Manajemen Perioperative Pasien Emergency

39
Manajemen Perioperative Pasien Emergency BAB I PENDAHULUAN Ilmu kedokteran dalam bidang kegawatduraratan telah berkembang pesat seiring perkembangan teknologi dalam dunia kedokteran. Konsep kata “emergency” sendiri sangat sejalan dengan esensi waktu. Dalam menangani kasus gawat darurat, seorang dokter diharapkan untuk dapat menguasai manajemen waktu yang baik serta penguasaan teknik prosedur “live saving” yang baik. Tidak hanya mampu menghindari komplikasi yang mungkin ada, namun juga mampu melakukan prosuder pertolongan dengan cepat dan tepat.1 Hal ini termasuk dalam situasi “emergency” yang membutuhkan tindakan bedah. Bedah darurat atau “emergency operation” merupakan situasi yang pasti hampir selalu dijumpai di setiap daerah, dimana terkadang sangat sulit untuk menemukan bantuan tenaga kesehatan secara cepat. Sebagai dokter yang kelak bertugas di masyarakat, perlu diketahui dengan baik “Manajemen Perioperative pada Pasien Emergency”. Kata perioperatif sendiri adalah suatu istilah gabungan yang mencakup 3 fase pengalaman pembedahan, yakni pra-operative, intra-operative,dan post- operative.1,2 Pengelolaan yang baik selama bedah darurat akan dapat berjalan sukses jika seorang dokter siap untuk kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur atas tindakan pertolongan gawat darurat. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter pada kasus emergency adalah: (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra operasi yang lengkap, (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, (3) lambung sering berisi cairan dan makanan, (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, (5) menderita cedera ganda, (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas, (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, dan (8) komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat

Transcript of Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Page 1: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Manajemen Perioperative Pasien EmergencyBAB I

PENDAHULUAN

Ilmu kedokteran dalam bidang kegawatduraratan telah berkembang pesat seiring perkembangan teknologi dalam dunia kedokteran. Konsep kata “emergency” sendiri sangat sejalan dengan esensi waktu. Dalam menangani kasus gawat darurat, seorang dokter diharapkan untuk dapat menguasai manajemen waktu yang baik serta penguasaan teknik prosedur “live saving” yang baik. Tidak hanya mampu menghindari komplikasi yang mungkin ada, namun juga mampu melakukan prosuder pertolongan dengan cepat dan tepat.1

Hal ini termasuk dalam situasi “emergency” yang membutuhkan tindakan bedah. Bedah darurat atau “emergency operation” merupakan situasi yang pasti hampir selalu dijumpai di setiap daerah, dimana terkadang sangat sulit untuk menemukan bantuan tenaga kesehatan secara cepat. Sebagai dokter yang kelak bertugas di masyarakat, perlu diketahui dengan baik “Manajemen Perioperative pada Pasien Emergency”. Kata perioperatif sendiri adalah suatu istilah gabungan yang mencakup 3 fase pengalaman pembedahan, yakni pra-operative, intra-operative,dan post-operative.1,2

Pengelolaan yang baik selama bedah darurat akan dapat berjalan sukses jika seorang dokter siap untuk kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur atas tindakan pertolongan gawat darurat. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter pada kasus emergency adalah: (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra operasi yang lengkap, (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, (3) lambung sering berisi cairan dan makanan, (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, (5) menderita cedera ganda, (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas, (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, dan (8) komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif.1,2

Operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorik, serta persiapan operasinya sehingga teknik Anestesi dapat direncakan dalam keadaan tidak terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah dapat direncanakan. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini.1,3

Penundaan resusitasi dan persiapannya lebih sering menguntungkan, walaupun demikian penundaan hanya diperbolehkan untuk memperbaiki keadaan penderita. Seperti contoh, jika terjadi perdarahan masif yang kontinu seperti pada ruptur lien, ketika tranfusi tidak dapat berlomba dengan kehilangan darah, dan bahkan jika tekanan darah meningkat maka kehilangan darah dapat meningkat lebih lanjut sehingga lebih baik menghentikan perdarahan organ pembedahan dan setelah itu baru tranfusikan darah.1

Page 2: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Oleh karena itu, penilaian diagnostik, persiapan pra bedah serta perencaaan perawatan pasca bedah sangat penting untuk dilakukan. Pembedahan itu sendiri hanyalah suatu tahap dalam kelangsungan perawatan yang dimulai ketika ahli bedah dan si penderita mula-mula bertemu dan terus berlangsung dalam jagka waktu sesudah jahitan terakhir selesai.1,3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Page 3: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

2.1 DefinisiManajemen perioperatif adalah suatu pelaksanaan pembedahan yang meliputi tiga fase pembedahan yakni pra-operatif (sebelum operasi), intra-operatif (selama operasi), dan post-operatif (sesudah operasi).1

Keadaan bedah “Emergency” atau bedah darurat adalah suatu keadaan trauma atau kesakitan yang bersifat akut dan memiliki potensi membahayakan nyawa seseorang, dimana tindakan yang paling tepat untuk mengatasi hal itu adalah dengan pembedahan.2,4

2.2 Penilaian dan Persiapan Sebelum PembedahanA. Penilaian Pra BedahTujuan utama dari penilaian sebelum pembedahan adalah untuk mengenali persoalan yang menyangkut resiko pembedahan. Sebagai tambahan, perawatan di rumah sakit memberi kesempatan untuk mengenali persoalan-persoalan lain mengenai kesehatan yang perlu diperhatikan, kalau-kalau menimbulkan akibat yang tak dikehendaki pada pembedahan darurat ini.2,3

Tindakan bedah sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan keseriusan dan urgensinya. Berdasarkan tingkat keseriusannya, pembedahan terbagi menjadi dua yakni bedah mayor dan bedah minor. Sementara berdasarkan urgensinya, pembedahan terbagi menjadi 3 jenis, yakni bedah elektif, bedah urgent, dan bedah emergency.1,4

Pemeriksaan awal untuk pasien trauma dapat dilakukan di tempat kejadian, di ruang gawat darurat, atau lebih jarang, di kamar operasi. Perawatan distandarisasi berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS), yang dikembangkan oleh American Collage of Surgeon, yang protocol pertamanya berlaku tahun 1980. Idealnya, evaluasi trauma meliputi evaluasi yang terkoordinasi dengan baik oleh dokter jaga dan atau dokter bedah, perawat khusus dan radiografer dengan kapabilitas yang sesuai. Dokter bedah saraf dan bedah ortopedi harus siap kapanpun diperlukan. Tujuan utama seorang anestesiologis adalah untuk mempertahankan fungsi sistem saraf, memelihara pertukaran gas respirasi yang adekuat dan homeostasis sirkulasi.1,3

Berdasarkan protocol ATLS, eveluasi awal harus meliputi tiga komponen: penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder .• Penilaian cepat: fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau kritis.• Survey primer: evaluasi yang lebih detail dalam hal fungsi fisiologis yang penting untuk kehidupan, yang meliputi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Jika terdapt ganguan dari ketiga fungsi ini maka tindakan penanganan harus dilkukan segera. Penilaian disabilitas yang difokuskan pada pemeriksaan neurologis juga dilakukan pada fase ini.• Survey sekunder: evaluasi yang detail dan sistemik dari setiap regio anatomi. Disposisi ditentukan. Informasi dari pasien atau dari orang-orang di sekitar pasien didapatkan untuk memperoleh data tentang penyakit lain yang dialaminya.2,5

1) Riwayat

Page 4: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Suatu catatan yang lengkap mengenai latar belakang kesehatan haruslah dapat diperoleh, termasuk penyakit yang sedang diderita. Namun, dalam tindakan pembedahan darurat hal ini kurang dapat dipenuhi. Mengingat waktu yang dihadapi sangat sempit, seorang dokter diharapkan mampu menganalisa dengan cepat informasi tentang penyakit yang pernah diderita pasien dan juga keterangan mengenai kemungkinan pendarahan, pengobatan yang diberikan, dan alergi yang diderita.2,4

2) Pemeriksaan FisikPemeriksaan secara menyeluruh sebisa mungkin dilakukan. Sistem jantung dan pernfasan harus mendapat perhatian yang seksama. Jangan sampai mengabaikan denyut nadi perifer, pemeriksaan rectal, dan pelvis (kecuali kalau terhalang oleh usia, status perkawinan seseorang atau alasan lainnya.2,5

