MAKALAH
-
Upload
thia-bummies-bummies -
Category
Documents
-
view
25 -
download
6
description
Transcript of MAKALAH
MAKALAH STRUKTUR ELEKTRONIK ZAT PADAT
Tentang
Optimalisasi Gliserol dengan Menambahkan Katalis Asam Sulfat untuk Menghasilkan
Triacetin sebagai Bahan Aroma pada Permen, Minuman dari Susu, Minuman dan
Permen Karet dengan menggunakan Software Chemoffice
Oleh :
VERA FIRMANSARI
1201457/2012
FISIKA
Dosen Pembimbing : Hj. Ratnawulan, M.Si
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah dengan
judul:“ Optimalisasi gliserol dengan menambahkan katalis Asam Sulfat untuk menghasilkan triacetin
sebagai bahan aroma pada permen (gula-gula), minuman dari susu, minuman ringan dan
permen karet”.
Terwujudnya makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan semangat dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Ibu Hj. Ratnawulan, MSi selaku dosen pembimbing mata kuliah STRUKTUR
ELETRONIK ZAT PADAT yang telah membimbing penulis dalam penyusunan
makalah.
2. Semua pihak yang terkait yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, semoga
Allah membalas semua kebaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pendidikan dan pengajaran
serta menjadi amal ibadah di sisiNya, amien.
Padang, Desember 2014
Penulis,
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 3
A. Latar Belakang……………………………………………………………… 4
B. Perumusan Masalah……………….................................... .......................... 4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 6
A. Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar …………………………………………… 6
B. Gliserol ............................................................................................................
C. Tingkat Energi Elektronik Molekul……………………………………….. 9
D. Energi Aktivasi……………………………………………………………. 20
BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................
A. Mekanisme energi dalam pembentukan triacetin dengan mereaksikan
gliserol dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat .............................
B. jarak efektif antar molekul agar proses reaksi pembentukan
tracetin……………………………………………. 19
C. Bentuk grafik dari energi dan muatan dalam pembentukan triacetin ...................
D. Besar energi aktivasi yang dihasilkan dari reaksi menggunakan chemoffice ...... 22
E. Mengetahui Atom dari molekul gliserol dan asam astet yang
berfungsi sebagai akseptor dan sebagai donor ..................................................... 26
BAB V PENUTUP…………………………………………………………………. 27
A. KESIMPULAN……………………………………………………………… 27
B. SARAN…………………………………………………………………….... 27
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jenis sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang menjadi perhatian dewasa ini
adalah biofuel, termasuk biodiesel, bioetanol, dan bio-oil). Biodiesel merupakan salah
satu bahan bakar alternatif yang terbuat dari minyak nabati dengan alkohol. Pada
pembuatan biodiesel dari minyak jarak pagar akan diperoleh hasil samping berupa
gliserol. Jika pembuatan biodiesel meningkat, maka secara ekivalensi hasil samping
gliserol juga akan meningkat. Untuk itu usaha pengolahan gliserol menjadi produk lain
harus dilakukan.
Gliserol bila diesterifikasi dengan asam asetat akan membentuk triacetin. Kegunaan
triacetin sangat banyak baik untuk keperluan bahan makanan maupun non makanan.
Untuk bahan makanan, triacetin dapat digunakan sebagai bahan aroma pada permen
(gula-gula), minuman dari susu, minuman ringan dan permen karet. Sedangkan untuk
bahan non makanan triacetin dapat digunakan untuk pelarut pada parfum, tinta cetak,
pelarut pada aroma, plastisizer untuk resin selulosa, polimer dan ko-polimer, bahkan
dapat digunakan sebagai bahan aditif bahan bakar untuk mengurangi knocking pada
mesin mobil. Produk samping berupa gliserol selama ini menjadi kendala yang cukup
berarti pada pembuatan biodiesel.
Untuk itu, perlu adanya usaha untuk mengatasi masalah tesebut yang dapat
memberikan nilai tambah. Salah satunya dengan mengolahnya menjadi triacetin.
Pembuatan triacetin dilakukan dengan mereaksikan gliserol dan asam asetat dengan
menggunakan katalisator padat Pengunaan katalisator padat dimaksudkan agar
memudahkan dalam pemisahan hasil.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mereaksikan gliserol dengan asam asetat
menggunakan katalisator asam sulfat menggunakan Software Chemoffice dan
Winmopeac setelah itu dibandingkan secara teori.
