MakalahGERD28042015.docx
-
Upload
winda-a-panjaitan -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of MakalahGERD28042015.docx
Gastro Esophageal Reflux (GER)
A. Embriologi Sistem Pencernaan
Esophagus berkembang dari usus depan postpharyngeal dan dapat
dibedakan dari perut pada usia embrio minggu ke empat. Pada saat yang sama,
trakea mulai kuncup ke anterior esophagus yang berkembang. Gangguan tahap ini
dapat mengakibatkan kelainan bawaan seperti tracheoesophageal fistula. Panjang
esofagus adalah 8-10 cm pada saat lahir, dan dua kali lipat lebih panjang dalam 2-
3 tahun pertama kehidupàan, dan mencapai 25 cm pada orang dewasa. Bagian
abdominal dari esofagus berukuran besar pada minggu ke 8 janin tetapi secara
bertahap memendek menjadi beberapa millimeter pada saat lahir, mencapai
panjang akhir = 3 cm setelah beberapa tahun.5
Lokasi intraabdominal pada kedua esofagus distal dan sphincter
esophageal letak rendah (LES) merupakan mekanisme antireflux yang penting,
karena peningkatan tekanan intra-abdominal juga ditularkan untuk sphincter,
untuk meningkatkan pertahanan. Menelan dapat terlihat dalam rahim sedini
mungkin pada usia 16-20 minggu kehamilan, untuk membantu sirkulasi cairan
ketuban. Polihidramnion adalah tanda khas dari kurangnya menelan normal atau
adanya obstruksi di esophagus atau di bagian atas saluran pencernaan. Mengisap
dan menelan tidak sepenuhnya terkoordinasi dengan baik sebelum minggu 3-4
kehamilan.5
B. Anatomi Sistem Pencernaan
Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter, sfingter esophagus
bagian atas (Upper Esophageal Sphincter/UES) pada otot cricopharingeus dan
sfingter esophagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES) pada
gastroesophageal junction (GEJ). Dalam keadaan normal berada dalam keadaan
tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah
bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esophagus.4
1
Dinding esophagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari
4 lapisan yaitu : mukosa, submokasa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa
terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini
mengalami perubahan mendadak pada berbatasan esophagus lambung (garis Z)
dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esophagus dalam keadaan normal
bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan
submukosa mengandung sel-sel sekretori yang menghasilkan mucus. Mukus
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melinduni mukosa dari
cedera akibat zat kimia.4
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular.
Otot pada 5% bagian atas esophagus merupakan otot rangka sedangkan otot pada
separuh bagian bawah merupakan otot polos. Bagian yang diantaranya itu terdiri
dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan saluran cerna lainnya,
bagian luar esophagus tidak memiliki lapisan serosa maupun selaput peritoneum,
melainkan lapisan luar yang terdiri dari lapisan ikat jarang yang menghubungkan
esophagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.6
Persarafan esophagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis dari
sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang
dianggap merupakan saraf motorik esophagus. Fungsi serabut simpatis kurang
diketahui. Selain persarafan ekstrinsik tersebut terdapat jala-jala serabut saraf
intramural intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus
Aurbach atau Myenterikus) dan berperan untuk mengatur peristaltik esophagus
normal.6
Distribusi darah esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dan subclavia. Bagian tengah disuplai
oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteri bronchial. Sedangkan bagian
subdiafragma disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran
darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azygous dan hemiazygous dan dibawah diafragma,
vena esofagia masuk ke dalam vena gasrika sinistra.6
C. Fisiologi Sistem Pencernaan
2
Transpor dan pencampuran makanan dalam saluran pencernaan
a. Megunyah
Mengunyah makanan bersifat penting untuk pencernaan semua
makanan, tetapi terutama sekali untuk sebahagian besar buah dan sayur-
sayuran mentah karena zat ini mempunyai membran selulosa yang tidak dapat
dicerna diantara bagian-bagian zat nutrisi yang harus di uraikan sebelum
makanan dapat di gunakan. Selain itu, mengunyah akan membantu pencernaan
makanan karena enzim-enzim pencernaan hanya akan bekerja pada
permukaan partikel makanan. Selain itu, menggiling makanan hingga menjadi
partikel-partikel dengan konsistensi sangat halus akan mencegah ekskoriasi
traktus gastrointestinal dan meningkatkan kemudahan pengosongan makanan
dari lambung ke dalam usus halus dan kemudian ke semua segmen usus
berikutnya.7
b. Menelan
Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter,
yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat
involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus,
dan (3) tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya
makanan dari faring ke lambung.7
1. Tahap esofageal dari penelanan.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari
faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi
tersebut. Normalnya esofagus memperlihatkan dua tipe peristaltik :
peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya
merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring
dan menyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari penelanan.7
Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam waktu
sekitar 8 sampai 10 detik. Makanan yang ditelan seseorang dalam posisi
tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih cepat
dari gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5-8 detik, akibat adanya
efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah. Jika
3
gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang
telah masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik
sekunder yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang
tertahan, dan terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke
dalam lambung. Gelombang sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit
saraf mienterikus esofagus dan sebagian oleh refleks-refleks yang
dihantarkan melalui serat-serat aferen vagus dari esofagus ke medula dan
kemudian kembali lagi ke esofagus melalui serat-serat eferen vagus.7
Susunan otot faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah
otot lurik. Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini hanya diatur
oleh impuls saraf rangka dalam saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada
duapertiga bagian bawah esofagus, ototnya merupakan otot polos, namun
bagian esofagus ini juga secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja
melalui hubungannya dengan sistem saraf mienterikus. Sewaktu saraf
vagus yang menuju esofagus terpotong, setelah beberapa hari pleksus
saraf mienterikus esofagus menjadi cukup terangsang untuk menimbulkan
gelombang peristaltik sekunder yang kuat bahkan tanpa bantuan dari
refleks vagal. Karena itu, sesudah paralisis refleks penelanan, makanan
yang didorong dengan cara lain ke dalam esofagus bagian bawah tetap
siap untuk masuk ke dalam lambung.7
Relaksasi reseptif dari lambung. Sewaktu gelombang peristaltik
esofagus berjalan ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi,
yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului
peristaltik. Selanjutnya, seluruh lambung dan sedikit lebih luas bahkan
duodenum menjadi terelaksasi swaktu gelombang ini mencapai bagian
akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk
menerima makanan yang didorong ke bawah esofagus selama proses
menelan.7
2. Fungsi sfingter esofagus bagian bawah ( sfingter gastroesofageal)
4
Pada ujung bawah esofagus,meluas dari sekitar dua sampai lima
sentimeter diatas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus
berfungsi sebagai sfingter esofagus bagian bawah atau sfingter
gastroesofageal. Secara anatomis,sfingter ini tidak berbeda dengan bagian
esofagus yang lain. Secara fisiologis normalnya sfingter tetap
berkonstriksi secara tonik (dengan tekanan intraluminal pada titik ini di
esofagus sekitar 30 mmHg), berbeda dengan bagian tengah esofagus
antara sfingter bagian atas dan bagian bawah, yang normalnya tetap
berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus,
relaksasi reseptif akan merelaksasi sfingter esofagus bagian bawah
medahului gelombang peristaltik dan mempermudah dorongan makanan
yang ditelan ke dalam lambung. Sangat jarang, sfingter tidak berelaksasi
dengan baik, mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia.7
Isi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah
esofagus, tidak mampu menahan kerja pencernaan yang lama dari sekresi
getah lambung. Konstriksi tonik dari sfingter esofageal bagian bawah
akan membantu untuk mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung
ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal.7
Pencegahan tambahan terhadap refluks dengan penutupan seperti
katup di ujung distal esofagus. Faktor lain yang mencegah refluks adalah
mekanisme seperti katup pada bagian esofagus yang pendek yang terletak
tepat di bawah diafragma sebelum mencapai lambung. Peningkatan
tekanan intraabdominal akan mendesak esofagus pada titik ini ke dalam
pada saat yang bersamaan ketika tekanan ini meningkatkan tekanan
intragastrik. Jadi, penutupan seperti katup ini, pada esofagus bagian
bawah akan mencegah tekanan abdominal yang tinggi yang berasal dari
desakan isi lambung ke dalam esofagus. Kalau tidak, setiap kali kita
berjalan, batuk atau bernafas kuat, kita mungkin mengeluarkan asam ke
dalam esofagus.7
5
D. Definisi
Refluks gastro esophageal atau gastro esophageal reflux (GER) adalah
suatu keadaan kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa
regurgitasi dan muntah.GER merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi, anak-
anak dan orang dewasa sehat. GER bisa terjadi beberapa kali dalam sehari,
dengan episode terbanyak kurang dari 3 menit, dan muncul setelah makan dengan
sedikit atau tanpa gejala. Berbeda dengan GER, jika refluks isi lambung
menyebabkan gangguan atau komplikasi, inilah yang disebut dengan GERD.1
Gastroesofageal reflux (GER) atau Refluks Gastroesofageal (RGE) adalah
suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus.Gastroesophageal reflux
disease (GERD) adalah GER yang dihubungkan dengan gejala patologis yang
mengakibatkan komplikasi dan gangguan kualitas hidup.8,9
E. Epidemiologi
Masih sedikit data yang ditemukan mengenai prevalensi dan insidensi
GERD pada anak. Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien
berusia 3-17 tahun melalui kuesioner sebuah study. Sebuah studi di UK pada
tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD. Dan angka
kejadiannya adalah sekitar 0,84 per 1000 anak per tahun. Insiden ini menurun
pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga berumur 16-17
tahun.3
GERD terdapat hampir lebih dari 75 % pada anak dengan kelainan
neurologi. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara peristaltik
esophagus dan peningkatan tekanan intraabdominal yang berasal dari hipertonus
otot yang dihubungkan dengan spastisitas.Di Indonesia sendiri insidens RGE
sampai saat ini belum diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, RGE terjadi pada
50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan yang normal.8,10
F. Etiologi
6
Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan
duedonum, termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami
regurgitasi ke dalam esophagus. Penurunan tonus spingter esophagus bagian
bawah dan gangguan motilitas meningkatkan waktu pengosongan esophagus dan
menyebabkan GER. Inflamasi esophagus nantinya dapat mengakibatkan kedua
mekanisme diatas, seperti lingkaran setan.11
Walaupun penurunan tonus spingter bagian bawah terjadi pada bayi
dengan GER, GERD, dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu faktor yang
belakangan diakui sebagai pathogenesis terpenting pada GERD adalah terjadinya
relaksasi transien spingter esophagus bawah secara berulang. Faktor yang
meningkatkan waktu pengosongan esophagus termasuk didalamnya interaksi
antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan, pengosongan
lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esophagus.11
G. Patogenesis
Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang mucul
beberapa kali sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada umumnya
berlangsung kurang dari 3 menit, terjadi setelah makan, dan menyebabkan
beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini disebabkan oleh relaksasi sementara
pada sfingter esofagus bawah atau inadekuatnya adaptasi tonus sfingter terhadap
perubahan tekanan abdominal. Kekuatan sfingter esofagus bawah, sebagai barier
antirefluks primer, normal pada kebanyakan anak dengan gastroesophageal
reflux.1, 12
Gastroesophageal reflux terjadi secara pasif karena “katup” antara
lambung dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia sfingter
esofagus bawah, maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia tidak
sebagaimana lazimnya yang berfungsi sebagai katup. Kemungkinan terjadinya
refluks juga dipermudah oleh memanjangnya waktu pengosongan lambung.12
Jika sfingter esophagus bagian bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul
refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol. Meskipun dilaporkan bahwa
tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan refluks, tetapi
7
mekanisme yang lebih penting adalah peran tonus sfingter yang berkurang, baik
dalam keadaan akut maupun menahun.2
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung refluks
ke esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Petogenesis GERD ini
multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung,
pengosongan lambung, mekanisme klirens esofagus, barier mukosa esofagus,
hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas.12
Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus
bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi lambung
mengalir ke esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi ketika tekanan
sfingter esofagus bawah gagal meningkat saat peningkatan mendadak tekanan
intraabdominal atau ketika tekanan sfingter esofagus bawah saat istirahat
berkurang secara kronis. Perubahan pada beberapa mekanisme proteksi
memungkinkan refluks fisiologis menjadi Gastroesophageal Reflux Disease :
klirens dan pertahanan refluks yang tidak memadai, lambatnya pengosongan
lambung, kelainan pada pemulihan dan perbaikan epitel, dan menurunnya reflex
protektif neural pada saluran aerodigestif.1
H. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Kita harus ingat bahwa gejala tipical / khas (misalnya, heartburn, muntah,
regurgitasi) pada orang dewasa tidak dapat langsung dinilai pada bayi dan anak-
anak. Pasien anak dengan refluks gastroesophageal (RGE) biasanya menangis dan
gangguan tidur serta penurunan nafsu makan. Berikut ini adalah beberapa dari
tanda-tanda umum dan gejala refluks gastroesofagus pada populasi anak-anak:14
Tanda dan gejala gastroesophageal reflux pada bayi dan anak kecil :
Tangisan khas atau tidak khas / gelisah
Apnea / bradikardi
Kurang nafsu makan
Peristiwa yang mengancam nyawa(ALTE)
Muntah
Mengi (wheezing)
8
Nyeri perut / dada
Stridor
Berat badan atau pertumbuhan yang buruk (failure to thrive)
Pneumonitis berulang
Sakit tenggorokan
Batuk kronis
Waterbrash
Sandifer sindrom (yaitu, sikap dengan opisthotonus atau torticollis)
Suara serak / laringitis
Tanda dan gejala pada anak yang lebih tua - Semua yang diatas, ditambah
heartburn dan riwayat muntah, regurgitasi, gigi tidak sehat, dan mulut berbau
(halitosis).14
GER GERD
Regurgitasi dengan BB normal Regurgitasi dengan penurunan BB
Gejala dan tanda esofagitis tidak ada Gelisah persisten (persistent
irritability) bayi terlihat kesakitan.
