Makalah Transformasi Nilai Kebangsaan Kesbangpol Kemendari

17
Transformasi Nilai-nilai Kebangsaan Melalui Media Massa dalam Membangun Karakter Bangsa 1 Oleh Usman Yatim 2 1.Pengantar Membincangkan karakter bangsa sekarang ini lumayan cukup menarik perhatian banyak kalangan. Paling tidak istilah karakter bangsa ini agak mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Maret 2010 memberi arahan kepada para menteri bidang kesra, terutama Mendiknas untuk mengupayakan bagaimana agar karakter bangsa dapat dicuatkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama melalui jalur pendidikan. Dari arahan Presiden SBY ini, Kementerian Pendidikan Nasional mengangkat tema Hari Pendidikan Nasional 2010 dengan “Pendidikan Karakter Bangsa”. Sejak Hardiknas itu istilah karakter bangsa lumayan banyak disuarakan, seperti beberapa kali ikut diucapkan oleh Wakil 1 Makalah untuk Seminar “Membangun Karakter bangsa yang Sadar Bela Negara” yang diselenggarakan oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Komunikasi Kesadaran Bela Negara di Kampus Universitas Pakuan Bogor, 24 Juli 2010. 2 Drs.Usman.Yatim, MPd, MSc, Ketua Departemen Wartawan Kesra Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Pemimpin Redaksi Suratkabar Madina, dosen Fikom Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) Jakarta. 1

description

Transformasi Nilai-nilai KebangsaanMelalui Media Massa dalam Membangun Karakter Bangsa Oleh Usman Yatim

Transcript of Makalah Transformasi Nilai Kebangsaan Kesbangpol Kemendari

Transformasi Nilai-nilai Kebangsaan

Melalui Media Massa dalam Membangun Karakter Bangsa1

Oleh Usman Yatim2

1. Pengantar

Membincangkan karakter bangsa sekarang ini lumayan cukup menarik perhatian banyak

kalangan. Paling tidak istilah karakter bangsa ini agak mengemuka ketika Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono, Maret 2010 memberi arahan kepada para menteri bidang kesra,

terutama Mendiknas untuk mengupayakan bagaimana agar karakter bangsa dapat

dicuatkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama melalui

jalur pendidikan. Dari arahan Presiden SBY ini, Kementerian Pendidikan Nasional

mengangkat tema Hari Pendidikan Nasional 2010 dengan “Pendidikan Karakter Bangsa”.

Sejak Hardiknas itu istilah karakter bangsa lumayan banyak disuarakan, seperti beberapa

kali ikut diucapkan oleh Wakil Presiden Boediono. Kalangan tokoh masyarakat juga

banyak angkat bicara soal karakter bangsa, terutama cukup mengemuka, saat Musyawarah

Nasional Majelis Ulama Indonesia, 25 – 28 Juli 2010, yang mengangkat tema “Peran

Ulama dalam Perbaikan Akhlak dan Pemberdayaan Ekonomi Umat.” Istilah perbaikan

akhlak oleh MUI tidak lain juga tidak lepas dari upaya membangun karakter bangsa.

Kini, seminar yang digelar di Kampus Universitas Pakuan Bogor, juga menyorot soal

karakter bangsa yang dikaitkan dengan kesadaran bela negara. Tampaknya, kita kini

memang ada upaya serius untuk melakukan gerakan membangun karakter bangsa dengan

melibatkan segenap komponen bangsa. Tujuannya, sebagaimana acuan seminar ini antara

lain untuk “merumuskan prinsip-prinsip dasar dalam membangun karakter bangsa yang

1 Makalah untuk Seminar “Membangun Karakter bangsa yang Sadar Bela Negara” yang diselenggarakan oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Komunikasi Kesadaran Bela Negara di Kampus Universitas Pakuan Bogor, 24 Juli 2010.

2 Drs.Usman.Yatim, MPd, MSc, Ketua Departemen Wartawan Kesra Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Pemimpin Redaksi Suratkabar Madina, dosen Fikom Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) Jakarta.

1

memiliki sikap dan prilaku bela negara sebagai identitas bangsa yang bermartabat di

lingkungan global.”

