Makalah logika
-
Upload
fuji-lestari -
Category
Documents
-
view
605 -
download
5
description
Transcript of Makalah logika
MAKALAH LOGIKA
SILOGISME HIPOTESIS
DISUSUN OLEH:
Audyra Mauretha
Dinar D.K
Fuji Lestari
Hafidz Nuramdhan
Layalia Selma
Nada Bilqis
Yesaya Ferdinand
ILMU KOMUNIKASI-FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya dan
tuntunanNya dalam membantu menulis menyelesaiakan makalah Silogisme
Hipotesis.
Makalah Silogisme Hipotesis ini merupakan dorongan tim penulis untuk lebih
memperluas pengetahuan pembaca mengenai silogisme hipotesis sebagai sarana
dalam penarikan kesimpulan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar Logika atas
dorongannya untuk membuat makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
Jatinangor, 19 November 2013
Tim Penulis
2 | P a g e
‘
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1. Pendahuluan 4
1.1. Latar Belakang Masalah 4
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penulisan 4
1.4. Manfaat Penulisan 5
BAB 2. Pembahasan 6
2.1. Definisi Silogisme 6
2.2. Definisi Silogisme Hipotesis 7
BAB 3. Kesimpulan 12
3.1. Kesimpulan 12
Daftar Pustaka 13
3 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, silogisme adalah bentuk, cara berpikir
atau menarik simpulan yang terdiri atas premis umum, premis khusus, dan
simpulan (misalnya semua manusia akan mati, si A manusia, jadi si A akan mati).
Premis adalah sesuatu yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan
kemudian; dasar pemikiran; alasan; asumsi; kalimat atau proposisi yg dijadikan
dasar penarikan kesimpulan di dalam logika;
1. Mayor premis yang berisi term yang menjadi predikat kesimpulan;
2. Minor premis yang berisi term yang akan menjadi subjek sebuah kesimpulan;
3. Silogisme dua premis (mayor dan minor) yang mewujudkan anteseden.
Silogisme juga suatu bentuk pemikiran kesimpulan secara deduktif dan tidak
langsung yang mana kesimpulannya ditarik dari dua premis yang tersedia
sekaligus. Dua premis yang dimaksud adalah premis mayor dan premis minor.
Bentuk silogisme terdiri dari silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.
1.2. RUMUSAN MASALAH
4 | P a g e
Dari latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat kita rumuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan permasalahan adalah sebagai
berikut:
1. Apa itu silogisme?
2. Apakah itu silogisme hipotesis dan apa macam-macamnya?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan dimaksudkan untuk mengetahui jawaban dari rumusan-rumusan
masalah yang ada. Adapun tujuan penulisan masalah makalah ini adalah sebagi
berikut:
1. Mendefinisakan silogisme.
2. Mendefinisikan silogisme hipotesis dan menjabarkan macam-macamnya.
1.4. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan dalam makalah adalah mengetahui manfaat nyata dari
penulisan makalah ini. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui definisi silogisme.
2. Mengetahui definisi silogisme hipotesis beserta macamnya.
5 | P a g e
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI SILOGISME
Silogisme adalah proses logis yang terdiri dari 3 bagian. 2 bagian pertama
merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif) syllogistic.
Sedangkan bagian ketiga merupakan perumusan hubungan yang terdapat pada
kedua bagian pertama melalui perpotongan trem penengah (M). Bagian ketiga ini
disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan baru (konsekuens). Proses
menarik suatu kesimpulan dari premis-premis tersebut disebut penyimpulan.
Suatu premis adalah suatu pernyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
pernyataan tadi menegaskan atau menolak bahwa sesuatu itu benar atau tidak
benar. Suatu premis dapat mengatakan suatu fakta, suatu generalisasi atau sekedar
suatu asumsi atau sesuatu yang spesifik.
Atas dasar premis-premis tersebut, kita menarik deduksi. Sering kali tidak dengan
seketika dapat dikatakan apakah suatu P (predikat) harus atau dapat diakui atau
dipungkiri oleh suatu S (subjek). Maka sebelum pikiran dapat ‘memutuskan’ S=P,
diperlukan pertimbangan-pertimbangan dan analisis, yakni pikiran maju langkah
6 | P a g e
demi langkah dengan membandingkan term S dan P dengan suatu term lain yang
dapat menghubungkan S dan P tersebut. Term lain itu disebut term penengah,
disingkat M. Peranan M adalah menunjukan alasan mengapa S dan P dipersatukan
atau dipisahkan dalam kesimpulan.