Sakit dada bawah, sakit menelan,
pirosis pada anak
Hematemesis, anemia defisiensi besi. Gejala gangguan pernafasan tidak
ada
Apnu, sianosis pada bayi, Mengi Pnemonia aspirasi dan berulang Batuk kronis Stridor
Gejala gangguan neurologis tidak ada Posisi leher menjadi miring
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis GER dan GERD pada bayi dan anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada tanda-tanda fisik klasik refluks gastroesophageal ditemukan
pada populasi anak-anak. Satu pengecualian akan menjadi sindrom Sandifer
9
relatif tidak umum, yang sering salah diagnosis sebagai spastic torticollis. Pada
balita dan anak-anak yang lebih tua, regurgitasi yang berlebihan dapat
mengakibatkan masalah gigi signifikan disebabkan oleh efek asam pada enamel
gigi.14
ALTEs yang melibatkan apnea berhubungan dengan bradikardi, muka
pucat, dan / atau sianosis telah dikaitkan dengan refluks gastroesophageal,
terutama pada bayi prematur. Dalam peristiwa ini, refluks ke hipofaring
dipostulatkan untuk mengarah ke laryngospasm dan apnea obstruktif. Namun,
data hanya menunjukkan hubungan yang lemah diantara fenomena. Setiap
hubungan tersebut hanya dapat ditentukan secara objektif dengan memantau pH
esofagus, dilakukan bersamaan dengan pneumography dan baik termistor hidung
atau merekam denyut oksimetri.14
Beberapa pasien memiliki gejala atipikal (misalnya, batuk malam hari,
mengi, atau suara serak sebagai keluhan utama saja). Refluks gastroesophageal
merupakan faktor penyulit pada asma. Mekanisme ini dapat mencakup
microaspiration, yang mengarah ke reflex bronkokonstriksi. Asosiasi
gastroesophageal reflux dan jalan nafas atau penyakit saluran pernapasan adalah
umum. Batuk, stridor, dan faringitis semuanya telah dikaitkan dengan refluks
gastroesophageal. Selain itu, asosiasi dengan ruminasi umumnya diamati pada
pasien dengan gangguan perkembangan.14
Regurgitasi makanan, salah satu gejala presentasi yang paling umum pada
anak-anak, berkisar dari air liur sampai muntah proyektil. Paling sering,
regurgitasi adalah postprandial, meskipun penundaan 1-2 jam terjadi. Kita juga
harus mempertimbangkan anomali anatomi dan alergi protein pada anak muntah,
serta gangguan metabolisme bawaan (jarang).14
Esophagitis dapat bermanifestasi sebagai menangis dan rewel pada bayi
yang belum bisa bicara. Kegagalan untuk berkembang dapat mengakibatan asupan
kalori yang tidak cukup karena muntah berulang. Cegukan, gangguan tidur, dan
sindrom Sandifer (melengkung) juga telah terbukti berhubungan dengan refluks
gastroesofagus dan esofagitis.14
10
I. Diagnosis
Diagnosis GERD sering dibuat klinis berdasarkan gejala mengganggu atau tanda-
tanda yang mungkin terkait dengan GERD (Tabel 2).1
Gejala Tanda
Regurgitasi berulang dengan atau tanpa
muntah
Esofagitis, striktur esofagus, esofagus
Barrett
Berat badan turun atau tidak naik Radang pada laring atau faring
Irritabilitas pada bayi Pneumonia berulang
Rasa terbakar di dada Anemia
Mengi (wheezing) Erosi gigi
Stridor Nafsu makan berkurang
Batuk Apnea
Hematemesis Apparent life-threatening events
Disfagia, odinofagia
Suara serak
TABEL 2. Gejala dan tanda yang mungkin berhubungan dengan penyakit refluks
gastroesophageal.
1. Riwayat dan Pemeriksaan Fisik
Peran utama dari mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
dalam evaluasi GERD adalah untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain
dengan gejala yang sama dan untuk mengidentifikasi komplikasi GERD. Gejala
khas dari penyakit refluks pada anak bervariasi sesuai dengan umur dan kondisi
medis yang mendasari, namun patofisiologi yang mendasari GERD dianggap
sama pada segala usia termasuk bayi prematur. Berdasarkan hasil studi,
regurgitasi atau muntah, sakit perut, dan batuk , kecuali heartburn, adalah gejala
yang paling sering dilaporkan pada anak-anak dan remaja dengan GERD. 1
2. Fluoroskopi dengan kontras barium
Fluoroskopi dan kontras barium merupakan metode yang sudah lama
digunakan untuk mendiagnosis refluks gastroesofageal. Pemeriksaan dengan
11
kontras ini sering mengalami kegagalan dalam mendeteksi refluks gastroesofageal
secara dini, oleh karena refluks yang terjadi sering bersifat intermitten, jarang
bersifat kontinyu. Pemeriksaan barium kontras dilaksanakan secara seris dengan
mengamati refluks barium dari lambung ke esofagus.8
Dengan memakai fluoroskpi, refluks gasroesofageal lebih mudah
dideteksi.cara pemeriksaan dengan fluoroskopi : sebelum dilakukan pemeriksaan
fluoroskopi pada bayi pemberian makanan dan minuman dikurangi, sedangkan
pada anak yang lebih dewasa harus puasa, gerakana anak dikurangi. Dalam posisi
tidur barium diberikan sedikit demi sedikit dicampur dengan makanan atau
diberikan dengan memakai ‘nasogastric tube’.8
Pada bayi dapat diberikan dengan memakai botol susu. Pemberian barium
untuk mengevaluasi keadaan esofagus bagian atas terutama peristaltik esofagus
dan regurgitasi pada saat menelan. Setelah 1/3 dari total barium habis, dilakukan
pemotretan dengan sinar rontgen untuk mengevaluasi keadaan lambung dan
duodenum, stenosis pilorus, malrotasi intestinal dan melihat fungsi sfingter
gastroesofageal dengan mengganti-ganti posisi miring ke kiri dan ke kanan.8
3. Memeriksa PH esofagus
Pemeriksaan pH esofagus dapat menentukan apakah pH penderita dalam
keadaan normal atau mengalami perubahan. Pada keadaan normal pH esofagus
berkisar antrara 5-6. Selama episode refluks pH menurun < 4 dan lebih objektif
bila dapat dilakukan dengan berbagai macam posisi seperti berbaring, duduk, dan
kombinasi kedua posisi itu. Pengukuran pH ini dilakukan 2 jam setelah makan.
