MAKALAH Hadits Dho'if

24

Click here to load reader

description

Makalah Hadits Dhoif atau hadits lemah

Transcript of MAKALAH Hadits Dho'if

Page 1: MAKALAH Hadits Dho'if

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung

ayat-ayat yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi

sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam

tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang

terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.

Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak

seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan

dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru

ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-

2).1

Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang

muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian

hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if.

Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan

masalah yang harus diselesaikan diantaranya:

1. Apa itu hadits dho’if?

2. Bagaimana kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam ?

3. Bagaimana pendapat ulama mengenai penggunaan hadits dho’if?

4. Apa saja macam-macam hadits dho’if?

BAB II1 Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 1

Page 2: MAKALAH Hadits Dho'if

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS DHO’IF

Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang

berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna

bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits

yang lemah atau tidak kuat.2

Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama

dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan

maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah

ini.

An-Nawawi mendefinisikannya dengan :

Artinya :

“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan

syarat-syarat hadits hasan.”

Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :

Artinya :

“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”3

Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang

diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.4

Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :

2 Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 1333 Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-1574 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987),

hlm 220

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 2

Page 3: MAKALAH Hadits Dho'if

Artinya :

“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul

(hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”

Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat

saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu

dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua

atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam

matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat

lemah.5

Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :

الحسن والصفات الصحيح صفات يجمع لم ما

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat

yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :

الحسن صفات يجمع لم ما

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”

Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang

tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.

Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:

اوالحس الصحيح شروط من اكثر او شرطا فقد ما

“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits

shahih atau hadits hasan”

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :

الحديث صفات وال الصحيح الحديث صفات يجمع لم الذي الحديث هو الضعيف الحديث

“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih

dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

5 Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 3

Page 4: MAKALAH Hadits Dho'if

DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga

dalam pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang

padanya tidak terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.

Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits

yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan,

maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.6

B. KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM

Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam

yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga,

yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.

Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi

sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits.

Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits

dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits

hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang

digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang

lebih tinggi dari pendapat seorang ulama.

Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi

kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi

mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.

C. PENDAPAT ULAMA TENTANG HADITS DHO’IF

Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga

mazhab, yaitu :

Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh

diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun

wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat

6 Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 4

Page 5: MAKALAH Hadits Dho'if

ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-

lain.

Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits yang kadar

kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang keadaannya

demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits lain

yang menyelisihinya.

Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if tersebut

mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang menyelisihinya,

maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki kemungkinan

shahih sehingga boleh diamalkan.

Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad

bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah

bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari

para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan,

"Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau

menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain

dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada

pendapat murni seseorang".

Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits

dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau

tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak

ada nash.

Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan

mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-

hadits dho’if menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah

hadits hasan, karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan

hadits shahih.

Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam

Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya

tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan

tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum

yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir,

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 5

Page 6: MAKALAH Hadits Dho'if

Al-Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…".

Imam Abu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya)

boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana

diketahui bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah

satu jenis hadits dho’if.

Mazhab kedua, mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if

hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini

adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadits, ahli fikih dan lain-lain.

Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara

para ulama, demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.7

Menurut Imam An-Nawawi kita boleh mempergunakan hadits yang dho’if

untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat

tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu).

Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut

bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan

keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-

tidaknya hadits hasan.

Ulama-ulama hadits sepakat boleh mempergunakannya dalam bidang :

1. Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)

Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal

yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah

hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak

terkait dengan dosa besar.

2. At-Targhiib (Memotivasi)

Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan

suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.

3. At-Tarhiib (Menakuti)

Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang

mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.

4. Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh

7 Danang Kuncoro Wicaksono, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 6

Page 7: MAKALAH Hadits Dho'if

5. Do’a Dan Dzikir

Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.8

Akan tetapi tidak semua hadits dho’if dapat digunakan, Al-Hafizh Ibnu

Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, berikut ini

cuplikan perkataan beliau:

"Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits dho’if ada

tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadits dho’if tersebut tidak parah

kedho’ifannya. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh seorang

pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki

kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini. Kedua, hadits tersebut harus

berada dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadits yang

sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat

Islam tidak dapat diterima. Ketiga, ketika mengamalkan hadits tersebut tidak

disertai keyakinan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah

saw, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal

dari beliau".

Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadits dho’if

dalam masalah keutamaa-keutamaan amal, beliau menyebutkan: "Para ulama

telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam hal

keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadits tersebut ternyata benar

keberadaannya (shahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadits

tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dho’if -- maka hal

tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan

atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain".

Mazhab ketiga, mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if

adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun

halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr

Ibnul Arabi.

Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat

demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat

ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya

8 Eida Riesky, http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-tentang-mengamalkan-

hadits-dho’iflemah/

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 7

Page 8: MAKALAH Hadits Dho'if

seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar'i. Lagipula

hadits-hadits shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi

hadits dho’if.

Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan

perdebatan-perdebatan. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang

bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat

kedua. Hal itu dikarenakan menimbang persyaratan-persyaratan yang

ditetapkan oleh para ulama dalam masalah beramal dengan hadits dho’if

tersebut yang menunjukkan bahwa hadits dho’if yang menjadi perdebatan di

sini bukanlah hadits yang divonis palsu, melainkan hadits yang belum jelas

kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang,

dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan hadits lain yang

menentangnya atau jika hadits tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam

sehingga dibenarkan beramal dengan hadits tersebut demi menjaga hak-

haknya, tetapi dengan harus memiliki dasar dalam syariat islam sebelumnya.

Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal

dengan hadits dho’if dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan

ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh

Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan

bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar

Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah

agama. Beramal dengan hadits dho’if termasuk dalam kategori ini, dengan

demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.

Menurut pandangan DR. Nuruddin 'Eter, seseorang yang mengamati

persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan

adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak

jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadits dho’if diharuskan tidak keluar

dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang sudahbaku secara umum.

Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i,

baru kemudian muncullah hadits dho’if tersebut yang tidak bertentangan

dengan syariat.

Contoh:

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 8

Page 9: MAKALAH Hadits Dho'if

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai

berikut:

Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata:

Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-

Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari

Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa

yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha

Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati".

Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia

dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia

meriwayatkan hadits yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya

tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap haditsnya. Muhamad bin

Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan

hadits sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-

Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat

terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat

yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia

termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia

sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dho’if).

Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah).

Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia

benar-benar telah mendengar hadits tersebut, sehingga hadits tersebut dianggap

dho’if.

Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik

dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab)

sesuai dengan hadits dho’if ini, karena hadits dho’if boleh diamalkan dalam hal

keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi

dalam kitabnya, Al-Adzkar.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam

hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama

sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir.

Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 9

Page 10: MAKALAH Hadits Dho'if

sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat,

termasuk dua malam hari raya.

Di sini tampak jelas bahwa hadits tersebut tidaklah membawa ajaran baru,

melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-

prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum sehingga tidak diragukan lagi

bahwa beramal dengan hadits tersebut hukumnya adalah boleh.9

D. MACAM – MACAM HADITS DHO’IF

Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits

bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits.

Dari bagi ketiga ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam

hadits dho’if.

1. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.

Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:

a. Hadits Mursal

Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in

pada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun

taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.

Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal

tersebut karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an

dan syarat diterimanya suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain

itu juga tidak dikenalnya tentang keadaan perawi yang dihilangkan

tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut adalah

bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada

kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.

b. Hadits Munqothi’

Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang

perawi atau pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal

9 Danang Kuncoro Wicaksosno, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u=

%2Fjournal%2Fitem

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 10

Page 11: MAKALAH Hadits Dho'if

namanya. Tetapi kebanyakan ulama hadits menggunakan istilah

Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnya

seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.

c. Hadits Mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau

lebih secara berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan

bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits

mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut.

Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi

secara terpisah ( tidak berturut-turut).10

d. Hadits Mu’allaq

Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya

seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.

Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak

terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang

dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari

sanadnya, sementara keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak

diketahui.

e. Hadits mudallas

Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang

berarti “bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk

menyebut sebuah hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur

kesamaan dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata

tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas menurut terminologi ialah

hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai macam penyamaran.

Hadits mudallas ada dua macam yaitu:

- Tadlisu Al Sanad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang

satu masa dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-

benar mendengar darinya, agar hadits tersebut dipandang baik.

10 Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 11

Page 12: MAKALAH Hadits Dho'if

- Tadlisu Al Syuyuukhi

Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru,

namun dia menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan

sebutan yang tidak populer misalnya dengan menggunakan nama

kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan pertimbangan agar tidak

di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah, sehingga

tertutupi kelemahannya.11

2. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi.

Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya

kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama,

atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya.

Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya

adalah berbohong, dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak

diketahui keadaanya.

Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat

keliru/ sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak

prasangka dan menyalahi perawi yang tsiqah.

Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh

perawinya yaitu :

a. Hadits Matruk

Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacat

tertuduh dusta, pembohong atau pendusta.

b. Hadits Munkar

Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang

perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat

kefasikannya secara nyata.

c. Hadits Mu’allal

Hadits Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-

wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai

landasan yang kuat.

11 Muhammad Alawi Al Maliki,  Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 12

Page 13: MAKALAH Hadits Dho'if

d. Hadits Mudroj

Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan

dari hadits tersebut.

e. Hadits Maqlub

Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan

lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara

mendahulukan atau mengakhirkannya.

f. Hadits Mudhorib

Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa

bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.

g. Hadits Mushoffaf

Hadits mushoffaf adalah  mengubah kalimat yang terdapat pada

suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi

yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya.12

h. Hadits Syadz

Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang

maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat

atau yang lebih baik dari padanya.13

12 Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-14613 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 13

Page 14: MAKALAH Hadits Dho'if

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka

penyusun dapat menyimpulkan:

1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang

berarti lemah, dan yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti

hadits yang lemah atau tidak kuat. Secara terminologi, di antara para

ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dho’if

ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama yaitu

hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.

2. Kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits

shahih dan hadits hasan.

3. Terdapat 3 madzhab pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits

dho’if, yaitu :

a. Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan

secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib

dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.

b. Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk

fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang

bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke

derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa

diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum,

melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang

hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits

hasan.

c. Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah

tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun

halal dan haram.

4. Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :

a. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal,

Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 14

Page 15: MAKALAH Hadits Dho'if

b. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits

Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits

Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

B. SARAN

Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini

adalah :

1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits

lainnya.

2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca

dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 15

Page 16: MAKALAH Hadits Dho'if

DAFTAR PUSTAKA

Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar;

Yogyakarta.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT

Bulan Bintang; Jakarta.

Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group;

Semarang.

Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.

Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-

tentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/

Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-

dho’if.html

Suparto, Munzier; 2003; Ilmu  Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.

Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?

&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.

Kelompok 3 | Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if 16