5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme energi dalam pembentukan triacetin dengan mereaksikan
gliserol dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat?
2. Berapakah jarak efektif antar molekul agar proses reaksi pembentukan
tracetindapat berlangsung ?
3. Bagaimana bentuk grafik dari energi dan muatan dalam pembentukan triacetin?
4. Berapakah besar energi aktivasi yang dihasilkan dari reaksi menggunakan
chemoffice ?
5. Atom apa saja dari molekul gliserol dan asam astet yang berfungsi sebagai
akseptor dan sebagai donor?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui mekanisme energi dalam pembentukan triacetin dengan mereaksikan
gliserol dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat?
2. Mengetahui jarak efektif antar molekul agar proses reaksi pembentukan tracetin
dapat berlangsung
3. Mengetahui bentuk grafik dari energi dan muatan dalam pembentukan triacetin
4. Mengetahui besar energi aktivasi yang dihasilkan dari reaksi menggunakan
chemoffice
5. Mengetahui Atom dari molekul gliserol dan asam astet yang berfungsi sebagai
akseptor dan sebagai donor
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Minyak Jarak Pagar
Gliserol yang didapatkan salah satunya bisa diambil pada hasil biodiesel dari
minyak jarak pagar. Minyak jarak pagar dihasilkan dari bagian daging biji tanaman
jarak pagar. Kandungan rata-rata minyak yang terdapat dalam biji berkisar antara
20 sampai 35% dari berat kering biji. Beberapa faktor yang menentukan rendemen
minyak jarak pagar adalah varietas, kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan
tanah dan metode pemeliharaan yang dilakukan. Minyak jarak pagar termasuk
minyak nabati yang tersusun atas molekul trigliserida yang merupakan hasil
persenyawaan gliserol dengan asam lemak (Hambali et al. 2006) Sifat fisikokimia
minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa komposisi terbesar penyusun minyak jarak pagar
adalah asam oleat (43,1%), kemudian asam linoleat (34,3%) dan asam palmitat
(14,2%). Asam oleat merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai C16 dengan
satu ikatan rangkap. Menurut Ketaren (1996), banyaknya jumlah atom C dan ikatan
rangkap dalam asam lemak menentukan sifat fisikokimia dari asam lemak tersebut
7
B. Gliserol
Gliserol merupakan salah satu hasil samping produksi biodiesel yang
mempunyai jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan hasil samping lainnya.
Jumlah gliserol yang dihasilkan pada Minyak jarak pagar dari setiap produksi
biodiesel kurang lebih 10 % dari total produksi biodiesel (Dasari et al. 2005).
Selama ini gliserol hasil samping produksi biodiesel masih bernilai ekonomis
rendah, karena kemurniannya masih belum memenuhi standar. Gliserol hasil
samping produksi biodiesel belum dapat dimanfaatkan, baik dalam bidang farmasi
maupun makanan sebagaimana lazimnya gliserol paling banyak digunakan. Pachauri
dan He (2006) melaporkan berbagai penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan
nilai tambah gliserol hasil samping produksi biodiesel menjadi beberapa produk
turunan seperti 1-3 propanadiol, 1-2 propanadiol, dihidroksiaseton, asam suksinat,
hidrogen, poligliserol, poliester dan polihidroksialkonat.
Tabel 2. Karakteristik gliserol
Paramater Nilai/karakteristik
Nomor registrasi CAS 56-81-5
Rumus formula
Bobot molekul(𝑚𝑜𝑙−1 92,1
Fasa Cair
Warna Tidak berwarna
Proses pemurnian gliserol harus dilakukan untuk meningkatkan derajat
kemurnian gliserol sebelum digunakan. Yong et al. (2001) melakukan pemurnian
gliserol yang diperoleh dari industri metil ester minyak inti sawit melalui proses
destilasi sederhana pada suhu 120oC – 126oC, tekanan 4,0 x 10-1 - 4.0 x 10-2 mbar
dan kemudian didinginkan pada suhu 8oC. Proses pemurnian ini berhasil
meningkatkan kemurnian gliserol dari 50,4% menjadi 96,6%. Adanya penggunaan
panas pada proses destilasi metode tersebut menyebabkan meningkatnya biaya
pemurnian gliserol yang tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh.
