Malaria Serebral

33
LAPORAN REFERAT MALARIA SEREBRAL Diajukan kepada Yth : dr. Suharno, Sp. PD Disusun oleh : Qonita Wachidah G1A211076

Transcript of Malaria Serebral

Page 1: Malaria Serebral

LAPORAN REFERAT

MALARIA SEREBRAL

Diajukan kepada Yth :

dr. Suharno, Sp. PD

Disusun oleh :

Qonita Wachidah G1A211076

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERANSMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO

2012

Page 2: Malaria Serebral

BAB IPENDAHULUAN

Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara tropis

karena angka kesakitan dan kematiannya yang tinggi. Infeksi Plasmodium

falciparum ini dapat menimbulkan gejala yang berat sampai kematian. Perbedaan

perjalanan penyakit pada masing-masing individu salah satunya dipengaruhi oleh

sistim imun.

Malaria adalah penyakit infeksi parasit utama di dunia yang mengenai

hampir 170 juta orang tiap tahunnya di hampir 103 negara endemis. Angka

kematian yang dilaporkan mencapai 1 – 1,5 juta penduduk per tahun, khususnya

daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.

Di Indonesia, malaria masih menjadi masalah kesehatan. Menurut Menteri

Kesehatan, malaria ditemukan di daerah-daerah terpencil dan sebagian besar

penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Angka kesakitan akibat malaria sejak

4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan.

Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa genus plasmodium, yang

ditular-kan oleh nyamuk anopheles betina dan sudah dikenal sejak 3000 tahun

yang lalu. Ada empat jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada

manusia yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale.

Diantara mereka, P. falciparum adalah yang terpen-ting karena penyebarannya

luas, angka kesakitan yang disebabkannya tinggi, bersifat ganas, sehingga

menyebabkan malaria berat dan menimbulkan lebih dari dua juta kematian setiap

tahun di seluruh dunia.

Plasmodium falciparum saat ini di dunia sudah ditemukan memiliki lebih

kurang 14 strain. Di Indonesia strain-strain dari P. falciparum sampai saat ini

belum dilaporkan. P.falciparum terdiri dari sekitar 5300 gen dan 211 gen di

antaranya berfungsi sebagai imunogen pada tubuh manusia. Perbedaan strain

P.falciparum akan memberikan gejala klinik, patologi, sifat transmisi, maupun

respons terhadap pengobatan yang berbeda pula.

Secara umum dikatakan imunitas terhadap malaria sangat kompleks

karena melibatkan hampir seluruh komponen sis-tim imun baik imunitas spesifik

maupun non spesifik, imunitas humoral maupun seluler yang timbul secara alami

Page 3: Malaria Serebral

maupun di dapat sebagai akibat infeksi. Sejak permulaan invasi stadium sporozoit

yang diikuti stadium selanjutnya, timbul reaksi sitokin yang demikian kompleks

terhadap parasit malaria sebagai akibat terpaparnya berbagai jenis sel sistim imun

terhadap berbagai macam antigen plasmodium.

Sitokin adalah suatu glikoprotein yang berasal dari sel T helper, sel natural

killer (NK) dan makrofag, yang berperan penting pada respon tubuh melawan

infeksi malaria. Sel T helper terdiri dari dua subset yang masing-masing

menghasilkan sitokin pengatur perbedaan fungsi imun efektor dan bereaksi satu

sama lain. Sel T helper tipe 1 (Th-1) menghasilkan IFN-γ (interferon gama), IL-2

(interleukin-2) dan TNF-α (tumor necrosis factor alfa). Sitokin ini mengaktifkan

makrofag, untuk membentuk sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6

dan menginduksi mekanisme imun efektor sitotoksik dari makrofag. Sebaliknya,

sel T helper tipe 2 (Th-2) menghasilkan IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Sitokin ini

menginduksi pembentukan antibodi tetapi juga menghambat fungsi makrofag dan

disebut sitokin anti inflamasi.

