MALARIA CEREBRAL.docx
-
Upload
muh-arya-saputra -
Category
Documents
-
view
222 -
download
6
Transcript of MALARIA CEREBRAL.docx
MALARIA CEREBRAL Subhiyawati Burhan, Hadriani, Mawardi Sahir, Indran Kusala
PENDAHULUAN
Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai
malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium
falciparum dengan satu atau lebih komplikasi. Salah satu komplikasinya adalah
malaria serebral (1). Malaria serebral merupakan komplikasi mayor yang paling
sering menyebabkan kematian. Kematian akibat malaria serebral berkisar 800 ribu
orang per tahun diseluruh dunia, 89% dari jumlah ini terjadi di Afrika dan 88%
terjadi pada anak dibawah 5 tahun. (2). Meskipun malaria merupakan penyakit
infeksi parasit yang paling sering terjadi di dunia, namun keterlibatan serebral
jarang terjadi.
Pada malaria, Plasmodium falciparum dapat sampai ke sistem saraf pusat
dengan cara menginfeksi sel darah merah kemudian menyebabkan oklusi pada
kapiler serebral. Gejala neurologis muncul beberapa minggu setelah infeksi (3).
Penyakit ini ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan (GCS dibawah
7). Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi gangguan kesadaran seperti
apati,somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (1). Pada tahap stadium akut,
malaria serebral dapat menyebabkan kejang dan jarang gejala abnormalitas
neurologi fokal.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan Plasmodium falciparum
di sel darah merah pada apusan darah tepi. Pada CSF mungkin memperlihatkan
peningkatan tekanan, xantochromia, pleositisis mononuklear dan peningkatan
kadar protein (3).
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2002, terdapat 515 juta kasus malaria di dunia; 25% di Asia
Tenggara dan 70% di Afrika, terbanyak di sub-Sahara Afrika. Pada sebagian besar
negara berkembang, malaria biasanya terjadi pada imigran atau orang yang baru
bepergian ke daerah endemik. Di Sub-sahara Afrika, kasus ini paling sering di
temukan pada anak-anak. Malaria ditemukan sekitar 40% pada anak dan 10%
diantaranya menderita malaria serebral. Jumlah kasus yang ditemukan sekitar 1,12
kasus/1000 anak per tahun dengan angka kematian 18,6%. Malaria yang
disebabkan Plasmodium falciparum dapat menimbulkan komplikasi seperti
anemia berat,asidosis atau hipoglikemi dan komplikasi yang lebih berat.
Malaria berat yang terjadi pada area endemik malaria tergantung umur dan
tingkat penularan. Pada daerah dengan tingkat penularan tinggi, infeksi dan
manifestasi klinis jarang ditemukan pada anak hingga umur 6 bulan. Gejala yang
ditimbulkan ringan karena masih adanya imunitas pasif dari antibodi ibu. Pada
daerah ini, masalah utama akibat penyakit ini pada anak pada 2 tahun pertama
kehidupan. Pada usia diatas 4 tahun, gejala klinis jarang ditemukan dan bersifat
ringan. Pada area tingkat penularan sedikit, puncak insiden malaria berat terjadi
pada usia yang lebih tua. Anemia berat terjadi pada anak dibawah 2 tahun dan
puncak terjadinya malaria cerebral terjadi setelahnya. penyebab perbedaan
yang berkaitan dengan usia tidak jelas. Infeksi berulang selama beberapa
tahun memberikan perlindungan terhadap penyakit. Kekebalan
parsial berkembang tetapi menurun dengan tidak adanya paparan terus-menerus (4).
ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium yang pada manusia
menginfeksi eritrosit dan mengalami perkembangan aseksual di hati dan eritrosit.
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk anopheles betina. Plasmodium
yang sering dijumpai adalah Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,
Plasmodium malariae, Plasmodium ovale (1).
Siklus hidup parasit malaria
Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama,
yaitu terdiri dari siklus seksual yang berlangsung pada nyamuk Anopheles dan
siklus aseksual yang berlangsung pada manusia.