Kegiatan yang digelar oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam

Negeri bersama Forum Komunikasi Kesadaran Bela Negara ini tentu patut diberi

apresiasi. Hal itu mengingat persoalan kita saat ini memang banyak menyangkut masalah

karakter yang terkait dengan jati diri kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan

berdaulat. Upaya mengajak semua komponen bangsa untuk ikut terlibat, termasuk

kalangan insan media massa, memang patut serius dilakukan.

Pertanyaannnya, “bagaimanakah peran media massa ikut membangun karakter bangsa

dengan melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan?” Menjawab pertanyaan ini

termasuk gampang-gampang susah. Dikatakan gampang, karena boleh saja dikatakan

bahwa apa yang telah dilakukan media saat ini, termasuk sepanjang kesejarahannya, telah

melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan tersebut. Sedangkan disebut susah karena

dapat saja banyak orang menyebut bahwa karakter bangsa itu belum terwujud atau bahkan

malah kian menjauh dan itu karena peran media belum optimal. Boleh jadi, hal inilah

mengapa kalangan media diajak dalam forum seminar ini.

2. Apa itu Karakter Bangsa?

Pertanyaan tentang apa itu karakter bangsa, atau kata karakter itu sendiri, patut kita ajukan

di sini. Hatta Rajasa (2007) sempat menulis tentang “Membangun Karakter dan

Kemandirian Bangsa” (http://www.setneg.go.id). Dari tulisannya ini, tidak ditemukan

secara spesifik penjelasan arti karakter itu yang sesungguhnya, kecuali dia banyak

mengulas tentang pembangunan, tata nilai, dan daya saing.

Boleh jadi, ulasan tentang arti karakter dianggap tidak penting karena dinilai semua orang

sudah tahu atau mengerti. Namun, apakah demikian adanya? Jangan-jangan, kenapa kita

kini banyak disebut tidak memiliki atau kehilangan karakter karena pemahaman terhadap

karakter itu sendiri banyak yang rancu atau tidak jelas. Padahal memahami makna suatu

2

kata, istilah yang sarat makna sangatlah diperlukan, apalagi kata itu adalah sesuatu yang

perlu melekat pada diri kita. Ibarat pepatah, “tak kenal maka tak sayang” maka kita perlu

tahu apa itu arti karakter, dan karakter bangsa. Pengenalan kita yang dalam terhadap kata

karakter, akan merasuk dalam pikiran dan hati kita, kemudian kita secara sadar mau

mengimplementasikan secara terus menerus.

Tentu saja diyakini, kita sesungguhnya sudah banyak tahu arti karakter tersebut. Namun,

tahu saja belum tentu mendalami, menghayati, atau menganggapnya sangat penting.

Paling tidak kita tahu arti karakter tetapi hanya melihatnya sekadar sebuah kata yang

digunakan penghias kata, hanya slogan tanpa makna. Kata karakter banyak diucapkan,

menjadi bahan seruan, himbauan tapi tanpa ada dalam tindakan. Karakter tidak banyak

dilihat dalam kehidupan nyata sehingga menjadi suatu yang abstrak, tidak dapat untuk

ditiru, diikuti atau diteladani.

Secara sederhana, kata karakter biasanya dikaitkan dengan watak, kepribadian, sifat, jati

diri, sikap dan prilaku. Mengutip dari buku yang diterbitkan International Association of

Character Cities (2006), karakter adalah “motivasi batiniah untuk melakukan yang benar

berapapun harga yang harus dibayar.” Pengertian ini, karakter dikaitkan dengan perbuatan

yang mengandung nilai-nilai, moral atau etika dalam kehidupan. Perbuatan dan nilai-nilai

itu sedemikian pentingnya sehingga dirasa mutlak untuk dilakukan dan siap dibayar

dengan harga berapapun. Karakter terkait dengan upaya mengembangkan kualitas-kualitas

seperti kejujuran, kesabaran, kesetiaan, disiplin, dan sebagainya.

Pengertian lainnya (http://id.wikipedia.org), karakter bisa digambarkan sebagai sifat

manusia pada umumnya, di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari

faktor kehidupannya sendiri. Karakter disebutkan seperti pemarah, sabar, ceria, pemaaf,

dan banyak lainnya. Manusia sebagai makhluk individu-sosialis mempunyai karakter

sosial yang kuat berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.Masih menurut

Wikipidia, untuk menunjukan ekstistensi dirinya manusia pasti mempunyai ciri khas,

karakter sendiri-sendiri.

