Makalah Bhp
-
Upload
rizqy-aulia-cahyantari -
Category
Documents
-
view
42 -
download
0
description
Transcript of Makalah Bhp
1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hepatitis B merupakan penyakit inflamasi hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (HBV). HBV merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran
42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Penanda serologis
khas yang khas yang berkaitan dengan HBV antara lain HBsAg, HBeAg, Anti
HBs, HBcAg, IgM anti HBc, IgG anti HBc, anti HBe, DNA HBV. Infeksi HBV
merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronik, sirosis, dan
kanker hati di seluruh dunia. Endemis di sebagian besar kepulauan Pasifik,
Afrika, sebagian Timur Tengah. Hanya sekitar 25 % dari mereka yang
mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan rumah sakit, dan
sekitar 1-2 % meninggal karena penyakit fulminan. Perkiraan jumlah karier di
Amerika Serikat adalah sekitar 800.000 hingga 1 juta orang. Sekitar 25 % dari
karier berkembang menjadi hepatitis kronik aktif yang sering berlanjut
menjadi sirosis. Pada karier, risiko berkembangnya kanker primer meningkat
bermakna.
Gambar 1. Struktur Virus Hepatitis B
2
Parenteral dan membrane mukosa (hubungan seksual) merupakan jalur
penularan utama dari HBV. 60 – 90 hari HBV memerlukan waktu untuk
inkubasi. Pada hampir di seluruh cairan tubuh HBsAg dapat ditemukan,
misalnya : darah, semen, saliva, air mata, asites, urine, dan feses. Kelompok
masyarakat yang memiliki faktor risiko tertular HBV antara lain:
a. Imigran daerah endemis HBV
b. Pengguna obat IV yang sering bertukar jarum dan alat suntik
c. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang
terinfeksi
d. Pria homoseksual yang secara aktif seksual
e. Pasien rumah sakit jiwa
f. Narapidana pria
g. Pasien hemodialisis dan penderita hemophilia yang menerima produk
tertentu dari plasma
h. Kontak serumah dengan karier HBV
i. Pekerja sosial di bidang kesehatan , terutama yang banyak kontak
dengan darah
j. Bayi baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat terinfeksi pada saat atau
segera setelah lahir.
2. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk
a. Mengetahui aspek medis pada Hepatitis B kronik dan karier.
3
b. Mengetahui aspek hokum pada Hepatitis B kronik dan karier.
c. Mengetahui aspek budaya pada Hepatitis B kronik dan karier.
4
B. PEMBAHASAN 1. Medis
a. Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia
Prevalensi pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan 4 –
20,3% dengan proporsi pengidap di luar Jawa lebih tinggi daripada Pulau
Jawa. Perjalanan Hepatitis B kronik dapat menjadi Sirosis dan Karsinoma
Hepatoselular. Insiden kumulatif 5 tahun angka 8 – 20% dengan jumlah
20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata
dalam 5 tahun berikutnya. Sementara insiden kumulatif KHS pada pasien
dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada
pemantauan 6 tahun.
b. Perjalanan Penyakit Hepatitis B
Penyakit ini disebakan infeksi oleh virus hepatitis B, sebuah virus DNA
dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan
terdiri dari 3200 pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan dua
keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara
spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2)
Berkembang menjadi penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune
clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase immune
tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune
clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini
ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian dapat
5
berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB
yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati minimal.
Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif dapat mengalami fase
reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai >2000 IU/ml dan inflamasi
hati kembali terjadi.
6
Gambar 2 : Grafik Perjalanan Penyakit Hepatitis B
Simber : Harrison’s Interna Medicine 18th Edition
c. Diagnosis Ada beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosis Hepatitis B antara
lain :
1) Pemeriksaan HBsAg, tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya
HBV dalam darah. Hasil yang positif berarti: seseorang telah
terinfeksi virus Hepatitis B baik akut ataupun kronis dan dapat
menularkan virus kepada orang lain. Sedangkan jika pemeriksaan
7
negatif berarti: seseorang tidak memiliki virus Hepatitis B dalam
darahnya. Jika HBsAg menetap selama > 6 bulan maka infeksi
dinyatakan kronis.
