TERAS PERS #18

13

description

Wajah Transportasi Yogyakarta

Transcript of TERAS PERS #18

Page 1: TERAS PERS #18
Page 2: TERAS PERS #18

Redaksi

Pemimpin Umum Angela Rianita

Pemimpin Redaksi Philippus Angga

Editor Kunthi Damayanti dan Tane Hadiyantono

Redaktur Philippus Angga Angela Rianita Angelica Senggu Verena Patricia Alexander Ermando Fransiskanes Tika

Reporter Nicolaus Prama Wahyu Ratu Arum Katarina Tathya Andreas Ricky Selvi Sandra Sesilia Narendra Yohana Tika Aryanto Wijaya

Fotografer Flori Sidebang

Desain grafis Antoni Yulian dan Paulus Darma

Layouter Asteria Desi dan Endrianto S.N

Social Media Officer Christi Mahatma

Marketing Bryan Melvin dan Vincencia Enggar

Email [email protected]

Alamat RedaksiJl. Babarsari No.6 Yogyakarta 55281Kotak Pos 1086/YKBBHalaman Majalah Teras Pers

CP : 087838257876 (Angela Rianita)

Wajah Transportasi Yogyakarta

Ketika melakukan perjalanan pulang ke Yogyakarta beberapa waktu lalu, Saya sempat tertegun dengan keberadaan becak motor (Bentor). Alat transportasi unik ini melakukan inovasi dengan menggabungkan mesin sepeda motor dan becak tradisional. Meskipun keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, ternyata bentor merupakan alat transportasi yang masih ilegal. Semua itu disebabkan karena belum adanya perarturan daerah yang memayungi keberadaan bentor di kota gudeg ini.

Berbeda lagi dengan bentor, Trans Jogja (TJ) yang menjadi moda transportasi primadona bagi masyarakat ini kini kenya-manannya kian memburuk. Terlihat pada beberapa fasilitas Trans Jogja yang saya jumpai sudah mulai rusak dan kurang terawat. Salah satu contohnya yaitu pintu hidrolik yang sudah tidak ber-fungsi maksimal dan harus dibuka secara manual oleh petugas bus. Belum lagi rusaknya pada beberapa tempat duduk serta bus yang mengeluarkan asap hitam dari knalpotnya, memberikan kesan jika Trans Jogja kurang terawat.

Maka itu sebagai wujud kepedulian seluruh awak Teras Pers terhadap wajah transportasi Yogyakarta, diungkapkan melalui edi-si kali ini. Edisi ini dibuat untuk memberikan gambaran berbagai permasalahan transportasi di Yogyakarta beserta solusinya yang terbaik. Tentunya juga dapat memberikan berbagai pilihan moda transportasi lainnya bagi pembaca seperti becak dan sepeda. Di-harapkan pula pemerintah bersama masyarakat dapat menghidup-kan kembali gerakan SEGO SEGAWE (Sepeda kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe) di Yogyakarta ini. Sehingga menciptakan moda transportasi alternatif yang ramah lingkungan tanpa bergantung dengan transportasi umum yang sudah ada. Selamat Membaca.-

Philippus Angga

DAFTAR ISI

4-5 Laporan Utama Mencari Nafkah Dengan Status Ilegal

6-7 Laporan Utama Denyut Trans Jogja di Tanah Istimewa

8-9 Disekitar KitaHarapan Bagi Fisip UAJY : Tempat Parkir

10 SudutYogyakarta Ramah Pesepeda

11 OpinikuBedanya Kampus Dengan Pasar?

12-13 Djendela Rana

14-15 SosokBersama Kang Harry di @becakcitytour

16-17 Politik KitaKawasan Bebas Rokok Yang Masih Wacana

18-19 KomunitasJogyakarta Ubiquitos Multitude, Sebuah Komunitas Parkour

20-21 Seni dan BudayaWayang HIP HOP : Memudakan Wayang Sembari Menjawab Kegelisahan

22 Resensi BukuCitizen Jurnalism

Editorial

| 3

Page 3: TERAS PERS #18

Liputan UtamaLiputan Utama

4 | | 5

Mencari Nafkah DenganStatus Ilegal“Kalau kita, bentor, lewat pos polisi, mesinnya kita matikan dulu kemudian kita kayuh, biar ngga kelihatan mesinnya..”

Tulisan Angelica Senggu dan Tane Hadiyantono

Becak motor, atau biasa disebut bentor, tidak jarang dite-

mui berlalu lalang di jalan raya. Ada dua jenis bentor yang biasa ditemui. Pertama adalah bentor dengan badan belakang berupa motor dan badan depan berupa becak. Pada jenis bentor ini bentuk fisik motor masih terlihat jelas dari sadel, mesin dan rang-kanya.

Yang kedua adalah becak bermesin, Becak bermesin me-miliki bentuk yang lebih mirip becak namun telah dipasangi mesin motor. Sadel, knalpot dan jeruji sepeda motornya terse-mbunyi dengan baik sehingga sekilas tidak berbeda dengan becak kayuh. Jenis bentor yang kedua inilah yang lazim digu-nakan sebagai angkutan umum di Yogyakarta.

Tapi, siapa sangka bahwa angkutan umum yang dapat menjangkau jarak jauh dengan

harga murah ini masih berstatus ilegal. Kabag Lalu lintas Dinas Perhubungan Yogyakarta, Ana Rina Herbranti, menyatakan bahwa regulasi bentor belum diatur oleh pemerintah. Padahal perihal kendaraan bermotor dan pengangkutan orang telah diatur, misalnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 41 tahun 1993 tentang angkutan jalan, yang berbunyi: “Pengangku-tan orang dengan kendaraan bermotor dilakukan dengan menggunakan sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus dan kendaraan khusus,”.

Undang-Undang (UU) No.22 tahun 2009 pasal 48 ayat 1 tentang lalu lintas dan angkutan jalan juga menyatakan, “Setiap kendaraan bermotor yang bero-prasi di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.”

Keberadaan bentor dila-rang oleh pemerintah karena be-

lum ada uji kelayakan terhadap bentor-bentor tersebut. Apalagi setiap bentor dirakit dengan cara dan teknik yang berbeda, sesuai keinginan pemiliknya, sehingga tidak ada standar keamanan yang jelas. Hal ini tentu berbaha-ya bagi keselamatan pengendara

bentor, penumpang, bahkan pengguna jalan pada umumnya.

Jika ingin beroperasi seb-agai angkutan umum, pemilik bentor bisa mengajukan merk tertentu yang ingin digunakan kepada pemerintah untuk diuji kelayakannya. Namun, hal ini hanya boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pe-milik hak merk atau tipe motor tersebut.

Harga Bentor Jauh Lebih Murah

Walaupun regulasi ben-tor tidak terdapat dalam Per-aturan Pemerintah maupun Undang-Undang, masih banyak pengemudi becak motor yang beroperasi di jalan raya. Salah satunya adalah Wasgito, seorang pengemudi bentor yang Teras Pers temui di Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta.

Wasgito memulai peker-jaannya sebagai tukang becak motor sejak dua tahun terakhir. Awalnya, pria asal Sragen ini pindah ke Yogyakarta pada tahun 2010 sebagai tukang becak kayuh. Ia bersama teman-teman sesama penarik becak lalu berini-siatif untuk menyediakan angku-tan yang dapat menjangkau jarak yang jauh dengan harga yang tetap murah.seperti bentor ini.

Menurutnya, bentor juga disiapkan untuk para tukang becak yang sudah mengalami gangguan kesehatan, misalnya cacat atau lemah di kaki sehing-ga tidak bisa mengayuh pedal becak. Bukan hanya itu, bentor juga sangat bermanfaat bagi penumpang kereta api yang membutuhkan jasa ang-kutan umum murah dan dapat menjangkau jarak yang jauh.

