MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

24
MAKALAH KEWIRAUSAHAAN ETIKA BISNIS DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) Disusun oleh : Aktsar Hamdi Tsalits C2A008009 JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS DIPONEGORO

Transcript of MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Page 1: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

ETIKA BISNIS DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Disusun oleh :

Aktsar Hamdi Tsalits C2A008009

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2010

Page 2: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

PENDAHULUAN

Corporate Social Responsibility (CSR) dengan etika bisnis akhir-akhir ini sangat

sering terdengar. Banyak perusahaan dituntut oleh masyarakat sekitarnya karena telah

merusak lingkungan sekitar perusahaan, merebut kekayaan yang seharusnya menjadi hak

bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Akibat dari semua itu adalah masyarakat sekitar

perusahaan yang menjadi menderita. Banyak kasus yang terjadi terkait dengan Corporate

Sosial Responsibility, seperti lumpur Lapindo, PT.Freeport, dan obat antinyamuk HIT.

Berkaca dari kasus-kasus tersebut,sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang

lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis

tidak akan memberi keuntungan secara langsung. Karena itu, para pengusaha dan praktisi

bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui

pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat

dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.

Etika memainkan peranan penting dalam kehidupan organisasi, baik publik maupun

swasta. Etika organisasi biasanya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan

organisasi. Kode etik atau yang sejenis tumbuh dari misi, visi, strategi, dan nilai-nilai

organisasi. Kode etik organisasi yang dipikirkan dengan seksama dan efektif berfungsi

sebagai pedoman dalam pengambilan setiap keputusan organisasi yang etis dengan

menyeimbangkan semua kepentingan yang beragam.

Fenomena neoliberal inilah yang diikuti dengan kemunculan secara paralel tuntutan

masyarakat sipil terhadap tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social

Responsibility (CSR). Semakin menguatnya dominasi entitas bisnis dalam rantai perusahaan

yang berada pada regional negara-negara Utara dan Selatan telah menciptakan tuntutan dan

konsekuensi logis agar mereka memperhatikan hak asasi manusia, hak para pekerja, maupun

komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup.

Tidak mengherankan apabila masyarakat (sebagai stakeholders) menuntut agar

perusahaan lebih memperhatikan keadaan stakeholders daripada shareholdersnya.

Masyarakat telah meningkatkan perhatian dan kepekaan mereka terhadap seluruh proses

produksi yang dilakukan oleh perusahaan yang kelak hasil produk tersebut akan mereka

konsumsi. Peningkatan perhatian dan kepekaan masyarakat awam tersebut telah turut

memacu pihak pelaku modal untuk meningkatkan aplikasi CSR mereka. Para pelaku

Page 3: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

perusahaan, yang biasanya mendapatkan keistimewaan kekebalan hukum dari negara, sudah

tidak dapat mengelak lagi dari perhatian dan kepekaan masyarakat terhadap dampak negatif

sosial lingkungan yang telah mereka hasilkan selama ini. Malah sebaliknya, pengalaman

membuktikan bahwa keberlanjutan usaha produksi banyak dipengaruhi oleh tingkat

pemahaman dan aplikasi CSR perusahaan terhadap para pemangku kepentingan. Riset yang

dilakukan oleh Sophia Malkasian (2004) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang

terus hidup adalah perusahaan yang tidak hanya mengejar keuntungan deviden semata. Saat

perusahaan dapat membina hubungan baik dengan para pemangku kepentingan, mereka akan

mendapatkan perlindungan dan keamanan dalam menjalankan usahanya, ataupun sebaliknya.

Dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya hubungan resiprokal (timbal balik)

antara perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat adalah pasangan hidup

yang saling memberi dan membutuhkan. Dua aspek penting harus diperhatikan agar tercipta

kondisi sinergis antara keduanya sehingga keberadaan perusahaan membawa perubahan ke

arah perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari aspek ekonomi, perusahaan

harus berorientasi mendapatkan keuntungan (profit) dan dari aspek sosial, perusahaan harus

memberikan kontribusi secara langsung kepada masyarakat yaitu meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Perusahaan tidak hanya dihadapkan pada

tanggung jawab yang berpijak pada perolehan keuntungan/laba perusahaan semata, tetapi

juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Jika masyarakat

(terutama masyarakat sekitar) menganggap perusahaan tidak memperhatikan aspek sosial dan

lingkungannya serta tidak merasakan kontribusi secara langsung bahkan merasakan dampak

negatif dari beroperasinya sebuah perusahaan maka kondisi itu akan menimbulkan resistensi

masyarakat atau gejolak sosial.

Dengan kondisi tersebut maka perusahaan perlu membangun konsep Corporate Social

Responsibility (CSR) dalam aktivitas perusahaan. Komitmen perusahaan untuk berkontribusi

dalam pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek finansial atau ekonomi, sosial, dan

lingkungan itulah yang menjadi isu utama dari konsep Corporate Social Responsibility (CSR)

atau tanggung jawab sosial perusahaan. Implementasi CSR merupakan perwujudan komitmen

yang dibangun oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas

kehidupan masyarakat. Adanya CSR di Indonesia diatur dalam Undangundang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat 1 Undang-undang tersebut

menyebutkan bahwa ”Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau

Page 4: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan”. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan

tanggung jawab sosial perusahaan”

I. EPISTEMOLOGI ETIKA BISNIS

Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral =

moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas =

kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical)

diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering

dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral

dilandasi oleh etika, sehingga orang yangmemiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian

pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki

moral yang baik.

Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants

Fall, menyebutkan: Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,”

meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in

organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and

consistent values in service to the public. (Etika adalah suatu istilah filosofis yang berasal

dari Kata Yunani " Etos," yang berarti karakter atau kebiasaan. Definisi tersebut berhubungan

erat dengan kepemimpinan yang efektif di dalam suatu organisasi. Hal itu dapat diartikan

juga sebagai suatu kode organisasi yang menyampaikan integritas moral dan nilai-nilai

konsisten dalam jabatan kepada orang banyak/masyarakat.

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:

1. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang membedakan apa yang baik dan buruk berkaitan

dengan hutang budi dan kewajiban, dapat juga diartikan sebagai satuan prinsip moral

atau nilai-nilai.

2. Perilaku etis, yaitu suatu yang diterima sebagai moral baik dan kebenaran, dan lawan

dari keburukan atau kesalahan dalam suatu perilaku tertentu.

Page 5: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

3. Kesusilaan adalah suatu sistem atau doktrin dari moral yang mengacu pada prinsip

kebenaran dan kesalahan dalam suatu perilaku.

Steade et al. (1984:584) bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan

perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk

menyamakan perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) –

yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan

penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi.

Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk

perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika merefleksikan

hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilia-nilai. Pada

gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya

secara per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang

”legal” dan apa yang ”cara etik”.

Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)”

atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek

kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika

profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek

perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-

aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik

(good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti

menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.

Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan

etika adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini

merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat. Secara

sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena

bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat

menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.

Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen

lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai

pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, dalam Komenaung (2005)).

Page 6: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan dipertukarkan

karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos dari mana ”ethics”

berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan keduanya artinya kebiasaan

(habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di

dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen normatif yang tidak dapat

dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral berhubungan

dengan pembicaraan tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya

dikerjakan dan dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik

dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari

perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar

tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan

secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang

meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada

evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan

realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.

II. PENTINGNYA ETIKA DALAM DUNIA BISNIS

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan

ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak

jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau

kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha

yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.

Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan

kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar

janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam

maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha

terhadap etika bisnis.

Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada

masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa

serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis

maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Page 7: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa

prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif.

Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang

terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah.

Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis.

Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari

pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.

Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks.

Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan,

karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang

seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia

usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa

produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk

hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak

memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting

diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika

bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan

dijelaskan sebagai berikut:

1) Perspektif Makro.

Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif

dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa

kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan

mengelola properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan

(c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu

subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan

mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro.

Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :

1.Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih

dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.

Page 8: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

2.Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau

memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.

3.Deceptive information

4.Pecurian dan penggelapan

5.Unfair discrimination.

2) Perspektif Bisnis Mikro.

Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup

mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling

berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai

penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari

hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis.

Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung

berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan

sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:

(1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus

pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak

berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut;

(2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian

peraturanyang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan

berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi

manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain;

(b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan

kesamaan.Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

(1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi

benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan

pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,

pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban

social;

Page 9: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi)

dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi

negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan

pihak lain; dan

(3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi

pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis,

pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak

dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka

etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari

semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan

etika (patokan/rambu-rambu) yangmenjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan

serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat

membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good

conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus

disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait

lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan

yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa

lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak

kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan

menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak

akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis

yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan

yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun

dalam perekonomian.

Page 10: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk

memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a. Pengendalian Diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing

untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping

itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang

atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau

keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya

juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang

"etik".

b. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya

dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih

kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis

untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand

harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak

memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi,

dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan

memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung

jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya,

terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.

c. Mempertahankan Jati Diri

Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya

perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika

bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan

teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan

kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki

akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

d. Menciptakan Persaingan yang Sehat

Page 11: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi

persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat

jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah,

sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread

effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan

perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

e. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang,

tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini

jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat

sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan

dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh

keuntungan besar.

f. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan

terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk

permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan

nama bangsa dan negara.

g. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai

contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece"

dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan

memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak

yang terkait.

h. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya

(trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga

pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah

Page 12: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan

kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah

untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

i. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama

Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila

setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?

Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik

pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan"

demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi

satu.

j. Memelihara Kesepakatan

Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki

terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis.

Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu

ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

k. Menuangkan ke dalam Hukum Positif

Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi

Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari

etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga

dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat

diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi

dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran

semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.

