Makalah-Kelainan-Hati

58
BLOK HARD TISSUE SURGERY MAKALAH OSMCP “ANESTESI PADA KELAINAN HEPAR ” Dosen Pembimbing: drg. Iien Nur Alfiyatin Zuhro Disusun Oleh: Wulan Ratnasari G1G013013 Moh. Sawabi Ichsan G1G013018 Dani Intan Prabawati G1G013019 Maria Yuliani G1G013024 Fathin Fahmi G1G013027 Ageng Rahma H. I. G1G013056 Mayesa Fara Ulayya G1G013067 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN

description

makalah hati

Transcript of Makalah-Kelainan-Hati

Page 1: Makalah-Kelainan-Hati

BLOK HARD TISSUE SURGERY

MAKALAH OSMCP

“ANESTESI PADA KELAINAN HEPAR ”

Dosen Pembimbing:

drg. Iien Nur Alfiyatin Zuhro

Disusun Oleh:

Wulan Ratnasari G1G013013

Moh. Sawabi Ichsan G1G013018

Dani Intan Prabawati G1G013019

Maria Yuliani G1G013024

Fathin Fahmi G1G013027

Ageng Rahma H. I. G1G013056

Mayesa Fara Ulayya G1G013067

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2016

Page 2: Makalah-Kelainan-Hati

BAB I

PENDAHULUAN

Mandibula adalah tulang rahang pembentuk wajah yang paling besar, berat

dan kuat. Mandibula berfungsi dalam proses pengunyahan, penelanan, dan bicara.

Walaupun mandibula merupakan tulang rahang yang kuat, tetapi ia juga sering

mengalami cedera disebabkan posisinya yang menonjol pada tulang wajah.

Mandibula merupakan tulang rahang yang umum menerima benturan, baik yang

sengaja maupun tidak sengaja (Sjamsuhidajat dan Jong, 1997).

Bagian mandibula yang lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibula,

dan daerah mentalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan

antara frekuensi fraktur mandibula dengan daerah anatomi yang mengalami

fraktur. Fraktur subkondilar banyak ditemukan pada anak-anak, sedangkan fraktur

angulus lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda (Sjamsuhidajat dan

Jong, 1997).

Menurut Budiharja (2010), fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas

struktur tulang pada mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah

(mandibula) dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar. Fraktur

mandibula dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:

1. Fraktur tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan jaringan lunak.

2. Fraktur dengan terbukanya tulang disertai dengan kerusakan yang hebat dari

jaringan lunak.

Pada prinsipnya ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara

tertutup atau disebut juga perawatan konservatif dan cara terbuka yang ditempuh

dengan cara pembedahan. Pada teknik tertutup imobilisasi dan reduksi fraktur

dicapai dengan penempatan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur

terbuka bagian yang mengalami fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen

fraktur direduksi dan difiksasi secara langsung menggunakan kawat/plat yang

disebut wire atau plate osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan

tersendiri tetapi dapat diaplikasikan bersama atau disebut prosedur kombinasi.

Pada penatalaksanaan fraktur mandibula selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental

Page 3: Makalah-Kelainan-Hati

dan ortopedik sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali/mendekati

posisi anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi yang baik.

Kasus fraktur mandibula pada anak-anak memerlukan perhatian khusus

karena pertimbangan anatomi, potensi gangguan pertumbuhan dan kecepatan

penyembuhan. Kejadian dan etiologi trauma anak-anak sebagian besar

dipengaruhi oleh aktivitas yang berkaitan dengan usia, selain itu faktor sosial,

budaya dan lingkungan. Reduksi terbuka dan fiksasi internal tidak diragukan lagi

untuk menjadi terapi pilihan pada fraktur rahang bawah pada orang dewasa, sama

kemungkinan berlaku untuk populasi anak terutama karena mengembangkan

benih gigi di batas inferior dan potensi untuk menginduksi gangguan

pertumbuhan. Terlepas dari faktor-faktor ini, adanya kondisi sistemik yang

merugikan lebih lanjut dapat mengubah rencana perawatan yang direncanakan

(Kyrgidis, dkk; 2013).

Fraktur mandibula pada anak yang permukaan antigennya positif hepatitis B

(HbsAg) berhasil dikelola secara konservatif dengan pengurangan stabilisasi

tertutup menggunakan splints gigi akrilik yang dibuat pada model gigi. Teknik ini

membantu kami dalam mencegah cedera tusukan selama pemberian anestesi

lokal, pemasangan kawat mandibular sirkum dan melalui proses lengkap dari

suatu operasi invasif di bawah anestesi umum. Oleh karena itu, penyebaran virus

yang ditularkan melalui darah (hepatitis B) antara personil kamar operasi harus

dihindari dengan contoh kasus seorang anak 7 tahun dilaporkan ke Departemen

Mulut dan Maksilofasial Bedah dari U.P. Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi dan

Pusat Penelitian, Lucknow, dengan riwayat jatuh dari 10 kaki pohon jambu yang

tinggi. Pemeriksaan ekstraoral mengungkapkan adanya asimetri wajah dengan

bengkak ringan area parasymphysis kanan rahang bawah. Pada palpasi, ada

langkah dan nyeri di parasymphysis kanan dan daerah tubuh kiri rahang bawah.

Pemeriksaan intraoral menunjukkan oklusi ekstrim dengan open bite anterior dan

molar tersedak ke sisi kiri. Pada palpasi, ada pergerakkan dan nyeri di daerah

parasymphysis tepat antara insisivus desidui kanan bawah dan caninus desidui dan

daerah tubuh kiri antara molar 1 permanen dan permanen molar 2 yang tidak

tumbuh. Selain, pemeriksaan umum, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk

Page 4: Makalah-Kelainan-Hati

mengetahui keakuratan diagnosa, seperti pemeriksaan darah rutin [Hb%, jumlah

total leukosit (TLC), hitung diferensial leukosit (DLC), waktu perdarahan (BT),

pembekuan waktu (CT), HbsAg dan human immunodeficiency virus (HIV)]

daOPG) , PA pandangan rahang bawah dan pemeriksaan radiografi

[orthopantomogram lateral oblik] dilakukan.

Tata cara yang dilakukan dalam penanganan kasus ini yaitu cetakan alginat

dari rahang atas dan bawah yang dituangkan dengan gips, dimana cetakan rahang

bawah dipotong pada sisi yang patah dengan bantuan hex saw. Segmen dipotong

kemudian dikurangi sesuai antar puncak gigi dengan cetakan gigi atas dan

pengurangan posisi yang stabil. Belat oklusal dibuat melalui tekanan panas bahan

akrilik dengan pengurangan cetakan rahang bawah yang berlebih. Reduksi

tertutup dari segmen yang patah dilakukan anestesi lokal. Belat itu kemudian

diamankan selama pengurangan lengkung rahang bawah dengan bantuan seng

fosfat sebagai penyatu. OPG pasca operasi segera menunjukkan keadaan lumayan

baik pada kedua sisi yang patah. Pasien terus diet lunak rutin untuk jangka waktu

3 minggu. Belat telah dihapus dan penyembuhan setelah itu lancar.