Proses peningkatan kemurnian gliserol yang lebih sederhana dan relatif lebih murah
dilakukan oleh Farobie (2009) dengan cara mereaksikan gliserol kasar dengan
sejumlah asam fosfat sampai terbentuk endapan garam kalium fosfat. Tujuan utama
proses ini adalah untuk menetralkan sisa katalis basa (KOH) dengan asam fosfat.
Proses ini berhasil meningkatkan kemurnian gliserol dari 50% menjadi 80%. Proses
ini juga menghasilkan produk samping berupa garam kalium fosfat yang dapat
digunakan sebagai pupuk. Selain garam kalium fosfat, produk lain yang dihasilkan
pada saat pemurnian gliserol dengan menggunakan metode ini adalah asam lemak.
Selain diproduksi melalui transesterifikasi minyak dan lemak, gliserol juga
diproduksi melalui proses produksi dari alil klorida, propene oksida, proses
fermentasi dari gula dan proses hidrogenasi karbohidrat. Beberapa proses non
komersial lainnya yang memungkinkan terbentuknya gliserol adalah
photoproduction dari biomassa, sintetis hidrogenasi katalitik karbon dioksida, serta
proses produksi gliserol sintetis dari molase yang terhenti sejak tahun 1969. Gliserol
yang dihasilkan baik dari proses transesterifikasi minyak dan lemak maupun yang
disintesis dengan berbagai proses tersebut di atas merupakan bahan baku utama dan
pendukung yang digunakan dalam berbagai industri. National Biodiesel Board
(2010) menyatakan bahwa gliserol paling banyak digunakan di enam bidang industri
yaitu industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, rokok, kertas dan
percetakan serta industri tekstil. Gliserol digunakan baik sebagai bahan baku proses,
bahan antara dan sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk meningkatkan
kualitas suatu produk.
Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang terbuat dari minyak nabati
dengan alkohol. Pada pembuatan biodiesel akan diperoleh hasil samping berupa gliserol. Jika
pembuatan biodiesel meningkat, maka secara ekivalensi hasil samping gliserol juga akan
meningkat. Untuk itu usaha pengolahan gliserol menjadi produk lain harus dilakukan.
9
Gliserol bila diesterifikasi dengan asam asetat akan membentuk triacetin. Kegunaan
triacetin sangat banyak baik untuk keperluan bahan makanan maupun non makanan. Untuk
bahan makanan, triacetin dapat digunakan sebagai bahan aroma pada permen (gula-gula),
minuman dari susu, minuman ringan dan permen karet. Sedangkan untuk bahan non makanan
triacetin dapat digunakan untuk pelarut pada parfum, tinta cetak, pelarut pada aroma,
plastisizer untuk resin selulosa, polimer dan ko-polimer, bahkan dapat digunakan sebagai
bahan aditif bahan bakar untuk mengurangi knocking pada mesin mobil
(www.wikipedia.com).
Mekanisme reaksi esterifikasi gliserol dan asam asetat menjadi triacetin sebagai berikut:
Pembuatan triacetin antara gliserol dan asam asetat telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, baik dengan katalisator fase cair dan fase padat. Anindito (2008) telah
melakukan pembuatan triacetin antara gliserol dan asam asetat dengan katalisator asam
sulfat, konversi tertinggi diperoleh pada perbandingan pereaksi 6 gmol asam asetat/gmol
gliserol, konsentrasi katalisator 0,67% berat gliserol, dan konversi 85%.
A. Tingkat Energi Elektronik Molekul
1. Keadaan Eksitasi
Molekul merupakan ikatan dari beberapa molekul-molekul yang saling
berinteraksi atau berikatan karena adanya gaya listrik. Molekul dapat juga
digambarkan sebagai kumpulan dari inti yang pergerakannya lambat dan memiliki
elektron yang menempati orbital mengelilingi inti. Sesuai dengan kaidah mekanika
kuantum, energi elektronik di dalam molekul adalah diskrit membentuk beberapa
tingkatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat seperti Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Energi Molekul Prinsip Frank-Condon
(http://en.wikipedia.org/wiki/Franck%E2%80%93Condon_principle)
Molekul awalnya berada dalam keadaan dasar bersifat stabil atau singlet, yang
mana elektronnya berpasangan (spin up dan spin down). Jika molekul mendapat
energi yang cukup misalnya dari absorbsi foton, absorbsi termal, ataureaksi kimia,
maka elektron di dalam molekul dapat meloncat ke keadaan berikutnya. Keadaan
tersebut dinamakan keadaan eksitasi. Keadaan eksitasi adalah keadaan yang harus
dilewati oleh molekul-moleku yang bereaksi untuk menuju ke keadaan akhir
(produk). Hal ini terjadi sesuai dengan prinsip Frank-Condon yang menyatakan
bahwa molekul-molekul umumnya memasukai keadaan tereksitasi setelah adanya
penyerapan elektronik seperti yang tergambar pada Gambar 4. Untuk transisisi vibrasi
suatu molekul pada awalnya v = 0 tinggkat vibrasi dari keadaan dasar dan ketika
11
mendapatkan energi yang cukup, mengakibatkan terjadinya suatu transisi elektronik
ke v = 1.