3) Tes LaboratoriumSampai dewasa ini, praktek standar pada pembedahan mengharuskan agar beberapa tes laboratorium (hitung jumlah darah lengkap, analisa air kemih, serologi, analisa darah), elektroardiogram, dan penyinaran sinar-X pada dada dilakukan pada semua penderita dewasa sebelum pembedahan dilakukan. Walauapun ada beberapa rumah sakit yang masih mempertahankan syarat-syarat semacam ini, penelitian menunjukkan bahwa pada penderita dewasa, biaya dan resiko lebih besar daripada manfaat dari sebagian besar penelitian rutin seperti di atas. Sekarang, pada pembedahan darurat, disarankan hanya dilakukan pemilihan tes-tes yang baik tergantung tindakan operasinya.2,6

4) Penyinaran dengan Sinar XPenyinaran sinar X pada dada atau pada bagian tubuh lain, dilakukan jika dari anamnesa atau gambaran klinis pasien terdapat tanda-tanda mencurigakan.1

5) Pemeriksaan LainElektrokardiogram (EKG) tidak dibutuhkan secara rutin pada orang muda yang harus menjalani prosedur pembedahan yang tidak berat. Namun, pada operasi emergency, monitoring EKG bersama dengan pengukuran tekanan darah sangat diperlukan untuk menilai status hemodinamik secara keseluruhan.1,4

Klasifikasi ASABerdasarkan status fisis pasien, American Society of Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas:1) Pasien normal dan sehat fisis dan mental2) Pasien dengan penyakit sistemi ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional3) Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi

Page 5: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

4)Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi5) Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi6) Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambilE Bila operasi yang dilakuak darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E (misalnya 1E atau 2E).1,4

B. Persiapan1) Meminimalkan Resiko PembedahanPersoalan-persoalan yang dapat timbul selama pembedahan darurat sebisa mungkin diminimalisir. Keadaan-keadaan seperti syok, hipovolemia, anemia, ketidakseimbangan elektrolit, fungsi ginjal yang tidak sempurna, dan hipertermia harus dirawat (atau pembedahan, seurgensi apapun harus ditangguhkan), dalam keadaan darurat, pentingnya pembedahan dengan sesegera mungkin menuntut agar penanganan yang sempurna tak usah dilakukan.2,4

2) Tanda persetujuan Secara TertulisSeurgensi apapun suatu pembedahan, menuntut adanya tanda persetujuan atas tindakan yang diberikan oleh si keluarga atau pasien yang bersangkutan. Sifat dari pembedahan dan resikonya harus dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Dalam keadaan darurat, dimana si penderita biasanya tidak sadar dan keluarganya tidak hadir maa pembedahan itu dapat dilakukan tanpa persetujuan. Ahli bedah haruslah mengetahui dan mengikuti syarat-syarat resmi setempat.3,4

3) Catatan Sebelum PembedahanAhli bedah harus meninggalkan suatu catatan pada status penderita dengan menuliskan latar belakang, penemuan-penemuan, dan indikasi untuk operasi itu. Pernyataan-pernyataan itu harus mencakup bukti yag diperoleh.2,5

4) Persiapan Sebelum Pembedahana) Persiapan kulit. Daerah yang akan dilakukan operasi sebaiknya diicukur sesaat sebelum pembedahan.b) Diet. Pada pasien yang akan direncanakan operasi elective, sebaiknya dipuasakan beberapa jam sebelum operasi dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul selama pembedahan. Idealnya, pasien tidak boleh makan makanan padat selama 12 jam dan tidak boleh minum cairn selama 8 jam sebelum pembedahan. Namun, pada keadaan darurat hal ini dapat tidak dilakukan.c) Cairan intravena. Pertimbangan yang masak harus dilakukan bilamana ingin memberikan cairan intravena sebelum pembedahan. Pada kasus pembedahan darurat, dapat dipertimbangkan cairan khusus yang sifatnya menguatkan, seperti pada kasus perdarahan, dapat diberikan cairan koloid.

Page 6: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

d) Pengurangan isi perut.e) Pemberian obat-obatan. Pramedikasi anestesi pada pembedahan darurat tidak jauh berbeda dengan pembedahan elektif. Namun, obat-obat ”Emergency” harus segera disiapkan untuk menanggulangi resiko yang sering terjadi. Antibiotika sedapat mungkin diberikan sebelum pembedahan, sebagai profilaksis untuk melawan peradangan.f) Tes Laboratorium. Darah harus diambil untuk diperiksa sebelum pembedahan dilakukan, seperti kadar glukosa darah, kalium serum, dan nilai hematokrit.g) Transfusi darah. Darah harus dicocokkan (cross-match) dengan penderita bilamana diperkirakan akan dilakukan transfusi. Komponen darah (semisal trombosit) juga harus disiapkan terlebih dahulu bilamana diperlukan.h) Kandung kemih. Bilamana akan dilakulan pembedahan, kandung kemih sebaiknya dikosongkan terlebih dahulu. Pada penderita yang akan dilakukan pembedahan darurat, dapat digunakan kateter Foley, terutama pada pembedahan yang lama, pembedahan yang mengakibatkan hilangnya banyak darah, dan sebagainya.i) Pernafasan. Penderita dengan penyakit paru harus dilakukan pemeriksaan spirometri untuk menilai keadaan fungsi paru sebelum pembedahan. Namun, pada keadaan darurat, cukup dengan memastikan jalan nafas bebas atau tidak.j) Tabung nasogastrik. Jika terdapat gangguan gastrointestinal, perut yang penuh, atau beberapa alasan istimewa lain dapat dipasang tabung nasogastrik sesudah pembiusan bilamana tabung itu dibutuhkan.k) Kateter vena dan arteri. Suatu infus vena dipasang sesaat sebelum pembedahan jika diperkirakan akan terjadi kehilangan darah yang banyak atau bilamana kompensasi jantung menguatirkan. Dapat dipertimbangkan pemasangan infus subklavia di bawah kulit untuk mendeteksi pneumotoraks. Kateter arteri dapat dipertimbangkan pada penderita dengan sakit berat, atau mereka yang menjalani pembedahan luas.2,4

2.3 Resiko PembedahanPenyakit-penyakit non-bedah yang mempengaruhi resiko pembedahan sebaiknya diketahui secara jelas oleh seorang dokter.3A. UmurPenderita yang sangat muda atau lanjut usia mempunyai resiko komplikasi atau kematian yang lebih besar dalam operasi karena mereka mempunyai batas keselamatan yang sempit; kesalahan kecil yang mungkin dapat ditoleransi dengan baik oleh orang muda dengan cepat menimbulkan aibat yang membahayakan pada anak-anak atau penderita lanjut usia kadang-kadang dengan akibat yang mematikan.1,51) Anak-anak• Anak-anak dapat menjadi sangat hipovoemik sebagai akibat kehilangan darah atau cairan yang ringan.• Kekurangan vitamin K pada neonatus diduga dapat menimbulkan pendarahan oleh karena hipoprotrombinemia. Berikasn 1 dosis saja vitamin K, 2 mg IM yang larut dalam air.

Page 7: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

• Demam dapat menyebabkan kejang atau kolaps kardiovaskuler; suhu harus diturunkan sebelum pembedahan dengan melap dengan air dan alkohol atau dengan memakai kompresan es. Pembedahan elektif harus ditangguhkan bilamana anak menderita demam.22) Lanjut Usia• Resiko pembedahan harus dipertimbangkan atas dasar fisiologis daripada usia kronologis. Jangan membatalkan operasi hanya karena penderita lanjut usia. Bahaya dari rata-rata operasi besar pada penderita di atas usia 60 meningkat sedikit saja, dengan syarat bahwa tak ada penyait kardiovaskuler, ginjal atau penyakit sistemik lainnya.3• Anggaplah bahwa setiap penderita di atas 60, walaupun tak ada gejala dan tanda fisik, potensial menderita aterioskelrosis dan mempunyai potensi miokardial dan ginjal yang terbatas. Sehubungan dengan itu, penilaian sebelum pembedahan harus bersifat komprehensif.1,3• Kanker yang tersembunyi sering terjadi pada kelompok usia ini, periksalah keluhan pada gastrointestinal dan keluhan lainnya, walaupun keluhan ringan.• Penderita lanjut usia cenderung mengalami payah jantung bilamana sirkulasinya mengandung cairan yang berlebihan. Coba memonitor intake, output, berat badan, tanda vital, dan elektrolisa serum dengan teliti.• Orang lanjut usia biasanya membutuhkan dosis nerkotika, sedatif, anestesi yang lebih kecil daripada penderita yang lebih muda. Depresi pernafasan dapat timbul oleh narkotika; barbiturat sering kali menyebabkan kekacauan status mental.3