2) Pemeriksaan anti-HBs, tujuannya untuk mendeteksi antibodi yang
dihasilkan oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus
Hepatitis B. Jika pemeriksaan positif berarti: seseorang telah
dilindungi atau kebal dari virus Hepatitis B karena telah
divaksinasi atau ia telah sembuh dari infeksi akut (dan tidak bisa
Hepatitis B lagi).
3) Pemeriksaan anti-HBc, tujuannya untuk mendeteksi antibodi yang
dihasilkan oleh tubuh sebagai respons terhadap bagian dari virus
Hepatitis B yang disebut antigen inti. Hasil dari pemeriksaan ini
seringkali tergantung pada hasil dari dua pemeriksaan lainnya ,
pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Pemeriksaan positif berarti:
seseorang saat ini terinfeksi dengan virus Hepatitis B atau pernah
terinfeksi sebelumnya.
4) Pemeriksaan IgM anti-HBc, tujuan pemeriksaan yaitu untuk
mendeteksi infeksi akut. Pemeriksaan positif berarti: seseorang
telah terinfeksi virus Hepatitis B dalam 6 bulan terakhir.
5) Pemeriksaan HBeAg, tujuannya untuk mendeteksi protein (HBeAg)
yang ditemukan dalam darah selama infeksi virus Hepatitis B aktif.
Pemeriksaan positif berarti: seseorang memiliki virus tingkat (level)
tinggi dalam darahnya dan dapat dengan mudah menyebarkan
8
virus ke orang lain. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk
memantau efektivitas pengobatan untuk Hepatitis B kronis.
6) Pemeriksaan HBeAb atau anti-HBe, Tujuan untuk mendeteksi
antibodi (HBeAb atau anti-HBe) yang dihasilkan oleh tubuh sebagai
respons terhadap Hepatitis B antigen “e”. Pemeriksaan positif
berarti: seseorang terinfeksi virus Hepatitis B kronis tetapi berada
pada risiko rendah untuk terkena masalah penyakit hati karena
rendahnya tingkat virus Hepatitis B dalam darah.
Pemeriksaan HBV-DNA, bertujuan untuk mendeteksi seberapa besar HBV
DNA dalam darah dan hasil replikasinya pada urin seseorang. Pemeriksaan
positif berarti: virus ini berkembang biak di dalam tubuh seseorang dan dapat
menularkan virus kepada orang lain. Jika seseorang memiliki Hepatitis B infeksi
virus kronis, kehadiran DNA virus berarti bahwa seseorang mengalami
peningkatan risiko untuk kerusakan hati. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk
memantau efektivitas terapi obat untuk infeksi Virus Hepatitis B kronis serta
dapat menjadi dasar perhitungan dimulainya pengobatan
d. Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk hepatitis akut B. Perawatan
ditujukan untuk menjaga kenyamanan dan keseimbangan gizi yang
memadai, banyak istirahat di tempat tidur, makan makanan sehat, dan
minum banyak cairan sebagai penggantian cairan yang hilang akibat
muntah dan diare.
