Makalah Studi Qur'an Hadits (Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an) REVISI
-
Upload
deontologische -
Category
Documents
-
view
820 -
download
14
Transcript of Makalah Studi Qur'an Hadits (Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an) REVISI
Revisi
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’anDosen Pengampu : Dr. Hj. Yuyun Afandi, Lc.
Disusun Oleh :
Muh. Asroruddin A.J.NIM : 095112032
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) WALISONGO2009
MAKALAHSTUDI AL-QUR’AN DAN HADITS :
Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
Disusun Oleh : Muh. Asroruddin / 095112032
A. PENDAHULUAN
Telah kita maklumi bersama bahwa Al-Qur’an itu diturunkan secara
berangsur-angsur. Setiap kali ayat-ayat Al-Qur’an turun Rasulullah saw.
Menyuruh penulis wahyu untuk menulisnya. Kebanyakan dari sahabat
menghafalnya akan tetapi walaupun ditulis oleh para penulis wahyu, namun ia
tidak terkumpul dalam suatu mushaf.
Al-Qur’an semenjak diturunkan kepada Rasulullah saw. hingga saat ini
masih utuh dan masih terjaga, karena Allah telah menjamin kemurnian dan
kesucian Al-Qur'an, akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan
atau pengurangan-pengurangan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah
dalam surat Al-Hijr: 9 sebagai berikut :
�ح�اف�ظو�ن� ل �ه ل �ن� و�إ �ر� الذ�ك �ا �ن ل �ز� ن �ح�ن ن �ا �ن إMaksudnya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-
Hijr:9).
Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan
penulisan Qur'an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Qur'an
ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi
langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya
secara hati-hati. Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus
mereka amalkan.
Dalam makalah ini penulis akan menggambarkan sejarah kodifikasi/
pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW dan setelah beliau wafat,
baik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Utsman bin Affan, dan
beberapa hal terkait dengan sejarah pengumpulan Al-Qur’an.
B. POKOK PERMASALAHAN
1
Pokok permasalahan yang akan penulis angkat dalam makalah ini
terkait dengan judul makalah adalah :
1. Bagaimana sejarah kodifikasi Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW?
2. Bagaimana sejarah kodifikasi Al-Qur’an ditinjau dari proses pengumpulan
dan pembukuan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Utsman
bin Affan?
C. SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
1. Pengertian Pengumpulan/Kodifikasi Qur’an
Kata ‘penghimpunan/kodifikasi’ Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an)
terkadang dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan dalam
dada” (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai “penulisan
keseluruhannya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan
surat demi surat” (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-
shahifah dan lembaran-lembaran lainnya, sedangkan yang pertama
medianya adalah hati dan dada (Al-Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi Ulum
Al-Qur’an, 2002 hal. 259).
Selanjutnya, penghimpunan Al-Qur’an dalam pengertian
“penulisannya” berlangsung tiga kali. Pertama pada masa Rasulullah
SAW. Kedua pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan ketiga
pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Pada yang terakhir inilah
dilakukan penyalinan menjadi beberapa mushaf dan dikirim ke berbagai
daerah.
Dari paparan di atas telah kita maklumi bersama bahwa Al-Qur’an
sebagai Kitab Suci kaum muslim dibukukan (dikodifikasi) hingga menjadi
mushaf yang surat-surat, ayat-ayat dan tanda bacaannya tersusun seperti
yang sekarang kita gunakan, telah melalui tahapan-tahapan dan proses
yang cukup lama, diantaranya yaitu tahap pengumpulan ayat-ayat Al-
Qur’an pada masa Rasulullah SAW., kemudian melalui proses pembukuan
pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq serta melalui proses
2
penyempurnaan bacaan dan penggandaan Al-Qur’an yang dilakukan pada
masa menjabatnya Utsman bin Affan sebagai Khalifah.
Hal senada dijelaskan oleh Manna Khalil Al-Khattan (2001:178-
179) dalam bukunya Mabahis fi Ulumil Qur’an, ia menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Pengumpulan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) oleh para
ulama dibagi menjadi dua pengertian yaitu sebagai berikut :
Pertama: pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam
hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan
dalam firman Allah kepada Nabi, Nabi senantiasa menggerakkan kedua
bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika hal itu diturunkan
kepadanya sebelum selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya.
