Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

21
An Essay in Philosophy of Economics: FILSAFAT ILMU EKONOMI ADALAH BAGIAN INTEGRAL DARI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN (PHILOSOPHY OF SCIENCE) Oleh: La Ode Sabaruddin Pendahuluan Refleksi filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan perjalanan sejarah hidup manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia adalah hubungan produksi 1 . Akan tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru mengemuka sejak aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18, misalnya dalam karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume (1752), dan paling berpengaruh adalah karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Pada masa- masa awal, ilmu ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga pembahasan filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral 2 . Dalam konteks perkembangan ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu ekonomi semakin kompleks dengan berkembangnya beragam aliran pemikiran ekonomi 3 . Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian yang cukup banyak 4 . Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi 1

Transcript of Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Page 1: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

An Essay in Philosophy of Economics:

FILSAFAT ILMU EKONOMI ADALAH BAGIAN INTEGRAL DARI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN (PHILOSOPHY OF SCIENCE)

Oleh: La Ode Sabaruddin

Pendahuluan

Refleksi filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan

perjalanan sejarah hidup manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx

bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia adalah hubungan produksi1. Akan

tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru mengemuka sejak

aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18, misalnya dalam

karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume (1752), dan paling

berpengaruh adalah karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the

Wealth of Nations (1776). Pada masa- masa awal, ilmu ekonomi dipandang

sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga pembahasan

filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral2. Dalam konteks

perkembangan ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu

ekonomi semakin kompleks dengan berkembangnya beragam aliran pemikiran

ekonomi3. Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox

dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian

yang cukup banyak4. Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri

bagi para ekonom maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu ekonomi.

Filsafat ilmu ekonomi meliputi pembahasan tentang aspek konseptual,

metodologi, dan etika yang berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi (Hausman,

2008; Caldwell, 1993). Fokus utamanya adalah aspek metodologi dan

epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang dibangun oleh para

ekonom untuk sampai pada yang disebut “science” tentang proses ekonomi.

Filsafat ekonomi juga berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika menjadi

bagian argumentasi dalam ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan

adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Pertanyaan yang

selanjutnya mengemuka adalah apakah dimensi filsafat ilmu ekonomi tersebut

menghasilkan pengetahuan empiris yang menjadi dasar teoritis ilmu ekonomi

1

Page 2: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

sehingga dapat diklaim bahwa filsafat ekonomi adalah bagian integral dari filsafat

ilmu pengetahuan. Pembahasan tentang pertanyaan ini telah berlangsung lama dan

menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ekonom dan filosof hingga saat ini.

Perdebatan tentang apakah filsafat ekonomi mengikuti pola metodologis

dan epistemologis seperti halnya dalam filsafat ilmu atau memiliki pola tertentu

yang terpisah sudah terjadi sejak abad ke 18, dan menjadi lebih intensif di tahun

1970-an terutama ketika ideologi Kuhnsian, Popperian, dan Lakatonian masuk

dalam pembahasan tentang ekonomi (Blaugh, 1992). Banyak yang mencoba

menjelaskan perdebatan tersebut dan hasilnya lebih condong kepada pandangan

bahwa filsafat ekonomi memiliki klaim yang kuat sebagai bagian dari filsafat ilmu

pengetahuan5. Sekalipun demikian, terdapat beberapa pandangan minor yang tetap

‘menyangsikan” kesimpulan tersebut, dan memandang bahwa pembahasan

tentang filsafat ekonomi harus dilakukan secara terpisah dari filsafat ilmu

pengetahuan, misalnya Hutchison (2000). Dalam makalah ini, penulis mencoba

menyajikan perdebatan tersebut dan menguraikan tantangan yang dihadapi filsafat

ilmu ekonomi dalam mengokohkan klaim ‘scientific’ ilmu ekonomi dari

perspektif filsafat ilmu pengetahuan. Bagian pertama akan menjelaskan tentang

permasalahan metodologis dan epistemologis yang dihadapi ilmu ekonomi dalam

perspektif ilmu pengetahuan sebagai dasar pembahasan. Bagian kedua adalah

tinjauan literatur tentang filsafat ekonomi dan sejumlah perdebatan yang terjadi di

kalangan ekonom dan filosof terkait hubungan antara filsafat ekonomi dan filsafat

ilmu pengetahuan. Bagian ketiga adalah kesimpulan yang sekaligus juga

menyajikan pandangan pribadi penulis tentang keterkaitan filsafat ekonomi dan

filsafat ilmu pengetahuan.

Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Ilmu Ekonomi

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara

substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari

peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.

Filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan pembahasan bagaimana disiplin ilmu

tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta

pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu6. Dengan kata lain, filsafat

2

Page 3: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

ilmu pengetahuan merupakan telaah secara filsafati yang ingin menjawab

beberapa pertanyaan mengenai hakikat sains empirikal, seperti (1) Obyek apa

yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?

Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti

berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Pertanyaan -

pertanyaan ini disebut landasan ontologis, (2) Bagaimana proses yang

memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana

prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan

pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Cara/

teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang

berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini disebut landasan epistemologis, (3)

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan

antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana

penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana

kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah

dengan norma-norma moral/profesional? pertanyaan-pertanyaan ini adalah

landasan aksiologis. Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan merupakan

cabang filsafat yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan,

pengetahuan, metode-metode ilmiah, serta sikap etis yang harus dikembangkan

oleh para ilmuwan, yang berfungsi sebagai sarana pengujian penalaran sains;

merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan; serta memberikan

landasan logis terhadap metode keilmuan (Judistira, 2006; Salmon et. al., 1992;

dan www.wikipedia.org).

Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu

pengetahuan berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi memiliki klaim kuat sebagai

sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek metodologis dan epistemologis

yang menghasilkan pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi perdebatan

tentang hal tersebut adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu

ekonomi. Secara umum, terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait

dengan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):

Pertama, positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan normatif

dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu

3

Page 4: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

pengetahuan yang bersifat positivisme. Sebagian besar ekonom mencoba

mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu ekonomi dalam

bentuk positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak

kalangan menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan

cenderung lemah karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan

individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif (Mongin,

2006; Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969; Marwel and Ames, 1981;

Frank et al, 1993; Marx, 1867).

Kedua, reasons versus causes. Teori ekonomi mengasumsikan bahwa individu

bertindak rasional dan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan

tertentu. Alasan-alasan ini menjadi justifikasi mengapa seseorang melakukan

pilihan tertentu, dan alasan tersebut harus dimengerti oleh individu yang

bersangkutan. Asumsi ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya

kemungkinan bahwa individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang

disebabkan oleh kondisi tertentu sehingga tidak bertindak berdasarkan alasan

rasional. Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi bahwa mereka

memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan dengan

pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kondisi ini tidak

pernah terjadi, dan hal tersebut menjelaskan mengapa ilmu ekonomi tidak parallel

atau berbeda dengan ilmu alam (Buchanan and Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).

Ketiga, Social Scientific Naturalism. Dari semua ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah

yang paling mirip dengan ilmu alam. Pandangan untuk membedakan antara ilmu

sosial dan ilmu alam umumnya terkait dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah

ada perbedaan fundamental antara struktur dan konsep dalam hal teori dan

penjelasan pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait dengan

reasons versus causes seperti telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada

perbedaan fundamental dalam tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam?

Sejumlah kalangan menyatakan bahwa ilmu ekonomi memiliki tujuan untuk

memberikan penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi sehingga menciptakan

adanya pengertian dan respon terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini

mengakibatkan adanya unsur subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam,

(3) Pentingnya pilihan manusia (atau mungkin free will), menimbulkan

4

Page 5: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

pertanyaan apakah fenomena sosial terlalu tidak teratur sehingga sulit

digambarkan dalam suatu kerangka hukum dan teori? Dengan karakter manusia

yang bersifat free will, mungkin perilaku manusia sulit diprediksi. Akan tetapi,

dalam kenyataannya banyak perilaku manusia yang menunjukkan keteraturan,

disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga terjadi pada ilmu alam yang

memiliki banyak ketidakteraturan dalam hubungan kausal.