Becak yang dike-mudikan Wasgito memiliki kapasitas bensin 2.5 liter yang cukup untuk mencapai jarak 50-60 kilometer. “Kira-kira bolak-balik dari Stasiun Kereta Api Tugu ke Stasiun Bus Giwangan bisa untuk beberapa kali,” ujar Wasgito. Ia pun

menawarkan tarif ben-tornya mulai dari Rp 30.000,00, tergantung jauhnya jarak tempat yang dituju.

Wasgito terus mencari nafkah dengan bentor walaupun ia mengetahui bahwa bentor di-larang pemerintah untuk berop-erasi. Menurutnya, kalaupun ada tindakan polisi terkait bentor, itu hanya berupa penyitaan bentor yang tertangkap razia polisi. Ia sendiri mengaku belum pernah sekalipun tertangkap. Ia juga selalu menyiapkan STNK dan BPKB untuk berjaga-jaga bila terjadi razia.

Wasgito mengatakan bahwa ia bukannya berusaha menipu polisi, justru ia berusaha meng-hormati mereka. “Kalau kita, bentor, lewat pos polisi, mesin-nya kita matikan dulu kemudian kita kayuh, biar ngga kelihatan mesinnya,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, Ana menyatakan bahwa memang pihak kepolisianlah yang berhak melakukan razia bentor. “Dalam UU No 22 tahun 2009, diatur pula bahwa Dinas Perhubungan (Dishub) tidak bisa melakukan tindakan di jalan se-cara langsung, melainkan yang ber-

hak merazia adalah kepolisian sendiri. Di kota memang sudah dilakukan razia untuk becak. Jangan sampai mereka menggu-nakan mesin motor. Pemerintah telah memberikan kebijakan berupa kartu ijin mengemudi untuk becak tradisional beroper-asi. Namun ada yang kemudian mengganti becak tradisionalnya dengan motor,” ungkap Ana.

Untuk mengatasi “kenaka-lan” para bentor, selain men-gadakan razia pemerintah juga memberikan sosialisasi terkait regulasi bentor dan kelayakan-nya yang belum teruji. Pemer-intah juga menghimbau agar pengguna becak motor dapat mempertimbangkan polemik yang bisa terjadi antara penge-mudi bentor dan pengemudi becak kayuh. Pemerintah bukan tidak peduli dengan nasib penge-mudi bentor namun melihat status kelayakan bentor sebagai angkutan umum masih belum menjamin keselamatan penum-pang.-

Ana Rina Herbranti, Kabag Lalu lintas Dinas Perhubungan Yogyakarta

Ilustrator Paulus Darma

Page 4: TERAS PERS #18

Keberadaan TJ tidak lepas dari keingi-nan akan adanya transportasi yang aman, nyaman, dan tepat waktu bagi

seluruh masyarakat Yogyakarta. Untuk itu TJ hadir untuk memberikan kemudahan dalam mengakses tempat-tempat wisata di daerah yang masih kental dengan budaya aslinya ini.

“Inilah salah satu keunggulan dari Trans Jogja. Menjangkau setiap tujuan wisata di Yogya-karta dan terhubung dengan terminal bus, stasiun, serta bandara,” ucap Tito, Kepala Divisi Pelayanan PT. Jogja Tugu Trans. Selain dapat menunjukkan destinasi tempat wisata bagi turis asing maupun lokal, TJ juga merupakan alat transpotasi yang murah meriah.

Untuk mengadakan Trans Jog-ja, pada tahun 2008 Pemprov DIY mencabut trayek 108 unit bus kota yang terbagi dalam dua rute, serta memberikan ganti rugi. Inilah salah satu keistimewaan Jogja! Sopir dan pemilik bus kota tersebutpun bisa menerima rencana pengadaan Trans Jogja tanpa demonstrasi, apala-gi tindakan rusuh. Tanggal 16 Februari 2008, TJ resmi menjadi penghuni jalanan Kota Jogja. Sebanyak 34 buah bus milik PT. Jogja Tugu Trans, ditambah 20 unit bantuan dari pemerintah mulai dioperasikan.

Pada awal kiprahnya, terdapat enam jalur

TJ dan setiap rute diberikan jatah delapan unit bus. Waktu tempuh saat itu cukup cepat karena interval waktu penumpang menunggu di halte maksimal 12 menit dan seluruh pintu hidrolik berfungsi dengan sangat baik. Namun seiring waktu, mulai banyak keluhan mengenai fasilitas yang disediakan bus TJ. Untuk membuktikan hal ini, Teras Perspun memutuskan untuk menco-banya sendiri.

Kesan kurang terawat menyeruak saat kami menaiki bus Trans Jogja dari halte Jaya-karta, Maguwo. Pintu hidrolik bus langsung menyita perhatian kami. Pintu yang dahulu di kontrol oleh sopir, kini harus dibuka secara manual oleh pramugara bus. Masuk ke dalam

bus, tampak sejumlah tempat duduk rusak parah, entah karena termakan

waktu atau karena ulah

penumpang sendiri. Terkelupasnya alas tempat duduk dan sandaran badan ini diperburuk den-gan mencuatnya kerangka tempat duduk yang sudah berkarat.

“Pintunya kadang suka nggak bisa ditu-tup, ditambah keadaan bus yang penuh sesak dan tidak jarang sopirnya agak ugal-ugalan. Kan kasihan penumpangnya, sudah berdiri sesak, harus berpegangan erat,” ujar Wiranata, salah satu penumpang di bus Trans Jogja rute 1A itu.

Menanggapi kerusakan sarana bus, Tito menyatakan bahwa setiap bus TJ beroperasi selama 18 jam sehari dengan setiap jalurnya menyambangi kurang lebih 50 halte. Satu unit bus dapat beroperasi hingga delapan rit dalam sehari. Jadi setiap harinya pintu bus harus dibuka tutup sebanyak 400 kali. Menurutnya, hal inilah yang menyebabkan banyaknya pintu hidrolik yang rusak.

Bus Trans Jogja di Mata MasyarakatUntuk mengetahui pandangan masyara-

kat terhadap kondisi bus TJ saat ini, Teras Pers mengadakan survei terhadap 50 penumpang bus Trans Jogja berbagai jalur.

Hasil survei menunjukkan bahwa seba-gian besar penumpang merasa kurang nyaman dengan kondisi bus TJ saat ini, tapi mereka mengaku cukup puas karena ongkosnya murah. Sebagian penumpang merasa kurang puas dengan pelayanan bus TJ karena ketidaktepatan waktu kedatangan dan keberangkatan bus.

Survei juga menunjukkan bahwa 75% penumpang merasa aman menggunakan bus TJ. Ketiadaan pengamen, copet, serta bus yang berhenti sesuai di halte membuat penumpang tidak takut akan tindakan kriminalitas yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Petugas TJ yang ramah dan sopan juga turut memberikan rasa

aman, Penumpang merasa bebas dan leluasa untuk bertanya pada petugas sehingga mereka tidak takut apabila tersesat.

Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbu-han volume kendaraan di kota Yogyakarta membuat jalan semakin padat. Kemacetan mulai lumrah ter-jadi di jalan-jalan utama sehingga tak sedikit bus TJ yang terjebak macet dan akibatnya kedatangan dan keberangkatan bus menjadi terlambat. Sayangnya, keberadaan bus TJ tetap tidak mampu menyaingi laju pertumbuhan kendaraan pribadi yang semakin membebani jalan.

