Makalah Belum Fix (1)
-
Upload
arinidamay -
Category
Documents
-
view
249 -
download
0
description
Transcript of Makalah Belum Fix (1)
LAPORAN HASIL DISKUSI
MODUL ORGAN NEPHRO UROLOGY
“Seorang anak laki-laki 10 tahun dengan bengkak seluruh tubuh”
KELOMPOK I
030.07.282 Yusmiati Tomalima
030.08.237 T.Rini Puspasari
030.09.029 Arini Damayanti
030.09.031 Aryanto Krisnandanu
030.09.049 Brilli Bagus Dipo
030.09.068 Dhika Claresta
030.09.079 Erwin James Sagala
030.09.147 Margo Sebastian Chandra
030.09.159 Muhamad Aries Fitrian
030.09.165 Nadya Anggun Mowlina
030.10.004 Adhi Rizky Putra
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 19 APRIL 2013
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan
suatu kumpulan gejala gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkolestrolemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif adalahapabila didapatkan
proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalamdarah biasanya
menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas,kadang-kadang
dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik ( SNI ). Kelainan
histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit perubahan
yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut NIL (Nothing In LightMicroscopy).
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar ( 74% ) dijumpai pada usia 2-7 tahun
dengan perbandingan wanita dan pria 1:2. Pada remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.
Kasus 3 sesi 1
Seorang anak laki-laki, 10 tahun, dibawa ke RS Budhi Asih karena bengkak seluruh tubuh sejak
3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Disertai dengan sembab pada kelopak mata setiap habis
bangun tidur pagi. Jumlah kencing sedikit.
Pemeriksaan fisik : nadi: 110x/menit, suhu: 36,4, respirasi: 30x/menit, tekanan darah: 120/80
mmHg, BB: 35 kg.
Mata: edema palpebra (+/+), jantung dan paru normal, abdomen: buncit (+), kedua tungkai
edema (+/+), region scrotalis (+/+).
Pertanyaan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik apa saja yang ditemukan?
2. Anamnesis tambahan dan pemeriksaan fisik apa yang diperlukan untuk mendukung
diagnosis?
3. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisikitu apa diagnosa kerjadan diagnosa banding
saudara? (disertai dengan alasan)
4. Jelaskan patofisiologi terjadinya edema pada diagnosa kerja saudara?
5. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan?
6. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium, hasil apa yang saudara harapkan?
Kasus 3 sesi 2
Hasil pemeriksaan penunjang :
Darah perifer :
Leukosit : 7000/uL
Eritrosit : 4,5 juta/uL
Hb : 13,2g/dL
Trombosit : 200.000
Urin Lengkap :
Warna kuning
Kejernihan : keruh
Glukosa (-)
Keton (-)
Bilirubin (-)
BJ : 1025
PH : 6,5
Nitrit (-)
Protein (+3)
Fungsi ginjal :
Ureum : 42 mg/dl
Kreatinin : 1,4 mg/dl
Fungsi hati :
Albumin : 1,2 g/dl
Globulin : 2,7 g/dl
Lemak :
Kolestrol total : 653 mg/dl
Pertanyaan
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang ini. Apa diagnosa kerja anda sekarang?
2. Apa kemungkinan etiologi pada pasien ini?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?
4. Apa komplikasinya?
5. Bagaimana prognosisnya?
BAB II
Pembahasan
2.1 interpretasi masalah pasien
Daftar masalah Hipotesis Interpretasi
Bengkak seluruh tubuh sudah
3 minggu
Oedem anasarka Edema yang mulai banyak mulai
muncul di tungkai dan seluruh
tubuh.
Bengkak pada mata dipagi
hari
Edema palpebra Edema biasanya menyerang
jaringan ikat jarang terlebih
dahulu.
Jumlah kencing sedikit Oliguri ??
Warna urin kuning, keruh proteinuria Ada kerusakan pada glomerulus
menyebabkan albumin banyak
keluar di urin.
Protein (+3)
Albumin 1,2 g/dl Hipoalbuminemia - Dikatakan hipoalbuminemia
bila kadar albumin serum
<2,5g/dl.
- Ada kerusakan pada
glomerulus menyebabkan
albumin banyak keluar di
urin.
TD : 120/80 mmHg Hipertensi - Systole dan diastole >90
Region scrotalis (+/+) Edema scrotum Asites berat menyebabkan
hernia umbilikalis dan prolaps
ani (MASIH KURANG
NGERTI NIH)
Kolesterol total 653mg/dl Hiperkolesterolemia - Kadar normal
>250mg/100ml
- Akibat hipoalbuminemia,
sel-sel hepar terpacu unutk
membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan
dengan sintetis albumin ini,
sel-sel hepar juga akan
membuat VLDL. Dalam
keadaan normal VLDL
diubah menjadi LDL oleh
lipoprotein lipase. Tetapi
pada SN, aktivitas enzim ini
terhambat dengan adanya
hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak
bebas. Disamping itu
menurunnya aktivitas
lipoprotein lipase ini
disebabkan oleh rendahnya
kadar apolipoprotein plasma
sebagai akibat keluarganya
protein dalam urin. Jadi
hiperkolestrolemia ini tidak
hanya disebabkan oleh
produksi yang berlebihan,
tetapi juga akibat gangguan
katabolisme fosfolipid.
2.2 Anamensis tambahan
Anamnesis Interpretasi
Riwayat penyakit sekarang
- Sejak kapan edema muncul?
- apakah edema dimulai di tempat-tempat
- Untuk mengetahui sudah berapa lama
perjalanan penyakit.
