Makalah Lepra

27
makalah lepra BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain yang dapat menekan

description

sip

Transcript of Makalah Lepra

Page 1: Makalah Lepra

makalah lepra

BAB IPENDAHULUAN

A.    Latar belakangPenyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional

kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan

permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi

medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian

besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan

kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan,

pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun

yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang

mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi

terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat

tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan

penyakit lain yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali

lebih tinggi dari wanita.

B. Tujuan

1.      Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :

a.              Untuk menjelaskan definisi kusta.

b.             Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.

c.              Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.

Page 2: Makalah Lepra

d.             Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.

e.              Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.

f.              Untuk menjelaskan bagaimanakah pencegahan kusta.

BAB IIPEMBAHASAN

1.      Definisi Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium

leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)Kusta

merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif,

2000)

Page 3: Makalah Lepra

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang

interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis

( djuanda, 4.1997 )

Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi

mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2. Epidemiologi :

Masalah epidemiologi belum dapat terpecahkan , cara penularan belum dapat diketahui

secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang

lama dan erat. Anggapan lain ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup selama

beberapa hari dlm droplet.

Penyebaran penyakit kusta dari satu tempat ke tempat yang lain sampai tersebar diseluruh

dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.

Masuknya kusta ke pulau-pulau Malenesia termasuk indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-

orang Cina . Distribusi penyakit ini dalam satu negara maupun tiap-tiap negara ternyata

berbada-beda.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab , cara

penularan , keadaan sosial ekonomi dan lingkungan,varian genetik yang berhubungan dengan

kerentanan , perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reserfoir diluar manusia.

Kusta bukan penyakit keturunan . Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,

kelenjar keringat dan ASI, jarang ditemukan dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung

M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas .Tempat implantasi tidak selalu menjadi

tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur , dimana anak-anak lebih rntan daripada

orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa adalah pada usia antara 25-35 tahun.

Kusta dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi ,dan deformitas. Penderita kusta bukan

menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.

3. Etiologi :

Klasifikasi ilmiah.

Kerajaan : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Page 4: Makalah Lepra

Ordo : Actinomycetales

Upaordo : Corynebacterineae

Famili : Mycobacteriaceae

Genus : Mycobacterium

Spesies : M. Leprae.

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler,

menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati,

sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21

hari dan masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Kuman kusta

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok

dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

4. Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta :

a) Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus

yang tidak mempunyai kelenjar thymus

b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari

penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan

telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan

sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan

c) Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-

tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan

masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan

penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama

dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak

menjadi sumber penularan bagi orang lain.

d) Cara Masuk ke Pejamu

Page 5: Makalah Lepra

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan.

Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak

kulit yang tidak utuh

e) Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini

disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler

dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik

seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat

meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan

bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi. Sebagian

besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5%

yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi

sakit.

5. Patogenesis:

Patogenitas dan daya invasi rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih

banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh

respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau

menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut

penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada

intensitas infeksinya.

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen

Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal

pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang

dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah

produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang

berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan

Page 6: Makalah Lepra

mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL

12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5,

IL 13.

IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL4 dan IL10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan

mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4, IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi

sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak

teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon kearah Th2. Pada Tuberkoloid

Leprosy, kita akan melihat bahwa Th1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan

pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui

darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif

karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh

serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja

harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida

dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72,

CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang

inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –

satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2

– TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19kda

lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy.

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan

hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf

tepi. Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.

Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita

yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka

melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang

menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.

Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan. Penderita juga memiliki luka di

telapak kakinya.

Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata

dapat menyebabkan kebutaan.

Page 7: Makalah Lepra

Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat

menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang

akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan

mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1

dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan

M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.

Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus-menerus untuk

menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai

bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti

dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan

APC non professional.

Patogenesis reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed Type

Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler

yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction ,

dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler) dan

biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi

pergeseran ke arah lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi

pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas

tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering

terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk

kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples

, imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan

melisis sel.

6. Gejala klinis :

Page 8: Makalah Lepra

Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, maka dapat timbul gejala klinis

sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipe klinis tergantung pada sistem imunitas

seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik maka akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid,

dan sebaliknya apabila SIS rendahakan memberikan gambaran ke arah lepromatosa.