Saat ini, ORIF telah menjadi standar untuk pengelolaan fraktur. ORIF

memberikan rekonstruksi tiga dimensi stabil, mendukung penyembuhan tulang,

memperpendek waktu perawatan dan menghilangkan kebutuhan untuk atau izin

rilis awal fiksasi maksilomandibula. (MMF), dengan demikian memungkinkan

mobilisasi rahang secara cepat. Meskipun tidak ada efek merugikan, pada manusia

dianjurkan pelat gigi seharusnya tidak melintasi garis jahitan atau garis tengah

rahang mandibula dan harus dihapus 2-3 minggu setelah penempatan. Juga,

penggunaan pelat resorbable dan sekrup untuk fiksasi fraktur wajah pada anak-

anak ditoleransi secara baik dan efektif. Kecondongan untuk melakukan reduksi

terbuka dan fiksasi langsung dalam upaya meminimalkan efek buruk pada

pertumbuhan mandibula, yang jangka MMF mungkin, harus seimbang dengan

potensi kerusakan bedah seperti periosteum, jaringan lunak, demikian pula adanya

benih gigi. Faktor yang berhubungan dengan gigi penting lainnya, mempengaruhi

keputusan pada pilihan pengobatan terbaik adalah jumlah gigi yang ada, usia gigi

sulung dan tingkat resorpsi tulang dan efek potensial pada pusat pertumbuhan

Page 5: Makalah-Kelainan-Hati

condyl. Semua faktor ini harus menyertakan dokter untuk merawat ketika

dihadapkan dengan fraktur mandibula pada anak di bawah usia 5 tahun, untuk

memberikan pertimbangan serius untuk manajemen konservatif. Pengurangan

anatomi yang tepat dan stabilitas tiga dimensi segmen fraktur, seperti yang

ditawarkan oleh ORIF, dapat diperdebatkan untuk atau terhadap manajemen

konservatif, tapi memperbaharui bentuk akhirnya terjadi di bawah pengaruh

tekanan pengunyahan, bahkan ketika ada aposisi tidak sempurna dari permukaan

tulang. Dengan demikian, ada kadar yang lebih besar dari toleransi yang sejalan

dengan bagian dan pemulihan oklusi, yang kemudian akan dikoreksi oleh

pertumbuhan tulang alveolar pada saat erupsi gigi permanen.

Meskipun pasien memiliki tingkat perpindahan yang signifikan di

parasymphysis karena tarikan ke bawah diberikan oleh perut anterior otot

digastrikus dan milohioid bertujuan untuk mencapai pengurangan dengan cara

tertutup dan diasumsikan bahwa jika kita bisa terus memotong bagian

parasymphyseal dengan belat, rotasi ke atas tubuh akan otomatis berkurang dan

terkendali. Pengurangan mandibula dan fabrikasi belat akrilik sangat baik dari

retensi di mulut pasien setelah pengurangan tertutup yang tanpa kekhawatiran

buruk pada anak-anak, seperti kerjasama, kepatuhan dan asupan gizi. Prosedur

tidak hanya menyelamatkan kita dari stigma menempatkan anak HbsAg positif di

bawah anestesi umum untuk operasi oleh ORIF tetapi juga memungkinkan kita

lolos dengan fiksasi belat tanpa pemasangan kawat sirkum mandibular, sehingga

mencegah setiap kemungkinan virus melalui darah yang menimbulkan infeksi

silang akibat cedera tusukan.

Jadi, kesimpulan yang dapat diperoleh dari kasus di atas adalah pengalaman

klinis kami didukung oleh laporan dari literatur yang menunjukkan bahwa

protokol konservatif pengobatan (penurunan tertutup) dan stabilisasi dengan belat

gigi adalah modal pengobatan yang efektif untuk patah tulang anak pada

mandibula. Meskipun reduksi terbuka dan fiksasi internal secara luas digunakan,

reduksi tertutup, dimanapun dapat dicapai, menghindari risiko yang berpotensi

mengganggu pertumbuhan pembedahan intervensi.

Page 6: Makalah-Kelainan-Hati

BAB II

ISI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hepatitis B

a) Gambaran Umum

Hepatitis B pertama kali dikenal dengan istilah “Penyakit

kuning” dan sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu yaitu

sejak abad 5 SM di Babilonia. Kemudian Hipocrates seorang

tabib Yunani Kuno (460-375 SM), yang menemukan bahwa

penyakit kuning ini menular sehingga ia menamakan penyakit

tersebut sebagai icterus infectiosa. Sifat menular dari penyakit ini

telah diketahui pada abad 8 M, ketika Paus Zacharias

menganjurkan suatu tindakan untuk mencegah penularan lebih

lanjut yaitu dengan melakukan isolasi terhadap penderita.

Penyakit kuning meerupakan hepatitis virus ini yang dikenal

sebagai Water Viral Hepatitis tercatat sebagai wabah untuk

pertama kali pada tahun 1895 di Inggris, kemudian timbul di

Skandinavia pada tahun 1916 dan tahun 1944, lalu di New Delhi

tahun 1955.Pada tahun 1963 jenis hepatitis ini dikenal dengan

Hepatitis Serum yaitu hepatitis yang cara penularannya melalui

darah dengan masa tunas 2-6 bulan. Pada tahun 1965 virus

hepatitis B (VHB) kemudian ditemukan pertama kali oleh Dr.

Baruch S. Blumberg dan asistennya Dr. Barbara Werner. Mereka

mendeteksi adanya suatu antigen dalam darah seorang warga

Suku Aborigin Australia penderita hemophilia. Antigen ini

kemudian dinamakan australian antigen. Sekarang lebih dikenal

nama antigen permukaan VHB (HBsAg) karena terdapat

dipermukaan VHB.

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati atau yang disebut

penyakit kuning disebabkan oleh virus hepatitis B, yaitu suatu

Page 7: Makalah-Kelainan-Hati

anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan

peradangan hati akut atau menahun sehingga dapat berlanjut

menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi virus hepatitis B

merupakan suatu infeksi sistemik yang dapat menimbulkan

peradangan dan nekrosis sel hati yang mengakibatkan terjadinya

serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan

morfologik. Hepatitis B dapat dibedakan menjadi 2 yaitu,

Hepatitis B akut yaitu jika perjalanan penyakit kurang dari 6

bulan sedangkan Hepatitis B kronis apabila penyakit menetap,

tidak menyembuh secara klinis ataulaboratorium atau pada

gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa

&Kurniawaty, 2013).

b) Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut

cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya

angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila

menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis

virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et

al, 2010).

1) Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:

(a) Fase Inkubasi

Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya

gejala atauikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara

15-180 hari dengan ratarata 60-90 hari.

(b) Fase prodromal (pra ikterik)

Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan

timbulnya gejalaikterus. Awitannya singkat atau insidous

ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah

lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau

konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan

dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang

Page 8: Makalah-Kelainan-Hati

diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan

kolestitis.

(c) Fase ikterus

Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul

bersamaandengan munculnya gejala. Banyak kasus pada

fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang

terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan

terjadi perbaikan klinis yang nyata.

(d) Fase konvalesen (penyembuhan)

Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,

tetapihepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.

Muncul perasaansudah lebih sehat dan kembalinya nafsu

makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin

lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan

(Sudoyo et al, 2009).

2) Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang

berlanjut lebihdari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala

penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase

penting yaitu :

(a) Fase Imunotoleransi

Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga

konsentrasi virus tinggidalam darah, tetapi tidak terjadi

peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada

dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangattinggi.

(b) Fase Imunoaktif (Clearance)

Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat

terjadinya replikasivirus yang berkepanjangan, terjadi proses

nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.

