Makalah Filsafat Ilmu Kelompok 7(1)

download Makalah Filsafat Ilmu Kelompok 7(1)

of 26

description

bebas gratis

Transcript of Makalah Filsafat Ilmu Kelompok 7(1)

MAKALAH FILSAFAT ILMU KELOMPOK 7

TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWANDOSEN PENGAMPU: Dr. Endang K. Trijanto, M.Pd dan Dr. Hanif Pujiati

DISUSUN OLEH:AJENG PRIENDARNINGTYAS (7316130628)NIKLATUL HIKMAH (7316130275)LEROY H.S (7316130267)PROGRAM PASCASARJANA (S2)

PENDIDIKAN BAHASA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2013BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah kehidupan manusia ilmu telah menjadi aktor utama dalam membangun peradaban manusia sampai akhirnya dapat berbentuk peradaban semegah saat ini. Ilmu telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, kehadiran ilmu telah merubah wajah dunia dari periode kuno sampai periode kontemporer. Alhasil, dengan kemajuan ilmu manusia dapat memberantas penyakit, memakai alat transportasi, membangun sarana irigasi, membangun sarana pemukiman, menikmati kemudahan komunikasi jarah jauh dan lain sebagainya.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Palu, Kantor Kedutaan Australia dan Bali baru-baru ini dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untk membunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan dan kemanusiaan. Sebab, apabila ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Pengembangan dan pemakaian ilmu yang tidak di kontrol oleh apapun dan tidak mengindahkan kerusakan yang dibawanya ke masyarakat, justru akan mengembalikan manusia pada habitat sebenarnya yaitu dunia binatang, di mana di dalam dunia binatang tidak berlaku hukum apapun (hukum rimba). Saling membunuh, memangsa dan dominasi yang terkuat merupakan pemandangan sehari-hari yang biasa ditemukan. Akankah dunia manusia seperti itu? Menurut Baktiar bahwa ilmu pengetahuan yang begitu dibanggakan pada suatu saat dapat meruntuhkan suatu peradaban dan menimbulkan bencana bagi manusia. Contohnya, kematian ratusan ribu rakyat Jepang ketika bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Penemuan teknologi atom di satu sisi mendatangkan dampak yang baik, di sisi lain dapat menimbulkan bencana. Karena itu, seorang ilmuwan kalau tidak mempunyai komitmen moral terhadap nilai kemanusiaan, dia bisa berbuat dengan bebas tanpa batas. Dia juga tidak mempermasalahkan apakah teknologi yang dihasilkannya digunakan untuk hal yang konstruktif atau yang destruktif. Hukuman yang diterima oleh para ilmuwan yang menyalahgunakan penemuannya, tidak saja kutukan dari umat manusia, tetapi juga kutukan dari Tuhan. Kalau ancaman dari Tuhan ini dapat ditanamkan lebih kuat dalam hati ilmuwan, niscaya tidak seorang pun ilmuwan yang menyalahgunakan ilmu dan teknologi.1.2 Rumusan Masalah

Pada makalah ini, permasalahan-permasalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan arti tanggung jawab keilmuan.2. Menunjukkan sifat keterbatasan tanggung jawab keilmuan.3. Mendeskripsikan bentuk-bentuk tanggung jawab keilmuan.4. Menjelaskan arti etika keilmuan.5. Menunjukkan hubungan tanggung jawab keilmuan dengan etika keilmuan.1.3 Tujuan Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Arti Tanggung Jawab Keilmuan

Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal memahami tanggung jawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab secara etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya saja untuk mendorong kemajuan ilmu dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap akibat apapun yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam ilmuwan dan termasuk lembaga keilmuan didalamnya, tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab keilmuannya.Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas) dalam arti "bertanggung jawab atas". Tanggung jawab dalam arti demikian memiliki arti, yakni apa yang harus ditanggung. Subyek yang menyebabkan dapat diminta pertanggungjawabannya, meskipun permasalahan - permasalahan tersebut tidak disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri. Aspek tanggung jawab sebagai sikap dasar keilmuan telah menjadi satu dalam kehidupan keilmuan itu sendiri dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan tidak dapat dilepaspisahkan dari perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke abad.

Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan merupakan hal yang secara tidak langsung mengenai tanggung jawab manusia, dalam hal ini terkait dengan ilmuwan yang mencari, mempraktikan, dan menerapkan atau menggunakan ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Ilmu sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia dengan segala usaha sadar yang dilakukan untuk memanusiakan diri dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan dari aspek tanggung jawab. Ilmu dan ilmuwan wajib menanggung setiap akibat apapun yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri, baik dari sisi teoritisnya maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib menjawab dalam arti merespons dan memecahkan setiap masalah yang diakibatkan oleh ilmu manapun yang tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Tanggung jawab keilmuan bukan menjadikan beban, tetapi merupakan ciri martabat keilmuan dan ilmuwan itu sendiri. Konsekuensinya adalah semakin tinggi ilmu maka semakin tinggi dan besar tanggung jawab yang digeluti oleh ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan itu sendiri.Tanggung jawab keilmuan tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri, misalnya dalam hal menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti: bencana alam, keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya. Tanggung jawab keilmuan bukan saja dalam arti yang normatif, misalnya berkaitan dengan aspek moral yang bersifat legalistik saja tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Tanggung jawab keilmuan dalam menyelesaikan berbagai bentuk akibat perubahan sosial yang berdampak terhadap tatanan moral masyarakat. Jadi, tanggung jawab keilmuan juga memilki arti mendudukkan manusia pada kedudukan martabat dirinya sehingga di satu sisi tidak diperalat oleh ilmu dan ilmuwan demi mencapai supremasi ilmu. Namun di sisi lain, tidak tergilas oleh kebodohan dan kemelaratan hidup karena lingkaran setan ketidaktahuan yang melilit dirinya. Tanggung jawab keilmuan seharusnya didasarkan pada keputusan bebas dari manusia sehingga melalui tanggung jawab keilmuanlah maka ilmu, ilmuwan, manusia serta masyarakat dibebaskan atau dijernihkan dari berbagai pengaruh emosional, sikap curiga, dendam, buruk sangka, dan berbagai sikap irasional. Tanggung jawab keilmuan menyangkut masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Alasannya karena penanganan ilmu atas realitas selalu cenderung berat sebelah. Kenyataan tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan kosmos (alam), seperti pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem pengairan, keseimbangan jumlah penduduk, dan sebaginya. Hal itu menyangkut gangguan terhadap tatanan sosial dan keseimbangan sosial dan artinya adalah ilmu yang telah mengemukakan bahwa tatanan alam dan masyarakat harus diubah dan dikembangkan, maka ilmu pulalah yang bertanggung jawab menjaganya agar dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan yang baik demi konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis.Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada kesadaran bahwa ilmu selalu merupakan sesuatu yang sifatnya masih belum tuntas, artinya upaya keilmuan tidak dapat meniadakan tanggung jawabnya yang lama tetapi selalu menampilkannya dalam tanggung jawab yang selalu baru. Oleh karena itu, ilmuwan harus terbuka pada tanggung jawabnya yang baru walaupun hal itu tidak pernah dialami oleh pendahulunya.2.1 Sifat Keterbatasan Tanggung Jawab Keilmuan

Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan dalam artian bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan oleh ilmu dan ilmuwan sebagai manusia tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat maka hal itu pula ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya serta menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.

Konsekuensinya, ilmuwan sebagai manusia tidak bertanggung jawab atas tanggung jawab keilmuannya, sebab manusia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kenyataan mengapa ia bertanggung jawab. Oleh karena itu, tugas yang diterima dan dijalani harus atas dasar pemberian kodratnya. Manusia tidak bertanggung jawab pada tanggung jawab, tetapi ia menerima tanggung jawab itu sebagaimana adanya dan menjalaninya dengan segala keterbatasannnya. Ilmuwan sebagai manusia, menjalani tanggung jawab keilmuannya dengan segala keterbatasannya, baik secara natural, kodrati, maupun dari keterbatasan keilmuannya sendiri. Pandangan tersebut hendak menegaskan betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan memiliki suatu "kepekaan besar" untuk membaca dan menjalankan tanggung jawab keilmuannya itu secara baik, dan tidak boleh memandang dirinya serba bisa, serba oke, dan serba benar.2.3 Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Keilmuan2.3.1 Tanggung jawab sosial

