MAKALAH HPPP

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi pertanian dewasa ini semakin memprihatinkan. Tanah semakin rusak akibat pemupukan kimiawi/sintetis yang tidak berimbang. Penggunaan pestisida sintetis yang berlebihan menyebabkan kerusakan ekosistem. Tentu dibalik kondisi ini masih ada semangat untuk kembali kepada pertanian yang sehat dan alami. Salah satunya adalah gencarnya penggunaan pestisida nabati dan agen hayati dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengendalian hayati akhir-akhir ini juga banyak mendapat perhatian dunia dan seringkali dibicarakan di dalam seminar atau kongres, serta ditulis dalam naskah jurnal atau pustaka khususnya yang berkaitan dengan penyakit tanaman. Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens pengendali hayati muncul karena kekhawatiran masyarakat dunia akibat penggunaan pestisida kimia sintetis. Adanya kekhawatiran tersebut membuat pengendalian hayati menjadi salah satu pilihan cara mengendalikan patogen tanaman yang harus dipertimbangkan. Agens Hayati adalah setiap organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sakit atau mati. Agens Hayati dapat berupa predator, parasitoid, 1

Transcript of MAKALAH HPPP

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangKondisi pertanian dewasa ini semakin memprihatinkan. Tanah semakin rusak akibat pemupukan kimiawi/sintetis yang tidak berimbang. Penggunaan pestisida sintetis yang berlebihan menyebabkan kerusakan ekosistem. Tentu dibalik kondisi ini masih ada semangat untuk kembali kepada pertanian yang sehat dan alami. Salah satunya adalah gencarnya penggunaan pestisida nabati dan agen hayati dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengendalian hayati akhir-akhir ini juga banyak mendapat perhatian dunia dan seringkali dibicarakan di dalam seminar atau kongres, serta ditulis dalam naskah jurnal atau pustaka khususnya yang berkaitan dengan penyakit tanaman. Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens pengendali hayati muncul karena kekhawatiran masyarakat dunia akibat penggunaan pestisida kimia sintetis. Adanya kekhawatiran tersebut membuat pengendalian hayati menjadi salah satu pilihan cara mengendalikan patogen tanaman yang harus dipertimbangkan.Agens Hayati adalah setiap organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sakit atau mati. Agens Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen dan agens antagonis. Penggunaan agens hayati dalam budidaya pertanian layak untuk dikembangkan secara masif mengingat fungsinya yang mengikuti keseimbangan ekosistem. Bakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alamiah, beberapa genus yang banyak mendapat perhatian yaitu Agrobacterium, Bacillus, dan Pseudomonas. Penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agen pengendalian hayati juga mampu memberikan harapan baru untuk pengendalian hama pertanian terutama fungi yang bersifat patogen. Secara alamiah, pada tanah terdapat mikroorganiasme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen dalam tanah karena dpat bersifat antagonis. Sehingga dalam agen hayati ini mampu memberikan manfaat yang besar dalam bidang sektor pertanian apabila diterapkan.

1.2 Rumusan MasalahPertanian adalah cara bagaimana kita bisa hidup. Namun demikian tidak semua pertanian mampu menghidupi masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta, dan pengabdi sudah seharusnya mempunyai andil besar dalam hal penyediaan pangan yang sehat atau dalam hal ini disebut pertanian sehat.Diantara penyebab rusaknya lahan adalah permasalahan penggunaan bahan kimia untuk pemberantasan OPT berlebihan yang juga berdampak terhadap degradasi lahan. Apalagi penggunaan produk kimia juga mempunyai efek samping yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan pengendali OPT yang lebih ramah lingkungan dan tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia.1.3 TujuanMakalah ini bertujuan untuk:a. Mengetahui penyakit tanaman pangan serta tata cara pengendaliannya secara hayatib. Mengetahui penyakit tanaman holtikultura serta tata cara pengendaliannya secara hayatic. Mengetahui penyakit tanaman perekebunan serta tata cara pengendaliannya secara hayati