Ketika ditanya mengenai wacana penggrati-san bus TJ, Tito mengaku bahwa itu adalah urusan pemerintah dengan kesejahteraan masyarakat. “Mau gratis apa nggak sih itu terserah pemerintah karena kami PT. Jogja Tugu Trans hanya menjalankan mandat sebagai operator saja, soal gratis atau tidak itu adalah kewajiban pemerintah untuk menyejahter-akan masyarakat,” jawabnya.

Masih disebut beruntung, karena walaupun hingga kini tarif bus TJ dibandrol Rp 3.000,- per-awatan bus senantiasa masih dilakukan secara berka-la. Satu persatu bus dibenahi mulai dari kelayakan pendingin ruang (AC) hingga pintu hidroliknya.

Berbagai usaha ditempuh untuk tetap menjadi-kan bus TJ sebagai wadah transportasi yang istime-wa bagi masyarakat Jogja. Bus TJ juga diharapkan memberi edukasi kepada masyarakat untuk lebih peduli dengan mengutamakan orang yang lebih tua, sakit, ataupun wanita. “Penumpang adalah prioritas kami. Tujuan dari perusahaan kami adalah men-jadi mitra pemerintah dalam melayani kebutuhan transportasi masyarakat. Trans Jogja masih memiliki banyak kekurangan, karena itu kami terbuka terha-dap segala kritik dan saran,” ungkap Tito di akhir wawancara.-

Liputan UtamaLiputan Utama

6 | | 7

Denyut Trans Jogja di Tanah Istimewa

Padatnya daerah perkotaan membuat sebagian masyarakat mulai mencari alat trans-portasi yang efektif mengatasi kemacetan dengan ongkos terjangkau. Trans Jogja (TJ)

merupakan solusi transportasi dari Pemprov DIY yang diresmikan pada tahun 2008. Namun seiring waktu, alat transportasi andalan Kota Pelajar ini semakin tidak terurus

dari segi fasilitas dan kenyamanannya.

Tulisan Aryanto Wijaya dan Paulus Darma

Ilustrator Paulus Darma

Page 5: TERAS PERS #18

Disekitar Kitadisekitar Kita

8 | | 9

Harapan Bagi Fisip Uajy : Tempat Parkir

Jauh di sana di tempat sang surya terbit, terdapat harapan-harapanku yang paling tinggi. Aku mungkin tak berhasil meraihnya, namun aku dapat memandang ke atas dan menyaksikan keindahannya, lalu

percaya dan berusaha mengikuti harapan-harapan tersebut.- Louisa May Alcott -

Tulisan Sesilia Narendra dan Endrianto S.N

Bukan sesuatu yang luar biasa ketika kita mengalami kesulitan mendapat-kan tempat nyaman untuk menaruh

kendaraan di kampus FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Masalah? Mungkin tidak bagi semua. Mungkin hanya bagi mereka, yang datang tepat pada waktunya, waktu kegiatan kuliah dimulai. Atau bagi mereka, yang memiliki prinsip-prinsip tertentu dalam menempatkan kendaraan mereka. Yang pasti, menarik untuk kita pahami, mengapa hal seperti ini bisa terjadi, sebagai bagian dari cara kita untuk memahami realitas. Dalam hal ini realitas kita sebagai mahasiswa FISIP Atma Jaya Yogyakarta, yang tentu tidak lepas dari masalah tempat parkir.

Gedung Teresa atau Kampus IV yang saat ini digunakan sebagai tempat perkuliahan mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, perpustakaan, serta KACM Universitas Atma Jaya Yogyakarta tidak serta-merta berdiri begitu saja. Sebaliknya gedung ini mengalami perjalanan panjang, yang melibatkan banyak pihak dalam pembangunanya.

Seperti yang diceritakan oleh Kepala Kantor Pengelolaan Sarana dan Prasarana (KPSP), YF. Tri

Prastyas, S.P., M.M., lahan yang digunakan oleh Kampus IV sebelumnya merupakan lahan yang di-miliki oleh sebuah bank dan hotel. Dalam perkem-bangannya, pembangunan gedung tersebut tidak mungkin hanya diperuntukkan bagi FISIP, sebab di sisi lain universitas memiliki banyak kebutuhan.

Penyelesaian dari masalah ini adalah, gedung tersebut tetap dibangun akan tetapi diakomodir oleh berbagai pihak, termasuk seluruh fakultas di Atma Jaya Yogyakarta. Oleh karena pembangunan tersebut diakomodir oleh banyak pihak, maka gedung tersebut nantinya juga harus memiliki kon-tribusi bagi pihak-pihak tersebut. Hal inilah yang menyebabkan perpustakaan serta kantor KACM berlokasi di gedung Teresa.

Lebih lanjut, Tri Pratyas menceritakan bahwa pembangunan gedung Teresa ini sendiri tidak asal-asalan, tetapi ada block plan yang telah dirancang sedemikian rupa. Sayangnya apa yang sudah digambarkan dalam block plan tersebut hanya indah sebagai gambar. Gedung yang sudah diran-cang sedemikian tetap tidak mampu menampung perkembangan FISIP itu sendiri.

Masalah utama yang terlihat jelas dari kurangnya tempat parkir di FISIP Atma Jaya Yogya-karta adalah terba-tasnya lahan. Seperti yang dikatakan Tri Pratyas, lahan yang ada di FISIP memang sangat minim dan sudah dimanfaatkan semaksimal mung-kin, misalnya dengan menggunakan lorong di samping gedung perpustakaan seb-agai tempat parkir, metode memarkir kendaraan seefisien

mungkin, serta membuat pengaturan terhadap penggunaan lahan tersebut.

Selain keterbatasan lahan, Bejo selaku Koor-dinator Parkir Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengatakan faktor lain yang menyebabkan penuh-nya lahan parkir adalah ketimpangan antara lahan yang tersedia dengan banyaknya mahasiswa yang kuliah pada hari tersebut. Jumlah mahasiswa yang sedang kuliah memang terlihat cukup berpengaruh pada penuhnya tempat parkir. Kita dapat melihat bahwa sebenarnya tempat parkir selalu penuh pada saat-saat tertentu seperti pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis, terutama pada sesi kuliah kedua.

Minimnya lahan parkir membuat berbagai pihak harus memutar otak, mencari solusi peny-elesaiannya masalah tersebut. Dari pihak kampus sendiri, seperti yang dikatakan oleh Dekan FISIP UAJY, Dr. Lukas Ispandriarno, M.A., sudah mem-berikan masukan kepada KPSP terkait masalah-masalah sarana dan prasarana termasuk kurang-nya tempat parkir, maupun kurangnya fasilitas pendukung tempat parkir itu sendiri. Sedangkan dari pihak KPSP sendiri menyatakan bahwa mereka sudah menerima masukan-masukan tersebut, dan selalu mengupayakan perbaikan-perbaikan. Hanya

saja, perbaikan tersebut memang tidak dapat di-lakukan seketika.

Masukan tersebut tidak hanya disampaikan oleh Dekan FISIP, Bejo juga menyatakan bahwa pihak parkir sendiri juga memiliki kegiatan evalu-asi tahunan yang diadakan di tingkat pengurus koperasi, yang nantinya akan disampikan pada pihak KPSP. Salah satunya adalah pos parkir yang tadinya terlalu kecil sehingga menyebabkan banyak STNK yang dibawa oleh para pengendara mo-tor yang akan keluar menjadi basah ketika hujan, akhirnya diperluas.

Langkah lebih jauh yang tengah diupayakan oleh universitas adalah dengan pengaturan ulang seluruh universitas. Dalam hal ini tempat parkir bukan lagi hak milik fakultas tetapi akan diatur oleh universitas.