B. ObesitasPenderita pembedahan yang gemuk mempunyai kecenderungan lebih besar dari orang normal terjangkit penyakit sampingan yang berat dan mempunyai kemungkinan luka sesudah operasi lebih besar. Kegemukan juga meningkatkan kesukaran teknis dalam pembedahan dan pembiusan. Kadang-kadang disarankan untuk menangguhkan pembedahan elektif hingga berat badan penderita turun sesuai dengan ukuran yang berlaku.3,5

C. Keadaan Umum PasienSeorang penderita mungkin dapat menjadi ”tuan rumah yang membahayakan atau berubah” bila kemampuannya untuk memberikan tanggapannormal terhadap infeksi atau trauma yang diturunkan secara signifikan oeh suatu penyakit atau sebab lainnya. Jelas bahwa, pengetahuan dan evaluasi khusus sebelum pembedahan dilakukan pada penderita ini penting sekali. Meningkatnya keadaan yang mudah dipengaruhi oleh radang dan penyembuhan luka yang terlambat merupakan persoalan sesudah pembedahan yang utama.6Meningkatnya keadaan yang mudah dipengaruhi oeh radang dapat timbul dari:1) Obat-obatan, seperti kortikosteroid, suatu obat imunosupresif, obat sitotoksik, dan terapi antibiotik yang lama. Infeksi pada penderita ini dapat disebabkan oleh bakteti biasa, tetapi kadang-kadang oleh jamur dan organisme lainnya yang bersifat patogenik.2) Kekurangan gizi3) Payah ginjal

Page 8: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

4) Granuositopenia dan penyakit yang menyebabkan orang menjadi kurang kebal (misalnya limfoma, leukemia, dan hipogamaglobulinemia).5) Diabetes yang tidak diawasi.5

D. Alergi dan KepekaanSuatu riwayat tentang reaksi dari dalam atau sakit sesudah disuntik, pemberian per oral atau penggunaan lain dari zat berikut ini harus dipertimbangkan sehingga penggunaan zat ini dapat dihindari.1) Penisilin atau antibiotika lainnya, termasuk sulfonamida.2) Narkotika3) Aspirin atau obat analgetik lain4) Prikain atau obat anastesi lain5) Barbiturat6) Antitoksin tetanus atau serum lainnya7) Yodium atau antiseptik lainnya8) Obat-obatan lain9) Makanan (misalnya coklat, susu, telur)10) Pita rekat2,3

E. Obat yang Sedang DikonsumsiObat-obatan yang sedang diminum oleh penderita harus dipertimbangkan kelanjutannya, penghentiannya atau penyesuaian dosisnya. Obat seperti digitalis, insulin, dan kortison biasanya harus terus diberikan dan dosisnya diatur dengan teliti selama periode pembedahan dan sesudahnya. Antikoagulan merupakan suatu contoh dari obat yang harus diawasi dengan ketat atau dihentikan sebelum pembedahan.2Ahli bius berhubungan dengan penggunaan depresan SSP (seperti barbiturat, candu, alkohol) untuk jangka panjang waktu yang lama sebelum pembedahan, yang mungkin diasosiakan dengan toleransi yang makin besar akan obat anestesi dan dengan obat penenang (misalnya obat yang mengandung fenotiasin seperti klorpromasin) dan obat antihipertensi (misalnya obat yang mengandung rauwolfia seperti reserpin) yang dpat diasosiakan dengan hipotensi sebagai akibat dari pembiusan.2,42.4 Penyakit Non Bedah yang Mempengaruhi Resiko PembedahanA. Penyakit JantungKondisi jantung yang paling sering dihubungkan dengan resiko pembedahan yang meningkat antara lain: payah jantung atau cadangan miokardial yang terbatas, penyakit jantung koroner dengan riwayat pernah mengalami infark miokard atau angina pektoris, aritmia berat; hipertensi yang disertai dengan penyakit nadi koroner, payah jantung, insufisiensi ginjal; penyakit katup jantung dan penyakit jantung.11) Evaluasi pra-bedahEvaluasi secara singkat riwayat dari penyakit jantung dan kenali juga gejala yang paling serig, seperti dispnea, kelelahan, rasa nyeri di dada, dan palpitasi. Tanda-tanda lain meliputi

Page 9: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

pembesaran jantung, bising jantung, hipertensi, aritmia, dan bukti-bukti payah jantung seperti peregangan vena, leher edema, ronki, pembesaran hati dan asites. Oleh karena itu, diperlukan juga beberapa pemeriksaan khusus, seperti pemeriksaan EKG, foto radiologi thoraks, pemeriksaan vena sentral, kateterisasi jantung, tes latihan toleransi, dan sebagainya.2) Persiapan pra-bedahPenderita penyakit jantung harus mencapai status jantung yang sebaik mungkin sebelum pembedahan. Pada keadaan payah jantung, sedapatnya ditangani dahulu sebelum pembedahan. Keadaan-keadaan seperti dispnea jika berjalan di atas tanah datar, ortopnea atau nokturna dispnea, irama Gallop, tekanan vena yang makin besar, dan ronki maka nyatalah bahwa resiko pembedahan makin besar dan pembedahan itu harus ditangguhan bilamana memungkinkan.2Pada penderita dengan penyakit pembuluh darah koroner, perlu dinilai tanda bahaya yang penting, yang akan memperberat resiko pembedahan. Antara lain, sifat angina yang makin berat, nyeri waktu istirahat, dan kemungkinan terjadinya angina pra-infark atau infark miokard yang sebenarnya. Bilamana harus dilakukan pembedahan darurat, walaupun baru terjadi infark miokard, angka kematian adalah 30-50%.2,4Pada penderita dengan aritmia, dianjurkan untuk diawasi denyut prematur atrium atau ventrikel. Penderita harus diamati, menjelang tindakan pembedahan, disarankan agar memasang kateter elektroda transvena ke dalam ventrikel kanan dan menyediakan alat pacu jantung kalau-kalau terjadi penghentian ventrikel.2,4Pada keadaan hipertensi, terutama tanpa komplikasi dan EKG yang abnormal, dapat mentoleransi pembedahan bilamana masih belum ada tanda-tanda penyakit jantung koroner atau payah jantung dan bila fungsi ginjalnya normal. Resiko pembedahan dieperkecil dengan mengontrol tekanan darah berkisar 140-160/85-95. kontrol ini mungkin mengharuskan dilanjutkannya pemakaian obat-obatan antihipertensi selama periode pembedahan. Bilamana tiazid telah digunakan, harus diperhatikan agar kadar kalium dalam tubuh normal.1,2

Tabel 2.1 Medikasi pada Pasien dengan Penyakit JantungDrug Day Before Surgery Day of Surgery During Surgery After ProcedureBeta-blockers Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water IV bolus or infusion (usually not required) Continue IV dose until medication can be taken POCalcium channel blockers Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water IV bolus or infusion (usually not required) Continue IV dose until medication can be taken POACE inhibitors Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water IV formulations (usually not required) Continue IV dose until medication can be taken PODiuretics Stop day before IV beta-blockers/IV calcium channel blockers Restart when patient on oral liquidsPotassium supplements Stop day before; consider checking potassium level Restart when patient on oral liquidsCentral-acting sympatholytics Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water Transdermal clonidine/IV methyldopa Restart when patient on orals liquids

Page 10: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Peripheral sympatholytics Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water Any IV formulation (usually not required) Restart when patient on oral liquidsAlpha-blockers Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water Any IV formulation (usually not required) Restart when patient on oral liquidsVasodilators Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water IV formulation (usually not required) Continue IV dose until medication can betaken POSumber: www.emedicine.medscape.com

3) PrognosisGeneralisasi mengenai prognosis ketahanan penderita jantung daam suatu pembedahan sukar dilakukan. Banyak penderita jantung menunjukkan suatu angka kematian rata-rata hanya sebesar 3% sesudah operasi perut dan toraks yang berat. Beberapa keadaan jantung tertentu diasosiasikan dengan suatu resiko pembedahan yang nyata lebih besar. Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering ditemukan dalam praktek. Pada umumnya kematian karena pembedahan untuk prosedur yang utama itu dilipatduakan oleh gangguan pada aliran darah atau angina ringan. Selanjutnya resiko itu diperbesar dengan adanya aritmia yang parah atau pernah mengalami infark miokard dalam jangka waktu 6 bulan.2,4