Firman Allah SWT.
� ك� ال ح�ر� �ه� ت �ك� ب ان �ع�ج�ل� ل�س� �ت �ن� ل �ه�. أ � ب �نا �ي �ه. ج�م�ع�ه ع�ل ء�ان و�قر��ذ�ا �ه ف�إ ن
� أ �ع� ق�ر� �ب م� ف�ات ه. ث ء�ان �ن� قر� �ا إ �ن �ي ه ع�ل �ان �ي بArtinya : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an
karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas
tanggung jawab Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, atas
tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. al-Qiyamah : 16-
19).
Kedua: pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-
Qur’an seluruhnya) baik dengan memisahkan-memisahkan ayat-ayat dan
surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis
dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan
suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun
semua surat.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
3
Dalam usaha kodifikasi Al-Qur’an Rasulullah mempunyai
beberapa orang pencatat wahyu, di antaranya, empat orang sahabat yang
kemudian menjadi para khalifah rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali), Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Kaab dan
Tsabit bin Qeis. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang
turun, sehingga al-Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi
kenyataan tertulis (as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 1990. Hal.
78).
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh
dengan dua cara, yaitu al-Jam’u fis sudur, dan yang kedua adalah al-jam’u
fi suthur (http://www.geocities.com/denwij/kodifikasi.htm).
Pertama : al Jam'u fis Sudur. Para sahabat langsung menghafalnya
diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa
dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya)
orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka
diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka
sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam'u fis Suthur, yaitu wahyu turun kepada Rasulullah
SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke
Madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23
tahun berikutnya dimana Rasulullah SAW. setiap kali turun wahyu
kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung
dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para
sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur
dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis
sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya " (Hadis
dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (Hal. 1).
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat
pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan
batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan
4
jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang.
Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi
pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan)
oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia
berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-
Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya
naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis
wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin
Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah
terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW
melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh.
Kisah masuk Islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang
disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar
saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal
surah Thahaa dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar
mendengar, meraihnya kemudian membacanya, inilah yang menjadi sebab
ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk Agama Islam.
Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis
bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan tidak
secara sekaligus tetapi secara bertahap.
3. Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
Utsman bin Affan
a. Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah saw. wafat dan Abu Bakar menjadi
Khalifah, dan Musailamah Al-Kadzab mengaku dirinya Nabi. Dia
mengembangkan khurafat dan kebohongan-kebohongannya. Dia dapat
mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka
menjadi murtad. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah
5
itu, beliau menyiapkan suatu pasukan tentara yang terdiri dari 4000
pengendara kuda yang menggempur mereka. Kemudian banyak di
antara para sahabat yang gugur, selain itu syahid pula 70 orang
penghafal Al-Qur’an. Serangan terhadap Musailamah tersebut
dinamakan peperangan Yamamah (Ash-Shiddiqie, Sejarah Ilmu dan
Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2000. Hal. 80).
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab
yang melatar belakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang
terjadi pada masa Abu Bakar yaitu atsar yang diriwayatkan dari Zaid
bin Tsabit r.a. yang berbunyi: “Suatu ketika Abu Bakar menemuiku
(Zaid bin Tsabit) untuk menceritakan perihal korban pada perang
Yamamah, ternyata Umar juga bersamanya”. Abu Bakar berkata :
”Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang
gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan
para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa
para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak
akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya
engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Al
Quran”, lalu aku (Abu Bakar) berkata kepada Umar : ”bagaimana
mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw.?” Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah sebuah
kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk
melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju
dengan usul Umar untuk mengumpulkan Al Quran.
Zaid berkata: Abu Bakar berkata kepadaku : “engkau adalah
seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu,
dulu engkau menulis wahyu (Al Quran) untuk Rasulullah saw., maka
sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi
sebuah mushaf”.
Zaid berkata : “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan
aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku
6
dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah
kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh
Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat
disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat
mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah
s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
(http://www.geocities.com/denwij/kodifikasi.htm)
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka
secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar
berupa mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian
para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran dan
menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkomentar atas
peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : ”Orang yang paling
berjasa terhadap Mushaf adalah Abu Bakar, semoga ia mendapat
rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran,
selain itu juga Abu Bakarlah yang pertama kali menyebut Al Quran
sebagai Mushaf.”
