Pertanian. 45p.
Dharmanti R. 2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010. Luas Panen Kedelai Menurut Provinsi (hektar). 2007-2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jendral Tanaman Pangan.
112
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010. Road Map Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementrian Pertanian.
Ditjentan. 2004. Profil Kedelai. Ed ke-1. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jakarta: Kementrian Pertanian.
Ditjentan. 2004. Profil Kedelai. Ed ke-2. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jakarta: Kementrian Pertanian.
Gonzales L A, F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant. 1993. Economic incentives and comparative advantage in Indonesian. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 16-17.
Hanafie R. 2004. Tingkat Konsumsi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian sebagai Pendukung Ketahanan Pangan. Dalam: Makarim AK et al, editor. Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 592-602.
Handayani D. 2007. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harnowo D, Hidajat JR, Suyamto. 2007 Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai. Di Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 383-415
Isnawati, Siti Fajar. 2009. Analisis strategi Bersaing Gula Rafinansi (Studi pada PT. Jawamanis Rafinansi, Cilegon, Banten)[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Marwoto dan Y. Hilman. 2005. Teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian
mendukung ketahanan pangan. Kinerja Balitkabi 2003-2004. Balitkabi. 20 hlm.
Permata. 2002. Analisa Sistem Agribisnis Kedelai (Kasus di Desa Hegarmanah, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). http:// repository. ipb.ac.id/ bitstream/ handle/ 123456789/ 17473/ A02jpp. pdf? sequence=2
Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press
Porter ME. 2006. The Competitive Advantage of Nations. Dalam: Puspita. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Purnamasari R. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2008. Outlook komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian.
113
Puspita Agnes. 2009. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Rachmawati M. 1999. Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerapan Model Armington) [skripsi]. Bogor: Fakultas ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.Puspita,
Rangkuti Freddy. 2005. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis: reoriantasi konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Cetakan kedua belas. PT Gramedia pustaka utama. Jakarta.
Saragih B, 2010. Suara Agribisnis. Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta: PT Permata Wacana Lestari.
Sarwoto, 2004. Dalam Handayani D. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sejati K, Kustiari R, Rivai RS, Zakaria AK, Nurasa T. 2009. Kebijakan Intensif Usahatani Kedelai untuk Mendorong Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Bogor: Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Subandi, Harsono A dan Kuntyastuti H 2007. Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2007. Hlm 104-129.
Sudaryanto T, Swastika DKS. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 1-27.
Sumarno, Mansuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2007. Hlm 74-103.
Supandi, 2008. Menggalang Partisipasi Petani untuk Meningkatkan Produksi KedelaiMenujuSwasembada.http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3273085.pdf [27 November 2010].
Suryana et al. 2005. Prospek dan arah Pengembangan Kedelai. Dalam: Handayani. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Swastika DKS, Nuryanti S, Sawit MH. 2007 Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kedelai. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 28-44.
114
Tangendjaja B, Yusdja Y, Ilham N. 2003. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung untuk Pakan. Dalam: Karsyo et.al (Eds.). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 1-27.