Pada pokoknya, silogisme mempunyai 2 bentuk asli :
1. Silogisme kategoris, yakni premis-premisnya berupa pernyataan
kategoris: P diakui atau dipungkiri tentang S secara mutlak tidak
bergantung pada suatu syarat (karena.....maka....).
2. Silogisme hipotetis.
Pada makalah ini kami akan membahas mengenai silogisme hipotesis dan
macamnya.
2.2. SILOGISME HIPOTETIS DAN MACAMNYA
Silogisme hipotesis merupakan proses penalaran yang premisnya berupa
pernyataan bersyarat: P diakui atau dipungkiri tentang S tidak secara mutlak,
melainkan bergantung pada suatu syarat (kalau.....maka.....).
Silogisme Hipotesis memiliki macam-macam bentuk, diantaranya:
2.2.1. Silogisme Kondisional
Silogisme kondisional (bersyarat, conditional syllogism) ialah silogisme
yang premis mayornya berupa keputusan kondisional. Keputusan
kondisional adalah keputusan yang mengandung suatu syarat, yaitu terdiri
dari dua bagian, yang satu dinyatakan benar jika syarat yang dinyatakan
dalam bagian lain dipenuhi. Misalnya, “jika hujan turun, maka jalan
menjadi basah.” Putusan kondisional itu benar jika hubungan bersyarat
yang dinyatakan di dalamnya itu benar, dan salah jika hubungan bersyarat
itu tidak benar. Misalnya, “kalau kamu lulus ujian, maka harus kamu
ulangi sekali lagi.” Bagian putusan kondisional yang mengandung syarat
disebut antecedens. Bagian yang mengandung apa yang dikondisikan
disebut konsekuens. Hubungan antara antecedens dan konsekuens adalah
inti putusan kondisional (menentukan benar tidaknya putusan itu).
Contoh silogisme kondisional:
7 | P a g e
Kalau turun hujan, maka jalan-jalan basah kalau A,
(antecedens) (konsekuens) maka B
Nah, sekarang turun hujan Nah, A,
Jadi, jalan-jalan basah jadi B.
Mayor menyatakan suatu syarat (A) yang menjadi sandaran benar-
tidaknya konsekuens (B). Minor menyatakan dipenuhi syarat itu.
Kesimpulan menyatakan benarnya konsekuens.
Hukum-hukum Silogisme Kondisional
1. Kalau antecedens benar (dan hubungannya sah), maka kesimpulan akan
benar.
2. Kalau kesimpulan salah (dan hubungannya sah), maka antecedens salah
pula.
Berdasarkan hukum-hukum ini, maka dapat disusun bagan silogisme
kondisional :
Bentuk-bentuk silogisme kondisional yang sah
1. Jika (A), maka <B>
Nah, (A).
Jadi <B>
2. Jika (A), maka <B>
Nah, tidak <B>
Jadi tidak (A)
Perumusan Hukum-hukum
Jika mayor merupakan putusan kondisional yang benar, dan antecedens
(syaratnya), kita sebut A, konsenkuensinya disebut B, maka:
a) A benar (dipenuhi), B benar pula.
b) B salah (tidak dipenuhi), A salah pula.
Tetapi
c) A salah (tidak dipenuhi), B dapat salah, dapat benar
d) B benar (dipenuhi), A dapat salah, dapat benar
8 | P a g e
Jadi, bentuk-bentuk yang tidak sah:
3. Jika (A), maka <B>
Nah, <B>
Jadi (A)
4. Jika (A), maka <B>
Nah, tidak (A)
Jadi tidak <B>
Bentuk-bentuk yang terakhir ini paling banter hanya menunjukan suatu
kemungkinan. (Jadi kesimpulan seharusnya: mungkin (A), dan mungkin
tidak <B>. Bentuk-bentuk ini hanya sah, jika syarat yang dinyatakan
dalam (A) merupakan satu-satunya syarat. Tetapi ini lalu harus dinyatakan
pula, dengan mengatakan: “Hanya jika (A), maka B; jadi kalau B; maka
pula A.”
2.2.2. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif ialah silogisme yang premis mayornya terdiri dari
keputusan disjungtif. Premis minor menyatakan atau memungkiri salah
satu dari ‘kemungkinan’ yang disebut dalam mayor. Kesimpulan
mengandung kemungkinan yang lain.