Dasar dari perubahan pH adalah terjadinya refluks asam dari cairan lambung.8
Caranya dengan memakan NGT dan dimasukkan cairan HCL 0,1 n
sebanyak 300cc/1,72 m2, kira-kira 3 cm dibawah sfingter esofagus bagian bawah,
dan dimonitor dengan fluoroskopi. 8
4. Radio Nuclide Gastro Esofagosgrafi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan Gastro esofageal scintigrafi dengan
mempergunakan “technetium 99m sulfur colloid”. Teknik ini memerlukan waktu
relatif lebih panjang dan non invasif. Pemberian secara oral dan bahannya tidak
12
diserap. Kemudian keadaan ini dimonitor dengan gamma kamera. Kepekaannya
70-80 %. Adanya aspirasi pada paru-paru dinyatakan dengan adanya radioaktifitas
positif pada paru.8
Dengan scintigrafi ini Heyman dkk. dapat menunjukkan adanya aspirasi
pada paru-paru sebesar 0,025 ml. Cara ini cukup baik karena tidak memerlukan
penenang yang menurunkan sfingter esofagus bagian bawah.8
5. Biopsi esofagus
Dengan esofagoskopi dan diperiksa PA. Pada GERD didapatkan
proliferasi lapisan basal esofagus yang meningkat.8
6. Keterlambatan waktu pengosongan lambung
Keterlambatan waktu pengosongan lambung pada bayi dengan RGE
diduga karena terdapat ketidakmampuan otot fundus lambung untuk mengadakan
kontraksi, untuk mengosongkan isi lambung. Waktu pengosongan lambung
dievaluasi 3-4 jam setelah makan. Heillemer AC dkk. mengadakan penelitian
terhadap 23 bayi pada usia 7-14 bulan dengan mempergunakan esofageal
manometer untuk melihat terjadinya refluks pada bayi, 3 jam sesudah diberi
minum atau makan. Pada makanan ditambahkan 100uTc sulfur koloid, ternyata
didapatkan pengosongan lambung pada penderita adalah 1 jam.8
J. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding GERD, antara lain :
a. Hiatus hernia.
Suatu kelainan yang terjadi sejak masa janin, dimana terjadi insufisiensi
kardia (inkompetensi kardia). Gejala yang timbul adalah muntah bercampur
lendir keputihan, kadang-kadang bercampur darah. Umumnya muntah tidak
eksplosif walaupun dapat terjadi muntah terus menerus. Pada penderita ini
tidak ditemukan pembesaran perut, dan pola defekasi normal. Diagnosis pasti
ditegakkan secara radiologis, yaitu studi kontras dari esophagus ke dalam
13
gaster. Penatalaksanaan kelainan ini umumnya dicoba secara konservatif
yaitu dengan menjaga posisi bayi selalu dalam keadaan setengah duduk,
pemberian antasida dan juga pemberian makanan padat. Bila dengan tindakan
konservatif gagal dan ditemukan adanya gangguan tumbuh kembang, maka
dilakukan tindakan operasi untuk menghalangi refluks yaitu gastropeksi dan
fundoplikasi.8
b. Akhalasia
Merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya relaksasi esophagus terminal.
Spasme esophagus dapat menimbulkan sumbatan partial pada daerah
perbatasan gaster-esophagus, dimana dengan Ba kontras, tampak adanya
konstriksi esophagus bagian terminal dan bagian atasnya melebar. Keadaan
ini sering ditemukan pada anak lebih besar , jarang pada bayi. Pengobatannya
dengan melebarkan bagian yang mengalami konstriksi dan perlu tindakan
berulang.8
c. Stenosis pylorus hipertrofi kongenital
Pada penderita dengan stenosis pylorus terdapat muntah yang projektil terjadi
pada umur lebih dari 1 minggu. Pada permulaan gejala muntah tidak
mencolok tetapi pada usia lebih dari 1 minggu, muntah lebih sering dan lebih
jelas. Gejalanya makin berat, berat badan tidak naik. Penyebabnya tidak jelas,
diduga ada tendensi familier karena 1% dari penderita ternyata orang tuanya
juga menderita kelainan yang sama. Beberapa peneliti menduga adanya
hipertrofi otot pilorus akibat adanya spasme otot. Pendapat sarjana lain adalah
respon terhadap rangsangan atau iritasi terhadap n. vagus.8
d. Obstruksi / atresia duodenum
Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada masa
embrional disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering
terjadi adalah muntah-muntah yang mengandung empedu. Bila atresia di
bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau muntahnya
keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam waktu lebih dari 24
jam. Pada penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian
atas. Bila penderita habis minum, tampak gerakan peristaltik melintasi garis
14
tengah, dari kiri ke kanan. Dengan foto abdomen polos, tampak adanya
gambaran “Double buble” yaitu tidak adanya gambaran udara di usus halus.