Fase clearance menandakan pasien sudahmulai kehilangan

toleransi imun terhadap VHB.

(c) Fase Residual

Page 9: Makalah-Kelainan-Hati

Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan

pecahnya sel-selhati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari

individu tersebut akhirnyadapat menghilangkan sebagian

besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti.

Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg

yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif,

serta konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al, 2009).

c) Cara pemeriksaan

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaanpenunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu

digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas,

riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik

didapatkanhepatomegali.Pemeriksaan penunjang terdiri dari

pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar

(Mustofa &Kurniawaty, 2013).

Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri daripemeriksaan

biokimia, serologis, dan molekuler (Hardjoeno, 2007).

Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis,

selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran

peradangan dan fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013).\

Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :

1. Pemeriksaan Biokimia

Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat

>10 kalinilai normal, serum bilirubin normal atau hanya

meningkat sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3

kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol dapat

mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan

AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali nilai

normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin

meningkat(Hardjoeno, 2007).

2. Pemeriksaan serologis

Page 10: Makalah-Kelainan-Hati

Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis

penandainfeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi

bertahan di serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan

HBsAg berhubungan dengan selubung permukaan virus.

Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang

menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier

(Hardjoeno,2007).

3. Pemeriksaan molekuler

Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara

laboratoriumuntuk deteksi dan pengukuran DNA VHB

dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin

bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan

prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.

Metode pemeriksaannya antara lain:

a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena

waktu paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus

dalam prosedurkerja dan limbahnya.

b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan

teknikhibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan

radioisotop karena sistem deteksinya menggunakan substrat

chemiluminescence.

c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA)

bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi

hanya dari beberapa target molekul asam nukleat.

d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain

Reaction/PCR) telahdikembangkan teknik real-time PCR

untuk pengukuran DNA VHB.Amplifikasi DNA dan

kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam

suatu alat pereaksi tertutup (Hardjoeno, 2007).

4. Cara Penularan

Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan

Page 11: Makalah-Kelainan-Hati

menembus membranmukosa, terutama berhubungan seksual.

Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap

cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata,

cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu.

Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah

diketahui infeksius (Thedja, 2012).

Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang

terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal

(transmisi) maternal-neonatal atau horisontal(kontak antar

individu yang sangat erat dan lama, seksual,

iatrogenik,penggunaan jarum suntik bersama). Virus

Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan

tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum

(Juffrie et al, 2010).

Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu

transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

a. Transmisi vertikal

Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal).

VHB ditularkan dari ibu kepada bayinya yang

disebut juga penularan Maternal Neonatal.

Penularan cara ini terjadi akibat ibu yang sedang

hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu

memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha,

2004).

b. Transmisi horisontal

Penularan atau penyebaran VHB dalam masyarakat.

Penularan terjadi akibat kontak erat dengan

pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B

akut. Misalnya pada orang yang tinggal serumah

atau melakukan hubungan seksual dengan penderita

Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

Page 12: Makalah-Kelainan-Hati

Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada

bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi

saat lahir bayi akan menjadi carrier seumur hidup bahkan

nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati. Selain itu

penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak

dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B.

2. Anestesi

Menurut Latief (2001), anestesi pertama kali ditemukan oleh O.W.

Homes. Anestesi dalam bahasa Yunani, “an” berarti tidak atau tanpa dan

“aesthetes” berarti kemampuan untuk merasa. Secara umum, anestesi

merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika

melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang dapat

menimbullkan rasa sakit dalam tubuh.

Anestesi dibagi menjadi dua jenis, yaitu anestesi umum dan

anestesi lokal. Anestesi umum merupakan hilangnya kesadaran serta

berbagai sensasi rasa secara reversibel dalam tubuh. Sedangkan anestesi

lokal merupakan obat yang menghambat konduksi saraf terhadap rangsang

rasa, suhu, tekanan secara reversibel (dapat pulih kembali) pada daerah

spesifik (J. A. Baart, 2008).

Secara garis besar, perbedaan antara anatesi umum dan anestesi

lokal adalah pada lokasi pembiusan dan tingkat kesadaran pasien. Menurut

Catterall dan Mackie (2008) pada anestesi umum rasa nyeri hilang

bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Namun pada anestesi

lokal kesadaran tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat

(lokal). Anestesi lokal lebih bersifat ringan sehingga biasanya digunakan

untuk tidakan yang hanya perlu waktu yang singkat seperti bedah minor

contohnya sirkumsisi (sunatan), ekstraksi gigi, sulam bibir hingga merawat

luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.

1. Anestesi Umum

Menurut Bachsinar dan Karakata (1995), anestesi umum digunakan

ketika operatif memerlukan durasi yang lebih lama. Tetapi pada

Page 13: Makalah-Kelainan-Hati

beberapa kasus, para ahli anestesi lebih memilih menggunakan anestesi

lokal. Hal ini dikarekan pada beberapa kasus, penggunaan anestesi

dalam dosis tertentu dapat menimbulkan komplikasi bahkan kematian.

Adapun beberapa indikasi pada penggunaan anestesi umum:

a) Terdapat riwayat kesehatan seperti gangguan darah, ginjal dan hati

b) Terdapat infeksi pada daerah yang akan di anestesi

c) Pasien alergi terhadap anestesi lokal

d) Pasien tidak kooperatif dengan kondisi kesehatan yang parah

2. Anestesi Lokal

Pada umumnya, struktur dasar anestetika lokal terdiri satu gugus-

amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan

ester (alcohol) atau amida dengan satu gugus aromatis lipofil. Secara

kimiawi bahan anestetikum lokal dapat diklasifikasikan menjadi dua

golongan yaitu

yaitu golongan ester dan golongan amida. Golongan ester seperti kokain,

prokain, benzokain, piperokain, tetrakain. Golongan amida seperti

lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain. Sebagian besar

golongananestesi lokal bersifat vasodilator (melebarkan pembuluh darah)

kecuali kokain yang bersifat vasokonstriksi. Sifat vasodilator ini dapat

mengakibatkan peningkatan toksisitas dan durasi obat semakin singkat,

sehingga perlu ditambahkan adrenalin yang bersifat vasokonstriktor.

(Bachsinar dan Karakata, 1995; Purwanto, 1993).

a. Indikasi penggunaan anestesi lokal

1) Bedah minor

2) Penggunaan anestesi lokal emulsi pada pasien hipersensitifitas

3) Menghindari penggunan obat anestesi umum yang berlebihan

4) Bedah pada permukaan epidermis

5) Keadaan darurat serta tidak memungkinkan menggunakan anestesi

umum

b. Macam-macam Anestesi Lokal

1) Topikal

Page 14: Makalah-Kelainan-Hati

Anestesi lokal topikal diaplikasikan pada daerah mukosa yang

dapat memberikan efek baal pada ujung saraf. Berkut beberapa

contoh anestesi lokal topikal:

a) Spray

Aksi bekerja sangat cepat dibandingan jenis bahan lainnya

dengan onset 1 menit dan durasi 10 menit.

b) Salep

Onset pada jenis anestesi ini selama 2 menit dengan durasi

sekitar 1 jam.

c) Emulsi

Aplikasi obat sebanyak 1 sendok takar sesuai ukuran dan

dikumur oleh pasien. Biasanya jenis bahan ini digunakan

sebelum pencetakan rahang pada pasien dengan

hipersensitifitas yang tinggi dengan bahan cetak gigi.

