Makalah Pemodelan dengan AHP

32
PERMODELAN PUSAT REHABILITASI ORANG HUTAN SUMATERA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (Makalah Permodelan Sistem dalam Pengelolaan Lingkungan) Oleh: THOMAS ARIA CIPTA NPM : 1420011011 PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

description

Makalah Pemodelan dengan AHP

Transcript of Makalah Pemodelan dengan AHP

PERMODELAN PUSAT REHABILITASI ORANG HUTAN SUMATERA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

(Makalah Permodelan Sistem dalam Pengelolaan Lingkungan)

Oleh:THOMAS ARIA CIPTANPM : 1420011011

PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG2015

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orangutan merupakan satu-satunya primata kera besar (great apes) yang hidup di Benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya gorila, simpanse, dan bonobo hidup di benua Afrika (Rijksen & Meijaard 1999; Buij et al. 2002). Sampai akhir masa Pleistosen, Orangutan masih menyebar pada kawasan yang meliputi China bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Borneo (Bacon & Long 2001). Hasil lokakarya IUCN-Primate Spesialist Group membagi Orangutan menjadi dua spesies, yaitu Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebaran yang sempit di sebelah utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan Serawak (Groves 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Supriatna & Wahyono 2000). Sekarang, Orangutan Sumatera di dunia hanya ditemukan di Pulau Sumatera, khususnya di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara .Orangutan merupakan "umbrella species" dalam konservasi hutan hujan tropis di Indonesia, khususnya hutan Sumatera dan Kalimantan. Mengingat kondisi hutan sebagai habitat alami Orangutan dan kebutuhan akan daerah jelajah yang luas serta keanekaragaman jenis flora fauna hidup bersamanya, Orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Keberadaan dan kepadatan populasi Orangutan dapat digunakan sebagai ukuran konservasi hutan hujan tropis tanpa analisis yang lebih jauh mengenai struktur keanekaragaman jenis flora dan fauna di suatu kawasan tertentu. Hal ini dapat berarti bahwa konservasi populasi Orangutan liar identik dengan melakukan konservasi terhadap ekosistem hutan hujan tropis yang memiliki struktur keanekaragaman yang unik (Whitten et al. 1997; Rijksen & Meijaard 1999).Orangutan sangat rentan terhadap kepunahan yang diakibatkan oleh (1) kerusakan hutan yang terjadi dalam skala besar dan perburuan untuk tujuan diperdagangkan (Rijksen and Meijaard 1999); sedangkan (2) interval kelahirannya yang jarang, yakni kira-kira mencapai 8 tahun antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya (Galdikas & Wood 1990) dan (3) ukuran tubuhnya yang relatif besar. Selain faktor kerentanan, Orangutan Sumatera juga tinggal dengan densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per kilometer persegi di Sumatera), sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas (Departemen Kehutanan 2007).Konversi hutan alam yang cepat, penebangan dan perburuan liar di Sumatera menyebabkan populasi Orangutan Sumatera menurun secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, sehingga dalam daftar merah (red list) yang dikeluarkan IUCN pada tahun 2004, Orangutan Sumatera dikategorikan sebagai spesies kritis (critically endangered). Pada tahun 2007, populasi Orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa 6.624 ekor yang hidup di hutan-hutan Sumatera (Wich et al, 2008) , ) atau hanya 88,9% dari populasi tahun 2004, yakni sebesar 7.501 ekor (Singleton et al. 2004).Kawasan hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB) merupakan habitat utama pendukung populasi Orangutan di Sumatera utara bagian selatan (Rijksen & Meijaard 1999; Wich et al. 2003; Djojoasmoro et al. 2004; Ellis et al. 2006). Kawasan tersebut memiliki beberapa tipe ekosistem mulai dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan yang mencapai ketinggian sekitar 1800 m dpl (di atas permukaan laut). Keberadaan Orangutan di DAS Batang Toru baru diketahui dalam dekade tahun 2000-an. Dalam jangka panjang diperkirakan kawasan Hutan Batang Toru dan kawasan hutan Sarulla/Batang ToruTimur dapat mendukung populasi yang mampu berbiak (viable population) Orangutan sumatera.