TNF-α merupakan sitokin yang bersifat sebagai pirogen. Pada kadar

rendah ia dapat menghambat pertumbuhan stadium darah parasit dengan mengak-

tifkan sistim imun seluler, dan juga dapat membunuh parasit secara langsung

namun aktifitasnya lemah. Peran ganda dari sitokin terutama TNF-α yaitu pada

kadar yang tepat akan memberi perlindungan dan penyembuhan. Akan tetapi

kadar berlebihan yang mungkin merupakan tanggapan terhadap hiperparasitemia

dan pertumbuhan parasit yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan jaringan

yang sangat berat dan fatal.

IL-10 ditemukan di dalam plasma penderita malaria akut, dihasilkan oleh

monosit, sel Th-2 dan sel B, menghambat produksi sitokin pada Th-1 dan sel

CD8+. IL-10 berfungsi sebagai down regulator pada makrofag/inhibitor

makrofag, mengurangi presentasi antigen, mencegah sel Th-1 berproliferasi dan

menekan produksi IFN-γ dan TNF-α. Pada malaria serebral, peng-hambatan IFN-

γ dan sekresi TNF-α oleh sintesis IL-10 berperan penting dalam menetralkan

patologi dari makrofag (Irawati ,dkk, 2008).

Page 4: Malaria Serebral

Malaria serebral sering dijumpai pada daerah endemik seperti Jawa

Tengah (Jepara), Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya. Di Sulawesi Utara

mortalitasnya 30,5% sedangkan di RSUP Manado 50% (Suparman, 2005).

Angka kejadian malaria cerebral pada kasus malaria dewasa yang di rawat

di rumah sakit di beberapa daerah di Indonesia 3,18% - 14,8% dengan rata – rata

11% - 12%. Menurut kelompok usia, malaria cerebral menonjol pada kelompok

usia produktif 14 – 45 tahun. Menurut jenis kelamin perbandingan laki – laki dan

perempuan (1,2 – 20 : 1). Menurut pekerjaan 66,7% merupakan petani (Wibisono,

1995).

Page 5: Malaria Serebral

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Malaria cerebral adalah malaria dengan penurunan kesadaran yang

dinilai dengan skala dari Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS untuk

penderita malaria dewasa <15. Hampir semua malaria serebral disebabkan

Plasmodium falsiparum. (Pribadi dan Sungkar, 1994)

2.2 ETIOLOGI

Penyebab malaria serebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah

kapiler di otak karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa

sel darah. Hal tersebut dikarenakan oleh infeksi Plasmodium falciparum

yang ditularkan oleh nyamuk anopheles betina (Combes; Coltel; Faille;

Wassmer; Grau, 2006).

a. Morfologi Plasmodium falciparum (lihat gambar 1)

1) Tropozoit awal berbentuk cincin yang sangat halus, ukurannya

1/5 eritrosit, dan tidak berpigmen.

2) Tropozoit yang sedang berkembang (jarang terlihat dalam darah

perifer) berbentuk padat, ukurannya kecil, pigmennya kasar;

berwarna hitam; dan jumlahnya sedang,.

3) Skizon imatur (jarang terlihat dalam darah perifer) ukurannya

hampir mengisi eritrosit, bentuknya padat, dan pigmennya tersebar.

4) Skizon matur (jarang terlihat dalam darah perifer) bentuknya

bersegmen, pigmen berwarna hitam dan berkumpul di tengah,

ukurannya hampir menutupi eritrosit.

5) Makrogametosit waktu timbulnya 7-12 hari, jumlahnya dalam

darah sangat banyak, memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit,

berbentuk bulan sabit (ujung bulat atau runcing), sitoplasmanya

berwarna biru tua, pigmennya bergranul hitam dengan inti bulat.

6) Mikrogametosit waktu timbul, jumlah dan ukurannya sama

dengan stadium makrogametosit, sitoplasmanya berwarna biru

Page 6: Malaria Serebral

kemerahan, berbentuk ginjal dengan ujung tumpul, pigmennya

bergranul gelap.