BAB IIPEMBAHASAN2.1 Tanaman Pangan2.1.1 Penyakit Fusarium sp. Pada Tongkol JagungFusarium sp. telah dilaporkan sebanyak 31 spesies dan menyerang pada berbagai jenis tanaman (Gleen et al., 2001 dalam Pakki, 2005). Spesies F. verticillioides adalah sinonim dari spesies F. moniliforme, merupakan spesies dominan yang menginfeksi pada bagian morfologi jagung antara lain : akar, batang, pelepah, tongkol, dan terutama biji (Schutless et al., 2002 dalam Pakki, 2005). Di Indonesia (Dharmaputra et al.,1993 dalam Pakki, 2005), menemukan 6 spesies, salah satu di antaranya adalah F. moniliforme dan berdasarkan warna koloni (Mardinus, 1989 dalam Pakki, 2005) juga mengidentifikasi bahwa pada biji jagung di Sumatra Barat terdapat spesies F. moniliforme, sekitar 20,44 %. Data-data tersebut memberi gambaran bahwa spesies yang banyak menginfeksi tanaman jagung, terutama biji adalah F. verticillioides. Cendawan Fusarium sp. pada jagung ditemukan pada akar, kemudian berkembang pada batang, pelepah, dan tongkol lalu menginvasi pada biji bagian ujung tongkol. Gejala visual khas pada bagian yang terserang dicirikan dengan terkadang adanya kumpulan miselia pada bagian permukaan batang, pelepah dan tongkol, berwarna merah jambu (pink) atau dominan memperlihatkan warna keputih-putihan, pada batang biasanya dijumpai bagian yang membusuk. Infeksi dari biji adalah berawal dari ujung tongkol, selanjutnya menginvasi biji yang terletak pada bagian dalam tongkol (Munklov and Derjdais, 1997 dalam Pakki, 2005). Hasil penelitian (Shutless and Cardwile, 1999 dalam Pakki, 2005) menunjukkan bahwa efek sistemik F. verticilliodes pada batang dan tongkol pada umumnya adalah hasil kolonisasi serangga dari ordo lepidoptera (Sesamia calomistis dan Eldana sacarina) dan coleoptera. Pada penelitian yang dilakukan (Munklov and Derjdais, 1997 dalam Pakki, 2005) bahwa sebagian biji yang terinfeksi F. verticillioides bersifat endophytic atau tidak menampakkan gejala (Symptomless), serta dapat ditularkan melalui biji, gejala akan tampak setelah tanaman tumbuh. Infeksi sistemik fusarium pada tanaman jagung adalah dimulai dari konidia atau miselia yang berasal dari dalam ataupun bagian permukaan biji kemudian berkembang pada tanaman muda dari akar ke batang dan terakhir menginfeksi kebagian tongkol dan biji ( Oren et al, 2003 dalam Pakki, 2005).

BA

Gambar 01. Gejala Fusarium sp. pada tongkol jagung (A), Mikroskopis Jamur Fusarium sp. (B) (Sumber: Pakki dkk., 2005)Gejala khas patogen ini adalah terdapat kumpulan miselia pada bagian permukaan batang atau tongkol dan biji jagung, berwarna keputihan dan terdapat warna merah jambu. Infeksi pada batang jagung biasanya menyebabkan pembusukan, invasi ke dalam biji melalui rambut jagung pada ujung tongkol, selanjutnya menginfeksi biji pada bagian dalam tongkol, bersifat symptomless atau dapat ditemukan pada biji yang tidak bergejala, menginfeksi ke bagian internal biji jagung, dan dapat ditularkan melalui biji.2.1.2 Biologi penyakit Fusarium sp.Bentuk morfologi cendawan Fusarium sp. yaitu spora dalam bentuk konidia dibentuk diujung tangkai konidia atau klamidospora. Konidia ada yang bersekat satu dan tidak bersekat, sedangkan makrokonidia ada yang bersekat sampai 10 walaupun ada yang tidak bersekat (Talanca, 2007).