- Pada SN biasanya edema pertama kali
tertentu (kelopak mata, pergelangan
kaki) ?
- Apakah edema menjalar ke seluruh
tubuh?
- Edema biasanya muncul kapan saja?
Apakah ada waktu-waktu tertentu
(pagi, siang, sore, malam, atau
sepanjang hari) ?
- Frekuensi edemanya bagaimana?
- Apakah ada batuk?
- Apakah ada demam?
- Apakah ada sesak napas?
- Bagaimana warna urin?
- Apakah urin berbusa?
- Apakah ada oliguri?
- Apak kencing berdarah?
- Apakah ada diare?
muncul di palpebra pada pagi hari.
Edema yang sedikit memang cenderung
tampak di daerah dengan jaringan ikat
jarang seperti palpebra, scrotum, labia.
Bila edema lebih banyak, akan menjadi
di tungkai, menyeluruh dan masif
(anasarka)
- Dikhawatirkan ada infeksi.
- Sesak juga bisa disebabkan oleh
penumpukan cairan di sekitar paru-paru
(berhubungan dengan edema anasarka)
- Urin berwarna keruh dan berbusa
karena mengandung urin
- Pada SN kadang mengalami hematuria.
- Edema menyebabkan edema mukosa
usus pula.
Riwayat penyakit dahulu
- Apakah edema muncul setiap habis
mengkonsumsi makanan/minuman
tertentu?
- Apakah pernah menderita malaria?
- Apakah anak menderita DM?
- Untuk memastikan ada alergi atau
tidak, dan memastikan riwayat penyakit
sistemik.
Riwayat kelahiran
- Bagaimana masa kehamilannya?
(cukup bulan, kurang bukan, lewat
bulan) ?
- Berat dan badan panjang sahat
??
kelahiran? BBLR atau bagaimana?
- Riwayat imunisasi?
Riwayat penggunaan obat
- Pernah mengkonsumsi obat apa
sebelumnya?
??
Riwayat peyakit keluarga
- Apakah ada keluarga yang pernah
menderita penyakit yang sama?
- Dari segi usia, sindrom nefrotik yang
menyerang anak dibagi menjadi :
sindrom nefrotik infantile (terjadi
setelah umur 3 bulan sampai 12 bulan )
sedangkan sindrom nefrotik
congenital (terjadi dalam 3 bulan
pertama kehidupan yang didasari
kelainan genetik).
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum :
1. Kesadaran : -
2. Tanda vital
a. Nadi : 110x/menit
b. Tekanan darah : 120/80 mmHg hipertensi
c. Pernapasan : 30x/menit
d. Suhu : 36,4 ºC
3. Antropometri
a. Berat Badan : 35 kg
Status lokalis
1. Kulit : -
2. Kepala dan wajah
b. Kepala : -
c. Mata : edema palpebra
d. Telinga : -
e. Hidung : -
f. Mulut : -
3. Leher
g. Kelenjar Tiroid : -
h. Kelenjar getah bening leher : -
4. Thorax
a. Jantung : Normal
b. Pulmo : Normal
5. Abdomen : buncit (+) ascites
a. Nyeri tekan : -
b. Bising usus : -
c. Shifting dulness : -
d. Hepar : -
e. Lien : -
6. Genitalia : -
a. Region scrotalis : (+/+) edema pada skrotum
7. Anus dan rectum : -
8. Ekstremitas : tungkai edema
2.4 Tabel Tekanan Darah
Umur Sistolik (2 SD) mmHg Diastolik (2 SD) mmHg
Neonatal 80 (16) 45 (15)
6-12 bulan 90 (30) 60 (10)
1-5 tahun 90 (25) 65 (20)
5-10 tahun 100 (15) 60 (10)
10-15 tahun 115 (17) 60 (10)
2.5 pemeriksaan penunjang (binguuuuuung)
Jenis pemeriksaan Hasil Interpretasi
- Darah lengkap
- Peeriksaan urin - Periksa albumin
- ASTO
- Dipstick
- Radiologi - untuk melihat ada oedem
atau tidak
- PST
(Protein Selective Test)
- USG - Untuk melihat ada
pembesaran ginjal atau tidak
- Foto thorax - Untuk melihat ada efusi
pleura atau tidak
2.6 DIAGNOSIS
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat,kami
mendapatkan diagnosis kerja kami yaitu sindroma nefrotik jenis Minimal changes disease
(MCD). Seperti yang diketahui, diagnosis kami berdasarkan teori yang kami dapat bahwa
Sindroma Nefrotik bisa ditegakkan dengan melihat pemeriksaan fisik yang kami temukan yaitu
sebagai berikut:
1. Edema anasarka
2.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang kami temukan yaitu sebagai berikut:
3. Proteinuria >+2
4. Hypoalbunimia <2,5g/dl
5. Hypercholesterolemia
Pada pasien ini ditemukan kadar ureum dan kreatinin masih dalam batas normal. Ureun dan
kreatinin dalam batas normal menandakan bahwa tidak terjadi gagal ginjal.
Diagnosis Banding
o Sindroma nefrotik GN membranosa
o Glomerulonephritis pasca streptokokus
Untuk menentukan diagnosis pasti, kami masih membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menemukan apakah ada hilangnya foot processes,adakah endapan IgG subepitelial, Vakuolisasi
dan hyperplasia sitoplasma podosit.
2.7 Patofisiologi
2.8 penatalaksanaan
Non-medikamentosa :
1. Pasien di rawat inap karena adanya resiko gagal jantung pada kasus ini, dan untuk
memantau cairan.
2. Edukasikan kepada orang tua tentang penyakit yang diderita oleh pasien, dan
edukasikan tentang steroid yang akan di berikan.