Populasi Orangutan Sumatera yang semakin menurun sehingga diperlukan penangkaran alami untuk pelestarian Orangutan Sumatera disetiap kawasan hutan Sumatera contohnya hutan Bukit Barisan Selatan yang dikelola menjadi penangkaran alami Orangutan Sumatera untuk menjaga populasi orang utan Sumatera tetap lestari disetiap kawasan hutan, dibentuklah sebuah permodelan penangkaran alami seperti kawasan hutan Batang Toru.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan memberikan informasi mengenai permodelan penangkaran alami Orangutan sumatera yang dibuat di kawasan hutan Bukit Barisan Selatan yang menyerupai habitat alami Orangutan sumatera di kawasan hutan Batang Toru

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi Orangutan Sumatera

Menurut Poirier (1964) dalam Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut :Kingdom: AnimaliaSubkingdom : MetazoaPhylum: ChordataSubphylum: VertebrataKelas: MamaliaOrdo: PrimataSubordo: AnthropoideaSuperfamili: HomoideaFamili: PongoideaGenus: PongoSpesies: Pongo abelii Lesson, 1827Perbedaan genetik, geografi, morfologi muka, badan, dan perbedaan karakter rambut pada Orangutan Kalimantan dengan Orangutan Sumatera berdasarkan hal tersebut maka dibedakan menjadi dua spesies yang berbeda. Spesies Orangutan di Kalimantan terdiri dari 3 subspesies yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus warumbii dan Pongo pygmaeus morio sedangkan spesies Orangutan di Sumatera adalah Pongo abelii (Suhartono et. al. 2007). Kedua subspesies ini memiliki perbedaan genetik yang cukup tinggi, menurut Reyder and Chemnick (1993), dalam Dolhinow and Fuetes (1999) kedua subspesies ini merupakan dua spesies yang terpisah.

B. Morfologi

Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh, kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm. Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan1.149 mm pada betina. Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Groves, 1971 dalam Maple, 1980). Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan Orangutan di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Ukuran tubuh rata-rata Orangutan jantan dewasa yaitu berkisar antara 125-150 cm, dua kali lebih besar daripada Orangutan betina. Berat badan rata-rata Orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang. Menurut Rijksen (1978) perbedaan morfologi Orangutan berdasarkan kelas umur dan jenis kalamin adalah sebagai berikut :a. Bayi berumur 0-2,5 tahun dengan berat badan 2-6 kg memiliki rambut berwarna lebih terang pada bagian mulut dan lebih gelap pada bagian muka.b. Anak berumur 2,5-5 tahun dengan berat badan 6-15 kg memiliki warna rambut yang tidak jauh berbeda dengan bayi Orangutan, namun pada kelas umur anak, Orangutan sudah mampu mancari makan sendiri walaupun masih bergantung pada induknya.c. Remaja berumur 5-8 tahun dengan berat badan 15-30 kg memiliki rambut yang panjang disekitar muka.d. Jantan setengah dewasa berumur 8-13/15 tahun dengan barat badan 30- 50 kg memiliki rambut berwarna lebih gelap dan rambut janggut sudah mulai tumbuh serta rambut di sekitar wajah sudah lebih pendek.e. Betina dewasa 8+ tahun dengan berat badan 30-50 kg sudah memiliki janggut dan sangat sulit dibedakan dengan betina setengah dewasa.f. Jantan dewasa berumur 13/15+ tahun dengan berat badan 50-90 kg. Jantan dewasa memiliki kantung suara, bantalan pipi dan berjanggut serta berambut panjang.