1. Siklus seksual dalam tubuh nyamuk
Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina dan dimulai
ketika nyamuk menghisap darah yang mengandung makrogametosit dan
mikrogametosit. Mikrogametosit mengalami proses pematangan yang disebut
eksflagelasi dimana dalam waktu sepuluh sampai dua belas menit satu
mikrogametosit berubah menjadi 2-8 bentukan memanjang yang menyerupai
cambuk atau flagella. Makrogametosit berubah menjadi makrogamet setelah
melepaskan sebutir kromatin. Beberapa saat kemudian terjadilah proses
pembuahan di dalam usus nyamuk, yaitu salah satu dari 8 mikrogamet menyatu
dengan makrogamet, dan terbentuklah zigot. Untuk terjadinya fertilisasi atau
pembuahan di dalam tubuh nyamuk, diperlukan persyaratan bahwa konsentrasi
gametosit dalam darah minimal 12 gametosit/mm³, dan makrogametosit yang
terhisap oleh nyamuk harus lebih banyak daripada mikrogametosit. Setelah
fertilisasi dalam beberapa jam bentuk zigot berubah menjadi stadium berbentuk
lonjong yang disebut ookinet. Ookinet dapat bergerak menembus dinding
lambung nyamuk dan masuk di antara sel-sel epitel dinding lambung, di bawah
selaput dinding luar lambung dan membentuk ookista. Ookista berbentuk bulat
seperti kantong dan di dalamnya berisi banyak sel yang terus menerus
mengadakan pembelahan inti diikuti oleh sitoplasmanya hingga berjumlah ribuan.
Setelah 2-3 minggu sel-sel yang berjumlah ribuan tersebut berubah menjadi
sporozoit. Apabila sudah matang, ookista yang berisi puluhan ribu sporozoit
tersebut pecah dan keluarlah sporozoit-sporozoit ke dalam cairan rongga tubuh
nyamuk, dan terkumpul dalam kelenjar ludah nyamuk, dan siap untuk ditularkan
kembali ke tubuh manusia pada saat nyamuk menggigit.
Jangka waktu terjadinya siklus seksual di dalam tubuh nyamuk ini dikenal
dengan masa inkubasi eksternal. Lama berlangsungnya periode ini bervariasi,
tergantung pada suhu, yaitu 8-10 hari pada suhu 28ºC, 16 hari pada suhu 20ºC.
Siklus ini tidak dapat berlangsung sempurna bila suhu lingkungan kurang dari
15ºC.
2. Siklus Aseksual dalam tubuh manusia
Pada saat menghisap darah, nyamuk mengeluarkan sporozoit yang
kemudian akan memasuki aliran darah. Setelah hampir 1 jam, sporozoit
menghilang dari sirkulasi dan memasuki sel parenkim hepar. Di dalam hepar ini
terjadi fase exoeritrositik schizogony. Di dalam hepatosit, sporozoit berkembang
menjadi trofozoit. Dalam waktu 1-2 minggu, trofozoit membelah diri beberapa
kali yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Proses ini menghasilkan beribu-
ribu merozoit. Selanjutnya hepatosit pecah, merozoit akan keluar memasuki
sirkulasi darah. Pada siklus exoeritrositik di atas, hanya terjadi satu generasi
skizogoni, kecuali pada infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale,
sebagian sporozoit dalam hepatosit tetap berada dalam stadium istirahat
(dormant), yang disebut hipnozoit. Betuk hipnozoit ini yang bertanggungjawab
terhadap terjadinya relaps karena bentuk ini dapat bertahan selama beberapa
bulan sebelum membelah diri menjadi skizon hati,yang kemudian merozoitnya
masuk aliran darah. Diantara merozoit yang masuk aliran darah sebagian
memasuki eritrosit untuk memulai siklus eritrositik (erythrocytic schizogony). Di
dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi trofozoit muda. Stadium ini