Gambar 02. Beberapa bentuk tangkai konidia dan bentuk konidia cendawan Fusarium (Sumber: Booth, 1971 dalam Talanca, 2007).2.1.3 Ekologi Penyakit Fusarium sp.Daerah sebaran Fusarium spp. meliputi daerah dingin dengan suhu 5oC sampai daerah tropik dengan suhu 20oC, dan dapat hidup baik pada wilayah kering dengan curah hujan tahunan < 250 mm sampai daerah basah dengan curah hujan di atas 1000 mm per tahun. Di Indonesia baru dilaporkan enam spesies dan satu di antaranya adalah F. moniliforme yang dominan menginfeksi jagung (Bachri 2001 dalam Pakki, 2005).Fusarium sp. adalah patogen tular benih yang banyak menginfeksi biji di areal pertanaman maupun pada tempat penyimpanan hasil panen jagung. Patogen Fusarium sp. dapat berkembang baik dalam suhu dan kelembaban yang ideal pada tempat penyimpanan benih jagung. Patogen tersebut dapat memproduksi senyawa beracun yang disebut mikotoksin. Keadaan iklim tropis, seperti suhu dan kelembaban yang tinggi, sangat membantu perkembangan mikroorganisme Fusarium sp. (Pakki, 2005).2.1.4 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penyakitCendawan Fusarium sp. biasanya melakukan infeksi melalui kutikula atau lubang alamiah. Cendawan ini berkembang pada suhu 20 - 220 C., dengan PH netral dengan kandungan N tanah tinggi. Pola sebaran cendawan Fusarium sp. mulai dari daerah dingin (suhu < 50 C) smpai daerah tropika (suhu diatas 250 C), dari daerah kering (curah hujan tahunan < 250 mm) sampai daerah basah (curah hujan tahunan > 1000 mm). Cendawan Fusarium sp. dapat bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman terinfeksi, sedangkan konidianya tidak dapat bertahan lama dalam tanah tanpa adanya sisa-sisa tanaman inang (Talanca, 2007).2.1.5 Pengendalian penyakit Fusarium sp.Penyakit ini dapat dikendalikan secara hayati dengan pemberian cendawan antagonis Trichoderma sp. satu sampai dua minggu setelah adanya pathogen Fusarium sp. pada tanaman jagung (Talanca, 2007).

2.2 Tanaman Holtikultura2.2.1 Penyakit Antraknosa pada Buah AvokadAntraknosa adalah penyakit utama pasca panen yang disebabkan oleh C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis dan sub tropis (Capdeville, 2007), salah satunya adalah buah avokad (Nelson, 2008). Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman kecuali akar. Bagian yang terinfeksi berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah atau cabang tanaman yang terserang akan gugur (Rukmana, 1995).Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan memainkan peranan penting pada ekonomi sub sistem pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari monokotil hingga tanaman dikotil. Meskipun infeksi antraknosa dapat terjadi pada semua stadia tanaman, namun stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam buah-buahan pasca panen (Dickman, 1993).C. gloeosporioides merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata, sedangkan G. cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini (CAB Internasional, 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang avokad, mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen parasit fakultatif, mampu hidup sebagai saprofit pada bagian tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit dan mengkolonisasi bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di bawah tajuk tanaman atau berada di permukaan tanah. Cendawan dapat menyebabkan beberapa masalah selama musim buah (Nelson, 2008). C. gloeosporioides menyerang avokad yang belum matang di kebun buah. Spora yang berkecambah membentuk apresorium dan menembus kutikula tetapi hifa yang telah mencapai subkutikula menjadi quiescent dan tidak berkembang sampai buah dipanen dan matang. Perubahan fisiologi yang signifikan terjadi pada buah yang dapat mengaktivasi patogen quiescent. Terdapat empat dugaan yang dapat menjelaskan mengapa buah yang belum matang lebih tahan terhadap serangan patogen: (i) kurangnya nutrisi yang diperlukan oleh patogen, (ii) adanya komponen anti cendawan, (iii) adanya induksi komponen anti cendawan, dan (iv) kurangnya faktor yang mengaktivasi patogenesitas cendawan. Ketahanan avokad yang belum matang terhadap serangan C. gloeosporioides berkaitan dengan adanya komponen anti cendawan 1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15-diene (diene) pada perikarp buah yang belum matang (Beno Moualem & Prusky, 2001).2.2.2 Gejala Penyakit Antraknose pada Buah AvokadGejala serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian tanaman yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah terjadinya perubahan warna bunga menjadi cokelat tua dan mudah rontok/ berguguran (Rukmana, 1995).