Gambar 1. Morfologi semua stadium Plasmodium falciparum

b. Siklus Hidup Plasmodium (CDC, 2010)

Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium

Page 7: Malaria Serebral

Keterangan Gambar 2 :

1) Siklus Hidup pada Manusia

a) Sporozoit melalui gigitan nyamuk anopheles betina masuk ke

jaringan sub kutan lalu beredar dalam darah menuju hepar dan

menyerang sel hepar.

b) Parasit berkembang biak dan setelah 1-2 minggu skizon pecah

dan melepasakan merozoit yang lalu masuk aliran darah untuk

menginfeksi eritrosit.

c) Dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi skizon yang pecah

untuk melepaskan merozoit yang punya kemampuan menginfeksi

sel eritrosit baru. Proses perkembangan aseksual ini disebut

skizogoni.

d) Selanjutnya, setelah 48 jam eritrosit yang terinfeksi (skizon)

pecah dan 6 - 36 merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah

merah lainnya. Siklus ini disebut siklus erirositer.

e) Setelah 2-3 minggu siklus skizogoni darah, sebagian merozoit

yang menginfeksi eritrosit akan membentuk stadium seksual

(gamet jantan dan betina).

2) Siklus Hidup pada Nyamuk

a) Nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung

gametosit pembuahan menjadi zigot.

b) Zigot akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus

dinding lambung nyamuk.

c) Pada dinding luar lambung nyamuk, ookinet akan menjadi ookista

dan selanjutnya mengeluarkan sporozoit.

d) Sporozoit bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.

2.3 FAKTOR RISIKO

a. Bayi dengan BBLR

b. Hipoglikemi yang tidak tertangani (WHO et al., 2001)

Page 8: Malaria Serebral

Gejala hipoglikemia dapat berupa gangguan kesadaran sampai koma.

Bila sebelumnya penderita sudah dalam keadaan koma karena malaria

serebral, maka komanya akan lebih dalam lagi.

2.4 PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI

Sampai saat ini masih belum memuaskan dan belum dimengerti

dengan baik patogenesis dan patofisiologi malaria serebral. Ada tiga teori

yang dikemukakan, yaitu Teori Mekanis (Sitoadherens, Rosetting dan

Deformabilitas Eritrosit), Teori Toksik dan Teori Permeabilitas. Namun

tidak banyak perbedaan antara ketiga teori tersebut dimana teori yang satu

saling terkait dengan teori yang lain (Dondorp, 2005):

a. Teori Mekanis

1) Sitoadherens

Plasmodium falciparum merupakan satu-satunya spesies

yang dapat menginduksi sitoadherens ke endotelium vaskular

eritrosit yang mengandung parasit matur. Sebagai parasit matur,

protein parasit dibawa dan dimasukkan ke membran eritosit.

Sitoadherens menyebabkan penyerapan eritrosit berparasit pada

mikrosirkulasi, terutama kapiler dan post kapiler venula.

Penelitian menunjukkan, penyerapan eritrosit berparasit lebih

banyak pada otak, tetapi juga pada hati, mata, jantung, ginjal,

intestinum dan jaringan adiposa. Penyerapan yang paling menonjol

pada serebrum, serebelum (medula oblongata). Dari penelitian pada

anak dengan malaria serebral didapatkan penyerapan eritrosit

berparasit dan akumulasi platelet intravaskular, yang berperan

adalah sitoadherens.

2) Deformabilitas eritrosit dan rosetting.

Eritrosit berparasit yang dapat melakukan sitoadherens juga

dapat melakukan resetting, dimana berkelompoknya eritrosit

berparasit yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit non parasit.

Proses ini mempermudah terjadinya sitoadherens karena obstruksi

aliran darah dalam jaringan.