Bagan silogisme disjungtif:
Keputusan disjungtif ialah: keputusan yang di dalamnya terkandung suatu
pilihan suatu pilihan antara dua (atau lebih) kemungkinan (menunjukkan
apa yang disebut suatu ‘alternatif’, dinyatakan dalam kalimat dengan atau .
. . atau . . . .).
9 | P a g e
A atau B
Nah, A
Jadi bukan B
A atau B
Nah, bukan A
Jadi B
Dibedakan:
a) Disjungtif dalam arti sempit (dalam arti sebenarnya)
Hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang,
tidak dapat bersama-sama benar, dan tidak ada kemungkinan ketiga.
Jadi, dari dua kemungkinan yang disebut hanya satu dapat benar.
Karena itu, ‘A atau B’ dapat juga dirumuskan: “Tidak dapat bersama-
sama A dan B. Nah, A; jadi bukan B.” Atau “Kalai A, bukan B. Nah,
A; jadi bukan B.”
Jika A dan B dapat bersama-sama benar, atau ada kemungkinan ketiga
(ialah C), maka silogisme tidak sah. Misalnya:
1. Kesebelasan kita menang atau kalah. Nah, tidak kalah, jadi
menang (salah, sebab ada kemungkinan ketiga, yaitu sama kuat).
2. Bunga itu merah atau berwarna.... (yang satu mengandung yang
lain).
3. Ia masuk atau tinggal di luar (=tidak masuk). Nah, ia masuk, jadi
tidak tinggal di luar (ini sah, sebab antara masuk dan tidak masuk
tak ada kemungkinan lain).
b) Disjungtif dalam arti luas
Dalam arti luas, A dan B dapat sama-sama benar, bahkan dapat terjadi
kemungkinan ketiga. Misalnya: “Dialah yang pergi, atau saya (dapat
juga bersama-sama).” Atau: “Memperkecil volume suatu gas itu dapat
dengan dua jalan: merendahkan derajat panasnya atau menambah
tekanan (tetapi dapat juga kedua-duanya bersama-sama).”
2.2.3. Dilema
Dilema adalah semacam pembuktian, yang di dalamnya terdiri dari dua
atau lebih putusan disjungtif untuk ditarik kesimpulan yang sama; atau
dibuktikan bahwa dari masing-masing kemungkinan harus ditarik
kesimpulan yang tidak dikehendaki.
10 | P a g e
Dilema merupakan suatu kombinasi dari berbagai bentuk silogisme.
Mayor terdiri dari sebuah putusan disjungtif. Dalam minor diambil
kesimpulan yang sama dari kedua alternatif.
Bentuk dilema dapat bermacam-macam. Bentuk pokoknya sebagai
berikut:
A, atau tidak A.
Nah, kalau A, maka B.
Kalau tidak A, toh B
Jadi B.
Bentuk-bentuk lain misalnya:
A dan B A atau B
Kalau A, maka X Nah, kalau A, maka X
Kalau B, juga X Kalau B, maka Y
Jadi X. Jadi X atau Y
Kalau A, maka B dan C Kalau A, maka X: dan kalau
B maka Y
Nah, ataukah tidak B Nah, tidak A atau tidak Y
Ataukah tidak C Jadi tidak A atau tidak B
Jadi tidak A.
Bentuk yang penting: dari konsekuensi yang tidak dikehendaki menarik
kesimpulan: memungkiri mayor.
Misalnya demikian:
A atau tidak A
Nah, kalau A, maka B
Tetapi tidak B, karena...
Jadi tidak A.
Hukum-hukum dilema
1. Putusan disjungtif harus lengkap, menyebut semua kemungkinan.
2. Konsekuensinya harus sah
11 | P a g e
3. Kesimpulan lain tidak mungkin (tak boleh dapat di-‘retorsi’ atau
dibalik)
BAB 3
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Silogisme atau penalaran deduktif yang biasanya diawali dengan adanya suatu
pernyataan/premis yang bersifat umum kemudian diikuti dengan premis yang
bersifat khusus, kemudian kita dapat menarik kesimpulan dari premis yang ada
sebelumnya, dengan cara menggabungkan kesamaan dari premis umum dan
khusus tersebut. Sedangkan silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis
mayornya adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis
minornya mengakui atau menolak salah satu bagian premis mayor.
12 | P a g e
DAFTAR PUSAKA
Poespoprodjo, W., & Gilarso, T. (1989). Logika Ilmu Menalar. Bandung:
Remadja Karya
13 | P a g e