memanfaatkan sebagian dari sitoplasma eritrosit (hemoglobin) untuk
metabolisme, sehingga pada trofozoit yang sudah tua terlihat adanya pigmen
dalam eritrosit. Trofozoit kemudian membelah, dimulai dari inti dan diikuti oleh
sitoplasmanya, dan berkembang dalam eritrosit, lalu berubah menjadi skizon,
suatu stadium yang berinti banyak sebagai hasil perkembangan dan
pembelahan inti trofozoit. Selanjutnya eritrosit yang mengandung skizon matang
pecah, dan keluarlah merozoit-merozoit bersel tunggal ke dalam aliran darah, lalu
memasuki eritrosit baru dan mengulangi siklus eritrositik. Sebagian merozoit ada
yang berkembang menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit
betina (makrogametosit). Gametosit ini merupakan bentuk infektif bagi vektor
(nyamuk). Pada infeksi P. vivax, bentuk ini timbul 2 – 3 hari setelah terjadinya
parasitemia, sedangkan pada P. falciparum setelah 8 hari dan pada P. malariae
setelah beberapa bulan kemudian. Apabila darah manusia terhisap oleh nyamuk,
maka semua bentuk yang ada dalam eritrosit ikut masuk ke lambung nyamuk,
namun hanya stadium gametosit saja yang mampu melangsungkan kehidupannya,
sedangkan stadium yang lain yaitu skizon dan trofozoit akan mati. Jangka waktu
mulai masuknya sporozoit (gigitan nyamuk) sampai nampaknya parasit dalam
darah perifer disebut masa inkubasi internal.
Meskipun siklus hidup dari keempat spesies tersebut pada dasarnya sama,
tetapi terdapat beberapa perbedaan morfologis yang penting dalam diagnosis
klinis (5).
Plasmodium
vivax
Plasmodium
malariae
Plasmodium ovale Plasmodium
falciparum
Lama
scizogoni
48 jam 72jam 49-50 jam 36-48 jam
Pigmen
(hematin)
Coklat
kekuningan,
granula
halus
dan batang2
kecil
Coklat
kehitaman,
granula
kasar
Coklat
kehitaman,
granula kasar
Coklat
kehitaman,
granula kasar
Bentuk
yang
ditemukan
di
darah
Trofozoit,
skizon,
gametosit
Trofozoit,
skizon,
gametosit
Trofozoit, skizon,
Gametosit
Trofozoit,
Gametosit
Infeksi
multipel
pd eritrosit
Sering Sangat
jarang
Jarang Sangat sering
Bentuk
eritrosit
yang
terinfeksi
Sangat
membesar,
pucat,
Schuffner’s
dots
Tdk
membesar,
nampak
normal,
Zieman’s
Agak
membesar,berbentuk
oval atau ireguler,
Schuffner’s dots
Ukuran
normal,
warna
kehijauan, tdp
basophilic
dots Maurer’s
clefts and dots
Trofozoit
(ring
form)
Amuboid,
bentuk
cincin
besar dgn
satu
butir
chromatin
Bentuk
cincin
besar, 1
butir
chromatin
Amuboid Amuboid,
bentuk
cincin kecil,
accole
form, double
chromatin
Skizon Terdiri dari
12-
24 merozoit,
Ireguler
Terdiri dari
6-12
merozoit,
bentuk
reguler
(rossette)
Terdiri dari 6-12
merozoit,bentuk
reguler (rossette)
Pada
umumnya tak
nampak di
darah
perifer,jk
nampak
terdiri dari 8-
32
merozoit,
bentuk
ireguler
Gametosit Bulat/oval,
cromatin tdk
tersebar dlm
sitoplasma
Bulat/oval,
cromatin tdk
tersebar dlm
sitoplasma
Bulat/oval, cromatin
tdk tersebar dlm
sitoplasma
Kidneyshaped/
banana
form, cromatin
tdk
tersebar dlm
sitoplasma
Penyebab malaria serebral adalah infeksi Plasmodium falciparum. Dasar
timbulnya penyulit pada infeksi Plasmodium falciparum adalah adanya proses
hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme obstruksi
dapat melalui serangkaian peristiwa, yaitu cytoadherense, sequestration dan
rosetting.