C. Habitat dan Penyebaran

Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae (Ashton; Givinish; Appanah, 1998 dalam Dolhinow & Fuentes, 1999). Pohon-pohon Dipterocarpaceae menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali. Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem,baik pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan Orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan Orangutan merupakan penyebar biji/benih tumbuhan hutan yang sangat baik. Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (Van Schaik, 2006). Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan. Kepadatan Orangutan yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun. Rijksen (1978) mengungkapkan bahwa konsentrasi utama populasi Orangutan di Sumatera adalah pada habitat hutan dataran rendah dan hutan rawa yaitu terletak diantara Sungai Simpang Kiri (sebelah selatan Sungai Atlas) dan daerah pesisir Samudera Hindia memanjang sampai bagian utara daerah Benkung dan Kluet yang merupakan bagian selatan Gunung Leuser. Konsentrasi populasi Orangutan juga terdapat di habitat yang merupakan hutan pegunungan api Dataran Tinggi Kappi hingga bagian utara hutan Pegunungan Serbojadi dan hutan dataran rendah anak sungai Jambu Aye.

D. Aktifitas dan Perilaku Harian

Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal. Kehidupan Orangutan dihabiskan diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200 m2 (Supriatna & Edy, 2000). Rijksen (1978) menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi Orangutan sedangkan vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara. Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya. Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang (long call) dari jantan dewasa yang mungkin terdengar dari jarak lebih dari 1 km, hal ini mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya. Aktifitas Orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. Menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas) Orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan waktu oleh Orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang (Rijksen, 1978). Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00- 18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian Orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47 % untuk makan, 40% untuk istirahat, 12 % untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial.

Penggunaan ruang bagi aktivitas Orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25 meter diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 meter dan pada lapisan dibawah 15 meter Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10% waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 meter diatas tanah. Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan. Secara alami Orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu. Sebagai sumber protein Orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur burung (Supriatna & Edy, 2000).Orangutan memiliki kebiasaan mencoba memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak. Persentase jenis makanan Orangutan adalah 53,8% berupa buah, 29% berupa daun, 14,2% kulit kayu, 2,2% bunga, dan 0,8% adalah serangga (Maple, 1980).E. Konsep BersarangSarang merupakan sesuatu yang sengaja atau tidak disengaja dibangun untuk digunakan sebagai tempat berkembang biak dan atau sebagai tempat istirahat atau tidur. Pada setiap sarang memiliki letak yang berbeda untuk setiap jenis satwa, misalnya (1) sarang yang letaknya di atas pohon pada bagian batang, ranting atau cabang pohon; (2) sarang juga ada yang terletak di pohon yang dibuat lubang-lubang; dan (3) sarang yang terletak pada tanah, baik yang dipermukaan tanah, lubang di dalam tanah ataupun di dalam gua (Alikodra, 1990).Perilaku membangun sarang pada Orangutan diindikasikan sebagai suatu prilaku yang menunjukan kecerdasan kera besar. Orangutan membangun sarang harian untuk tempat tidur malam dan untuk waktu tidur tambahan di siang hari. Jumlah sarang dapat dijadikan dasar perhitungan untuk mengetahui jumlah Orangutan di habitatnya. Sekurang-kurangnya Orangutan membangun 1 sarang dalam satu hari. Menurut MacKinnon (1974), Orangutan membangun sarangnya akan memilih tempat yang berdekatan dengan pohon buah sumber pakannya, selain itu juga topografi daerah di sekitarnya.Menurut MacKinnon (1974), kegiatan pembutan sarang Orangutan terdiri dari beberapa tahap yaitu :1. Rimming (melingkarkan) yaitu melekukkan dahan secara horizontal sampai membentuk lingkaran sarang kemudian ditahan dengan melekukkan dahan lainnya sehingga membentuk kuncian jalinan dahan.2. Hanging (menggantung) yaitu melekukkan dahan ke dalam lingkaran sarang sehingga membentuk kantung sarang.3. Pillaring (menopang) yaitu melekukkan dahan ke bawah sarang sebagai penopang sarang.4. Loose (melepaskan) yaitu memutus beberapa dahan dari pohon dan diletakkan ke dalam sarang sebagai alas atau di bagaian atas sebagai atap.Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran Orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang Orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang Orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978). Sarang terdistribusi secara acak dan letaknya tergantung pada beberapa pertimbangan seperti jaraknya dengan sungai, dengan pohon buah / feeding tree, keterlindungan dari matahari siang hari, angin malam hari, dan keterjangkauan pandangannya terhadap areal hutan (MacKinnon, 1974 dan Rijksen, 1978). Menurut Maple (1980), Orangutan muda akan membangun sarang (untuk bermain) lebih dari satu sarang setiap hari. Beberapa sarang dapat digunakan kembali dan dalam beberapa kasus ada sarang lama yang dibangun kembali oleh Orangutan yang berbeda. MacKinnon (1974) menungkapkan bahwa konsentrasi sarang Orangutan berada di lokasi yang banyak tersedia makanan, tempat mengasin dan pada pertemuan punggungan bukit atau pada lereng yang mungkin mendapat hangat sinar matahari, pandangan yang luas namun terlindung dari terpaan angin. Faktor lainnya yang mempengaruhi letak sarang Orangutan adalah keberadaan sarang lain di lokasi tersebut. Apabila terdapat pohon yang sedang berbuah (terutama buah yang menarik dan disukai Orangutan) maka Orangutan tersebut mungkin akan kembali pada sarangnya yang lama dan akan menggunakannya beberapa hari berturut-turut. Orangutan pada umumnya akan kembali ke lokasi sarang lamanya setiap 2-8 bulan berikutnya (Maple, 1980). Saat sedang hujan deras Orangutan akan membangun sarang perlindungan dengan kualitas yang sama bagusnya seperti sarang tidur di malam hari. MacKinnon (1974) menyatakan bahwa atap pelindung seringkali dibuat oleh Orangutan, yang teridentifikasi berfungsi sebagai pelindung dari hujan, naungan sinar matahari dan alat penyamaran (kamunflase). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Galdikas (1984) pernah ditemui dua buah sarang Orangutan yang berada di permukaan tanah. Sarang permukaan tanah yang pernah dilihat adalah sarang untuk istirahat siang yang disusun dari beberapa pohon tumbang dan pada sarang tersebut terlihat seekor jantan dewasa sedang tidur siang selama 3/4 jam.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian permodelan penangkaran alami Orangutan Sumatera ini dilakukan pada 10 April 2015 di gedung Pascasarjana Jurusan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan kuesioner permodelan yang diberikan kepada sebanyak 10 mahasiswa Pascasarjana Jurusan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung

C. Analisis

Data yang diperoleh dari kuesioner akan dianalisis menggunakan metode Analisis Hierarki Proses (AHP) dan menggunakan Software Expert Choise versi 11.1.3238 untuk memperoleh hasil permodelan yang sesuai yang dapat digunakan untuk membuat penangkaran alami Orangutan Sumatera di kawasan hutan Bukit Barisan Selatan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Permodelan rencana pembuatan penangkaran Orangutan Sumatera di kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan mencangkup tiga faktor penting yang dilihat untuk menilai sebuah penangkaran alami dapat dianggap layak atau tidak dibangun pada tempat yang bukan habitat alaminya. Tiga faktor mencakup lahan, pakan dan perilaku yang membentuk model hierarki dan hasil kuesioner seperti pada (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Hasil Permodelan Hierarki

Gambar 2. Hasil kuesioner pertama membandingkan tiga faktor penting yang menentukan dalam pembuatan penangkaran alami Orangutan sumatera di kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan

B. Pembahasan

Hasil kuesioner permodelan penangkaran Orangutan Sumatera di kawasan Hutan Bukit barisan Selatan memiliki hasil yang tidak terlalu jauh selisih dari grafiknya (Gambar 1), dan berarti ke tiga faktor tersebut penting peruntukkannya dalam membangun sebuah penangkaran alami yang bukan dihabitat alami Orangutan Sumatera, tetapi tiga faktor tersebut dipecah menjadi beberapa faktor lain (Gambar 3,4 dan 5)

Gambar 3. Hasil Kuesioner ke 2 lahan yang digunakan untuk penangkaran Orangutan Sumatera

Penggunaan lahan pada daerah penangkaran Orangutan Sumatera sangat penting untuk melakukan aktivitas Orangutan dan mencari makanan. Kuesioner penggunaan lahan harus memenuhi tiga syarat utama yaitu adanya vegetasi yang baik, pohon naungan (sarang) dan pohon buah untuk mencari makan. Hasil kuesioner menunjukkan keberadaan pohon buah sangat penting pada lahan penangkaran Orangutan Sumatera di kawasan Hutan Bukit Barisan Sumatera sebesar 672 dan memiliki penggaruh dalam lahan penangkaran.