Page 9: Malaria Serebral

Adanya sitoadherens, roset, penyerapan eritorsit berparasit

dalam otak dan menurunnya deformabilitas eritrosit berparasit

menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya terjadi hipoksia

jaringan.

b. Teori Toksik

Pada Malaria berat dengan infeksi berat, konsentrasi sitokin

proinflamasi dalam darah seperti TNF alfa, IL-1. IL-6, dan IL-8

meningkat, begitu juga dengan sitokin Th2 anti inflamasi (IL-4 dan IL-

10). Stimulator yang menginduksi produksi sitokin proinflamasi oleh

leukosit adalah glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang dimiliki oleh

Plasmodium falciparum. GPI (glycosylphosphatidylinositol)

menstimulasi produksi TNF alfa dan juga limfotoksin. Kedua sitokin

tersebut dapat meregulasi ekspresi ICAM-1 (intercellular adhesion

molecule – 1) dan VCAM-1 pada sel endotelium, kemudian terjadi

penyerapan eritrosit berparasit di otak, dan menyebabkan koma.

Peningkatan konsentrasi plasma TNF alfa pada pasien dengan malaria

falciparum berhubungan dengan keparahan penyakit, termasuk koma,

hipoglikemia, hiperparasitemia dan kematian.

Selain hal tersebut, TNF alfa juga menyebabkan pelepasan NO

(Nitrit Oksida). Pelepasan NO (Nitrit Oksida) mengakibatkan kelainan

neurologis karena mengganggu neurotransmitter.

c. Teori Permeabilitas

Terdapat sedikit peningkatan permeabilitas vaskular pada malaria

berat, namun Blood Brain Barrier (BBB) pada pasien dewasa dengan

malaria serebral secara fungsional utuh. Penelitian pada anak – anak

afrika dengan malaria serebral memperlihatkan peningkatan

permeabilitas BBB (Blood Brain Barrier) dengan disrupsi endotel

interseluler.

Penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa dengan malaria

serebral tidak memperlihatkan adanya oedem serebral. Namun pada

anak – anak afrika, frekuensi oedem serebral lebih banyak terjadi,

meskipun tidak secara konsisten ditemukan.

Page 10: Malaria Serebral

Disebutkan pula, pembukaan tekanan lumbal pungsi pada pasien

dewasa biasanya normal, namun meningkat > 80% pada anak dengan

malaria serebral. Peningkatan tekanan intrakranial sebagian disebabkan

oleh penyerapan eritrosit berparasit oleh otak.

Gambar 3. Platelet dan mikropartikel merupakan elemen patogenik pada

malaria serebral

Berdasarkan gambar 3 diatas diketahui bahwa (Combes; Coltel;

Faille; Wassmer; Grau, 2006):

Selama fase akut malaria serebral, terlihat adanya peningkatan level

mikropartikel endotelial dalam plasma dari pasien mencerminkan aktivasi

endotel secara luas dan atau terjadi perubahan, disebabkan karena

peningkatan level TNF (Tumour Necrosis Factor). Secara in vitro, platelet

dapat memperkuat ikatan antara erirosit berparasit (PRBC) dengan sel

endotel dan menyebabkan molekul adhesi baru antara 2 tipe sel. Juga,

platelet mampu menginduksi perubahan PRBC monolayer endotel, terutama

dengan meningkatkan permeabilitas dan mempromosikan apoptosis.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang didapatkan pada malaria serebral dibagi

menjadi 2 fase, yaitu (Munthe, 2001):

Page 11: Malaria Serebral

a. Fase prodromal: gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh

sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang

menggigil, dan sakit kepala.

b. Fase akut: gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan

timbulnya komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual,

muntah, diare, batuk berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang,

hemiplegi dan dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam

pemeriksaan fisik akan ditemukan cornea mata divergen, anemia,

ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang

meningeal.

