Makalah Revisi Metode Tafsir Tahlili Dan Ijmali

37
METODOLOGI TAFSIR TAHLILI - IJMALI MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Saifuddin, M.A Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag Disusun Oleh : Lailatul Fadhilah 1400018056 PROGAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

description

tafsir tahlili studi ulumul qur'an

Transcript of Makalah Revisi Metode Tafsir Tahlili Dan Ijmali

METODOLOGI TAFSIR TAHLILI - IJMALI

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi TugasMata Kuliah Studi Al-QuranDosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Saifuddin, M.A Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag

Disusun Oleh :Lailatul Fadhilah1400018056

PROGAM PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG2014

I. PENDAHULUANKehadiran teks Al-Quran ditengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayat-Nya.[footnoteRef:2] Maka dapat dikatakan bahwa Al-Quran hingga kini masih menjadi teks inti dalam peradaban Islam. [2: Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 15]

Dalam mengkaji keilmiahan, filsafat ilmu mengajarkan kepada kita tentang ontologi (objek/mahiyah sesuatu yang dikaji), epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan) dan aksiologi (nilai kegunaan ilmu).[footnoteRef:3] [3: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 378]

Metodologi[footnoteRef:4] adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Prinsip metodologis dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.[footnoteRef:5] Dalam pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks metodologi tafsir (metode penafsiran Al-Quran).[footnoteRef:6] [4: Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method, dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa arabistilah metode dikenal sebagai manhaj. Sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 37] [5: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri , (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm.xvii] [6: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 379]

Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan Al-Quran secara apresiasif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat islam. Hasil dari upaya yang sungguh-sungguh tersebut dengan menggunakan alat (metodologi) sehingga terwujud sebagai tafsir. Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tersebut.[footnoteRef:7] [7: M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 38 ]

Ada beberapa metode penafsiran Al- Quran yang umumnya digunakan para ulama tafsir. Penafsiran yang lazim digunakan ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global, tetapi ada juga yang menafsirkannya dengan cara melakukan studi perbandingan (komparasi) atau pun dengan cara yang sistematis. Menurut ahli tafsir, Abd al-Hayy al-Farmawi, menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran Al- Quran, yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-manhaj al-ijmali, al-manhaj al-muqaran, dan al-manhaj al-maudhui.[footnoteRef:8] [8: Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhuiy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhuiyah (Mathbaah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997) hlm. 21 ]

Perkembangan tafsir Al-Quran dari sejak dulu hingga sekarang secara garis besar mengacu pada keempat metode yang disebutkan Abd al-Hayy al-Farmawi tersebut, metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqaran (perbandingan), maudhui (tematik). Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menguraikan diantara macam metode tersebut, yaitu metodologi tafsir Tahlili dan Ijmali (al-manhaj al-tahlili dan al-manhaj al-ijmali).II. Rumusan MasalahDalam pembahasan makalah ini terdapat point rumusan masalah, yaitu:1. Apakah yang dimaksud dengan metode tafsir tahlili dan Ijmali?2. Bagaimanakah penjelasan mengenai metode tafsir tahlili dan Ijmali ini?

III. PembahasanA. Metode Tafsir al- Tahlili (Deskriptif Analitis)1. PengertianKata tahlili () adalah bentuk masdar dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan berasal dari kata halla-yahullu-hallan. Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Menurut Ibnu Faris, asal kata ha, lam, dan lam mempunyai derivasi kata, dan asalnya berarti membuka sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang tertutup darinya. Dari sini dapat dipahami bahwa kata tahlili menunjukkan arti membuka sesuatu yang tertutup atau terikat dan mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak ada yang terlepas atau tercecer.[footnoteRef:9] Secara definisi, penafsiran tahlili adalah seorang mufasir menafsirkan beberapa ayat Al-Quran sesuai susunan bacaannya dan tertib susunan didalam mushaf, kemudian baru menafsirkan dan menganalisis secara rinci [footnoteRef:10] [9: Ibnu Faris, Mujam Maqayis al-Lughah, Beirut: Darul-Ihya at Turas al Arai, 2001, hlm. 228 (Dikutip dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012) ] [10: Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68]

Metode tahlili, menurut M. Quraish Shihab, lahir jauh sebelum maudhui. Metode tahlili dikenal sejak Tafsir al-Farra (w. 206 H./821 M), atau Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau paling lambat Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H/922 M) (tafsir Jami al-Bayan an takwil ayi Al-Quran). Kitab-kitab tafsir Al-Quran yang ditulis para mufasir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir semuanya menggunakan metode tahlili. [footnoteRef:11] [11: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm 379]

Menurut Abd al-Hayy al-Farmawi, metode penafsiran tahlili adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat Al- Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[footnoteRef:12] Penjelasan makna-makna ayat tersebut bisa mengenai makna kata, penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbabun-nuzul-nya, serta penafsiran yang dikutip dari nabi, sahabat, maupun tabiin.[footnoteRef:13] [12: Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhuiy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhuiyah (Mathbaah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997) ,hlm. 24] [13: Ibid.,hlm. 17 ]

Sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab, metode tahlili, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajziiy adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum didalam mushaf.[footnoteRef:14] [14: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dn Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007 hlm.129-130]

Dalam metode ini, mufasir menguraikan makna yang dikandung Al- Quran, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosakata, konotasi kalimatnya, latarbelakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabiin maupun ahli tafsir lainnya.[footnoteRef:15] [15: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 31]

