Makalah Pers
-
Upload
katiriniwan -
Category
Documents
-
view
38 -
download
0
description
Transcript of Makalah Pers
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bentuk dari hak publik jumlahnya banyak, salah satu diantaranya adalah
hak publik untuk mendapatkan informasi dimana hak tersebut merupakan hak
asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi adalah dari pers, oleh
karena itu sudah sepatutnya apabila kemerdekaan pers dijamin melalui suatu
undang-undang. Jaminan terhadap kemerdekaan pers yang merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis, adalah juga jaminan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan
pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD)
1945.
Pertumbuhan dan perkembangan pers nasional korelatif atau memiliki
hubungan satu sama lain, dengan laju pertumbuhan dan perkembangan
pembangunan nasional secara keseluruhan. Di satu pihak, pers merupakan salah
satu media pendukung keberhasilan pembangunan, di lain pihak, pers banyak
turut mengambil manfaat dari keberhasilan pembangunan. Keberhasilan dalam
bidang pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat dan perluasan fasilitas
perhubungan darat, laut dan udara, misalnya, sudah jelas besar manfaatnya bagi
pertumbuhan dan perkembangan pers.
Adanya hubungan korelatif antara pers nasional dan pembangunan
membawa konsekwensi bahwa bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan
bentuk dan isi pembangunan. Dengan lain perkataan, kepentingan pers nasional
perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Pers sebagai media
pendukung keberhasilan pembangunan, perlu senantiasa menyadari tentang tujuan
pembangunan nasional, ialah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur, yang mementingkan pemerataan materiil dan spirituil, berdasarkan
Pancasila, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu,
perlu juga menyadari tentang landasan pembangunan nasional yang bertumpu
pada pokok pikiran untuk membangun Manusia Indonesia seutuhnya, dan
membangun seluruh masyarakat Indonesia.
Pers sebagai sub-sistim dari sistim sosial yang ada, di mana pers itu
diterbitkan, perlu menjaga adanya kesadaran tersebut, untuk memantapkan arah
pengabdian pers nasional bagi kepentingan masyarakatnya. Suatu pengabdian
yang akan turut menjamin keberhasilan pembangunan, yang pada gilirannya akan
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan pers itu sendiri.
Sudah barang tentu, pengabdian pers kepada masyarakatnya bukan hanya atas
pertimbangan yang bersifat pragmatik semacam itu, yaitu pertimbangan yang
mementingkan hasil-hasil yang praktis tanpa perlu mengkaitkannya dengan
berbagai teori dan alam pemikiran, yang sebenarnya jauh lebih pokok. Hal ini
dapat dipelajari dalam Pedoman Pembinaan Idiil Pers, yang menyangkut pers
pembangunan.
Di dalam Pedoman Pembinaan Idiil Pers dijelaskan, bahwa pers nasional
sebagai lembaga masyarakat yang mempunyai fungsi untuk mendukung
kemajuan masyarakat lingkungannya, mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk menyebar luaskan pesan-pesan kemajuan dan keberhasilan pembangunan
kepada masyarakat pembacanya. Penyebarluasan pesan-pesan semacam itu
sekaligus akan dapat menanamkan kesadaran, kepercayaan dan harapan yang
wajar kepada masyarakat bahwa orang Indonesia itu sebenarnya mampu untuk
merencanakan dan menyelesaikan pembangunan dengan baik; bahwa setiap
keberhasilan pembangunan akan menempatkan kita dalam keadaan yang lebih
baik, dan bahwa dengan demikian arah pembangunan yang kita anut itu dapat di
pertanggung-jawabkan.
Pers pembangunan tidak diharapkan untuk menutup mata terhadap
kesulitan, kekurangan ataupun kegagalan dari pembangunan. Tetapi yang penting
untuk diperhatikan adalah perlunya turut menanamkan kepercayaan akan
kemampuan sendiri dalam mengatasi segala macam problema. Kesulitan apapun
yang kita alami dalam melaksanakan pembangunan nasional, perlu diambil
hikmahnya dan dimanfaatkan untuk mengadakan koreksi dan penyempurnaan,
tanpa mengganggu stabilitas nasional yang sangat diperlukan bagi kelangsungan
pembangunan itu sendiri secara terencana.
Akhir-akhir ini, timbul kegamangan dalam dunia pers. Kegamangan itu
merupakan akibat dari pelaksanaan kebebasan pers berupa kritik yang tak
berperasaan, menyesatkan, dan sangat miring.
B. Perumusan Masalah
Makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implikasi berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers Terhadap Kebebasan Pers?