2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis malaria serebral adalah ditemukannya :

a. Gejala klinik: trias malaria (demam, menggigil dan berkeringat), sakit

kepala, gangguan mental, nyeri tengkuk, kaku otot dan kejang umum.

b. Pemeriksaan fisik:

1) Sering dijumpai splenomegali dan hepatomegali.

2) Gangguan kesadaran atau koma (biasanya 24 – 72 jam) dewasa

GCS < 11 dan anak Blantyre coma score < 3.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Pada pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dijumpai bentuk

aseksual dari Plasmodium falciparum.

2) Tidak ditemukan infeksi lain.

3) Hipoglikemi, hiponatremi, hipofosfatemi, pleositosis sampai 80

sel/mikron3, limfosit sampai 15 sel/mikron3.

4) Analisa cairan serebrospinal adanya peningkatan limfosit > 15/ul.

5) CT dan MRI edema serebral.

2.7 DIAGNOSIS BANDING

a. Meningitis

Untuk membedakan meningitis bakterial dan malaria cerebral

diperlukan hasil dari pemeriksaan laboratorium, diantaranya penemuan

Page 12: Malaria Serebral

plasmodium pada apusan darah, hitung leukosit pada CSS, kultur darah

dan CSS, serta tes antigen bakteri pada CSS (berkley, mwang,

mellington, mwarumba and marsh, 1999; Endang, 1992).

b. Tifoid ensefalopati

Pemeriksaan darah dapat menentukan jenis bakteri atau parasit

yang menyebabkan ensefalopati yang di derita, baik akibat salmonella

typhii maupun plasmodium (dept IKA usu, 2008).

c. Tetanus

Pada malaria dan tetanus yang terjadi pada anak sering

menunjukkan gejala opistotonus. Hal tersebut harus dibedakan melalui

anamnesis yang detail, seperti riwayat luka sebelumnya dan demam

yang menyertai. pada tetanus terdapat riwat luka sebelumnya yang

merupakan port de entry kuman Clostridium tetani. Riwayat demam

hanya ditemukan pada 60% pasien tetanus. Pada malaria serebral gejala

opistotonus biasanya dibarengi dengan keadaan koma (penurunan

kesadaran), tidak seperti pada tetanus yang kesadarannya baik (dept IPD

usu, 2008).

d. Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/nonhemoragik)

Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan

neurologik, sedangkan pada penderita stroke, demam timbul setelah

kelainan neurologik dan biasanya dijumpai lateralisasi (Endang, 1992).

e. Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan tiroid)

Salah satu gejala malaria serebral adalah koma (penurunan

kesadaran). Namun koma pada malaria serebral dan koma oleh

penyebab lain harus dibedakan untuk penatalaksanaan. Koma diabetik

dapat diketahui dari pemeriksaan gula darah. Koma hipotiroid dan krisis

tiroid dapat diketahui dari gejala klinik yang lain (Endang, 1992).

2.8 PENATALAKSANAAN

Terapi yang diberikan untuk pasien malaria serebrum karena infeksi

Plasmodium falciparum berdasarkan pada terapi ACT (Artemisin

Combination Therapy) (WHO, 2010)

Page 13: Malaria Serebral

a. Pengobatan Lini – 1

Tabel 1. Terapi ACT Lini - 1

Ha

ri

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur

Dosis tunggal0 - 1

bulan

2 – 11

bulan

1 – 4

tahu

n

5 – 9

tahun

10 –

14

tahun

> 15

tahu

n

1

Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Primakuin -- -- ¾ 1 ½ 2 2 - 3

2Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

3Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Setelah pemberian Lini – 1, kemudian dipantau dari hari pertama

pemberian sampai hari ke 28. Dikatakan gagal pengobatan Lini – 1, bila

dalam 28 hari setelah pemberian obat:

1) Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau

2) Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang

atau timbul kembali.

b. Pengobatan Lini – 2

Tabel 2. Terapi ACT Lini - 2

Ha

ri

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur

Dosis tunggal0 – 11

bulan

1 – 4

tahun

5 – 9

tahun

10 – 14

tahun

> 15

tahun

1 Kina 3 x 10

mg/kg

BB

3 x ½ 3 x 1 3 x 1½ 3 x (2-3)