3. Diet protein (2 mg/kgBB) juga harus dilakukan karena pada pasien ini didapatkan
hipoalbumin,
4. Diet rendah kolesterol dan rendah garam juga harus dilakukan mengingat adanya
hiperlipidemia dan edema pada pasien.
Medikamentosa :
Pemberian steroid : Prednisone
Cara pemberian:
1. Inisial treatment : pemberian prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
2. Maintenance : pemberian prednisone 2/3 dosis dari inisal treatment, dapat diberikan
dengan cara intermitten dimana hanya diberikan 3 hari/ minggu, atau dengan cara
alternating day, yaitu pemberian secara selang seling.
3. Trapping off : diturunkan dosis secara perlahan-lahan selama 2-3 bulan.
2.9 komplikasi & prognosis
Pada kasus ini, berikut ini adalah komplikasi dari sindroma nefritis pada anak
1. Infeksi kulit
Disebabkan karena sepsis
2. Hipovolemik
3. Hipokalsemi
4. Hiperlipidem
5. Peritonitis
6. Growth delay development
Prognosis
Bab III
Tinjauan pustaka
Anatomi ginjal dan saluran kemih
Ginjal melakukan fungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah (dan
lingkungan dalam tubuh) dengan meneksresikan solut dan air secara selektif.
Saluran kemih
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menerus membentuk kemih, dan berbagai saluran
dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa kemih keluar tubuh.
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke
bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan terletak setinggi kosta ke 12. Sedangkan kutub atas
ginjal kiri terletak setinggi kosta 11.
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 10 sampai 12 inci, terbentang dari ginjal
sampai kandung kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan kemih ke kandung kemih.
Kandung kemih adalah satu kantung berotot yang dapat mengempis, terletak di belakang simfisis
pubis. Kandung kemih mempunyai 3 muara : 2 muara ureter dan satu muara uretra. Dua fungsi
kandung kemih adalah 1) sebagai tempat penyimpanan kemih sebelum meninggalkan tubuh dan
2) dibantu oleh uretra, kandung kemih berfungsi mendorong kemih keluar tubuh.
Hubungan anatomis ginjal
Ginjal terletak di belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua kosta terakhir
dan tiga otot-otot besar : tranversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di
atas kutup masing-masing ginjal.
Struktur anatomi ginjal
Pada orang dewasa ginjal panjangnya 12 – 13 cm, lebarnya 6 cm dan beratnya antara 120-150
gram, ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Permukaan anterior dan
posterior kutub atas dan bawah serta pinggir lateral ginjal berbentuk konveks sedangkan pinggir
medialnya berbentuk konkaf karena adanya hilus. Ada beberapa struktur yang masuk atau keluar
dari ginjal melalui hilus antara lain arteria dan vena renalis, saraf dan pembuluh getah bening.
Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis, mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan dibwahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda yaitu korteks di bagian
laur dan medula di bagian dalam. Medula terbai-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid.
Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolom bertini. Piramid-
piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus
pengumpul nefron. Papila(apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris
masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk sperti cawan yang disebut kaliks
minor. Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu
sehingga membentuk pelvis ginjal.
Pembuluh darah ginjal
Arteria renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Karena
aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, maka arteria renalis kanan lebih panjang dari arteria
renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang waktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebelah kanan garis
tengah. Akibatnya vena renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan.
Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi arteria interlobaris
yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung
melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata kemudian membentuk arteriola-arteriola
interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya
membentuk arteriola aferen. Arteriola aferen akan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yang
disebut glomerulus, rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli bersatu membentuk arteriola eferen
yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus
dan kadang-kandang disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini
akan dialirkan ke dalam jalinan vena, selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuata, vena
interlobaris dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena kava inferior.
Struktur mikroskopik ginjal
Nefron
Nefron adalah unit fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekita 1 juta nefron yang pada
dasarnya mempunyai struktur dn fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.
Korpuskulus ginjal
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler glomerulus, istilah
glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan korpuskulus ginjal.
Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang
mengandung kemih antara rumbaui kapiler dan kapsula bowman, dan ruang yang mengandung
kemih ini dikenal dengan nama ruang bowman atau ruang kapsular.
Kapsula bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel-sel epitel parietal berbentuk gepeng dan
membentuk bagian terluar dari kapsula. Sedangkan sel-sel epitel viseral jauh lebih besar dan
membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel-sel
viseral membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit, yang
bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-
daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat di antara podosit
biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 A (unit angstrom = seperseratus juta
sentimeter).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara sel-sel epitel
pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. membrana basalis kapiler kontinu dengan
membrana basalis tubulus.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel-sel endotel, membrana
basalis dansel-sel epitel viseral merupakan tiga lapisan yang membentuk membrana filtrasi
glomerulus.
Apparatus jukstaglomerulus
Dari tiap nefron, bagian pertama dari tubulus distal berasal dari medula sehingga terletak di
dalam sudut yang terbentuk antara arteriol aferen dan eferen dari glomerulus nefron yang
bersangkutan. Pada lokasi ini sel-sel jukstaglomerulus dinding arteriol aferen mengandung
granula sekresi yang diduga mengeluarkan renin. Sel-sel tubulus distal yang mengadakan kontak
erat dengan sel-sel granular tersebut dikenal dengan nama makula densa karena intinya yang
mencolok. Kelompok sel-sel khusus (termasuk juga beberapa sel jaringan penyambung) di dekat
kutub vaskular setiap glomerulus ini dikenal dengan nama aparatus jukstaglomerulus (JG).