Widowati S. 2007. Teknologi Pengolahan Kedelai. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 491-521.
Yoshida DT, 2006. Arsitektur Strategik: Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. Jakarta: PT Media Elek Komputindo.
U.S. Department of Agriculture (USDA). 2010. World Soybean Production, Consumption, Area, and Yield. Dalam: http : //www. earth-policy. Org / data_center/C24.
Zakaria AK. 2010. Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. http: //pustaka. litbang. deptan. go. id/ publikasi/ p3294104. pdf
115
LAMPIRAN
116
Lampiran 1. Proyeksi Konsumsi Kedelai Tahun 2010-2014
No. Tahun Jumlah PendudukKonsumsi Perkapita (Kg)**)
Jumlah Konsumsi
1 2010 234.181 10,10 2,365 2 2011 236.954 10,10 2,393 3 2012 239.687 10,20 2,445 4 2013 242.376 10,20 2,472 5 2014 245.021 10,20 2,499
Pertumbuhan (%) 1,31 0,24 1,38 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
117
Lampiran 2. Analisa Usahatani Kedelai di Jawa dan Luar Jawa
No Uraian Wilayah Jawa Wilayah Luar Jawa
Volume Satuan Biaya(Rp)
Jumlah Biaya (Rp) Volume Satuan Biaya
(Rp) Jumlah Biaya
(Rp) A. TENAGA KERJA
-Penyiapan lahan 10HOK 20.000 200.000 20.000 200.000 -Penanaman 15HOK 20.000 300.000 15 HOK 20.000 300.000 -Pemupukan 5 HOK 20.000 100.000 5 HOK 20.000 100.000 -Penyiangan 20HOK 20.000 400.000 20 HOK 20.000 400.000 -Penyemprotan 5 HOK 20.000 100.000 5 HOK 20.000 100.000 -Panen 10HOK 20.000 200.000 10 HOK 20.000 200.000 -Pengeringan 10HOK 20.000 200.000 10 HOK 20.000 200.000 -Perontokan 10HOK 20.000 200.000 10 HOK 20.000 200.000 -Penyimpanan 5 HOK 20.000 100.000 5 HOK 20.000 100.000 Jumlah A : 1.800.000 B. SARANAPRODUKSI
-Benih 40 Kg 12.000 480.000 40 Kg 12.000 480.000 -Urea 50 Kg 1.200 60.000 50 Kg 1.200 60.000 -NPK 100 Kg 1.750 175.000 100 Kg 1.750 175.000 -Pestisida 2 ltr 125.000 250.000 2 ltr 125.000 250.000 Jumlah B: 965.000 965.000 C. LAIN-LAIN
PENGELUARAN
- Sewa lahan 2.000.000 1.200.000 Jumlah C 2.000.000 1.200.000 Jumlah A+B+C: 4.765.000 3.965.000 1. Total biaya
produksi 4.765.000 3.965.000
2. Total Produksi 1.600Kg 9.600.000 1.400Kg 3.965.000 3. Harga jual 1.600Kg 6.000 4.835.000 1.400Kg 6.000 8.400.000 4. Pendapatan bersih
(3-1) 4.435.000
5. R/C (3/1) 2,01 2,12
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
118
Lampiran 3. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai
Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2010) [diolah]
Tahun Luas panen Produktivitas Produksi
ha Pertumbuhan (%) (t/ha) Pertumbuhan
(%) (000 t) Pertumbuhan (%)
1995 1.476,284 - 11,37 2,28 1.679,092 - 1996 1.277,736 -13,45 11,86 -1,65 1.515,937 -9,72 1997 1.118,140 -12,49 12,13 0,67 1.356,108 -10,54 1998 1.094,262 -2,16 11,93 2,75 1.304,950 -3.77 1999 1.151,079 5,19 12,01 -0,13 1.382,848 5,97 2000 824,484 -28,37 12,34 1,48 1.017,634 -26,41 2001 678,848 -17,66 12,18 3,16 826,932 -18,74 2002 544,522 19,79 12,36 0,39 673,056 -18,61 2003 526,796 -3,26 12,75 1,64 671,600 -0,27 2004 565,155 7,28 12,80 -0,99 23,483 7,73 2005 621,541 9.98 13,01 0,23 808,353 11,73 2006 580,534 -6,6 12,88 1,7 747,611 -7,51 2007 459,116 -20,91 12,91 2,67 592,534 -20,74 2008 590,956 29,34 13,13 2,28 775,710 30,91 2009 722,791 22,3 13,48 -1,65 974,512 25,56
Rata-rata : 1995-1999 - -4,58 - 0,78 - -3,61 2000-2004 - -2,04 - 1,14 - -11,26 2005-2009 - 6,82 - 1,05 - 7,99
119
Lampiran 4. Perkembangan Produk Olahan Kedelai di Indonesia
No. Propinsi/Kabupaten Jumlah
Perusahaan (buah)
Produk
Tahu (kg)
Tempe (kg)
Keripik Tempe
(kg)
Kecap Manis(ltr)
1 NAD 2 2 Sumut Deli 4 16.650 54.180
Simalungun 10 Kd.Tebing Tinggi 2 Kd. Medan 4 417.857 158.824 12.789.648 Kd. P. Siantar 6 152.410 15.930 3 Jambi 1 4 Sumsel Muara Enim 1 563 Muba 1 45.000 5 Lampung Bdr Lampung 1 480 L. Tengah 22 1.999.725 84.680 6 DKI Jakbar 25 12.430.126 1.199.860 Jaktim 53 39.878.730 5.232.633 Jakpus 106 1.040.700 2.771.486 Jakut Jaksel 92 61.869.007 4.881.980 7 Jabar Bandung 1 Bekasi 2 Bogor 15 1.233.025 1.971.850 Cianjur 1 15.000 Cirebon 4 109.375 270.776 Garut 1 299.000 Karawang 16 13.457.921 587.050 18.360 Majalengka 3 368.250 Purwakerta 4 58.740 29.370 Serang 4 832.667 263.333 374.000 Sumedang 3 787.500 1.950 Tangerang 12 1.110.675 Kd Bandung 68 11.537.424 2.851.752 370.240 Kd Bekasi 23 4.758.400 726.317 43.200 Kd Bogor 2 480.000 Kd Cirebon 3 1.581.720 Kd Sukabumi 4 11.250 1.094.640 Kd Tangerang 10 2.603.123 1.341.109