9
Untuk beberapa pasien dengan hepatitis kronis, di Indonesia
terdapat dua jenis strategi pengobatan hepatitis B, yaitu terapi
dengan durasi terbatas atau terapi jangka panjang. Terapi dengan
analog nukleos(t)ida dapat diberikan seumur hidup atau hanya dalam
waktu terbatas, sementara interferon hanya diberikan dalam waktu
terbatas mengingat beratnya efek samping pengobatan. Sampai saat
ini belum bisa diputuskan pilihan terapi mana yang paling unggul
untuk semua pasien. Pemilihan strategi terapi yang digunakan harus
disesuaikan dengan kondisi individu tiap pasien. Tenofovir atau
entecavir adalah obat yang dinilai paling efektif untuk digunakan,
namun mengingat tingginya biaya dan ketersediaan obat, lamivudin,
telbivudin, dan adefovir juga tetap dapat digunakan di Indonesia. Obat-
obat tersebut dapat menurunkan atau menghapus hepatitis B dari
darah dan mengurangi risiko sirosis dan kanker hati. Pasien dengan
hepatitis kronis harus menghindari alkohol dan harus selalu memeriksa
dengan dokter sebelum mengkonsumsi obat atau suplemen herbal
tambahan
e. Pencegahan
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi
Hepatitis B. Saat ini, terdapat dua bentuk imunisasi yang tersedia
yakni imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai
dengan memberikan vaksin hepatitis B. Vaksin Hepatitis B
mengandung HBsAg yang dimurnikan. Vaksin hepatitis B berisi HBsAg
10
yang diambil dari serum penderita hepatitis B yang dimurnikan atau
dari hasil rekombinasi DNA sel ragi untuk menghasilkan HBsAg.
Setiap mL vaksin umumnya mengandung 10-40 µg protein HBsAg.
Vaksin tersebut akan menginduksi sel T yang spesifik terhadap HBsAg
dan sel B yang dependen terhadap sel T untuk menghasilkan antibodi
anti-HBs secepatnya 2 minggu setelah vaksin dosis pertama.
Indikasi pemberian vaksinasi hepatitis B adalah kelompok individu
yang mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya: individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien
cacat mental, pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da
IX, orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien
hepatitis B, homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah
endemis hepatitis B, individu heteroseksual dengan partner seksual
multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak
yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik. Vaksin ini dapat diberikan
3 dosis terpisah, yaitu 0, 1 dan 6 bulan. Perlu dicatat bahwa panduan
imunisasi yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian vaksin
pada saat bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6.
Pemberian 3 dosis vaksin ini akan menghasilkan respon antibodi
protektif pada 30-55% dewasa sehat berumur <40 tahun setelah dosis
pertama, <75% setelah dosis kedua dan >90% setelah dosis ketiga.
Pada dewasa sehat berumur > 40 tahun, maka proporsi pasien yang
memiliki antibodi setelah tiga dosis injeksi menurun <90%, dan pada
11
umur 60 tahun, antibodi hanya muncul pada <75% pasien.Vaksinasi
Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi
Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan vaksinasi dinilai
dari terdeteksinya anti-HBs di serum pasien setelah pemberian
imunisasi hepatitis B lengkap (3-4 kali).
Pencegahan Khusus Paska Pajanan
Bagi orang yang tidak divaksinasi dan terpajan dengan hepatitis B,
pencegahan paska pajanan berupa kombinasi HBIg (untuk mencapai
kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin hepatitis B
(untuk kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus
diberikan. Pada pasien yang terpajan secara perkutan maupun
seksual, status HBsAg dan anti-HBs sumber pajanan dan orang yang
terpajan harus diperiksa. Apabila orang yang terapajan terbukti
memiliki kekebalan terhadap hepatitis B atau sumber pajanan terbukti
HBsAg negatif, pemberian profilaksis paska pajanan tidak diperlukan.
Apabila sumber pajanan terbukti memiliki status HBsAg positif dan
orang yang terpajan tidak memiliki kekebalan, maka pemberian HBIg
harus silakukan segera dengan dosis 0.06 mL/kg berat badan dan
diikuti vaksinasi. Apabila status HBsAg sumber pajanan tidak
diketahui, maka harus dianggap bahwa status HBsAg sumber pajanan
adalah positif. Pada pasien yang divaksinasi atau mendapat HBIg,
HBsAg dan Anti-HBs sebaiknya diperiksa 2 bulan setelah pajanan.