Sindroma nefrotik
Angka kejadian
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer.
Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan
obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insiden penyakit sindrom nefrotik
primer ini 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka
prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di indonesia diperkirakan 6 kasus per tahun
tiap 100.000 anak berumur kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan pada
anak sekitar 2 : 1.
Pasien sindroma nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam 3 kelompok :
1. Kongenital
2. Respons steroid
3. Resisten steroid
Patofisiologi
Proteinuria
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejal klinis lainnya
dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama
atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindroma nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar
glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri dari albumin dan disebut
sebagai proteinuria selektiv. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya protein
terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini
disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin
plasma transferin (BM 88.000). rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria
selektif.
Perubahan pada filter glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe kelainan
glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat
molekul molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini ialah hilangnya sawar muatan
negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil
menurun dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa disamping
hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau
kelainan pada kedua-keduanya.
Proteoglikan sulfah heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan
eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti
albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase mengakibatkan
timbulnya albuminuria.
Di samping itu sialoprotein yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki sel epitel,
tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel
viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukkan dan sintesis hepar dan pengeluaran
akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal dalam keadaan seimbang, laju
sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN
terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun
hal ini bukan merupakan kolerasi yang ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang
menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir
normal dengan atau tanpa perubahan pada laju eksresi protein. Laju sintesis albumin pada SN
dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Penelitian
pada anak ditemukan kenaikan laju sintesis 2 kali pada SN (dan pada anak dengan
hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya) menunjukkan bahwa kapasitas
meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan
albumin yang abnormal.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak
lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat kolerasi terbalik antara konsentrasi
albumin serum dan kolestrol. Kadar trigliserida lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada
pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat
rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat dan kadang-kadang sangat
mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak
dengan SN walaupun ratio kolestrol HDL terhadap kolestrol total tetap rendah. Seperti pada
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena
degradasi yang menurun. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan
meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.
Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal.
Menurunnya degradsi ini berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α glikoprotein
asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal
kembali.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sindroma nefrotik sudah dianggap jelas dan secara
fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak
dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini
(underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin
keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruag
intertisial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus albuminuria hipoalbuminemia tekanan onkotik koloid plasma
volume plasma meningkat retensi Na renal sekunder meningkat edema
(terbentuknya edema menurut teori underfilled)
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
natrium dan air timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intrvaskular agar
tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan yang
secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma
dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak
cairan masuk ke ruang intertisial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat
keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder
terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa
pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron. Sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi
natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistem perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraselular. Pembentukaan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
ruang interstisial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi
dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.
Kelainan glomerulus (albuminuria, hipoalbuminemia) retensi Na renal primer volume
plasma meningkat edema
(terjadinya edema menurut teori overfilled)
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja kedua
proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan pada waktu berlainan pada individu
yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang
lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik.
Manifestasi klinik
Di masa lalu orang tua menganggap penyakit SN adalah edema. Nafsu makan yang kurang,
mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan
keadaan yang sangat erat hubungannya dengan edema, sehingga gejala-gejala ini dianggap
sebagai akibat edema. Nmun dengan pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan
klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan bahwa baik oleh anak, orang tua dan dokter SN
buka lagi merupakan masalah edema, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi
anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid.
Walaupun proteinuria kembali kambuh pada hampir 2/3 kasus kambuhnya edema dapat dicegah
pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan komplikasi yang
menganggu merupakan masalah klinik utama. edema pada umumnya terlihat pada kelopak mata.
Edema minimal terlihat oleh orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk
pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah baik lambat
atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital
sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu
ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah
nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua pasien sering mengeluh berat badan anak tidak
mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini
tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak dengan SN
disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa mnyebut kelainan glomerulusnya. Pada anak dengan
SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu dan
lebih perlahan dan intermitten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN
membrano-proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas
di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umunya dinyatakan sebagai lembek
dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang
menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia bahkan efui pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini
mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya
edema menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami pasien
dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau
keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidka ada,
kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding
perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran kanan atas
abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan adanya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang
kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat
dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan sering
terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya paa penyakit berat umumnya yang
merupakan stress non spesifik terhadp anak yang sedang berkembang dan keluarganya.
Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien,
namun juga dialami oleh anak sendiri. Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas. Anak
dengan SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan membentuk pengertian dan
bayangan yang salah mengenai penyakitnya.
Klasifikasi histopatologis
Klasifikasi berlainan histopatologis glomerulus pada SN yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi komisi internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan
dengan pemeriksaana mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Pada tabel dibawah inidipakai istilah atau terminologi yang sesuai dengan
laporan ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht (1971)
Klasifikasi kelainan glomerulus pada SN primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranos (GM)
Glomerulopati kronik lanjut (GNKL)
Morfologi kelainan glomerulus primer
A. Penyakit kelainan miniml (KM)
Mikroskop cahaya (MC)
Kadang-kadang glomerulus obsolesen (sampai 10% pada anak), tanpa disertai atrofi
tubular, penebalan mesangium ringan ( sampai 2 kali lebar normal) dan peningkatan
selularitas ringan ( sampai 3 sel per daerah mesangial). Sel epitel viseral tampak bengkak
dan dapat mengandung butir protein di dalam sitoplasma yang dengan pewarnaan PAS
positif.
Tubulus proksimal umumnya mengandung protein dan butir-butir lipid di dalam
sitoplasma, silinder hialin di dalam lumen dan kadang-kadang ditemukan daerah-daerah
kecil dengan kalsifikasi.