Keempat, Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan

pertanyaan terkait dengan adanya abstraksi, idealiasasi, dan klaim kebenaran teori

yang ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan mengemuka, tentang seberapa banyak

simplikasi, idealisasi, dan abtraksi dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi

asumsi ceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut

telah menjadi perdebatan metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari

ilmu ekonomi.

Kelima, Causation in economics and econometrics. Generalisasi dalam ilmu

ekonomi didasarkan pada hubungan kausal, misalkan tentang hukum permintaan.

Hubungan kausal ini juga dapat diidentifikasi dengan ekonometrika. Akan tetapi,

terdapat kemungkinan adanya pertentangan analisis hubungan kausal antara yang

dihasilkan oleh perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan

keseimbangan ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang

hubungan kausal mana yang akan dipilih.

Keenam, Structure and strategy of economics. Perdebatan aspek metodologis

terkait dengan aspek ini adalah masuknya filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan

Lakatonian (Lakatos, 1970) dalam pembahasan tentang ekonomi.

Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut

telah menimbulkan banyak perdebatan tentang klaim “scientific” ilmu ekonomi

dalam hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu pengetahuan menghasilkan

generalisasi yang salah? Jika klaim tersebut tidak dapat digeneralisasi secara

universal, apa dasar logis yang mendasarinya? Bagaimana mengetahui klaim yang

dihasilkan dari proses tersebut salah atau bagaimana pengujian yang harus

dilakukan sehingga klaim tersebut dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-

pertanyaan ini telah menjadi topik intensif yang terus mengemuka hingga saat ini.

5

Page 6: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Filsafat Ilmu Ekonomi: Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan Epistemologis serta Membuktikan Klaim “Scientific” Ilmu Ekonomi

Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan, sejumlah

ekonom telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis tersebut untuk

menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era Nassau Senior dan John Stuart

Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel Robbins di tahun 1930-an, terdapat

konsepsi dominan di kalangan para ekonom bahwa premis atau postulat yang di

kemudian hari lebih populer disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang

sebagai sesuatu kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam

aktivitas ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori.

Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak kelemahan

terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak selalu didukung oleh

bukti empiris karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Mill bahwa secara

abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar jika faktor pengganggu lainnya

diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor penganggu tersebut selalu ada dan

memberikan pengaruh terhadap hubungan kausal yang terjadi. Akibatnya,

konfirmasi terhadap teori ekonomi condong pada bahwa premis tersebut benar

dibandingkan dengan memeriksa implikasi prediksi teori tersebut terhadap bukti

empiris. Selanjutnya berkembang pendekatan lain, misalnya yang dilakukan

ilmuwan Jerman dan Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad

ke-20), yang berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak

selalu mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan

generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan yang

diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan tidak

menemukan titik temu (Hausman, 2008).

Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung

implikasi prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau kutub

yang mengusung tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori oleh Machlup

(1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa asumsi-asumsi yang

mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang terpenting adalah

kemampuan dari implikasi model tersebut dalam memprediksi kenyataan. Selama

6

Page 7: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

lebih dari dua dekade, pandangan Friedman banyak mendominasi tentang

pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi.

Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun 1970-an,

ketika filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam pembahasan

tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode induksi dan

memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian tersebut

memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau bagaimana teori ekonomi

dapat menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang

mensyaratkan bahwa formulasi teori harus logically falsifiable dan testable,

menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap sebagian besar bahkan

seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan asumsi-asumsi yang

sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi (Marchi, 1988; Caldwell,

1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya diatasi oleh Imre Lakatos (1970)

yang kemudian dikenal dengan Lakatonian, yang memperkenalkan konsep

theoretically progressive. Lakatos menekankan pada appraising historical series

of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising theories.

Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan aspek

metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian. Sekalipun

demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan penjelasan yang

memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk menyatakan klaim

tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.

Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi memunculkan

sejumlah pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu ekonomi memang

tidak dapat melewati persoalan metodologis tersebut. Pelopor pandangan ini

adalah Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi hanya

dapat menghasilkan prediksi umum yang tidak tepat, dan tidak dapat

menghasilkan perubahan. Lebih lanjut, menurut Rosenberg teori ekonomi hanya

bernilai sebagai matematika terapan bukan sebagai teori empiris. Pandangan ini

relatif memiliki dasar argumentatif mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai

kemajuan sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak

kalangan menilai bahwa klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan

prediksi kuantitatif cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah

7

Page 8: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

kemampuan para ekonom kontemporer yang dapat memprediksi harga saham

lebih baik dibandingkan dengan para ekonom di masa lalu. Pandangan radikal

lainnya yang berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre McCloskey’s (1994)

yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar

metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang relevan

untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh ilmu ekonomi adalah apa

yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi dapat mengabaikan

standar metodologis yang dikemukakan oleh para filosof. Pandangan ini dikenal

dengan istilah ekonomi retoris. Banyak karya berharga dan berpengaruh yang

dihasilkan oleh McCloskey’s dengan pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi

masalah yang dihadapi adalah kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-

argumentasi dalam studi tersebut karena tidak memiliki standar epistemologis.

Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi

adalah realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang berkembang yaitu

(1) Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki (2007), yang

mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan metodologis dan

bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2) Pandangan realisme

yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy Bhaskar (1978) yang

menyatakan bahwa seseorang yang menelusuri kekurangan yang terdapat dalam

ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan ontologi. Menurut Lawson, fenomena

ekonomi yang sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan

seseorang dapat mencapai pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan

kecenderungan yang berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.

Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek kritik dari

aspek sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya dikemukakan oleh

Karl Marx yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut Marx, ekonomi klasik

memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan kebijakan ekonomi-nya

sehingga akan selalu memunculkan kritik yang takkan pernah berakhir. Pengaruh

ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang dihadapkan pada kesulitan

metodologis dalam ilmu ekonomi telah memunculkan pandangan untuk

merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan refleksi metodologis dari perpektif

sosiologis. Pelopor pandangan ini antara lain D. Wade Hands (2001), Hands and

8

Page 9: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Mirowski (1998), Philip Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991).

Sekalipun demikian, seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan

perdebatan.

Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi

adalah penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu ekonomi, yang

antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981), dan Balzer

and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah pandangan

terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menilai

teori ekonomi. Selama tidak ada konsensus terkait aspek metodologis dalam ilmu

ekonomi, maka ketika praktisi ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah

mereka yang memiliki memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan

ekonomi dapat menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut

pandangan ini mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih

banyak memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.

Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah penggunaan

pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi pendekatan tersebut

dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori ekonomi dan bukti empiris.

Akan tetapi, sejumlah kalangan masih menyangsikan apakah pendekatan

eksperimental dapat digeneralisasi dalam konteks non-eksperimental, termasuk

kemungkinan apakah pendekatan eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005;

Kagel and Roth, 2008).

Normative Economics

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat

bahwa sulit memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan membedakan aspek

positivisme dan aspek normatif karena selama teori ekonomi berkaitan dengan

kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek

normatif. Kondisi ini membawa konsekuensi pada perlunya pemahaman tentang

pembahasan ekonomi normatif yang berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika

dan moral menjadi bagian argumentasi dalam membangun ilmu ekonomi seperti

kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang

tersedia.

9

Page 10: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan secara intrinsik

hal-hal apa yang baik bagi manusia. Pembahasan topik ini mendapatkan tempat

yang utama mengingat pandangan moral menempatkan kesejahteraan manusia

sebagai sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga berlaku pada pandangan

utilitarian maupun non utilitarian yang memiliki tujuan memaksimumkan

kepuasan individu. Dalam konteks ini, ekonomi positif dapat dipertemukan

dengan ekonomi normatif dengan menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi

normatif dengan kepuasan preferensi dalam ekonomi positif. Akan tetapi, terdapat

sejumlah kalangan yang keberatan tentang kesamaan kesejahteraan dengan

kepuasan preferensi. Menurut pandangan ini, kepuasan preferensi dapat didasari

oleh suatu keyakinan yang keliru dari pengalaman masa lalu atau distorsi

psikologis sehingga sulit melakukan perbandingan kesejahteraan antar individu.