Melihat banyaknya masalah serta keinginan yang berkaitan dengan kampus, terkadang menim-bulkan pertentangan, terutama mengenai manu-sia yang tidak puas. Akan tetapi kita tidak perlu melihat banyaknya keinginan tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Sebaliknya kita perlu melihat masukan serta harapan-harapan tersebut sebagai pemandu kita, agar mencapai sesuatu yang lebih baik.

Untuk dapat melangkah kita harus memiliki impian. Mimpi tersebut tidak hanya berkaitan dengan masa depan pribadi, namun juga mimpi bagi kampus kita, sebab FISIP UAJY saat ini juga merupakan bagian dari diri kita.

Seperti yang dikatakan oleh Helen Keller, “Sendirian, sedikit sekali yang mampu kita ker-jakan; bersama-sama, begitu banyak yang mampu kita hasilkan”. Dimulai dengan lebih peka terhadap lingkungan tempat kita paling banyak menghabis-kan waktu, tentu akan membantu kita lebih peka terhadap lingkungan yang lebih luas. Berawal dari kepekaan inilah kita akan menemukan solusi bagi masalah yang ada.-

Page 6: TERAS PERS #18

OpinikuSudut

10 | | 11

YogyakartaRamah

Pesepeda(?)

Yogyakarta memiliki banyak gelar yang yang disandangnya.

Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Pendidikan, dan terakhir,

rumah bagi para pesepeda. Namun, bagaimana tanggapan dari para pesepeda Yogyakarta

sendiri?

Tulisan Nicolaus Prama

Di siang yang cukup panas menyengat itu Teras Pers menemui Muntowil, Ketua Pa-guyuban Onthel Jogjakarta (Podjok) untuk

berbincang mengenai kegiatan bersepeda di Yogyakarta. “Di era 60, 70 dan 80-an, Yogyakarta sangat diwarnai oleh sepeda-sepeda. Kami dari berbagai komunitas sepeda ingin mengembalikan hal itu ke Yogyakarta,” katanya.

Beliau menjelaskan bahwa program Sego Segawe dari pemerintah muncul tahun 2008 atas usulan dari para komunitas sepeda yang mencoba menghidupkan kembali Yogyakarta sebagai Kota Sepeda. Sego Segawe sendiri merupakan singkatan dari “Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe” yang berarti menggunakan sepeda untuk bersekolah dan bekerja. “Pemerintah menangkap pesan yang kami perjuangkan melalui kegiatan-kegiatan komunitas pencinta sepeda sehingga muncullah program Sego Segawe,” ujar Muntowil.

Namun, dengan pergantian Walikota Yogyakarta, beberapa program Sego Segawe mulai kurang diperhati-kan. Towil, begitu panggilan akrab beliau, mengutarakan bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah. “Spirit kami untuk bersepeda masih tetap sama dan sudah menjadi bagian dalam hidup kami.”

Bersama rekan-rekannya, Towil berusaha membuk-tikan spirit itu dengan melakukan perbaikan di fasilitas umum bersepeda dengan biaya mandiri di tahun 2013 ini. “Bagi pemerintah, itu merupakan sentilan yang luar biasa karena fasilitas umum diperbaiki oleh masyara-kat sendiri, dengan biaya patungan pula, Dan memang benar, karena semenjak aksi kami banyak fasilitas umum yang dibenahi oleh pemerintah” ungkapnya.

Beliau menambahkan bahwa kegiatan bersepeda mampu menggerakkan banyak bidang, “Contohnya saja perekonomian, bayangkan ada berapa toko sepeda yang muncul. Ditambah lagi pariwisata, budaya, tenggang rasa, bahkan hingga dunia fotografi yang saat ini sedang marak. Banyak hal yang bisa dihidupkan kembali dengan menghidupkan kegiatan bersepeda,” jelas Towil.

Ketika disinggung mengenai tata krama menggu-nakan jalan raya, Towil mengungkapkan keprihatinan-nya kepada sesama pengguna jalan. “Katanya Jogja itu adalah kota yang penuh keramah tamahan, tetapi saat ini yang terjadi tidaklah demikian. Bahkan para wisatawan luar yang datang ke Yogyakarta terlalu takut dengan kondisi jalanan di Yogyakarta, meski sudah ada jalur khusus pesepeda.”

Senada dengan yang diungkapan Mas Towil, Ni-codemus Windhi, mahasiswa Jurusan Arsitektur Univer-sitas Atma Jaya Yogyakarta yang gemar bersepeda ini, juga mengeluhkan tata krama di jalan raya. “Pemerintah sih sudah lumayan memberikan fasilitas bagi pengguna sepeda di Jogja, tapi di lapangan masih ada pengguna kendaraan bermotor yang membuat para pesepeda merasa kurang nyaman. Seperti jalur khusus sepeda yang digunakan pengendara sepeda motor.” Windhi berharap faktor keamanan dan kenyamanan bagi para pesepeda semakin ditingkatkan.-

Ilustrator Paulus Darma

Bedanya KampusDengan Pasar?

Hari itu kira-kira di jam jeda kuliah, saya berdiri terpaku di dekat tiang penopang kampus. Saya tiba-tiba

terbayang pada salah satu adegan di Injil, ketika Yesus murka dan mengamuk di Bait Allah. Yesus marah saat melihat Bait Allah, sebagai tempat ibadat, dipergunakan sebagai pasar, kemudian Yesus membanting barang-barang di ‘pasar’ tersebut.

Saya tidak bisa membayangkan sean-dainya sekarang Yesus masih ada di dunia dan merupakan guru besar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mungkin Ia akan melaku-kan hal yang sama ketika melihat kampus ini, khususnya di FISIP, sekarang tak ubahnya sebuah ‘pasar’. Tidak lagi menjadi ra-nah akademis dan ruang-ruang diskusi yang sunyi, tenang tapi hidup. Sunyi tanpa alunan musik, tenang tanpa ada yang berteriak, tapi hidup sejak dalam pikiran.

Sejenak saya tersen-tak dan membentak dalam hati. Bukan, bukan, ini bukan salah saya, dia, dan mereka. Bukan salah kami. Kami tidak punya pilihan, kami tidak punya wadah. Ketika Yesus keberatan jika Bait Allah digunakan untuk tempat berdagang, ia menyuruh para pedagang untuk mencari

tempat lain. Hal tersebut merupakan solusi yang coba ditawarkan Yesus karena Ia tidak perlu menyediakan lapak, mengingat keadaan masa itu masih memudah-kan orang untuk mencari lahan baru untuk berda-gang.

Perasaan yang sama juga saya rasakan. Kampus memang tidak perlu menyediakan tempat atau lapak bagi mahasiswa, dengan asumsi bahwa mahasiswa diharapkan sudah mampu mencari solusi bersama, juga punya landasan maupun modal sosial yang besar untuk memperoleh solusi.

Contohnya, ketika mahasiswa ingin berdagang, informasi yang dia peroleh

mengenai tempat-tempat khusus un-tuk berjualan dan akses terhadap hal

tersebut lebih mudah dibanding para pedagang asongan. Ide dan

usaha yang dilakukan maha-siswa juga diharapkan lebih solutif dan cerdas diband-ing para pedagang asongan, mengingat bekal ilmu pen-getahuan yang sudah mereka

peroleh di bangku kuliah. Namun ketika ternyata

mahasiswa tidak mampu berbuat seperti itu, lagi-lagi

ada yang perlu kita pertan-yakan, ada apa? Kenapa

tidak ada bedanya kam-pus dengan pasar? Ke-napa tidak ada bedanya perilaku mahasiswa dengan para pedagang asongan? Yang perlu digugat bukan cuma mahasiswa, bukan juga pedagang asongan, bisa jadi lembaga pendidi-kan yang telah gagal membentuk mahasiswa untuk jadi berbeda dengan para pedagang asongan. Wassalam!-

Bella, Mahasiswi Prodi Sosiologi UAJY

Tulisan Bella

Page 7: TERAS PERS #18

12 | | 13

Geliat Ekonomi di Daerah Istimewa

Pasar Beringharjo menjadi salah satu tujuan wisata yang tidak per-nah dilewatkan oleh para wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Sebagai pusat ekonomi, Pasar Beringharjo memiliki daya

magnet tersendiri khususnya bagi pengunjung. Selain menyediakan pilihan berbagai sajian kuliner dan busana batik yang khas, pasar tradisional ini juga menawarkan keramahan yang ditunjukan oleh para pedagangnya. Inilah sisi lain yang dimiliki oleh pasar tradisonal yang berada di kawasan Malioboro tersebut.