Mikroskop elektron (ME)
Perubahan paling jelas adalah hilangnya tonjolan kaki sel epitel viseral, sehingga badan
sel berhubungan dengan membran basal lebih erat. Beratnya proteinuria dan hilangnya
tonjolan kaki mempunyai hubungan langsung pada anak dengan KM. Sel podosit ini
membengkak dan bervakuola, mengandung butir-butir protein dan lipid yang diabsorbsi,
dan sering ditemukan mikrovili yang halus menonjol di permukaan yang menghadap
ruang bowman.
B. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Penyakit glomerulus fokal merupakan suatu proses penyakit yang mengenai hanya
beberapa glomerulus, sedang yang lainnya tampak normal. Penyakit glomerular
segmental menyatakan beberapa lobus glomerulus terkena, sedangkan yang lain masih
normal. Kelainan ini dapat dijumpai pada beberapa kelainan glomerulus atau bahkan
pada kelainan tubulointerstisial. Namun kelainan ini ditemuka tersendiri pada pasien
dengan SN.
Mikroskop cahaya
Kelainan khas pada GSFS terdiri atas daerah perpadatan di dalam glomerulus terdapat
beberapa kapiler kolaps, pertambahan matriks mesangial, mungkin terdapat pertambahan
sel mesangial, dan endapan sejumlah hialin di dalam mesangium atau lumen kapiler.
Pada kelainan yang lanjut, sel mengandung butir-butir lemak terlihat sebagai sel busa
(foam cells).
Mikroskop elektron
Terdapat perpaduan podosit dan kelainan mesangial. Rich yang pertama menaruh
perhatian pada SN dengan GSFS, melihat kenyataan bahwa skelrosis glomerulus
umumnya mulai di daerah jukstamedula ginjal. Progresivitas sklerosis fokal ditandai
dengan terkenanya lebih banyak glomerulus dan segmen glomerulus yang lebih besar,
sampai proses ini hampir menjadi difus.
Mikroskop imunofluoresensi
Pada MI, pada daerah hialin segmental tampak endapan imunoglobulin, terutama IgM
dan C3, Tetapi kadang-kadang juga IgG, C1q dan fibrin. Deposit mesangial IgM granular
halus walaupun jarang ditemukan juga pada glomerulus yang tidak sklerotik. Namun
pada banyak kasus tidak ditemukan deposit. Lapisan sel podosit bila dipulas dengan besi
koloid, menunjukkan pulasan warna yang berkurang di daerah sklerosis fokal.
C. Glomerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM)
Secara histologis kelainan ini menunjukkan pembesaran merata dan pertambahan
selularitas di daerah mesangial yang mengandung masing-masing 4 sel.
Mikroskop cahaya
Terdapat peningkatan matriks mesangial, lumen kapiler tetap utuh, sedangkan dinding
kapiler tipis dan halus. Pada tingkat lanjut mungkin terdapat sklerosis mesangial, disertai
kadang-kadang perlengketan kapsul dan beberapa daerah sklerosis segmental. Tubulus
menunjukkan kelainan pada SN pada umunya dan jaringan interstisial dapat mengandung
sel busa (foam cells), tidak terdapat kelainan vaskular spesifik.
Mikroskop elektron
Pada umumnya ditemukan pertambahan sel mesangial dan matriks. Disamping itu
ditemukan di dalam mesangium, pre mesangium dan kaang-kadang di daerah subepitel
deposit padat kecil-kecil bertaburan.
Mikroskop imunofluoresensi
Ditemukan endapan IgM difus di dalam mesangium. Imunoglubulin lain dan komplemen
dapat juga ditemukan pada GNPM.
D. Glomerulonefritis membranoploriferatif (GNMP)
Dikenal 3 sub tipe pada kelainan ini yaitu tipe 1 yang merupakan tipe klasik dan tipe III
yang erat hubungannya, hanya berbeda pada letak deposit imunnya. Sedang tipe II, atau
penyakit depost padat (dense deposit disease) walaupun klinis hampir serupa, namun
menunjukkan kelainan morfologis dan imunologis yang sangat berbeda, sehingga
merupakan suatu penyakit yang berbeda.
Mikroskop cahaya
GNMP disebut juga sebagai glomerulonefritis mesangiokapiler yang pada mikroskop
cahaya
Menunjukkan kelainan pada mesangium dan kapiler. Glomerulus tampak besar karena
proliferasi sel mesangium dan pertambahan matriks mesangial, sehingga menyebabkan
meluasnya daerah mesangial dan terbentuk gambaran lobulasi glomerulus (lobular
pattern). Pada saat bersamaan mesangium yang berploriferasi melingkari gelung kapiler
di antara sel endotel dan membran basal, sehingga terjadi duplikasi membran basal
(double track).
Mikroskop elektron
Struktur halus dinding kapiler tampak jelas. Sel mesangial dikelilingi oleh matriks
mesangial ada di antara membran basal dan sel endotel. Gambaran double track tampak
karena pemutaran bersamaan antara matriks mesangial dan membran basal kapiler, yang
kedua-duanya melingkari dinding kapiler.
Mikroskop imunofluoresensi
GNMP tipe I selalu menunjukkan deposit C3 di pinggir lobulus dan di dalam mesangium.
Penyakit deposit padat (dense deposit disease)
Mikroskop cahaya
GNMP tipe II pada mikroskop cahaya ditandai dengan kurangnya derajat pelebaran
mesangial dengan pertambahan sel mesangial dan matriks yang sedang. Umumnya
dinding kapiler tidak menunjukkan interposisi mesangial sebaliknya membran basal
tampak menebal dan dipulas kuat dengan eosin atau PAS.