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut
Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun
12 H lewat perkataannya yaitu : “Kami menyebut di negara kami untuk
naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di
bundel sebagai Mushaf” dari perkataan Salim inilah Abu Bakar
mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang
telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah
yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya
Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al
Bayyinah (98):2 ”
ول8 س و�ا الله م�ن� ر� �ل �ت ة< صحف<ا ي مط�ه�ر�
7
Artinya : Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan
beberapa lembaran suci. (Al Quran)”
b. Pada Masa Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan
wilayah Islam di luar Jazirah Arab sehingga menyebabkan umat Islam
bukan hanya terdiri dari bangsa Arab saja (’Ajamy). Kondisi ini
tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al
Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa Arab. Fenomena ini
ditangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat
yang juga sebagai panglima perang pasukan Muslim yang bernama
Hudzaifah bin al-Yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat
Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan Muslim untuk
wilayah Syam (sekarang Syiria) mendapat misi untuk menaklukkan
Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk Soviet) dan Iraq menghadap
Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana
terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada
perselisihan.
Ia berkata : “wahai Usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka
berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus
menerus berselisih sehingga menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani “.
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di
pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman
yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan
lain-lain.
8
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi
pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam
pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al
Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar
dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan
untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain
Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar
yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan
satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal
sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf
berhasil meredam perselisihan dikalangan umat Islam sehingga ia
menuai pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang
sebagaimana khalifah pendahulunya Abu Bakar yang telah berjasa
mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia
yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada
Rasm al-Anbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqtah
(titik sebagai pembeda huruf).
c. Tanda Yang Mempermudah Membaca Al-Quran
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang
disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid
bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama
ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu
sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan
disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat
Islam dilarang untuk melihatnya.
9
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia,
Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota
Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di
Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar
Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand
(Uzbekistan, negara di bagian Asia Tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di
kota Kairo Mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di
kota Istambul Turki. Umat Islam tetap mempertahankan keberadaan
mushaf yang asli apa adanya.
Sampai suatu saat ketika umat Islam sudah terdapat hampir di
semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa
yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah
seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu
itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca
(Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca
tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong
Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a
bahwa suatu ketika Abul-Aswad ad-Dualy menjumpai seseorang yang
bukan orang Arab dan baru masuk Islam membaca kasrah pada kata
“Warasuulihi” yang seharusnya dibaca “Warasuuluhu” yang terdapat
pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang
berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin
dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu
kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang
berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua
horizontal seperti “adzabun alim” dan membubuhkan tanda titik dua
Vertikal untuk menandai Idgham seperti “ghafurrur rahim”.
10
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk
membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart)
adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-
Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah
(40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah,
Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal
sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada
abad ke II H (Http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/sejarah_
kodifikasi.htm).
Pada literatur lain disebutkan bahwa untuk menyempurnakan
cara-cara penulisan dan penyeragaman bacaan, dalam rangka
menghindari adanya kesalahan-kesalahan bacaan maupun tulisan.
Karena penulisan Qur'an pada masa pertama tidak memakai tanda baca
(tanda titik dan harakat). Maka Al-Khalil mengambil inisiatif untuk
membuat tanda-tanda yang baru, yaitu huruf waw yang kecil diatas
untuk tanda dhammah, huruf alif kecil diatas sebagai tanda fathah,
huruf alif yang kecil dibawah untuk tanda kasrah, kepala huruf syin
untuk tanda shiddah, kepala ha untuk sukun, dan kepala ‘ain untuk
hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong, dan ditambah
sehingga menjadi bentuk yang sekarang ada. Dalam perkembangan
selanjutnya tumbuhlah beberapa macam tafsir Qur'an yang ditulis oleh
ulama Islam, yang sampai saat ini tidak kurang dari 50 macam tafsir
Qur'an. Juga telah tumbuh pula berbagai macam disiplin ilmu untuk
membaca dan membahas Qur'an
(Http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/sejarah_kodifikasi.htm).