Metode penafsiran tahlili juga dapat dipahami sebagai metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat Al- Quran dari setiap surah-surah dalam Al-Quran dengan seperangkat alat-alat penafsiran (antaranya mengenai asbabun-nuzul, munasabat, nasikh-mansukh, dan sebagainya) dalam Al-Quran.[footnoteRef:16] [16: Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68]

Dari definisi-definisi diatas penulis dapat memahami bahwa metode penafsiran tahlili, dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun didalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabat (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau para tabiin yang kadang bercampur dengan pendapat penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh kecenderungan latarbelakang pendidikan dan corak pemikirannya. Sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan lain yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Quran. 2. Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab TafsirnyaAdapun tokoh-tokoh mufasir yang menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dapat mengambil dalam bentuk matsur (riwayat) atau rayi (pemikiran). Diantara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir bi al matsur[footnoteRef:17] ialah Jami al Bayan an Tawil Ayi al- Quran karangan Ibn Jarir Al Thabari (w. 310 H.), Maalim al Tazil karangan al-Baghawi (w. 516 H.), Tafsir Al- Quran al-Azhim (Tafsir ibn Katsir) karangan Ibn Katsir (w.774 H.), dan Al- Durr al-Mantsur fi al- Tafsir bi al-Matsur karangan As-Suyuthi (w. 911 H.).[footnoteRef:18] [17: Tafsir bi al matsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut syarat-syarat dan adab bagi mufasir. Yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, dengan Sunnah, perkataan sahabatdan juga dari tabiin.(lihat Manna Khalil al- Qathan, Mabahis fi Ulumil Quran/Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan bahasa Indonesia oleh Mudzakir AS, cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013) hlm. 482] [18: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 32]

Sedangkan tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir al- rayi[footnoteRef:19] antara lain : Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil karangan al-Baydhawi (w. 691 H.), Al- Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H.), Arais al- Bayan fi Haqaiq al-Quran karangan al- Syirazi (w. 606 H.), Al-Tafsir al- Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al- Fakhr al-Razi (w. 606. H), al Jawahir fi Tafsir al- Quran karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al- Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H.) dan lain-lain.[footnoteRef:20] [19: Tafsir bi al rayi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri (hasil ijtihad dan penalaran) dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada rayu semata. (lihat Manna Khalil al- Qathan, Mabahis fi Ulumil Quran/ Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan bahasa Indonesia oleh Mudzakir AS, cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013) hlm. 488] [20: Ibid.,hlm. 32]

3. Ciri- ciri Metode TahliliJika kita mengkaji pola penafsiran yang diterapkan oleh pengarang kitab tafsir yang dinukilkan diatas, maka akan dipahami bahwa mufasir tersebut berusaha menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-matsur maupun al-rayi. Dalam penafsiran tersebut, Al-Quran ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta menerangkan asbab-al-nuzul dari ayat yang ditafsirkan. Diungkapkan pula penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad Saw., sahabat, tabiin tabi al-tabiin dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra dan sebagainya.[footnoteRef:21] [21: Ibid., hlm. 33]

Dilengkapi pula mengenai munasabat (kaitan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, juga antara surah dengan surah yang lain. Disamping itu, tafsir yang mengikuti pendekatan metode analitis ini diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufasirnya, sehingga lahirlah berbagai corak penafsiran seperti tafsir al-fiqhi[footnoteRef:22], tafsir al-shufi[footnoteRef:23], tafsir al-falsafi[footnoteRef:24] , tafsir al-ilmi[footnoteRef:25] , tafsir al-adab al ijtimai[footnoteRef:26] , dan sebagainya. Penafsiran pada kosakata juga mendapat perhatian yang cukup besar dalam metode ini. [22: Tafsir al-fiqhi, yakni corak tafsir yang dalam pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.(lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 44] [23: Tafsir al-Shufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu metode penafsiran Al-Quran yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris (kiasan) dan menjelaskan maksud ayat Al-Quran dari sudut esoterik (berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.(Ibid. hlm. 44)] [24: Tafsir al-falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pendekatan filosofis. (Ibid. hlm. 44) ] [25: Tafsir Ilmi adalah tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan Al-Quran. Tafsir Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi (lihat Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Al-Quran. (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 109] [26: Tafsir al-adab al ijtimai adalah corak penafsiran Al-Quran yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan, perkembangan kebudayaan masyarakat dengan menggunakan keindahan gaya bahasa.(lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 45]

Dalam metode tafsir tahlili, terdapat bentuk penafsiran yaitu bi-al matsur dan bi al rayi, yang keduanya terdapat perbedaan. Karakteristik bentuk bi-al matsur, maka pemikiran analisis mufasir kurang tampak didalamnya, sebaliknya pada penafsiran yang bi al-rayi, pemikiran analisis mufasir sangat dominan. [footnoteRef:27] [27: Ibid., hlm. 51]

Demikian dapat kita pahami, bahwa kedua bentuk penafsiran ini menggunakan riwayat, namun fungsinya berbeda. Pada tafsir bi al-matsur, riwayat dijadikan dasar pijakan dan titik tolak serta subjek penafsiran. Sedangkan pada tafsir bi al-rayi, riwayat hanya berfungsi sebagai legitimasi untuk mendukung penafsiran mufasir.[footnoteRef:28] [28: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.51]