Mikroskop imunofluoresensi
GNMP tipe II dengan MI dibedakan terutama dengan adanya deposit C3 di mesangium
dan sepanjang dinding kapiler.
E. Glomerulopati membranosa (GM)
Dibedakan 2 jeni bentuk klinik yaitu idiopatik dan sekunder. Penyakit GM ditandai
dengan kelainan dinding kapiler glomerulus yang progresif dan kompleks. Berdasarkan
ME, kelainan ini terdiri atas deposit pada elektron dan spikes yang tampak menonjol dari
membran basal. Deposit ini homogen, berdekatan dan dipisahkan oleh spikes.
Dengan pemeriksaan MI ditemukan deposit glanural IgG dan C3 dan kadang-kadang
IgA, IgM atau komponen awal komplemen (Ciq, C4).
komplikasi pada SN
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau sebagai akibat
pengobatan
1. kelainan koagulasi dan timbulnya trombosit
secara ringkas, kelainan hemostatik pada SN dapat timbul dari dua mekanisme yang
berbeda.
1. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan : a) meningkatnya degradasi
renal dan hilangnya protein di dalm urin seperti antritrombin III, protein S bebas,
plasminogen dan α antiplasmin. b) hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit
lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hipoksia
dan tertekannya fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit
dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
2. Perubahan hormon dan mineral
Pada pasien SN berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon
hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada bebrapa
pasien SN dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan bertanya proteinuria.
Pada SN penelitian mengenai fungsi tiroid menunjukkan nilai dalam batas normal namun
nilai mean T3 dan TBG, lebih rendah dari kontrol. Terdapat juga peningkatan eksresi T3
urin T4.
Hipokalsemia pada SN disebabkan oleh albumin serum yang rendah, dan berakibat
menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di
samping itu sering terdapat hipokalsiuria, yang kemabli menjadi normal dengan
membaiknya proteinuria. Juga terdapat absorbsi kalsium gastrointestinal yang menurun.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria dan menurunnya absorbsi kalsium dalam
gastrointestinal menunjukkan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D.
3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Telah diketahui sejak lama bahwa pertumbuhan badan sangat menurun dan terhenti sama
sekali pada anak dengan SN yang tidak dikontrol.
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien dengan SN tanpa diberikan
kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan sekunder, hilangnya
protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang
penyebab utama dalah karena pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan
kortikosteroid dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan
terhentinya pertumbuhan linier.
4. Infeksi
Meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah biasa pada anak dengan SN yang
relaps. sebelum ditemukan obat antibiotik, kebanyakan kematian disebabkan oleh infeksi,
sering mengenai paru-paru dan peritoneum. Dengan ditemukan pengobatan antibiotik dan
pengenalan infeksi berat dan cepat, maka mortalitas sangat berkurang, walaupun
kematian karena infeksi masih terjadi.
Beberpaa sebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
- Kadar imunoglobulin yang rendah
- Defisiensi protein secara umum
- Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
- Hipofungsi limpa
- Dan akibat pengobatan imunosupresif
5. Peritonitis
Laporan oleh Krensky dkk. Ada tahun 1982 menunjukkan pada 351 anak dengan SN
terdapat 24 kali peritonitis pada 19 anak, yang merupakan angka kejadian 5%.
Streptokokus pneumonia merupakan penyebab pada sebagian pasien dan seperempat
lainnya oleh kuman e.coli, pada penelitian lain streptokokus pneumonia merupakan
patogen utama yaitu 38% dan 27% lainnya menunjukan kultur negatif pada biakan cairan
peritoneum namun memberi respon klinik dengan penisilin.
6. Infeksi kulit
Erupsi erisipeloid pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit
ini berbatas tegas, tetapi kurang menonjol seperti pada erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit ini dibiak.
7. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada SN. Anemianya hipokrom
mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan besi.
Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemianya terjadi karena
pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun,
karena hialngnya protein ini di urin dalam jumlah besar.
8. Gangguan tubulus renal
Hiponatremia sering ditemukan pada anak dengan SN. Keadaan ini sering disebabkan
oleh retensi air daripada kekurangan natrium. Walaupun telah dibuktikan adanya
gangguan pada klirens air bebas pada pasien SN, yang mungkin disebabkan oleh
meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai oleh
ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. Pengamatan
menunjukkan bahwa kelainan bagian distal ini disebabkan oleh oleh menurunnya
hantaran natrium ke arah asifidikasi distal. Keadaan ini diperbaiki dengan pemberian
furosemid yang meningkatkan hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan lingkaran
intraluminal yang negatif yang diperlukan untuk sekresi ion hidrogen maksimal.
Pengobatan SN
Pengobatan imunosupresif
Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan sikloporin, dapat
menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi gijal paling tidak pada beberapa jenis
glomerulonefritis primer. Agak disayangkan semua obat-obatan ini mempunyai indeks terapeutik
yang rendah. Dalam menentukan kapan dan bagaimana obat-obatan ini digunakan haruslah
mengetahui efek samping yang ditimbulkan dan hasil yang mungkin diperoleh pada berbagai sub
golongan sindrom nefrotik ini dan mengatur strategi untuk meningkatkan secara maksimal
indeks terapeutiknya.
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
SNKM merupakan kelompok yang terbesar meliputi 70-80% kasus dengan SN pada anak.
