MALARIA CEREBRAL.docx

24
MALARIA CEREBRAL Subhiyawati Burhan, Hadriani, Mawardi Sahir, Indran Kusala PENDAHULUAN Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau lebih komplikasi. Salah satu komplikasinya adalah malaria serebral (1) . Malaria serebral merupakan komplikasi mayor yang paling sering menyebabkan kematian. Kematian akibat malaria serebral berkisar 800 ribu orang per tahun diseluruh dunia, 89% dari jumlah ini terjadi di Afrika dan 88% terjadi pada anak dibawah 5 tahun. (2) . Meskipun malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi di dunia, namun keterlibatan serebral jarang terjadi. Pada malaria, Plasmodium falciparum dapat sampai ke sistem saraf pusat dengan cara menginfeksi sel darah merah kemudian menyebabkan oklusi pada kapiler serebral. Gejala neurologis muncul beberapa minggu setelah infeksi (3) . Penyakit ini ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan (GCS dibawah 7). Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi gangguan kesadaran seperti apati,somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (1) . Pada tahap stadium akut, malaria serebral

Transcript of MALARIA CEREBRAL.docx

MALARIA CEREBRAL Subhiyawati Burhan, Hadriani, Mawardi Sahir, Indran Kusala

PENDAHULUAN

Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai

malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium

falciparum dengan satu atau lebih komplikasi. Salah satu komplikasinya adalah

malaria serebral (1). Malaria serebral merupakan komplikasi mayor yang paling

sering menyebabkan kematian. Kematian akibat malaria serebral berkisar 800 ribu

orang per tahun diseluruh dunia, 89% dari jumlah ini terjadi di Afrika dan 88%

terjadi pada anak dibawah 5 tahun.  (2). Meskipun malaria merupakan penyakit

infeksi parasit yang paling sering terjadi di dunia, namun keterlibatan serebral

jarang terjadi.

Pada malaria, Plasmodium falciparum dapat sampai ke sistem saraf pusat

dengan cara menginfeksi sel darah merah kemudian menyebabkan oklusi pada

kapiler serebral. Gejala neurologis muncul beberapa minggu setelah infeksi  (3).

Penyakit ini ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan (GCS dibawah

7). Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi gangguan kesadaran seperti

apati,somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (1). Pada tahap stadium akut,

malaria serebral dapat menyebabkan kejang dan jarang gejala abnormalitas

neurologi fokal.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan Plasmodium falciparum

di sel darah merah pada apusan darah tepi. Pada CSF mungkin memperlihatkan

peningkatan tekanan, xantochromia, pleositisis mononuklear dan peningkatan

kadar protein (3).

EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2002, terdapat 515 juta kasus malaria di dunia; 25% di Asia

Tenggara dan 70% di Afrika, terbanyak di sub-Sahara Afrika. Pada sebagian besar

negara berkembang, malaria biasanya terjadi pada imigran atau orang yang baru

bepergian ke daerah endemik. Di Sub-sahara Afrika, kasus ini paling sering di

temukan pada anak-anak. Malaria ditemukan sekitar 40% pada anak dan 10%

diantaranya menderita malaria serebral. Jumlah kasus yang ditemukan sekitar 1,12

kasus/1000 anak per tahun dengan angka kematian 18,6%. Malaria yang

disebabkan Plasmodium falciparum dapat menimbulkan komplikasi seperti

anemia berat,asidosis atau hipoglikemi dan komplikasi yang lebih berat.

Malaria berat yang terjadi pada area endemik malaria tergantung umur dan

tingkat penularan. Pada daerah dengan tingkat penularan tinggi, infeksi dan

manifestasi klinis jarang ditemukan pada anak hingga umur 6 bulan. Gejala yang

ditimbulkan ringan karena masih adanya imunitas pasif dari antibodi ibu. Pada

daerah ini, masalah utama akibat penyakit ini pada anak pada 2 tahun pertama

kehidupan. Pada usia diatas 4 tahun, gejala klinis jarang ditemukan dan bersifat

ringan. Pada area tingkat penularan sedikit, puncak insiden malaria berat terjadi

pada usia yang lebih tua. Anemia berat terjadi pada anak dibawah 2 tahun dan

puncak terjadinya malaria cerebral terjadi setelahnya. penyebab perbedaan

yang berkaitan dengan usia tidak jelas. Infeksi berulang selama beberapa

tahun memberikan perlindungan terhadap penyakit. Kekebalan

parsial berkembang tetapi menurun dengan tidak adanya paparan terus-menerus (4).