Ilmu bukan hanya bersifat sosial, tetapi membutuhkan tanggung jawab sosial karena melalui suasana sosial itu ilmu dapat bertumbuh subur secara efektif dan bertambah luas. Bermacam-macam kasus sosial dalam masyarakat membutuhkan penanganan dan penyelesaian secara keilmuan. Ilmuwan dengan kemampuan pengetahuannya yang cukup dapat memberi argumentasi, kajian kritis, dan membangun opini masyarakat mengenai permasalahan kehidupan yang dihadapi. Misalnya, penganggulangan kemiskinan, penyakit, atau masalah nilai-nilai sosial dalam pembangunan sehingga masyarakat tidak tercabut dari akar kehidupan sosialnya yang khas. Ilmu dan ilmuan bertanggung jawab dalam hal memberikan prediksi atau ramalan serta peringatan dinih mengenai permasalahan yang akan dihadapi masyarakat, baik yang nyata (manifest) maupun tersembunyi (laten) atau yang bersifat gejala. Misalnya, dalam melakukan resolusi konflik dan membangun manajemen perdamaian guna mewujudkan ciri masyarakat yang mampu mencegah dan mengatasi konflik serta membangun sistem kedamian yang berkesinambungan guna kelancaran pembangunan dalam mewujudkan masyarakat yang berkesejahteraan.

Ilmuwan dengan latar belakang pengetahuannya yang cukup, harus bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu atau pengetahuannya secara proporsional kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka terima. Tanggung jawab sosial keilmuan tersebut adalah penting, baik dalam rangka mengusahakan kebenaran ilmu maupun baik dari segi untung-rugi, baik-buruk, dan sebagainya. Penyelesaian yang obyektif terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi, Ilmu dan ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial bukan sekadar karena ilmuwan adalah anggota masyarakat yang terlibat langsung dalam kepentingan sosial kemasyarakatan, tetapi ilmu secara hakiki memiliki fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ilmu, meskipun merupakan hasil kekiatan individual, namun dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.2.3.2 Tanggung jawab keteladananIlmu dan ilmuwan bukan hanya mengandalkan kebenaran keilmuan sebatas sebuah jalan pemikiran dengan pesona logika dan ketajaman analisisnya, namun juga bertanggung jawab menunjukkan atau mempraktikan kebenaran keilmuannya di dalam kehidupan sosialnya secara luas dan mendalam. Ilmu bukan hanya menyajikan sebuah kebenaran informasi, namun memberikan keteladanan hidup yang ditunjukkan oleh ilmuwannya. Ilmuwan harus berdiri didepan kebenaran-kebenaran keilmuannya selaku proto tipe kebenaran yang sesungguhnya dan juga berada di belakang kebenaran-kebenaran keilmuannya untuk menunjukkan tanggung jawabnya atas segala akibat sosial maupun ekologis yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Menghadapi situasi kemasyarakatan dimana terdapat kecenderungan untuk memanipulasi dan menghambat kebenaran nilai sehingga banyak mengakibatkan adanya kegoncangan nilai, maka ilmuwan harus tampil ke depan untuk memberi argumentasi, kajian kritis, serta membangun opini yang obyektif dan proporsional terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan membuat ilmuwan menjadi berani dalam membela nilai-nilai kebenaran yang dijamin dan diyakini dalam ilmu.

Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir secara cermat dan teratur sehingga dengan kemampuan inilah sekaligus memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang sesat dan keliru menganai permasalahan yang dihadapi. Sehingga masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran setan kepicikan yang membenarkan aneka prasangka, sesat pikir, atau keliru berpikir yang cenderung menumbuhkan sikap saling curiga dan dendam. Oleh karena itu, masyarakat dapat dicerdaskan sehingga mampu menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan memperbudak kekurangan atau ketidaktahuannya demi keuntungan-keuntungan yang bias.2.3.3 Sikap tanpa pamrihSikap tanpa pamrih berhubungan dengan kepentingan hati nurani manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap tanpa pamrih menunjuk pada keteguhan batin atau hati yang tanpa tegoda dengan imbalan apapun untuk memperjuangkan kebenaran keilmuan, baik dalam rangka kepentingan teori maupun praktis. llmuwan harus terbuka pada himbauan dan seruan hati (batin) untuk terus mengritik dan membenahi diri dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan serta penyimpangan dalam kegiatan keilmuan. Salah satu aspek di mana hal tersebut pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.