Menurut Brodehl ada 3 tujuan utama pengobatan pada KM adalah :
1. Membuat SN ini dalam keadaan remisi secepat mungkin untuk mencegah komplikasi
2. Mencegah relaps, dan
3. Mencegah efek samping iatrogenik pada penyakit yag kambuh berulang dalam waktu
lama
Kortikosteroid merupakan pengobatan awal SNKM. Proteinuria menghilang 90% pada
anak selama pengobatan 8 minggu dengan prednison, dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk
4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m2/48 jam untuk 4 minggu berikutnya. Setengah dari
pasien ini remisinya terjadi dalam minggu pertama dan kebanyakan pasien lainnya terjadi
remisi dalam 4 minggu berikutnya. Namun sayangnya banyak pasien kambuh setelah
remisi. Laju relaps rupanya dipengaruhi oleh lamanya pengobatan awal. Kira-kira 80%
anak relaps dalam 1 tahun apabila prednison diberikan dalam 4 minggu, 60 % relaps
sesudah pengobatan 8 minggu, dan hanya 36 % relaps apabila prednison diberikan
selama 12 minggu. Pada anak lamanya pengobatan awal mempengaruhi resiko relaps.
Untuk mengurani resiko relaps pengobatan awal harus diperpanjang. Disamping itu
prednison dosisnya diturunkan secara perlahan, tidak mendadak untuk mencegah efek
rebound yang dapat menimbulkan relaps. Dianjurkan pemberian prednison dosis 60
mg/m2/hari sampaiproteinuria hilang untuk 3 hari berturut-turut. Kemudian pengobatan
dilanjutkan dengan prednison selang sehari dengan dosis 40 mg/m2/48 jam untuk
sekurangnya 12 minggu dengan penurunan prednison selanjutnya dengan 5-10 mg/m2/48
jam tiap bulan.
Umumnya kebanyakan anak memberikan respons dalam 4 minggu pertama, namun pada
beberapa pasien responnya dapat tertunda. Jadi pemberian prednison diperpanjang untuk
8-12 minggu sebelum seorang anak dianggap resisten steroid. Pengobatan baku ISKDC
pada anak terdiri atas 60 mg/m2/hari ( dengan maksimum 80 mg/hari) dan dosis ini
diberikan sampai urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Kemudian prednison dapat
diberikan selang sehari selama 4 minggu dengan dosis 40 mg/m2/48 jam. Pemberian
prednison maksimum pada pasien yang tidak responsif dini harus sama dengan episode
pertama. Pasien dengan relaps dua kali atau lebih atau lebih dalam 6 bulan sesudah
episode pertama atau empat kali atau lebih dalam 12 bulan disebut relaps frekuen. Pasien
yang relaps dalam 14 hari sesudah steroid dihentikan atau relaps bila dosis dikurangi
disebut dependen steroid.
Siklosporin-A (Cy-A) merupakan obat alternatif lain daripada steroid. Kebanyakan
pasien dependen steroid remisi dipertahankan dengan CyA, yang diberikan sesudah
terjadi remisi dengan steroid. Sesudah obat ini dihentikan relaps dini terjadi, namun tidak
pada semua pasien. Relaps ini tampaknya tidak akan terjadi jika CyA diberikan dalam
jangka waktu lama dan dosisnya diturunkan dalam waktu perlahan-lahan.
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
GSFS merupakan penyakit klinikopatologis yang heterogen yang merupakan komplikasi
beberapa penyakit. Dalam bentuk idiopatik, GSFS umunya dikaitkan dengan SN.
Kebanyakan pasien nefrotik dengan GSFS berlanjut menjadi gagal ginjal kronik terminal
dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Nasib kelainan ginjal GSFS pada anak dan orang
dewasa adalah sama, walaupun anak kadang-kadang menunjukkan respons lebih baik
terhadap pengobatan. Kebanyakan pasien dengan GSFS mencapai remisi komplit dengan
prednison dosis tinggi dalam pemberian jangka pendek.
CyA juga mulai dipakai untuk mengobati GSFS. Dari kepustakaan dilaporkan 40%
pasien dipertahankan tanpa SN dengan pengobatan CyA.
Glomerulonefritis membranoploriferatif (GNMP)
GNMP merupakan penyakit yang jarang pada anak. Umumnya penyakit terjadi pada
semua umur tetapi sering terjadi pada umur 8-30 tahun. GNMP dibagi dalam tipe I, II dan
III atas dasar gambaran yang berbeda di bawah mikroskop cahaya, imunofluoresensi dan
mikroskop elektron, tetapi prognosis dan perjalanan penyakit dari ke tiga tipe ini sama.
Prognosisnya sering kurang baik terhadap pasien dengan insufisiensi ginjal.
Sebagai ringkasan pengobatan terhadap GNMP masih belum jelas. Pengobatan
simptomatik dan pengawasan yang baik terhadap tekanan darah merupakan hal yang
penting. Pada kasus SN yang mempunyai prognosis ginjal yang buruk, pengobatan
dengan steroid dapat dicoba. Dianjurkan pengobatan dengan prednison selang sehari
dengan dosis 2.0 mg/kgBB/48 jam untuk 2 bulan, dengan penurunan dosis secara
berangsur pada periode berikutnya. Apabila tidak terdapat respons dalam waktu 4-6
bulan, obat steroid harus dihentikan.
Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Prognosisnya sulit diduga
sebelumnya, karena kadang-kadang fungsi ginjal tetap normal dan bahkan dapat terjadi
remisi spontan. Sedangkan 30-50 % berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu
10 tahun sejak awitan klinis. Proteinuria berat yang menetap dan adanya kelainan
tubulointerstisial pada biopsi awal merupakan faktor yang berhubungan dengan
menurunnya fungsi ginjal secara progresif. Sebaliknya pasien dengan remisi proteinuria
komplit mempunyai prognosis lebih baik walaupun dalam jangka lama.