Namun ditengah-tengah ramainya geliat perekonomian di Pasar Ber-ingharjo, ternyata ada sendi-sendi kehidupan yang luput dari perhatian kita. Misalnya saja adanya buruh panggul yang sebagain besar masih dilakukan

oleh wanita lanjut usia dengan rambut-nya yang sudah memutih. Terlihat juga beberapa pedagang yang memanfaatkan tangga pasar sebagai tempat berjualan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi yang begitu istimewa adalah mereka melakukannya dengan senang hati tanpa ada beban yang tergambar diwajahnya.

TERAS PERS melihat Pasar Ber-ingharjo bukan hanyak sekadar tempat jual beli antara pedagang dan penjual,

Pasar Beringharjo yang tampak dari depan Pedagang yang memanfaatkan tangga

melainkan sebagai tempat proses pembelajaran dalam kehidupan. Dimana begitu banyak potret-potret perjuangan yang dapat kita temukan demi sebuah kesejahteraan hidupnya.

Setia menanti pelanggannya datang

Penjual makanan dan jajanan pasar di depan pintu masuk pasar

Buruh panggul yang memikul beban begitu berat

Transaksi jual beli di Pasar Beringharjo

Begitu bahagianya seorang pedagang menjalankan akti-vitasnya di Pasar Beringharjo

Foto : Flori Sidebang Teks : Philipus Angga

Page 8: TERAS PERS #18

Cuaca terik ber-sama semilir angin menemani kami

yang sedang menunggu Blasius Haryadi di depan sebuah hotel di kawasan Prawirotaman. Tampak juga beberapa becak yang diisi oleh penariknya sendiri, mer-eka beristirahat sejenak sambil berjaga-jaga jika ada tamu yang ingin menumpang.

Sosok yang kami nanti pun muncul di pinggir jalan bersama becaknya. Ternyata Kang Harry, begitu sapaan akrab Blasius Haryadi, sedang mem-bawa seorang turis asing. Beliau kemudian menghampiri kami.

“Maaf, Mas, Mbak, ini tamu saya minta dianterin ke Amikom. Ini mau saya antar pakai motor. Gimana kalau wawancara di sana saja?” tawarnya dengan ramah.

Si bule yang bersama Kang

Bersama Kang Harry di @becakcitytour

Tulisan Alexander Ermando, Christi Mahatma dan Selvi Sandra

Harry pun ikut menyapa dan memperkenalkan dirinya sebagai Harry Turner, warga asal Se-landia Baru. Ia sempat menyam-paikan rasa kagumnya terhadap Kang Harry. “You know him? He’s good (Kamu tahu dia? Dia orang yang baik)” kata Harry sambil tersenyum ramah.

Setengah jam kemudian, kami sudah tiba di kawasan kam-pus AMIKOM Yogyakarta. Se-mentara si bule Harry langsung masuk ke gedung kampus, kami mengajak Kang Harry untuk mencari tempat yang enak untuk ngobrol. Setelah duduk nyaman, Kang Harry pun mulai berkisah tentang hidupnya, becak, dan teknologi dunia maya.

Kang Har- ry bercerita bahwa ia diperkenalkan dengan internet oleh seorang teman yang awalnya ia kenal sebagai penumpang becaknya. “Dia dari Amerika. Dia bilang sama saya kalau mampir ke Yogya

lagi, dia mau pakai becak saya. Maka kita pun saling berkomu-nikasi via pos, lalu lewat telepon. Karena kendala waktu dan biaya, akhirnya dia menyarankan saya menggunakan e-mail saja. Saya pun diajari bagaimana cara mem-buat hingga menggunakannya,” jelas Kang Harry.

Kang Harry mulai me-manfaatkan fasilitas selain e-mail untuk mempromosikan jasanya. Ia lalu membuat akun di Facebook dan Twitter. Langkah promosinya ini mengundang banyak perhatian pengguna dunia maya, bahkan beberapa turis asing yang menggunakan jasanya mendapatkan informasi di situs jejaring sosial.

Menariknya, Kang Harry juga bertemu dengan orang-orang Indonesia yang telah menetap di luar negeri.

Mereka datang hanya untuk menuntaskan rasa penasaran mereka tentang Kang Harry, sang penarik becak melek teknologi. “Bisa dibilang mereka bernostalgia bareng saya,” katanya sambil tertawa

kecil.Kang Harry ternyata

memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis, terdapat kisah khusus mengapa Ia juga mencari nafkah lewat tulisan-tulisan hasil karyanya.

“Bagi saya, ada dua peristiwa yang mengubah hidup saya. Pertama, ketika saya terpaksa berhenti kuliah karena kekurangan biaya. Sejak itu saya

SosokSosok

14 | | 15

“Bagi saya, ada dua peristiwa yang men-

gubah hidup saya. Pertama, ketika saya terpaksa berhenti

kuliah karena kekurangan biaya. Kedua, ketika istri saya meninggal

dunia di saat gempa bumi pada 27 Mei 2006 silam,”

- Blasius Haryadi -

mulai bekerja menjadi tukang becak. Kedua, ketika istri saya meninggal dunia di saat gempa bumi pada 27 Mei 2006 silam,” kenangnya.

Kepergian sang istri men-jadi duka yang cukup mendalam bagi Kang Harry. Meskipun demikian, tiga orang anaknya selamat dari bencana besar terse-but. Demi menambah pendapa-tan untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anaknya, Kang Harry pun mencoba menulis artikel dan mengirimnya ke sebuah media cetak nasional.

“Saya iseng kirim tulisan ke Kompas. Nggak nyangka tu-lisan saya lolos dan diterbitkan. Judulnya ‘Jejaring Sosial di Mata Tukang Becak’,” ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan di IKIP (sekarang FKIP) Univer-sitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Matematika ini.

Kelihaiannya sebagai tu-kang becak mengenai teknologi internet membuat beberapa media besar, dari cetak hingga elektronik, mengundangnya untuk menjadi pembicara. Topik pembicaraannya tentu saja terkait manfaat dan mudarat dari internet, terutama situs-situs jejaring sosial populer. Tak hanya itu, ia pun menulis sebuah buku berjudul “The Becak Way” yang berisi mengenai dunia maya dan perjalanan hidupnya hingga saat ini.

Kang Harry tak menampik jika kesuk-sesan yang ia capai saat ini

telah banyak merubah hidupnya. “Tapi saya tidak mau disebut ka-cang lupa kulitnya. Saya seperti sekarang ini juga karena mbecak. Oleh karena itu sampai kapan-pun saya tidak akan pernah meninggalkan profesi sebagai tukang becak. Saya mencintai profesi ini,” ucapnya mantap.

Ketika disinggung menge-nai becak, Kang Harry ber-pendapat jika kendaraan ini dan pariwisata Yogyakarta merupak-an simbiosis mutualisme yang tak dapat dipisahkan. Baginya, becak meru- pakan iden-titas dari

pariwisata dan kebudayaan Yo-gya. “Becak itu udah jadi garda terdepannya pariwisata Yogya,” ungkapnya.