Gambar 03. Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c) (sumber: Nelson, 2008)Serangan cendawan C. gloeosporioides pada buah menimbulkan gejala bercak berwarna gelap, cekung, berbentuk bulat pada kulit buah yang meluas secara cepat dan menjadi lunak, menyebabkan pembusukan (Nelson, 2008). Warna gelap/coklat akibat serangan C. gloeosporioides muncul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah sehingga kulit buah terdisintegrasi dan lunak sehingga berubah warna menjadi coklat yang dapat meluas dan akhirnya membusuk. Proses pembusukan semakin cepat ketika buah mencapai kematangan puncak (Ippolito & Nigro, 2000).Ciri khas dari penyakit ini adalah terbentuknya massa spora lengket. Bercak memiliki ukuran yang bervariasi dan dapat terjadi di setiap bagian buah avokad yang dapat berkembang dan berwarna salmon. Gejala dapat muncul secara cepat selama 1 atau 2 hari terutama dalam kondisi penyimpanan hangat dan lembab. Bercak berbentuk bulat, berwarna gelap ini biasanya muncul dalam infeksi laten pada kulit buah setelah panen dan pematangan buah. Ukuran diameter Bercak bervariasi tergantung kultivar avokad dan berkisar antara millimeter sampai sentimeter (Nelson, 2008). 2.2.3 Biologi dan Ekologi C. gloeosporioidesCendawan C. gloeosporioides mempunyai miselium berwarna putih hingga keabu-abuan, memiliki konidia yang berbentuk oval dengan ujung tumpul atau membulat, hialin, bersel satu, tidak bersekat, terbentuk dalam aservulus, dan berukuran 915 x 37 m. Massa konidia berwarna merah muda seperti warna salmon. (Dickman, 1993; Semangun, 2000). Konidiofor berukuran 18 x 3 m, berbentuk silinder, hialin atau agak kecoklatan. Aservulus dangkal dengan diameter 90270 m, memiliki seta dengan konidiofor yang sederhana, pendek, dan tegak.

Gambar 04. Massa konidia (a) dan miselium (b) C. gloeosporioides pada media PDA (sumber: Dickman, 1993; Semangun, 2000)

Gambar 05. Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop: aservulus (a), seta (b), konidia (c), dan miselium (d)C. gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai tanaman. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi melalui luka atau lentisel. Konidium jamur dipencarkan oleh angin dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari konidium yang berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun. Pada cuaca menguntungkan, cendawan membentuk konidium. Konidium dipencarkan oleh percikan air hujan dan siraman karena terbentuk dalam massa spora yang lengket. Cendawan dapat diisolasi dari jaringan tanaman tropis yang tampak sehat dan berada baik di permukaan mikroflora maupun sebagai endofit. Patogen ini menimbulkan serangan berat pada kondisi kelembaban dan suhu yang tinggi. Cendawan dapat tumbuhan pada suhu rendah 4 0C, tetapi optimum pada suhu 2529 C. Perkecambahan spora, infeksi dan produksi askospora memerlukan kelembaban relatif mendekati 100%, namun ekspresi penyakit akan muncul pada kondisi kering karena infeksi laten atau quiescent akan aktif pada jaringan yang rusak (CAB Internasional, 2007).Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan terjadinya epidemi penyakit. Penyakit antraknosa ini dapat menimbulkan kehilangan yang signifikan pada iklim hangat dan lembab (CAB Internasional, 2007). Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara tidak kurang dari 96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 2528 0C, sedang dibawah 5 0C dan di atas 40 oC spora tidak dapat berkecambah. Bailey dan Jeger (1992) menyatakan bahwa infeksi cendawan pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada suhu 2631 0C (Semangun, 2000).