ETIOLOGI

Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium yang pada manusia

menginfeksi eritrosit dan mengalami perkembangan  aseksual di hati dan eritrosit.

Pembiakan seksual terjadi pada tubuh  nyamuk anopheles betina. Plasmodium

yang sering dijumpai adalah Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,

Plasmodium malariae, Plasmodium ovale (1).

Siklus hidup parasit malaria

Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama,

yaitu terdiri dari siklus seksual yang berlangsung pada nyamuk Anopheles dan

siklus aseksual yang berlangsung pada manusia.

1. Siklus seksual dalam tubuh nyamuk

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina dan dimulai

ketika nyamuk menghisap darah yang mengandung makrogametosit dan

mikrogametosit. Mikrogametosit mengalami proses pematangan yang disebut

eksflagelasi dimana dalam waktu sepuluh sampai dua belas menit satu

mikrogametosit berubah menjadi 2-8 bentukan memanjang yang menyerupai

cambuk atau flagella. Makrogametosit berubah menjadi makrogamet setelah

melepaskan sebutir kromatin. Beberapa saat kemudian terjadilah proses

pembuahan di dalam usus nyamuk, yaitu salah satu dari 8 mikrogamet menyatu

dengan makrogamet, dan terbentuklah zigot. Untuk terjadinya fertilisasi atau

pembuahan di dalam tubuh nyamuk, diperlukan persyaratan bahwa konsentrasi

gametosit dalam darah minimal 12 gametosit/mm³, dan makrogametosit yang

terhisap oleh nyamuk harus lebih banyak daripada mikrogametosit. Setelah

fertilisasi dalam beberapa jam bentuk zigot berubah menjadi stadium berbentuk

lonjong yang disebut ookinet. Ookinet dapat bergerak menembus dinding

lambung nyamuk dan masuk di antara sel-sel epitel dinding lambung, di bawah

selaput dinding luar lambung dan membentuk ookista. Ookista berbentuk bulat

seperti kantong dan di dalamnya berisi banyak sel yang terus menerus

mengadakan pembelahan inti diikuti oleh sitoplasmanya hingga berjumlah ribuan.

Setelah 2-3 minggu sel-sel yang berjumlah ribuan tersebut berubah menjadi

sporozoit. Apabila sudah matang, ookista yang berisi puluhan ribu sporozoit

tersebut pecah dan keluarlah sporozoit-sporozoit ke dalam cairan rongga tubuh

nyamuk, dan terkumpul dalam kelenjar ludah nyamuk, dan siap untuk ditularkan

kembali ke tubuh manusia pada saat nyamuk menggigit.

Jangka waktu terjadinya siklus seksual di dalam tubuh nyamuk ini dikenal

dengan masa inkubasi eksternal. Lama berlangsungnya periode ini bervariasi,

tergantung pada suhu, yaitu 8-10 hari pada suhu 28ºC, 16 hari pada suhu 20ºC.

Siklus ini tidak dapat berlangsung sempurna bila suhu lingkungan kurang dari

15ºC.

2. Siklus Aseksual dalam tubuh manusia

Pada saat menghisap darah, nyamuk mengeluarkan sporozoit yang

kemudian akan memasuki aliran darah. Setelah hampir 1 jam, sporozoit

menghilang dari sirkulasi dan memasuki sel parenkim hepar. Di dalam hepar ini

terjadi fase exoeritrositik schizogony. Di dalam hepatosit, sporozoit berkembang

menjadi trofozoit. Dalam waktu 1-2 minggu, trofozoit membelah diri beberapa

kali yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Proses ini menghasilkan beribu-

ribu merozoit. Selanjutnya hepatosit pecah, merozoit akan keluar memasuki

sirkulasi darah. Pada siklus exoeritrositik di atas, hanya terjadi satu generasi

skizogoni, kecuali pada infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale,