B. Penyakit ParuSebagian besar keadaan pernafasan yang memberi resiko yang nyata bersifat kronis dan meliputi beberapa tingkatan obstruksi saluran pernafasan, bronkitis kronik, emfisema dan asma merupakan gangguan yang sering dijumpai dewasa ini.21) Evaluasi pra-bedahPenilaian awal didasarkam pada keterangan yang diperoleh dari laproran, pemeriksaan fisik dan tes jasmani yang dijalankan. Bilamana timbul keraguan atau bilamana ada gangguan pernafasan, evaluasi pemeriksaan tes laboratorium spesifik harus dilakukan. Dapat juga dilakukan tes fungsi paru. Untuk menanggulangi keadaan- keadaan yang memicu faktor resiko bedah dapat digunakan antibiotik profilaksis, penggunaan bronkodilator, koreksi keadaan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan menghentikan kebiasaan merokok.2C. Penyakit GinjalHal-hal yang menyebabkan terjdinya payah ginjal kronis adalah sebagai berikut, yakni penyakit glomerular primer (seperti glomerulonefritis), penyakit renovaskular, penyakit metabolik yang menyerang ginjal seperti diabetes dan amiloidosis, nefritis interstisial termasuk penyakit nefrotoksik, pielonefritis kronis nonobstruktif, penyakit ginjal polikistik, dan nefritis herediter.2Perkembangan penyakit ginjal kronis sendiri dapat dibagi menjadi 3 tahap yakni daya cadangan ginjal yang berkurang, payah ginjal, dan uremia. Gejala dari daya cadangan ginjal yang berkurang antara lain bersihan kreatin lebih besar dari 30 cc/menit, urea nitrogen darah (BUN) meningkat, dan gejala lain, seperti nokturia.3,4Pada keadaan payah ginjal, bersihan kreatin kurang dari 30 cc/menit dan BUN meningkat secara menyolok (azotemia). Sejumlah gejala seperti kelelahan, nafsu makan dan pruritus mungkin

Page 11: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

terjadi. Anemia, asidosis, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan hiponatremia dapat timbul. Hiperkalsemia yang nyata tidak ada kecuali jika intake kalium berlebihan.3,6Uremia merupakan fase terminal dari payah ginjal dan timbul bila bersihan kreatin kurang dari 10 cc/menit, BUN biasanya diatas 100 mg/ml. Gejalanya dapat sangat berbeda seperti disfungsi SSP, penyakit pada sistem perifer, hipertensi, perikarditis atau efusi perikardial, gejala-gejala intestinal, gangguan hematologis, metabolik endokrin, dan gejala pada sistem muskuloskeletal.2Persiapan pra bedah pada penyakit ginjal dapat dimulai dengan evaluasi fungsi ginjal dan dengan memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit, serta keadaan-keadaan lain seperti anemia, diabetes, hipertensi. Sedapat mungkin obat-obatan nefrotoksik dihindari dan pemeriksaan dengan sinar X hanya dilakukan jika dibutuhkan saja.5

D. Gangguan HemostasisPasien yang pernah mengalami kelainan hemostatik seperti gangguan pembekuan, gangguan trombosit harus dipantau secara ketat. Tanda pertama kelainan hemstatik adalah pendarahan berlebihan pada saat pembedahan, keadaan ini sering terjadi pada pembedahan darurat.3Keadaan ini dapat dikoreksi dengan penggunaan antikoagulan dan penggunaan obat-obat maintencance anestesi untuk sementara waktu.5

E. Gangguan Endokrin10% penderita diabetes adalah insulinopenik dan cenderung mengalami ketoasidosis dengan gula darah yang tinggi (100 mg/100 ml), dan paling sering pada anak-anak dan remaja. Pengobatan insulin yang biasa diberikan adalah pagi hari menjelang pembedahan. Pada keadaan darurat, keadaan ini cukup dikontrol dengan diet, obat oral, dan insulin sesaat sebelum pembedahan.3Pada pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid, harus dipertimbangkan terdapat kekurangan adrenalin meskipun kasus yang pernah mendapat glukokortikoid dosis kecil untuk masa singkat. Pasien yang sedang dalam pengobatan glukokortikoid sebaiknya terapi diteruskan sampai pembedahan diakukan, dengan maksud sebagai terapi profilaktik. Untuk pembedahan darurat harud dipakai natrium liotironin (Cytomel).5,6

Tabel 2.2 Medikasi pada Pasien dengan Gangguan EndokrinDrug Day Before Surgery Day of Surgery During Surgery After ProcedureOral hypoglycemics Usual dose Omit dose Insulin (SC or IV) Insulin until patient is no longer NPOInsulin Usual dose Omit dose Insulin (SC or IV) Usual doseThyroxine Usual dose Usual dose on morning of surgery with sip of water Restart the dose when patient is no longer NPOSumber: www.emedicine.medscape.com

G. Kehamilan

Page 12: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000.3Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum di lakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-7%.3Penderita yang datang ke rumah sakit untuk bersalin dan mungkin memerlukan pertolongan obstetri operatif dapat dibagi :a. Kelompok dengan keadaan umum masih baik1) Pra-bedah lakukanlah evaluasi terakhir status obstetrik penderita dan janin2) Lakukanlah pemeriksaan penunjang diagnosis yang diperlukan sesuai dengan keadaan penderita dan jenis operasi yang akan dilakukan :- Pemeriksaan laboratorium : urin, darah dan sebagainya- Pemeriksaan rontgenologik bila ada indikasi- Pemeriksaan ultrasonografik bila ada indikasi3) Konsultasi dengan disiplin atau dokter ahli lain terutama dengan dokter ahli anak bila memang diperlukan.2

b. Kelompok dengan keadaan umum kurang baikLakukan seperti pada kelompok di atas disamping itu diperlukan perawatan khusus sesuai dengan keadaan kasus-kasus yang dijumpai.1) Partus terlantar (partus lama atau partus kasep)Semua penderita dengan partus terlantar diberikan perawatan pendahuluan sebagai berikut :- Berikan infus cairan larutan garam fisiologis atau larutan glukosa 5-10% dalam jam pertama sebanyak 1 leter perjam.- Injeksi intramuskuler kortison asetat : 200 mg- Injeksi prokain penisilin intramuskuller sebanyak 1 sampai 1,2 juta satuan- Injeksi instrumuskuler streptomisin 1 gr- Istirahat selama 1 jam sambil melakukan observasi keadaan kemajuan.2) Kasus-kasus perdarahan :- Pemeriksaan homoglobin, golongan darah, cros-match dan penyediaan darah, komponen darah dan lain-lain.- Pemberian infus cairan dan transfusi darah3) Pre-eklamsi berat dan eklamsi :Memerlukan perawatan khusus3

2.5 Penatalaksanaan Intra-OperatifPerawat intra operatif bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan (well being) pasien. Untuk itu perawat intra operatif perlu mengadakan koordinasi petugas ruang operasi dan

Page 13: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

pelaksanaan perawat scrub dan pengaturan aktivitas selama pembedahan. Peran lain perawat di ruang operasi adalah sebagai RNFA (Registered Nurse First Assitant). Peran sebagai RNFA ini sudah berlangsung dengan baik di negara-negara amerika utara dan eropa. Namun demikian praktiknya di indonesia masih belum sepenuhnya tepat. Peran perawat sebagai RNFA diantaranya meliputi penanganan jaringan, memberikan pemajanan pada daerah operasi, penggunaan instrumen, jahitan bedah dan pemberian hemostatis.5,6Pemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).4,5