Untuk lebih memudahkan kita memahami metode tahlili (analitis) ini, adapun contoh bentuk tafsir al-rayi dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsyari yaitu dalam menguraikan Surah Al-Baqarah ayat 115: Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. Al- Baqarah; 115).[footnoteRef:29] [29: Kementrian Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemahannya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis Shahih, Bandung: Syamil Quran, 2010), hlm. 18]

{ } { } : { } . { } . [ ] { } { } . : . : . : ( ) . : : .[footnoteRef:30] [30: Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi wujuh al-Tawil, (selanjutnya disebut Tafsir al-Kasysyaf), Bairut, Dar al-Marifah, I, t.th., hlm 306-307( bersumber dari Maktabah syamilah)]

Artinya : ( ) maksudnya timur dan barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia memilikinya dan menguasainya. ( ) maka ke arah mana pun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT :.( ) Niscaya (disana ada Allah) artinya ditempat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya (disitu). Yang dimaksud oleh ayat itu ialah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka (jangan khawatir sebab) seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang ditempat mana saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu; tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain; demikian pula tidak terikat oleh lokasi mana pun. (hal itu dimungkinkan karena) (Allah Maha Lapang dan Luas rahmat-Nya). Dia ingin memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, (lagi Maha Tahu) tentang kemaslahatan dari kebutuhan mereka. (penafsiran ini sesuai dengan latarbelakang turun ayat), menurut Ibn Umar, ayat ini turun berkenaaan dengan shalat musafir diatas kendaraan ia menghadap kearah mana kendaraannya menghadap. (tapi) menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat diarah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing), setelah pagi hari ternyata mereka keliru menghadap kiblat, lantas mereka menyampaikan peristiwa itu kepada Rasul (maka turunlah ayat itu). Ada yang berpendapat kebolehan menghapar kearah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam sholat. Al hasan membaca ayat itu ( ) dengan memberi harakat fathah pada huruf () sehingga bacaannya menjadi () karena menurutnya kata itu berasal dari (), yang berarti kearah mana saja kamu menghadap kiblat.[footnoteRef:31] [31: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.48-49]

Dari uraian dari tafsir al-Zamakhsyari, dia memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional, kemudian penafsirannya didukung dengan firman Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.Hal itu berarti, al-Zamakhsyari tidak terikat oleh riwayat. Kalau ada riwayat yang menjelaskan tentang hal itu maka dipakainya, tapi jika tidak ada riwayat tersebut, dia tetap melakukan penafsirannya.[footnoteRef:32] [32: Ibid., hlm., 50]

Dalam tafsir bi al-rayi yang menggunakan metode analitis (tahlili) ini, para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mutabar. Itulah sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-rayi dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sebagaimana yang telah diuraikan diatas.[footnoteRef:33] [33: Ibid., hlm,50]