Gambar 06. Siklus hidup C. gloeosporioidesPatogen bertahan di dalam biji, sampah, dan gulma inang, dan dipencarkan melalui percikan air, aliran air, serangga atau benda lain yang menyentuh cendawan. C. gloeosporioides menyebabkan penyakit pada bagian daun, bunga dan buah. Pada jaringan tua, perkembangan penyakit lebih lambat, seringkali quiescent atau tinggal sebagai cendawan endofit yang tidak berbahaya hingga kondisi fisiologi memungkinkan untuk perkembangan cendawan (Rukmana, 1995).2.2.4 Penggunaan Khamir untuk Pengendalian Hayati PenyakitPada awal tahun 1990, berbagai mikroba antagonis dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen pada beberapa buah. Salah satu mikroba antagonis tersebut adalah khamir (Druvefors, 2005). Khamir merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler termasuk dalam filum Ascomycota dan Basidiomycota. Beberapa khamir dan mikroorganisme lain telah dilaporkan dapat menghambat patogen tanaman, khususnya patogen yang berada di dalam buah dan sayuran, serta beberapa produk komersial (Janisiewicz & Korsten, 2002). Beberapa khamir antagonis juga telah dilaporkan efektif untuk menghambat patogen pasca panen pada beberapa buah-buahan dan dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati cendawan pasca panen penyebab busuk pada buah apel, grey dan blue mold yang disebabkan oleh Botrytis cinerea dan Penicillium italicum, dan pada buah jeruk (McLaughlin et al., 1990). Secara khusus, kehadiran khamir secara alami pada buah-buahan dan sayuran berpotensi sebagai antagonis penyakit pasca panen (Droby, 2006). Khamir (Pichia guilliermondii strain US-7 dan Hanseniaspora uvarum strain 138) diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen penyebab pembusukan pada jeruk, buah pome, dan tomat (Chalutz & Wilson, 1990). Debaromyces hansenii dilaporkan dapat mengendalikan busuk buah jeruk pasca panen (Wisniewski et al. 1991) dan beberapa spesies Cryptococcus sp. dapat digunakan untuk mengendalikan pembusukan pasca panen pada buah apel dan pir. Keberadaan mikroba antagonis baik secara alami maupun buatan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit pasca panen (Wisniewski & Wilson, 1992). Keuntungan dari penggunaan khamir antagonis, dapat diisolasi dari alam, bersifat non patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk manusia, mudah dibiakkan, dan reproduksinya cepat. Khamir juga memiliki banyak kegunaan, biasanya tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin seperti cendawan miselial. Sel khamir juga mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Indratmi, 2008).Khamir Debaryomyces sp. efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides. Debaryomyces sp. dan konidia patogen C. gloeosporioides. Penghambatan patogen C. gloeosporioides oleh Debaryomyces sp. terjadi melalui mekanisme kompetisi dan parasitisme (Indratmi, 2008). Kompetisi nutrisi diduga sebagai mode of action beberapa agens pengendali hayati, seperti P. guilliermondii dalam mengendalikan Penicillium digitatum (Droby et al., 1989), Candida guilliermondii, Cryptococcus laurentii dan Metschnikowia pulcherima dalam mengendalikan Botrytis cinerea dan Penicillium expansum. Penggunaan khamir menunda pemasakan buah saat penyimpanan. Konsentrasi suspensi khamir yang digunakan di laboratorium umumnya 107 cfu/ml. Suspensi sel khamir pada konsentrasi 106 sampai 107 cfu/ml efektif menghambat perkembangan penyakit (Droby et al., 1997).