Sikap tanpa pamrih pertama-tama berhubungan dengan upaya membimbing diri agar tidak tergesa-gesa dan ceroboh dalam memutuskan kebenaran atau kepastian ilmu. Tuntutan sikap tanpa pamrih meskipun kedengarannya cukup bertentangan dengan tuntutan praktis dan dalam rangka penerapan keilmuan bagi kepentingan kesejahtreraan manusia, namun secara prinsipal tetap penting dalam rangka tanggung jawab moral dan sosial keilmuan. Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan juga penting dalam rangka menjernihkan masalah-masalah di sekitar pandangan hidup manusia. Artinya, bentuk tanggung jawab keilmuan dalam hal sikap tanpa pamrih tidak hanya berhubungan dengan kepentingan ideologis keilmuan, tetapi juga tanggung jawab paktis agar terhindar dari kesalahan dan penyalahgunaan.Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan dibutuhkan dibutuhkan sebagai jaminan agar penggunaan ilmu, sedapat mungkin menguntungkan kehidupan manusia secara memadai dan tidak sekadar untuk mencapai target tertentu yang menyimpan dari kepentingan mmanusia secara utuh. Keadaan akan semakin sulit apabila kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan ilmu untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, sehingga mengabaikan nilai kebenaran keilmuan demi kemanusiaan dan kemasyarakatan.Sikap pamrih dapat membuat kebenaran ilmu tidak netral karena kebenaran dan pengabdian ilmu selalu diwarnai oleh adanya intensitas tujuan dan corak etis tertentu yang mengafirmasikan atau menguatkan seruan kepentingan kemanusiaan dalam ilmu. Corak etis kegiatan keilmuan tidak terbatas pada penerapan-penerapan konkret kepraktisannya, karena harus menjangkau hal-hal yang lebih luas untuk menemukan sikap etis yang tepat. Melalui sikap demikian, kedudukan manusia dalam pengembangan ilmu atau keilmuan tetap tidak berubah walaupun kemanusiaan itu sendiri mengalami pergeseran-pergeseran yang sifatnya dinamis dalam tanggung jawab keilmuan itu sendiri.Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan penting pula dalam rangka mengatasi ketidakdewasaan manusia. Sikap tersebut dapat memungkinkan manusia mengenal keterbatasannya, makin belajar mengenal dan semakin baik menguasai dirinya sendiri (pikirannya, emosinya, keinginannya, dan realitasnya). Sikap tanpa pamrih di satu sisi menyadarkan manusia untuk selalu meletakkan pandangan kritisnya terhadap perkembangan ilmu dan keilmuan. Di sisi lain juga sikap tanpa pamrih juga menyadarkan manusia mengenai betapa kurang dewasanya manusia dan betapa banyak kemungkinan lagi untuk menjadi manusia yang lebih dewasa.2.3.4 Tanggung jawab profesionalTugas keilmuan menghimbau pada sebuah tanggung jawab professional yang memadai. Tanggung jawab profesional keilmuan mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi ahli dan terampil dalam bidangnya, jadi bukan hanya sekadar hobi. Tanggung jawab professional keilmuan mengacu pada bidang keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk pula pada penghasilan atau upah yang diperoleh berdasarkan tingkat kemahiran (pengetahaun dan ketrampilan) yang dimiliki dalam bidang keilmuannya. Profesional merupakan kata atau istilah yang umumnya diliputi dalam sebuah citra diri yang berbaur sukses, penuh percaya diri, kompeten, bekerja keras, efisien, dan produktif. Tanggung jawab profesional keilmuan menunjuk pada gambaran diri seseorang berdisiplin, kerasan, dan sibuk dalam pekerjaan keilmuannya. Disiplin dan kerasan merupakan sebuah paham yang membedakan secara radikal seorang ilmuwan sejati dengan orang yang suka malas, santai, dan seenaknya dalam sebuah tugas keilmuan.Tanggung jawab professional keilmuan menunjuk pula pada sikap keilmuan yang "tanpa pamrih" serta bersikap tenang, tekun, dan mantap, dapat menguasai situasi, serta berkepala dingin dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan. Profesionalisme dalam keilmuan mensugestikan pula bahwa seorang ilmuwan adalah sosok yang bersifat pragmatis dan tidak membiarkan profesinya untuk dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang sempit dan sesat. Profesionalisme dalam keilmuan mengandaikan pula sikap keilmuan yang tidak terpengaruh oleh hubungan-hubungan primordialistik, ideologi atau oleh masalah keluarga dan pribadi. Prifesionalisme keilmuan mengandaikan pula sebuah hasil keilmuan yang berlaku secara universal yang artinya dapat diterima secara luas dan umum.