sebagian sporozoit dalam hepatosit tetap berada dalam stadium istirahat

(dormant), yang disebut hipnozoit. Betuk hipnozoit ini yang bertanggungjawab

terhadap terjadinya relaps karena bentuk ini dapat bertahan selama beberapa

bulan sebelum membelah diri menjadi skizon hati,yang kemudian merozoitnya

masuk aliran darah. Diantara merozoit yang masuk aliran darah sebagian

memasuki eritrosit untuk memulai siklus eritrositik (erythrocytic schizogony). Di

dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi trofozoit muda. Stadium ini

memanfaatkan sebagian dari sitoplasma eritrosit (hemoglobin) untuk

metabolisme, sehingga pada trofozoit yang sudah tua terlihat adanya pigmen

dalam eritrosit. Trofozoit kemudian membelah, dimulai dari inti dan diikuti oleh

sitoplasmanya, dan berkembang dalam eritrosit, lalu berubah menjadi skizon,

suatu stadium yang berinti banyak sebagai hasil perkembangan dan

pembelahan inti trofozoit. Selanjutnya eritrosit yang mengandung skizon matang

pecah, dan keluarlah merozoit-merozoit bersel tunggal ke dalam aliran darah, lalu

memasuki eritrosit baru dan mengulangi siklus eritrositik. Sebagian merozoit ada

yang berkembang menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit

betina (makrogametosit). Gametosit ini merupakan bentuk infektif bagi vektor

(nyamuk). Pada infeksi P. vivax, bentuk ini timbul 2 – 3 hari setelah terjadinya

parasitemia, sedangkan pada P. falciparum setelah 8 hari dan pada P. malariae

setelah beberapa bulan kemudian. Apabila darah manusia terhisap oleh nyamuk,

maka semua bentuk yang ada dalam eritrosit ikut masuk ke lambung nyamuk,

namun hanya stadium gametosit saja yang mampu melangsungkan kehidupannya,

sedangkan stadium yang lain yaitu skizon dan trofozoit akan mati. Jangka waktu

mulai masuknya sporozoit (gigitan nyamuk) sampai nampaknya parasit dalam

darah perifer disebut masa inkubasi internal.

Meskipun siklus hidup dari keempat spesies tersebut pada dasarnya sama,

tetapi terdapat beberapa perbedaan morfologis yang penting dalam diagnosis

klinis (5).

Plasmodium

vivax

Plasmodium

malariae

Plasmodium ovale Plasmodium

falciparum

Lama

scizogoni

48 jam 72jam 49-50 jam 36-48 jam

Pigmen

(hematin)

Coklat

kekuningan,

granula

halus

dan batang2

kecil

Coklat

kehitaman,

granula

kasar

Coklat

kehitaman,

granula kasar

Coklat

kehitaman,

granula kasar

Bentuk

yang

ditemukan

di

darah

Trofozoit,

skizon,

gametosit

Trofozoit,

skizon,

gametosit

Trofozoit, skizon,

Gametosit

Trofozoit,

Gametosit

Infeksi

multipel

pd eritrosit

Sering Sangat

jarang

Jarang Sangat sering

Bentuk

eritrosit

yang

terinfeksi

Sangat

membesar,

pucat,

Schuffner’s

dots

Tdk

membesar,

nampak

normal,

Zieman’s

Agak

membesar,berbentuk

oval atau ireguler,

Schuffner’s dots

Ukuran

normal,

warna

kehijauan, tdp

basophilic

dots Maurer’s

clefts and dots

Trofozoit

(ring

form)

Amuboid,

bentuk

cincin

besar dgn

satu

butir

chromatin

Bentuk

cincin

besar, 1

butir

chromatin

Amuboid Amuboid,

bentuk

cincin kecil,

accole

form, double

chromatin

Skizon Terdiri dari

12-

24 merozoit,

Ireguler

Terdiri dari

6-12

merozoit,

bentuk

reguler

(rossette)

Terdiri dari 6-12

merozoit,bentuk

reguler (rossette)