Pengobatan definitif adalah operasi.8
e. Mekonium ileus
Sering terjadi pada bayi dengan penyakit kista fibrosis yang dasar
penyakitnya adalah perubahan pada jaringan pankreas, asini atropi dan
inaktif, sehingga produksi enzim pankreas sangat berkurang. Juga disertai
perubahan pada kelenjer yang memproduksi lendir dari saluran pencernaan
dan saluran pernafasan. Penyumbatan usus oleh mekonium memberikan
gejala mekonium tidak keluar lebih dari 24 jam, perut gembung dan muntah-
muntah yang makin lama makin sering dan makin kental sehingga bayi akan
mengalami dehidrasi. Pada pemeriksaan dengan Ba kontras menunjukkan
gambaran kolon dibawah sumbatan mengecil. Pengobatan yang dikerjakan
pada dasarnya simptomatik dengan pemberian enzim pankreas dan mengatasi
masalah metabolik yang terjadi. Dapat dilakukan irigasi usus dengan
gastroprafin untuk melunakkan mekoneum yang kental. Bila pengobatan
tersebut gagal, maka dilakukan operasi.8
K. Penatalaksanaan GERD
Penatalaksanaan GERD mencakup beberapa aspek, antara lain :
1. Perubahan pola makan dan posisi pada bayi
Edukasi, bimbingan dan dukungan terhadap orang tua dibutuhkan untuk
menjaga bayi dengan gejala refluks fisiologis agar tetap sehat. Sensitivitas
terhadap protein susu terkadang menyebabkan bayi muntah dan menangis tanpa
sebab. Pemberian susu formula yang lebi kental ( atau formula anti regurgitasi
komersial, bila tersedia )mungkin bisa mengurangi regurgitasi yang terlihat tetapi
penurunuan frekuensi dari episode refluks sendiri tidak bisa diukur.1
Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus
yang bisa dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi
telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral berhubungan dengan
15
meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati mendadak atau sudden infant
death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi telentang atau
lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi sebagian
besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi
telungkup.1
2. Perubahan pola hidup pada anak dan dewasa
Pada anak yang lebih besar, tidak ada bukti yang jelas tentang
pengurangan konsumsi makanan-makanan tertentu. Pada dewasa, obesitas, makan
berlebih, dan makan pada malam hari sebelum tidur berhubungan dengan
timbulnya gejala GERD. Posisi tidur telentang atau posisi tidur pada sisi kiri dan
atau peninggian kepala tempat tidur, bs mengurangi gejala refluks.1
3. Terapi farmakologi
Agen farmakologi utama yang biasanya digunakan untuk mengatasi GERD pada
anak adalah agen buffering asam lambung, pertahanan mukosa, dan agen anti-
sekretorik lambung. Potensi efek samping dari penekanan sekresi asam lambung,
termasuk peningkatan resiko pneumonia community-acquired dan infeksi saluran
pencernaan, perlu diimbangi dengan manfaat terapi.1
Pada bayi yang didiagnosa GERD, diperlukan manajemen pengobatan
yang tepat. Obat penekan asam lambung berguna dalam mengobati esofagitis
yang disebabkan oleh refluks asam, bisa digunakan sebagai terapi tunggal maupun
kombinasi dengan agen prokinetik. Antagonis reseptor H2 (H2RAs; eg,
ranitidine, cimetidine, famotidine, nizatidine) dan penghambat pompa proton
inhibitors (PPIs; eg, omeprazole, esomeprazole, lansoprazole) terbukti efektif
dalam penatalaksanaan GERD. Sejumlah studi telah mendemonstrasikan
efektivitas dari H2RA pada orang dewasa dengan reflux, dan 3 uji coba acak
terkontrol pada anak menunjukkan bahwa H2RA efektif dalam mengurangi gejala
dan menyembuhkan esofagitis.15
Inhibitor pompa proton
Inhibitor pompa proton terkat dengan hydrogen/potassium adenosine
triphospatase, suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal,
16
karena itu dapat menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada
sekresi asam hidroklorida. Obat ini menghambat sekresi asam tanpa memandang
apakah distimulasi oleh histamine, asetilkolin, atau gastrin. Untuk sekresi dari sel
parietal inhibitor pompa proton memerlukan aktivasi dalam lingkungan. Supaya
makanan tidak dapat mempengaruhi absorpsi dan konsentrasi puncak obat dalam
plasma, obat ini paling baik diminum sekitar 30 menit sebelum makan. Obat ini
kurang efektif selama kondisi puasa saat kondisi asam lebih rendah.8
Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu
obat ini diformulasi dengan enteric coating, sehingaa obat ini mampu melewati
lambung dalam keadaan utuh dan memasuki usus, dimana PH nya kurang asam
dan obat diserap. Inhibitor pompa proton memiliki elimanis waktu paruh yang
pendek namun durasi aksi yang panjang karena ikatan dengan pompa proton
irreversibel dan penghentian aktifitas farmakologi memerlukan sintesis enzim
yang baru. Inhibitor pompa proton tidak mempengaruhi motilitas lambung atau
sekresi enzim lambung yang lainnya.8
Inhibitor pompa proton dapat berinteraksi dengan obat yang memerlukan
lingkungan asam untuk penyerapan (misalnya ketokonazol, itrakonazol). Inhibitor
pompa proton dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2C19 dan 3A4 secara
bervariasi dan dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
ini. 8
Omeprasol dan lansoprasol golongan inhibitor pompa proton telah
diijinkan penggunaanya oleh FDA pada pasien anak. Keduanya tersedia dalam
bentuk kapsul yang mengandung granula salut enteric. Lansoprasol juga tersedia
dalam bentuk granual untuk penggunaanya dalam suspense oral dan secara oral
dalam betuk talet yang mengandung mikrogranula salut enteric. Oleh karena itu
obat ini tidak boleh dikunyah, harus ditelan dalam bentuk utuh karena akan