Meskipun demikian, ia me-nyayangkan sikap sesama rekan-nya penarik becak yang cender-ung menekan wisatawan dengan mematok tarif yang tinggi. Belum lagi sikap kasar yang terkadang dimunculkan oleh tukang becak, yang membuat para wisatawan menjadi segan menggunakan becak. Ini membuat becak mendapat stigma yang negatif dari publik.

Kang Harry berharap agar Dinas Pariwisata Yogyakarta lebih giat lagi dalam mendukung becak-becak ini. Segala praktek-praktek kecurangan yang umum terjadi antara tukang becak dan pengelola hotel maupun toko-toko cinderamata perlu disterilkan dan terus dimonitor agar tak terjadi lagi.

“Kita harus mengemba-likan citra becak Yogyakarta seb-

agai kendaraan yang ramah dan nyaman bagi para wisatawan do-mestik maupun mancanegara,”

jelasnya sembari menutup obrolan panjang bersama

kami.-

Blasius Haryadi

Page 9: TERAS PERS #18

Politik KitaPolitik Kita

16 | | 17

“Rokok itu bukan sebagai penemu ide, tapi hanya sebagai penenang saja.

Bohong kalau kalian tidak bisa berhenti merokok” ujar Benidiktus Susanto,

Kepala Kantor Humas Sekretariat dan Protokol

Universitas Atma Jaya.

Sejak disahkannya Surat Keputusan men-genai Kawasan Bebas

Asap Rokok (KBAR), Rektor Uni-versitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr. R. Maryatmo, MA. berharap kampusnya terlihat bersih, sehat dan ramah lingkungan. Baik ma-hasiswa, karyawan serta dosen UAJY pun diharapkan ikut andil dalam kebijakan ini.

Benidiktus Susanto, selaku Kepala Kantor Humas, Sekre-tariat, dan Protokol (KHSP) me-

nyatakan bahwa tujuan kebijakan “Kawasan Bebas Asap Rokok” adalah untuk menjadikan UAJY sebagai kampus yang sehat. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk mahasiswa saja, melainkan semua orang yang berada di area kampus. Dari dosen, pegawai, petugas keamanan bahkan mer-eka yang bukan warga UAJY na-mun berada di kawasan kampus.

Adanya kebijakan ini tidak semata-mata melarang mahasiswa, karyawan ataupun dosen untuk merokok, “Merokok itu hak perorangan kok, tapi menghirup udara segar juga hak perorangan lho. Jadi sebenarnya kebijakan ini bukan untuk melar-ang orang-orang untuk merokok. Kalau mau merokok silakan saja, asal asapnya tidak mengganggu orang lain,” lanjut Benidiktus.

Kebijakan yang dibuat atas usulan Rektor UAJY ini ditetap-kan dalam SK Rektor No: 53/HP/KBAR/2012 yang disahkan tanggal 3 April 2012. Salah satu

tujuannya tercantum pada Bab 1 bagian II pasal 2 ayat 2(d), yaitu menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula bagi warga Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Prakteknya, sangat sulit menerapkan kebiasaan merokok dengan aturan ini. Sampai pada saat ini, kebijakan “kawasan bebas asap rokok” masih belum bisa diberlakukan secara tegas di UAJY. “Penyebabnya mungkin karena area khusus merokok belum ada di UAJY. Selain itu kesadaran mahasiswa dan orang-orang di sekitar kampus akan kebersihan udara juga masih kurang,” ujar Benidiktus.

“Kerangkeng” FISIP UAJYMunculnya kawasan

bebas rokok dan gazebo yang terdapat di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UAJY sempat menciptakan kesalahpahaman antara mahasiswa dengan pihak universitas. Gazebo yang biasa dikenal mahasiswa FISIP sebagai

“kerangkeng”, sempat terlihat di tengah kampus FISIP dengan tanda “Area Merokok” menem-pel di kerangkanya. Hal ini son-tak menimbulkan pikiran bahwa gazebo difungsikan khusus bagi mereka yang ingin merokok.

“Padahal sebenarnya, tujuan awal diberikannya gazebo adalah untuk memberikan ruang bagi mahasiswa belajar atau berdiskusi stelah selesai kuliah. Tempat santai dan berbincang-bincang,” ujar Lukas Suryanto Ispandriarno, Dekan FISIP UAJY.

Surat keputusan kawasan bebas rokok yang disampaikan rektor hingga saat ini belum bisa terlaksana sepenuhnya di ling-kungan FISIP UAJY. Faktanya, masih banyak mahasiswa yang merokok tanpa mempedulikan peringatan tersebut. Mahasiswa, dosen serta karyawan yang merokok beranggapan bahwa merokok adalah urusan pribadi. Namun, hal itu dibantah oleh Lukas. “Merokok bukan urusan pribadi, karena asap yang di-hasilkan akan berpengaruh pada orang lain,” ujarnya di sela-sela waktu

istirahat ketika diwawancarai Teras Pers.

Sangat wajar bila suatu inovasi melahirkan tanggapan pro dan kontra, begitu pula dengan regulasi asap rokok ini. Pro kontra terjadi tidak hanya dikalangan mahasiswa saja, namun terjadi juga pada dosen yang tanpa malu merokok dalam kawasan gedung.

Berbagai tanggapan pun timbul dari pihak mahasiswa. “Adanya plang dengan tulisan “Kampus Bebas Rokok” itu memang baik dan harus ada di setiap kawasan umum. Saya setuju sekali dengan isi tulisan-nya, soalnya saya juga tidak suka sama bau asap rokok,” kata Amadeus Severino, mahasiswa FISIP angkatan 2010. “Meskipun tulisan “kampus bebas rokok” itu sepertinya kurang diperhatikan, tetap dipasang saja, Selain untuk menyadarkan orang-orang, ya untuk membangun image baik kampus,” tambahnya.

Lain hal dengan Robertus Tatang Guritno. Ia menilai pihak universitas kurang mengada-

kan sosialisasi dengan mahasiswa terkait

isu kawasan bebas rokok. “Padahal dalam

visi UAJY jelas bahwa

humanisme adalah salah satu nilai yang akan dicapai, tapi kok mahasiswa seolah tidak dimanu-siakan ketika ada kebijakan baru untuk mahasiswa. Kita tidak diajak berdiskusi sama sekali, kemudian jangan lupa bahwa mahasiswa perokok juga mem-bayar kuliah jadi mereka juga harus diakomodir kebutuhannya. Perokok bisa diberikan ruang publik, misalnya di kantin atau tempat yang memang khusus perokok,” jelas mahasiswa FISIP angkatan 2011 ini.

Ike Devi Sulistyaningtyas, sebagai Wakil Dekan 1 menam-bahkan mengenai keberhakan petugas keamanan untuk mene-gur mahasiswa yang merokok. “Sebenarnya yang paling berhak untuk menegur mahasiswa yang merokok adalah petugas keamanan sendiri. Tapi ya tak jarang kami para dosen juga menegur mahasiswa yang tetap saja merokok dengan cara halus,” ujarnya.

Sayangnya, selama 1 tahun sejak kebijakan ini terbit masih belum ada sanksi yang jelas atas pelanggaran yang terjadi. Sanksi hanya sebatas teguran secara halus. “Ini masih sebagai tahap sosialisasi dari kebijakan. Ke depannya diharapkan pihak universitas dapat memperjelas sampai kapan proses sosialisasi ini berlangsung,” ungkap Lukas Suryanto Ispandriarno menutup

wawancara dengan Teras Pers.-

Tulisan Verena Patricia, Wahyu Ratu dan Yohana Tika

Ilustrator Paulus Darma

Kawasan bebas rokok yang masih wacana

Page 10: TERAS PERS #18

Waktu sudah sekitar pukul empat sore ketika Teras Pers menyamban-gi daerah Bulak Sumur, Yogyakarta.