2.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Implikasi UU Pers
1. Fungsi Pers dan Peranan Pers
Fungsi Pers, menurut pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang
penting yaitu: sebagai media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial;
sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai
makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers harus menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para karyawan
media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban
sosialnya.
Di samping itu, pers juga berfungsi menyebarkan informasi yang
objektif, penyalur aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi
masyarakat, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Pelaksanaan
fungsi pers tersebut sangat penting dalani kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. yang demokratis. Yang dimaksud dengan
"kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa
pers bebas, dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar
hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers
adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan
supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab
profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati
nurani insan pers.
Dengan demikian dapat kita lihat peranan pers sangat penting dalam
memperjuangkan terwujudnya tatanan baru di bidang informasi dan
komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri
sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar golongan, dan intemasioal,
khususnya di bidang pers. Dimana kegiatan pers ini dapat menggelorakan
semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh kesatuan dan
persatuan nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa,
serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Menurut pasal 6 Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pers
Nasional melaksanakan peranan sebagai berikut
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
b. Menegakkan. nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati
kebhinekaan,
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi. yang tepat,
akurat dan benar,
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum,
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum
dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan
mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya
supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan
perlindungan hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan
hukum itu "adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat
kepada wartawan atau pekerja pers dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan, perundang-
undangan yang berlaku".
2. Kebebasan Pers Sebagai Prasyarat Penyiaran Instrumen Kontrol Dalam
Negara Demokrasi
Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers
memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat ‘SIUPP’,
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan
diatur oleh pemerintah setelah mendengarkan pertimbangan Dewan Pers.
Dalam masa reformasi perubahan yuridis atas keberadaan pers
merupakan prasyarat terjadinya liberalisasi sistem politik sebagai upaya
melahirkan media komunikasi sosial-politik dalam kehidupan bernegara.
Masa-masa transisional yang ditandai dengan membuka ruang-ruang
komunikasi publik (masyarakat) merupakan perwujudan hak-hak politik bagi
setiap warga negara atau kelompok-kelompok sosial mengenai kebebasan
mendapatkan informasi dan hak kemerdekaan atas menyampaikan
pendapat/gagasan secara lisan maupun tulisan atau cetak.
Akan tetapi, euphoria politik dalam era reformasi sepanjang kebebasan
dan kemerdekaan pers ini tidaklah serta-merta memiliki persoalan di
kemudian hari dengan begitu saja. Keberadaan lembaga pers terkadang
terkesan masuk dalam situasi pro dan kontra dalam setiap dinamika peristiwa-
peristiwa politik yang sedang berkembang, 1998-2002. Kesan pro-kontra
inipun, dalam waktu seketika membangkitkan sikap kontra demokratis
sebagai pendukung kekuatan politik yang merasa dirugikan atas pemberitaan
Pers. Kasus pendudukan dan penyegelan ilegal kantor SKH Jawa Pos pada
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau premanisme dalam kasus
penyerangan kantor SKH Tempo di masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri.
Berangkat atas kasus tersebut, kebebasan dan kemerdekaan Pers
menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh sebagai upaya membangun
infrastruktur politikketatanegaraan Indonesia yang demokratis. Pilihan yang
dilematis dihadapi oleh kalangan Pers di era reformasi; di satu sisi, jikalau,
pers di kekang maka upaya pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang
demokrasi, mengalami perbaikan arah reformasi. Disisi lain, kebebasan dan
kemerdekaan Pers tanpa diikuti oleh upaya transpormasi kultur demokrasi dari
Pers kepada masyarakat pembaca sama halnya dengan lahirkan anarkhisme
atau pemicu lahirnya konflik horizontal di kalangan massarakyat.
Pada esensialnya keberadaan peran media massa (Pers) memiliki 2
(dua) fungsi pokok, yakni; pertama, Kelembagaan Pers merupakan media
pendidikan politik massa rakyat. Kedua, kelembagaan Pers merupakan media
komunikasi politik. Perdebatan media massa itu harus independen objektif
ataupun pilihan keberpihakan yang sangat partisan. Karena, pemberitaan yang
terkesan pulgar mengambil sikap memihak akan cenderung menjadi
pemberitaan yang bersifat provokatif. Pemberitaan dalam setiap
media massa cukuplah mempengaruhi perkembangan kepribadian bangsa
dalam kehidupan bernegara. Keberadaan pemberitaan Pers dalam meliput
berbagai peristiwa SARA menjadi sangat penting dan kasus maraknya
pornografi dalam pemberitaan Pers.