menurunkan efektifitasnya. Esomeprasol (bentuk isomer S dari omeprasol)
tersedia sebagai kapsul yang mengandung enteric coated pellet , dan rabeprasol,
sedangkan pantoprasol tersedia dalam bentuk enteric coated tablets.8
17
Pantoprasol, rabeprasol, dan esomeprasol tidka dibenarkan penggunaanya
oleh FDA pada anak-anak. Saat ini percobaan klinis pada pasien anak-anak
sedang dilaksanakan.8
Omeprasol dan lansoprasol sebaiknya diminum dengan sedikit jus buah
yangaagak asam (jus apel, jeruk) atau yoghurt.8
Inhibitor pompa proton lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine
H2 dalam mengurangi sekresi asam, mengurangi gejala RGE, dan emnyembuhkan
esofagitis. Inhibitor pompa proton juga lebih efektif daripada antagonis reseptor
histamine H2 dalam mempertahankan remisi.8
Perbaikan gejala bergantung pada dosis, dosis yang lebih tinggi dikaitkan
dengan perbaikan gejala yang lebih cepat. Namun, studi mengenai lansoprazol
juga menunjukkan bahwa bayi yang lebih muda dari 10 minggu mempunyai
farmakokinetik yang berbeda dan memerlukan dosis yang lebih rendah dan efek
samping yang mungkin lebih umum terjadi dibanding pada bayi yang lebih
muda dari 28 hari. Beberapa studi melaporkan bahwa PPI adalah pengobatan yang
efektif untuk esophagitis akibat refluks, tetapi belum ada studi yang
menunjukkan keunggulan H2RA dengan dosis yang tinggi.15
Agen Prokinetik meningkatkan gerakan peristaltik esofagus, mempercepat
pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian distal.
Cisapride efektif dalam menurunkan refluks, namun obat tersebut telah ditarik
dari pasaran karena efek toksik pada jantung berpotensi menyebabkan
kematian dan tersedia hanya dalam protokol penggunaan yang terbatas.
Metoclopramid adalah obat antidopaminergik dan kholinomimetik yang telah
digunakan. medis pengelolaan GERD.15
Antasid menetralisir asam lambung, dan sodium alginate melindungi
mukosa esophagus dengan membentuk suatu gel pada permukaan. Sukralfat
(suatu kompleks aluminium dari sucrose sulfat) terikat pada dan melindungi
mukosa esofagus. Efikasi obat ini pada anak-anak yang mengalami refluks
estrofageal belum diketahui dengan pasti. Obat ini tidak dibenarkan penggunaan
pada bayi dan aank oleh FDA dalam pengobatan RGE. Penggunaan antacid yang
mengandung aluminium dalam jangka panjang harus dihindari karena resiko
18
toksisitas aluminium. Obat ini dapat digunakan secara intermitten untuk
meredakan gejala RGE pada anak yang berumur lebih besar.8
4. Terapi Bedah
Operasi antirefluks harus dipertimbangkan bila terapi medis gagal,
misalnya, gejala terus berlanjut atau timbul komplikasi GERD.
Pembedahan biasanya diindikasikan untuk pasien dengan refluks yang
berlanjut dan komplikasi esophagitis meskipun sudah diberi terapi medis. Nissen
fundoplication merupakan prosedur operasi yang paling umum dilakukan.
Tindakan yang dilakukan berupa pembungkusan fundus lambung 3600
sekitar esofagus distal.15
Alternatif dari nissen fundoplication adalah prosedur Thal (fundoplication
180° anterior), prosedur Toupet (fundoplication 2700 posterior), prosedur Boix-
Ochoa (pemulihan esofagus intra-abdomen), dan Watson fundoplication
(fundoplication 1200 anterior ). Perbandingan antara berbagai operasi ini telah
menunjukkan tingkat setara dengan komplikasi, revisi, dan kepuasan jangka
panjang. Prosedur Nissen dan prosedur terkait lainnya dapat dilakukan secara
laparoskopi. Fundoplication laparoskopik telah diteliti dengan baik dan telah
disetarakan dengan prosedur terbuka pada dewasa.15
L. Komplikasi GERD
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
a. Esofagitis dan sekuelenya – striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan,
nyeri pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi
hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan
dan parah dapat menyebabkan pembentukan striktura, yang biasanya
berlokasi di distal esophagus, yang menhasilkan disfagia, dan membutuhkan
dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang
berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel
19
skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk
terjadinya adenocarcinoma esophagus.4
b. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh
karena deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau
nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui
parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut.4
c. Extra esophagus
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung
terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau
mikroaspirasi). Seringnya, terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer
saluran pernapasan, dan terciptalah lingkaran setan yang semakin
memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi untuk GERD harus lebih intens
(biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3 sampai 6 bulan).4
M. Prognosis GERD pada anak
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun
relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang
lebih lama.15
Identifikasi subgrup pasien yang kemungkinan besar berkembang
mengalami komplikasi GERD dan penting untuk dilakukan perawatan secara
agresif. Pada pasien ini kemungkinan besar diindikasikan untuk mendapatkan
terapi pembedahan pada staium awal. Setelah laparoskopi Nissen fundoplication,
gejala teratasi pada 92% pasien.15
Kebanyakan kasus GER pada bayi dan balita adalah benigna dan berespon
terhadap terapi non farmakologi. 80% gejala berkurang pada umur 18 bulan.