Prinsip-Prinsip Umuma. Prinsip asepsis ruanganAntisepsis dan asepsis adalah suatu usaha untuk agar dicapainya keadaan yang memungkinkan terdapatnya kuman-kuman pathogen dapat dikurangi atau ditiadakan, baik secara kimiawi, tindakan mekanis atau tindakan fisik. Termasuk dalam cakupan tindakan antisepsis adalah selain alat-alat bedah, seluruh sarana kamar operasi, semua implantat, alat-alat yang dipakai personel operasi (sandal, celana, baju, masker, topi dan lain-lainnya) dan juga cara membersihkan/melakukan desinfeksi dari kulit/tangan.3b. Prinsip asepsis personelTeknik persiapan personel sebelum operasi meliputi 3 tahap, yaitu : Scrubbing (cuci tangan steril), Gowning (teknik peggunaan gaun operasi), dan Gloving (teknik pemakaian sarung tangan steril). Semua anggota tim operasi harus memahami konsep tersebut diatas untuk dapat memberikan penatalaksanaan operasi secara asepsis dan antisepsis sehingga menghilangkan atau meminimalkan angka kuman. Hal ini diperlukan untuk meghindarkan bahaya infeksi yang muncul akibat kontaminasi selama prosedur pembedahan (infeksi nosokomial).3Disamping sebagai cara pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik-teknik tersebut juga digunakan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya yang didapatkan akibat prosedur tindakan. Bahaya yang dapat muncul diantranya penularan berbagai penyakit yang ditularkan melalui cairan tubuh pasien (darah, cairan peritoneum, dll) seperti HIV/AIDS, Hepatitis dll.3c. Prinsip asepsis pasienPasien yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Maksudnya adalah dengan melakukan berbagai macam prosedur yang digunakan untuk membuat medan operasi steril. Prosedur-prosedur itu antara lain adalah kebersihan pasien, desinfeksi lapangan operasi dan tindakan drapping.3d. Prinsip asepsis instrumentInstrumen bedah yang digunakan untuk pembedahan pasien harus benar-benar berada dalam keadaan steril. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan sterilisasi alat,

Page 14: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan dengan menggunakan teknik tanpa singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan dengan benda-benda non steril.3

Safety ManagementTindakan ini merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien selama prosedur pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan keamanan diantaranya adalah :1. Pengaturan posisi pasienPengaturan posisi pasien bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada klien dan memudahkan pembedahan. Perawat perioperatif mengerti bahwa berbagai posisi operasi berkaitan dengan perubahan-perubahan fisiologis yang timbul bila pasien ditempatkan pada posisi tertentu. Faktor penting yang harus diperhatikan ketika mengatur posisi di ruang operasi adalah:a. Daerah operasib. Usiac. Berat badan pasiend. Tipe anastesie. Nyeri : normalnya nyeri dialami oleh pasien yang mengalami gangguan pergerakan, seperti artritis.4,5

Posisi yang diberikan tidak boleh mengganggu sirkulasi, respirasi, tidak melakukan penekanan yang berlebihan pada kulit dan tidak menutupi daerah atau medan operasi. Hal-hal yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi:a. Kesejajaran fungsionalMaksudnya adalah memberikan posisi yang tepat selama operasi. Operasi yang berbeda akan membutuhkan posisi yang berbeda pula. Contoh :• Supine (dorsal recumbent) : hernia, laparotomy, laparotomy eksplorasi, appendiktomi, mastectomy atau pun reseksi usus.• Pronasi : operasi pada daerah punggung dan spinal. Misal : Lamninectomy• Trendelenburg : dengan menempatkan bagian usus diatas abdomen, sering digunakan untuk operasi pada daerah abdomen bawah atau pelvis.• Lithotomy : posisi ini mengekspose area perineal dan rectal dan biasanya digunakan untuk operasi vagina. Dilatasi dan kuretase dan pembedahan rectal seperti : Hemmoiroidektomy• Lateral : digunakan untuk operasi ginjal, dada dan pinggul.

b. Pemajanan area pembedahanPemajanan daerah bedah maksudnya adalah daerah mana yang akan dilakukan tindakan pembedahan. Dengan pengetahuan tentang hal ini perawat dapat mempersiapkan daerah operasi dengan teknik drapping

c. Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi

Page 15: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Posisi pasien di meja operasi selama prosedur pembedahan harus dipertahankan sedemikian rupa. Hal ini selain untuk mempermudah proses pembedahan juga sebagai bentuk jaminan keselamatan pasien dengan memberikan posisi fisiologis dan mencegah terjadinya injury.2. Memasang alat grounding ke pasien3. Memberikan dukungan fisik dan psikologis pada klien untuk menenagkan pasien selama operasi sehingga pasien kooperatif.4. Memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan telah siap seperti : cairan infus, oksigen, jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat.4,5

Teknik AnestesiBila memungkinkan, pilih regional anestesi dengan blok rendah dengan continous epidural dengan lidocaine 1% (hanya analgesia) sehingga otot pernapasan tidak terganggu. Jika diperlukan anestesi umum maka diberikan premedikasi dengan antihistamin seperti prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. Yang penting hindari laringoskopi dan intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan bronkospasme. Ketamin cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindarilah intubasi. Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan otot.3,6Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Vecuronium mungkin diberikan sebagai relaksan otot yang baik karena tidak melepaskan histamin. Eter dan hallotan merupakan broncodilator yang baik, tetapi eter mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin(0,5 mg subkutan) bisa diberikan dengan aman (tapi hal ini berbahaya bila diberikan bersamaan dengan hallotan atau trikloretilen, karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin). Sebagai alternatif pengganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara pelan-pelan untuk dewasa ; obat ini cocok dengan semua obat inhalasi. Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, lakukan ekstubasi dalam posisi miring dan dengan anestesi dalam, karena stimulasi laring dapat mengakibatkan bronkospasme.6

Monitoring FisiologisPemantauan fisiologis yang dilakukan meliputi :1. Melakukan balance cairanPenghitungan balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan dengan cara menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang keluar (cek pada kantong kateter urine) kemudian melakukan koreksi terhadap imbalance cairan yang terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan infus.2. Memantau kondisi cardiopulmonalPemantaun kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara kontinu untuk melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak. Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi pernafasan, nadi dan tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dll.

Page 16: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

3. Pemantauan terhadap perubahan vital signPemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan kondisi klien masih dalam batas normal. Jika terjadi gangguan harus dilakukan intervensi secepatnya.4,5

Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan bila pasien sadar)Dukungan psikologis yang dilakukan antara lain :1. Memberikan dukungan emosional pada pasien2. Berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur induksi3. Mengkaji status emosional klien4. Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan (jika ada perubahan).6

2.6 Resusitasi Cairan EmergencyKomposisi cairan ekstraselluler pada tubuh seperti lautan yang didalamnya terdapat kehidupan beribu tahun yang lalu. Mekanisme homeostatik terjadi untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler dalam waktu singkat. Respon ginjal terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, otak, dan hormon serta aksis pituitary posterior-vasopresin-renal untuk mempertahankan tonisitas dan natrium cairan ekstraselluler dan membantu mempertahankan tekanan darah. Setelah adanya gangguan seperti perdarahan, trauma tumpul, luka baker, infeksi, puasa, dan dehidrasi; melalui proses yang sama timbul respon secara langsung untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler.Cedera atau pasien dengan penyakit akut, terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan bersamaan dengan respon homeostasis.2,3

Homeostasis cairan dan natrium setelah cederaRespons stress setelah gangguan seperti pembedahan , trauma, perdarahan, luka baker, dan cardiopulmonary arrest menyebabkan penyimpanan natrium dan cairan serta vasokonstriksi selektif untuk mempertahankan suplai darah ke otak, jantung, dan paru.3,4Intake natrium orang dewasa bervariasi tergantung diet, tetapi biasanya berkisar 100 sampai 220 mmol/24 jam, yang disertai 1,5 -2,5 liter air. Walaupun kisaran intake air dan garam lebar, tetapi ginjal mempertahankan konsentrasi natrium cairan ekstraselluler dalam kisaran yang sempit melalui vasopresin, renin-angiotensin-aldosteron system, otak, serta atrial natriuretik peptide.3Sementara itu, pasien setelah trauma major biasanya diberikan cairan dan natrium dalam jumlah lebih. Kehilangan darah dan inflamasi menginduksi kebocoran kapiler sistemik, yang cenderung membuat pasien hipovolemik. Ditambah lagi penggunaan anastesi untuk pembedahan dapat mengurangi resistensi vascular sistemik yang juga akan cenderung membuat pasien hipovolemik. Efek ini membuat kita memberikan darah dan cairan intravena, air dan garam dalam cairan yang beberapa kali dari intake normal sehari-hari.5Input cairan selama 24 jam pada pasien yang menjalani resusitasi untuk trauma major digambarkan pada tabel 1. Pasien tersebut akan mengalami respons stress berupa peningkatan sekresi vasopresin, renin, angiotensin II, aldosteron, dan penurunan pelepasan natriuretik peptide. Jadi, penambahan cairan dan natrium yang telah diberikan untuk mengisi kompartemen

