Makalah Musdiwan Se
-
Upload
mangat-online -
Category
Documents
-
view
219 -
download
1
Transcript of Makalah Musdiwan Se
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat
sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk
dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan
tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.
Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan
pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh
oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide
desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus
sentralisasi tersebut.
Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas
manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk
menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas
(Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk
menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana
pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat,
dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga
merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan memanfaatkan
keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan dapat mendorong
pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.
Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru
membuka kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya,
ide desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola
urusan publiknya, justru malah cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan
2
publik yang berpindah dari pusat ke daerah juga memberikan kesempatan terjadinya
praktek korupsi di daerah. Ini terlihat dari banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi
maupun di non birokrasi (lembaga legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi
birokrasi merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar daerah
sehingga pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi
yang masih kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam
semangat desentralisasi.
Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana
yang dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam
Kemudahan Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010.
Selama setahun terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif di tiga
kriteria, yaitu pendirian usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan akte
pendirian usaha), pengurangan tarif pajak penghasilan serta pengurangan waktu
ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia masih buruk dalam pelaksanaan kontrak (dari
segi jumlah prosedur, waktu serta biaya). Secara umum kemudahan usaha di
Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di bawah Vietnam).
B. Rumusan Masalah
1) Apakah pentingnya etika dan moral dalam pelayanan publik ?
3
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Etika dan Moral
1. Devinisi Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia,
etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian
kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah
laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan
ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad
Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Berikutnya, dalam Encyclopedia
Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik
mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan
sebagainya. 2 Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek
pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak
pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan
sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas
perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai
penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh
manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat,
4
hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor
terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat,
dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan zaman. Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih
merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan
perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai
pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk
dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.
Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan
atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
2. Devinisi Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu
jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa
Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan
tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau
buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu
dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek
yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya
ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh
dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih
5
bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada
dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di
masyarakat. 3 Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk
mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang
berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-
hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam
bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab
disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama,
perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua,
kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan
yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan
dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu
dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga,
kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada
uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu
kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau sistem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang
akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai
tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan
kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka
akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan
mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari
luar.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya Etika dan Moral Dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari
politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas
dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an,
sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam
keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai
memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para
birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat
pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (lihat Henry, 1995:
400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya
public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam
memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan
menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau
moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang
telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku
seorang birokrat atau aparat pemerintahan.
7
Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis,
atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih
berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu
sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam
organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam
literature tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar
manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi
secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern
for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan
pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena
prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya
berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada
etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak
berdaya, dsb., untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan
suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah
berdasarkan prinsip justice – as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa
distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya
memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap
anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera
daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya
adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang
berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak
sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas
sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun
mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan
8
ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-
langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion).
Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau
aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan
perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang
sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang
penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan,
SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan,
tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb. Dan tidak dapat disangkal, semua
pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab
melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut
sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundangundangan kita,
sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan
latarbelakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,
kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang
terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh
substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan
“beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka
proses
“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
B. Etika Pelayanan Publik Indonesia
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :
1) Pelayanan dengan lisan
2) Pelayanan melalui tulisan
3) Pelayanan dengan perbuatan
9
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat
selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan
tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah
lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi
kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan
kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban sesuai
dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang
sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang
penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan,
sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak
transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat
memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat.
Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak
adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah
mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara. Tindakan-
tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah :
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa,
terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk
mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat
menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas
usaha yang dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa.
Sikap semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti merajai
atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap tersebut
10
dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasakan sebagai derajat yang paling
tingggi, meski sebenarnya dia tahu bahwa dia merupakan pelayan bagi
masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong
disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya „Bolos‟ kerja yang
dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang masyarakat
yang ingin meminta bantuan jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh
dan ternyata setelah sampai ditempat pelayanan, para pelayan masyarakat sedang
tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk
dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak boleh
dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam pekerjaan
terhadap mayarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu tunduk dengan atasan maka
tak jarang pekerjaan untuk melayani masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia
lebih menjadi pelayan pimpinan daripada pelayan masyarakat.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.
6. Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional,
pelayanan publik yang professional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur
pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271).
7. Efisiensi mengandung arti :
Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan
Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, yakni :
11
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin
(1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati
agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat
dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada
organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa
yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara
berikan kepada organisasi”.
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya
birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi.
Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan
antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan
secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk
menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang
salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat
penghargaan.
4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai,
hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau
promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan
pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab, dan bukan “spoil system”.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin
(1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional
dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam
12
menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang
administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif
atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif
menuntut administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi
publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan
yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan
publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan
mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah
yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat
dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941) dalam
Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan
standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi
publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif,
sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang
(masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala macam
perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan
akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik
dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat.
Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk
memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur
pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan
demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki
responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta
aspirasi masyarakat.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah
kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak,
13
dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan
pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Isu tentang etika dam moral dalam pelayanan publik di Indonesia kurang
dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan
dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik
dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan
kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu
sendiri.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah
kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak,
dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan
pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu
pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus
ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat
atau konsekuensi dari keputusan yang diambil.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.
Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.