Tampaknya sepak bola, bulu tangkis, cheerleading, dan berbagai aktivitas olah tubuh lain menjadi pemandangan yang biasa di sekitar Gedung Ghra Sabha Pratama UGM setiap sore. Kecantikan langit senja dan hembusan angin sepoi-sepoi pun men-emani para penikmat sore di kawasan itu.

Jajaran anak tangga di Ghra Sabha menjadi tempat kami beristirahat sejenak sambil menunggu kedatangan komunitas pecinta parkour yang biasa berlatih di sana. Tak lama kemudian, sekelompok anak muda datang dengan gaya khas mereka. Jump! Mereka melompati jajaran anak tangga, bergerak naik turun tanpa lelah.

Di sela-sela latihan, Teras Pers mencoba menemui salah satu anggota komunitas itu. Paulus Risang Pratama, atau biasa dipanggil Icang, den-gan ramah menyambut kedatangan kami sore itu. Icang menjelaskan bahwa saat ini olahraga parkour sudah merambah ke berbagai daerah, tak terkecu-ali Yogyakarta.

Setelah berulang kali berganti nama, komuni-

tas pecinta parkour di Yogyakarta menyebut diri mereka JUMPalitan. “JUMPalitan merupakan singkatan dari Jogjakarta Ubiquitos Multitude. Ubiqitos berarti berada dimana-mana, sedang-kan multitude berarti beragam-ragam,” ujarnya.

Dari gayanya, parkour adalah olahraga yang tergolong ekstrim. Gerakan-gerakan park-our diadaptasi dari halang rintang militer. Para pelaku parkour berpindah dari satu titik ke titik lain dengan menggunakan berbagai halangan di sekitarnya, sambil bergerak seefisien dan sea-man mungkin. Halangan yang mereka gunakan adalah lingkungan sekitar seperti gedung, tem-bok, dan bangunan-bangunan tinggi lainnya.

Icang sendiri merupakan anggota senior komunitas JUMPalitan yang aktif sejak tahun 2009. Sekarang ia mengandilkan dirinya sebagai pelatih di komunitas tersebut. JUMPalitan biasa mengadakan latihan rutin setiap Selasa dan Ka-mis jam empat sore di Grha Sabha Pramana, dan di hari Minggu jam delapan pagi di FTI UII.

Selain itu ada juga kegiatan jamming nasional yang diadakan setiap tahun dan diikuti oleh komunitas parkour seluruh Indonesia. “Bi-

asanya kami kumpul tiga hari buat main bareng sama jalan-jalan. Dulu pernah di Malang, pernah juga ke Bandung. Waktu di Bandung itu istimewa karena kami kedatangan praktisi parkour dari London. Dia itu anak didik Dacid Belle, orang yang mempopulerkan parkour,” ungkap Icang.

Berawal dari media sosial seperti Face-book, Twitter, dan Youtube, sekelompok orang dapat berkumpul dengan alasan satu hobi, hingga membentuk sebuah komunitas bernama JUMPalitan pada Desember 2007. Sekarang jumlah anggota yang tergabung dalam komu-nitas ini mencapai 100 orang, meskipun tidak semuanya aktif. Komunitas JUMPalitan sendiri tidak membatasi siapa yang boleh mengikuti parkour. Bagi mereka yang terpenting adalah kemauan untuk belajar. Hal ini terbukti dari anggota komunitas yang terdiri dari anak SD hingga orang tua, dari laki-laki hingga perem-puan.

Shelly, begitu panggilan akrab Arch-angela Shelly Tamara, adalah salah satu anggota perempuan dari komunitas JUMPalitan yang aktif hingga sekarang. Shelly bergabung dengan komunitas ini sejak SMA karena ketertarikan-nya akan dunia olahraga. Meskipun orang awam mengidentikkan olahraga ini dengan laki-laki, baginya hal itu tidak benar, “Parkour itu tidak mengenal cowok dan cewek, yang penting di sini adalah kebebasan bergerak,” tegasnya.

Daya tarik dari parkour adalah kepi-awaian untuk melompat dari tempat tinggi.

“Bagiku yang menarik itu saat melompat, kayak terbang,” ungkap Shelly sembari tertawa. Tentu saja belajar parkour harus selangkah demi selang-kah, tidak bisa langsung melompat dari keting-gian begitu saja. Dibutuhkan latihan yang rutin untuk mengurangi kemungkinan cidera.

Nilai yang dapat diambil dari olahraga parkour ini adalah kedisiplin karena mencakup semuanya dan merupakan kunci sukses bagi semua orang. Lalu kerja keras, karena keberhasilan tentu saja dapat didapatkan dengan kerja keras, serta mental yang berani untuk menghadapi segala rintangan.

Rintangan dalam parkour ibarat masalah yang sedang kita hadapi. Apabila dapat meng-hadapi masalah tersebut, maka kita pun dapat mencapai level yang lebih tinggi.-

KomunitasKomunitas

18 |

Jogjakarta Ubiquitos Multitude

Sebuah Komunitas Parkour“Parkour tidak mengenal cowok atau cewek. Yang

penting di sini adalah kebebasan bergerak.” Archangela Shelly Tamara, anggota JUMPalitan

Tulisan Fransiskanes Kartika, Katharina Tathya, Asteria Desi

Dok. Pribadi Jogjakarta Ubiquitos Multitude

Page 11: TERAS PERS #18

Seni dan BudayaSeni dan Budaya

20 | | 21

WAYANG HIP HOP: MEMUDAKAN WAYANG SEMBARI MENJAWAB KEGELISAHAN“Masyarakat Jawa selalu hidup seperti Punakawan, mereka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan kemampuan dan kelucuan mereka, lha ini bukannya menyepelekan masalah mas, tetapi justru meringankanya.”

Siang itu matahari bersembunyi di balik ketika TERAS PERS memulai perjala-nan menuju Sanggar Wayang Hip-Hop

di Kadipiro No 267 RT 07 Ngetisharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Alamat tersebut cukup susah untuk ditemukan, bahkan kami pun sempat kesa-sar beberapa kali dan harus meminta petunjuk dari warga sekitar.

Tak lama kemudian, kami pun menemukan sanggar Wayang Hip Hop yang asri dan berarsi-tektur Jawa. Terlihat pula sosok Ki Catur Benyek sedang membersihkan halaman ditemani seekor anjing ras kampung. Ki Catur Benyek langsung menyambut kami dengan sapaan yang ramah, se-jurus kemudian ia membuat kami bingung karena ia langsung melompat ke motornya, “Saya tak beli rokok dulu ya mas..” ujarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan sebungkus rokok dan memper-silahkan kami masuk.

Sanggar Wayang Hip Hop berbentuk pendopo dan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu kami masuk, hamparan alat gamelan dan perangkat musik menyambut kami. Hampir tidak

ada nuansa Hip Hop yang nampak dalam pendopo itu. “Monggo mas, santai aja lo ya..” ujar Ki Catur Benyek sembari mempersilahkan kami duduk.

Sambil menerawang Ia kemudian bercerita mengenai asal-usul sanggar Wayang Hip Hop yang ia dirikan itu. “Dibilang sengaja ya tidak, dibilang tidak sengaja juga tidak. Prosesnya sudah lama, karena saya lahir dari Bapak-Dalang dan Ibu-Sin-den” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa wayang hip hop yang ia ciptakan lahir dari kegelisahannya terhadap wayang, sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, yang mulai ditinggalkan anak muda Jawa. Mereka kini lebih senang dengan budaya-budaya game, kartun, manga dan komik-komik yang notabene berasal dari luar lingkup tradisi mereka.