Sedangkan contoh dari tafsir bentuk bil matsur dari surat QS. Al- Baqarah; 115 yaitu:Yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya ( ) ialah Allah berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan keduanya seperti yang dikatakan: rumah ini kepunyaan si fulan. Artinya, dia berwenang penuh atas pemilikan rumah itu. Dengan demikan, firman-Nya ( ) bermakna bahwa keduanya adalah milik dan makhluk-Nya. Kata () sama artinya dengan () yang kasrah lam, yakni menunjuk kepada tempat terbit matahari.Jika ada yang bertanya betapa gerangan Allah menyebutkan timur dan barat secara khusus, bahwa Dia memiliki keduanya bukan yang lain? Para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat itu secara khusus. Kami akan menjelaskan pendapat yang terbaik dalam menafsirkan ayat itu setelah mengemukakan pendapat mereka. Ada yang berkata, Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat mengahadap ke Baitul Maqdis; dan Rasul pernah melakukan hal yang sama pada suatu periode; kemudian mereka berpaling menghadap ke Kabah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tersebut dan berkata: Apa gerangan yang memalingkan mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah shalat?. Allah SWT menjelaskan kepada mereka, Barat dan Timur semuanya milik-Ku, Aku memalingkan muka hamba-hamba-Ku (dalam shalat) sesuai keinginan-Ku; maka kearah mana saja kamu mengahadap niscaya disitu ada Allah (Aku).Dalam kasus ini, al- Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya: Abu Shalih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shalih: Muawiyah bin Shalih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari ibn Abbas, katanya: Yang pertama sekali dinasikhkan adalah ayat tentang kiblat. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah memerintahkan menghadap Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat. Hal itu membuat mereka gembira, lalu Rasul shalat menghadap Baitul Maqdis itu lebih dari 10 bulan. Tapi Rasul tetap menginginkan menghadap kiblat nabi Ibrahim (Kabah di Mekah). Dari itu dia selalu berdoa sambil melihat ke langit; lantas Allah menurunkan ( ) hingga ( ) sungguh Kami memperhatikan wajahmu sering menghadap ke langit (maka (sekarang) hadapkanlah wajahmu (dalam shalat) kea rah Masjidil Haram (Kabah). Dengan demikian, timbul keraguan dikalangan kaum Yahudi, lalu mereka berkata: Mengapa dia memalingkan mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah shalat. Untuk menjawab pertanyaan itu Allah menurunkan:( ) (katakanlah milik Allah Timur dan Barat) dan ditegaskan-Nya pula kearah mana saja kamu menghadap, disana ada Allah.)Menurut ulama lain, ayat ini turun kepada Nabi saw. Sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap ke mana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi saw. bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firman-Nya tadi. ) )Telah bercerita kepadaku Abu al-Saib, katanya: ibn Fudhail telah menyampaikan kepadanya dari Abd al- Malik ibn Abu Sulaiman, dari Said ibn Jubair dari Ibn Umar: Bahwa dia (Ibn Umar) telah berkata, ayat ini: ) ) turun supaya kamu dapat shalat sunnat diatas kendaraanmu kearah mana saja kendaraan itu menghadap. Rasul bila kembali pulang dari Mekah dia shalat sunnat diatas kendaraannya sambil memberi isyarat dengan kepalanya kearah Madinah.Jadi makna ayat itu ialah milik Allah penguasaan semua makhluk yang berada antara timur dan barat, dan Dialah yang membuat mereka beribadah sesuai kehendak-Nya; dan Dia pula yang memutuskan cara bagaimana mentaati-Nya, maka (dikatakan-Nya) Hadapkanlah mukamu sekalian hai kaum mukminun kearah-Ku, kearah mana saja kamu menghadap disana ada Aku.Adapun pendapat yang mengatakan bahwa didalam ayat terjadi nasikh-mansukh, maka pendapat yang betul ialah, ayat ini berkonotasi umum tapi yang dimaksud adalah khusus. Dengan demikian, firman-Nya:( ) boleh jadi keizinan untuk melakukan shalat dengan menghadap kearah mana saja ketika dalam perjalanan, dalam peperangan dan sebagainya. Baik shalat sunnat maupun shalat wajib sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Umar, al-Nakhai, dan lain-lain yang sepaham dengan mereka.Adapun firman-Nya () artinya dimana, kearah mana (): penafsirannya yang terbaik ialah: kamu menghaadap ke arah-Nya, kepada-Nya. Seperti seorang berkata: Saya menghadapkan muka kearahnya. Artinya saya menghadapinya. Kita katakan ini penafsiran yang terbaik karena argumennya telah disepakati. Dan aneh sekali bila ada yang mengartikan () itu dengan membelakanginya; sedangkan ( ) yang mereka hadapi itu berarti ( ). Kata () artinya disana. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata (). Ada yang berkata disana Kiblat Allah. Yang dimaksud adalah Wajah Allah yang mereka menghadap kepada-Nya.Jika ada yang bertanya, apakah kaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya? Jawabannya adalah: Ia merupakan lanjutan darinya. Jadi makna kedua ayat itu menjadi: Tak ada yang lebih aniaya dari kaum Nasrani yang melarang hamba-hamba Allah menyebut nama-Nya (berzikir) didalam masjid, dan mereka berusaha meruntuhkan masjid-masjid itu (umat islam tak usah khawatir akan berhenti zikir kepada Allah karena) milik Allah timur dan barat. Karena itu, kearah mana saja kamu menghadapkan wajah maka sebutlah Allah. Dengan adanya wajah Allah dimana-mana, kalian mendapat kemudahan meraih karunia-Nya, tanah-Nya (tempat bercocok tanam), dan negeri-Nya (tempat tinggal). Dia Maha Tahu semua yang kamu lakukan. Adanya usaha untuk meruntuhkan masjid Baitul Maqdis dan upaya mencegah berzikir tak perlu menjadi penghalang bagimu dalam melakukan zikrullah tersebut. Dimana pun kamu berada di muka bumi ini, niscaya kamu dapat menemukan wajah Allah.( ) yang dimaksud Allah dengan () ialah, Allah menganugerahkan kepada semua makhluk-Nya kecukupan. Sedang firman-Nya () berkonotasi bahwa Allah Maha Mengetahui semua perbuatan mereka; tak ada yang hilang atau yang luput dari ilmu Allah sedikit pun, malah sebaliknya, Dia Maha Mengetahui keseluruhannya).[footnoteRef:34] [34: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.44-45]

Mufasir menjelaskan penafsiran surah Al- Baqarah ayat 115 dengan mengemukakan berbagai riwayat dan pendapat para ulama, latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul), penjelasan kosakata yang ada didalammya dan menggunakan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam penafsiran ini, riwayat mendominasi, sehingga uraian nya demikian panjang, sedangkan pendapat dari mufasir hanya sedikit.Pendapat ini pun tidak berasal dari pribadi mufasir, namun merujuk pada pendapat ibn umar dan al Nakhai. Sehingga kita dapat memahami tafsir yang menggunakan metode analitis ini mengandung uraian yang lebih rinci, namun karena bentuknya al-matsur, pendapat dari mufasirnya sukar ditemukan. Inilah salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dari tafsir bi al-rayi (pemikiran). Dalam tafsir bi al-matsur tetap ada analisis tapi sebatas adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran akan berhenti pula. Berbeda halny adengan tafsir bi al-rayi, penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidaknya riwayat, karena fungsi riwayat didalam tafsir bi al-rayi hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran, bukan sebagai titik tolak atau subjek. Sebaliknya, dalam tafsir bi-al matsur, riwayat itulah yang menjadi subjek penafsirannya. Selanjutnya, ciri metode analisis tafsir tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara berurutan dari ayat pertama hingga ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan. Namun dapat kita pahami, metode analitis ini bukan hanya menafsirkan Al-Quran dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan juga terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya selama pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan seperti dalam metode komparatif atau pola topikal dalam metode tematik, dan tidak juga global seperti dalam metode ijmali, penafsiran tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir analitis, walaupun uraiannya tidak mencakup keseluruhan mushaf (dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas) seperti tafsir Al Manar (Rasyid Ridha) tetap dikategorikan sebagai tafsir analitis.[footnoteRef:35] [35: Ibid., hlm. 52]