3

Tampaknya, dapat banyak penafsiran tentang karakter dan masing-masing kita boleh jadi

benar dalam memahaminya. Namun, apapun itu, sebetulnya pemahaman terhadap karakter

tampaknya harus dilihat dari proses terbentuknya karakter pada diri, termasuk bangsa dan

negara. Dalam hal ini, patut dikutip pernyataan ini: “taburkan pemikiran, anda akan

menuai tindakan; taburkan tindakan, anda akan menuai kebiasaan; taburkan kebiasaan,

anda akan menuai karakter; taburkan karakter, anda akan menuai tujuan hidup (Samuel

Smiles).”

Dari kata-kata itu, dapat kita pahami bahwa karakter itu haruslah berawal dari berbagai

nilai-nilai moral yang ada dalam pikiran dan hati kita, kemudian nilai-nilai itu kita

wujudkan dalam tindakan atau perbuatan, dan tindakan itu kita lakukan secara terus

menerus sehingga menjadi kebiasaan, serta dari kebiasaan itulah terbangun karakter.

Hasilnya, karakter yang terbangun dapat mengarahkan upaya kita dalam mencapai tujuan

hidup.

Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter bangsa, sesungguhnya adalah

segala sesuatu terkait dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan kebangsaan, dalam hal

ini keindonesiaan kita. Lantas, nilai-nilai dan semangat kebangsaan manakah yang telah

menjadi karakter kita sebagai bangsa? Pertanyaan tersebut boleh jadi dapat menjadi topik

pembicaraan tersendiri yang mengundang banyak perdebatan.

Terlepas suka atau tidak suka, nilai-nilai kebangsaan yang layak untuk menjadi karakter

kita sebagai bangsa dan negara Indonesia, tidak lain adalah Pancasila. Sila-sila yang

terkandung dalam Pancasila, merupakan prinsip-prinsip dasar dalam membangun karakter

bangsa. Dilihat dari kesejarahan dan nilai-nilai budaya luhur kita, implementasi Pancasila

dapat mewujudkan sikap dan prilaku bela negara, sekaligus dapat menjadi identitas

bangsa dan negara Indonesia yang bermartabat di lingkungan global. Masalahnya, apakah

Pancasila sudah menjadi karakter keindonesiaan kita?

4

3. Pancasila Karakter Keindonesiaan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila, di

Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 1 Juni 2010, menyatakan setuju dengan pernyataan

bahwa Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika merupakan 4 pilar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden menggarisbawahi pula bahwa rangakaian

dokumen sejarah, mulai dari 1 Juni 1945 hingga teks final Pancasila yang

diundangdasarkan pada 18 Agustus 1945 adalah satu-kesatuan dalam proses kelahiran

Pancasila.

Presiden SBY mengingatkan pula, hal terpenting saat ini adalah menyangkut dijadikannya

Pancasila sebagai rujukan dalam menjawab tantangan bangsa di tengah dunia yang terus

berubah. Mendengarkan pandangan SBY tentang Pancasila terkait pidato Bung Karno, 1

Juni 1945 itu memang sangat menarik. Apalagi pada kesempatan itu ikut hadir, mantan

Presiden Megawati Soekarnoputri bersama para tokoh senior lainnya. Tampaknya, kita

memang tidak ada lagi masalah dengan kesejarahan Pancasila. Namun, sebagaimana

dikatakan tadi, persoalan kita saat ini justru menyangkut penghayatan dan pengamalan

nilai-nilai Pancasila itu.

Kita justru layak mempertanyakan, sejauh mana lima sila Pancasila telah merefleksikan

dalam kehidupan kita? Bila melihat kenyataan keseharian, rasanya Pancasila, jangankan

untuk dihayati dan diamalkan tapi mengenalnya saja kini terasa seperti terlupakan.

Apalagi dilihat dalam kehidupan generasi muda, Pancasila sudah terasa asing, tidak

bergema, dan bahkan nyaris tanpa makna. Cobalah kita ajak anak-anak, generasi muda,

seberapa pahamkah mereka tentang Pancasila?

Ironisnya, tidak hanya para generasi muda, di kalangan para penyelenggara Negara,

Pancasila juga sudah seperti terlupakan. Cobalah lihat berbagai perkembangan pemikiran,

kebijakan terkait masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah nilai-nilai Pancasila

banyak disinggung, menjadi rujukan utama? Bagaimana dengan berbagai produk

perundang-undangan yang dibuat terakhir ini, apakah semangat dan nilai-nilai Pancasila

tersebut ikut mewarnai?