2) Infiltrasi

a) Submukosa

Aplikasi infiltasi submukosa berada tepat di bawah mukosa,

biasanya digunakan pada operasi jaringan lunak.

b) Supraperiosteal

Aplikasi jenis bahan ini berada di depan bagian periosteum,

yang nantinya akan berdifusi.

c) Subperiosteal

Anestesi ini didepositkan antara bagian periosteum dan bidang

kortikal. Bahan jenis ini biasanya digunakan pada palatum.

d) Intaoseus

Aplikasi anestesi ini didepositkan pada tulang medularis.

e) Intraligamen

Anestesi intraligamen aplikasikan pada sulkus gingival.

f) Intrasepta

3) Blok

Page 15: Makalah-Kelainan-Hati

a) Zygomatik, mempengaruhi n. aleveolaris superior posterior

dan n. bucalis.

b) Infraorbita, mempengaruhi n. alveolaris superior media dan n.

alveolaris anterior.

c) Mentalis, mempengaruhi n. mentalis

d) Mandibula, mempengaruhi n. alveolaris inferior

(Abdullah, 2007)

c. Persarfan Anestesi Lokal

(Purwanto, 1993)

No Divisi Cabang Lokasi Daerah yang

teranestesi

1. Divisi 1

(Infraorbitalis

)

- Keluar dari fissura

orbitalis superior

Orbita, dahi, kulit

kepala, sinus

frontalis dan

palpebra superior

2. Divisi 2

(Maxillaris)

Cabang Pertama

a. N.

Nasopalatian

b. N. Palatinus

major

a. Keluar dari

Ganglion

Meckeliensis,

berjalan

disepanjang

septum nasi

hingga berujung

pada foramen

insisiv

b. Keluar dari

ganglion

Meckeliensis,

berjalan melalui

canalis palatina

mayor hingga

a. Mukoperiosteu

m sebelah

palatal gigi-gigi

anterior atas

(caninus dextra

hingga caninus

sinistra)

b. Mukoperiosteu

m sebelah

palatal gigi

molar atas

hingga premolar

atas dan

Page 16: Makalah-Kelainan-Hati

menuju foramen

palatina mayor

mukoperiosteu

m gigi caninus

Cabang Kedua

(N. Alveolaris

Superior

Posteior)

Berada tepat

sebelum n.

maxillaris masuk ke

dalam fissura

orbilatis inferior

Semua akar gigi

molar 3, molar 2

serta akar

distobukal dan akar

bagian palatum

molar 1

Cabang Ketiga

(N. Alveolaris

Superior Media)

Berada pada

pertengahan canalis

infraorbita

Gigi premolar satu,

premolar du dan

akar gigi

mesiobukal molar

satu atas

Cabang

Keempat (N.

Alveolaris

Superior

Anterior)

Berada 5 mm

sebelum foramen

infraorbitalis

Gigi insisivus

sentral, insisivus

lateral, caninus,

membrana mukosa

labial, periosteum

dan alveolaris pada

salah satu sisi

3. Divisi 3 (N.

Mandibularis)

N. Buccalis

Longus

Keluar dari foramen

ovale, berada di

sebelah bukal gigi

molar ketiga atas

Membran mukosa

bukal,

mukoperiosteum

sebelah lateral

lateral gigi molar

atas dan bawah

N. Lingualis Berjalan melalui m.

Pterygoideus

internus, berlanjut ke

Dua pertiga

anterior lidah,

mukoperiosteum

Page 17: Makalah-Kelainan-Hati

lingual apeks gigi

molr ketiga bawah

dan masuk ke dalam

basis lidah

dan membrana

mukosa lingual

N. Alveolaris

Inferior

a. N.

Mylohioideus

b. Rami

Dentalis Brevis

c. N. Mentalis

d. N. Incisivus

a. Keluar sebelum n.

alveolaris inferior

masuk ke dalam

foramen

b. berada di dalam

canalis mandibula

c. Keluar dari

foramen mentalis

d. percabangan

setelah foramen

mentalis

a. M.

Mylohyoideus, m.

Digastici pada

dasar mulut

b. Gigi molar,

premolar,

processus

alveolaris

c. kulit dagu, kulit

dan membrana

mukosa labium

inferior

d. gigi insisivus

sentral, insisivus

lateral dan caninus

Persarafan N. Maksila

Page 18: Makalah-Kelainan-Hati

Persarafan N. Mandibula

(Purwanto, 1993; Scheid, 2007)

c. Pendahuluan Fraktur

Patah tulang atau fraktur merupakan terputusnya hubungan dari

suatu jaringan tulang. Terputusnya hubungan tulang tersebut dapat

berupa patah tulang, retak, ataupun pecah. Fraktur maksilofasial adalah

fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal,

temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur

dapat terjadi baik pada tulang kompak, epifisis, ataupun tulang rawan

sendi (Bailey, 1992).

Fraktur paling sering terjadi disebabkan karena kecelakaan.

Fraktur juga dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah

karena jatuh dari ketinggian, perkelahian, kecelakaan kerja atau

kecelakaan saat olahraga, serta karena faktor patologis. Selain itu

fraktur juga dapat disebabkan karena kontraksi otot yan berlebih

sehingga mengakibatkan tulang mendapat tekanan berlebih (Budiharja,

2011).

Kerangka wajah manusia tersusun atas sejumlah tulang, sinus,

serta gigi. Keberadaan sutura, foramen, dinding yang tipis, serta sinus

pada beberapa bagian di wajah dapat mempermudah terjadinya fraktur.

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan pada bagian anatomis yang

relatif lemah. Hal ini akan menyebabkan diskontinu pada tulang,

terputusnya komponen neurovaskular, serta cedera pada jaringan

Page 19: Makalah-Kelainan-Hati

fraktur (Pedersen, 1996). Pengklasifikasian fraktur secara umum yaitu

(Balaji, 2009):

a. Fraktur sederhana atau fraktur tertutup, yaitu keadaan fraktur

dengan jaringan lunak yang terkena tidak terbuka.

b. fraktur terbuka, yaitu keadaan dimana jaringan lunak seperti kulit,

mukosa atau ligamen periodontal terbuka hingga area fraktur pada

tulang terlihat dengan jelas.

c. Fraktur comminuted, yaitu fraktur yang terjadi pada suatu daerah

tulang yang mengakibatkan tulang menjadi berfragmen-fragmen

d. Fraktur greenstick, yaitu fraktur tidak sempurna dimana tidak

seluruh kontinuitas tulang terputus, tetapi hanya sebagian saja.

e. Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh adanya

kelainan pada tulang.

Fraktur pada area maksilofasial terdiri dari beberapa tipe, diantaranya

adalah fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur nasal,

fraktur maksila, fraktur mandibula, dan fraktur dento-alveolar (Bailey,

1992).

a. Fraktur zikomatikus – arkus zigomatikus

Kejadian patah tulang pada os. Zigomatikus sering terjadi dengan

melibatkan tulang disekitarnya. tulang pada area os. Zigomatikus

merupakan daerah yang kompleks, karena pada area tersebut terdapat

gambar 1Klasifikasi fraktur secara umum a. Fraktur tertutup b. Fraktur terbuka c. Fraktur comminude d.Fraktur patologis e. Fraktur langsung dan tidak langsung (Balaji, 2009)

Page 20: Makalah-Kelainan-Hati

hubungan antara os. Maksila, os. Frontal, dan os. Temporalis.