Profesionalisme dalam keilmuan bukan sekadar keterampilan yang dapat dipelajari secara terpisah dari kepribadian sang ilmuwan. Bahkan, profesionalisme dalam keilmuan meliputi seluruh struktur kepribadian sang ilmuwan, tentu saja diperlukan keahlian (spesialisasi) dalam mengembangkan profesionalisme keilmuan. Meskipun keahlian dapat dipelajari dan dilatih tetapi seorang belum tentu disebuah professional dalam keilmuannya. Artinya, profesionalisme keilmuan menunjuk pada kualitas pengetahuan dan kualitas kerja sebagai ilmuwan.2.4 Etika Keilmuan Arti etika keilmuan yakni berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari etos yang berati baik, berbudaya, atau beradat. Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya tatanan nilai-nilai kebaikan (etis) dalam keilmuan baik dalam mengusahakan ilmu maupun dalam menerapkan ilmu bagi kepentingan manusia. Ilmuan dan keilmuan perlu didasarkan pada sebuah sikap kesadaran etis yang kuat. Kesadaran etis dalam keilmuan berlangsung baik mulai dari tahap upaya pencaharian dan penentuan kebenaran maupun sampai pada tahap penerapan hasilnya dalam bentuk pembangunan. Ciri etis yang mendasari proses tersebut merupakan sebuah kategori moral keilmuan yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Sikap etis yang demikian bukan saja merupakan sebuah jalan pemikiran bagi sang ilmuwan, tetapi justru lebih merupakan totalitas jalan hidupnya dalam sebuah tanggung jawab keilmuan yang utuh. Etika keilmuan dan moral keilmuan meskipun berbeda, karena etika keilmuan mendasari diri pada sikap kritis dalam melakukan keputusan secara bebas sementara moral keilmuan mendasari diri pada perintah moral atau kewajiban-kewajiban yang patut diikuti, namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal kemutlakan sikap keilmuan yang tegas terhadap kebenaran.Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan yang nyata mempengaruhi dan menentukan bagaimana ilmuwan mendekati dan melakukan kegiatan keilmuannya (memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran keilmuan) secara kritis dan bertanggung jawab. Etika keilmuan, dalam hal ini, sangat berhubungan dengan semangat dan sikap batin (kehendak batin) para ilmuwan yang bersifat tetap dalam dirinya untuk bersikap adil, benar, jujur, bertanggung jawab, setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu baik untuk kepentingan keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya dalam membangun kehidupan. Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya kehendak bathin yang kuat sebagai sebuah tuntutan moral yang harus direalisasikan dalam rangka tugas keilmuan.Etika keilmuan sebagai aspek mendasar dalam rangka keilmuan menjaungkau hal yang lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-kemungkinan terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun obyek dalam keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan menimbulkan semacam kesulitan di mana perkembangan keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran setan. Artinya, seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan kebenaran ilmunya atau hasil penelitiannya untuk membunuh dan menindas sesama manusia dan merusak alam lingkungannya. Ketakutan pada kehidupan di zaman ini yang kian mencemaskan dengan mencuatnya berbagai kegoncangan kosmik, terkikisnya lapisan hoson yang memacu meluasnya panas bumi yang kian mencemaskan, kejahatan biokimia, dan berbagai kenyataan lainnya yang terus muncul dengan beraneka ragam kecemasan dalam kehidupan, menunjukkan betapa dunia keilmuan masih terus menghadapi dirinya sebagai masalah. Ilmu atau keilmuan bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi menyenangkan tetapi di sisi lain mencemaskan. Kenyataan tersebut menegaskan pentingnya etika keilmuan dalam menyiasati perkembangan keilmuan itu sendiri. Ilmu atau keilmuan tetap dikembangkan pada jalurnya yang sebenarnya, melalui etika keilmuan ilmu terus dikembangkan sebagai prestasi keluhuran manusia yang mampu menyejahterakan manusia serta membuat manusia menjadi aktor bagi kehidupan. Di sisi lain, melalui etika keilmuan manusia (ilmuwan) terus dinasihati dan digembalakan agar tidak menyelewengkan keilmuan itu sendiri untuk mengancam kemanusiaanya dan lingkungannya.Etika keilmuan pada prinsipnya mencerminkan adanya "kebangkitan insani" melalui berbagai kegiatan keilmuan atau penemuan keilmuan yang pada hakikatnya menunjukkan perkembangan, citra, keagungan, dan peradaban manusia. Etika keilmuan, dengan demikian, telah mengantisipasi perkembangan-perkembangan keilmuan di kemudian hari yang mungkin mengubah kewajiban etis keilmuan, tetapi tidak mengubah nilai-nilia etis keilmuan yang fundamental mengenai hakikat dan martabat keagungan manusia. Bahwa terdapat kemungkinan di mana dalam perkembangan keilmuan yang tidak terduga, manusia (ilmuwan) dapat mengetahui dan memiliki sesuatu yang sudah ditunjukkan dalam kesadaran etika keilmuannya itu. Kesadaran memungkinkan manusia (ilmuwan) dapat menilai apakah perkembangan keilmuannya dapat membantu mewujudkan perkembangan manusia secara lebih utuh, walaupun ia sendiri tidak mengenal persis titik akhir yang sesungguhnya dari perkembangan tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan dunia keilmuan semakin melangkah maju dengan usaha-usaha efektif guna dapat memerangi "ketidak-beresan" dalam kehidupan termasuk dalam dunia keilmuan. Bahkan, sejarah makin menunjukkan pula bahwa perkembangan dunia keilmuan makin menyingkap adanya orientasi atau arah baru pemikiran untuk makin menyadari akan keselamatan manusia. Konsekuensinya, penting bagi seorang ilmuwan untuk memiliki kepekaan yang besar terhadap etika keilmuan untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi etis dalam dunia keilmuan itu sendiri. Kesadaran etis didasarkan pada kenyataan bahwa dialah orang satu-satunya yang bertanggung jawab sepenuhnya serta patut dimintai pertanggung jawabannya atas segala hal yang diakibatkan oleh kemajuan dunia keilmuan, baik terhadap moralitas manusia maupun orientasi perilakunya.2.5 Hubungan Tanggung Jawab Keilmuan dengan Etika KeilmuanEtika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.

Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia. Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi maupun teori-teori emansipasi masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Daftar PustakaDrijarkara N. 1969. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Harmersma, Harry. 1987. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Yayasan KanisiusKatsoff, Louise. 1953. Elements of Philosophy. New York: The Roland Press CompanyPeursen, Van. 1985. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: GramediaPoedjawijatna. 1967. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: OborSaifullah. 2004. Konsep Dasar Filsafat Ilmu. Malang: UIN Malang

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Rineka CiptaSuhartono, Suparlan. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ujungpandang: Dasar Perkuliahan UNHAShttp://amanahtp.wordpress.com Diakses pada tanggal 20 November 2013 pk. 19.00 WIBhttp://harunalrasyidleutuan.wordpress.com Diakses pada tanggal 21 November 2013 pk. 21.00 WIB Suparlan Suhartono. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ujungpandang: Dasar Perkuliahan UNHAS

Poedjawijatna. 1967. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: Obor

Drijarkara N. 1969. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Harry Hamersma. 1987. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Van Peursen. 1985. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia

Saifullah. 2004. Konsep Dasar Filsafat Ilmu. Malang: UIN Malang

Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:PT. Rineka Cipta

Louise Kattsoff. 1953. Elements of Philosophy. New York: The Roland Press Company

HYPERLINK "http://amanahtp.wordpress.com" http://amanahtp.wordpress.com

HYPERLINK "http://harunalrasyidleutuan.wordpress.com" http://harunalrasyidleutuan.wordpress.com