5

Sudah menjadi pembicaraan bahwa Pancasila, saat ini nyaris hanyalah sebagai kosa kata,

istilah yang tidak lebih seperti ketika kita membincangkan Hari Kebangkitan Nasional,

Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan sebagainya. Dia diingat ketika hari lahirnya,

sedangkan nilai-nilainya seperti asing dalam kehidupan kita. Malahan, hari lahir Pancasila

sajapun diperingati secara terbatas.

Padahal Pancasila pernah sering dikumandangkan sebagai falsafah, pandangan hidup, way

of life, ideology, dasar Negara Indonesia. Kata-kata ini sampai kini tentu tidak banyak

yang membantah, namun lagi-lagi tidak banyak dikedepankan sehingga terasa asing bagi

banyak kalangan, terlebih di kalangan generasi muda. Bahkan, pernah pula, Pancasila

dikaitkan dengan berbagai kosa kata lain, seperti demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila,

pers Pancasila, dan sebagainya.

Harus diakui, kita tidak dapat melupakannya, Pancasila pernah demikian popular ketika

masa Orde Baru. Pemerintahan masa Orde Baru memang sangat antusias mengusung

Pancasila dalam segala sisi kehidupan bangsa dan Negara. Masa itu dikedepankan satu

asas Pancasila bagi organisasi politik dan kemasyarakatan. Masa itu pula kita mengenal

P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), BP-7 (Badan Pembinaan

Pelaksananaan Pendidikan P-4), dan Tim P-7 (Tim Penasehat Presiden untuk Pelaksanaan

P-4). Segala-galanya ketika itu orang menyebut Pancasila sehingga harus diakui pula

banyak terjadi hal-hal yang kebablasan.

Seiring dengan pergantian masa dari Orde Baru ke era reformasi, Pancasila lantas

dikesampingkan. Hujatan yang dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru telah

berimbas kepada Pancasila dengan menyebut dan menuding, Pancasila disalahgunakan

untuk kepentingan kekuasaan, dan penafsiran Pancasila dilakukan secara sepihak. Segala

cacat yang ditimpakan kepada Orde Baru dinilai karena penyalahgunaan Pancasila.

Lucunya, boleh jadi ada penerapan atau pengamalan yang salah terhadap Pancasila tapi

kenapa justru Pancasila yang dikebiri? Ibarat kita tidak pandai menari, lantai yang

disalahkan. Pancasila kala itu kita tuding habis, termasuk menyalahkan para Bapak

Bangsa yang telah mewariskan Pancasila tersebut. Pancasila kita hadapkan, pertentangkan

6

atau bandingkan dengan agama, padahal berulangkali ditegaskan Pancasila bukanlah

agama.

Kini, seribu alasan boleh kita kemukakan mengapa Pancasila sempat kita pinggirkan.

Lantas, ketika ada pengakuan, kesadaran bahwa nilai-nilai Pancasila memang tidak

terbantahkan untuk keindonesiaan kita, mengapa kita tidak kembali mencuatkannya?

Tampaknya, kinilah saatnya kita kembali menggelorakan Pancasila sebagai dasar Negara,

falsafah hidup bangsa dan Negara Indonesia yang penuh kemajemukan ini.

Tatkala era kebebasan, kehidupan yang penuh keterbukaan, demokrasi demikian akrab

dalam kehidupan kita saat ini, upaya menggelorakan, memasyarakatkan Pancasila

merupakan suatu keharusan. Ketika kita tidak lagi berdebat soal kesejarahannya maka

kinilah saatnya Pancasila benar-benar dapat kita jadikan sebagai salah satu identitas utama

keindonesiaan kita. Salah satu karakter, jati diri Indonesia, haruslah itu Pancasila. Ketika

kita mulai berpikiran sempit, sektarian, bersikap primordial, otonomi daerah yang

kebablasan, ketika itu pulalah kita harus mengedepankan Pancasila.

Tentu saja, cara-cara yang dilakukan tidak harus persis sama dengan masa Orde Baru.

Kalau perlu, otoritas dalam upaya memasyarakatkan Pancasila itu tidak harus lembaga

pemerintah tetapi mungkin lembaga independen. Prinsipnya, upaya pemasyarakatan

Pancasila harus segera dilakukan. Harus ada kemauan semua pihak, segenap komponen

bangsa, menghidupkan kembali Pancasila.