Hubungan tersebut yang menyebabkan apabila terjadi fraktur pada

daerah tersebut sering melibatkan tulang-tulang disekitarnya. bagian

yang sering mengalami fraktur yaitu pada daerah zigoma beserta

suturanya, namun tidak mengakibatkan perpindahan posisi tulang.

Fraktur tersebut disebabkan oleh adanya benturan atau pukulan

(Bailey, 1992).

b. Fraktur Nasal

Fraktur jenis ini juga sering disebut dengan fraktur kompleks nasal.

Berdasarkan sebutan tersebut dapat disimpulkan bahwa fraktur pada

area nasal juga dapat melibatkan lebih dari satu tulang saja, melainkan

dapat juga disertai fraktur pada daerah prosessus frontalis dan dinding

bagian bawah pada tulang orbita. Fraktur nasal juga disertai dengan

perpindahan tulang dan septum hidung (Bailey, 1992).

c. Fraktur Maksila

Patah tulang pada area maksila diabagi menjadi beberapa klasifikasi,

yaitu fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan fraktur Le Fort III. Fraktur

tersebut dikelompokkan berdasarkan garis fraktur pada tulang

maksila.

1) Fraktur Le Fort I

Fraktur pada jenis Le Fort I dapat terjadi secara tunggal atau

kompleks bersamaan dengan fraktur tipe Le Fort II dan III.

Fraktur Le Fort I memiliki karakteristik berupa garis fraktur yang

transverses dan meluas melalui lubang periform yang berada di

atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksila, daerah posterior

yang tepatnya pada pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan

maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian

atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le

Fort I ini juga biasa disebut sebagai fraktur transmaksilari

(Budiharja, 2011).

2) Fraktur Le Fort II

Page 21: Makalah-Kelainan-Hati

Fraktur tipe ini lebih jarang terjadi, dan kondisinya hampir mirip

dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan

dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan

sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis

merupakan sutura yang sering terkena (Budiharja, 2011).

3) Fraktur Le Fort III

Patah tulang tipe Le Fort III juga dapat disebut Fraktur

craniofacial disjunction. Fraktur jenis ini merupakan cedera yang

parah, karena bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari

tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya juga

disertai dengan adanya cedera kranioserebral, yang merupakan

bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma

yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk

mengakibatkan trauma intrakranial (Budiharja, 2011).

Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling sering ditemukan

pada kasus fraktur maksilofasial, yaitu sekitar 70%. Fraktur mandibula

paling sering terjadi pada daerah subkondilar, angulus mandibula, dan

daerah mentalis. Fraktur pada bagian kondil terjadi sekitar 29% dari

kasus yang ditemukan, fraktur angulus terjadi pada 26% kakus, fraktur

korpus mandibula terjadi pada 25% kasus, fraktur symphisis terjadi pada

15% kasus, fraktur ramus terjadi pada 4% kasus, dan fraktur prosessus

koronoid terjadi pada 1% kasus (Balaji, 2009). Pasien yang mengalami

fraktur mandibula akan mengeluhkan rasa sakit, kesulitan dan

ketidakmampuan untuk mengunyah, dan dapat pula terjadi

pembengkakan. Selain itu, pasien dengan fraktur mandibula sering

mengalami gangguan pada oklusi. Apabila perawatan fraktur mandibula

tidak dilakukan secara cepat dan benar maka akan menimbulkan

maloklusi, infeksi, trismus, dan penyatuan tulang yang tidak baik

(Pedersen, 1996).

gambar 2 KIasifikasi fraktur maksila menurut Leport (Miloro, dkk., 2011)

Page 22: Makalah-Kelainan-Hati

Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan

menentukan jenis terapi yang akandiberikan pada pasien. Klasifikasi

fraktur mandibula berdasarkan ada tidaknya gigi, yaitu (Balaji, 2009): 

1) Fraktur kelas 1, yaitu terdapat gigi di 2 sisi fraktur.

2) Fraktur kelas 2, yaitu gigi hanya terdapat di salah satu sisi yang

mengalami fraktur.

3) Fraktur kelas 3, yaitu tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur.

d. Diagnosis fraktur mandibula

Diagnosis kasus fraktur mandibula dapat dilakukan dengan

memperhatikan riwayat pasien, pemeriksaan klinik baik intraoral

maupun ekstraoral serta pemeriksaan radiografi.

a. Riwayat pasien

Riwayat pasien dapat digunakan sebagai perkiraan penyebab

terjadinya rasa sakit pada mandibula. Pasien yang menalami fraktur

mandibula sering mengeluhkan timbulnya rasa sakit serta kesulitan

menggerakkan rahang. Beberapa riwayat seperti adanya kelainan

pada tulang, neoplasma pada area rahang, kelainan metabolik dan

nutrisi, arthritis, dan kelainan endokrin dapat menjadi salah satu

penyebab yang secara tidak langsung dapat menimbulkan fraktur

mandibula. Selain itu, riwayat terjadinya trauma juga dapat

membantu memperkirakan apakah fraktur terjadi pada satu tempat

atau beberapa tempat serta memperkirakan area yang mengalami

fraktur (Balaji, 2009).

b. Pemeriksaan klinis

Diagnosis kasus fraktur mandibula dapat dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan klinis, baik pemeriksaan ekstraoral maupun

pemeriksaan intraoral. Pemeriksaan awal pasien dengan trauma

orofasial harus diarahkan pada saluran pernafasan, adekuasi dari

ventilasi, dan kontrol pendarahan eksternal yang dapat mengganggu

keselamatan jiwa pasien lalu lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital

Page 23: Makalah-Kelainan-Hati

serta pemeriksaann neurologis. Pemeriksaan ekstraoral dapat

dilakukan dengan melihat apakah terdapat pembengkakan, eritema,

laserasi, ekimosis, ataupun pendarahan terutama pada area yang

mengalami trauma. Periksa pula apakah saraf kranial pasien masih

dapat berfungsi dengan baik dengan cara menginstruksikan pasien

untuk menggerakkan alis, bola mata, sudut bibir, dan sebagainya.

Dokter gigi dapat melalukan palpasi secara bilateral dari mulai aspek

medial dari cincin supraorbital lalu turun ke os.nasal dan sutura

frontonasalis. Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin

supraorbital ke sutura zygomaticofrontalis lalu susuri cincin

infraorbital untuk mengevaluasi adanya fraktur pada sutura

zygomaticomaxillaris. Pemeriksaan fraktur mandibula dapat

dilakukan dari daerah kondil lalu turun kebawah sepanjang batas

inferior dari mandibula. Apabila terdapat bagian yang terasa sakit,

baal, dan tulang yang terasa lebih lunak atau bahkan terdapat

deformitas dan krepitus pada tulang maka hal tersebut menunjukkan

adanya fraktur (Pedersen, 1996). Selain itu, perubahan pada oklusi

juga dapat menjadi suatu tanda terjadinya fraktur mandibula.

Perubahan oklusi dapat terjadi karena adanya fraktur pada gigi,

prosessus alveolar gigi, fraktur mandibula maupun adanya trauma

pada sendi temporomandibular. Periksa pula apakah terjadi

keterbatasan pada pergerakan mandibula (Balaji, 2009).