Page 17: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

vaskular yang hilang dan mengganti kehilangan darah akibat trauma dan kehilangan selama operasi, tubuh pasien akan menahan air dan natrium secara intensif. Pada 24 jam pertama output urine berkisar 1000 ml dan ekskresi natrium sekitar 50 mmol. Jika kehilangan darah 5000 ml dan insensible losses 800 ml, pada akhir 24 jam pertama pasien berada dalam balans cairan positif sekitar 8800 ml dan balans natrium positif sekitar 1500 mmol.4Pada orang sehat sekalipun, konsentrasi urine yang dapat dicapai berkisar 1000 mmol/l, dan pada pasien kritis biasanya hanya setengah dari nilai ini. Jika input cairan bebas tidak cukup, akan mengakibatkan hipernatremia maupun uremia dan usaha untuk mobilisasi edema terganggu dengan keadaan hiperosmolar merangsang pelepasan vasopressin dan menambah retensi cairan.Penanganan edema yang logis pada keadaan ini adalah peningkatan volume urine denganmeningkatkan input air dan memberikan diuretic jika penting untk mencegah efek vasopressin. Jika hal ini gagal makahemofiltrasi mungkin dibutuhkan.3Biasa juga terjadi hiponatremia pada pasien akut yang telah mendapatkan cairan intravena. Keadadaan ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai indikasi untuk memberikan natrium lebih, walaupun penyebab hiponatremi karena defesiensi natrium. Biasanya pasien seperti itu mempunyai kandungan natrium total tubuh tinggi, khususnya jika pasien memiliki balans cairan positif. Konsentrasi natrium dan kalium merupakan indikator sangat jelek pada status tubuhnya.2Ada beberapa penjelasan yang mungkin untuk hiponatremia dengan natrium tubuh total berlebihan, dimana terjadi akumulasi cairan pada ruang interstisiel disebabkan oleh translokasi albumin dan cairan melalui kapiler yang bocor, dan retensi cairan disebabkan oleh stress berhubungan dengan pelepasan vasopressin. Natrium juga hilang dari ruang ekstraselluler masuk ke dalam sel.3Teori “sick cell syndrome” yang menjelaskan hiponatremia kronik, menjelaskan bahwa pergerakan natrium kedalam sel terjadi karena hilangnya solute intraselluler dan tidak ada edema selluler. Namun, peneliatian pada hewan membuktikan bahwa cedera akut dan inflamasi menyebabkan sekuestrasi natrium, klorida,dan air serta mungkin menyebabkan edema selluler.2,3

Systemic Capillary Leak and Systemic Imflammatory Response SyndromeMikrosirkulasi setelah cedera disertai dengan edema interstisial oleh karena peningkatan permeabilitas sistemik dan dalam keadaan hebat edema sel dapat menghambat aliran darah kapiler. Kebocoran kapiler sistemik merupakan ciri respon inflamasi sebagai tanda cedera, infeksi, atau iskemik, dan gangguan perfusi. Hal ini terjadi dalam beberapa menit dari cedera sesuai dengan kehebatan gangguan dan pada kasus tanpa komplikasi berlangsung dalam beberapa jam. Klinis sindrom kebocoran kapiler ditandai oleh pergerakan air dan protein lebiiiiih banyak dari ruang vaskuler ke interstisiel karena hipoalbuminemia, meningkatnya kepekatan darah, hipovolemia dan akumulasi edema cairan interstisial.2,3Apapun penyebab overload cairan dan edema, sekali proses berlangsung, akan terjadi siklus berikutnya.

Page 18: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

• Peningkatan preload mengurangi cardiac output edema• Edema pulmoner hipoksia jaringan kegagalan mikrovaskular edema jaringan mikrovaskular/sellular• Edema Interstitial mengurangi aliran darah kapiler hipoksia jaringan memperberat edema• Edema Interstitial mengurangi drainase lymphatic memperberat edema• Edema Interstitial menyebabkan tingginya tekanan intrakapsular: rendah GFR, oliguria, selanjutnya retensi natrium dan air memperberat edema.2

Metabolik• Kelebihan natrium bersaing dengan urea untuk ekskresi dalam ginjal : uremia, hypernatremia, hiperosmolaritas, retensi cairan memperberat edema• Kelebihan klorida menyebabkan asidosis hiperkloremik : memperberatmemperburuk asidosis post trauma, vasokonstriksi renal edema.6

Efek Loading natrium dan kloridaPenambahan volume cairan intravena harus isotonic dengan plasma. Hal ini dicapai dengan pemberian natrium dalam cairan dengan jumlah 130-150 mmol/l, dengan klorida sebagai anion utama. Oleh karena resusitasi cairan sangat penting, maka penambahan natrium, klorida, dan air pada akhirnya harus diekskresikan jika pasien telah pulih. Pemberian cairan intravena berlebih pada pasien yang aktif menahan air dan natrium dapat menyebabkan overload, Lebih 50 tahun yang lalu, Wilkinson menggambarkan ketidakmampuan pasien pembedahan untuk mengekskresikan kelebihan garam dan air sampai pulih. Moore menggambarkan “Fase retensi urine” dan fase diuresis natrium “ pada cedera dan mengamati kemampuan ekskresi natrium klorida dan air pada pemulihan. Setelah bedah major atau trauma, terdapat resiko edema pada paru, ginjal, dan saluran cerna dan bahaya ini ditambah dengan pemberian cairan, natrium, dan klorida berlebih dengan gegabah. Membatasi input natrium dan penggunaan diuretik merupakan penanganan utama baik pada penyakit jantung kongestif dan penyakit liver untuk megurangi edema dan asites.3,4Retensi air dan natrium yang hebat menyebabkan edema interstisial, fungsi paru jelek, ARDS, dan kegagalan organ multiple. Sebagai dasar pandangan sekarang ini bahwa pasien dengan balans positif lebih dari 67 ml/kg dala waktu 36 jam pertama post operatif, sangat beresiko edema pulmoner. Hal ini menimbulkan pertanyaan “ Untuk apa pemberian cairan dan natrium berlebih pada penanganan pasien akut yang tak dapat dihindari yang akhirnya dapat menyebabkan edema interstisiel, disfungsi organ, dan keadaan yang jelek.3,4Hiperkloremia menyebabkan vasokonstriksi ginjal, yang merupakan mekanisme lain yang meyebabkan retensi cairan setelah loading saline. Garam mengandung larutan koloid yang mempengaruhi keadaan asam basa. Waters dan kawan-kawan membandingkan pemberian intravena 15 ml/kg hydroxyethyl starch 6% (mengandung 150 mmol/l klorida) dan albumin (mengandung klorida 98 mmol/l). Hanya kelompok yang menerima starch menunjukkan asidosis metabolik, yang mengandung klorida lebih tinggi dari kandungan pada albumin manusia.2,3

Page 19: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Kandungan natrium dan air pada intravenous feeding pre operatif pada pasien malnutrisi menunjukkan adanya perubahan. Lobo dan kawan-kawan melakukan penelitian retrospektiv pada 44 pasien dengan pemberian nutrisi dimana 21pasien sedang mengalami edema. Bantuan nutrisi pada kelompok edema diberikan makanan dengan natrium dan volume yang rendah. Kelompok pasien edema berat badan turun kira-kira 10 kg karena mobilisasi natrium dan air disertai dengan peningkatan konsentrasi albumin serum yang menyebabkan perubahan berat badan. Gil dan kawan-kawan mengacak 41 pasien dengan kanker gastrointestinal dan malnutrisi hebat dengan pemberian resimen parenteral isokalori dan isonitronenik preoperative. Resimen standard mengandung 140 mmol/hari natrium dan resimen modiifikasi tanpa natrium dan kuran air. Penambahan berat badan, balans cairan positif, dan balans natrium positif ditemukan pada kelompok dengan resimen modifikasi, dan balans cairan dan balans natrium negatif pada kelompok dengan resimen modifikasi.4,5Terjadi penurunan komplikasi post operatif dan lama tinggal dirumah sakit pada pasien yang diberikan resimen modifikasi. Starker dan kawan-kawan memonitor efek rata-rata satu minggu pemberian nutrisi parenteral total sebelum operasi abdominal pada pasien yang kehilangan nutrisi. Pasien ini difollow up untuk melihat komplikasi post operatif. 16 % pasien berespon terhadap TPN dengan mobilisasi edema dan peningkatan serum albumin dan hanya 1 yang mengalami komplikasi postoperatif. Kegagalan mobilisasi edema pada nutrisi parenteral menghasilkan prognosis jelek.2,3