Beberapa pasien memerlukan terapi menurunkan asam lambung dan hanya
sekelompok kecil yang memerlukan tindakan pembedahan karena gejala GER
setelah usia 18 tahun menunjukkan gejala yang kronik.Resiko jangka panjang
juga meningkat. Untuk pasien yang mengalami GER secara persisten periode
akhir usia anak selalunya memerlukan terapi agen anti sekretori.15
20
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.15
Data jangka panjang pada anak sangat jarang, namun kesuksesan terhadap
pembedahan antirefluks pada umumnya akan menjadi baik. Pada lebih dari 1000
laparoskopi Nissen fundoplication lebih dari 10 tahun pada bayi dan anak
menunjukkan hasil yang baik, dengan 4% angka kegagalan.15
Sebagian kecil laporan objektif setelah operasi mempertanyakan manfaat
dari pembedahan. Sebuah studi menemukan manfaat dari pembedahan yang
berhubungan dengan refluks pada anak usia 1-4 tahun, namun efek ini tidak
tercatat pada anak yang lebih tua. Kenyataannya, studi ini menujukkan bahwa
pada anak yang lebih tua dengan pengalaman gagal berkembang meningkatkan
angka rawat inap yang berhubungan dengan refluks setelah pembedahan.15
Pemeriksaan pH dalam 24 jam biasanya digunakan untuk mengevaluasi
secara objektif hasil dari pembedahan antirefluks. Sebuah pemeriksaan prospektif
dari 53 pasien pediatri yang diterapi dengan laparoskopi Thal fundoplication
ditemukan bahwa 25 % terdapat refluks patologi pada follow-up, namun 90 %
pasien dilaporkan bebas dari gejala.15
Kedua manajemen pembedahan dan terapi obat cenderung untuk
mendapatkan angka kegagalan yang tinggi pada anak dengan kelainan neurologi.
Kebanyakan dari pasien tersebut memiliki kemungkinan yang serius terhadap
morbiditas dan harapan hidup yang pendek. Sebuah studi pada 46 bayi yang
diperiksa 5 tahun setelah Nissenfundoplication ditemukan bahwa 24% meninggal
setelah gangguan medis lainnya. Yang lainnya, 74% tidak terdapat gejala
berulang, 12% membutuhkan operasi atau fundoplication berulang, dan 45%
mengalami komplikasi setelah operasi. Laporan lainnya dari 109 anak yang
menjalani prosedur Nissen or Boix-Ochoa antirefluks, setelah follow-up selama
10 tahun, ditemukan refluks rekuren pada 20% pasien.15
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4,
October 2009 : 498–547.
2. Sunoto. Esofagus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Editor : AH
Markum ;Ismail S, Alatas H, et al. Jakarta : FKUI, 1991
3. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in primary
care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010; 45(2): 139-146.
Available from: MEDLINE with Full Text.
4. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of
pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.
5. Sadler, T.W. Sistem Pencernaan. Dalam: Embriologi Kedokteran
Langman. Edisi ke-7. Jakarta: EGC ; 2000. hal 246-9
6. Wilson LM, Lindseth GN. Gangguan esofagus. Dalam: Price SA,Wilson
LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta
: EGC ; 2006. h. 404-16.
7. Guyton and Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2000. hal 1050-2
8. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007; hal 229-35
9. Cezard J. Managing gastro-oesophageal reflux disease in children.
Digestion. 2004 ; 69 Suppl 13-8.
10. Srivastava R, Jackson W, Barnhart D. Dysphagia and gastroesophageal
reflux disease: dilemmas in diagnosis and management in children with
neurological impairment. Pediatric Annals [serial on the Internet]. 2010 ;
39(4): 225-31.
23
11. Jayant Deodhar, MD: Pediatric Esophagitis.
h ttp://emedicine.medscape.com/article/928891-overview#showall [diakses
13 April 2011].
12. North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
Pediatric GE Reflux Clinical Practice Guideline. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Vol. 32, Supplement 2, 2001.
13. Rusdi I. Gangguan Ingesti, Anoreksia, Disfagia, dan Regurgitasi.
Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta 1988.
14. Schwarz, SM. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/930029-clinical#showall (diakses
14 april 2011).
15. Jaksic T. Pediatric Gastroesophageal Reflux Surgery Treatment and
Management. 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/936596-treatment#a1132
24