2. Spektrum Elektronik Molekul
Pada Gambar 5, ”a” merupakan garis absorbsi, garis ini merupakan selisih
energi antara dua keadaan molekul yang melakukan absorbsi anergi. Molekul dalam
keadaan tereksitasi mengalami transisi spektrum dan apabila pada panjang
gelombang tunggal molekul mengabsorbsi energi maka spektrum akan terdiri dari
garis-garis tunggal seperti pada spektrum emisi molekul-molekul.
Gambar 5. Diagram Jablonski untuk Molekul (Ratnawulan, 2008).
Emisi radiasi yang dihasilkan akibat peralihan molekul dari keadaan dasar
tanpa mengalami perubahan dalam kelipatgandaan juga terjadi akibat proses transisi,
hal ini ditandai dengan huruf ”b” pada Gambar 5. Elektron apabila tereksitasi akan
kehilangan energi karena molekul memberikan energi vibrasinya ketika bertumbukan
dengan molekul lain dan kembali kekeadaan dasar, saat itu terjadilah emisi radiasi
maka proses ini dikenal dengan fluoresensi.
Proses transisi juga mempengaruhi terjadinya persilangan antar sistem yang
menyangkut perubahan spin dan ditandai dengan huruf ”c” pada Gambar 5. Dalam
proses fotokimia, persilangan antar sistem dari singlet tereksitasi terendah ke triplet
terendah adalah suatu hal yang penting karena mempunyai waktu hidup yang panjang.
Huruf ”d” pada Gambar 5 menandakan proses fosforesensi yang merupakan
proses akibat transisi karena adanya kemungkinan kehilangan energi karena
perpindahan triplet terendah kekeadaan dasar yang disebabkan oleh proses radiatif.
Gambar 5 menggambarkan molekul organik mempunyai tingkat dasar tunggal
(singlet), yang dinyatakan dengan S0. Keadaan tunggal tereksitasi yang dinyatakan
sebagai S 1 , S 2 dan seterusnya berdasarkan tingkat kenaikan energi dan keadaan
triganda (triplet) yang dinyatakan dengan T 1 , T 2 dan seterusnya. Biasanya molekul
organik yang telah menyerap energi cenderung menempati keadaan tereksitasi singlet
daripada keadaan triplet karena peralihan S 0 → T 1 . Hal ini menyangkut perubahan
kelipat gandaan spin yang terlarang keras.
Adanya dua keadaan singlet dan triplet yang disebabkan elektron-elektron
yang berpasangan pada keadaan dasar S 0 yakni sepasang untuk tiap orbital. Pada saat
tereksitasi, salah satu elektron pindah kepada orbital yang mempunyai energi yang
lebih tinggi. Kedua spin pada salah satu elektron dalam keadaan tereksitasi dapat
sama yakni keduanya +1/2 atau -1/2, atau kedua elektron itu mempunyai spin yang
berlawanan yakni +1/2 dan -1/2.
Kelipatgandaan suatu keadaan adalah sama dengan 2 S + 1 dimana S adalah
jumlah bilangan spin, baik +1/2 maupun -1/2. Bila kedua elektron mempunyai spin
yang sama maka S =1 dan kelipatgandaan 2 S +1=3 sehingga diperoleh keadaan
13
triplet. Bila elektron-elektron mempunyai spin berlawanan maka S=0 dan
kelipatgandaan 2 S +1=1 sehingga diperoleh keadaan singlet (S1).
3. Eksitasi Molekul Akibat Reaksi Kimia
Pada reaksi kimia juga terjadi eksitasi molekul, hal ini sesuai dengan teori
keadaan transisi atau teori laju reaksi absolut. Teori ini menyatakan bahwa ada suatu
keadaan yang harus dilewati oleh molekul-molekul yang bereaksi dalam tujuannya
menuju ke keadaan akhir atau produk. Eksitasi molekul mentransfer energinya ke
molekul lain yang berikatan kemudian kembali ke keadaan dasar, sambil
memancarkan radiasi elektromagnetik (Rahmi, 2008).