Gambar 4. Hasil Kuesioner ke 3 dari pakan yang digunakan untuk penangkaran Orangutan Sumatera

Pakan merupakan sebuah unsur penting didalam kehidupan satwa seperti Orangutan sumatera, penangkaran alami harus menyediakan pakan yang cukup untuk Orangutan sumatera. Pakan didalam penangkaran dibagi menjadi tiga jenis pakan alami, tambahan dan obat. Pakan alami merupakan pakan yang disediakan di alam, sedangkan pakan tambahan merupakan pakan yang diberikan oleh pihak penangkaran dan obat sendiri juga penting apabila ada Orangutan Sumatera yang sakit dari ke tiga jenis pakan tersebut pakan alami merupakan jenis pakan terpenting yang wajib ada di penangkaran alami, karena pakan alami tidak hanya sebagai makan untuk Orangutan Sumatera tetapi dapat menjadi obat alami untuk Orangutan Sumatera.

Gambar 5. Hasil kuesioner ke 4 dari prilaku yang dilakukan di penangkaran Orangutan Sumatera

Prilaku menjadi sebuah pertimbangan untuk membangun sebuah penangkaran alami, karena ketika Orangutan Sumatera tidak dilestarikan di habitat alaminya akan mengakibatkan terjadinya disorientasi atau stress yang dapat mengakibatkan Orangutan sakit bahkan mati, maka ada tiga faktor penentu yang utama dalam membentuk penangkaran alami yaitu prilaku kawin, makan dan sosial, dari hasil responden menjawab prilaku yang terpeting untuk membangun sebuah penangkaran adalah perilaku makan Orangutan Sumatera, karena hampir setiap waktu siangnya dihabiskan untuk mencari makan dan buah-buahan serta membangun sarang. Aktivitas sosial hanya berjalan mengitari beberapa sarang dan kawanannya.

V. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembentukan permodelan penangkaran alami Orangutan Sumatera yaitu:1. Penangkaran alami harus mencangkup tiga aspek pentik yaitu lahan, pakan dan prilaku2. Lahan menjadi penting karena dipengaruhi oleh adanya pohon buah3. Pakan menjadi penting di dalam lahan karena dibutuhkan oleh pakan alami4. Prilaku Orangutan Sumatera menjadi penting ketika prilaku makan yang mempengaruhi keberadaan dan kelestariannya di kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Bacon, A.M. & V.T. Long. 2001. The first discovery of a complete skeleton of a fossil Orangutan in a cave of the Hao Binh province, Vietnam. Journal of Human Evolution 41: 227242.Buij, R., I. Singleton, E. Krakauer, E., & C.P. van Schaik. 2003. Rapid Assessment of Orangutan Density. Biological Conservation 114: 103113Departemen Kehutanan .2007. Strategi dan rencana aksi konservasi Orangutan Indonesia 2007- 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta

Djojoasmoro, R., B.M.F. Galdikas, C.N. Simanjuntak & T. Wibowo. 2004. Orangutan distribution in North Sumatra. Survey Report for Orangutan PHVA Workshop, January 15-18, Jakarta. Dolhinow P and A Fuentes . 1999. The Nonhuman Primates. Mayfield Publishing. California.

Ellis, S., I. Singleton, N. Andayani, K. Traylor-Holzer, & J. Supriatna (Eds.). 2006. Sumatran Orangutan conservation action plan. Washington, DC and Jakarta, Indonesia: Conservation International.Galdikas BFM. 1984. Adaptasi Orang Utan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Universitas Insonesia. Jakarta.