Hasil pengobatan dengan kortikosteroid pada GM masih bertentangan. Penelitian dengan
kontrol menggunakan obat sitotoksik juga memberikan hasil yang bertentangan walaupun
menunjukkan efek perbaikan terhadap proteinurianya. Ada anggapan bahwa GM secara
alamiah mempunyai perjalanan penyakit yang lebih baik dan diberikan pengobatan
simptomatik saja. Yang lain mengkhawatirkan terhadap toksisitas potensial dan lebih
suka memakai kortikosteroid saja, sedang yang lain meggunakan kombinasi
kortikosteroid dan obat alkil.
Kapan pengobatan dimulai masih merupakan masalah yang diperdebatkan. Beberapa ahli
klinik menganjurkan untuk menunggu satu atau dua tahun sesudah tmbulnya gejala klinik
SN untuk mencegah pengobatan bagi pasien yang mungkin timbul remisi spontan.
Pengobatan suportif
Dalam penanganan pasien SN harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis
khusus terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya tetapi juga tindakan yang
ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele klinis oleh proteinuria yang
masif.
Pengobatan diitetik
Masukan natrium harus dibatasi ± 2 gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium
yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup dengan menganjurkan tidak
menambahkan garam ke dalam makanan. Pembatasan garam yang tepat hanya diberikan
terhadap pasien yang tidak memberi respons terhadap diuretika. Dahulu masukan protein
tinggi dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya protein dalam urin. Namun cara ini akan
meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul yang berakibat
peningkatan proteinuria lebih lanjut sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan
kadar albumin serum yang rendah akan menetap.
Pemberian diit protein tinggi pada SN dicegah dan menganjurkan diit yang mengandung
protein 2gram/KgBB/hari. Diit penuruna lipid (<200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak
<30% dari kalori total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori).
Edema
Apabila edema tidak memberikan respon dengan membatasi pemasukan garam dalam
makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Langkah pertama dapat diberikan
obat tiazid, sebaiknya dikombinasikan dengan obat penahan kalium, seperti sprinolakton
atau triamteren. Namun banyak pasien terutama dengan anasarka, volume berlebih, atau
dengan kongersti paru-paru tidak memberikan respons terhadap obat tiazid. Untuk
keadaan ini diperlukan pemberian furosemid, asam etakrin atau bumetamid. Di antara
obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai karena toleransi yang baik bahkan
dengan dosis yang snagat tinggi furosemid dapat diberikan baik secara intravena ataupun
orl, dengan dosis berkisar antara 25-1000 mg/hari, bergantung pada berat edema dan
rspons pengobatan.
Proteinuria dan hipoalbuminemia
Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan prosedur yang mahal
dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan menaikkan konsentrasi albumin plasma
hanya sedikit dan bersifat sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien dengan
deplesi volume plasma simptomatik dengan hipotensi. Bebrapa obat dapat mengurangi
keluarnya protein di dalam urin antara lain ACE Inhibitor mempunyai efek
antiproteinuria yang penting, walaupun ACE Inhibitor secara teoritis menurunkan
tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus dapat memberi efek antiproteinuria
namun efek ini mungkin berkaitan dengan adanya perubahan pad permeabilitas
glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini bergantung pada dosis, lama
pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan dengan ACE Inhibitor umumnya dapat
ditoleransi oleh beberapa pasien namun dapat timbul anemia, hipotensi atau batuk kering.
Dalam praktek untuk mendapatkan efek antiproteinuria yang maksimal pasien diminta
untuk mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis
rendah untuk menguji toleransinya, kemudian dosis dinaikkan secara progresif sampai
dosis toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang beberapa minggu sebelum dinilai
hasilnya.
Hiperlipidemia
Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup menurunkan hiperlipidemia. Berbagai
obat penurun lipid seperti probukol, asam nikotinat, resin, derivat asam fibrik, dan akhir-
akhir ini hidroksimetil glutaril ko-enzim A (HGM-A) penghambat reduktase, telah
digunakan pada SN.
Pada saat ini, penghambat HMG-CoA , seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin
merupakan obat pilihan untuk mengoati hiperlipidemia pada SN. Obat- obat ini
menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol.
Hiperkoagulabilitas
Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada SN. Obat-
obat koagulan dapat menurunkan terjadinya resiko trombosis namun mengandung resiko
timbulnya komplikasi perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada keadaan terjadinya resiko
trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan saat dehidrasi atau saat
pemberian kortikosteroid i.v dosis tinggi. Namun sekarang keuntungan pemberian
antikoagulan profilaktik lebih besar pada pasien GM daripada resiko trombosis
intravaskular. Kapan obat diberikan masih belum jelas. Oleh karena itu resiko trombosis
masih tetap tinggi selama SN menetap maka secara teoritis pemberian antikoagulan
diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur hidup. Pemberian antikoagulan jangka
lama ini merupakan keharusan untuk pasien yang mengalami dua atau lebih episode
trombosis atau satu episode yang mengancam kehidupannya.
KESIMPULAN
Demikian hasil diskusi kelompok kami yang telah kami sajikan dalam bentuk makalah
ini. Kesimpulan kelompok kami, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang di dapat, kami mendiagnosis anak laki- laki ini menderita Sindrom Nefrotik
Primer, dikarenakan pada pasien ini ditemukannya gejala-gejala khas pada sindrom nefrotik
seperti oedem anasarka, urin yang berwarna keruh, proteinuria, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia.
ini gua dapat patof tadi, terserah mau dipake atau ga
http://www.scribd.com/doc/106694572/WOC-Sindrom-Nefrotik