Ada tiga kondisi yang diperlukan untuk reaksi yang dibangkitkan secara kimia
(Ratnawulan, 2005). Kondisi pertama adalah reaksi kimia harus eksoterm dengan ∆E
< 0 untuk membebaskan energi yang cukup dalam membentuk molekul kekeadaan
tereksitasi. Contoh reaksi eksoterm yaitu :
NO2(g) + CO(g) NO(g) + CO2(g)
Pada reaksi ini terjadi eksitasi molekul untuk menuju ke keadaan akhir, hal ini dapat
terlihat pada diagram koordinat reaksi eksoterm dan molekul teraktifkan dari reaksi
ini pada Gambar 6.
Gambar 6. Koordinat Reaksi Eksoterm dan Molekul Teraktif
(www.kinetika _kimia.com)
Kondisi kedua adalah reaksi kimia harus mampu menyokong terbentuknya
molekul ke keadaan eksitasi. Sedangkan kondisi ketiga adalah molekul keadaan
eksitasi harus mampu memancarkan gelombang elektromagnetik atau menstransfer
energinya ke molekul lain untuk memancarkan gelombang elektromagnetik.
Secara umum, reaksi yang dibangkitkan secara kimia (kemilunilasensi) dapat
dihasilkan oleh dua mekanisme dasar. Mekanisme pertama adalah langsung yang
melibatkan dua reaktan bereaksi untuk membentuk sebuah produk keadaan tereksitasi
elektronik. Produk tersebut kemudian mengalami relaksasi ke keadaan dasar sambil
memancarkan sebuah foton. Reaksi langsung dapat dinyatakan sebagai berikut:
C* + D A+B
C*
C + hv
A dan B adalah reaktan dan C* adalah produk tereksitasi. Ilustrasi proses
energi eksitasi untuk reaksi langsung kemiluminisensi ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Proses Energi pada Reaksi Kemiluminisensi / Bioluminisensi untuk Reaksi:
A + B → C* + D → C + hv (Ratnawulan, 2008)
15
Gambar 7 di atas memperlihatkan proses energi untuk reaksi kemiluminisensi dimana
∆HA adalah energi entalpi yang tersimpan dalam reaktan dan ∆HA* adalah energi
enthalpi aktivasi pada keadaan eksitasi yang selanjutnya relaksasi kekeadaan dasar
sambil memancarkan cahaya tampak. Proses reaksi kemiluminisensi dapat terjadi
jika ∆HA*
< ∆HA. Karena pada proses kemiluminisensi mensyaratkan energi yang
terlibat harus eksoterm maka reaksi terbatas hanya pada reaksi redoks yang
menggunakan oksigen dan hidrogen peroxida atau oksidan potensial lainnya.
Proses transisi elektronik untuk reaksi kemiluminisensi digambarkan pada
Gambar 8 di bawah ini:
E(eV)
Gambar 8. Diagram Keadaan Transisi
Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada awalnya dimulai dari penyerapan energi oleh
molekul yang digunakan untuk bertransisi ke tingkat energi elektronik yang lebih
tinggi atau ke keadaan eksitasi, setelah mencapai eksitasi molekul akan kembali ke
tingkat energi yang lebih rendah (produk). Untuk memahami tingkatan energi
elektronik di dalam molekul, dapat menggunakan model molekul model molekul Bohr
yang merupakan model paling sederhana. Setiap molekul terdiri dari sejumlah kulit
elektron n (n=1,2,3...) yang energinya meningkat dengan bertambahnya nilai n.
Bertambahnya nilai n berarti bertambah jarak elektron terhadap inti. Elektron pada
kulit elektron dengan tingkat energi tertentu (Ei) diperbolehkan melompat ke kulit
elektron lain dengan tingkat energi yang lebih tinggi (Ef) yang masih kosong dengan
menyerap energi cahaya foton. Besar energi cahaya/foton tersebut (Efoton) haruslah
sama dengan selisih beda energi kedua kulit elektron tersebut. Sesuai dengan
persamaan :
∆E = Ef - Ei ...................................................................... (1)
Mekanisme kedua adalah reaksi tidak langsung yang didasarkan atas transfer
energi dari molekul tereksitasi ke molekul lain untuk memancarkan cahaya. Reaksi
tidak langsung, dapat dinyatakan sebagai berikut:
17
A+B P* + D
P* +F P + F
*
F* F + hv
Untuk transfer energi antar molekul yang berikatan dari reaksi tidak langsung
dipengaruhi oleh perubahan jarak antar molekul, dalam hal ini Sugimoto (1996)
memiliki tiga skenario pada Gambar 9.