4. Langkah- langkah Metode Penafsiran Tahlili:Langkah langkah metode penafsiran yang pada umumnya digunakan yaitu:1. Menerangkan makki dan madani di awal surah;2. Menerangkan munasabat3. Menjelaskan asbabun nuzul (jika ada)4. Menerangkan arti mufradat (kosakata), termasuk didalamnya kajian bahasa yang mencakub irab dan balaghah5. Menerangkan unsur fasahah, bayan, dan ijaz-nya.6. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya7. Menjelaskan hukum yang dapat digali dari ayat yang dibahas.[footnoteRef:36] [36: Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.69]

5. Kelebihan dan kekurangan metode penafsiran tahlili :Adapun kelebihan dari metode ini antara lain :a. Metode ini memiliki keluasan dan keutuhannya dalam memahami Al-Quran. Seseorang diajak memahami Al- Quran dari surah Al-Fatihah hingga surah An-Nas, memahami ayat dan surah dalam Al-Qur;an secara utuh dan menyeluruh, dengan memuat berbagai ide pikiran mufasir dalam menafsirkan Al-Quran.b. Metode ini yang paling banyak memiliki corak dan ruang lingkup yang luas meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, fisafat, keilmuan, dan lainnya.[footnoteRef:37] (penafsiran dari aspek kebahasaan : Tafsir al- Nasafi (abu al-Suud); filosofis : Tafsir al-fakhr al Razi, aspek sains dan tekhnologi : Tafsir al Jawahir (al-Thanthawi al jauhari) dan sebagainya.[footnoteRef:38] [37: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381] [38: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.53-54]

c. Metode ini paling banyak memungkinkan bagi seorang mufasir untuk mengambil ulasan panjang lebar (itnab), ataupun singkat. [footnoteRef:39] [39: Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 69]

d. Metode ini hendak menangkap pesan dan pemahaman Al-Quran tidak secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan Al-Quran yang bersifat rasional dan universal dengan menelusuri kembali serta memperkenalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar turunnya Al-Quran dan suasana sosial-psikologis Rasulullah serta para sahabat sewaktu Al-Quran diturunkan.[footnoteRef:40] [40: Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 191]

Sedangkan kekurangan dari metode ini, antara lain yaitu :a. Kritik terhadap kajian metode tahlili umumnya yaitu tidak mendalam, tidak detail, tidak sistematis dan tuntas dalam menyelesaikan topik-topik yang dibahas, selain itu juga memerlukan waktu yang cukup panjang dan menuntut ketekunan.[footnoteRef:41] [41: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381]

b. Bisa menghanyutkan mufasir dalam pembahasannya, sehingga terlepas dari suasana ayat dan Al-Quran yang sedang dikajinya serta masuk dalam suasana lain, seperti suasana bahasa, fiqh, kalam, dan semacamnya, sehingga kita tidak sedang membaca tafsir Al-Quran. c. Metode ini bersifat parsial sehingga kurang mampu memberikan jawaban yang tuntas terhadap berbagai permasalahan kekinian yang dihadapi oleh masyarakat (masalah kontemporer seperti keadilan, kemanusiaan dan sebagainya).[footnoteRef:42] Hal ini disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. [42: Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.70]

Penjelasannya yaitu seperti dalam tafsir ibn katsir [footnoteRef:43], ayat 1 Surah An-Nisa, () ibnu katsir menafsirkannya dengan Adam as. Konsekuensinya, ketika dia menafsirkan lanjutan ayat itu ( ) ia menulis : yaitu Siti Hawa.....diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri. Itu berarti, ungkapan () maksudnya dari Adam as. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti kata () didalam surah At-Taubah ayat 128 ditafsirkanya dengan jenis (bangsa). Ketidak- konsistenan Ibn Katsir itu terasa sekali karena kata () dan () itu keduanya secara etimologis berasal dari kata yang sama yaitu (), (), dan ();sehingga membentuk (). Hanya perbedaanya terletak pada bentuk kata () dalam mufrad (tunggal) dan () dalam bentuk jamak. Perubahan bentuk kata, dari tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi dari kata tersebut, bukan perubahan makna. Setelah memperhatikan pemakaian kata tersebut dalam Al-Quran, bahwa penafsiran (() dengan Adam terasa kurang tepat karena adam tidak berkonotasi jenis atau bangsa, melainkan individu. Padahal Al-Quran memakai kata tersebut bukan dalam pengertian individu melainkan pengertian jenis/bangsa.[footnoteRef:44] [43: Abu al-Fida al-Hafizh ibn al-Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim(Tafsir Ibn al-Katsir) Bairut, Daral-Fikr, I, 1992, hlm 552 (dikutip dalam Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.55] [44: Ibid., hlm. 55-.56]

