Makalah Blok 24 Anemia

22
Anemia Hemolitik Autoimun Nella NIM : 102011185 Email: [email protected] Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Pendahuluan Anemia merupakan masalah yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat terutama di negara berkembang. Kelainan ini juga merupakan penayebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Maka penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai anemia. Anemia Hemolitik adalah penyakit kurang darah atau anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Pada keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Pada anemia hemolitik ini terjadi penurunan usia sel darah merah, baik sementara atau terus-menerus. Anemia ini terjadi apabila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain. Salah satunya jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah 1

Transcript of Makalah Blok 24 Anemia

Page 1: Makalah Blok 24 Anemia

Anemia Hemolitik AutoimunNella

NIM : 102011185

Email: [email protected]

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta

Pendahuluan Anemia merupakan masalah yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di

samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat terutama di negara berkembang. Kelainan ini juga merupakan penayebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Maka penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai anemia.

Anemia Hemolitik adalah penyakit kurang darah atau anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Pada keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Pada anemia hemolitik ini terjadi penurunan usia sel darah merah, baik sementara atau terus-menerus. Anemia ini terjadi apabila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain. Salah satunya jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.1

A. Anamnesis Anamnesis merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis suatu penyakit. Secara

umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Pada anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal seperti: 1. Identitas

a. Nama b. Umur/ usia

1

Page 2: Makalah Blok 24 Anemia

c. Jenis kelamind. Alamate. Pekerjaan

2. Keluhan utamaMenanyakan apa keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien datang berobat.

3. Riwayat penyakit sekarang (RPS)

Apa yang dirasakan pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa gejala

Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap? Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten

dengan malabsorpsi? Adakah tanda – tanda kehilangan darah dari saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntah ‘butiran kopi’) ?

Jika pasien seorang wanita, adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan? Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut.

Adakah sumber kehilangan darah yang lain? Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali? Jika sebelum ini

pernah mengalami hal yang sama apakah ada faktor tertentu yang memicu kondisi tersebut?

Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama pada saat ini?

Apakah sejak muncul gejala, gejala bertambah parah seiring waktu? Upaya apa yang telah dilakukan pasien dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat

yang telah diminum pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita pasien.2

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)Untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama

sebelumnya serta riwayat penyakit lain yang pernah diderita pasien. Adakah dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kronis (misalanya artritis reumatoid atau gejala yang

menunjukkan keganasan) ? Adakah tanda – tanda kegagalan sumsum tulang (memar, perdarahan, dan infeksi

yang tak lazim atau rekuren) ? Adakah tanda – tanda defisiensi vitamin? Adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis (misalnya ikterus, katup

buatan yang diketahui bocor) ? Adakah riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti

endoskopi gastrointestinal?

2

Page 3: Makalah Blok 24 Anemia

Adakah disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput pada esofagus akibat anemia defisiensi Fe).2

5. Riwayat Keluarga Untuk mengetahui bagaimana status kesehatan keluarga serta mencari tahu

apakah terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama. Defisiensi G6PD, sferosit herediter, dan anemia sel sabit termasuk penyakit yang diturunkan melalui mutasi gen.

6. Riwayat psychosocial (sosial)Mengetahui bagaimana lingkungan kerja, sekolah atau tempat tinggal serta faktor

resiko gaya hidup.

B. Pemeriksaan Fisik Pada skenario disebutkan keadaan umum pasien adalah tampak sakit ringan dan

kesadarannya compos mentis. Karena pasien datang dengan kondisi pucat selain melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, perlu dilakukan sedikit pemeriksaan fisik tambahan yang lebih spesifik yaitu memeriksa kondisi konjungtiva dan sklera mata pasien. Konjungtiva yang pucat merujuk pada kondisi kekurangan darah sedangkan sklera yang ikterik menunjukkan tingginya kadar bilirubin dalam darah.3

1. Pemeriksaan fisik khusus abdomenUntuk pemeriksaan fisik pada bagian abdomen, dilakukan dengan terlebih

dahulu membagi bagian abdomen dengan 2 cara : Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal

melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah.

Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan duagaris vertical, Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawanigakesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior (SIAS). Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan mid-line abdomen. Sehingga didapatkan 9 regio, yaitu hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri, lumbal kanan, umbilical, lumbal kanan, iliaka kanan, hipogastrium/suprapubik, dan iliaka kiri.

a. InspeksiDilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama

dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah: Keadaan kulit; Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung). Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali, splenomegali,

kista ovarii, hidronefrosis). Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas. Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau

tumor apa.

3

Page 4: Makalah Blok 24 Anemia

Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).

Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical.

b. Palpasi Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:

Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.

Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Disuahakan agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding abdomen.

Palpasi dimulai dari daerah superfisial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.

Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunter dengan spasme sejati; dengan menekan daerah muskulus rektus relaksasi, maka itu adalah spasme volunter. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, maka itu adalah spasme sejati.

Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kriri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di bagian depan dinding abdomen.

Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelang penderita menyangga costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke depan, diraba dari depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan ditempatkan pada lateral otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan lembut ke arah atas.Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke bawah (tangan dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga merabapermukaan yang lunak tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran).

c. Perkusi Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara eselruhan,

menentukanbesarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan(kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani(organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat). Orientasi abdomen secara umum

Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis untuk mengetahui distribus daerah timpani dan daerah redup. Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang.

Cairan bebas dalam rongga abdomen

4

Page 5: Makalah Blok 24 Anemia

Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen akan menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness di bagian samping atau suara dullness dominan. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah.

Pemeriksaan gelombang cairan (Undulating Fluid Wave)Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnya adalah

ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang cairan yang akan diteruskan ke sisi yang lain. Pasien tidur terlentang, pemeriksa meletakkan telapak tangan kiri pada satu sisi abdomen dan tangan kanan melakukan ketukan berulang-ulang pada dinding abdomen sisi yang lain. Tangan kiri akan merasakan adanya tekanan gelombang.

Pemeriksaan pekak alih (Shifting dullness). Prisnipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen terendah. Pasien

tidur terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan suara timpani ke redup pada kedua sisis. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan perkusi lagi, tandai tempat perlaihan suara timpani ke redup maka akan tampak adanya peralihan suara redup.2,3

C. Pemeriksaan Penunjang Untuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,

dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hapus darah tepi, dan pemeriksaan bilirubin (terutama bilirubin indirek). 4

Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah :

Hitung sel darah merah : Pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta sel/mikroliter).

Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter. Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL). Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%). Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit /mikroliter. Laju Edap Darah (LED) : pria (0-15mm/jam); wanita (0-20mm/jam). Hitung jenis leukosit : Neutrofil (55-70%); Eosinofil(1-3%); Basofil (0-1%);

Limfosit (20-40%); Monosit (2-8%).[4,5].4

Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah eritrosit. MCH adalah kadar hemoglobin dibadingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan MCHC adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan

5

Page 6: Makalah Blok 24 Anemia

tersebut menunjukkan nilai eritrosit rata-rata. Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut adalah : 5

MCV = 82-92 fL MCH = 27-37 pg MCHC = 32-37%

MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom yang biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia megaloblastik. Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis. Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dlakukan secara otomatis, maka red cell distrbution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalny adalah 11,5-14,5 coeffecient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik. Selain itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit, namun bukan ciri khas dari anema hemolitik.

Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari hapus darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan eritrosit, yang perlu diperhatikan adalah ukuran, warna dan bentuknya. Sedangkan pada keadaan limfosit dan trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan darah tepi inilah dapat ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti sferosit, sel sabit, sel target, dan semacamnya. Pada anemia hemolitik secara umum dapat dijumpai eritrosit normositik, polikromasi, kelainan morfologi, dan dapat pula dijumpai eritrosit berinti. Jumlah leukosit meningkat dengan pegeseran ke kiri.

Pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air dan hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total adalah 0,2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0-0,2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0,2-o,8 mg%. pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih tinggi merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis.

Untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit dapat digunakan Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s test) dan Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s test). Pada Direct Coomb’s Sel eritrosit pasien dicuci dari protein – protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.pada anemia hemolitik autoimun pemeriksaan com direk biasanya positif. Sedangkan pada indirect Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel – sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel – sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Pada anemia hemolitik autoimun, tes DAT (Direct Antiglobulin Test) akan memberikan hasil (+) dan pada IAT (Indirect Antiglobulin Test) memberikan hasil (+) atau (-). Hasil Coomb’s test juga memberikan hasil (+) pada anemia hemolitik imun diinduksi obat.4,5

6

Page 7: Makalah Blok 24 Anemia

D. Working Diagnosis Working diagnosis pada skenario ini adalah anemia hemolitik autoimun . Anemia

hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.3

E. Diferensial Diagnosis 1. Anemia Defisiensi G6PD

Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya enzim G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi membran eritrosit dan hemoglobin dari oksidan. Diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih nyata pada laki-laki. Gejala klinis yang timbul berupa cepat lelah, pucat, sesak napas, jaundice dan pembesaran hepar. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen. Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya serangan hemolitik diawali dengan malaise, kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria. Onsetnya tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinemia, hemoglobinuria, LDH (laktat dehirogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari pemeriksaan, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata) dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri khas dari anemia hemolitik akut.6

2. Anemia hemolitik et causa obat

Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap mengenai jenis obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sudah berapa lama obat tersebut dikonsumsi. Etiologi dari anemia hemolitik tipe ini adalah obat-obatan yang dapat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog seperti methyldopa. Kemudian obat-obatanya yang membentuk kompleks ternary seperi kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonylurea, dan thazid.

Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika obat memicu pertahanan tubuh (imun) untuk menyerang sel darah merah sendiri. Hal ini menyebabkan sel darah merah destruksi lebih awal, proses yang disebut hemolisis. Kasus ini menyebabkan sistem kekebalan tubuh keliru dan mengira sel darah merah tubuh sendiri yang berbahaya, sebagai zat asing. Antibodi kemudian melawan sel-

7

Page 8: Makalah Blok 24 Anemia

sel darah merah sendiri. Antibodi menempel pada sel darah merah dan menyebabkan mereka untuk destruksi lebih dini. Gejala umumnya sama seperti anemia hemolitik imun hanya saja gejala anemia ini akibat induksi dari obat. Riwayat pemaikan obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap mengenai jenis obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sdah berapa lama obat-obatan tersebut dikonsumsi. Hasil laboratorium yang didaaat mengonfirmasi anemia ini adalah retikulosis, anemia, MCV tinggi, tes Coombs positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Secara non-medikamentosa dengan menghentikan obat yang menjadi pemicu dan transfusi darah jika perli, hemolisis dapat dikurangi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara medikamentosa adalah pemberian kortikosteroid jika kondisi benar-benar berat.7

3. Anemia sel sabit

Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan salinan gen hemoglobin detektif, masing – masing satu dari orang tua. Hemoglobin yang cacat tersebut, yang disebut HbS, menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti sabut jika terpajan oksigen berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga memicu produksi hasil akhir glikasi yang masuk kedalam sirkulasi, sehingga memperburuk proses patologi vaskular pada individu yang mengidapa anemia sel sabit. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak denga mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah dibawahnya, akibat timbul nyeri karena iskemi jaringan. Meskipun bentuk sel sabit ini berbentuk reversible jika saturasi Hb kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur didalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel – sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan parut dan kadang – kadang infark (sel yang sudah mati) dari berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun.1

4. Sferositosis herediter

Suatu penyakit genetik dari selaput (membrane) sel darah merah yang secara klinis dikarakteristikan oleh anemia, jaundice (penyakit kuning) dan splenomegaly

8

Page 9: Makalah Blok 24 Anemia

(pembesaran limpa). Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa, menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. Anemia biasanya ringan , tetapi bisa semakin berat jika terjadi infeksi.Pada dewasa muda , penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tulang seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti menara dan kelebihan jari tangan dan kaki.