Pada

umumnya tak

nampak di

darah

perifer,jk

nampak

terdiri dari 8-

32

merozoit,

bentuk

ireguler

Gametosit Bulat/oval,

cromatin tdk

tersebar dlm

sitoplasma

Bulat/oval,

cromatin tdk

tersebar dlm

sitoplasma

Bulat/oval, cromatin

tdk tersebar dlm

sitoplasma

Kidneyshaped/

banana

form, cromatin

tdk

tersebar dlm

sitoplasma

Penyebab malaria serebral adalah infeksi Plasmodium falciparum. Dasar

timbulnya penyulit pada infeksi Plasmodium falciparum adalah adanya proses

hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme obstruksi

dapat melalui serangkaian peristiwa, yaitu cytoadherense, sequestration dan

rosetting.

1. Sitoadherens (cytoadherense) adalah melekatnya PRBC matang ke permukaan

endotel pembuluh darah. Diketahui bahwa pada infeksi Plasmodium falciparum

PRBC memiliki daya atau kemampuan melekat dengan sel-sel lain, yaitu sel

endotel pembuluh darah dan sesama eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak

terinfeksi. Mekanisme ini hanya terjadi di pembuluh darah kapiler dan post

kapiler.

2. Rosetting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu PRBC dengan satu atau

lebih eritrosit non parasit. Bila ikatan tersebut melibatkan lebih dari 10 eritrosit

(PRBC dan non-PRBC), maka bentuknya jadi seperti bunga (rosette), sehingga

fenomena ini disebut sebagai proses rosetting.

3. Sekuestrasi (sequestration). Mekanisme sitoadherens di pembuluh kapiler dan

post kapiler akan menyebabkan PRBC terperangkap di dalam organ-organ vital

dan RES, terutama limpa. Peristiwa ini dapat menjelaskan adanya ke tidak

sesuaian antara derajat parasitemia di darah perifer dengan jumlah total parasit di

dalam tubuh dan berat ringannya gejala klinik.

Ketiga fenomena tersebut berperan dalam terjadinya obstruksi

mikrovaskular, dan akan menyebabkan tersumbatnya kapiler serta terganggunya

sirkulasi darah di jaringan bagian distal pada organ yang bersangkutan. Hal ini

dapat menjelaskan patogenesis terjadinya kelainan patologik dan berbagai jenis

manifestasi klinik.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui secara pasti.

Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya malaria serebral antara

lain edema otak, peninggian tekanan intrakranial, hipoksia serebri obstruksi

mikrovaskuler, dan sequestration. Sel-sel darah merah yang mengandung parasit,

alirannya menjadi lambat dalam mikrosirkulasi otak karena deformabilitas

eritrosit dan adanya perlengketan eritrosit pada endotel kapiler. Kedua keadaan ini

dapat menyebabkan hipoksia serebri. Selain itu pada pemeriksaan postmortem,

didapatkan kapiler-kapiler penuh dengan sel-sel darah merah yang mengandung

parasit malaria, petekie, dan makrofag berisi pigmen malaria (6).

Patogenesis malaria berat sangat kompleks karena dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang terdiri dari faktor parasit, host dan sosial geografik. Faktor

parasit tampaknya berperan sangat besar untuk terjadinya malaria berat.  Seluruh

manifestasi klinis dari malaria disebabkan oleh perkembangannya di darah. 

Parasit yang sedang tumbuh mengkonsumsi dan menghancurkan protein sel

dengan hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya pigmen

malaria dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi.  Selain itu juga

mengganggu sistem transportasi dari membran sel itu sendiri sehingga terjadi

perubahan bentuk menjadi lebih spheris . Ruptur dari sel akan mengeluarkan

faktor penting dan toksin seperti glikosifosfotidilnositol dari protein membran

parasit, fosfoliopprotein, produk membran sel darah merah, komponen yang

sensitif pada protease dengan hemozoin, dan toksin malaria . Toksin ini akan

menginduksi terlepasnya sitokin seperti TNF dan IL 1 dari makrofag sehingga

terjadi demam.     Selain itu sitokin pro inflamasi juga keluar seperti TNF alpha

dan Interferon alpha.  Sitokin ini memberikan perlindungan terhadap stadium

aseksual parasit . sitokin ini juga dapat menginduksi penambahan dan produksi

yang tidak terkontrol dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam

sawar darah otak dan mengganggu fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan

konsentrasi etanol yang tinggi yang menurunkan kesadaran  (7). Di lain pihak kadar

sitokin lokal  di suatu organ yang tinggi dapat mengganggu fungsi organ tersebut

baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan atau

memperberat sitoadherens.  