Bentuk-bentuk Lepra :

1.      Bentuk Lepra tuberkuloid.

Disebut juga dengan nama Lepra paucibacillair. Pada tahap ini pasien masih mudah

disembuhkan, karena ternyata pasien LT masih punya daya-tangkis imunologi yang baik. Bentuk

ini paling sering dijumpai, kurang lebih 75% dari jumlah penderita akan tetapi tidak bersifat

menular. Gejalanya pertama, berupa noda-noda putih pucat dikulit yang hilang-rasa dan

penebalan saraf-saraf yang nyeri diberbagai tempat diseluruh tubuh, terutama di telinga, muka,

kaki-tangan. Dapat merusak saraf-saraf jika tidak segera diobati, oleh karena tidak luka-luka nya

yang dirasakan pasien, maka biasanya lama-kelamaan lukanya akan membentuk borok, dan

membuat puntung terutama jika luka yang menginfeksi kaki-tangan (cacat hebat sekunder).

2. Bentuk Lepra lepromatosa atau Lepra multibacillair.

Adalah bentuk tersebar yang sangat menular dan banyak terdapat basil, dengan ciri bentol

merah (nodule), demam, dan anemia. Pasien yang terkena bentuk lepra yang kedua ini bisa

dikatakan dengan pasien “berparas-singa”. Karena timbul deformasi akibat infiltrat di muka,

kelumpuhan urat saraf-saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karena rapuhnya tulang

rawan. Bila tidak diobati, pasien yang terkena basil ini akan mengalami kerusakan organ juga.

3. Bentuk Lepra borderline (LB)

adalah bentuk kombinasi dari kedua bentuk diatas yaitu LT dan LL, yang akan terbagi

lagi menjadi tiga bentuk peralihan. Tergantung dari cirinya masing-masing apakah menjadi LTB

(lepra tuberculoid borderlin), LLB (lepra lepromateus borderline), dan lepra tak tentu.

Page 9: Makalah Lepra

Menurut klasifikasi Ridley-Jopling 1962 kusta terbagi atas :

I: intermedinate; tidak termasuk dalam spectrum

TT: Tuberkuloid polar (bentuk stabil); tuberkuloid 100% jadi tidak akan

berpindah tipe.

Ti: Tuberkuloid indefinite; tipe campuran tubeculoid dan lepromatosa

(Tuberkuloid lebih banyak)

BT: Borderline Tuberkuloid; tipe campuran, tapi Tuberkuloid lebih banyak

BB: Mid Borderline; tipe campuran (50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa)

BL: Borderline Lepromatosa; tipe campuran, tapi lepromatosa lebih banyak

Li: Lepromatosa indefinite; tipe campuran tuberkuloid dan lepromatosa

(lepromatosa lebih banyak)

LL: Lepromatosa polar (bentuk stabil); lepromatosa 100% jadi tidak akan

berpindah tipe.

7. Pemeriksaan Penujnjang Diagnostik :Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal

berikut:

1)      Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi

kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan

sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,

bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.

2)      BTA positif

Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan,

parastesi

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis bakterioskopik , histopatologis

dan serologis.

1.Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit )

Page 10: Makalah Lepra

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan

pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan

mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain

dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang

tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.

Cara pengambilan bahan kerokan :

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat

lain.

3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi

kulit yang baru timbul.

4.Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan leprae ialah:

a. Cuping telinga kiri atau kanan

b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain

5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a. Tidak menyenangkan pasien

b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain

c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus

kulit negatif.

d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada

sediaan kulit ditempat lain.

6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta

b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai

pasien kusta

c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap

obat

d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali

7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau

kinyoun gabett.

Page 11: Makalah Lepra

Cara Pemeriksaan sediaan BTA lepra

a) Pengambilan jaringan kulit

a.Bagian yang diambil ,dibersihkan dengan kapas alcohol

b.Bagian tersebut dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk sedemikian kuat sehingga kulit kelihatan

menjadi pucat, supaya kemungkinan perdarahan sedikiy sekali.

c. Dengan lancet steril dibuat sayatan sepanjang ±1/2 cm sedalam 2 mm

d.Darah yang keluar pertama dibersihkan, kemudian sisa dan dasar luka dikerok dengan vaccine pen

untuk mendapatkan bubur jaringan epidermis dan dermis

b) Pembuatan preparat

a. Siapkan objeck glass yang bersih dan bebas lemak, diberi kode / tanda tentang no. lab., sampel

yang diambil, daerah / bagian yang akan dipulas dengan sampel dsb.