1. Sitoadherens (cytoadherense) adalah melekatnya PRBC matang ke permukaan
endotel pembuluh darah. Diketahui bahwa pada infeksi Plasmodium falciparum
PRBC memiliki daya atau kemampuan melekat dengan sel-sel lain, yaitu sel
endotel pembuluh darah dan sesama eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. Mekanisme ini hanya terjadi di pembuluh darah kapiler dan post
kapiler.
2. Rosetting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu PRBC dengan satu atau
lebih eritrosit non parasit. Bila ikatan tersebut melibatkan lebih dari 10 eritrosit
(PRBC dan non-PRBC), maka bentuknya jadi seperti bunga (rosette), sehingga
fenomena ini disebut sebagai proses rosetting.
3. Sekuestrasi (sequestration). Mekanisme sitoadherens di pembuluh kapiler dan
post kapiler akan menyebabkan PRBC terperangkap di dalam organ-organ vital
dan RES, terutama limpa. Peristiwa ini dapat menjelaskan adanya ke tidak
sesuaian antara derajat parasitemia di darah perifer dengan jumlah total parasit di
dalam tubuh dan berat ringannya gejala klinik.
Ketiga fenomena tersebut berperan dalam terjadinya obstruksi
mikrovaskular, dan akan menyebabkan tersumbatnya kapiler serta terganggunya
sirkulasi darah di jaringan bagian distal pada organ yang bersangkutan. Hal ini
dapat menjelaskan patogenesis terjadinya kelainan patologik dan berbagai jenis
manifestasi klinik.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya malaria serebral antara
lain edema otak, peninggian tekanan intrakranial, hipoksia serebri obstruksi
mikrovaskuler, dan sequestration. Sel-sel darah merah yang mengandung parasit,
alirannya menjadi lambat dalam mikrosirkulasi otak karena deformabilitas
eritrosit dan adanya perlengketan eritrosit pada endotel kapiler. Kedua keadaan ini
dapat menyebabkan hipoksia serebri. Selain itu pada pemeriksaan postmortem,
didapatkan kapiler-kapiler penuh dengan sel-sel darah merah yang mengandung
parasit malaria, petekie, dan makrofag berisi pigmen malaria (6).
Patogenesis malaria berat sangat kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang terdiri dari faktor parasit, host dan sosial geografik. Faktor
parasit tampaknya berperan sangat besar untuk terjadinya malaria berat. Seluruh
manifestasi klinis dari malaria disebabkan oleh perkembangannya di darah.
Parasit yang sedang tumbuh mengkonsumsi dan menghancurkan protein sel
dengan hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya pigmen
malaria dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi. Selain itu juga
mengganggu sistem transportasi dari membran sel itu sendiri sehingga terjadi
perubahan bentuk menjadi lebih spheris . Ruptur dari sel akan mengeluarkan
faktor penting dan toksin seperti glikosifosfotidilnositol dari protein membran
parasit, fosfoliopprotein, produk membran sel darah merah, komponen yang
sensitif pada protease dengan hemozoin, dan toksin malaria . Toksin ini akan
menginduksi terlepasnya sitokin seperti TNF dan IL 1 dari makrofag sehingga
terjadi demam. Selain itu sitokin pro inflamasi juga keluar seperti TNF alpha
dan Interferon alpha. Sitokin ini memberikan perlindungan terhadap stadium
aseksual parasit . sitokin ini juga dapat menginduksi penambahan dan produksi
yang tidak terkontrol dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam
sawar darah otak dan mengganggu fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan
konsentrasi etanol yang tinggi yang menurunkan kesadaran (7). Di lain pihak kadar
sitokin lokal di suatu organ yang tinggi dapat mengganggu fungsi organ tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan atau
memperberat sitoadherens.