d. Melahirkan penafsiran subjektivitas. Metode ini memberikan peluang kepada mufasir untuk mengemukakan ide pemikirannya, sehingga kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan secara subjektif, bisa jadi ia menafsirkan sesuai kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Sikap subjektif itu timbul berawal dari fanatisme mazhab yang terlalu mendalam, karena sikap ashabiyah serupa itu maka mereka tidak peduli, salah atau benar dalam penafsirannya, karena yang penting bagi mereka adalah mencari legitimasi kepada Al-Quran untuk membenarkan pemikiran dan tindakan, serta meyakinkan para pengikutnya bahwa ajaran yang mereka kembangkan adalah benar.[footnoteRef:45] [45: Ibid. hlm. 58-59]

e. Dengan menggunakan metode ini membuka peluang yang lebih luas akan masuknya paham-paham yang tidak sejalan dengan pendapat jumhur ulama, kisah-kisah israiliyat, dikarenakan metode ini memberikan ruang begitu luas kepada mufasir untuk menuangkan hasil pemikirannya. Dalam masalah cerita israiliyat ini, penafsiran mufasir dapat membentuk opini bahwa apa yang dikisahkan didalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, padahal belum tentu cocok dengan maksud yang sebenarnya.[footnoteRef:46] Contohnya dalam penafsiran Al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 30 ( ) sebagai dikatakannya : Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40 tahun. Setelah kerangka itu siap, lewatlah para malaikat didepannya. Mereka terperanjat karena amat kagum melihat indahnya ciptaan Allah itu dan yang paling kagum ialah iblis, lalu dipukul-pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas terdengar bunyi seperti periuk belanga dipukul. Seraya ia berucap: untuk apa kau diciptakan.[footnoteRef:47] [46: Ibid., hlm.60] [47: Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami li ahkam al Quran (tafsir al Qurthubi) juz 1. I.(Beirut: Dar Ihya al Turats al-Arabi. 1985) hlm. 280]

Penafsiran al- Qurthubi ini tidak didukung oleh argumen yang kuat karena proses penciptaan Adam selama 40 tahun seperti digambarkan itu tidak ditemukan rujukannya, baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Oleh karena itu terasa penafsiran tersebut dibuat-buat yang seharusnya tidak perlu, karena merusak citra Al-Quran sebagai kitab suci. Tapi, karena Al- Qurthubi mengikuti metode analitis maka secara yuridis formal dia tidak salah memasukkan pemikiran israiliyat ke dalam kitab tafsirnya, sebab metode ini memang terbuka untuk itu. Namun secara moral, Al- Qurthubi tetap bertanggungjawab atas semua pemikiran israiliyat yang masuk kedalam kitab tafsirnya tersebut.[footnoteRef:48] [48: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.60-61]

B. Metode Tafsir al-Ijmali (Tafsir Global)1. PengertianSecara lughawi (etimologis), kata ( ) berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Tafsir ijmali ialah penafsiran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan secara umum (global), tanpa uraian, pembahasan panjang, rinci dan luas.[footnoteRef:49] [49: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381]

Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Didalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada didalam musfaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dipahami oleh semua orang. Disamping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Quran, padahal yang di dengarnya itu adalah tafsirannya. [footnoteRef:50] [50: Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhuiy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhuiyah (Mathbaah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997) hlm.43-44]

Pembahasan dalam metode ijmali yang disertai dengan ayat-ayat Al-Quran ini, seakan Al-Quran itu sendiri yang berbicara, membuat makna-makna dan maksud ayat menjadi jelas. Demikianlah, lafadz-lafadz Al-Quran tersebut memperjelas tujuan dan manfaat yang diharapkan.[footnoteRef:51] [51: Ibid.,hlm. 44]

Dari definisi tersebut, menurut hemat penulis, metode penafsiran ijmali adalah metode menafsirkan Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan susunan yang ada didalam mushaf.2. Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab TafsirnyaAdapun kitab tafsir yang menggunakan metode penafsiran al manhaj al-Ijmali (metode global) yaitu, diantaranya : Tafsir Al-Quran al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wasith terbitan Majma al Buhuts al-Islamiyyat, Tafsir al-Jalalain karangan Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din Abd alRahman al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M),[footnoteRef:52] Marah Labid Tafsir al-Nawawi/ Tafsir al Munir li Maalim al-Tanzil karangan al-Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M) al Tafsir al-farid li Al-Quran al-Majid karangan Dr. Muhammad Abd al Munim, kitab al-Tashil li Ulum al-Tanzil susunan Muhammad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al Gharnathi al-Andalusi (741-792 H/1340-1389 M), Fath Al-Bayan fi Maqashid Al-Quran karangan Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan dan lain sebagainya.[footnoteRef:53] [52: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998),hlm. 13] [53: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 382]

3. Ciri-ciri Metode Global :1. Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Quran dari awal sampai akhir secara global, tanpa perbandingan, penetapan judul / tema dan mengemukakan pendapat serta ide-idenya secara luas. [footnoteRef:54] [54: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.14]

2. Kitab tafsir yang menggunakan metode global mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan.[footnoteRef:55] [55: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381 ]

3. Ciri metode global ini tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan mushaf atau sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur ialah pola dan sistematika pembahasan. Selama mufasir hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas dan singkat, tanpa uraian detail, tanpa perbandingan dan tidak pula mengikuti suatu tema tertentu, maka penafsiran tersebut dapat dikategorikan kedalam tafsir ijmali.[footnoteRef:56] [56: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.21]