Gambar 9. Skema Energi yang Berpola
Kurva energi yang berpola up menunjukkan bahwa reaksi sukar terjadi. Kurva
energi yang berpola barrier dengan energi barrier aktivasi (energi aktivasi) Ea
menunjukkan bahwa reaksi dapat terjadi karena energi pengaktifan (Ea) merupakan
energi keadaan awal sampai dengan energi keadaan transisi. Hal tersebut berarti
bahwa molekul-molekul pereaksi harus memiliki energi paling sedikit sebesar energi
pengaktifan (Ea) agar dapat mencapai keadaan transisi dan kemudian menjadi hasil
reaksi. Sedangkan kurva energi yang berpola down menunjukkan bahwa reaksi
spontan terjadi.
Supaya reaksi dapat terjadi maka skenario energi yang dipilih berdasarkan
Gambar 9 adalah skenario adanya energi barrier aktivasi (Ea) atau berpola down.
Tetapi bila terjadi energi barrier aktivasi pada semua reaksi maka skenario yang
dipilih adalah reaksi dengan energi barrier minimum. Hal ini didasarkan atas asumsi
bahwa energi barrier minimum akan mempercepat laju reaksi.
4. Energi Potensial Molekul
Energi potensial adalah perbedaan antara energi molekul dan penjumlahan
energi kompleks molekul yang terpisah. Sesuai dengan persamaan:
.....................................................................(2)
Dimana k = 1/4 πε0 229 /109 CmN adalah konstan
e = muatan electron = 1,6021 x 10-19
coulomb
R adalah jarak dua molekul berikatan yang terpisah dengan limit pemisahan R
menuju jarak yang lebih pendek antar dua buah molekul dan akibat perubahan jarak
antar molekul, molekul akan mencapai suatu jarak kesetimbangan R0. Pada jarak R0
energi bernilai minimum, yang terlihat dengan menurunnya energi karena kedua
molekul mengalami tarik menarik, dan untuk jarak yang dekat energi meningkat
secara tepat. Energi potensial tersebut dapat digambarkan seperti Gambar 10 di
bawah ini.
R
e
R
ekREp
0
22
4)(
19
Gambar 10. Diagram Energi Potensial
Seperti yang terdapat pada Gambar 10 energi potensial bernilai nol, pada saat pemisah
tak terhingga (Ep(~)). Ketika dua molekul saling mendekati satu sama lain, energi
molekul mulai menjadi negatif dan mencapai keadaan kesetimbangan jika
mempunyai energi potensial terendah (Ep(R0)).
B. Energi aktivasi
Menurut (Sukri : 12a) ”Energi aktivasi (energi pengaktifan) adalah jumlah
energi yang diperlukan molekul agar dapat bereaksi.” Energi aktivasi diperoleh
dengan menggunakan persamaan dibawah ini :
E = hυ =hc
λ ..................................................................................(4)
Dimana :
E = Energi aktivasi (eV)
h = Konstanta Planck (6.6 x 10-34
js)
c = Kecepatan Cahaya (3 x 108
m/s)
𝜆 = Panjang gelombang (nm)
Rumus pada persamaan 4 dapat juga dipakai sebagai energi foton, karena
dalam rekayasa optik foton dilambangkan oleh hv, energi foton, h adalah Konstanta
Planck dan abjad yunani v adalah frekuensi foton. Foton memiliki massa nol,
sehingga ia berjalan (dalam vakum) pada laju cahaya, c. Foton menunjukkan
fenomena seperti gelombang, seperti pembiasan dengan lensa dan interferensi
destruktif saat gelombang-gelombang saling bertabrakan.
Foton dapat berinteraksi dengan materi lewat mengirimkan sejumlah energi :
E =hc
λ . Dimana h adalah tetapan planck, c adalah laju cahaya, dan 𝜆 adalah
panjang gelombang.