12
KONSELING Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan
penanganan Hepatitis B Keberhasilan terapi akan menurunkan risiko
mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ni juga
dipengaruhi kepatuhan minum obat pasien. Maka pada setiap pasien
hepatitis B, konseling berikut harus diberikan:
a. Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan
mengurangi makanan yang memiliki kemungkinan bersifat
hepatotoksik.
b. Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu,
suplemen, atau obat yang dijual bebas.
c. Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya
apabila berobat ke dokter untuk menghindari pemberian
terapi yang bersifat hepatotoksik dan terapi imunosupresi.
d. Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani
pemeriksaan USG dan AFP setiap 6 bulan sekali untuk
deteksi dini kanker hati.
e. Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
f. Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual
dengan pasangan yang belum divaksinasi.
g. Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau
cukur.
h. Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak
kontak dengan
13
2. Hukum
Pada aspek hukum menilik Undang- Undang Kesehatan RI No. 23 Tahun
1992 Pasal 28 mengenai pemberantasan penyakit. Hepatitis B merupakan
penyakit menular yang memiliki komplikasi serius yakni sirosis dan karsinoma
hepatoselular. Kedua penyakit tersebut masih menjadi perhatian karena
memerlukan perawatan khusus dan secara tidak langsung dapat menurunkan
kualitas hidup penderita. Pada Pasal 28 UU Kesehatan No.23 tahun 1992
diatur mengenai pemberantasan penyakit menular termasuk Hepatitis B.
Adapun isi dari pasal tersebut antara lain :
Ayat 1
Pemberantasan Penyakit diselenggarakana untuk menurunkan angkaq kesakitan dan
atau kematian
Ayat 2
Pemeberantasan penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan tidak menular
Pemberanatasan penyakit menular yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan
angka kematian yang tinggi dilaksanakan sedini mungkin
Pasal 29
Pemberantasan penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi
penyakit dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakatdan denganb cara lain
14
Pasal 30
Pemeberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan,
penyelidikan, pengebalan,menghilangkan sumber perantara penyakit, tindakan
karantina dan upaya lain yang diperlukan
Pasal 31
Pemeberanatasan penyakit menular yang dapat menimbuilkan wabah dan penyakit
karantina dilaksanakan seasuai dengan ketentuan undang undang yang berlaku
Berdasarkan pasal tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Kesehatan Indonesia mulai memberlakukan imunisasi Hepatitis B pada kelompok
masyarakat yang berisiko untuk mencegah penyebaran Hepatitis B lanjut sehingga
diharapkan dapat memutus mata rantai penularan Hepatitis B di Indonesia.
Dikutip dari : Buku Etika Kedokteran dan Hukum BAB XVIII
15
3. Budaya
Pada pembahasan aspek budaya dilihat dari pengamatan yang terjadi
pada populasi di Amerika Serikat dan Asia secara umum. Perawatan HBV
mengalami berbagai hambatan yang perlu dipelajari agar menunjang dalam
memahami dan menjalankan program penuntasan hepatitis B.
Prevalensi virus (HBV) infeksi hepatitis B pada populasi Amerika dan Asia
amat tinggi dibandingkan dengan penduduk AS secara keseluruhan.
Manajemen yang efektif sulit karena hambatan budaya, dengan pengakuan
keragaman benua Asia dalam hal bahasa dan keyakinan spiritual. Hambatan
untuk perawatan antara penduduk Amerika Asia termasuk didalamnya
rendahnya pendidikan, status sosial ekonomi rendah, kurangnya asuransi
kesehatan, noncitizenship, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dalam
bahasa Inggris, persepsi negatif dari kedokteran Barat, dan
underrepresentation kalangan profesional perawatan kesehatan. Mengingat
keragaman penduduk, beberapa sub-populasi dapat lebih langsung
dipengaruhi oleh hambatan tertentu daripada yang lain. Penundaan yang
dihasilkan dalam mencari perawatan dapat menyebabkan hasil yang buruk
dan risiko penularan HBV kepada anggota rumah tangga. Penyedia layanan
kesehatan wajib untuk mendidik diri mereka tentang kepekaan budaya dan
advokasi untuk meningkatkan akses ke perawatan.
a. HAMBATAN PEMERIKSAAN DAN PERAWATAN
Hambatan manajemen yang efektif dari infeksi HBV di Asia Amerika
termasuk budaya, sosial ekonomi, dan aksesibilitas masalah.