4. Kelebihan Metode Ijmali :1. Praktis dan mudah dipahami, sangat ringkas dan bersifat umum. Tafsir yang menggunakan metode ijmali terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Pemahaman Al-Quran segera dapat diserap oleh pembacanya, karena menyajikan kesimpulan dan pokok-pokok pikiran yang dirumuskan dari Al-Quran.2. Terhindar dari penafsiran yang besifat israiliyat, dan pemikiran yang kadang terlalu jauh menyimpang dari pemahaman ayat Al-Quran, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga tidak memungkinkan mufasir untuk memasukkan pemikiran spekulatif dan unsur pemikiran yang jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Quran.3. Akrab dengan bahasa Al-Quran. Uraian yang dimuat dalam metode ijmali terasa sangat singkat dan padat. Penggunaan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa Al-Quran dan pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan dari pada ketiga metode yang lain. Didalam tafsir ijmali, mufasir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.[footnoteRef:57] [57: Ibid., hlm.24]

5. Kekurangan Metode Ijmali :1. Menjadikan penunjuk Al-Quran bersifat parsial. Maksudnya, seakan Al-Quran memberikan pedoman secara tidak utuh atau tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya, padahal kita dapat memahami bahwa Al-Quran merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pemahaman yang utuh.[footnoteRef:58] [58: Sebagai contoh dari kelemahan pemahaman metode ijmali ini, yaitu menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial; dalam firman Allah dalam surah ar-Radu ayat 11 dan surah al-anfal ayat 53 : .. ): ) ). : ) Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh Al-Jalalain sebagai berikut: Surah Ar-Rdu ayat 11 :(Sesungguhnya Allah tidak megubah apa yang ada pada suatu kaum) tidak mencabut dari mereka nikmatnya (kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka), dari sifat-sifat yang bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat. Sedangkan dalam Surah Al-Anfal ayat 53 : (yang demikian itu) yakni menyiksa orang-orang kafir (dikarenakan)sesungguhnya (Allah selamanya tidak pernah mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan menggantinya dengan kutukan (kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri), yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kufur seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, keamanan dan kebangkitan Nabi dengan sikap ingkar, menghalangi agama Allah dan memerangi umat Islam.Kedua penafisiran itu tidak tampak sinkron, dalam ayat pertama (as-Suyuthi) menafsirkan ) ( itu dengan : mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama, dia memberikan penafsiran yang berbeda yaitu : mengganti nikmat itu dengan kufur. Jadi penafsiranyang pertama bersifat abstrak (perbuatan maksiat) dan yang kedua bersifat konkret (kufur). (Lihat Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.25-26)]

2. Tidak terdapat ruang untuk mengemukakan analisis mufasir yang memadai atau uraian yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman satu ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan analisis yang rinci, maka metode ini tidak dapat diandalkan.[footnoteRef:59] [59: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 27]

Adapun contoh dari tafsir dengan metode Ijmali ini adalah : (: - ) (1) { } . (2) { } { } { } { } { } { } . (3) { } { } { } { } { } . (4) { } { } { } . (5) { } { } .[footnoteRef:60] [60: Al Mahalli dan Al Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, Dar Al-Fikr, 1989 (bersumber dari Maktabah syamilah)]

Artinya : (Atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Alif lam mim), Allah yang lebih mengetahui maksud dari () itu. Itu artinya, (kitab) yang dibaca kan oleh Muhammad ini tidak ada keraguan (syak) didalamnya, bahwa kitab itu datang dari Allah. Kalimat negatif ( ) berfungsi sebagai predikat, dan subjeknya ialah (). Lafal () ini memberi isyarat akan keagungan kitab suci itu () yang berfungsi sebagai predikat kedua bagi() mengandung arti permberi petunjuk (bagi orang-orang yang bertaqwa) yang selalu bertaqwa dengan mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya agar mereka terpelihara dari azab neraka (yakni mereka yang mempercayai) sepenuh hati (akan eksistensi yang ghaib), seperti kebangkitan di akhirat kelak, surga dan neraka; (mendirikan shalat) dengan memenuhi semua persyaratannya; sebagian dari anugrah yang Kami berikan, mereka infakkan) dijalan Allah; )dan mereka yang mempercayai kitab yang diturunkan kepadamu) yakni Al-Quran; dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum kamu), seperti Taurat, Injil dan lain-lain; (serta mereka meyakini pula akan adanya hari akhirat) sebenar-benar yakin. (orang-orang) yang mempunyai sifat seperti disebutkan itulah (yang berada atas petunjuk dari Tuhan, dan mereka itu pulalah yang akan beruntung) dengan memenangkan surga serta lolos dari neraka.[footnoteRef:61] [61: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.15-16]

Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap surah Al-Baqarah ayat 1-5 itu tampak sangat singkat dan global, sehingga tidak ditemui rincian ataupun penjelasan yang memadai. Meskipun tafsir Al-Jalalain ini hanya menawarkan sedikit hal baru dalam tafsir-nya, namun tulisan yang jelas, singkat dan sederhana itu, membuat tafsir klasik ini mudah diakses oleh para pembaca.[footnoteRef:62] [62: Ingrid Mattson, The Story of the Quran/Ulumul Quran Zaman Kita. penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Zaman, 2013) hlm.273]