Page 13: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

III. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Pada sesi sebelumnya telah disebutkan salah satu factor yang harus diperhatikan

dalam menciptakan etika bisnis harus diciptakan tanggung jawab social, yang mana tanggung

jawab social bagi perusahaan dilakukan dengan program Corporate Sosial Responsibility

(CSR). Bank Dunia dalam Endro Sampurna (2007) mempunyai definisi CSR sebagai

berikut:

“CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development

working with employees andtheir representative, the local community and society at large to

improve quality of life, in ways that are both good forbusiness and good for development.”

(CSR merupakan komitmen bisnis yang berperan untuk pembangunan ekonomi, mendukung

kerjasana antar karyawan dengan pimpinan, menciptakan komunikasi social terhadap guna

meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar, dengan cara-cara yang baik bagi kegiatan

dan pengembangan perusahaan).

Menurut Canadian Business for Social Responsibility dalam Roida (2008), CSR

didefinisikan sebagai:

“A company’s commitment to operating in an economically and environmentally sustainable

manner; at the same time, recognize the interests of its stakeholders.” (komitmen perusahaan

untuk beroperasi secara ekonomis dan mendukung lingkungan, dan pada waktu yang sama

memperhatikan kepentingan stakeholders).

Berdasarkan definisi tersebut menunjukkan CSR disusun sebagai komitmen

perusahaan untuk menciptakan komunikasi sosial, antara manajemen perusahaan dengan

share holder, dan juga stakeholder sehingga kegiatan perusahaan dapat berjalan dengan baik.

Definisi tersebut mengindikasikan bahwa disusunnya CSR masih menunjukkan adanya cela

yaitu ditujukan untuk terciptanya eksistensi perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu

dijelaskan definisi CSR oleh Bateman dan Snell (2002) sebagai:

’...set of corporateactions that positively affects an identifiable social stakeholder’s interest

and does not violate the legitimate claims of another identifiable social stakeholder (in long

run)’. (satuan kegiatan perusahaan yang secara positif mengidentifikasi kebutuhan sosial

stakeholder dan tidak melanggar aturan dari sosial stakeholder dalam jangka panjang)

Page 14: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Sedangkan CSiR didefinisikan sebagai:

‘…the set of corporate actions that negatively affects an identifiable social

stakeholder’s legitimate claims (in long run)’. (satuan tindakan perusahaan yang secara

negative mempengaruhi sosial stakeholder dalam jangka panjang)

Dari definisi tersebut semakin diperjelas bahwa aktivitas CSR yang dilakukan oleh

suatu perusahaan tidak boleh melanggar peraturan/undang-undang yang berlaku terhadap

sosial stakeholder. Dengan demikian pelaksanaan CSR memerlukan tindakan aktif dari

pemerintah untuk sebagai regulator untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan

dengan perusahaan, seperti masyarakat sekitarnya. Sedangkan penilain perusahaan sudah

menjalankan CSR atau CSiR sangat tergantung pada seberapa banyak program yang

dijalankan perusahaan yang dianggap berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaan CSR dalam sutau organisasi atau perusahaan masih belum benar-benar

dilakukan didasarkan pada tanggun jawab sosial perusahaan. Carroll (1981)menyatakan: isu

social responsibilitydikenali dengan melakukan beberapa tanggung jawab sosial dan etika

bisnis pada aktivitas organisasi, yang selanjutnya berpengaruh pada pembuatan keputusan

manajer. Kebijakan ini bagaimanapun masih menjadi perdepatan bagi organisasi untuk

melanjutkan kegiatan tersebut atau tidak, karena hal tersebut memang benar-benar-benar

aktivitas social responsibility atau hanya untuk kepentingan organisasi. Uraian tersebut

menunjukkan bahwa perusahaan-dalam menjalankan CSR masih dikaitkan dengan

kepentingan-kepentingan perusahaan, seperti kelangsungan dan perkembangan perusahaan.

IV. MANFAAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY BAGI PERUSAHAAN

A.B Susanto (2007) mengemukakan bahwa dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam)

manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR.

1. Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima

perusahaan. Perusahaan yang menjalankan CSR secara konsisten akan mendapat

dukungan luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankan.

CSR akan mengangat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang akan

meningkatkan reputasi perusahaan.

Page 15: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan

dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah

perusahaan produsen consumer goods yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu

adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karen aperusahaan

tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan CSR-nya maka masyarakat

menyikapinya dengan tenang sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dn

kinerjanya.

3. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada

perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan

upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup

masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaaan ini pada akhirnya akan

menghasilkan loyalitas sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih

keras demi kemajuan perusahaan.

4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat

hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara

konsisten menunjukkan bahwa perusahaanmemiliki kepedulian terhadap pihak-pihak

yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka

raih.

5. Meningkatnya penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan

oleh perusahaan yang secara konsiten menjalankan CSRnya sehingga memiliki

reputasi yang baik.

6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.

Page 16: MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

DAFTAR PUSTAKA

http://www.cartidownload.ro/Diverse/573926/

Analisis_Peranan_Etika_Bisnis_Terhadap_CSR_Pada_PT_freePort_Indonesia