Pada malaria falciparum, semua sel darah merah di berbagai tingkat

terinfeksi, ditambah dengan adanya pembentukan sticky knobs (tonjolan) pada

permukaan sel yang disebabnya oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1

(PEMP1). Sel darah merah yang terinfeksi ini akan terikat pada sel endotel pada

venula post capilary atau disebut sitoaderens.  Sel darah merah dan sel endotel ini

akan membentuk rosettes dengan sel yang tidak terinfeksi.  Selain itu juga eritrosit

terinfeksi ini dapat menyebabkan agregasi dengan trombosit (clumping).  Proses

Knobs-cytoadherence-rosetting dan clumping ini  menghasilkan sekuestrasi

parasit pada jaringan yang lebih dalam , jauh dari pembersihan limpa dan

membantu parasit untuk berkembang biak dengan aman.  Selain itu akan

menghambat mikrosirkulasi yang menyebabkan hipoksia, asidosis laktat dan

kerusakan organ (8).

  MANIFESTASI   KLINIS

Malaria  secara klinis ditandai dengan serangan demam paroksismal dan

periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan

komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acutetubular

necrosis, dan malaria cerebral.

Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik

klinis yang berbeda bentuk demamnya, yaitu :

1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan

serangan demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali.

2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana

karena serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali.

3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan

pola demam tidak khas setiap 2-1 hari sekali.

4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau

Malaria tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3

hari sekali dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis

plasmodium lainnya.

Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium

falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang

yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak

secepatnya ditangani.

Gambaran klinis pada malaria cerebral ditandai dengan:

1) fase Prodormal :Penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang

hilang timbul serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala

2) Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya

komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk

berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir

dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan

cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan

adanya tanda rangsang meningeal (9).

Gejala klinis yang terjadi pada malaria cerebral bebeda antara anak-anak dan

dewasa.  (4)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

a.         Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan sediaan apus darah tebal dan darah tipis dapat ditemukan parasit

Plasmodium. Pemeriksaan ini dapat menghitung jumlah parasit dan identifikasi

jenis parasit. Bila hasil negatif diulang 6-12 jam.

b.         SQBC(semi quantitative buffy coat)

Prinsip tes fluoresensi: yaitu adanya protein Plasmodium yang dapat mengikat

acridine orange yang akan mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium.

c.       Rapid Manual Test

Tes ini mendeteksi antigen Plasmodium falciparum dengan menggunakan

dipstick. Hasilnya segera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3% dan

spesifitasnya 82,5%.

d.      PCR (Polymerase Chain Reaction)

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk

mendeteksi DNA spesifik parasit Plasmodium dalam darah. Metode ini sangat

efektif untuk mendeteksi parasit walaupun tingkat parasitemianya rendah.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan Malaria Berat secara garis besar terdiri atas tiga komponen  :

·         Pengobatan suportif (perawatan umum dan pengobatan simtomatis)

ü  Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Karena pada

malaria terjadi gangguan hidrasi, maka sangat penting mengatasi keadaan

hipovolemi ini. Selain cairan perlu diperhatikan oksigenisasi dengan

memperlihatkan tekanan O2, lancarkan saluran nafas dan kalau perlu dengan

ventilasi bantu.

ü  Bila suhu 40oC (hipertermia ) :a.kompres dingin intensif. b.pemberian antipiretik

untuk mencegah hipertermia,parasetamol 15mg/kgBB/kali diberikan setiap 4 jam.

ü  Bila anemia diberikan transfusi darah, yaitu bila Hb<5g/dl atau hematokrit <15%.

Pada keadaan asidosis perbaikan anemi merupakan tindakan yang utama sebelum

pemberian koreksi bikarbonat.

ü  Kejang diberi diazepam 10-20mg intravena diberikan secara perlahan,

phenobarbital 100mg um/kali (dewasa) di berikan 2 kali sehari

·         Pengobatan spesifik  dengan kemoterapi anti malaria

Artemisin

Golongan artemisin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan malaria berat

mengingat keberhasilan selama ini dan mulai didapatkannya kasus-kasus malaria

oleh Plasmodium falciparum yang resisten terhadap  maupun kuinin. Golongan

artemisin yang di pakai untuk pengobatan malaria berat antara lain:

ü  Artemeter di berikan dengan dosis 3,2 mg/kgbb/hari im pada hari pertama,

kemudian dilanjutkan dengan 1,6mg/kgbb/hari (biasanya diberikan dengan dosis

160mg dianjurkan dengan dosis 80mg) sampai 4 hari (penderita dapat minum

obat),kemudian dilanjutkan dengan obat kombinasi peroral.

ü  Artesunate diberikan dengan dosis 2,4mg/bb/hari iv pada waktu masuk (time =

0),kemudian pada jam ke 12 dan jam ke 24,selanjutnya tiap hari sekali sampai

penderita dapat minum obat dilanjutkan dengan obat oral kombinasi.

ü  Kuinin HCL 25% 500mg(dihitung BB rata-rata 50kg)di larutkan dalam 500cc

dekstrose 5% atau dextrose dalam larutan salin diberikan slama 8 jam, atau

pemberian infus pada cairan tersebut diberikan selama 4 jam kemudian diulang

dengan  cairan yang sama terus menerus sampai penderita dapat minum obat dan

dilanjutkan dengan pemberian Kuinin peroral dengan dosis 3 kali sehari

10mg/kgBB/ (3x600mg)dengan total pemberian kuinin keseluruhannya selama 7

hari. Dosis loading ini tidak di anjurkan pada penderita yang telah mendapatkan

pengobatan kuinin atau meflokuin dalam 24 Jam sebelumnya, penderita usia

lanjut atau penderita dengan Q-Tc interval/aritmia pada EKG.

Klorokuin

            Klorokuin kini jarang digunakan untuk malaria berat karena banyak yang telah

resisten. Klorokuin diberikan bila masih sensitif atau pada kasus demam dengan

kencing hitam atau pada penderita yang hipersensitif terhadap kina. Klorokuin

dapat diberikan dengan :

ü  Dosis loading 10 mg/kgbb dilarutkan dalam 500 ml NaCl 0,9% diberikan dalam 8

jam kemudian dilanjut dengan dosis 5 mg/kgbb per infus selama 8 jam dan

sebanyak 3 kali (dosis total 25 mg/kgbb selama 32 jam).

ü  Bila secara intravena tidak memungkinkan, dapat diberikan secara intramuskuler

atau subkutan dengan cara:  3,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 6

jam, atau 2,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 4 ja

                   Transfusi Pengganti

                   Tindakan ini menurunkan dengan cepat tingkat parasitemia. Tindakan

ini berguna untuk mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin hasil

parasit dan metabolismenya (sitokin dan radikal bebas) serta memperbaiki

anemia. Indikasi transfusi tukar:

·           Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat

·           Parasitemia >10% disertai komplikasi berat (malaria serebral, gagal ginjal

akut, edema paru/ARDS, ikterik (bilirubin >25 mg/dl) dan anemia berat.

·           Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan selama 12-24 jam pemberian

kemoterapi anti malaria yang optimal, atau didapatkan skizon matang dalam

sediaan darah perifer.

            Pengobatan komplikasi

ü  Gagal ginjal akut.

Hemodialisis atau hemofiltrasi dilakukan sesuai dengan indikasi umumnya.

Dialisis dini akan memperpbaiki prognosis.

ü  Hipoglikemia (gula darah <50mg/dl)

Pada penderita dilakukan pemeriksaan darah tiap 4-6 jam. Bila terjadi

hipoglikemi, berikan suntik 50 ml dextrosa 40%i.v, dilanjutkan dengan infus

dextrosa 10% dan gula darah tetap dipantau tiap 4-6 jam. Monitor gula darah juga

dilakukan pada penderita dengan pengobattankuinin/kuinidin.