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama
selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk
membaca dan menghafal Al Quran khususnya bagi orang selain Arab
11
dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam,
Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat
sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda
waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan
identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al Quran
adalah Tajzi’ yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya
berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-
utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa
seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Quran disalin dan
diperbanyak dari Mushaf Utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan
ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin
cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Al-Qur’an
untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca.
Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat Islam
memperbanyak mushaf Al Quran. Mushaf Al Quran yang pertama kali
dicetak oleh kalangan umat Islam sendiri adalah mushaf edisi Malay
Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg
Rusia.
Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di
Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun
1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman, Fluegel,
menerbitkan Al Quran yang dilengkapi dengan pedoman yang amat
bermanfaat.
12
Sayangnya, terbitan Al Quran yang dikenal dengan edisi
Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem
penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam
mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al Quran dilakukan
umat Islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari
para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia Islam
dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja
Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis
berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di
Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M
untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset
yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah.
Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi
turki yang terkemuka Said Nursi.
D. ANALISIS
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a.s. Sejarah
penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan
yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung
pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan
membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi
mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta
pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan
dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Sebagai umat Islam juga kita sudah sepatutnya merasa bertanggung
jawab untuk membela dan menjaga Al-Qur’an dari pihak-pihak yang berusaha
dan sengaja merubah keautentikannya, sebagaimana terjadi beberapa waktu
13
lalu telah beredar beberapa surat baru yang dibuat oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Ini merupakan pekerjaan rumah buat kita, terutama kita selaku kaum
terpelajar untuk tetap menjaga Al-Qur’an dari usaha-usaha merubah ayat-ayat
bahkan surat-surat yang telah ada. Karena bagaimanapun juga kita aku
bersama masih teramat banyak di antara saudara-saudara kita yang masih
awam akan hal-hal seperti ini. Sudah bisa kita bayangkan kalau seandainya
saudara-saudara kita itu membaca dan mempelajari Al-Qur’an yang telah
diubah tersebut.
Terkait dengan sejarah kodifikasi Al-Qur’an yang telah penulis
paparkan di atas yaitu tentang masa penulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa
hayat Rasulullah. Pada saat itu tidak begitu banyak terdapat masalah pada saat
proses penulisan ayat-ayat Al-Qur’an, karena para sahabat yang bertugas
menulis ayat-ayat Al-Qur’an langsung dibimbing oleh Rasulullah. Bahkan
Rasulullah saw. melarang sahabat menulis hadits hadits jika Rasulullah
memerintahkan mereka untuk menulis ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini untuk
menghindari tercampurnya penulisan Hadits dengan ayat Al-Qur’an.
Demikian juga dalam hal ibadah dan muamalah, para sahabat dan
ummat Islam pada saat itu tidak begitu mendapatkan kesulitan dalam
penerapan sehari-hari. Karena jika para sahabat dan kaum muslimin pada saat
itu mendapatkan permasalahan, mereka langsung menanyakan hal tersebut
kepada Rasulullah saw.
Akan tetapi keadaan mulai sedikit berubah setelah Rasulullah saw.
wafat, termasuk dalam hal menjaga keutuhan Al-Qur’an. Diantaranya yaitu
banyaknya sahabat yang meninggal pada saat perang Yamamah yang terjadi
pada tahu 12 H. yaitu sekitar 70 orang penghafal. Atas dasar inilah Usman
menjadi khawatir kemudian menghadap Abu Bakar dan menyampaikan
kekhawatirannya akan hal ini dan menyarankan untuk mengumpulkan (jam’)
al-Qur’an.
Abu Bakar yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah merasa ragu
untuk melaksanakan hal tersebut, karena Rasulullah tidak pernah melakukan
14
hal tersebut. Keraguan Abu Bakar ini mungkin merupakan suatu hal yang
wajar terjadi, karena bagaimanapun juga Rasulullah sebagai panutan tidak
pernah mencontohkan, apalagi untuk memerintahkan.