Larutan hipertonikWalaupun efek merusak loading natrium dan klorida, peningkatan tonisitas plasma pada periode awal post trauma telah diakui berpengaruh terhadap fungsi organ dan menjadi subjek penelitian 20 tahun belakangan ini. Penelitian secara klinis stelah trauma kepal menyarankan pada awalnya diterapi denga larutan hipertonik dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan tekaan perfusi otak, dan memperbaiki hasil terapi, dibandingkan dengan resusitasi isotonis.Namun, pasien dengan trauma kepala yang juga terjadi hipovolemik, larutan hipertonik hanya berguna pada awal terapi dan tidak boleh sebagai terapi tunggal.2,3

Efek berbagai koloidSejak pertengahan abad lalu, larutan albuumin manusia merupakan utama untuk menambah volume, dan telah dicari alternatif buatan karena albumin manusia sangat mahal daripada koloid sintetik atau larutan kristaloid. Apalagi resiko infeksi saat ini ddari produk darah menambah permintaan koloid sintetik. Larutan yang ideal volume ekspander yaitu yang tetap tinggal di ruang vaskuler, tidak mempengaruhi homeostatik, inert (tidak terurai), dan diekskresikan total. Hal ini dikembangkan berbagai macam koloid termasuk gelatin dengan berat molekul rendah dengan berat rata-rata 30 kDa, dextran dengan berat molekul rata-rata antara 40 sampai 150 kDa, dan jenis Hydroxyethiyl starch (HES) yang disediakan dengan berat molekul rata-rata 70 kDa sampai 450 kDa. Larutan HES dengan berat molekul tinggi yang dikenal hetastarhes, tetap tertahan di sirkulasi selama beberapa jam dan cenderung mempengaruhi koagulasi, tetapi tetapi sediaan HES sekarang sedikit menimbulkan masalah dengan berat molekul rata-rata sekitar 100

Page 20: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

kDa sampai 200 kDa dan dengan berat rendah mempercepat degradasi dan ekskresinya. Secara umum tanpa memandang perbedaan harga dan anekdot penggunaan koloid lebih berdasarkan keadaan klinis daripada efesiensi. Namun, penelitian tentang efek penggunaan koloid yang berbeda terhadap respon inflamasi dan fungsi organ tetap diamati dan memerlukan penelitian dengan studi klinis komparatif prospektif.2,4Bukti klinis dan studi in vitro yang membandingkan HES dengan albumin, gelatin, dan ekspansi volume hanya dengan koloid, menunjukkan bahwa HES mengurangi inflamasi yang menginduksi kebocoran kapiler terhadap air dan albumin yang kemungkinan memodulasi pelepasan sitokin dan interaksi leukosit dengan endothel vaskular.3,5HES mempunyai keuntungan klinis yang berbeda dibanding dengan cairan lain, dimana keadaan biofisik HES yang tidak sederhana tertahan lebih baik pada kebocoran vaskuler. Bolt dan kawan-kawan mengacak 30 pasien trama dan 30 pasien sepsis yang menerima 10 % HES (berat molekul rata-rata 200 kDa) atau 29 % albumin manusia yang diinfus selama 5 hari untuk mempertahankan tekanan kapiler pulmoner antara 12 mmHg dan 18 mmHg. Tekanan vena sentral dan tekanan kapiler pulmoner dibandingkan dalam kedua kelompok (trauma/sepsis) selama penelitian. Baik pada pasien trauma maupun paien sepsis, kardiak indeks, konsumsi oksigen, dan distribusi aksigen, meningkat dengan pengguanaan HES. Fraksi ejeksi ventrikel kanan berkurang (<40%) pada pasien dengan pemakaian albumin dan meningkat pada kelompok yang memakai HES. pHi intramukosa gastrik, sebagai marker keadaan perfusi splanikus, tetap normal (>7,35) baik pada penanganan dengan albumin dan HES pada kelompok trauma dan penggunaan HES pada pasien sepsis. Pemberian albumin pada pasien sepsis, pHi turun dibawah 7,20 selama penelitian yang menunjukkan menurunnya perfusi splanikus. Terapi cairan albumin dalam waktu yang lama pada pasien trauma dan pasien sepsis tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan HES. Penggantian volume dengan HES memperbaiki hemodinamik sistemik pada kedua kelompok, dan memperbaiki perfusi splanikus pada pasien sepsis.5,6Selama bedah mayor resusitasi volume dengan HES dapat memperbaiki aliran darah mikrovaskuler dan oksigenasi dibandingkan dengan hanya dengan pemakaian resimen kristaloid.2,3Konsentrasi atrial natriuretik peptida meningkat hanya pada pasien dengan terapi albumin, sementara konsentrasi 6-keto-prostaglandin F1 menurun bermakna hanya pada pasien sepsis dengan pemberian HES. Hasil ini menunjukkan bahwa HES lebih efektif sebagai volume ekspander daripada albumin, khususnya pada pasien sepsis.2,3

ResusitasiPembatasan input natrium, klorida, dan cairan dengan pemberian dalam jumlah sedikit HES berat molekul sedang sebagai resimen resusitasi. Ekspansi volume dengan HES mengurangi loading cairan dan natrium dibandingkan dengan gelatin, 4,5% albumin, atau hanya dengan kristaloid. Rekomendasi ini sesuai dengan guidelines ATLS dimana 2 liter larutan Hartmann yang dihangatkan diberikan pada resusitasi cairan segera, tetapi dari semua cairan yang diberikan 1/3nya dari cairan infus dengan HES berat molekul sedang. Penggunaan larutan hipertonik pada trauma kepala mungkin memberi keuntungan, tetapi tidak digunakan sebagai terapi tunggal.

Page 21: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Penggunaan larutan hipertonik sejak dini penanganan hipovolemik tetap menguntungkan, dan efek modulasi immun tergantung waktu pemberian setelah cedera.3

Setelah Resusitasi• Mencapai balans cairan dan natrium negatif, ketika stabilitas hemodinamik telah baik dan respon inflamasi telah hilang, terjadi mobilisasi cairan dan natrium dari loading cairan resusitasi. Hal ini khas terjadi pada 2 sampai 5 hari post trauma atau kasus operasi tanpa komplikasi.• Mengawasi balans cairan dan natrium setiap 24 jam. Dengan memperhitungkan 800 ml insensible losses perhari dan peningkatan 200 ml setiap 1 o C diatas 37°C ( terutama pasien luka bakar)• Memberikan maintenans air untuk urine untuk mengganti insensible losses, seluruhnya atau kombinasi dengan dextrose 5 % intravena.• Monitor volume urine, natrium, kalium, dan ekskresi urea tiap hari sampai terapi intravena tidak dibutuhkan. Jika osmolalitas urine meningkat diatas 500 mosm/l, natrium urine turun dibawah 50 mmol/24 jam disertai peningkatan konsentrasi natrium dan urea serum menunjukkan peningkatan input cairan bebas.• Jika balans negatif natrium dan air sulit dicapai, dipertimbangkan menggunakan diuretik.Mengingat konsentrasi natrium dan kalium serum tidak menggambarkan keadaan total tubuh, sangat penting membandingkan input cairan dengan ekskresi elektrolit dan urea.2

Tanda Overload Cairan pada Korban TraumaBalans cairan positif yang memanjangVolume darah normal pada laki-laki dewasa sekitar 5 liter, dimana volume plasma sekitar 2,8 liter. Setelah koreksi perkiraan kehilanghan darah dan insensible losse, 24 jam pasien post resusitasi memperlihatkan adanya balans positif cairan sekitar 4 sampai 6 liter cairan. Hal ini disebabkan oleh trauma yag menginduksi permeabilitas kapiler sistemik yang mengakibatkan pergerakan cairan dari vaskular ke ruang interstisial. Cairan yang berlebih ini harus dikeluarkan pada hari ke 2 sampai 5 setelah respon inflamasi telah hilang dan fungsi mikrovaskular kembali normal. Balans cairan positif yang meningkat dan memanjang menunjukkan overload cairan memburuk: ini karena mungkin iatrogenik dan dapat dihindari atau disebabkan oleh kebocoran kapiler yang terus-menerus pada SIRS disertai dengan menurunnya resistensi vaskuler sistemik.4,6