21
BAB III
PEMBAHASAN
A. Mekanisme energi dalam pembentukan triacetin dengan mereaksikan gliserol
dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat
Mekanisme reaksi esterifikasi gliserol dan asam asetat menjadi triacetin sebagai
berikut:
1. Pembentukan triacetin menggunakan Chemoffice
a. Struktur Molekul Gliserol
Struktur geometri dari molekul gliserol menggunakan software chemoffice.
Struktur geometri ditunjukkan pada gambar
Gambar 1. Struktur molekul gliserol
b. Struktur Molekul Asam Asetat
Gambar 2. Struktur molekul Asam Asetat
c. Struktur Molekul katalis Asam Sulfat
Gambar 3. Struktur Molekul Asam Sulfat
2. Pembentukan Triacetin dengan mereaksikan Giserol dengan Asam Asetat
Gambar 4. Struktur molekul gliserol direaksikan dengan Asam asetat
23
Pembentukan Triacetin dengan menggunakan software Chemoffice mulanya
dilakukan dengan mereaksikan gliserol dengan asam asetat. Gambar 4 merupakan struktur
geometri Gliserol yang berikatan dengan Asam Asetat. Molekul yang diikatkan adalah atom
H7 pada molekul Gliserol ( 𝐶3𝐻5(𝑂𝐻)3) dengan atom H21 pada molekul Asam
Asetat(𝐶𝐻3COOH). Dari data software chemoffice dan winmopac didapatkan energi awal
sebelum direaksikan -1360.95633 eV dan jarak molekul 4,122 Å. Pada reaksi gliserol dengan
Asam Asetat didapatkan Hubungan jarak dengan muatan dan jarak antar perbedaan
energinya.
Berikut ini grafik hubungan antara jarak dengan muatan :
Grafik hubungan antara jarak dengan muatan
Jarak(𝐴°)
Pada grafik terlihat Q(H7) pada gliserol 𝐶3𝐻5(𝑂𝐻)3sebagai donor dan Q(H21) sebagai
akseptor pada Asam asetat 𝐶𝐻3COOH. Pada jarak 2.748 𝐴° terjadi serah terima
elektron.
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0 2 4 6
muatan (Q) Q(H7)
Q(H21)
Pada tabel dapat dilihat besar jarak dengan muatan :
Grafik Hubungan antara jarak dengan energy
Berdasarkan data energi total pada tabel 2, dilakukan perhitungan perbedaan
nilai energi menggunakan rumus ΔE = |E0 - E1|. Hasil perhitungan tersebut dapat
ditampilkan dalam bentuk tabel, yaitu pada tabel 2.
Jarak(𝐴°)
0
2
4
6
8
10
0 1 2 3 4 5
Energi (eV)
R(𝐴°) Q(𝐻7) Q(H21)
4,122 0,4525 -0,9725
3,999 0,0619 0,0879
3,734 0,0566 0,0935
3,407 0,4578 -0,9728
2,868 0,058 0,0725
2,828 0,0671 0,0773
2,748 0,0611 0,0772
2,648 0,0615 0,0722
2,568 0,0612 0,0789
2,548 0,0619 0,0869
2,525 0,0596 0,0755
2,485 0,0649 0,0619
2,299 0,0525 0,0644
2,088 0,0617 0,0835
1,816 0 ,0640 0,1217
25
Tabel 2. Hubungan jarak dengan perbedaan energi total
3. Mereaksikan gliserol dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat
Gambar 5. Struktur reaksikan gliserol dengan asam asetat menggunakan katalis
asam sulfat
jarak(𝐴°) ΔE(eV)
4,122 0
3,999 7,597274
3,734 8,243717
3,407 0,01275
2,868 7,624363
2,828 7,621925
2,748 7,598679
2,648 7,598283
2,568 7,599189
2,548 7,597513
2,525 7,618529
2,485 7,765646
2,299 7,606896
2,088 7,597723
1,816 7,598418
Tabel 3. Hubungan antara Jarak dengan Muatan
Grafik Hubungan Antara Jarak dengan Muatan pada reaksi gliserol dengan asam
asetat menggunakan katalis asam sulfat.