Paling tidak, Pancasila harus benar-benar digerakkan dalam dunia pendidikan. Ketika

Kementerian Pendidikan Nasional mengedepankan pendidikan karakter bangsa dalam

rangka Hari Pendidikan Nasional 2010, harusnya dapat menjadikan Pancasila sebagai ikon

karakter bangsa dan Negara Indonesia. Saatnya kini, dari TK hingga perguruan tinggi,

Pancasila dipopulerkan. Bila upaya tersebut dapat dilakukan, barulah kita meyakini

Pancasila dapat menjadi rujukan, namun jika tidak ada tindakan, gerakan masyarakat

untuk mensosialisasikannya, maka ajakan Presiden SBY menjadikan Pancasila sebagai

rujukan, hanyalah himbauan tanpa makna, retorika tak berkesan.

7

Mari kita nantikan, apakah Pancasila memang serius akan kembali digelorakan? Sebagai

upaya membangun karakter, Pancasila memang harus banyak kita pikirkan, kita bicarakan,

kita upayakan untuk diamalkan. Bila penghayatan dan pengamalannya sudah menjadi

kebiasaan, melekat dalam kehidupan, barulah butir-butir atau nilai-nilai Pancasila itu

menjadi bagian dari karakter keindonesiaan kita.

4. Peran Media Membangun Karakter Bangsa

Media komunikasi selalu dituntut untuk dapat berperan terhadap apa yang ingin kita

harapkan atau wujudkan, termasuk dalam upaya menstransformasikan nilai-nilai

kebangsaan dalam upaya membangun karakter bangsa. Hal itu karena keberadaan media

massa memang punya pengaruh besar dalam mendorong perubahan. Media massa disebut

sebagai faktor dominan dalam terbangunnya opini, pencitraan. Berbagai perubahan,

dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disebut-

sebut banyak dipengaruhi oleh peran media komunikasi.

Bila kita melihat perjalanan sejarah bangsa, mulai sejak masa perintisan kemerdekaan,

masa perjuangan merebut kemerdekaan, awal kemerdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru,

dan kini era reformasi, peran media massa memang selalu menonjol. Media massa adalah

sarana untuk menyampaikan isi pesan/pernyataan/informasi. Selain pembentuk opini,

media dapat membangun atau meruntuhkan semangat. Media disebut sebagai cermin atau

mencerminkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan yang mengemuka dalam era kebebasan saat ini, apakah media massa kita ikut

memainkan peran utama dalam menstransformasikan nilai-nilai kebangsaan yang

diharapkan? Jawabannya, tentu ada yang bilang berperan, dan ada pula yang bilang tidak

berperan. Ketika banyak orang risau nilai-nilai kebangsaan mulai pupus dalam kehidupan

kita, peran media lantas dikritisi. Media massa justru dituding lebih mengedepankan nilai-

nilai yang tidak relevan dengan nilai-nilai kebangsaan.

8

Mencuatnya semangat kehidupan global, nilai-nilai budaya barat mendominasi kehidupan

kita, maka semua ini dituding karena pengaruh media massa. Belum lagi bila disebut

kehidupan pers bebas telah mendorong media massa lebih berorientasi bisnis, maka peran

media ikut membangun nilai-nilai kebangsaan menjadi menipis, apalagi bila dikaitkan

dengan upaya mensosialisasikan Pancasila sebagai karakter keindonesiaan kita, sungguh

suatu harapan kosong bila mengharapkan peran media massa. Bukannya media massa

tidak mau berperan tetapi apakah memang Pancasila serius untuk dijadikan karakter

keindonesiaan kita?

Melihat kenyataan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa saat ini, karakter

keindonesiaan yang harus disosialisasikan media massa memang tidak banyak untuk dapat

dilakukan. Sebagaimana dikatakan diatas, nilai-nilai kebangsaan Indonesia dalam

realitasnya barulah sebatas wacana, harapan yang belum dapat dilihat dari tindakan,

perbuatan, sikap dan prilaku masyarakat, terutama dari para elit, para pemimpin. Andai

tindakan atau perbuatan saja ada, belum tentu semua dapat dicuatkan media. Tidak selalu

realitas yang ada dalam masyarakat dimunculkan oleh media, apalagi bila trend

pemberitaan dinilai tidak punya nilai berita.