16
1) Bahasa dan isolasi linguistik
Kemampuan terbatas dalam bahasa Inggris adalah besar, jika
bukan yang terbesar, penghalang untuk manajemen yang efektif
dari infeksi HBV kronis. Menurut Biro Sensus Amerika Serikat,
orang dengan keterbatasan kemampuan bahasa Inggris adalah
salah satu yang tidak berbicara bahasa Inggris "sangat baik." 6
terminologi ini memiliki implikasi untuk alokasi sumber daya
pemerintah federal, yaitu, persentase warga masyarakat dengan
keterbatasan kemampuan bahasa Inggris adalah kriteria untuk
penerimaan hibah pemerintah dan bentuk bantuan lain.
Isolasi Linguistik, hambatan lain untuk perawatan medis, adalah
kurangnya anggota keluarga berbahasa Inggris yang lebih tua dari
14 tahun .7 Dengan definisi ini, lebih dari sepertiga dari Korea,
Taiwan, Cina, Hmong, dan Bangladesh rumah tangga, dan hampir
separuh rumah tangga Vietnam, yang bahasa terisolasi, dengan
kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan perawatan
kesehatan providers.
2) Kurangnya asuransi kesehatan dan berkorelasi nya
Tingginya persentase imigran Asia tanpa asuransi kesehatan
adalah sebuah tantangan untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang memadai. Asuransi kesehatan yang kurang untuk sekitar
sepertiga dari imigran Korea, sekitar satu dari lima imigran dari
Asia Tenggara dan Asia Selatan, dan sekitar 15% dari Filipina dan
17
Cina immigrant. Salah satu alasan untuk sebagian besar tidak
diasuransikan antara kelompok ini adalah tingginya tingkat
kepemilikan usaha kecil di kalangan orang Amerika Asia dan
kesulitan yang pemilik usaha kecil telah memperoleh asuransi
kesehatan yang terjangkau. Selain itu, meskipun Amerika Asia
mungkin sebagai warga AS lainnya yang akan bekerja penuh
waktu, pilihan pekerjaan mereka mungkin kurang kemungkinan
untuk memasukkan manfaat asuransi kesehatan.
Kemiskinan mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh
asuransi kesehatan. Meskipun citra populer dari imigran Asia
adalah orang berpendidikan dengan potensi penghasilan tinggi,
kenyataannya adalah bahwa kemiskinan menyerang imigran dari
Asia Tenggara pada tingkat tinggi. Hampir 40% dari populasi
Hmong, misalnya, hidup di bawah tingkat kemiskinan, dan tingkat
kemiskinan di antara Kamboja, Bangladesh, Malaysia, dan
beberapa sub-populasi Asia lainnya yang hampir sama tinggi.
Kewarganegaraan berkorelasi dengan kemampuan untuk
memperoleh asuransi kesehatan, diperkirakan bahwa 42% sampai
57% dari bukan warganegara tidak memiliki asuransi kesehatan,
dibandingkan dengan 15% dari citizens.8 Hanya setengah dari
imigran Asia menjadi warga negara naturalisasi, dengan
variabilitas luas di antara subkelompok. Dua-pertiga dari Filipina
yang berimigrasi ke Amerika Serikat akhirnya menjadi naturalisasi
18
dibandingkan dengan kurang dari sepertiga dari Malaysia, Jepang,
Indonesia, dan Hmong immigrant.