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
120
No. Propinsi/Kabupaten Jumlah
Perusahaan (buah)
Produk
Tahu (Kg)
Tempe (Kg)
Keripik Tempe (Kg)
Kecap Manis (ltr)
8 Jateng Banjarnegara 11 116.400 41.800 Banyumas 6 64.560 1.043.200 Blora 29 1.449.530 8.618 69.000 215.520 Boyolali 1 900.000 Cilacap 6 201.275 72.000 28.800 Demak 6 53.500 117.400 Jepara 1 17.400 Karanganyar 2 278.000 Kebumen 11 386.000 49.000 36.000 Klaten 7 118.530 50.000 Kudus 15 1.099.800 3.720.624 175.000 118.272 Pati 14 968.960 38.310 7.800 294.884 Purworejo 21 385.500 103.509 75.306 Rembang 3 50.000 216 Semarang 5 445.000 15.000 Sragen 1 7.000 Surakarta 2 120.000 Tegal 2 12.000 40.000 Temanggung 4 800.000 30.000 Wonogiri 8 204.000 21.000 81.000 Kd. Magelang 46 2.286.568 144.000 6.000 147.708 Kd. Surakarta 4 322.500 322.500 67.920 Kd. Tegal 1 94.000 9 DIY Kd Yogya 9 38.200.000 Bantul 3 126.000 72.000.000 G. Kidul 1 6.250.000 Kulon Progo 1 Sleman 2
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
121
No Propinsi/Kabupaten Jumlah
Perusahaan (buah)
Produk
Tahu (Kg) Tempe (Kg)
Keripik Tempe (Kg)
Kecap Manis (ltr)
10 Jatim Madiun 1.050.000 Malang 10 781.152 180.150 151.200 Pasuruan 4 1.023.659 312.000 Probolinggo 9 5.881.527 115.200 166.140 Kd Surabaya 5 6.803.000 50.000.000 Banyuwangi 2 64.980 157.500 Blitar 7 90.988 Bojonegoro 15 16.432 12.156 27.000 Gresik 1 50.000 Jember 8 43.325.600 90.540 Jombang 32 239.560 565.408 48.000 Kediri 1 11.642 Lamongan 1 3.300 Lumajang 11 605.060 131.000 Magetan 30 938.100 1.505.280 Nganjuk 1 Ngawi 14 181.445 108 1.080.000 Pacitan 18 1.952.300 180.000 Ponorogo 5 711.893 27.360 546 Sammpang 1 4.380 Sidoarjo 32 4.143.412 565.149 1.350 168.000 Situbondo 1 23.000 Sumenep 1 10.505 Trenggalek 1 23.625 Tuban 4 87.225 119.340 Tulungagung 1 Kd Blitar 10 920.000 36.500 Kd Kediri 6 390.950 11 NTB Kd Mataram 8 205.335 14.950 1.250 36.800 Sumbawa 29 800.867 318.833 Dompu 6 145.000 2.500 Bima 1 20.000 12 NTT Ende 1 10.400 5.200
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
122
Lampiran 5. Kualitas Tempe dari Varietas Unggul Kedelai Nasional dan Kedelai Impor
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008)
Uraian Burangrang Bromo Kedelai Impor Bobot 100 biji (g) 16,2 15,8 16,0 Kadar protein biji (% bk) 39,2 37,8 35,0
Kadar protein tempe • Bobot basah (%) • Bobot kering (%)
26,7 75,2
24,3 65,2
22,1 60,2
Rendemen (%) 152,5 148,4 138,4 Warna, aroma dan rasa tempe menurut responden
disukai disukai disukai
123
Lampiran 6. Varietas Unggul Kedelai yang memiliki Potensi Produksi > 2 ton/ha
NAMA VARIETAS POTENSI HASIL (TON/HA)
UMUR (HARI)
1 Kipas Merah Bireun 3,50 85-90 2 Detam 1 3,45 84 3 Grobogan 3,40 76 4 Kaba 3,25 85 5 Sinabung 3,25 88 6 Anjasmoro 3,20 83-93 7 Argopuro 3,05 84 8 Argomulyo 3,10 80-82 9 Baluran 3,00 80 10 Detam 2 2,96 82 11 Gepak Kuning 2,86 73 12 Tanggamus 2,90 88 13 Burangrang 2,70 80-82 14 Merubetiri 2,50 95 15 Panderman 2,37 85 16 Malika 2,34 85-90 17 Ijen 2,30 83 18 Gepak Ijo 2,21 76 19 Mahameru 2,16 84-95
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
124
Lampiran 7. Perbandingan Produktivitas Kedelai Tahun 2007 dan Tahun 2008 (setelah pelaksanaan SL-PTT)
No Provinsi Produktivitas (ku/ha)
Tahun 2007 NON SL-PTT*)
SL-PTT Tahun 2008**)
Peningkatan Absolut Persen
1 N Aceh D. 12,90 13,70 0,80 6,20 2 Sumut 11,60 13,14 1,54 13,27 3 Jambi 12,67 12,84 0,17 1,34 4 Sumsel 14,44 16,49 2,05 14,19 5 Lampung 11,29 12,30 1,01 8,94 6 Jabar 14,03 14,94 0,91 6,48 7 Jateng 14,65 17,61 2,96 20,20 8 D.I. Yogya 10,75 15,60 4,85 45,11 9 Jatim 12,63 16,04 3,41 26,99
10 Banten 12,84 12,96 0,12 0.93 11 NTB 12,02 12,90 0,88 7,32 12 Sulsel 15,77 16,19 0,42 2,66 Rata-rata 12,97 14,56 1,59 12,26
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)