2.3 Tanaman Perkebunan2.3.1 Biologi Penyakit Patik pada Tanaman TembakauPenyakit bopeng atau patik pada tanaman tembakau disebabkan oleh jamur C. nicotinae Ell. et Ev. Jamur ini dalam klasifikasinya termasuk: Kingdom: Fungi Phylum: Ascomycota Class: Dothideomycetes Subclass: Dothideomycetidae Order: Capnodiales Family: Mycosphaerellaceae Genus: Cercospora Spesies: C. nicotinae Jamur Cercospora mempunyai konidiofor berwarna coklat yang bersekat-sekat dengan ukuran 20 s/d 600 x 5 m. Konidiofor berbentuk panjang, agak membengkak dan mempunyai sekat yang banyak serta tidak berwarna (hyalin). Konidia mempunyai ukuran yang bervariasi yaitu sekitar 25 s/d 370 x 6,1 m (Erwin,1997).

Gambar 07. Bentuk jamur C. nicotianae dan infeksi jamur ke dalam jaringan daun. (Sumber: Erwin, 1997)2.3.2 Gejala SeranganC.nicotianae dapat berkembang sejak dipembibitan, tanaman di lapangan, bahkan setelah yang daun di petik dan selama proses pengeringan daun tembakau dibangsal/ gudang. Daun yang sakit mempunyai bercak-bercak garis tengahnya dapat mencapai 2 15 mm. Mula-mula bercak berwarna coklat lalu menjadi kering dan berwarna putih dengan tepi coklat yang akhirnya bagian ini pecah dan berlubang. Ditengah-tengah bercak terdapat titik titik hitam yang sangat halus yaitu berupa kumpulan konidiofor jamur. Bercak biasanya terjadi pada daun-daun bawah atau daun tua dan daun-daun yang telah matang, karena umumnya daun daun ini lebih rentan dari pada daun-daun yang masih muda (Semangun, 2000).Meskipun demikian bila cuaca lembab dan mendukung untuk perkembangan jamur serta penyakit sudah menyebar secara luas, maka serangan dapat terjadi juga pada daun-daun yang muda. Di Deli daun tembakau yang terdapat bercak putih disebut dengan bopeng putih. Bila konidia C.nicotianae jatuh pada daun tembakau yang akan dipetik, konidia ini akan melekat pada daun dan selanjutnya berkembang pada waktu daun digantung didalam bangsal. Udara diantara daun-daun ini yang lembab sangat cocok untuk perkembangan jamur, sehingga pada daun yang telah kering akan terbentuk bercak-bercak coklat kehijauan yang disebut bercak gudang ataubopeng hijau (Erwin, 1997).

Gambar 08. Gejala serangan C. nicotianae2.3.3 Faktor yang MempengaruhiJamur patik mengadakan infeksi melalau mulut kulit. Agar konidium dapat berkecambah pada permukaan daun, disitu harus ada air. Konidium disebarkan oleh angin atau percikan air. Jamur patik dapat bertahan lama dalam sisa tumbuhan tembakau, misalnya batang-batang tembakau yang sudah kering. C.nicotianae mempunyai banyak tumbuhan inang. Konidium jamur ini dapat ditularkan ke 19 macam tumbuhan, antara lain terung (Solanum melongena L.), Cabai (Capsicum annum L.), dan kecubung (Datura stramonium L.) (Semangun, 2000). Perubahan cuaca dari panas kemusim hujan sangat cepat memacau perkembangan penyakit ini, terlebih lagi bila peristiwa itu berlangsung pada bulan juni di Sumatera atau tepatnya didaerah Deli (Erwin, 1997). Jamur ini menginfeksi tanaman melalui mulut daun(stomata). Untuk dapat berkecambah konidia membutuhkan air. Konidia menyebar oleh angin ataupun percikan air. Sporulasi jamur pada permukaan daun terjadi pada suhu 18-27 C (Semangun, 2000). Jamur C. nicotinae dapat mempertahakan diri dalam waktu yang lama pada sisa-sisa tanaman tembakau, misalnya batang atau daun yang sudah kering. Bila melekat pada biji tembakau C.nicotianae dapat hidup sampai satu tahun (Erwin, 1997). Konidia dapat juga mempertahakan didalam tanah yang halus seperti tanah debu hitam. C.nicotianae mempunyai banyak inang, antara lain terong (Solanum melongena), cabai (Capsicum annum), kecubung (Datura stramonium) dan masih banyak lagi yang lainnya (Erwin, 1997). Pengalaman sewaktu menanam tembakau dibekas areal yang telah dirotasikan dengan kelapa sawit selama 25 tahun, ternyata tanaman tembakau masih terserang penyakit bopeng ini (Erwin, 1997).2.3.4 Pengendalian Agen HayatiUntuk mengatasi kerugian akibat penyakit patik ini maka perlu adanya upaya pengendalian. Upaya pengendalian dengan cara kultur teknis seperti rotasi tanaman dan secara kimiawi dengan fungisida sintetik masih kurang efektif. Diketahui bahwa jamur ini mempunyai beberapa tanaman inang lain misalnya terung (Solanum melongena L.), cabai (Capsicum anuum L.), dan Kecubung (Datura stramonium) (Dalmadiyo, 1999) yang merupakan tempat bertahan bagi jamur selama bukan musim tanam tembakau (Vermeulen, 1999). Penggunaan fungsida sintetik telah banyak dilaporkan menimbulkan risiko terhadap mutu daun tembakau terutama adanya penumpukan residu fungisida yang semakin tinggi, dan juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak negatif pengendalian kimiawi maka diperlukan upaya pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan agensia pengendali hayati. Pseudomonas pendar fluor (fluorescent pseudomonads) merupakan kelompok bakteri yang banyak digunakan sebagai agensia pengendali hayati dan dikenal pula sebagai Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Sigee, 1993). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri dari kelompok ini mampu mengendalikan penyebab jamur penyakit baik yang terbawa tanah (Whippes, 2001; Kazempour, 2004) maupun terbawa udara (Blakeman, 1985). Kemampuan bakteri antagonis bertahan hidup di rizosfer dan filosfer merupakan salah satu faktor penting dalam mengendalikan patogen yang menginfeksi pada daun. Park et al., (1991) melaporkan bahwa bakteri pseudomonas mampu bertahan hidup baik di rizosfer maupun di filosfer tanaman. Pemanfaatan pseudomonas pendar fluor sebagai agensia pengendali hayati telah banyak dilakukan karena kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antimikrobia seperti siderofor, antibiotik, senyawa volatil, asam sianida (Whippes, 2001; de Boer et al., 2003; Kazempour, 2004).

BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanDari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:1. Pada tanaman pangan, Fusarium sp adalah penyakit yang paling sering menyerang. Fusarium sp mampu menyerang tanaman mulai dari penanaman bahkan hingga pasca panen. Penyakit ini dapat dikendalikan secara hayati dengan pemberian cendawan antagonis Trichoderma sp.2. Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa. Gejala serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian tanaman yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah terjadinya perubahan warna bunga menjadi cokelat tua dan mudah rontok/ berguguran. Untuk mengatasi ganasnya penyakit antraknosa pada tanaman holtikultura bisa digunakan khamir antagonis yang telah diproduksi secara komersil.3. Pada tanaman tembakau, penyakit bopeng atau patik adalah penyakit yang sering menyerang. Tembakau merupakan perwakilan dari tanaman perkebunan yang berada di Indonesia yang memprihatinkan jika ditilik melalui penyakit yang sering menyerang. Namun demikian, pseudomonas pendar fluor bisa menjadi solusi karena dianggap mampu mengendalikan penyakit ini.3.2 SaranDari hasil makalah ini, penulis menyarankan supaya penggunaan agens hayati dapat dilakukan dalam pengendalian penyakit. Meskipun demikian, penulis merasa bahwa apa yang telah ada dalam tulisan ini, masih sangat jauh dari sempurna. Baik tata cara penulisan maupun macam-macam pengendalian yang penulis sampaikan.Untuk menindaklanjuti hal tersebut, mari bersama-sama melakukan kajian ulang serta mengaplikasikan beberapa ilmu yang dianggap relevan guna pertanian yang lebih sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, J. A and M. J. Jeger. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and Control. The British Society for Plant Pathology. London.CAB International, 2007. Crop Protection Compedium. Wallingford, UK. 2007. Edition.Capdeville GD, Souza MT, Santos JRP, Miranda SP, Caetano AR, Torres FAG. 2007. Selection and testing of epiphytic yeasts to control anthracnose in post-harvest.Dalmadiyo, G. 1999. Pengendalian penyakit tembakau secara terpadu. Pros. Semiloka Teknologi Tembakau. Malang, 31 Maret 1999. Balai Penelitian Tembakau dan Serat Malang, Malang.Dickman, M. B. 1993. Plant Disease Pathogen : Colletotrichum gloeosporioides. Department of Plant Pathology University of Hawaii at Hilo. Hawai. Yakoby, N., Beno-Moualem, D., Keen, N. T., Dinoor, A., Pines, O., and Prusky, D. 2001. Colletotrichum gloeosporioides pelB is an important virulence factor in avocado fruit-fungus interaction. Mol. Plant-Microbe Interact.Druvefors U, Passoth V, and Schnurer J. 2005. Nutrient Effect on Biocontrol of Penicillium requeforti by Pichia anomala J121 During Airtight of Wheat. Applied and Environmental Microbiology.Droby S. E. Chalutz . 1997 . Mode of action of biocontrol agents of postharvest disease. In: Wilson CL. Wisniewski ME (Eds.). Biological Control of Postharvest Diseases of Fruits and Vegetables-Theory and Practice. CRC Press.Erwin dan Simarmata. 1997. Percobaan tanaman tembakau di Areal Ekskayu Hutan Tanaman Sengon Umur Dua Tahun, Bull, no. 3 Desember 1997.Indratmi, D. 2008. Mekanisme Penghambatan Colletotricum gloeosporioides Patogen Penyakit Antraknosa pada Cabai dengan Debaryomyces sp. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.Ippolito,A., Nigro, F., 2000. Impact Of Preharvest Application Of Biological Control Agents On Postharvest Disease Of Fresh Fruits And Vegetables.Janisiewicz, W. J., and L. Korsten. 2002. Biological Control Of Postharvest Diseaces Of Fruits. Kazempour, M. N. 2004. Biological control of Rhizoctonia solani, the causal agent of rice sheath blight by antagonistics bacteria in greenhouse and field conditions. Plant Pathology Journal.McLaughlin, R.J. and T.A. Chen. 1990. Methods for plant pathogenic prokaryots. Pp. 197-202. In: R.O. Hampton, E.M. Ball, and S.H. de Boer (Eds.), Serological Methods for Detection and Identification of Viral and Bacterial Plant pathogens, A Laboratory Manual. The American Phytopathol. Soc., St. Paul, Minn. Nelson S. 2008. Antrachnose of avocado [internet]. [diunduh 20 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.ctarh.hawaii.edu./oc/freepub/pdf/PD-58.pdf.Pakki Syahrir. 2005. Patogen Tular Benih Fusarium sp. dan Aspergillus sp. pada Jagung serta Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanamna Serealia: Prosiding Seminar Nasional JagungPakki Syahrir dan Talanca Haris, A. _______. Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, MarosPark, J.L, R.E. Rand and E.B. King. 1991. Biological control of phytium damping-off and Aphenomyces root rot of peas by application of Pseudomonas cepacia or Blakeman, J. P. 1985. Ecological succession of leaf surface microorganisms in relation to biological control. In Windelss C.E., Lindow, S.E., eds. Biological control on theRukmana R. 1995. Pepaya: Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Jakarta.Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Sigee, D. C. 1993. Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspect. Cambridge University Press. Cambridge.Talanca Haris, A. 2007. Penyakit Busuk Batang Jagung (Fusarium sp.) dan Pengendaliannya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel. Balai Penelitian Tanamna Serealia, Maros.Vermeulen, H. 1999. Cercospora nicotianae Ellis & Everhart the fungal patogen causing frogeye and barnspot lessions on tobacco leaves. Whippes, J.M. 2001. Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. Journal of Experimental Botany.Wilson, C.L., A.E. Ghaouth, E. Chalutz, S. Droby, C. Stevens, J.Y. Lu, V. Khan, and J. Arul 1994. Potential of induced resistance to control postharvest diseases of fruits and vegetables. Plant Dis.

19