Contoh Kasus :
Selama pemeriksaan rutin, seorang wanita 55 tahun ditemukan
memiliki kelainan hati, skrining mengungkapkan bahwa dia adalah
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) positif. Pasien, yang
berimigrasi dari Vietnam pada tahun 1982, berbicara terbatas
Inggris tetapi disertai dengan putrinya, yang bertindak sebagai
penerjemah. Dia tidak memiliki keluhan, tidak memiliki riwayat
narkoba suntikan atau penyalahgunaan alkohol, dan laporan
merasa baik. Hanya obatnya adalah obat antihipertensi. Hasil
laboratorium nya termasuk bilirubin 0,8 mg / dL, aspartat
aminotransferase 92 U / L, SGPT 126 U / L, albumin 3,8 U / L,
rasio normalisasi internasional 1.2, dan jumlah trombosit dari 166
× 109 / L. Status HBsAg positif nya dikonfirmasi, dan viral load-nya
adalah 1.100.000 IU / mL. Hati ultrasonografi mengungkapkan
penampilan yang sedikit nodular. Dia didiagnosis dengan infeksi
virus hepatitis B kronis, tetapi meskipun diskusi yang luas dengan
pasien dan putrinya, dia menolak pengujian lebih lanjut atau
pemeriksaan. Dia mengatakan bahwa dia takut dikucilkan jika
teman-teman dan keluarga tahu tentang infeksi nya.
Pasien hilang untuk menindaklanjuti selama 2 tahun. Ketika dia
yang berikutnya dilihat, dia melaporkan menggunakan obat herbal
19
setiap hari dalam upaya untuk "membersihkan hatinya," tapi
sekarang pemberitahuan "mata kuning" dan berat badan 10 pon.
Enzim hati nya tetap tinggi, bilirubin nya sekarang 3,4 mg / dL, dan
studi pencitraan mengungkapkan massa 4 cm konsisten dengan
karsinoma hepatoseluler.
3) Representasi tenaga kerja kesehatan
Subkelompok Asia tertentu kurang terwakili dalam komposisi
rasial tenaga kerja perawatan kesehatan AS, ketidakseimbangan
ini dapat mempengaruhi akses ke sistem perawatan kesehatan
dan kepatuhan terhadap resep medis
dan instruksi antara kelompok yang kurang terwakili.
Konkordansi rasial antara pasien dan penyedia layanan kesehatan
dikaitkan dengan partisipasi pasien yang lebih besar dalam
perawatan.
4) Sistem dan sikap terhadap perawatan kesehatan Keyakinan
Agama pasien imigran dan sikap budaya terhadap pengobatan
Barat dapat menimbulkan kesulitan dalam berhasil mengelola
penyakit. Banyak orang Amerika Asia beragama Buddha, yang
mungkin percaya bahwa penderitaan merupakan bagian integral
dari kehidupan, secara proaktif mencari perawatan medis mungkin
tidak penting bagi mereka. Konfusianisme, penyembahan leluhur
dan penaklukan diri untuk kesejahteraan keluarga, adalah sistem
20
kepercayaan umum di antara orang Asia yang dapat menghambat
keinginan untuk mencari perawatan medis yang diperlukan.
Misalnya, sesepuh keluarga dapat memerintahkan seorang
pemuda untuk tidak mencari perawatan medis untuk infeksi HBV
karena ini akan membahayakan prospek pernikahan saudara-
saudaranya '. Taoisme melibatkan keyakinan bahwa
kesempurnaan itu dicapai ketika peristiwa diperbolehkan untuk
mengambil kursus lebih alami. Oleh karena itu intervensi adalah
disukai.
Beberapa sistem kepercayaan bisa menghambat perawatan
karena mereka menggabungkan ketidakpedulian terhadap
penderitaan. Banyak Hmong percaya bahwa panjang kehidupan
sudah ditentukan sebelumnya, sehingga menyelamatkan nyawa
perawatan adalah sia-sia. Nilai budaya dapat ditempatkan pada
ketabahan, mengecilkan kunjungan ke penyedia layanan
kesehatan. Sebuah keyakinan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
peristiwa supranatural daripada etiologi organik adalah persepsi
lain yang berfungsi sebagai penghalang untuk mencari perawatan
medis.