Disamping itu dalam konteks internal kalangan Pers sendiri memiliki
persoalan yang sangatlah signifkan. Dimana, pada sistem politik yang tidak
demokratis, dalam artian, seperti otoriter ataupun totaliter. Keberadaan Pers
menjadi korban kontrol secara ketat oleh negara, yakni rezim penguasa.
Sementara, kemungkinan di dalam sistem politik yang demokrasi, keberadaan
media massa dikontrol oleh modal dankeinginan pangsa-pasar. Kepemilikan
modal yang kuat dari perseoranagan di dalam perusahaan Pers,
memungkinkan lahirnya rezim pasar yang mengkooptasi pemberitaan yang
disajikan. Otomatis setiap pemberitaan sering lebih mengarah pada akumulasi
modal dengan cara lebih memprioritaskan isu-isu yang elitis sebagai
pemenuhan kebutuhan pangsa-pasar (pembaca). Akan tetapi, kemungkinan
dengan adanya unsur demokratis dari para jurnalis yang berada dalam struktur
kelembagaan Pers, memungkinkan untuk tetap terjaganya pemberitaan Pers
yang disajikan bersifat netral dan profesional. Leo Batubara mengagas 7
(tujuh) formulasi peran dan fungsi pers dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia demokratis, yakni (Ibid) : Pertama, upaya merubah kultur
penyelenggaraan negara, Kedua, mereformasi paradigma hukum nasional dari
kebiasaan mengkriminalisasikan pers ke arah dekriminalisasi pers seperti
yang lazim berlaku di negara-enagra demokrasi; Ketiga, membangun model
interaksi-pers, penyelenggara negara, dan masyarakat – berdasarkan sistem :
a) Pers bebas memerankan diri sebagai pemberi peringatan dini, wadah dialog
yang memberi pencerahan dan kekuatan keempat demokrasi. b). Peran dan
tugas pers nasional hanya efektif dan bermakna bila penyelenggaraan negara
juga melakukan reformasi sikap dengan belajar mendengar, merespon, dan
menindaklanjuti apa kata Pers profesional sebagai cermin suara hati
bangsa. Keempat, memberdayakan UU No. 40 tahun 1999 sebagai landasan
yuridis penyelenggaraan pers. Kelima, penegakan hukum hendaknya responsif
terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan dan
pers.Keenam, memposisikan wartawan selayaknya sebagai petugas palang
merah.Ketujuh, melaksanakan fungsi kontrol sosialnya dan peran
pengawasan, kritik, serta koleksi. Pelaku pers haruslah taat kepada prinsip
profesionalisme pers.
Sementara, idealnya fungsi kontrol dan pengawasan pers ini diatur
dalam pasal 28 dan pasal 28F UUD 1945. Kontrol kekuasaan negara di luar
lembaga-lembaga kontrol negara yang konstitusional. Tidak menutup
kemungkinan Pers dapat pula berperan serta aktif memimpin secara ide dan
gagasan akan setiap pergeseran kultur masyarakat Indonesia yang sedang
bergerak menuju format tatanan sosial masyarakat yang demokratis. Peran
Pers sebagai fungsi sosial diartikan, sebagai pendidikan berorientasi
partisipatif politik, pembentukan nilai-nilai moral bangsa, serta sebagai
kontrol atas penegakan dan pemberlakuan hukum dalam kehidupan
masyarakat dan pemerintahan.
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima,
yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-
undangnya[4]. Pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud
kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis,
sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus
dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang
demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan
hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia
yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan
pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana
pun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima,
karena UUPL sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Seperti sudah disebutkan di atas, UUP diundangkan pada tahun 1999,
sedang KK baru pada akhir April 2004 menyetujui dimasukkannya
perlindungan negara atas kebebasan pers di dalam UUD 1945. UUP
menggunakan istilah kemerdekaan pers, dan KK menggunakan istilah
kebebasan pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
prinsip antara istilah kemerdekaan pers dengan istilah kebebasan pers. Istilah
yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan pers, tetapi dalam
bahasa lisan, lebih suka digunakan istilah kebebasan pers. Kemerdekaan pers
adalah kebebasan pers, dan sebaliknya kebebasan pers adalah kemerdekaan
pers. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan sebagai
jaminan kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak men cari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers
dengan demikian akan disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28 huruf G
UUD 1945, dan dalam UU Pers.
Selain dasar hukum yang disebutkan di atas, dikenal pula Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI). Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang
dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal
20 Juni 2000. Para wartawan Indonesia yang melaksanakan tugasnya, wajib
memahami dan mematuhi KEWI yang dapat disebut sebagai hukum disiplin
bagi mereka. KEWI itu diibaratkan sebagai lilin pemandu bagi para wartawan
agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan[6].
Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat
Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Wartawan Indonesia Menghormati Hak Masyarakat Untuk Memperoleh
Informasi Yang Benar.
b. Wartawan Indonesia Menempuh Tatacara Yang Etis Untuk memperoleh
Dan Menyiarkan Informasi Serta Memberikan Identitas Kepada Sumber
Informasi.
c. Wartawan Indonesia Menghormati Asas Rraduga Tak Bersalah, Tidak
Mencampurkan Fakta Dengan Opini, Berimbang, Dan Selalu Meneliti
Kebenaran Informasi Serta Tidak Melakukan Plagiat.
d. Wartawan Indonesia Tidak Menyiarkan Informasi Yang Bersifat Dusta,
Fitnah, Sadis, Cabul, Serta Tidak Menyebutkan Identitas Korban
Kejahatan Susila.
e. Wartawan Indonesia Tidak Menerima Suap Dan Tidak Menyalahgunakan
Profesi.
f. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, Menghargai Ketentuan Embargo,
Informasi Latar Belakang, Dan Off The Record Sesuai Kesepakatan.
g. Wartawan Indonesia Segera Mencabut Dan Meralat Kekeliruan Dalam
Pemberitaan Serta Melayani Hak Jawab.
3. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1999 Tentang Pers
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
40 Tahun 1999 diatur dalam Bab VIII dan hanya terdiri dari satu pasal, yaitu
Pasal 18,dengan tiga ayat. Pelanggaran Pasal 18 merupakan tindak pidana,
dan walaupun hanya satu pasal, namun mengandung beberapa rumusan tindak
pidana sebagai berikut di bawah ini :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
Pasal 4 ayat (2), yaitu tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiar-an terhadap pers nasional [Pasal 18 ayat (1)].
2. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
Pasal 4 ayat (3), yaitu hak pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan
menyebarluas-kan gagasan dan informasi [Pasal 18 ayat (1)].
Pasal 18 ayat (1) di atas merumuskan perbuatan yang dapat dilakukan
oleh setiap orang, sebagai tindak pidana dan diancam dengan pidana penjara
atau denda. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) merupakan perumusan tindak
pidana untuk perusahaan pers sebagai berikut di bawah ini.
1. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) [Pasal 18 ayat
(2)], yaitu berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah.
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) [Pasal 18 ayat
(2)], yaitu melayani Hak Jawab.
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 13 [Pasal 18 ayat (2)],
yaitu dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau
mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta
bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
sesuai de-ngan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
4. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) [Pasal 18 ayat
(3)], yaitu setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum
Indonesia.
5. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 [Pasal 18 ayat (3)],
yaitu wajib mengumumkan nama, alamat, penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers
ditambah nama dan alamat percetakan.
Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa kebebasan pers tidak
terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu
sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media
informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan
penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh
karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering
menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi
kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi
dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-
benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa
Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.
Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan
mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian
dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa
yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini,
bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the
law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para
wartawan, yang notabene adalah insan pers. Dengan demikian para insan pers
di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune)
sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia
B. Aplikasi UU Pers Pada Kasus Kekerasa Terhadap Wartawan.
Kekerasan terhadap wartawan belakangan ini marak terjadi di Indonesia,
seperti dinyatakan oleh Direktur Yayasan Tifa, R Kristiawan dalam diskusi publik
Refleksi Kebebasan Pers dalam Industrialisasi Media di Kantor Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID) Jateng, Semarang, 21 May 2012 “Selama 2003-2012
tercatat sebanyak 467 kasus kekerasan terhadap jurnalis, di mana 10 jurnalis di
antaranya meninggal dunia.” Padahal dalam menjalankan tugas jurnalistik para
wartawan dilindungi secara hukum oleh undang- undang. Ini sesuai dengan pasal
8 UU 40 Tahun 1999 tentang pers yang berbunyi:“Dalam melaksanakan
profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum”.
Kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap wartawan
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam
menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of
Human Rights, tepatnya diatur dalam pasal 19 yang menyatakan “setiap orang
berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat
gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan
pendapat dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas”.