Pemeriksaan intraoral dapat dilakukan dengan melihat apakah

terdapat ekimosis pada mukosa rongga mulut. Selain itu, periksa tiap

gigi untuk mengetahui apakah terdapat fraktur, luksasi, adanya gigi

yang tanggal, ataupun terdapat crown ataupun tumpatan yang hilang

(Balaji, 2009).

c. Pemeriksaan Radiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk memastikan lokasi terjadinya

fraktur mandibula. Teknik radiografi yang paling sering digunakan

pada kasus fraktur mandibula adalah dengan menggunakan roentgen

Page 24: Makalah-Kelainan-Hati

panoramik karena teknik ini relatif lebih mudah dilakukan dan dapat

memperlihatkan seluruh bagian dari mandibula, namun jenis

radiografi lain juga dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan

pad fraktur mandibula. Teknik lateral oblique sering digunakan

untuk membantu dalam diagnosis fraktur pad daerah ramus, angulus

dan corpus bagian posterior dari mandibula, sedangkan teknik

oklusal mandibula juga dapat digunakan untuk melihat diskrepansi

medial dan lateral dari fraktur serta melihat terjadinya displacement

secara anteroposterior. Teknik reverse towne’s view dapat digunakan

untuk melihat adanya displacement medial dari kondil sertafraktur

pada kondil (Balaji, 2009).

e. Penatalaksanaan fraktur mandibula

Penyembuhan fraktur mandibula bergantung pada proses

penyatuan kembali fragmen-fragmen atau reduksi yang adekuat serta

imobilisasi. Penyembuhan fragmen fraktur yang telah distabilisasi

dengan baik akan diawali dengan terbentuknya hematoma dan

selanjutnya akan terbentuk kalus akibat adanya aktivitas fibroblas.

Kalus yang terbentuk akan menunjang penyatuan kembali fragmen-

fragmen tulang secara mekanis (Pedersen, 1996).

Penanganan kasus fraktur mandibula dapat dilakukan dengan 2

cara, yaitu cara tertutup atau konservatif dan cara terbuka atau

pembedahan. Teknik konservatif dapat dilakukan dengan memberikan

peralatan fiksasi maksilomandibular untuk mereduksi fraktur dan

imobilisasi mandibula, sedangkan teknik pembedahan segmen yang

mengalami fraktur akan direduksi dan difiksasi secara langsung

dengan menggunakan kawat atau plat. Kedua cara ini dapat

dikombinasikan secara bersamaan pada kasus tertentu. Teknik

pembedahan juga dapat dimodifikasi menjadi metode fiksasi skeletal

eksternal dengan cara mengaitkan kedua segmen yang terpisah dengan

pin yang terbuat dari logam atau akrilik untuk menstabilkan segmen

tanpa melakukan imobilisasi mandibula (Pedersen, 1996).

Page 25: Makalah-Kelainan-Hati

a. Teknik Konservatif

Teknik konservatif diindikasikan pada kasus dimana terdapat

gigi pada setiap segmen dan hanya membutuhkan pergeseran yang

sedikit. Alat yang digunakan untuk teknik konservatif menggunakan

gigi untuk perlekatan alat. Indikasi penggunakaan teknik konservatif

yaitu:

1) Pada kasus fraktur favourable tanpa adanya pergeseran tempat

2) Fraktur anak pada kondisi mixed dentition karena teknik

pembedahan dapat mempengaruhi benih gigi pengganti.

3) Fraktur pada daerah yang hanya dilapisi sedikit jaringan lunak

karena peralatan yang digunakan pada teknik pembedahan

seperti plat tulang dan sekrup akan mempengaruhi penyatuan

tulang dengan mengganggu suplai darah ke area tersebut.

4) Fraktur comminuted yang luas karena penyatuan kembali

fragmen-fragmen tulang dapat terjadi apabila terdapat suplai

darah yang baik, sedangkan reduksi dengan teknik pembedahan

dapat mengganggu suplai darah pada fragmen tulang.

5) Fraktur pada mandibula oedentolous karena pada teknik

pembedahan diperlukan ketebalan tulang yang cukup untuk

menempatkan sekrup, sedangkan pada mandibula oedentolous,

ketebalan tulang sudah berkurang.

6) Fraktur kondil tanpa adanya displacement dan hanya ada sedikit

gangguan pada oklusi

7) Fraktur prosessus koronoid yang sederhana dengan hanya sedikit

displacement.

Teknik konservatif yang dapat dilakukan pada penanganan kasus

fraktur mandibula yaitu (Pedersen, 1996):

1) Fiksasi maksilomandibular yang dapat dilakukan dengan

menggunakan elastik atau kawat untuk menghubungkan loop arch

bar atau alat maksilar dan mandibular yang m lain.

Page 26: Makalah-Kelainan-Hati

2) Teknik eyelet yang dapat dilakukan dengan memilinkan kawat satu

sama lain sehingga membentuk loop dan diletakkan di daerah

bukal lalu ujung kawat dilewatkan pada ruang interproksimal.

Salah satu ujung kawat diletakkan pada bagian distal dari gigi pada

sebelah distal looplalu diarahkan kembali melalui loop, sedangkan

ujung lainnya diletakkan pada bagian distal dari gigi di sebelah

mesialloop kemudian keuda ujung kawat dipilin dan dilipat pada

aspek mesial dari gigi mesial. Cara ini sering digunakan untuk

penanganan kasus dengan cepat untuk mendapatkan stabilisasi

sementara atau apabila durasi anestesi umum harus dikurangi.

3) Splint yaitu suatu alat individual yang digunakan untuk imobilisasi

atau membantu imobilisasi fragmen-fragmen fraktur yang dapat

terbuat dari akrilik maupun logam. Penggunaan splint

diindikasikan untukmencegah kolaps atau untuk mendapatkan

kembali panjang lengkung rahang apabila substansi tulang

menghilang.

4) Gunning splint yaitu fiksasi rahang dengan menggunakan protesa

gigi yang pada bagian interproksimalnya diberi lubang lalu

dilakukan pengawatan arch bar pada basis protesa.

5) Fiksasi tulang eksternal yang dapat dilakukan dengan alat yaitu

Bi-phase dengan cara menginsersikan pin pada tiap segmen fraktur

lalu pin tersebut akan dijembatani dengan bar.

b. Teknik pembedahan

Penanganan kasus fraktur mandibula melalui teknik pembedahan

dapat dilakukan melalui kulit ataupun dari oral. Indikasi

digunakannya teknik pembedahan pada penatalaksanaan fraktur

mandibula, yaitu (Balaji, 2009):

1) Fraktur unfavourable pada angulus mandibula, corpus

mandibula, serta symphisis.

