makalah filsafat ilmu
-
Upload
fajri-filardi -
Category
Documents
-
view
72 -
download
1
Transcript of makalah filsafat ilmu
Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari
sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas
di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia
terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan secara kreatif.
Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena
kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan,
melainkan juga mampu mengembangkannya.
Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna
hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia
sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan
teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek
kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat
sempit”[1]
Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri
modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi
upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden
bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif
dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat
dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan.
Anggapan ini telah berakar sejak abad ke 19.[2]
Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak
terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu
membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga
mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang
bercorak sekuler dibangun di atas filsafat rasionalisme, empirisme dan
materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai
spiritual.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat di atas, maka penulis akan mengemukakan beberpa
permaslahan pokok yang berkaitan dengan materi makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana tinjauan epistemologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
PEMBAHASAN
A. Tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin
Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia,
atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata
secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual,
abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[3]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal
yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[4]
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam,
sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak
ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[5]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya
sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari
kontrol agama.[6]
Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam
segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi
lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[7]
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa makna
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan
ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.
Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan
oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka
agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur,
namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan
ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang
melegalisasikan dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya
merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani
meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu
pengetahuan. [8]
Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi,
maka kita akan memulai melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara
abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad
pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada
pendekatan sejarah gereja. Pada masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu
masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam
kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran
gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan
terhambat.
Pada abad pertengahan ini tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan
manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat
itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat
hukuman berat. Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan
berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama/teologi
yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang
ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak
gereja.[9]
Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata
Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi
istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai
corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.[10]
Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern muncullah
gerakan yang dalam sejarah filsafat disebut Renaissance. Kata renaissance
berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan
yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di
dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni
bagi pengetahun.[11]
Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak
mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari
watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan
pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman
modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama
(Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan
dengan jelas kelak pada zaman modern[12].
Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut
dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting,
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua, semakin
bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan
renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern
berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma
geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin
dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran
filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas
intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan
metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan
tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu[13].
Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di
Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua
bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke
pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri.
Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan.
Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau
rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.
B. Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk
rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan
berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan
“iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme,
membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan
mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu
terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat
normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang
independen dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang
objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan
dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui
pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah
memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah
benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri.
Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya
mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[14]
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada
tahapan ontologis, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu
yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris.
Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan
batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia
mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari
pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka
ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran
yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari
bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan
terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang
dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman
manusia. Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu
pengetahuan dan agama.[15]
Lebih jauh lagi Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses
penduniawian terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada
sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan
kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah
hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan
yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan
setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah
sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.[16]
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir
termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu
pengetahuan yaitu :
. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material
semata-mata.
. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan
agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang
dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak
boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal
perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan[17]
Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu
ciri dari sekularisasi ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien
demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu
bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan
efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi
ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada
keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat
doktriner dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang
maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata
lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan
parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis
secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral,
dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.[18]
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini,
yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari
adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan
apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam kitab suci, kita semuanya
mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar
(82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa
ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi,
sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang
terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu
tidak berlaku lagi hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah
hukum-hukm ukhrawi.[19]
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku
hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-
hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu bukan ciptaan
manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu
tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang
harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah
dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk
mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.[20]
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme
dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia
dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari
segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan
oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa
Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi
matahari sedangkan agama pada waktu itu menyebutkan matahari yang
mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari
alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus
didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang
keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil
memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai
otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat
dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab
moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak
kemanapun arahnya.[21]
C. Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan
Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam
hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan
taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia,
dan kelestarian atau keseimbangan alam.[22]
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.[23]
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya
terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu
membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga
mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan
eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat
materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan
yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.
Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong
persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas
geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia
dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan
perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[24] Gambaran di atas adalah
bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya
sekularisasi ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya
masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki
pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang
kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat
kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk
menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau
antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang
menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-
pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai
kenisbian).[25]
Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian
sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius
jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan
cara menjauhi atau melepaskannya.
Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi
yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan
ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana
dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua
agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam.
Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta
perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan
pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata
lain daipada itu.[26]
Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan
ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-
masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun
menurut Abdurrahman Mas’ud[27], yang menjadi persoalan sebenarnya bukan
pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi
diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi
moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu
untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana
mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik
mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang
teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam
dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana
mengeksploitasi jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa
disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak
berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks
inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus
sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk
memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu
membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan
terpenjara oleh layar.[28] Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah
kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau
kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak
sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani[29], dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan
berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama, dia dapat
meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat
membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-
tujuannya. Ketiga, dia dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat
memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika
dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika
empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa
dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan dalam pembahasan,
dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
a. Secara ontologi sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses
pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan
berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan
gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak
lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam
dirinya.
b. Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada
tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu
pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio
bukan keyakinan iman sebagai penilai.
c. Dalam pandangan aksiologi, sekularisasi ilmu pengetahuan telah
melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi
moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni
untuk kesejahteraan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Ed.I (Cet.VI.; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bakhtiar, Amsar . Filsafat Ilm., Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Brush, Steve. Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang.
Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan modernitas Jakarta:
Erlangga, 2003.
Ghulsyani, Mahdi. The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj. oleh Agus
Effendi. Cet. X; Bandung: Mizan, 1998.
Hadiwijono, Harun. Sari sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius , 1980.
Mahmud, Natsir. Epistimologi dan Studi Kontemporer. Makassar : tp, 2000.
Majid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet I; Bandung:
PT.Mizan Pustaka, 2008.
Mas’ud, Abdurrahman. Pendidikan Islam Paradigma Teologis Filosofis, dan
Spiritualitas. Cet. I; Malang: UMM Press, 2008.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet.V; Bandung:
Mizan, 1998.
Nihaya. Filsafat Umum dari Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami,
1999.
Qardhawi, Yusuf. at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati terj. oleh Nahbani Idris
dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000.
Rusli Karim, Muh. Agama Modernisasi dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994.
S. Praja, Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet.I; Bogor: Kencana, 2003.
Soetrino dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakart: Andi Ofset, 2007.
Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Cet. IV; Jakarta:
Bumi Aksara, 2009.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia,
2004.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. II;
Ciputat: Logos, 2002.
Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed.III
Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
[1] Muh. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994), h. 113.
[2] Ibid., h. 115-116
[3] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Cet.I; Bogor:Kencana,
2003), h. 188.
[4] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
Ed.III (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1015.
[5]Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh
Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar,
2000), h. 1.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet.V; Bandung:
Mizan, 1998), h.188.
[7] Juhaya S. Praja, loc.cit.
[8] Nihaya, Filsafat Umum, dari Yunani sampai Modern, (Makassar: Berkah
Utami, 1999), h. 43.
[9]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Ed.I (Cet.VI; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 67.
[10]H. Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Cet. II;Bandung: Pustaka
Setia, 2004), h. 81.
[11]Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius ,
1980), h. 11.
[12] Ahmad Syadali dan Mudzakir, op.cit, h. 105.
[13]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Cet. VII; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 71-72.
[14] Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, (Makassar : tp,
2000), h. 1.
[15] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian,
(Yogyakarta: Andi Ofset, 2007), h. 47.
[16]Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Edisi Baru, Cet I;
Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008), h. 244.
[17]Nihaya, Filsafat Umum, op. cit., h. 136.
[18] Steve Brush, Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang,
Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan Modernitas (Jakarta:
Erlangga, 2003), h. 33.
[19] Nurcholis Majid, , op. cit, h. 262.
[20]Ibid.
[21] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, op.cit., h. 128.
[22]Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Cet. IV;
Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 152.
[23]Ibid.
[24]Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Cet.
II; Ciputat: Logos, 2002), h. 170.
[25]Ibid.
[26]Amsar Bakhtiar, Filsafat Agama, (Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 232.
[27]Lihat Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis,
dan Spiritualitas, (Cet. I; Malang: UMM Press, 2008), h. 67.
[28]Amsar Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 229.
[29]Lihat Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj.
oleh Agus Effendi, (Cet. X; Bandung: Mizan, 1998), h. 55-56.