Pada malaria falciparum, semua sel darah merah di berbagai tingkat
terinfeksi, ditambah dengan adanya pembentukan sticky knobs (tonjolan) pada
permukaan sel yang disebabnya oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1
(PEMP1). Sel darah merah yang terinfeksi ini akan terikat pada sel endotel pada
venula post capilary atau disebut sitoaderens. Sel darah merah dan sel endotel ini
akan membentuk rosettes dengan sel yang tidak terinfeksi. Selain itu juga eritrosit
terinfeksi ini dapat menyebabkan agregasi dengan trombosit (clumping). Proses
Knobs-cytoadherence-rosetting dan clumping ini menghasilkan sekuestrasi
parasit pada jaringan yang lebih dalam , jauh dari pembersihan limpa dan
membantu parasit untuk berkembang biak dengan aman. Selain itu akan
menghambat mikrosirkulasi yang menyebabkan hipoksia, asidosis laktat dan
kerusakan organ (8).
MANIFESTASI KLINIS
Malaria secara klinis ditandai dengan serangan demam paroksismal dan
periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan
komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acutetubular
necrosis, dan malaria cerebral.
Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik
klinis yang berbeda bentuk demamnya, yaitu :
1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan
serangan demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali.
2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana
karena serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali.
3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan
pola demam tidak khas setiap 2-1 hari sekali.
4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau
Malaria tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3
hari sekali dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis
plasmodium lainnya.
Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium
falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang
yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak
secepatnya ditangani.
Gambaran klinis pada malaria cerebral ditandai dengan:
1) fase Prodormal :Penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang
hilang timbul serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala
2) Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya
komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk
berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir
dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan
cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan
adanya tanda rangsang meningeal (9).
Gejala klinis yang terjadi pada malaria cerebral bebeda antara anak-anak dan
dewasa. (4)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan sediaan apus darah tebal dan darah tipis dapat ditemukan parasit
Plasmodium. Pemeriksaan ini dapat menghitung jumlah parasit dan identifikasi
jenis parasit. Bila hasil negatif diulang 6-12 jam.
b. SQBC(semi quantitative buffy coat)
Prinsip tes fluoresensi: yaitu adanya protein Plasmodium yang dapat mengikat
acridine orange yang akan mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium.
c. Rapid Manual Test
Tes ini mendeteksi antigen Plasmodium falciparum dengan menggunakan
dipstick. Hasilnya segera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3% dan
spesifitasnya 82,5%.
d. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk
mendeteksi DNA spesifik parasit Plasmodium dalam darah. Metode ini sangat
efektif untuk mendeteksi parasit walaupun tingkat parasitemianya rendah.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan Malaria Berat secara garis besar terdiri atas tiga komponen :
· Pengobatan suportif (perawatan umum dan pengobatan simtomatis)
ü Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Karena pada
malaria terjadi gangguan hidrasi, maka sangat penting mengatasi keadaan
hipovolemi ini. Selain cairan perlu diperhatikan oksigenisasi dengan
memperlihatkan tekanan O2, lancarkan saluran nafas dan kalau perlu dengan
ventilasi bantu.
ü Bila suhu 40oC (hipertermia ) :a.kompres dingin intensif. b.pemberian antipiretik
untuk mencegah hipertermia,parasetamol 15mg/kgBB/kali diberikan setiap 4 jam.
ü Bila anemia diberikan transfusi darah, yaitu bila Hb<5g/dl atau hematokrit <15%.
Pada keadaan asidosis perbaikan anemi merupakan tindakan yang utama sebelum
pemberian koreksi bikarbonat.