Tindakan premanisme yang berupa penganiayaan maupun tindak
kekerasan lainnya terhadap media masa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan
hukum dalam menjalankan profesinya secara tegas diatur dalam Undang-undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Ketentuan mengenai adanya perlindungan
terhadap wartawan, secara jelas tercantum dalam pasal 8 Undang-undang Nomor
40 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi : Dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud adalah jaminan
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada
wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai
dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan
terhadap wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang
tidak disengaja. Tindak kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya
terkait dengan isi berita yang dibuat oleh wartawan. Misalnya saja dalam hal
peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi,
pada kondisi seperti ini wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari
pihak-pihak yang tidak menginginkan aibnya terbongkar. Selain itu tindakan
anarkis yang menimpa wartawan juga disebabkan ketidakpuasan nara sumber
terhadap isi berita yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu
banyak dari mereka yang melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap
wartawan. Salah satunya dengan melakukan penyerbuan terhadap kantor media
massa yang bersangkutan. Peristiwa pernyerbuan dengan mengerahkan masa
terhadap kantor media masa tampaknya menjadi kebiasaan baru bagi pihak-pihak
yang merasa tidak puas dengan pemberitaan pers. Dalam aksinya, mereka tidak
hanya sekedar memprotes pemberitaan dari media tersebut, tak jarang juga
disertai dengan aksi pengrusakan dan penyerangan terhadap para wartawan.
Seperti yang dialami oleh kantor redaksi surat kabar Batam Pos dan majalah
Tempo beberapa tahun lalu.
Padahal dalam buku Himpunan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang
ada kaitannya Dengan Media Massa, setiap orang yang merasa dirugikan dalam
pemberitaan pers (Cetak, Elektronika) agar menggunakan hak jawab maupun
jalur hukum bukan dengan melakukan tindakan “Main Hakim Sendiri”.
Untuk memberikan gambaran yang faktual tentang masih terjadinya
tindak kekerasan terhadap jurnalis, penulis mengangkat salah satu contoh kasus
tindak kekerasan yang terjadi kepada wartawan, yaitu peristiwa atau kejadiannya
pada saat terjadi demo Falundafa yang terjadi di depan kantor Pemerintah Kota
Surabaya pada tanggal 7 Mei 2011.
Dalam kasus ini terlihat jelas kurangnya perlindungan terhadap wartawan
dan kurangnya upaya hukum yang dilakukan oleh para perusahaan pers
kepada para wartawannya yang mengalami tindak kekerasan. Dalam kasus ini
terlihat juga betapa lemahnya sistem hukum di Indonesia terhadap para aparat
yang melakukan tindak kekerasan. Karena sampai saat ini, proses hukum terhadap
mereka tidak juga terlaksana.
Kejadian bermula saat polisi meminta para pengunjuk rasa menggulung
spanduk dan bendera karena tidak mempunyai ijin. Demonstran menolak untuk
mengikuti perintah polisi. Kericuhan pun tidak bisa dihindari. Namun dengan
arogan polisi menangkap satu persatu pendemo yang dianggap sebagai
provokator. Beberapa demonstran yang ditangkap dipukuli.
Tindakan polisi makin brutal saat sejumlah wartawan yang berusaha
mengambil gambar dihalang-halangi. Wartawan salah satu televisi nasional
mengaku dipukul dan ditendang tiga polisi hingga luka di pelipis dan dagu. Sang
wartawan melaporkan kasus ini ke Mapolretabes Surabaya. Menurut rencana
seluruh wartawan se-Surabaya akan berdemo ke Mapolrestabes Surabaya terkait
kasus ini.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat ini seharusnya tidak terjadi
karena sesuai dengan pasal 8 UU 40 Tahun 1999, wartawan dilindungi secara
hukum pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya, dalam hal ini, peliputan yang
mereka lakukan merupakan bagian dari tugas jurnalistik mereka sebagai
wartawan. Tindak kekerasan yang dilakukan aparat polisi terhadap wartawan
yang sedang melakukan tugasnya meliput demo ini dapat di kategorikan sebagai
tindakan yang menghalangi tugas wartawan. Bagi mereka dapat dikenakan Pasal
18 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang PERS, yang
menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).”
BAB III
KESIMPULAN
Kasus-kasus tindak kekerasan terhadap Wartawan dengan memberikan sanksi
hukum yang keras kepada pelaku untuk memberikan efek jera. Mengefektifkan
ketentuan pidana yang diatur dalam BAB VIII, Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU
No.40 Tahun 1999 yang menyatakan sbb.:
a. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta
Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
c. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
d. Dewan Pers dan organisasi profesi (PWI, AJI, dll) segera mendesak kepada
pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk mengeluarkan
Peraturan Teknis Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan dan secara
tegas menggunakan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS sebagai dasar
hukum lex specialis dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap
wartawan.
e. Diperlukan adanya partisipasi dari pihak lain seperti aparat penegak hukum dan
masyarakat itu sendiri untuk membangun budaya taat hukum bagi
masyarakat sehingga perlindungan hukum terhadap wartawan dalam menjalankan
profesi jurnalistik dapat dilakukan secara maksimal paling tidak dapat
dihindarkan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa wartawan
dalam menjalankan tugasnya.