2) Fraktur kondil bilateral

3) Fraktur fragmen yang tidak ditangani dengan segera

Page 27: Makalah-Kelainan-Hati

4) Kegagalan pada penatalaksanaan teknik konservatif seperti tidak

terbentuknya penyatuan tulang yang baru

5) Fraktur yang kompleks

6) Fraktur yang membutuhkan bone grafting

f. Fraktur mandibula pada anak

Fraktur yang paling sering ditemukan pada anak-anak ialah fraktur

greenstick. Penatalaksanaan fraktur mandibula pada anak-anak

tergantung pada jenis fraktur serta tahap perkembangan tulang dan

gigi. Masalah pada perawatan fraktur orofasial yang terjadi pada anak

berhubungan dengan pertumbuhan rahang yang masih berlangsung

serta banyaknya gigi yang memenuhi rahang. Perawatan fraktur pada

anak difokuskan terhadap pusat pertumbuhan mandibula yang

memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan wajah dengan

tujuan agar penanganan yang dilakukan dapat mengembalikan tulang

rahang seperti sebelum terjadinya trauma baik secara anatomis maupun

secara fisiologis. Hal ini menyebabkan para ahli lebih cenderung

menggunakan teknik konservatifpada fraktur mandibula pada

anakuntuk meminimalisir terjadinya kelainan pada pertumbuhan

kraniofasial dikemudian hari. Sebagian fraktur pada anak tidak

membutuhkan intervensi, namun yang dibutuhkan adalah pemberiaan

analgesik, pengompresan dengan es, serta diet lunak. Teknik

pembedahan pada fraktur orofasial anak sebaiknya dihindari apabila

memungkinkan karena rahang anak yang sempit sehingga kurang

memungkinkan untuk menginsersi kawat atau sekrup transoseus

(Fleisher dan Ludwig, 2010).

g. Splint

Fraktur mandibula pada dasarnya dapat ditangani dengan dua

piranti, yaitu denture yang berfungsi sebagai splint dan splint itu

sendiri. Kedua piranti tersebut berfungsi mempertahankan gigi yang

termasuk dalam area fraktur beserta jaringan periodontalnya,

Page 28: Makalah-Kelainan-Hati

menggantikan fungsi mastikasi gigi sementara dan membantu fungsi

oklusi (Bailey, 2001). Dental splinting adalah penggabungan dua atau

lebih gigi menjadi sebuah unit yang rigid dengan restorasi atau

perangkat tetap maupun lepasan. Splint merupakan suatu alat yang

digunakan untuk imobilisasi daerah yang mengalami trauma seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya (Reddy, 2008). Indikasi denture

splint dan splint adalah sebagai berikut :

a. Denture splint

1) Menyediakan fiksasi intermaksila (IMF) untuk pasien dengan

kondisi edentulous (tak bergigi).

2) Menangani fraktur pada bagian korpus mandibula pada pasien

dengan kondisi edentulous di mana terapi bedah menjadi

kontraindikasi.

b. Splint

1) Menangani fraktur korpus mandibula pada pasien anak dengan

rentag usia 8-9 tahun.

2) Fraktur korpus mandibula bilateral disertai rotasi inferior pada

segmen anterior.

3) Fraktur simfisis dan parasimfisis disertai fraktur posterior

bilateral.

4) Fraktur multiple dengan stabilitas mandibula yang rendah.

5) Hilangnya gigi dalah jumlah banyak akibat trauma.

Kontraindikasi penggunaan splint adalah pada pasien dengan trauma

akut, kebersihan rongga mulut yang buruk dan lesi pada mukosa.

Splint memiliki berbagai macam jenis, salah satunya adalah splint

lingual. Splint lingual berfungsi dengan baik dalam menahan segmen

mandibular dan mencegah kegoyahan. Sedangkan splint oklusal dapat

menstabilisasi gigi beserta jaringan periodontalnya dari oklusi karena

splint ini menutup permukaan gigi dengan permukaan oklusal yang

datar. Jenis splint yang baru yaitu splint okluso-lingual adalah jenis

Page 29: Makalah-Kelainan-Hati

splint yang paling kuat dan stabil dan berfungsi menggantikan fungsi

mastikasi dari gigi-gigi yang hilang sementara. Lebih jelas klasifikasi

splint tersebut, yaitu:

a. Berdasarkan periode stabilisasi

1) Temporary stabilization, dikenakan kurang dari 6 bulan

2) Provisional stabilization, dikenakan dalam hitungan bulan

sampai beberapa tahun

3) Permanent splints, dikenakan tanpa batasan waktu

b. Berdasarkan material

1) Bonded, composite resin button splint

2) Braided wire splint

3) A-splints

c. Berdasarkan lokasi pada gigi

1) Intracoronal

a) Composite resin with wire

b) Inlays

c) Nylon wire

2) Extracoronal

a) Tooth-bonded plastic

b) Night guard

c) Welded-bands

h. Berbagai splint yang sering digunakan

a. Splint untuk gigi anterior

1) Direct bonding system menggunakan teknik etsa asam dan

light cured resin.

2) Intracoronal wire and acrylic wire resin splint,

menggunakan slot pada aspek lingual gigi dan dalam

menstabilkan gigi menggunakan kawat stainless steel yang

ditempatkan pada slot

b. Splint untuk gigi posterior

Page 30: Makalah-Kelainan-Hati

1) Intracoronal amalgam wire splints, menggunakan resin

restoration dengan kawat di area proksimal amalgam

restoration pada gigi

2) Bite-guard

3) Rigid occlusal splint

4) Composite splint

Gambar 1 Splint Mandibula

Gambar 2 Mandibular Advancement Splint

Desain splint dibuat dengan didahului pencetakan kedua rahang, baik

rahang atas maupun rahang bawah. Proses percetakan tersebut membutuhkan

anestesi umum untuk mengurangi rasa nyeri yang akan dialami pasien.

Setelah diperoleh cetakan positif berupa plaster of paris, garis oklusi harus

ditentukan. Centric bite record antara rahang atas dan rahang bawah direkam

menggunakan wax sehingga garis trauma dapat terlihat dengan jelas. Jika

splint yang digunakan adalah splint okluso-lingual maka splint berbahan

akrilik ini harus menyentuh attached gingiva, alveolar ridge dan sisi lingual

dari gigi. Sisi insisal atau oklusal dari splint harus didesain sedikit lebih tinggi

Page 31: Makalah-Kelainan-Hati

dari garis oklusi pasien, permukaan splint juga harus halus agar tidak melukai

lidah pasien (Kademani dan Tiwana, 2015).

Page 32: Makalah-Kelainan-Hati

B. Pembahasan Kasus

Diagnosis kasus fraktur mandibula pada pasien tersebut dapat dilakukan

dengan memperhatikan riwayat pasien, pemeriksaan klinik baik intraoral

maupun ekstraoral serta pemeriksaan radiografi. Riwayat pasien dapat

digunakan sebagai perkiraan penyebab terjadinya rasa sakit pada mandibula.

Pada kasus ini, pasien datang ke klinik karena terjatuh dari pohon dan

mengeluhkan adanya rasa sakit. Pada pemeriksaan ekstraoral terdapat

ketidaksimetrisan wajah dengan pembengkakan pada regio parasimpisis

mandibula sebelah kanan. Pada palpasi menunjukkan adanya bagian yang

terasa terpisah serta lunak pada daerah parasimpisis sebelah kanan serta

korpus mandibula sebelah kiri. Pada pemeriksaan intraoral menunjukkan

adanya open bite anterior dan gigi molar terdesak ke sisi kiri dan pada

palpasi menunjukkan adanya step dan bagian yang lunak diantara gigi sulung

inisivus lateral dengan gigi sulung kaninus kanan bawah serta diantara gigi

molar 1 permanen dan benih gigi molar 2 yang belum erupsi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan radiografi panoramik menunjukkan

terdapat fraktur mandibula dengan displacement pada daerah tersebut.

Fraktur pada kasus ini secara umum dapat diklasifikasikan sebagai fraktur

terbuka karena jaringan lunak yang melapisi bagian yang mengalami fraktur

tidak terbuka, sedangkan berdasarkan klasifikasi fraktur mandibula

berdasarkan ada tidaknya gigi, maka fraktur pada kasus ini dapat

diklasifikasikan sebagai fraktur kelas 1 pada regio gigi sulung inisivus lateral

dengan gigi sulung kaninus kanan bawah dan fraktur kelas 2 pada gigi molar

1 permanen dan benih gigi molar 2 yang belum erupsi.Penanganan kasus

fraktur mandibula dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara tertutup atau

konservatif dan cara terbuka atau pembedahan. Pada kasus ini, operator

memilih untuk menangani fraktur mandibula dengan menggunakan teknik

konservatif, yaitu menggunakan splint. Teknik konservatif diindikasikan

Page 33: Makalah-Kelainan-Hati

untuk fraktur anak pada kondisi mixed dentition karena teknik pembedahan

dapat mempengaruhi benih gigi pengganti.

Kasus pada case report menjelaskan pasien berusia 7 tahun mengalami

trauma yang berakibat pada fraktur parasimfisis kanan dan korpus mandibula

kiri. Kondisi pasien yang compromised, khususnya pasien positif mengidap

hepatitis B menjadi pertimbangan bagi dokter sebelum mengambil prosedur

bedah. Meskipun sudah mengadakan uji laboratorium yang terdiri dari

hitung jumlah Hb, jumlah total leukosit, waktu pendarahan, waktu

pembekuan dan pemeriksaan radiografi akhirnya dokter memutuskan tidak

mengambil tindakan bedah namun tindakan konservatif berupa pembuatan

splint. Tindakan konservatif diambil karena besarnya resiko pendarahan pada

pasien akibat rendahnya kadar trombosit akibat kondisi sistemik pasien yang

mengidap hepatitis B. Selain itu pasien masih berusia 7 tahun sehingga

pembuatan splint untuk menstabilkan dan mereposisi mandibula jauh lebih

tepat.

Pembuatan splint dimulai dengan pencetakan maksila dan mandibula

pasien. Proses pencetakan dibantu dengan anestesi umum agar pasien tidak

merasa nyeri. Pada proses pencetakan, dokter sempat mengalami kesulitan

karena kondisi gigi pasien yang crowded. Pasien mengalami open bite

anterior dan open bite posterior. Namun setelah cetakan negatif alginat

berhasil didapatkan, cetakan positif dibuat dengan menggunakan dental

stone. CBR pasien diukut menggunakan malam wax dengan penyesuaian

oklusal splint yang dibuat sedikit lebih tinggi dari oklusal pasien. Setelah

beberapa minggu digunakan, terlihat perubahan yang cukup signifikan pada

parasimfisis dan korpus mandibula pasien. Plat splint yang dipakai didorong

oleh otot milohioid dan digastrikus pasien sehingga mempercepat reposisi

mandibula pasien.

Menurut Pamplona, dkk (2011), terdapat beberapa hal penting yang

Page 34: Makalah-Kelainan-Hati

perlu diperhatikan ketika pasien dengan Hepatitis B berobat. Salah satunya

adalah kewaspadaan terhadap penularan virus Hepatitis B pada alat-alat yang

terkontaminasi pasien melalui darah atau saliva pasien. Absorbi virus dapat

melalui permukaan mukosa, mata bahkan rongga mulut. Khususnya pada

penanganan dengan tindakan operasi, risiko penularan virus lebih besar yaitu

sekitar 3 sampai 4 kali dari penanganan non-operasi. Sehingga

penanganannya dapat dilakukan dengan pemberian vaksin Hepatitis B

sebelum dilakukan operasi. Hal tersebut menjadi dasar alasan, bahwa dokter

pada kasus lebih memilih penanganan non-operasi yang menggunakan jenis

anestesi lokal.

Selain hal-hal diatas, hal yang perlu diperhatikan bagi pasien adalah

pemberian jenis obat anestesi sebelum dilakukan prosedur operatif. Hal ini

dikarenakan pada beberapa jenis anestesi merupakan kontraindikasi bagi

penderita kelainan hati seperti hepatitis. Anestesi kontraindikasi dengan

penderita Hepatitis dapat memberikan dampak yang buruk dan memperparah

kondisi hati pasien apabila anestesi tetap diberikan. Berikut merupakan jenis

anestesi yang dapat dan tidak dapat diberikan pada penderita Hepatitis B:

Drug Kontraindikasi Indikasi

Anestesi Halotan

Thiopental

Isoflurene

Nitrous Oxide

(N2O)

Lokal Anestesi

(Lidocaine,

Prilocaine,

Mepivicaine,

Bupivacaine)

Daftar Pustaka

Page 35: Makalah-Kelainan-Hati

Abdullah, F., 2007, Teknik-Teknik Anastesi Lokal , EGC: Jakarta .

Bacsinar, B., Karakata, S., 1995, Bedah Minor, Penerbit Hipokrates: Jakarta.

Bailey H. Ilmu Bedah Gawat Darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1992.

Bailey, B.J., 2001, Atlas of Head & Neck Surgery, edisi 2, Lippincot Williams &

Wilkins : Texas

Balaji, S., M.. 2009, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier: New

Delhi.

Budihardja, A.S., Rahmat, M., 2010, Trauma Oral dan Maksilofasial, EGC: Jakarta.

Catteral, W., Mackie, K., 2008, Anestetik Lokal ed.10, FKG UI: Jakarta .

Fleisher, G., Ludwig, S., 2010, Textbook of Pediatric Emergency Medicine 6th

editions,Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia

Fonseca RJ, Walker RV. , 2005, Oral and Maxillofacial trauma. Ed. 2, Vol.2 USA:

W.B.Saunders Company.

Hoddeson E, Berg E, Moore C., 2013, Management of Mandibular Fractures from

Penetrating Trauma. The Open Otorhinolaryngology Journal, vol 7: 1-4.

Howe, G. L., Whitehead, F.I.H., 2013, Anastesi Lokal , EGC: Jakarta.

J. A. Baart., H. S. Brand., 2008, Local Anasthesia in Dentistry,Wiley Blackwell:

United Kingdom.

Kademani, D., Tiwana, P., 2015, Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier

Health Science : China

Kyrgidis, A., Koloutsos, G., Kommata, A., Lazarides, N., Antoniades, K., 2013,

Incidence, Aetiology, Treatment Outcome and Complications of Maxillofacial

Fractures: A Retrospective Study From Northern Greece, Journal of Cranio-

Maxillofacial Surgery, 11:(46), p. 1-7.

Latief S. A., Surjadi K., Dachlan R., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 1,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Page 36: Makalah-Kelainan-Hati

Miloro, M., Ghali, G., Larsen, P., Waite, P., 2011, Peterson's Principles of Oral and

Maxillofacial Surgery, People’s Medical Publishing House: Shelton

Pamplona, M. C., Munoz, M. M., Perez, M. G. S., 2011, Dental Considerations in

Patients with Liver Disease, J Clin Exp Dent, vol 3 (2): 127-134.

Pedersen, G., W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC: Jakarta

Purwanto, 1993, Petunjuk Praktis Anestesi Lokal, EGC: Jakarta.

Reddy, S., 2008, Essentials of Clinical Periodontology and Periodontics, Jaypee

Brothers Publishers : New Delhi

Scheid, R., 2007, Woelfel's Dental Anatomy: Its Relevance to Dentistry 7th edition,

Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W. D., 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC:

Jakarta.