Akan tetapi atas desakan Usman dan juga Allah telah melapangkan
dadanya, maka Abu Bakar menyetujui untuk mengumpulkan ayat-ayat yang
tercecer menjadi sebuah mushaf dengan pertimbangan agar ayat-ayat Al-
Qur’an tersebut dapat terjaga.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan di sini terkait keputusan
yang diambil Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi sebuah
mushaf. Melihat kondisi yang berkembang pada saat itu, yaitu dengan
banyaknya para penghafal yang gugur dalam peperangan, bahkan dalam
sejarah banyak sekali terdapat peperangan yang terjadi saat itu, keputusan
tersebut memang layak dan pantas, walaupun pada dasarnya Rasulullah tidak
pernah memerintahkan. Karena jika hal tersebut tidak dilakukan, justru akan
menimbulkan hal negatif, yaitu hilangnya ayat-ayat Allah.
Sebenarnya dalam proses kodifikas yang dilakukan oleh Abu Bakar
tidak merubah sedikitpun isi Al-Qur’an. Mereka hanya menyalin tulisan-
tulisan Al-Qur’an dari daun, pelepah maupun tulang-tulang yang tercecer
kedalam satu mushaf. Dalam masalah tulis menulis, Abu Bakar mengandalkan
Zaid bin Tsabit yang pada saat itu dikenal cerdas, pintar dan dapat dipercaya
sehingga tidak diragukan lagi keasliannya.
Pada saat pembukuan Al-Qur’an semasa Khalifah Usman bin Affan,
tidak hanya menyalin naskah yang ada, tetapi merefisi berbagai qiraat yang
berkembang pada waktu itu. Tetapi inti dari keduanya adalah sama, mereka
sama ingin membela dan memperjuangkan Islam dan ajarannya.
E. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari paparan di atas, penulis dapat menarik
beberapa poin yaitu:
1. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW tidak begitu banyak
mendapatkan masalah, karena setiap kali Rasulullah mendapatkan wahyu,
15
para sahabat yang telah ditunjuk (di antaranya Ubay bin Ka'ab, Abdullah
bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal)
langsung menghafal dan menulisnya pada kulit binatang, pelapah kurma,
lempengan batu, ataupun pada tulang-tulang binatang.
2. Pada saat peperangan Yamamah sekitar 700 orang penghafal gugur, selain
itu banyak peperangan lain yang juga banyak memakan korban dari pihak
muslim dan sebagian penghafal Al-Qur’an, atas dasar itu dan juga atas
saran Umar bin Khattab, Abu Bakar memutuskan untuk mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang masih tercecer ke dalam satu mushaf.
3. Karena banyak terdapat perbedaan qira’at pada masa Pemerintahan Usman
bin Affan, ia kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan mushaf-mushaf
dari seluruh negeri dan melakukan sedikit melakukan perubahan yaitu
dengan menggantinya dengan bahasa Arab Quraisy, karena bagaimanapun
juga Al-Qur’an kebetulan turun pada kaum muslim Quraisy. Langkah ini
diambil guna menyamakan qiraah, dan keputusan tersebut diterima dan
disambut baik oleh kaum muslimin pada waktu itu.
4. Mushaf-mushaf yang qiraatnya berbeda tersebut dimusnahkan oleh Usman
dan menggandakan mushaf yang telah diperbaharui tersebut menjadi 6 dan
disebarkan ke Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman, dan satu mushaf
lagi disimpan oleh Usman yang kemudian belakangan disebut sebagai
Mushaf Al-Imam.
F. PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, mudahan ada manfaatnya bagi
pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.
Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan
untuk melengkapi makalah ini.
16
G. DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2000.
Al-Khattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS, Cet. 6, Pustaka Litera AntarNusa; Bogor, 2001.
Al-Said, Labib, The Recited Koran, The Darwin Press.Inc; New Jersey, 1975.
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an, Gaya Media Pratama; Jakarta, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Jumanatul Ali-Art: Bandung, 2005.
Mustafa Al-A’zami, Muhammad, The History of The Qur’anic Text : From Revalation to Compilation, Gema Insani; Jakarta, 2006.
Http://www.geocities.com/denwij/kodifikasi.htm
Http://dennyhendrata.wordpress.com/2006/09/28/sejarah-kodifikasi-al-quran/
Http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/sejarah_kodifikasi.htm
17