IV. Kesimpulan Metode penafsiran tahlili yaitu dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun didalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabat (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau para tabiin yang kadang bercampur dengan pendapat penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh kecenderungan latarbelakang pendidikan dan corak pemikirannya. Sedangkan, metode ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Serta sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat didalam mushaf.Apa dan bagaimanapun bentuk metodologi, ia tetap merupakan produk ijtihadi, yakni hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran yang luar biasa jauh melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki makhluk lain, mereka tetap memiliki kelemahan dan keterbatasan, seperti sifat lupa, lalai dan sebagainya. Dengan demikian, setiap produk manusia, baik berbentuk fisik maupun non-fisik, termasuk metodologi tafsir, tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahannya. Hal ini menunjukkan bahwa produk ijtihad tersebut adalah produk manusia yang memiliki kebenaran relatif, jauh dari kebenaran Mutlak, karena hal itu hanya milik Allah Swt. Perlu kita pahami bersama, bahwa kelebihan dan kekurangan metode penafsiran ini, bukan merupakan sifat negatif bagi metode tersebut, tetapi menunjukkan ciri khas yang ada pada metode tersebut.[footnoteRef:63] [63: Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.21- 22]

Pembacaan kritis terhadap metodologi kitab tafsir sebaiknya kita lakukan secara sinergis, maksudnya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan satu metode penafsiran Al-Quran untuk semua ayat-ayatnya.Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan kontemporer, misalnya, akan sulit bila didekati dengan metode tafsir tahlili atau tafsir ijmali semata-mata; tanpa melibatkan metode tafsir yang lain (metode tafsir maudhui (kajian tematik) atau metode tafsir muqaran (komparasi) yang demikian cukup dinamis. Demikian pula kesulitan serupa akan dialami mufasir yang hanya mengunggulkan metode tafsir tematik padahal persoalan yang dihadapi demikian sederhana atau pun bila masyarakat bersangkutan masih banyak yang hanya memerlukan penafsiran secara global sebelum menuju ke arah penafsiran yang bersifat tahlili, muqaran maupun maudhui.[footnoteRef:64] [64: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 436]

Dalam hal ini, metode tafsir digunakan sebagai sarana/cara untuk menggali isi kandungan ayat-ayat Al- Quran, bukan sebagai tujuan yang hendak dicapai.[footnoteRef:65] Maka, menurut hemat penulis, penggunaan berbagai metode penafsiran Al-Quran perlu dipadukan secara sinergis baik dalam saat-saat menafsirkan kelompok ayat yang bersamaan maupun dalam penafsiran kelompok ayat-ayat yang berbeda. [65: Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm.., hlm. 436.]

Banyak pendapat yang memahami bahwa penyajian empat metode (ijmali, tahlili, muqarran, dan maudhui) yang diklasifikasikan oleh Abd Hayy al Farmawi itu sudah paten. Misalnya, memperkenalkan isi kandungan Al- Quran secara umum tetapi menyeluruh; penafsirannya perlu menggunakan metode tafsir ijmali dan tahlili. Sebaliknya, jika yang dikehendaki adalah menafsirkan Al-Quran dari berbagai aspeknya, apalagi untuk menyelesaikan berbagai problema kehidupan berdasarkan Al-Quran, maka metode yang digunakan yaitu metode muqaran (komparasi) dan metode maudhui (tematik).[footnoteRef:66] [66: Ibid., hlm. 437]

Namun kita sebagai akademisi, hendaknya berpikir secara komprehensif, bahwa penafsiran itu ukurannnya dilihat dari sejauhmana analisis, ketelitian dan kedalaman pemikiran tafsirnya, bukan hanya dari metode yang dipakai. Hal itu harus diiringi dengan mencakup unsur-unsur persyaratan penafsiran dan mengindari terjadinya overlap dalam pemahaman kita memahami ayat-ayat Al-Quran.

V. PENUTUPDemikianlah makalah sederhana yang dapat penulis susun terkait metodologi tafsir tahlili dan ijmali. Kami menyadari penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi. Abd al-Hayy. al Bidayah fi al Tafsir al-Mawdhui: Dirasah Manhajiyyah Mawdhuiyah. Mesir: Mathbaah al Hadharat alArabiyah. 1977.Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Tafsir al-Jalalain. Dar Al-Fikr: 1989 (bersumber dari Maktabah Syamilah) Al-Qattan, Manna Khalil. Mabahis fi Ulumil Quran)/Studi ilmu-ilmu Quran Terj. Mudzakir AS. 2013. Bogor : Pustaka Litera AntarNusa. Judul asli : (cet. Ke-3 tahun 1973Al-Zamakhsyari, Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar. Al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Tawil.. Bairut. Dar al-Marifah. I. t.th.. hlm 306-307( bersumber dari Maktabah Syamilah)Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad. Al-Jami li ahkam al Quran( Tafsir al Qurthubi) juz 1. I. Beirut: Dar Ihya al Turats al-Arabi. 1985Amin Suma. Muhammad. Ulumul Quran. Jakarta: Rajawali Pers. 2013Ash-Shiddieqy. Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1998Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012.Kementrian Agama RI. Al-Quran Tajwid dan Terjemahannya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis Shahih. Bandung: Syamil Quran. 2010Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia. 2004Mattson, Ingrid. The Story of the Quran/Ulumul Quran Zaman Kita. Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman. 2013Shahrur, Muhammad. al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer. Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri . Yogyakarta: eLSAQ Press. 2008.Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 200525