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0 1 2 3 4 5
Muatan(Q)
Jarak (Å)
Hubungan Jarak dengan Muatan
Q(H)21))
Q(O(25))
R(𝐴°) Q(H)21)) Q(O(25))
4,114 0,0961 -0,8954
3,996 0,0907 -0,8629
3,791 0,0853 -0,9027
3,569 0,0903 -0,8739
3,355 0,0911 -0,8692
3,182 0,0738 -0,8586
2,96 0,0946 -0,8797
2,785 0 ,0942 -0,8396
2,563 0,2248 -0,9409
2,395 0,0827 -0,8381
2,117 0,0895 -0,8419
1,985 0 ,3357 -0,9104
27
Tabel 4. Hubungan Jarak dengan Perbedaan Energi total
R(𝐴°) ∆E(eV)
4,114 0
3,996 0,106320
3,791 0,251710
3,569 0,086410
3,355 0,076790
3,182 0,097780
2,96 0,036880
2,785 1,270870
2,563 1,2105750
2,395 0,926250
2,117 1,152190
1,985 1,228950
Grafik Hubungan Antara Jarak dengan Muatan pada reaksi gliserol dengan asam
asetat menggunakan katalis asam sulfat.
Pada grafik ini, yang direaksikan adalah atom H₂1 pada molekul Gliserol, dengan
atom O25 pada molekul Asam Sulfat. Pada jarak 2,785 Å terjadi serah terima muatan.
atom H₂1 Molekul Gliserol sebagai donor dan atom O25 molekul Asam Sulfat sebagai
akseptor.
Pada gambar 3.5 diatas terjadi lonjakan energi pada jarak 2,785 Å. Artinya, pada
jarak ini kedua molekul terjadi serah terima elektron yang menyebabkan kedua molekul
bereaksi dengan baik. Serah terima elektron antar molekul menyebabkan lonjakan energi.
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
0 1 2 3 4 5
Perbedaan Energi(eV)
Jarak (Å)
Grafik Hubungan anatara jarak dengan perbedaan energi
Dari grafik diatas juga dapat kita lihat bahwa perubahan energi maksimum atau lonjakan
pada reaksi adalah 1,270870 eV.
Pembahasan
Molekul-molekul pembentuk triacetin dari pembentukan triacetin dari reaksi gliserol
dengan asam setat menggunakan katalis Asam Sulfat ini pada awalnya berada pada tingkat
dasar, setelah berikatan molekul-molekul tersebut mengalami eksitasi ke keadaan singlet
tereksitasi. Molekul pembentukan triacetin dari reaksi gliserol dengan asam setat
menggunakan katalis Asam Sulfat ini mengalami eksitasi karena absorbsi energi dari
penambahan molekul lain. Hal ini sesuai dengan diagram jablonski, yang menyatakan
bahwa absorbsi merupakan selisih antara dua molekul.
Gambar 3.6 Diagram energi pada reaksi pembentukan triacetin dari reaksi gliserol
dengan asam setat menggunakan katalis Asam Sulfat
Kesalahan relatif untuk energi pembentukan asam oksalat dari sabut siwalan adalah :
• % kesalahan = ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖 −ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑒𝑟𝑖𝑚𝑒𝑛
ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖x 100 %
• % kesalahan = 5286,2456−5186,62259
5086,2456 x 100%
= 1.95%
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mekanisme terjadinya reaksi dalam pembentukan asam oksalat dari sabut
siwalan yaitu :
katalis
𝐶3𝐻5(𝑂𝐻)3 + 3 𝐶𝐻3COOH 𝐶3𝐻5 𝐶𝑂𝑂𝐶𝐻3 + 3𝐻2O
2. Dari grafik jarak dengan perubahan energi dapat kita lihat bahwa jarak
efektif terjadinya reaksi pada pembentukan asam oksalat dari sabut siwalan ini
adalah pada jarak 2,785 Å.
3. Energi aktivasi pada reaksi pembentukan asam oksalat dari sabut siwalan ini
adalah sebesar 5186,62259eV dengan menggunakan software chemoffice dan
winmopac.
4. Dari grafik jarak dengan muatan, dapat kita lihat terjadinya serah terima
elektron pada jarak 2,785 Å. Yang mana atom donor (pemberi) adalah O21
merupakan molekul Gliserol, dan atom akseptor (penerima) adalah atom H₂₇
merupakan molekul Asam Sulfat.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Martini.2005. Teknologi Proses Pembuatan Biodisel . Unand : Padang
Bunyamin,anas. 2011.Pemanfaatan Gliserol Hasil Samping Produksi Biodesel Jarak
Pagar.IPB : Bandung
Nuryoto.2010. Uji Performa Katalisator Asam Sulfat untuk glisero sebagai hasil
samping pembuatan biodiesel menjadi triacetin.UGM : Yogyakarta
Ratnawulan.2008. Pengantar Struktur Elektronik Zat Padat.UNP : Padang