b. Bubur jaringan yang sudah diambil dipulaskan pada objeck glass yang sudah siap sedemikian

rupa sehingga diperoleh smear yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, dengan diameter 1

– 1,5 cm

c. Biarkan kering dengan sendirinya di udara

d. Setelah kering di fiksasi dengan melewatkannya diatas nyala api Bunsen 2 – 3 kali, setelah dingin

baru boleh dicat

c) Pengecatan

a. Sediaan yang telah kering dilakukan fiksasi selama 5 menit.

b.Sambil difiksasi, digenangi dengan Carbol Fuchsin 0,3%,

dipanaskan diatas bunsen sampai menguap selama 5 menit

c. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan

d. Warna merah pada sediaan dilarutka dengan asam alkohol 3%

e. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan

f. Digenangi dengan larutan methylen blue selama 20 – 30 detik

g. Dicuci dengan air mengalir dan di keringkan

h. Diamati dibawah mikroskop

d) pembacaan sediaan

Page 12: Makalah Lepra

a. Sediaan yang telah kering ditetesi minyak imersi, dilihat dengan mikroskop dengan pembesaran

100x

b. Dicari dengan adanya batang panjang atau pendek yang berwarna merah dengan latar belakang

berwarna biru.

Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z,

dan setengah atau seperempat lingkaran.Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk

utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk

menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala

logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui

daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi

terhadap obat.

2. Pemeriksaan Histopatologik

Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M leprae

masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem imunitas selulernya

baik maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ketempat kuman

disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya

berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid

yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan

menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau

Page 13: Makalah Lepra

lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan

dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan

sebagai alat pengangkut penyebarluasaan.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran

histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya

sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal

clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannnya tidak patologik.

Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-

unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang

yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae yaitu

antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan

antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga

dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang

meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu

menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada narakontak serumah.

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:

- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)

- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)

- ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)

- ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

8. Pencegahan penyakit kusta :

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan

memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga

penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.

Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan

Page 14: Makalah Lepra

pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat

memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran

penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat

(Depkes RI, 2006)

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian

imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa

pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,

sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%,

namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian

beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI,

2006).

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan

penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah

ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe

Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain

(Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan

cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

a.       Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan

secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

b.      Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan

perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.

c.       b. Rehabilitasi kusta

d.      Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara

maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan

Page 15: Makalah Lepra

kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.

Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga

memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya

mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita

kusta meliputi :

e.       Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya

kontraktur.

f.       Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat

tekanan yang berlebihan.

g.      Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

h.      Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.

i.        Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

9.Pengobatan terhadap penyakit kusta :Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama

tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug

Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.

Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta

dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan

RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut

WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment

Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

Page 16: Makalah Lepra

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan

petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari

diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah

selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis

yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak

Klofazimin:

Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan

100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB

dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan

minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5

lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan

dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya

maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12

dosis dari yang seharusnya.

10. Reaksi KustaReaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti sampai saat

ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik.

Dimana reaksi imun tubuh kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun

patologik dan reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi eritema

nodosum leprosum (ENL) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.

ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin

tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL. Secara

imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat

reaksi antara antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan

Page 17: Makalah Lepra

menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka ENL termasuk di

dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi imunoglobulin penderita kusta

lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe

lepromatosa jumlah kuman jauh lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak

terjadi pada saat pengobata. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur

yang kemudian kuman – kuman lepra ini akan menjadi antigen, dengan demikian akan

meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks imun ini terus beredar dalam sirkulasi

darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai organ.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan :

a.  Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.

b.  Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :

-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)

-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

c.   Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,

menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati,

sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.

Page 18: Makalah Lepra

d.   Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon

imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon

imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.

e.   Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan

sensibilitas.

f.   Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu:

melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor

lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan

lingkungan.

g.  Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer,

sekunder dan tersier.

h.  Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah melakukan

pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan

tindakan perawatan yang komprehensif.

2. Saran :

Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu

program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai  penyembuhan pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama

tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan

tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk

mempermudah pengobatanya.

Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya

penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif