makalah 26 F1

28

Click here to load reader

Transcript of makalah 26 F1

Page 1: makalah 26 F1

Skrining kanker serviks dengan tes IVA

Disusun oleh:

Kelompok F 1

Ade frima segara manurung (10.2008.141)

Nova geby barika (10.2009.004)

Fakultas kedokteran universitas Kristen krida wacana

Jalan arjuna utara no.6 jakarta barat 11470

I. Pendahuluan

IVA merupakan salah satu metode untuk melakukan deteksi dini adanya kanker leher rahim.

Skrining dengan IVA ini dinyatakan lebih mudah, lebih sederhana, dan lebih murah

dibandingkan dengan tes pap smear. Karena itu, pemeriksaan IVA ini memberikan harapan

besar untuk terlindung dari ganasnya efek kanker leher rahim, jenis kanker yang paling

banyak ditemukan pada perempuan Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas. Masalah yang

menghadang dalam penanggulangan kanker leher rahim di Indonesia adalah masih rendahnya

angka cakupan tes deteksi dini atau skrining kanker ini. Skrining adalah salah satu cara untuk

menemukan lesi pre kanker dan kanker pada stadium dini. Faktanya, angka skrining kanker

leher rahim di Indonesia hanya berkisar kurang dari (5%) (idealnya sekitar 80%). Karena

rendahnya angka skrining itulah, maka pantas saja (70%) pasien kanker leher rahim di

Indonesia terdiagnosis pada stadium lanjut. Kondisi ini membuat rendahnya angka kesakitan

dan tingginya angka kematian pada pasien kanker leher rahim di Indonesia. 1

Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, terdapat lebih dari 500.000 kasus kanker leher

rahim baru dan lebih (95%) di antaranya ditemukan di negara-negara berkembang.

Diperkirakan lebih satu juta wanita di seluruh dunia yang saat ini sedang menderita kanker

leher rahim dan kebanyakan belum terdiagnosis atau tidak mendapatkan pengobatan yang

dapat menyembuhkan atau memperpanjang hidup mereka. Pada tahun 2005, hampir 260.000

wanita yang meninggal akibat penyakit tersebut, dan (95%) di antaranya berasal dari negara-

negara berkembang . Di Indonesia, kasus kanker leher rahim menempati urutan pertama

Page | 1

Page 2: makalah 26 F1

dengan jumlah kasus 14.368 orang. Dari jumlah itu, 7.297 di antaranya, meninggal dunia, dan

prevalensi setiap tahunnya 10.823 orang. Informasi tersebut memberikan arti bahwa dari

jumlah kasus yang ada, (50,78%) mengalami kematian. Sementara jika mengacu pada

prevalensi setiap tahunnya yang mencapai 10.823 kasus, berarti setiap tahunnya terjadi

kematian 5.495 orang. 1

Kasus kanker leher rahim di Indonesia, diperburuk lagi dengan banyaknya (>70%) kasus

yang sudah berada pada stadium lanjut ketika datang ke Rumah Sakit. Kondisi ini terjadi juga

di beberapa negara berkembang, atau di negara miskin. Agar tercapai hasil pengobatan

kanker leher rahim yang lebih baik, salah satu faktor utama adalah penemuan stadium lebih

awal. Pengobatan kanker leher rahim pada stadium lebih dini, akan lebih berhasil, sehingga

mortalitas akan menurun.1

Pemikiran perlunya metode skrining alternatif dilandasi oleh fakta, bahwa temuan sensitivitas

dan spesifisitas Tes Pap bervariasi dari 50-98%. Selain itu juga kenyataannya skrining massal

dengan Tes Pap belum mampu dilaksanakan antara lain karena keterbatasan ahli

patologi/sitologi dan teknisi sitologi. Data dari sekretariat IAPI (Ikatan Ahli Patologi

Indonesia) menunjukkan bahwa jumlah ahli patologi 178 orang pada tahun 2001 yang

tersebar baru di 13 provinsi di Indonesia(10)dan jumlah skriner yang masih kurang dari 100

orang(11)pada tahun 2001. Sementara itu Indonesia mempunyai sejumlah bidan; jumlah

bidan di desa 55.000 dan bidan praktek swasta (BPS) kurang sebanyak 16.000(1997) (12).

