Makalah Musdiwan Se

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut. Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk menciptakan suatu sistem pembagian

Transcript of Makalah Musdiwan Se

Page 1: Makalah Musdiwan Se

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat

sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk

dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan

tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.

Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan

pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh

oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide

desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus

sentralisasi tersebut.

Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk

melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas

manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan

prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk

menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas

(Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk

menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana

pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat,

dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga

merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan memanfaatkan

keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan dapat mendorong

pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memberikan

pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.

Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru

membuka kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya,

ide desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola

urusan publiknya, justru malah cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan

Page 2: Makalah Musdiwan Se

2

publik yang berpindah dari pusat ke daerah juga memberikan kesempatan terjadinya

praktek korupsi di daerah. Ini terlihat dari banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi

maupun di non birokrasi (lembaga legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi

birokrasi merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar daerah

sehingga pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi

yang masih kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam

semangat desentralisasi.

Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana

yang dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam

Kemudahan Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010.

Selama setahun terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif di tiga

kriteria, yaitu pendirian usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan akte

pendirian usaha), pengurangan tarif pajak penghasilan serta pengurangan waktu

ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia masih buruk dalam pelaksanaan kontrak (dari

segi jumlah prosedur, waktu serta biaya). Secara umum kemudahan usaha di

Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di bawah Vietnam).

B. Rumusan Masalah

1) Apakah pentingnya etika dan moral dalam pelayanan publik ?

Page 3: Makalah Musdiwan Se

3

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Etika dan Moral

1. Devinisi Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani,

ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia,

etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian

kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah

laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan

ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad

Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,

menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang

harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk

melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Berikutnya, dalam Encyclopedia

Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik

mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan

sebagainya. 2 Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika

berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek

pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.

Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak

pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan

sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas

perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu

ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai

penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh

manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat,

Page 4: Makalah Musdiwan Se

4

hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor

terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia.

Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat,

dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai

dengan tuntutan zaman. Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih

merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan

perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai

pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk

dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.

Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada

pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan

atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.

2. Devinisi Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu

jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa

Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan

kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan

untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan

yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan

tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk

memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau

buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu

dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek

yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya

ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki

perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai

perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,

sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh

dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih

Page 5: Makalah Musdiwan Se

5

bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada

dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di

masyarakat. 3 Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk

mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang

berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-

hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang

dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.

Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam

bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab

disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama,

perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua,

kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan

yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan

dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu

dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga,

kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada

uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu

kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh

masyarakat. Nilai atau sistem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang

akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai

tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan

kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka

akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan

mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari

luar.

Page 6: Makalah Musdiwan Se

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Etika dan Moral Dalam Pelayanan Publik

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari

politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas

dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik

bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an,

sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam

keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai

memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para

birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat

pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan

prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap

kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (lihat Henry, 1995:

400).

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya

public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena

pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam

memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional

melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai

siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan

menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau

moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang

telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak

selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,

kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku

seorang birokrat atau aparat pemerintahan.

Page 7: Makalah Musdiwan Se

7

Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis,

atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih

berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu

sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam

organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam

literature tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar

manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi

secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern

for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan

produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.

Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang

terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan

pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan

pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena

prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya

berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.

Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada

etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak

berdaya, dsb., untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan

suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah

berdasarkan prinsip justice – as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa

distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya

memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap

anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera

daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya

adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang

berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak

sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas

sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun

mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan

Page 8: Makalah Musdiwan Se

8

ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-

langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion).

Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau

aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan

perilaku yang ada.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran

moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan

program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain

organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang

sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang

penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan,

SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan,

tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb. Dan tidak dapat disangkal, semua

pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab

melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut

sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundangundangan kita,

sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan

latarbelakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,

kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang

terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh

substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan

“beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka

proses

“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

B. Etika Pelayanan Publik Indonesia

Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :

1) Pelayanan dengan lisan

2) Pelayanan melalui tulisan

3) Pelayanan dengan perbuatan

Page 9: Makalah Musdiwan Se

9

Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat

selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan

tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.

Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah

lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi

kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan

kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban sesuai

dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran

moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan

program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain

organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang

sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang

penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan,

sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak

transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat

memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat.

Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak

adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah

mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara. Tindakan-

tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah :

1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa,

terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk

mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat

menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas

usaha yang dilakukannya.

2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa.

Sikap semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti merajai

atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap tersebut

Page 10: Makalah Musdiwan Se

10

dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasakan sebagai derajat yang paling

tingggi, meski sebenarnya dia tahu bahwa dia merupakan pelayan bagi

masyarakat.

3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong

disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya „Bolos‟ kerja yang

dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang masyarakat

yang ingin meminta bantuan jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh

dan ternyata setelah sampai ditempat pelayanan, para pelayan masyarakat sedang

tidak ada ditempat.

4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk

dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak boleh

dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam pekerjaan

terhadap mayarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu tunduk dengan atasan maka

tak jarang pekerjaan untuk melayani masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia

lebih menjadi pelayan pimpinan daripada pelayan masyarakat.

5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.

6. Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional,

pelayanan publik yang professional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh

adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur

pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271).

7. Efisiensi mengandung arti :

Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan

pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan

antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan

Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan

kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan

sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya, yakni :

Page 11: Makalah Musdiwan Se

11

1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan

birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin

(1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati

agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat

dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada

organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa

yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara

berikan kepada organisasi”.

2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya

birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi.

Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.

3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan

antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu

dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan

secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk

menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang

salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat

penghargaan.

4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai,

hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau

promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan

pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan

pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang

bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung

jawab, dan bukan “spoil system”.

5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik

dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin

(1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional

dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam

Page 12: Makalah Musdiwan Se

12

menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang

administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif

atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif

menuntut administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi

publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan

yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan

publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan

mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.

6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah

yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat

dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941) dalam

Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan

standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi

publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif,

sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang

(masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala macam

perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan

kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan

akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik

(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).

7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik

dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat.

Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk

memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur

pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan

demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki

responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta

aspirasi masyarakat.

Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah

kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak,

Page 13: Makalah Musdiwan Se

13

dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan

pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor

pemerintahan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Isu tentang etika dam moral dalam pelayanan publik di Indonesia kurang

dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah

disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia

adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan

dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik

dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan

kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu

sendiri.

Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah

kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak,

dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan

pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor

pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika

pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu

pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus

ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat

atau konsekuensi dari keputusan yang diambil.

Page 14: Makalah Musdiwan Se

14

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.

Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.

Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:

Greenwood Press.