Galdikas, B.M.F. & J.W. Wood. 1990. Birth spacing patterns in humans and apes. American Journal of Physical Anthropology 83:185191

Galdikas, BMP. 1979. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia. Jakarta

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington and London: 298300.Mac Kinnon, JR. 1974. The Behaviour and Ecology if Wild Orang Utan (Pongo pygmaeus. Animal Behavior 22: 3 -74Maple TL. 1980. Orang-utan Behavior. Von Nostrand Reinhold. New York.Nellemann C, Miles L, Kaltunborn BP, Virtue M, and Ahlenius H. 2007. The Last Stand of The Orangutan-State of Emergency: Illegal Logging, Fire and Palm Oil in Indonesians National Park. UNEP. Norway

Rijksen, H.D. & Meijaard, E. 1999. Our Vanishing Relative: Status of Wild Orangutan at the Twentieth Century. Kluwer Academic Publisher, Dordrecth, Netherlands.Rijksen, HP. 1978. A field Study on Sumatran Orang Utan (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1927): Ecology, Behaviour, and Conservation. H.Veenman and Zonen B.V, Wageningen.

Singleton, I., S. Wich, S. Husson, S. Stephens, S. Utami-Atmoko, M. Leighton, N. Rosen, K. Traylor-Holzer, R. Lacy & O. Byers (eds.). 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MNSoehartono T, Susilo HD, Andayani N, Atmoko SSU, Shire J, Saleh C, dan Sutrisna. 2007. Strategi dan Rencana Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Direktorat Jendral PHKA. Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Supriatna, J & E.H. Wahyono. 2000. Primata Indonesia: Panduan Lapangan. Yayasan Obor Indonesia. JakartaVan Schaik, C.P., K. Monk & J.M.Y. Robertson. 2001. Dramatic decline in Orangutan numbers in the Leuser Ecosystem, Northern Sumatra. Oryx 35(1):1425Whitten, T., S.J. Damanik, J. Anwar, N. Hisyam. 1997. The ecology of Indonesia series. Periplus Edition Publising.Ltd, Singapore:xxxiii + 478

Wich SA, Meijaard E, Marshall AJ, Husson S, Aacrenaz M, Lacy RC, van Schaik CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Taylor-Holzer K, Doughty M, Supriatna J, Dennis R, Gumal M, Knott CD, Singleton I. 2008. Distribution and Conservation Status of the Orangutan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: How Many Remain? Oryx 42(3):329339.

LAMPIRAN

Lampiran. Kuesioner Permodelan Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Identitas RespondenNama:

Jenis Kelamin: a. Laki-lakib. Perempuan Pilih salah satu dengan memberikan tanda cheklis ()

Usia:

Pekerjaan:

Pendidikan:

Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ceklish ( ) pada kolom yang sesuai dengan pendapat anda

Pertanyaan1. Pembentukan pusat rehabilitasi orang hutan di Taman Nasional Bukit barisan Selatan harus memenuhi 3 point utama dari pemeliharaanya

Lahan

Pakan

Perilaku

Menurut saudara yang mana yang lebih penting dan berikan penilaian:

Lahan98765432123456789Pakan

Lahan98765432123456789Perilaku

Pakan98765432123456789Perilaku

2. Pemenuhan lahan yang harus memenuhi 3 syarat yaitu:

Vegetasi

Pohon naungan (rumah tidur)

Pohon buah

Menurut saudara yang mana yang lebih penting, dan berikan penilaian:

Vegetasi98765432123456789Pohon tidur

Vegetasi98765432123456789Pohon buah

Pohon tidur98765432123456789Pohon buah

3. Pakan menjadi salah satu yang terpenting dalam pelestarian orang hutan sumatra.

Pakan alami (buah-buah)

Pakan tambahan

Obat-obatan

Menurut saudara mana yang lebih penting dan berikan penilaian:

Pakan alami98765432123456789Pakan tambahan

Pakan alami98765432123456789Obat-obatan

Pakan tambahan98765432123456789Obat-obatan

4. Orang hutan sumatera merupakan satwa yang hidup berkelompok, jika di Taman Nasional Bukit barisan selatan dibangun sebuah penangkaran alami, maka harus memahami perilaku dari orang hutan sumatera

Perilaku makan

Perilaku kawin

Perilaku sosial

Menurut saudara mana yang lebih penting dan berikanlah penilaian:

Perilaku makan98765432123456789Perilaku kawin

Perilaku makan98765432123456789Perilaku sosial

Perilaku kawin98765432123456789Perilaku sosial