Ki Catur Benyek berusaha menanggapi fenomena ini dengan mengemas wayang sesuai segmen untuk anak muda, yaitu dengan mencam-purkan unsur musik-musik yang lekat dengan telinga mereka, Hip Hop. Pertamanya dengan kemasan pertunjukkan wayang bernama: Way-angmu, Wayangku. ‘Mewayangkan manusia dan

memanusiakan wayang’. “Prosesnya itu ya mengalir, jadi pengen

buat apa ya dijalani saja. Waktu itu juga karena acara ulang tahun seorang teman di sanggar, saya mengundang teman bernama Budi Pramono untuk menemani saya ndalang dan dia menghi-phopkan dengan Bahasa Jawa. Jadinya itu menarik dan asyik. Waktu itu saya ndalang dan mas Budi menghiphopkan lagu Jaman Edan” katanya sambil mematikan rokok.

Wayang Hip Hop saat ini terdiri dari pesin-den Tiara Yantika, penyanyi rap Inung Arhaen dan Tyno TNT, talent Rio Srundeng dan Ki Catur Be-nyek sebagai dalang. Mereka pertama kali pentas di acara Ulang Tahun Majalah Kabare Yogyakarta. Kini Wayang Hip Hop juga menjadi pengisi intro dan outro acara World of Wayang yang disiarkan di KOMPAS TV setiap Minggu pukul 11.30 WIB.

Wayang Hip Hop ini biasanya memuat cerita-cerita bertemakan sosial, politik dan bencana alam. Contohnya adalah kisah kasus korupsi yang diper-agakan oleh para tokoh wayang Bagong, Petruk dan Punakawan lainya. “Masyarakat Jawa, selalu hidup seperti Punakawan, mereka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan kemampuan dan kelucuan mereka. Lha ini bukannya menye-pelekan masalah mas, tetapi justru meringank-anya” tambah Ki Catur Benyek. Meskipun kerap kali memuat dan menampilkan unsur komedi, tiap akhir pementasan Wayang Hip Hop pasti mem-berikan wejangan yang baik untuk diserap para penontonnya.

Selama 3 tahun berdiri, Wayang Hip Hop tentu menemui berbagai rintangan. Salah satu-nya adalah tentangan dari para dalang dan para budayawan konservatif. “Penggunaan media yang berbeda, wayang klasik dengan gamelan yang beraneka ragam se-dangkan Wayang Hip Hop dengan sentuhan hip

hop oleh rapper. Pementasan Wayang Hip Hop juga hanya berkisar 1-2 jam, karena apabila terlalu lama akan menjemukan dan membosankan. Banyak senior yang berpikiran bahwa Wayang Hip Hop tidak sesuai pakem Adi Luhung. Bagi saya pakem itu ada beberapa hal. Pertama, aturan main itu proses belajar bagi para pemula. Artinya setelah pakemnya dikuasai, boleh dong berkreasi. Kedua, prosesnya adalah pengembangan yang seharusnya saling berjalan beriringan, wong sama-sama nguri-uri kabudayan Jawi. Pro-kontra terhadap sesuatu yang baru itu wajar, namun semua juga perlu pengembangan,” ujar Ki Catur.

Ki Catur kemudian menambahkan menge-nai tantangan mendasar antara Wayang Kulit dan

Wayang Hip Hop. “Tantangan ke depannya saya pikir pasti akan sedikit lebih berat karena jalur yang kita pilih adalah jalur progresif, yang harus selalu update dengan situasi jaman. Tapi bagi saya itu bukan halangan, justru itulah keasyikannya.”

Baginya wayang adalah cerminan yang paling lekat dan erat kaitanya dengan tradisi-

Jawa. Ia berharap agar apa yang ia perjuangkan untuk anak muda, dapat terus berkembang dan hidup sehingga anak muda bisa menikmati wayang tanpa menghabiskan semalaman suntuk namun, tetap mendapatkan petuah-petuah Jawa

yang bijak dan adiluhung. “Biar mereka bisa mendapatkan sesuatu

(petuah) yang bisa mereka bawa pulang setelah menonton Wayang Hip Hop. Jadi Wayang Hip Hop adalah jembatan dari kesusteraan Jawa kuno mengenai petuah yang bijak,” tutupnya.-

Tulisan Andreas Ricky, Vincensia Enggar dan Philipus Angga

Dok. Pribadi Wayang Hip Hop

Page 12: TERAS PERS #18

Resensi Buku

22 |

PELAJARAN DAN PENGALAMAN JURNALISME WARGA

Tulisan Bryan Melvin

Judul Buku : Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan PengalamanPengarang : Pepih NugrahaPenerbit : Penerbit Buku KompasTahun Terbit : Oktober 2012Kota Terbit : JakartaJumlah Halaman : 192 halaman

“Apa yang anda anggap moral baik di dunia nyata, juga moral baik di dunia maya (internet). Berbohong di dunia nyata, sama buruknya berbo-hong di dunia maya. Memfitnah di dunia nyata, sama buruknya memfitnah di internet. Menjadi citizen reporter, Anda bertanggung jawab pada diri sendiri dengan etika, moral, serta filsafat hidup universal yang Anda miliki,” demikian nasihat Pepih Nugraha yang mengantar Tim Teras Pers untuk membaca lebih lanjut kisah-kisahnya dalam buku Citizen Journalism.

Pepih Nugraha memulai buku ini dengan sebuah artikel pewarta warga yang dimuat harian Kompas, edisi 15 Mei 2006, yang berjudul Kita Semua Wartawan. Disebutkan bahwa sebagai jurnalis profesional yang bekerja di media cetak arus utama, ia ingin memerankan diri sebagai warga biasa, warga yang pada umumnya bukan professional.

Pepih melihat unsur-unsur sederhana yang ada pada citizen journalism, yakni warga biasa, ti-dak terlatih sebagai wartawan professional. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa citizen journalism tidak jauh dari teknologi informasi sederhana. Yang penting sang pewarta tersambung dengan internet dan dapat meliput-mencatat-menulis dan mendistribusikan berita di internet. Ia juga harus memiliki semangat berbagi informasi serta tidak mengharap imbalan.

Terdapat beberapa sikap penting yang Pepih tekankan terkait citizen journalism, diantaranya adalah curiosity atau keingintahuan yang tinggi terhadap segala fakta maupun peristiwa. Ada pula skeptic, yaitu sikap ragu atas fakta maupun peristiwa yang terjadi. “Ragu” di sini bukanlah sifat buruk atau negatif, melainkan sikap dimana seorang warga tidak seharusnya percaya begitu saja atas suatu peristiwa.

Para jurnalis warga biasanya tidak dibekali kode etik dari organisasi professional, meski begitu tetap saja diperlukan sebuah landasan etika yang harus diikuti. Netiket atau perilaku yang ses-uai dalam berinternet merupakan salah satu etika yang harus diikuti. Hal ini masuk akal mengingat salah satu media untuk menyiarkan hasil citizen journalism adalah melalui Internet.

Kelebihan buku ini adalah banyaknya pen-galaman langsung Pepih Nugraha dalam melaku-kan Jurnalisme Warga yang tertuang langsung dalam buku ini. Bahasa yang digunakan pun mengalir santai seakan Pepih sendiri yang sedang bercerita kepada kita.

Citizen Journalism tidak dimaksudkan untuk menjadikan warga biasa menjadi wartawan profesional yang dibayar oleh perusahaan media, melainkan hadir untuk menyebarkan seman-gat berbagi informasi sesuai minat dan bidang masing-masing orang.

Page 13: TERAS PERS #18