Ketidakpercayaan, atau ketidakbiasaan dengan, pengobatan
Barat dapat menunda perawatan, dan hasil yang buruk dihasilkan
dapat disifatkan kepada pengobatan Barat itu sendiri. Dalam
21
beberapa budaya, ada keyakinan meluas bahwa dokter dapat
menyentuh denyut nadi dan mengidentifikasi masalah. Beberapa
Laos percaya bahwa imunisasi berbahaya bagi roh bayi, dan
karena itu melupakan imunisasi terhadap HBV bila diindikasikan.
Hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan nya
merupakan faktor penentu penting dari kualitas pelayanan dan
kesediaan untuk terus menerima perawatan. Skenario terbaik
adalah konkordansi dalam bahasa dan budaya. Budaya Asia
menekankan kesantunan, menghormati otoritas, berbakti, dan
menghindari rasa malu. Karena pasien Asia seringkali memandang
dokter sebagai figur otoritas, mereka mungkin tidak mengajukan
pertanyaan atau pemesanan suara atau kekhawatiran tentang
rejimen pengobatan mereka, melainkan mereka dapat
mengekspresikan persetujuan mereka dengan saran dokter, tetapi
dengan tidak ada niat untuk kembali atau mengikuti instruksi.
Sumber : http://www.ccjm.org/content/76/Suppl_3/S10.full
Infeksi HBV membawa stigma tentang modus penularan yang
dapat mengganggu kehidupan sehari-hari pasien. Sebuah studi
tentang sikap HBV menemukan bahwa pasien yang terinfeksi HBV
merasa kurang diterima untuk menginap semalam atau berbagi
kamar mandi yang sama pada teman-teman 'atau kerabat' rumah,
bahwa orang-orang yang tidak terinfeksi takut bahwa penyakit
tersebut dapat diberikan kepada mereka oleh teman-teman HBV-
22
positif, dan bahwa pasien yang terinfeksi HBV prihatin tentang
apakah pilihan mereka mungkin telah menyebabkan infeksi.
b. Mengatasi Hambatan
Sensitivitas terhadap sikap budaya dapat meningkatkan
komunikasi dan kemungkinan bahwa pasien akan menerima
rekomendasi dokter '. Beberapa kunjungan kantor mungkin diperlukan
untuk mengkonfirmasi bahwa seorang pasien menerima instruksi
penyedia perawatan kesehatan dan mengikuti mereka. Rujukan untuk
mengakses program dapat membantu komunikasi. Sebagai contoh,
sebagian besar kota memiliki pusat komunitas di mana pasien dapat
mencari nasihat medis dari dokter yang berbicara bahasa pasien,
pusat-pusat juga dapat memberikan bahan native-language dan
interpreter.
Menawarkan jaminan kepada pasien dalam bahasa mereka
sendiri dan dalam pengaturan yang peka budaya akan membantu
mendobrak hambatan dan meningkatkan perawatan. Pasien yang
dididik tentang penularan HBV dan ketersediaan vaksin yang efektif
dapat berperan dalam mencegah penularan penyakit ke anggota
rumah tangga.
23
C. KESIMPULAN
Indonesia tergolong negara dengan jumlah pengidap Hepatitis B nomor 3
terbesar di kawasan Asia Pasifik. Sekitar 13 juta penduduk Indonesia telah
terinfeksi Hepatitis B
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan dari 10.391
serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% → 1 dari 10 penduduk
Indonesia menderita Hepatitis B.
Himbauan WHO bahwa negara dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu >
8 % pada tahun 1997 diharapkan telah melaksanakan program imunisasi
hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Patofisiologi Sylvia
2. Konsenses PPHI Hepatitis B tahun 2012
3. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/
4. http://www.cdc.gov/hepatitis
5. Buku Etika Kedokteran & Hukum
6. http://www.ccjm.org/content/76/Suppl_3/S10.full
7. KMK No.161 ttg Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi