MAKALAH METAKOGNISI

download MAKALAH METAKOGNISI

of 10

Transcript of MAKALAH METAKOGNISI

METAKOGNISI, OTORITER, DEMOKRATIS, DAN TUNTAS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

A. Metakognisi dalam Pembelajaran Matematika 1. Pengertian Metakognisi

Metakognisi adalah kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Sedangkan kesadaran berpikir adalah kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Pengertian metakognisi menurut beberapa tokoh yaitu: a. Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai kemampuan berpikir dimana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. b. Margaret W. Matlin (1998: 256) dalam buku Cognition, metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang terjadi pada diri sendiri. c. Wellman (1985), metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. d. William Peirce mendefinisikan secara umum metakognisi adalah berpikir tentang berpikir. e. Hamzah B. Uno (2007: 134) metakognisi merupakan keterampilan seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. f. Taccasu Project (2008) metakognisi adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui.

Jadi, pokok-pokok pengertian tentang metakognisi adalah sebagai berikut. 1) Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk dalam kelompok kognisi. 2) Metakognisi merupakan kemampuan untuk menyadari, mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 3) Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 4) Metakognisi merupakan kemampuan belajar bagaimana mestinya belajar dilakukan yang meliputi proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. 5) Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Dikatakan demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses berpikir yang sedang berlangsung pada diri sendiri. 1

2. Komponen-komponen Metakognisi

Metakognisi memiliki dua komponen yaitu: a. Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge). 1) Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. 2) Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana menggunakan apa yang telah diketahui dalam pengetahuan deklaratif tersebut dalam aktivitas belajarnya. 3) Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan tentang menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain. b. Regulasi metakognitif. 1) Keterampilan perencanaan yaitu kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya. 2) Kemampuan mengelola informasi yang berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan. 3) Keterampilan monitoring yaitu kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut. 4) Kemampuan strategi-strategi debuggingyaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar. 5) Keterampilan evaluasi yaitu kemampuan mengevaluasi efektivitas strategi belajarnya.

Schoenfeld (1992) mengemukakan terdapat tiga cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: a. Keyakinan dan intuisi, menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. b. Pengetahuan tentang proses berpikir, menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. c. Kesadaran-diri (regulasi-diri), menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah.

3. Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika 2

Metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang menjadi lebih efektif dan efisien. Keiichi (2000) dalam penelitiannya tentang Metakognisi dalam Pendidikan Matematika menghasilkan beberapa temuan, yakni: 1) Metakognisi memainkan peranan penting dalam menyelesaikan masalah; 2) Siswa lebih terampil memecahkan masalah jika mereka memiliki pengetahuan metakognisi; 3) Dalam kerangka kerja menyelesaikan masalah, guru sering menekankan strategi khusus untuk memecahkan masalah dan kurang memperhatikan ciri penting aktivitas menyelesaikan masalah lainnya; 4) Guru mengungkapkan secara mengesankan beberapa pencapaian lebih pada tingkatan menengah di sekolah dasar di mana hal-hal tersebut penting dalam penalaran matematika dan strategi problem posing.

Stanic dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengemukakan tiga hal pokok tentang menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan penggunaannya: a. Menyelesaikan masalah sebagai konteks, sedang masalah dijadikan alat untuk mencapai tujuan kurikulum. Stanic & Kilpatrick mengidentifikasikan lima peran yang dimainkan oleh masalah tersebut yaitu: Sebagai dasar pembenaran untuk pengajaran matematika. Memberikan motivasi khusus pada topik mata pelajaran. Sebagai rekreasi untuk memotivasi bahwa matematika bisa menyenangkan dan keterampilan yang telah dikuasai siswa bisa menjadi suatu hiburan. Sebagai alat mengembangkan keterampilan baru. Sebagai praktik.

b. Menyelesaikan masalah sebagai keterampilan.Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengungkapkan bahwa menyelesaikan masalah sering dipandang sebagai satu dari sejumlah keterampilan yang diajarkan dalam kurikulum sekolah. Berdasarkan pandangan ini, maka menyelesaikan masalah tidak perlu dipandang sebagai satu keterampilan tetapi ada suatu keterampilan yang jelas. c. Pemecahan masalah sebagai seni.

Lima fase dalam menyelesaikan masalah matematika, yaitu: 1. Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah, dengan melibatkan pengetahuan deklaratif dan keterampilan perencanaan. 3

2. Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah, dengan melibatkan keterampilan perencanaan dan keterampilan prediksi. 3. Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah, dengan melibatkan pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. 4. Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah, dengan melibatkan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. 5. Fase V: Melakukan evaluasiterhadap penyelesaian masalah, dengan melibatkan

keterampilan monitoring dan keterampilan evaluasi.

4. Strategi Pengembangan Metakoginisi Siswa dalam Pembelajaran

Menurut Weinstein dan Mayer (1985), ada lima macam strategi metakognitif yaitu: a. Strategi rehearsal yaitu mengulang-ulang materi yang dipelajari secara aktif, baik lisan maupun tulisan, ataupun memusatkan perhatian pada bagian-bagian yang penting. b. Strategi elaborasi yaitu menambah atau memperluas makna dengan menghubungkan informasi yang baru dengan informasi yang sudah ada. c. Strategi organisasi yaitu menyusun materi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan memperhatikan hubungan antar kelompok. d. Strategi memonitor proses belajar. e. Strategi afektif yaitu untuk menghilangkan perasaan-perasaan yang mengganggu belajar.

Strategi yang dapat dilakukan oleh guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi siswa melalui kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut. a. Membantu siswa dalam mengembangkan strategi belajar dengan: Mendorong siswa untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya. Membimbing siswa dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif. Meminta siswa untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari. Membimbing siswa untuk mengembangkan kebiasaan bertanya. Menunjukkan kepada siswa bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang lain. b. Membimbing siswa dalam mengembangkan kebiasaan yang baik melalui : Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri, dapat dilakukan dengan:

4

1) Mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif); 2) Memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis,

mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah); 3) Memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah, diskusi, penugasan, praktik di laboratorium, belajar kelompok, dan sebagainya). Mengembangkan kebiasaan berpikir positif yaitu dengan: 1) Meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem). 2) Mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar. Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hierarki yaitu dengan : 1) Membuat keputusan dan memecahkan masalah 2) Memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru. Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya dengan : 1) Mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; 2) Membangkitkan minat dan motivasi; 3) Memusatkan perhatian dan daya ingat.

B. Otoriter dalam Pembelajaran Matematika

Arti kata otoriter adalah penguasa, sewenang-wenang, ingin menang sendiri, egois, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain seolah-olah dialah yang paling benar.Guru yang otoriter adalah guru yang tidak mau mendengarkan pendapat siswanya, seolah-olah beliaulah yang paling mengerti di bidangnya, siswanya tidak diberi kesempatan untuk beraktivitas dan berkreasi. Guru adalah pemimpin dalam kelas. Kepemimpinan yang otoriter biasanya didasarkan atas perintah, paksaan, dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit), serta berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.Beliau melakukan pengawasan yang ketat agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Ciri-ciri kepemimpinan yang otoriter adalah: Memberikan perintah-perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi. Menentukan kebijakan untuk semua pihak tanpa berkosultasi dengan para anggota. Tidak pernah memberikan informasi-informasi jelas tentang rencana-rencana yang akan datang tetapi hanya memberitahukan pada setiap anggota kelompoknya langkah-langkah yang harus segera mereka lakukan. Memberikan pujian dan kritik pribadi terhadap setiap anggota kelompoknya dengan inisiatif sendiri. 5

C. Demokrasi dalam Pembelajaran Matematika

Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi seperti bertanya maupun memberikan tanggapan kritis tanpa ada rasa takut. Hasil belajar pada dasarnya merupakan hasil reaksi antara bahan pelajaran, pendapat guru, dan pengalaman siswa. Pembelajaran yang demokratis cukup mendesak untuk diimplementasikan di kelas karena tiga hal yaitu: 1. Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar karena akses terhadap berbagai sumber informasi sangat luas meliputi televisi, radio, buku, koran, majalah, dan internet. Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan instruksional yang ditetapkan. Tanpa demokrasi di kelas, guru akan menjadi penguasa tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Siswa terkekang dan akhirnya potensi kreativitas terbunuh. 2. Kompleksnya kehidupan yang akan dihadapi siswa setelah lulus. Masa depan menuntut siswa untuk menyesuaikan diri. Prinsip belajar yang relevan yaitu belajar bagaimana belajar yang dapat terjadi apabila siswa dalam kegiatan pembelajaran telah dibiasakan untuk berpikir mandiri, berani berpendapat, dan berani bereksperimen. 3. Dalam konteks pendidikan demokrasi masyarakat, siswa hendaknya sejak dini telah dibiasakan bersikap demokratis, bebas berpendapat tetapi tetap aturan permainan

Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran demokratis adalah: 1. Faktor guru Selama ini guru dicitrakan sebagai orang yang serba tahu dan serba mampu tetapi bukan berarti harus berlaku diktator dan otoriter, sehingga harus ada perubahan paradigma bahwa guru harus bisa menjadi fasilisator dan motivator sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk bisa mengubah paradigma, guru harus menyadari bahwa wibawa tidak akan lenyap dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas. 2. Faktor siswa Belum adanya keberanian untuk berpendapat karena selama ini siswa telah terkondisi untuk pasif, menerima apapun informasi dari guru tanpa kritik sehingga harus diubah dengan cara mendorong siswa menyampaikan gagasan dan menghargainya. 6

D. Tuntas dalam Pembelajaran Matematika 1. Pengertian Belajar Tuntas

Ide tentang belajar tuntas merupakan pengembangan dari model belajar di sekolah yang dikembangkan oleh JB.Charoll pada tahun 1963.Belajar tuntas atau mastery learning adalah belajar sebagai penguasaan seutuhnya terhadap suatu satuan pelajaranyang diajarkan sebelum berpindah ke satuan pelajaran berikutnya.Anggapan dasar yang melatarbelakangi adanya teori belajar tuntas adalah siswa mau dan dapat belajar.Siswa mau belajar berisi suatu landasan bahwa anak pada dasarnya mempunyai kemauan untuk belajar. Jika sebagian siswa tidak mempunyai kemauan belajar sebenarnya bukan karena pada mereka tidak ada kemauan tetapi ada sesuatu hal yang menampakkan dirinya seolah-olah mereka tidak mau belajar, seperti cara guru mengajar yang selalu monoton sehingga membosankan siswa untuk belajar, guru tidak menciptakan suasana belajar yang menantang sehingga siswa lesu dalam belajar, situasi belajar tidak memberikan peluang kepada siswa untuk berkarya sehingga siswa kehilangan prakarsa, dan sebagainya. Siswa dapat belajar berarti pada diri siswa terdapat suatu usaha untuk menguasai pelajaran sedapat mungkin.Masalahnya adalah kemampuan siswa berbeda-beda dalam kecepatannya.Oleh karena itu hendaknya dalam praktek pengajaran guru memperhitungkan kecepatan belajar siswa. Peranan belajar tuntas adalah: a. Memberikan bantuan kepada siswa yang menghadapi kesulitan belajar b. Menyediakan waktu kepada siswa untuk belajar c. Memberikan jepastian secara jelas kepada siswa mengenai bahan-bahan yang harus dipelajari, baik ruang lingkup maupun tingkat kesukarannya

2. Prinsip-prinsip Belajar Tuntas a. Perbedaan Waktu Belajar Pendangan tentang belajar tuntas dipertegas oleh B.S. Bloom yang didasarkan atas penemuan John B. Charoll bahwa bakat untuk suatu bidang tertentu ditentukan oleh tingkat belajar siswa menurut waktu yang disediakan pada tingkat tertentu.Bakat tidak didefinisikan sebagai indeks tingkat penguasaan siswa melainkan sebagai kecepatan belajar atau sebagai ukuran sejumlah waktu yang diperlukan siswa untuk menguasai pelajaran dalam kondisi yang ideal. Seseorang yang memiliki bakat yang tinggi akan dapat mempelajari suatu bidang studi lebih cepat sedangkan siswa yang bakatnya rendah dapat mempelajari bidang studi yang sama dalam waktu yang lebih lama. Bila setiap siswa diizinkan untuk memperoleh waktu belajar sesuai dengan yang dibutuhkannya untuk sampai kepada kriteria tertentu dan ia mempergunakan waktu dengan sebaik7

baiknya maka ia akan mencapai tingkatan kriteria penguasaan materi tersebut. Charoll menegaskan bahwa tingkat hasil belajr itu tergantung pada waktu yang secara actual dibutuhkan siswa untuk mempelajari sesuatu, sebanding dengan waktu yang sesungguhnya ia butuhkan untuk mempelajarinya. b. Umpan balik Umpan balik dalam kegiatan belajar mengajar merupakan peristiwa yang memberikan kepastian kepada siswa bahwa kegiatan belajar telah atau belum mencapai tujuan berupe penguatan dalam belajar.Dengan penggunaan dan pemanfaatan umpan balik dapat menjamin tensi belajar untuk waktu yang lebih lama. Tanpa umpan balik temsi belajar akan kecil artinya karena apa yang sudah dipelajari akan cepat terlupakan oleh siswa. c. Perbaikan J.H. Block, seorang ahli belajar tuntas, mengatakan bahwa perbaikan artinya usaha untuk memperbaiki setiap masalah yang dihadapi siswa pada saat mempelajari sesuatu.