Tekanan pulmonerKeadaan seperti timbulnya tamponade jantung, kegagalan ventrikel kiri, stenosis katup mitral atau perikarditis, tekanan pulmonal tinggi menunjukkan overload cairan(NB koreksi sebaiknya dilakukan dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure).2,3

Stroke volume jantungEfek pemberian 200 ml hydroxethyl starch bolus pada stroke volume jantung yang diukur dengan Doppler esofageal dapat digunakan untuk meningkatkan pre-loaddan pada operasi jantng

Page 22: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

dan orthopedi menunjukkan perbaikan. Kegagalan ekspansi cairan vaskuler meningkatkan stroke volume menunjukkan ekspansi yang berlebihan dan harus dibatasi penambahan kompartemen vaskuler.3

Peningkatan berat badanAdanya bed pengukuran berat badan dengan alat monitor yang dapat dibaca, berat badan dapat digunakan untuk menaksir balans cairan. Hal ini terutama pada pasien luka bakar dengan insensible losses yang tidak dapat diukur.3

KesimpulanCedera menyebabkan respon langsung patofisiologis untuk mempertahankan suplai darah ke organ penting, namun hal ini disertai dengan retensi natrium dan air. Respon terhadap cedera dan infeksi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sistemik terhadap protein dan cairan, dimana hal ini diluar kendali awal timbulnya SIRS dan menyebabkan overload air dan garam saerta edema interstisial. Walaupun loading natrium, klorida, dan air merupakan penanganan yang tidak dapat dihindari pada keadaan akut, namun efek yang merusak dari garam dan air yang berlebih setelah pemberian dapat dibatasi.3Strateginya termasuk memberikan HES dengan berat molekul sedang yang dikombinasikan dengan larutan Hartmann untuk resusitasi, penilaian penggantian volume yang adequat dengan memonitor hemodinamik dan klinis pasien dan menghindari infus cairan yang mengandung garam. Target post resusitasi adalah tidak terdapatnya kelebihan garam dan air dalam ruang interstisial segera setelah respon inflamasi hilang dan kebocoran kapiler kembali normal dan hemodinamik stabil. Selama recovery, perlu diperhatikan persediaan cairan bebas dalam mempertahankan output urine yang cukup untuk ekskresi natrium yang berlebih saat resusitasi dan juga peningkatan ekskresi nitrogen karena trauma, bedah mayor, atau sepsis.4,52.7 Penatalaksanaan Post OperatifPemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).4,5

2.8 Komplikasi Post OperatifKomplikasi selama operasi bisa muncul sewaktu-waktu selama tindakan pembedahan. Komplikasi yang paling sering muncul adalah hipotensi, hipotermi dan hipertermi malignan.3,4HipotensiHipotensi yeng terjadi selama pembedahan, biasanya dilakukan dengan pemberian obat-obatan tertentu (hipotensi di induksi). Hipotensi ini memang diinginkan untuk menurunkan tekanan darah pasien dengan tujuan untuk menurunkan jumlah perdarahan pada bagian yang dioperasi, sehingga menungkinkan operasi lebih cepat dilakukan dengan jumlah perdarahan yang sedikit.

Page 23: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

Hipotensi yang disengaja ini biasanya dilakukan melalui inhalasi atu suntikan medikasi yang mempengaruhi sistem saraf simpatis dan otot polos perifer. Agen anastetik inhalasi yang biasa digunakan adalah halotan.4,5Oleh karena adanya hipotensi diinduksi ini, maka perlu kewaspadaan perawat untuk selalu memantau kondisi fisiologis pasien, terutama fungsi kardiovaskulernya agar hipotensi yang tidak diinginkan tidak muncul, dan bila muncul hipotensi yang sifatnya malhipotensi bisa segera ditangani dengan penanganan yang adekuat.3,4

HipotermiHipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 0C (normotermi : 36,6- 37,50C). Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami pasien sebagai akibat suhu rendah di kamar operasi (25 – 26,6 0C), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas dingin, kavitas atau luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang digunakan (vasodilator, anastetik umum, dan lain-lain).Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari hipotermi yang tidak diinginkan adalah atur suhu ruangan kamar operasi pada suhu ideal (25-26,6 oC) jangan lebih rendah dari suhu tersebut, caiaran intravena dan irigasi dibuat pada suhu 37 oC, gaun operasi pasien dan selimut yang basah harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang kering. Penggunaann topi operasi juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotermi. Penatalaksanaan pencegahan hipotermi ini dilakukan tidak hanya pada saat periode intra operatif saja, namun juga sampai saat pasca operatif.3,4

Hipertermi MalignanHipertermi malignan sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi. Angka mortalitasnya sangat tinggi lebih dari 50%. Sehingga diperlukan penatalaksanaan yang adekuat. Hipertermi malignan terjadi akibat gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik. Selama anastesi, agen anastesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan otot (suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.3,4Ketika diinduksi agen anastetik, kalsium di dalam kantong sarkoplasma akan dilepaskan ke membran luar yang akan menyebabkan terjadinya kontraksi. Secara normal, tubuh akan melakukan mekanisme pemompaan untuk mengembalikan kalsium ke dalam kantong sarkoplasma. Sehingga otot-otot akan kembali relaksasi. Namun pada orang dengan hipertermi malignan, mekanisme ini tidak terjadi sehingga otot akan terus berkontraksi dan tubuh akan mengalami hipermetabolisme. Akibatnya akan terjadi hipertermi malignan dan kerusakan sistem saraf pusat.3,5Untuk menghindari mortalitas, maka segera diberikan oksigen 100%, natrium dantrolen, natrium bikarbonat dan agen relaksan otot. lakukan juga monitoring terhadap kondisi pasien meliputi tanda-tanda vital, EKG, elektrolit dan analisa gas darah.2,3

Page 24: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

BAB IIIKESIMPULAN

Bedah darurat atau “emergency operation” merupakan situasi yang pasti hampir selalu dijumpai di setiap daerah, dimana terkadang sangat sulit untuk menemukan bantuan tenaga kesehatan secara cepat. Sebagai dokter yang kelak bertugas di masyarakat, perlu diketahui dengan baik “Manajemen Perioperative pada Pasien Emergency”. Kata perioperatif sendiri adalah suatu istilah gabungan yang mencakup 3 fase pengalaman pembedahan, yakni pra-operative, intra-operative,dan post-operative.Keadaan bedah “Emergency” atau bedah darurat adalah suatu keadaan trauma atau kesakitan yang bersifat akut dan memiliki potensi membahayakan nyawa seseorang, dimana tindakan yang paling tepat untuk mengatasi hal itu adalah dengan pembedahan.Pengelolaan yang baik selama bedah darurat akan dapat berjalan sukses jika seorang dokter siap untuk kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur atas tindakan pertolongan gawat darurat. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter pada kasus emergency adalah: (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra operasi yang lengkap, (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, (3) lambung sering berisi cairan dan makanan, (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, (5) menderita cedera ganda, (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas, (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, dan (8) komplikasi yang ada kadang-

Page 25: Manajemen Perioperative Pasien Emergency

kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif.Oleh karena itu, penilaian diagnostik, persiapan pra bedah serta perencaaan perawatan pasca bedah sangat penting untuk dilakukan. Pembedahan itu sendiri hanyalah suatu tahap dalam kelangsungan perawatan yang dimulai ketika ahli bedah dan si penderita mula-mula bertemu dan terus berlangsung dalam jagka waktu sesudah jahitan terakhir selesai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Theodore R. Shrock. 2006. Handbook of Surgery. Greenbrae: Jones Medical Publication.2. Sudoyo, Aru W.. (2006), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.3. Nafisa K Kuwajerwala. Perioperative Medication Management. 2008. available at www.emedicine.medscape.com accesed at 24 November 2010.4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, R., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.5. Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, S., Dahlan, R. (1989). Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.6. Eron Dawana. 2010. ANESTESIA PADA PASIEN EMERGENCY DENGAN RIWAYAT ASMA. Available at http://www.fkumyecase.net accesed at 25 November 2010.