Page 14: Malaria Serebral

Doksisiklin -- -- -- 2 x 50mg 2 x 100mg

Primakuin -- ¾ 1 ½ 2 2 - 3

2 -

3

Kina

3 x 10

mg/kg

BB

3 x ½ 3 x 1 3 x 1½ 3 x 2

Doksisiklin -- -- -- 2 x 50mg 2 x 100mg

Dosis Tetrasiklin -- -- --4 x 4

mg/kg BB4 x 250 mg

Dosis Clindamycin -- -- --2 x 10

mg/kg BB

2 x 10

mg/kg BB

2.9 PENCEGAHAN

a. Pemberian obat anti malaria secara teratur pada anak tiap jadwal

vaksinasi rutin untuk mencegah komplikasi malaria dan anemia.

b. Vaksinasi malaria, saat ini sedang dalam proses pengembangan namun

beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang menjanjikan (Milner

et al., n.d.).

c. Penanganan segera dan kombinasi pengobatan antimalaria yang adekuat

(WHO, 2010)

d. Penegakan diagnosis secara dini (WHO et al., 2001)

2.10 KOMPLIKASI

a. Kecacatan

b. Defisit neurologis, misalnya kelemahan, paralisis flaccid, kebutan,

gangguan bicara dan epilepsi (WHO et al., 2001)

c. Kematian (WHO, 2010)

Page 15: Malaria Serebral

2.11 PROGNOSIS

Tergantung pada (Zulkarnain dan setiawan, 2007; Harijanto, 2007):

a. Kecepatan/ ketepatan diagnosis dan pengobatan

Makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya

akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.

b. Kegagalan fungsi organ

Semakin sedikit bagian vital yang terganggu dan mengalami kegagalan

dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.

c. Kepadatan parasit

Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count) semakin padat/

banyak jumlah parasitnya yang didapatkan, semakin buruk

prognosisnya, terlebih lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam

pemeriksaan darah tepinya.

d. Kadar laktat pada CSS (cairan serebro-spinal)

Pada malaria serebral kadar laktat pada CSS meningkat, yaitu >2,2

mmol/l. Bila kadar laktat >6 mmol/l memiliki prognosa yang fatal.

Page 16: Malaria Serebral

BAB III

PEMBAHASAN

Y

Sejak 1638, malaria sudah ditangani dengan menggunakan getah batang

pohon Cinchona yang dikenal sebagai kina yang sebenarnya beracun, untuk

menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada 1930, ahli obat-

obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine (Quinacrine hydrocloride) yang

pada saat itu lebih efektif daripada quinine; dan kadar racunnya lebih rendah.

Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan

menyembuhkan demam rimba secara total dan lebih efektif dibandingkan atabrine

atau quinine untuk menekan jenis-jenis malaria tanpa perlu digunakan secara terus

menerus. Obat itu juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-

obatan terdahulu.

Tapi baru-baru ini, strain Plasmodium falciparum, organisme yang

menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap

klorokuin serta obat anti malaria sintetik lainnya. Strain jenis ini ditemukan

terutama di Vietnam, di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan.

Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain Plasmodium falciparum. Seiring

dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan itu, fakta bahwa

beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap

insektisida seperti DDT, telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit

malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga

mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang

datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga di antara pengungsi-pengungsi dari

daerah itu. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti penyakit malaria yang

tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria sebagai profilaksis (obat

pencegah) (Anon, 2007).

Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa

minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif

terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan

ataupun sebagai pencegahan. Namun demikian, obat itu saat ini sedang diselidiki,

apakah dapat menimbulkan efek samping merugikan. Suatu kombinasi dari

Page 17: Malaria Serebral

sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah

yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara itu,

proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.