ü Kejang diberi diazepam 10-20mg intravena diberikan secara perlahan,
phenobarbital 100mg um/kali (dewasa) di berikan 2 kali sehari
· Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria
Artemisin
Golongan artemisin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan malaria berat
mengingat keberhasilan selama ini dan mulai didapatkannya kasus-kasus malaria
oleh Plasmodium falciparum yang resisten terhadap maupun kuinin. Golongan
artemisin yang di pakai untuk pengobatan malaria berat antara lain:
ü Artemeter di berikan dengan dosis 3,2 mg/kgbb/hari im pada hari pertama,
kemudian dilanjutkan dengan 1,6mg/kgbb/hari (biasanya diberikan dengan dosis
160mg dianjurkan dengan dosis 80mg) sampai 4 hari (penderita dapat minum
obat),kemudian dilanjutkan dengan obat kombinasi peroral.
ü Artesunate diberikan dengan dosis 2,4mg/bb/hari iv pada waktu masuk (time =
0),kemudian pada jam ke 12 dan jam ke 24,selanjutnya tiap hari sekali sampai
penderita dapat minum obat dilanjutkan dengan obat oral kombinasi.
ü Kuinin HCL 25% 500mg(dihitung BB rata-rata 50kg)di larutkan dalam 500cc
dekstrose 5% atau dextrose dalam larutan salin diberikan slama 8 jam, atau
pemberian infus pada cairan tersebut diberikan selama 4 jam kemudian diulang
dengan cairan yang sama terus menerus sampai penderita dapat minum obat dan
dilanjutkan dengan pemberian Kuinin peroral dengan dosis 3 kali sehari
10mg/kgBB/ (3x600mg)dengan total pemberian kuinin keseluruhannya selama 7
hari. Dosis loading ini tidak di anjurkan pada penderita yang telah mendapatkan
pengobatan kuinin atau meflokuin dalam 24 Jam sebelumnya, penderita usia
lanjut atau penderita dengan Q-Tc interval/aritmia pada EKG.
Klorokuin
Klorokuin kini jarang digunakan untuk malaria berat karena banyak yang telah
resisten. Klorokuin diberikan bila masih sensitif atau pada kasus demam dengan
kencing hitam atau pada penderita yang hipersensitif terhadap kina. Klorokuin
dapat diberikan dengan :
ü Dosis loading 10 mg/kgbb dilarutkan dalam 500 ml NaCl 0,9% diberikan dalam 8
jam kemudian dilanjut dengan dosis 5 mg/kgbb per infus selama 8 jam dan
sebanyak 3 kali (dosis total 25 mg/kgbb selama 32 jam).
ü Bila secara intravena tidak memungkinkan, dapat diberikan secara intramuskuler
atau subkutan dengan cara: 3,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 6
jam, atau 2,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 4 ja
Transfusi Pengganti
Tindakan ini menurunkan dengan cepat tingkat parasitemia. Tindakan
ini berguna untuk mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin hasil
parasit dan metabolismenya (sitokin dan radikal bebas) serta memperbaiki
anemia. Indikasi transfusi tukar:
· Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat
· Parasitemia >10% disertai komplikasi berat (malaria serebral, gagal ginjal
akut, edema paru/ARDS, ikterik (bilirubin >25 mg/dl) dan anemia berat.
· Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan selama 12-24 jam pemberian
kemoterapi anti malaria yang optimal, atau didapatkan skizon matang dalam
sediaan darah perifer.
Pengobatan komplikasi
ü Gagal ginjal akut.
Hemodialisis atau hemofiltrasi dilakukan sesuai dengan indikasi umumnya.
Dialisis dini akan memperpbaiki prognosis.
ü Hipoglikemia (gula darah <50mg/dl)
Pada penderita dilakukan pemeriksaan darah tiap 4-6 jam. Bila terjadi
hipoglikemi, berikan suntik 50 ml dextrosa 40%i.v, dilanjutkan dengan infus
dextrosa 10% dan gula darah tetap dipantau tiap 4-6 jam. Monitor gula darah juga
dilakukan pada penderita dengan pengobattankuinin/kuinidin.
Posisikan pasien pada posisi setengah duduk 45o, berikan oksigen, berikan
diuretik, hentikan pemberian cairan intravena, lakukan intubasi, berikan tekanan
akhir ekspirasi positif atau tekanan udara positif kontinu hipoksemia mengancam
jiwa.