Biasanya tidak diperlukan pengobatan tetapi anemia yang berat mungkin memerlukan tindakan pengangkata limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki anemia. Anemia karena kelainan pada sel darah merah . penghancurn sel darah merah bisa terjadi karena , sel darah merah memiliki kelainan bentuk sel darah merah memiliki selaput yang lemah dan mudah robek. Kekurangan enzim yang memugkinkan diperlikan supaya bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan enzim yang menjaga kelenturan sehingga sel darah merah mengalir melalui pembuluh pembuluh darah yang sempit. Kelainan sel darah merah tersebut terjadi penyakit keturunan tertentu. Sferositosis Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat. Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan oleh limpa, menyebabkan anemia dan pembesaran limpa.

Anemia biasanya ringan tetapi, bisa semakin berat jika terjadi infeksi. Sferositosis jika penyakit ini berat, bisa tterjadi sakit kuning (jaundice). Anemia , pembesaran hati, pembentukan batu empedu. Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikeliruka sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tualang, seperti tulang tengkorak yang bewrbewntuk seperti menara dan kelebihan jari tangan dan kaki. Biasanya tidak diperlukan pengobatan . tetapi anemia yang berat memerlikan tindakan penangkatan limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi jumlah sel yan dihancurkan dank arena itu memoerbaiki anemia. Penghancuran sel darah merah bisa terjadi kaerna :

Sel darah merah memiliki kelainan bentuk Sel darah merah memiliki selaput yang lemah dan mudah robek Kekurangan enzim yang yang diperlukan supaya bisa berfungsi sebagaimana

memungkinkan sel darah merah mengalir melalui pembuluh darh yang sempit.Kelainan sel darah merah tersebut terjadi pada penyakit keturunan tertentu.

Sferositosis Herediter adalah penyakit dimana sel darah merah berbeentuk bulat. Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. 8

F. Etiologi

9

Page 10: Makalah Blok 24 Anemia

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada pembatasan limfosit autoreaktif residual.7

G. Epidemiologi

Anemia hemolitik autoimun yang paling sering ditemukan adalah anemia hemolitik autoimun tipe hangat (75% dari populasi anemia hemolitik autoimun). Anemia hemolitik autoimun ini juga lebih banyak ditemukan pada wanita (65%dari kasus). Anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang seringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut. Meskipun demikian, anemia hemolitik adalah bentuk anemia yang jarang ditemukan. Jumlah kejadiannya adalah 1 kasus dari 100.000 individu. Namun, di Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden kasus AIHA secara nasional.7

H. PatofisiologiPerusakan se-sel eritrosit yang di perantarai antibody ini terjadi melalui aktivasi

sistem komplemen,aktifasi mekanisme seluler,atau kombinasi keduanya.1. Aktivasi sistem komplemen

Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler (RBClisis-hemoglobin-ginjal-hemoglobinuria,hemosiderinuria) yang di tandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.Sistem komplemen akan di aktifkan menuju jalur klasik atau pun jalur alternative.Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,IgG1,IgG2,IgG3.IgM di sebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibody ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.Antibodi IgG di sebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan anti gen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.a. Aktivasi komplemen jalur klasik

Reaksi di awali dengan aktivitas C1suatu protein yang di kenal sebagai recognition unit.C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibody dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b ( di kenal sebagai C3 convertase).C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen ( sel darah merah berlabel antibody).C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c.C3d dan C3g akan berikatan pada membrane sel darah merah dan merupakan prroduk final aktivasi C3.C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b( convertase).c5

10

Page 11: Makalah Blok 24 Anemia

convertase akan memecah menjadi C5a (anflatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membrane.Kompleks penghancur membrane terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8,dan beberapa molekul C9.Kompleks ini akan menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran transmembran normal akan terganggu.Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan rupture.

b. Aktivasi komplemen jalur alternatif Aktifator jalur alternative akan mengaktifkan C3,dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membrane sel darah merah.faktor B kemudian melekat pada C3b,dan oleh faktor D faktor B di pecah menjadi Bad an Bb.Bb merupakan suatu protease serin,dan tetap melekat pada C3b.Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan c3b.C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb di pecah menjadi C5a dan C5b.Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membrane.7

2. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular

Jika sel darah di sensitasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut,maka sel darah merah tersebut akan di hancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.Proses immine adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang di perantarai sel.Immunoadherence terutama yang di perantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.7

I. Manifestasi Klinis

Gejala umum anemia dapat disebut sebagai sindrom anemia, timbul karena isemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan kadar Hb sampai kadar tertentu (Hb < 7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan Hb yang berat (Hb < 7g/dl). Pada anemia hemolitik gejala umum yang terjadi adalah anemia, ikterus ringan yang disebabkan karena bilirubin yang tak terkonjugasi dalam plasma namun tidak ada dalam urin, Splenomegali pada banyak tipe anemia hemolisis. Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA) merupakan kelainan darah yang didapat, dimana autoantibodi IgG yang dibentuk terikat pada membran sel darah merah. Antibodi ini umunya berhadapan langsung dengan komponen dasar dari sistem Rh dan sebenarnya dapat terlihat pada semua sel darah merah semua orang. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) di bagi menjadi :1. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat

11

Page 12: Makalah Blok 24 Anemia

70% dari kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi beraksi secara optimal pada suhu 37 derajat celsius. Kurang lebih 50% dari pasien AIHA tiep hangat disertai dengan penyakit lainnya. Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan, ikterik dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, nyeri abdomen dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikteri terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60% pasien, hepatomegali terjadi pada 30% pasien, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25 % pasien tidak disertai perbesaran organ dan limfonodi. Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan berekais dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda. AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara maksimal pada suhu 37C.

2. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin.Hemolisis berjalan

kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan menimbulkan meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM (coldaglutinin), yang mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4C). AIHA tipe hangat lebih sering dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada laki-laki. Direct Coomb’s tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun hemolisis.7

J. Penatalaksanaan

1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu biasanya sebagian besar akan

menunjukan respon klinis baik (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke 30 sampai hari ke 90. Bila respon terhadap kortikosteroid baik, maka dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.

Spelenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis tetap dapat terjadi walau sudah dilakukan splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan

12

Page 13: Makalah Blok 24 Anemia

kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75% tapi tidak permanen, glukokortikoid rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.

Imunosupresi : Azathioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150mg/hari. Terapi lainnya : Danazol 600-800mg/hari. Biasanya digunakan berbarengan dengan

steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan dosisnya atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednison menberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Mycophenolate mofetil 500 mg per hari – 1000 mg per hari pernah dilaporkan memberikan hasil yang baik pada AIHA yang refrakter. Rituximab 100 mg/minggu selama 4 minggu untuk salvage therapy.

Terapi transfusi : hanya diberikan apabila untuk life saving (Hb <3g/dl).2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

Terapi pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin yakni dengan menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.

Prednisolon dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorambucil 2 -4 mg /hari Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi

hemolisis, namun secara praktik hal ini sulit dilakukan.7

K. Komplikasi

1. Ikterus2. Hepatosplenomegali3. Kematian.7

L. Prognosis

Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki penyakit yang berlangsung kronik namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%..7

Kesimpulan

Setelah mempelajari teori-teori yang berkenaan dengan skenario, kesimpulannya adalah wanita tersebut menderita anemia hemolitik autoimun.

Daftar Pustaka

13

Page 14: Makalah Blok 24 Anemia

1. Corwin JE. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-2.Jakarta:EGC.2009.hal;416.

2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h. 84-5.

3. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia.dalam buku ajar ilmu penyakit dalam.

Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing; 2010. h. 1109-15.

4. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta:

Penerbit EGC; 2005. h.256.

5. Atul BM, Victor H. At a glance hematologi. Edisi ke-2.Jakarta:Penerbit Erlangga; 2006.

h.19.

6. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun dalam buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.h.1157

7. Parjono E, Hariadi KWT. Anemia hemolitik autoimun dalam buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing; 2010. h. 1152-6.

8. Mitchel, Kumar, Abbas, Fuasto. Buku saku dasar patologis klinis. Edisi 7. Jakarta: Penerbit EGC; 2008.h.363

14