Bidan adalah tenaga kesehatan yang dekat dengan masalah kesehatan wanita, yang

potensinya perlu dioptimalkan, khususnya untuk program skrining kanker leher rahim. Juga

adanya fakta bahwa di antara petugas kesehatan termasuk bidan, kemampuan dan kewas-

padaan terhadap kanker leher rahim masih perlu diberdayakan.1

II. Pembahasan

Epidemiologi ca serviks

a. Distribusi karsinoma serviks

Kanker serviks atau karsinoma uteri merupakan salah satu penyebab utama kematian

wanita yang berhubungan dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi

sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang ±

80% terjadi di Negara-negara berkembang. Di Indonesia, insiden kanker serviks

diperkirakan ± 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker wanita tersering.

Page | 2

Page 3: makalah 26 F1

Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi dinegara-negara berkembang. Hal iu terjadi

karena pasien datang dalam stadium lanjut.2,3

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini

mempunya urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di

Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap

tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan

kematian dlaam jangka waktu yang relative cepat. Selain itu lebih dari 70% kasus

yang datang kerumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.

Selam kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50

tahun. Periode laten dari fase prainvasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9 %

dari wanita berusia <35 tahun yang menunjukan kanker serviks yang invansif pada

saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS ( kanker in situ) terdapat pada wanita

berusia < 35 tahun.

b. Faktor resiko karsinoma serviks

1. Perilaku seksual

Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker serviks. Pada

berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang

mulai melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai

pasangan seksual yang berganti-ganti lebih berisiko untuk menderita kanker

serviks. Faktor risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan

wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker

(karsinogen) kepada isterinya. Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad

20, menyingkap kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan

agen yang dapat menimbulkan infeksi. Keterlibatan peranan pria terlihat dari

adanya korelasi antara kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah

tertentu. Lebih jauh meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang

suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan

konsep “Pria Berisiko Tinggi” sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan

infeksi. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi

penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam penyakit akibat hubungan seksual

(PHS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara

bebas, dan diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit akibat

hubungan seksual dengan kanker serviks.5

2. Kontrasepsi

Page | 3

Page 4: makalah 26 F1

Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral yang

dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko

relatif 1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral

sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian.5

3. Merokok.

Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/

sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon

heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah

serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-

bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat

menjadi kokarsinogen infeksi virus.6

4. Riwayat kanker serviks pada keluarga

Bila seorang wanita mempunyai saudara kandung atau ibu yang mempunyai

kanker serviks, maka ia mempunyai kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk juga

mempunyai kanker serviks dibandingkan dengna orang normal. Hal ini

berhubungan dengan berkurangnya kemampuan untuk melawan HPV.6

5. Nutrisi

Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas

yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Banyak sayur dan buah

mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya

advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa

penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta

karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E,

vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Vitamin E

banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan

kacangkacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-

buahan.6

6. Hygiene yang buruk

Ketika terdapat virus ini pada tangan seseorang, lalu menyentuh daerah genital,

virus ini akan berpindah dan dapat menginfeksi daerah serviks atau leher rahim

Anda. Cara penularan lain adalah di closet pada WC umum yang sudah

terkontaminasi virus ini. Seorang penderita kanker ini mungkin menggunakan

closet, virus HPV yang terdapat pada penderita berpindah ke closet.

7. Menggunakan pil-pil pengontrol kelahiran untuk suatu waktu yang lama

Page | 4

Page 5: makalah 26 F1

Menggunakan pil-pil pengontrol kelahiran untuk suatu waktu yang lama (5 tahun

atau lebih) dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim diantara wanita-wanita

dengan infeksi HPV.

Faktor resiko yang lain juga termasuk sering menderita infeksi di daerah kelamin,

trauma kronis pada serviks dan melahirkan banyak anak.

c. Cara penularan karsinoma serviks

Melalui hubungan seksual (dengan cara transmisi genital --> genital, oral --> genital,

manual --> genital) terutama yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan.

Penggunaan kondom saat melakukan hubungan intim tidak terlalu berpengaruh

mencegah penularan virus HPV. Sebab virus juga bisa berpindah melalui sentuhan

kulit.

d. Agent – Host – Environment karsinoma serviks

1. Agent karsinoma serviks

a. Human papillomavirus

HPV merupakan virus heterogenus yang mengandungi DNA kembar bulat yang

tertutup. Genom virus tersebut mempunyai 6 jenis protein yaitu (, E1, E2, E3, E4,

E6, E7), yang dimana berfungsi sebagai protein regulatori dan 2 lagi protein ( L1,

L2), yang membentuk kapsid virus tersebut.