ü Koma
Jaga jalan nafas, singkirkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, meningitis
bakteri), hindari pemakaian kortikosteroid, heparin dan adrenalin.
ü Syok
Suspek septikemia, pemeriksaan kultur darah, antimikroba parenteral, atasi
gangguan hemodinamik.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Demam Tifoid; mempunyai banyak persamaan dengan gejala-gejalanya. Masih
bisa dibedakan dengan adanya gejala stomatitis dengan lidah tifoid yang khas,
batuk-batuk, meterorismus, dan bradikardi relatif yang kadang-kadang ditemukan
pada demam tifoid. Kultur darah untuk salmonella pada minggu pertama kadang-
kadang bisa membantu diagnosis. Widal bisa positif mulai minggu kedua,
dianjurkan pemeriksaan berulang pada titer yang masih rendah untuk membantu
diagnosis. Kemungkinan adanya infeksi ganda antara malaria dan demam tifoid
kadang-kadang kita temukan juga.
2. Septikemia; perlu dicari sumber infeksi dari sistem pernapasan, saluran kencing,
dan genitalia, saluran makanan dan otak.
3. Ensefalitis dan atau meningitis; dapat disebabkan oleh bakteri spesifik maupun
oleh virus. Kelainan dalam pemeriksaan cairan lumbal akan membantu diagnosis.
4. Dengue Hemoragik Fever/ DSS; pola panas yang berbentuk pelana disertai syok
dan tanda-tanda perdarahan yang khas akan membantu diagnosis walaupun
trombositopenia dapat juga terjadi pada malaria falcifarum namun jarang sekali
memberikan gejala perdarahan. Hematokrit akan membantu diagnosis.
5. Abses hati amubik; hepatomegali yang sangat nyeri dan jarang sekali disertai
ikterus dan kenaikan enzim SGOT dan SGPT akan membantu diagnosis.
Fosfatase alkalis dan gamma GT kadang-kadang akan meningkat. USG akan
membantu deteksi abses hati dengan tepat.
PROGNOSIS
Kecepatan atau Ketepatan Diagnosis dan Pengobatan : makin cepat dan
tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki
prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.
Kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-
organ vital .semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan
dalam fungsinya,semakin baik prognosisnya.
Kepadatan Parasit :Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count)
semakin padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan bentuk skizon dalam
pemeriksaan darah tepinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar, Zulkarnain and Setiawan, Budi. Malaria Berat . [book auth.] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, Vol. 3, p. 1737.2. Amante, Fiona H, et al. Immune-Mediated Mechanisms of Parasite Tissue. 2010, The Journal of Immunology.
3. Greenberg, David A, Aminoff, Michael J and Simon, Roger P. Clinical Neurology. 5th edition. Novato, San Francisco, and Portland : McGraw-Hill/Appleton & Lange, 2002.4. Idro, Richard, Jenkins, Neil E and Newton, Charles RJC. Pathogenesis, clinical features, and neurological outcome of. 2005, The Lancet Neurology, Vol. 4, pp. 827-840.5. StafLaboratoriumParasitologi. DIKTAT BIOLOGI MIKROBA SUB MODUL PARASITOLOGI. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2010.6. Mubin, A Halim and S, Pain. Malaria Tropika dengan Berbagai Komplikasi. UjungPandang : s.n., 1992, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 72, pp. 48-51.7. anonymous. CEREBRAL MALARIA. [Online] [Cited: 12 4, 2011.] http://www.brown.edu/Courses/Bio_160/Projects1999/malaria/cermal.html.8. FKUP, IPD. Penatalaksanaan Malaria Berat. ILMU PENYAKIT DALAM Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. [Online] 2010. [Cited: December 12, 2011.] http://internershs.com/home3/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=124&limit=1&limitstart=3.9. Munthe, Celestinus Eigya.Malaria Cerebral. 2001, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 131, pp. 5-6.10. Mardjono, Mahar and Sidharta, Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta : Dian Rakyat, 2008.