Saat ini, para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk

malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat, kini sedang diuji coba

klinis dengan menggunakan sukarelawan untuk keamanan dan keefektifannya.

Sementara itu, ahli lainnya sedang berupaya untuk menemukan vaksin untuk

penggunaan umum. Riset pun sedang dilakukan untuk menemukan sejumlah obat

dengan bahan dasar artemisin yang digunakan ahli obat-obatan Cina untuk

menyembuhkan demam. Bahan itu terbukti efektif terhadap plasmodium

falciparum, tapi masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya (Anon, 2007).

Upaya penanggulangan juga dilakukan dengan pencarian penderita, yaitu

dengan mass fever survey (pemeriksaan massal penderita demam) dilanjutkan

pengobatan massal, penyuluhan, pemberantasan vektor malaria, yaitu nyamuk

anopheles sp. Pemberantasan nyamuk itu bisa dilakukan dengan penyemprotan

insektisida ICON 10 WP, seperti yang dilakukan di Banyumas, pegunungan

Menoreh dan Kedu.

Penduduk negara-negara yang umumnya masih terbelakang menemukan

cara baru yang murah dan efektif dalam memerangi nyamuk Anopheles sp, yaitu

dengan memanfaatkan sapi yang telah diolesi insektisida. Metode itu dilakukan

mengingat nyamuk malaria menyukai binatang. Anopheles sendiri mencari

makanan dengan mengisap darah binatang dan hanya sekali-sekali memangsa

manusia. Mark Rowland dari London School of Hygiene and Tropical Medicine

menyampaikan bahwa “Anopheles stepheni dan Anopheles culicifaciespun gemar

mengisap darah sapi”.

Uji coba kemudian dilakukan di enam kamp. penampungan para

pengungsi Afganistan di provinsi Lembah Hangu, Pakistan. Para pengungsi

mengolesi sapinya dengan deltametrin selama tiga kali musim malaria. Hasilnya,

cara ini sama efektifnya dengan penyemproton rumah. Selain biayanya 80% lebih

murah, cara ini pun lebih mudah dan aman bagi penduduk. Keuntungan lainnya

adalah insektisida tersebut juga terbukti dapat membasmi kutu hewan, sehingga

Page 18: Malaria Serebral

hewan itu semakin montok dan menghasilkan lebih banyak susu. Namun terbukti

tidak mengkontaminasi daging sapi.

Metode yang diterapkan oleh Rowland tersebut disambut dengan baik oleh

WHO (World Health Organisation) yang kemudian mengusulkan agar metode

Rowland tersebut diterapkan di Negara – Negara Asia Tropis. Namun, metode

Rowland tersebut hanya tepat digunakan pada jenis nyamuk yang menyukai

binatang dan menghisap darah sapi. Rowland mengatakan bahwa metodenya

mungkin tidak dapat diterapkan di Afrika karena jenis nyamuknya berbeda.

Page 19: Malaria Serebral

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. Kasus malaria serebral yang merupakan infeksi Plasmodium

falciparum masih sangat jarang ditemukan. Hal ini disebabkan karena

keterlambatan penanganan malaria berat.

2. Malaria serebral merupakan malaria kasus berat yang ditandai dengan

penurunan kesadaran, dimana tingkat mortalitasnya tinggi pada anak –

anak.

3. Perkembangan terapi malaria serebral sampai sekarang mengalami

perbaikan, dimana terapi ACT (Artemisin Combination Therapy) yang

diberikan pada penderita malaria serebral terbukti efektif terhadap

Plasmodium falciparum.

4.2 SARAN

1. Dikembangkannya penelitian lebih lanjut mengenai vaksin yang

adekuat untuk mencegah malaria serebral.

2. Setiap tenaga kesehatan memiliki pengetahuan agar tidak adanya

keterlambatan diagnosis yang menyebabkan meningkatnya kasus

malaria serebral, terutama pada anak-anak

3. Dilakukannya pemberian terapi secara optimal sehingga dapat

dilakukan penatalaksanaan secara adekuat.