Menurut Dennis Mc.Quail (1987), ”media massa merupakan filter yang menyaring

sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang

menghalangi kebenaran.” Artinya, media massa belum tentu mampu mengungkap segala

apa yang ada dalam kehidupan masyarakat. Suatu yang faktual, kebenaran yang

diharapkan muncul, boleh jadi tidak merupakan kebenaran yang kita harapkan. Misalnya,

ketika kasus video porno yang melibatkan Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari

dihebohkan media massa, kita berharap masyarakat menjauhi pornografi tapi

kenyataannya justru banyak orang makin mendekati pornografi.

Lantas bagaimana media massa dapat menstransformasikan nilai-nilai kebangsan yang

membangun karakter bangsa, bilamana fakta yang muncul adalah berbagai tindakan atau

prilaku yang jauh menyimpang dari karakter bangsa? Korupsi tetap merajalela, para elit,

pejabat banyak lebih memperkaya diri daripada peduli terhadap rakyat miskin. Anggota

DPR kita suka membolos dan banyak menuntut fasilitas, menaikkan gaji sendiri.

9

Penegakan hukum lebih banyak sekadar wacana, himbauan tetapi jauh dari tindakan nyata.

Berbagai fakta yang jauh dari karakter itulah yang terekam dan tersiarkan oleh media

massa.

Tentu saja agenda media tidaklah larut dengan kenyataan yang banyak menggerogoti

nilai-nilai kebangsaan itu. Sesungguhnya, media massa kita juga berjuang ingin keluar

dari realitas yang dapat menghancurkan keindonesiaan kita. Media massa justru dengan

mengungkapkan berbagai kebobrokan yang ada, terkandung maksud ingin mendorong

terciptanya kehidupan sebagaimana terbangunnya nilai-nilai kebangsaan sesuai dambaan

pendiri bangsa dan negara ini.

Peran media sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999,

Pasal 6, adalah “memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkkan nilai-nilai

dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta

menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang

tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-

hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

Berbagai peran tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan meski tentu saja banyak hal

yang patut dikritisi terhadap media massa kita. Hanya lagi-lagi, persoalan utamanya

banyak terletak pada elit, para pemimpin, mereka yang menjadi sumber pemberitan media

massa. Harus diakui, pihak media massa kini cukup kesulitan untuk menemukan nara

sumber yang layak menjadi tokoh, ikon yang dapat menonjolkan nilai-nilai kebangsaan

yang dapat benar-benar membangun karakter bangsa. Sederhananya, media massa tidak

atau belum punya tokoh, nara sumber yang layak menjadi panutan, teladan dalam

membangun karakter bangsa.

5. Penutup

- Transformasi nilai-nilai kebangsaan dalam membangun karakter bangsa perlu dilakukan

oleh segenap komponen bangsa karena sangat menentukan bagi masa depan kehidupan

masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk “memajukan kesejahteraan 10

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pembukaan UUD

1945).

- Pemahaman terhadap karakter dan karakter bangsa perlu benar-benar didalami agar dapat

dihayati dan terbangun dalam setiap pribadi, anggota keluarga dan warga bangsa.

Karakter bukanlah sesuatu yang sudah jadi, melainkan dimiliki lewat proses pemikiran,

sesuatu yang terus diwacanakan, kemudian diwujudkan dalam tindakan, dan akhirnya

menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan kita.

- Bentuk dan nilai-nilai kebangsaan yang patut ditransformasikan dalam membangun

karakter bangsa, secara umum adalah nilai-nilai Pancasila. Masalahnya kini, Pancasila

yang layak menjadi karakter keindonesiaan kita, cenderung dilupakan, tidak lagi

tersosialisasikan.

- Peran media massa dalam mentransformasikan nilai-nilai kebangsaan merupakan suatu

yang sudah seharusnya dan media kita sesungguhnya sudah dan terus melakukannya.

Persoalan yang ada, media cukup kesulitan mengangkat nilai-nilai kebangsaan dalam

bentuk nyata karena tidak atau belum menemukan nara sumber, tokoh atau fakta-fakta

yang dapat atau benar-benar layak menjadi ikon, panutan dalam mentransformasikan

nilai-nilai kebangsaan yang relevan dengan kondisi kehidupan saat ini.

11