3. Model Belajar Tuntas

Pg

Pg

TP

TSPB

SP

TF

TK

TS

TK

PB

Keterangan: TP = Test prasyarat TK = Titik Keputusan PB = Perbaikan TS =Tutor Sebaya SP = Satuan Pelajaran TF = Test Formatif Pg = Pengayaan

Sebagai langkah pertama, guru menyelenggarakan test prasyarat yang hanya akan dilakukan apabila pada satuan pelajaran yang akan diajarkan sangat diperlukan prasyarat. Test prasyarat tidak terlalu lama, hanya dibatasi pada sejumlah soal, dan langsung dikoreksi setelah test prasyarat selesai. Bagi siswa yang belum berhasil mencapai nilai standar minimum yaitu minimal 75% dari seluruh pertanyaan dijawab dengan benar,akan mengikuti kegiatan perbaikan sedangkan untuk siswa yang yang berhasil dapat melakukan kegiatan pengayaan atau dapat bertindak sebagi tutor sebaya. Setelah siswa mengikuti kegiatan 8

perbaikan dan semuanya berhasil maka dilanjutkan dengan mempelajari satuan pelajaran berikutnya. Setelah itu diadakan lagi test formatif yang telah dipersiapkan sebelumnya, sebagai pertimbangan untuk melanjutkan ke satuan pelajaran berikutnya.

4. Hasil Belajar Tuntas

Hasil belajar dengan menggunakan system pengajaran belajar tuntas dapat dilihat dari 3 segi yaitu: a. Dari segi intelektual Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh James H. Block (1974), dengan metode belajar tuntas jumlah siswa yang mencapai tingkatan A atau B bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat bila dibandingkan dengan hasil belajar yang dicapai oleh siswa-siswa lain yang mempelajari materi yang sama tetapi tidak menggunakan metode belajar tuntas. b. Dari segi emosional Minat dan sikap positif terhadap bidang pengajaran meningkat. Rasa percaya pada diri sendiri meningkat. Dapat mengembangkan konsep diri akademis yang positif. Mengebalkan siswa dari kekacauan mental dan emosional.

c. Dari segi cara belajar Siswa terbiasa dengan cara belajar yang bervariasi. Siswa berperilaku teliti, mampu melakukan kontrol kualitas atau atas cara-caranya yang dipakai dalam menggunakan waktu untuk menekuni bahan pelajaran meningkat pula. Siswa mampu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri.

Sistem belajar tuntas akan efisien dan efektif apabila strategi pengajaran ini disertai dengan usha untuk meningkatkan mutu pengajaran yang meliputi semua komponen dari proses belajar mengajar.

5. Perbedaan Sistem Pengajaran Tradisional dengan Sistem Pengajaran Belajar Tuntas

No. Sitem Pengajaran Tradisional 1. Waktu memasuki sekolah,

Sistem Pengajaran Belajar Tuntas siswa Tingkah laku permulaan bervariasi

dipandang mempunyai kamauan yang hamper sama 9

2.

Siswa digolong-golongkan atas 3 tingkat: Superior Pertengahan Lambat pengajaran kepada

Siswa tidak dikelompokkan tetapi dinilai secara individual

3.

Orientasi pelajaran

bahan Orientasi

pengajaran

kepada

terminal

performance. Guru berperan sebagai pengelola

4.

Guru berperan sebagai pemberi informasi

pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individual siswa 5. Guru tidak bertanggung jawab atas cara Guru bertanggung jawab atas cara belajar belajar siswa 6. siswa

Strategi pengajaran ditunjukkan pada Strategi pengajaran yang dipakai dipilih pencapaian pengajaran efisiensi dan efektivitas untuk penguasaan kompetensi secara

individual belajar mengajar Fokus kegiatan belajar mengajar ditujukan kepada masing-masing siswa secara

7.

Fokus

kegiatan

ditujukan kepada siswa pertengahan

individual 8. Hasil belajar adalah tanggung jawab siswa Hasil belajar adalah tanggung jawab guru dan siswa 9. Adanya penampilan 10. Penilaian merupakan perbandingan antara Penilaian merupakan standar mutlak yaitu posisi seorang siswa dengan teman penguasaan seorang siswa terhadap tugas belajarnya distribusi normal pada Kriteria penampilan

sekelasnya

10