Selain itu, menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi berarti

menempatkan kesejahteraan individu tertentu berdasarkan preferensi individu

lain, sementara kesejahteraan cenderung pada suatu konsensus kolektif tertentu

yang disepakati. Diantara ekonom yang mendukung kesamaan antara

kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya Sen (1992). Sekalipun

demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan preferensi bukan

proksi empiris yang baik untuk menggambarkan kesejahteraan, walaupun mereka

beranggapan bahwa kesejahteraan dapat mencerminkan kepuasan preferensi.

Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi. Konsepsi ini

memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam hubungannya

dengan kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi kesejahteraan, yaitu first

fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang

kompetitif dapat mencapai pareto optimum (alokasi sumber daya yang efisien)

dalam pasar yang sempurna. Teorema ini merepresentasikan konsepsi Adam

Smith tentang invisible hand. Dalam kenyataannya, pasar yang sempurna tidak

pernah terjadi atau terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah

second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa

dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki

properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Eksistensi

dua teorema telah menjadi bahan perdebatan dalam menentukan apakah akan

10

Page 11: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-faire) atau kalaupun adan

intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi tersebut. Pembahasan lainnya

terkait dengan efisiensi adalah analisis biaya dan manfaat yang sering digunakan

sebagai instrument praktis dalam analisis kebijakan (Adler and Posner, 2006).

Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi ekonomi

normatif, para ekonom tidak hanya memfokukan pada pembahasan tersebut.

Melalui kolaborasi dengan para filosof, ekonom normatif telah menghasilkan

sejumlah kontribusi penting dalam karya kontemporer di bidang etika dan filsafat

normatif dalam ilmu sosial dan politik. Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan

teori permainan. Selain itu, ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan

karakteristik formal tentang kebebasan yang menunjang analisis ekonomi.

Sebagian lainnya juga berhasil mengembangkan karakterisasi formal tentang

kesetaraan sumber daya, kesempatan, dan outcome serta telah menganalisis

kondisi yang memungkinkan memisahkan tanggung jawab individu dan sosial

terhadap kesenjangan. Beberapa ekonom lainnya yang juga banyak memberikan

kontribusi penting adalah Roemer, Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman,

2008). Singkatnya, ada interaksi yang intensif antara ekonomi normatif dan

filsafat moral.

Kesimpulan

Filsafat ilmu ekonomi berkaitan dengan pembahasan yang menjelaskan

landasan yang mendasari konsepsi, metodologi, serta etika dalam disiplin ilmu

ekonomi. Oleh karenanya, filsafat ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari

filsafat ilmu pengetahuan yang membahas bagaimana disiplin ilmu tertentu

menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta

pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Sekalipun demikian,

terdapat beragam perdebatan yang sangat intensif dan terus berkembang dalam

upaya mengokohkan filsafat ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu

pengetahuan khususnya terkait dengan aspek metodologis, rasionalitas, etika dan

aspek normatif yang terdapat dalam ilmu ekonomi. Telaah yang lebih mendalam

dalam aspek-aspek ini sangat diperlukan dalam mengokohkan klaim “scientific”

ilmu ekonomi di masa mendatang.

11

Page 12: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Notes:1 Menurut Marx, sistem masyarakat yang ada pada masa kapan pun sebenarnya merupakan akibat dari kondisi ekonomi (hubungan produksi). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat dikembalikan pada satu sebab, yaitu perjuangan kelas (class struggle) dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi tersebut. Aristoteles juga telah membahas sejumlah masalah yang terkait ekonomi, tetapi dalam ruang lingkup kecil yang lebih kecil yaitu rumah tangga sehingga pada zaman itu ekonomi dimaknai sebagai persoalan mengelola rumah tangga.2 Alvey (1999), menunjukkan bahwa hingga permulaan abad ke-20 ilmu ekonomi masih dipandang dalam perspektif moral science, dan menyatakan bahwa perkembangan ilmu ekonomi kontemporer yang teralienasi dari aspek moral telah melupakan akar sejarah disiplin ilmu ini. 3.Umumnya, para ekonom mengklasifikasi pemikiran ekonomi dalam tiga kelompok, yaitu neoklasik ortodoks, institusionalis, dan radikal. Duhs (2006) menyebutkan bahwa pembagian ini misalnya dilakukan oleh Ward (1979); Cole, Cameron and Edwards (1983).4 Sejumlah varian mainstream economics misalnya keynesian economics, monetarists, new classical economics, rational expectations theory, real business cycle, dll. Keragaman mainstream economics disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap pertumbuhan, moneter, ketenagakerjaan, pertanian, sumber daya alam, perdagangan internasional, dll. Sedangkan varian orthodox economics misalnya agency theory, Chicago School, public choice, Austrian Economics,institutionalist economics Marxian Economics, socio-economists, behavioral economists, post-keynesians, neo-ricardians, neuroeconomics. Untuk pembahasan detail, lihat Davis, Hands, and Maki (1998). 5Sejumlah ekonom dan filosof yang memiliki kontribusi penting dalam mengkonstruksi filsafat ekonomi sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan antara lain (Buchanan, 1985), (Hausman, 2008), (Hausman & McPherson, 1996), (Little, 1995), (Sen, 1987), dan (Rosenberg, 1992).6Terdapat beragama metode untuk memverifikasi validitas reasoning yang mendasari suatu ilmu, antara lain empirical verification, induction, test of an isolated theory impossible, coherentism, ockham's razor, dll.

Referensi

Alvey, James E. 1999. A Short History of Economics as a Moral Science,” Journal of Markets and Morality, Vol. 2, No. 1, 1999 pp. 53-73.

Backhouse, Roger. 2002. The Ordinary Business of Life. Princeton University Press.

Blaug, Mark. 1992. The Methodology of Economics or How Economists Explain, 2nd Edition. New York: Cambridge University Press.

Buchanan, Allen E. 1985. Ethics, Efficiency, and the Market, Rowman & Allanheld Texts in Philosophy. Totowa, New Jersey.

Caldwell, B., ed. 1993. The Philosophy and Methodology of Economics. Cheltenham: Edward Elgar.

Davis, John, D. Wade Hands, and Uskali Mäki, eds. 1998. The Handbook of Economic Methodology. Cheltenham: Edward Elgar.

Duchs, LA. 2006. Is Economic Philosophy a Subject Worth Teaching? Australasian Journal of Economics Education Vol. 3. Numbers 1 & 2, 2006

Friedman, M. 1953. “The Methodology of Positive Economics,” pp. 3-43 of Essays in positive economics. Chicago: University of Chicago Press.

12

Page 13: Makalah Filsafat Ilmu Ekonomi

Hausman, D., 2008. The Philosophy of Economics. 3rd edition. Cambridge University Press. New York

Hausman, D. and Michael S. McPerson. Economic Analysis and Moral Philosophy, Cambridge Surveys of Economic Literature. Cambridge University Press. New York

Hutchison, T. 2000. On the Methodology of Economics and the Formalist Revolution. Cheltenham: Edward Elgar

Judistira, Garna K..2006. Filsafat Ilmu. Judistira Garna Foundation dan Primaco Akademika. Bandung

Little, Daniel, 1995. On the Reliability of Economic Models: Essays in the Philosophy of Economics. Kluwer Academic Publisher. Boston.

Machlup, F. 1955. “The Problem of Verification in Economics”, Southern Economic Journal 22: 1-21

Marx, K. 1867. Capital, vol. 1, tr. S. Moore and E. Aveling. New York: International Publishers, 1967.

Mäki, U. 2007. Realism and Economic Methodology. London: Routledge.

McCloskey, D. 1994. Truth and Persuasion in Economics. Cambridge University Press. Cambridge.

Rosenberg, A. 1992. Economics—Mathematical Politics or Science of Diminishing Returns. University of Chicago Press. Chicago

Salmon, Merrilee; John Earman, Clark Glymour, James G. Lenno, Peter Machamer, J.E. McGuire, John D. Norton, Wesley C. Salmon, Kenneth F. Schaffner. 1992. Introduction to the Philosophy of Science. Prentice-Hall. USA 

Sen, Amartya. 1987. On Ethics and Economics. Basil Blackwell. New York

Sen, A. 1992. Inequality reexamined. Harvard University Press. USA

www.wikipedia.org

13