Page 20: Malaria Serebral

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 2007. Plasmodium falciparum. [Online] Available at: HYPERLINK

www.kalbe.co.id www.kalbe.co.id [Accessed 28 September 2010]

Combes, Valery; N. Coltel; D. Faille; S. C. Wassmer; G. E. Grau. 2006. Cerebral

malaria: role of microparticles and platelets in alterations of the blood-

brain barrier. International Journal for Parasitology, 36, pp541-46.

Divisi penyakit tropic dan infeksi departemen penyakit dalam FK USU/ RS

H.adam malik. 2008. Tetanus. [Online] Available at: HYPERLINK

“ ocw.usu.ac.id ” ocw.usu.ac.id [Accessed 29 September 2010]

Divisi penyakit tropic departemen ilmu kesehatan anak FK USU/ RS H.adam

malik .2008. Malaria Pada Anak. [Online] Available at: HYPERLINK

“ ocw.usu.ac.id ” ocw.usu.ac.id [Accessed 29 September 2010]

Error! Bookmark not defined.. 2010. Biology: Malaria. [Online] Available at:

HYPERLINK “ www.cdc.gov ” www.cdc.gov [Accessed 28 September

2010]

Dondorp, Arjen M. 2005. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of

cerebral malaria, 10, pp67-77. [Online] Available at: HYPERLINK

“ www.neurology-asia.org ” www.neurology-asia.org [Accessed 27

September 2010]

Endang Haryanti Gani . 1992. Penatalaksanaan Malaria Berat Masa Kini.

[Online] Available at: HYPERLINK “ www.kalbe.co.id ” www.kalbe.co.id

[Accessed 29 September 2010]

Iskandar Zulkarnain dan Budi Setiawan. 2007. Malaria Berat dalam: Buku ajar

Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen

Ilmu Penyakit Dalam. 1745-7

J.A. Berkley, Mwang, F. Mellington, S. Mwarumba and K. Marsh. 1999. Cerebral

malaria versus bacterial meningitis in children with impaired

consciousness. Q J Med oxford Journal, 92, pp151–57.

Lili Irawati ,dkk. 2008. Ekspresi Tumor Necrosis Factor-Alfa (TNF-α) Dan

Interleukin-10 (IL-10) Pada Infeksi Malaria Falciparum. Jakarta:

Universitas Andalas.

Page 21: Malaria Serebral

Milner, D.A., Montgomery, J., Rogerson, S.J. & Seydel, K.B., n.d. Severe malaria

in children and pregnancy: an update and perspective. Trends in

Parasitology, 24(12), p.592.

Munthe, C. E. 2001. Laporan Kasus: Malaria Serebral, 131. [Online] Available

at: HYPERLINK “ www.kalbe.co.id ” www.kalbe.co.id [Accessed 27

September 2010]

Paul N. Harijanto. 2007. Malaria dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III

ed IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 1732-43

Suparman, Eddy. 2005. Malaria pada Kehamilan. [Online] Available at:

HYPERLINK www.kalbe.co.id www.kalbe.co.id [Accessed 30 September

2010]

WHO, 2010. Guideline for the treatment of malaria. Publication. Switzerland:

WHO Press World Health Organization.

WHO, UNDP & UNICEF, 2001. Roll Back Malaria. [Online] Roll Back Malaria

Partnership Available at: HYPERLINK

"http://www.rollbackmalaria.org/cmc_upload/0/000/015/367/RBMInfoshe

et_6.pdf"

http://www.rollbackmalaria.org/cmc_upload/0/000/015/367/RBMInfoshee

t_6.pdf [Accessed 29 September 2010].

Wibisono BH. 1995. Aspek Klinis Malaria Otak Pada Orang Dewasa. AMI, vol.

XXVII, Nomor Gabungan. 189 – 215

Wita Pribadi, saleha Sungkar. 1994.Malaria. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.