Posisikan pasien pada posisi setengah duduk 45o, berikan oksigen, berikan

diuretik, hentikan pemberian cairan intravena, lakukan intubasi, berikan tekanan

akhir ekspirasi positif atau tekanan udara positif kontinu hipoksemia mengancam

jiwa.

ü  Koma

Jaga jalan nafas, singkirkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, meningitis

bakteri), hindari pemakaian kortikosteroid, heparin dan adrenalin.

ü  Syok

Suspek septikemia, pemeriksaan kultur darah, antimikroba parenteral, atasi

gangguan hemodinamik.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

1.      Demam Tifoid; mempunyai banyak persamaan dengan gejala-gejalanya. Masih

bisa dibedakan dengan adanya gejala stomatitis dengan lidah tifoid yang khas,

batuk-batuk, meterorismus, dan bradikardi relatif yang kadang-kadang ditemukan

pada demam tifoid. Kultur darah untuk salmonella pada minggu pertama kadang-

kadang bisa membantu diagnosis. Widal bisa positif mulai minggu kedua,

dianjurkan pemeriksaan berulang pada titer yang masih rendah untuk membantu

diagnosis. Kemungkinan adanya infeksi ganda antara malaria dan demam tifoid

kadang-kadang kita temukan juga.

2.      Septikemia; perlu dicari sumber infeksi dari sistem pernapasan, saluran kencing,

dan genitalia, saluran makanan dan otak.

3.       Ensefalitis dan atau meningitis; dapat disebabkan oleh bakteri spesifik maupun

oleh virus. Kelainan dalam pemeriksaan cairan lumbal akan membantu diagnosis.

4.      Dengue Hemoragik Fever/ DSS; pola panas yang berbentuk pelana disertai syok

dan tanda-tanda perdarahan yang khas akan membantu diagnosis walaupun

trombositopenia dapat juga terjadi pada malaria falcifarum namun jarang sekali

memberikan gejala perdarahan. Hematokrit akan membantu diagnosis.

5.       Abses hati amubik; hepatomegali yang sangat nyeri dan jarang sekali disertai

ikterus dan kenaikan enzim SGOT dan SGPT akan membantu diagnosis.

Fosfatase alkalis dan gamma GT kadang-kadang akan meningkat. USG akan

membantu deteksi abses hati dengan tepat.

 

PROGNOSIS

Kecepatan atau Ketepatan Diagnosis dan Pengobatan : makin cepat dan

tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki

prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.

Kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-

organ vital .semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan

dalam fungsinya,semakin baik prognosisnya.

Kepadatan Parasit :Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count)

semakin padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan bentuk skizon dalam

pemeriksaan darah tepinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar, Zulkarnain and Setiawan, Budi. Malaria Berat . [book auth.] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, Vol. 3, p. 1737.2. Amante, Fiona H, et al. Immune-Mediated Mechanisms of Parasite Tissue. 2010, The Journal of Immunology.

3. Greenberg, David A, Aminoff, Michael J and Simon, Roger P. Clinical Neurology. 5th edition. Novato, San Francisco, and Portland : McGraw-Hill/Appleton & Lange, 2002.4. Idro, Richard, Jenkins, Neil E and Newton, Charles RJC. Pathogenesis, clinical features, and neurological outcome of. 2005, The Lancet Neurology, Vol. 4, pp. 827-840.5. StafLaboratoriumParasitologi. DIKTAT BIOLOGI MIKROBA SUB MODUL PARASITOLOGI. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2010.6. Mubin, A Halim and S, Pain. Malaria Tropika dengan Berbagai Komplikasi. UjungPandang : s.n., 1992, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 72, pp. 48-51.7. anonymous. CEREBRAL MALARIA. [Online] [Cited: 12 4, 2011.] http://www.brown.edu/Courses/Bio_160/Projects1999/malaria/cermal.html.8. FKUP, IPD. Penatalaksanaan Malaria Berat. ILMU PENYAKIT DALAM Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. [Online] 2010. [Cited: December 12, 2011.] http://internershs.com/home3/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=124&limit=1&limitstart=3.9. Munthe, Celestinus Eigya.Malaria Cerebral. 2001, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 131, pp. 5-6.10. Mardjono, Mahar and Sidharta, Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta : Dian Rakyat, 2008.