Sehingga hari in 77 genotip HPV yang berlainan telah dijumpai dan telah

diklonisasi yang dimana diantaranya tipe 6, 11, 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 42, 43,

44, 45, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 66, dan 68 mempunyai sifat untuk

menginfeksi tisu anogenital.

HPV yang menginfeksi servik manusia tergolong dalam dua kelompok. Tipe

resiko rendah, HPV 6b dan 11, yang terkait dengan SIL tahap rendah tetapi tidak

pernah dijumpai dalam kanker invasif. Tipe HPV resiko tinggi, HPV 16 dan 18,

dijumpai dalam 50-80% kasus SIL dan dalam 90% kanker invasive. Walaupun

jarang, tipe 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82 perlu dilihat

dalam kumpulan karsinogenik.7

Perbedaan yang ketara diantara kedua tipe ini kelihatan selepas infeksi, tipe resiko

rendah berada dalam keadaan DNA episomi ekstrakromosomal dan tipe resiko

tinggi memasuki ke dalam DNA sel host. Proses rekombinasi ini sering

menyebabkan E6 dan E7 mengikat secara terus dengan promoter virus yang

menyebabkannya untukk memindahkan karakteistiknya selepas integrasi. Oleh

Page | 5

Page 6: makalah 26 F1

karena E7 mengikat dan menginaktivasi protin Rb protein manakala E6 mengikat

p53 dan menyebabkan berlaku degradasi, kehilangan fungsional TP53 dan RB

menyebabkan resistensi pada apoptosis yang seterusnya menyebabkan

pertumbuhan sel yang tidak terkawal setelah DNA rusak. Ini seterusnya

mengakibatkan terjadinya malignancy. 7

b. Human immunodeficiency virus

Peran infeksi virus HIV dalam patogenesiss kanker servikal tidak dapat dipahami

dengan sepenuhnya. Studi menunjukkan wanita HIV-seropositine mempunyai

prevalensi yang lebih tinggi daripada wanita serogenotive dan juga prevalensi

HPV berakibat terus terhadap immunosupresi yang diukur dengan menggunakan

kiraan CD-4.

Penyebab lain terjadinya kanker serviks adalah merokok, hubungan seksual

pertama dilakukan pada usia dini, berganti-ganti pasangan seksual, gangguan

sistem kekebalan tubuh, pemakaian pil KB, infeksi atau pemakaian bahan kimia

secara menahun, penggunaan pembalut yang kualitasnya rendah, penggunaan

bahan kimia yang terlalu berlebihan untuk vagina dan pembiaran atau cuek

terhadap masalah-masalah berlebihan contohnya keputihan yang berlebihan.7

2. Host karsinoma serviks

Manusia yang system kekebalan tubuhnya tidak tahan terhadap virus Human

Papilloma Virus. Manusia dengan factor resiko yang tinggi, mempunyai factor

riwayat kanker serviks pada keluarga.

3. Environment karsinoma serviks

Non-fisik:

Tingkat pendidikan yang rendah

Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau memperngaruhi tingkat

pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu berhubungan

dengan informasi dan pengetahuan terbatas, semakin tinggi pendidikan

seseorang semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang

didapat dan pengetahuannya pun akan semakin tinggi.

Skrining test

Pencegahan primer merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal ini tidak

mungkin dilakukan maka mendeteksi tanda dan gejala penyakit dan pengobatan secara tuntas

merupakan pertahanan kedua.8

Page | 6

Page 7: makalah 26 F1

Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan menemukan penyakit sebelum

menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut.

1. Deteksi tanda dan gejala dini

Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan

pengetahuna tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat segera diketahui dan

diberikan pengobatan. Biasanya, pederita datang untuk mencari pengobatan setelah

penyakit menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti

penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan

ketidakmampuan penderita.8

2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala

Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji tapis terhadap orang-

orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan

pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang datang untuk mencari

pengobatan setelah timbul gejala relatif sedikit sekali dibandingkan dengan penderita

tanpa gejala.8

a. Tujuan skrining

1. Mendeteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap

orang-orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit yaitu orang

yang mempunyai risiko tinggi untuk terkena penyakit (population at risk)8

2. Dengan ditemukannya penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara

tuntas hingga mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun

lingkungannya dan tidak menjadi sumber penularan hingga epidemic dapat

dihindari.8

3. Menurunkan Case Fatality penyakit.

b. Sasaran skrining

Berdasarkan pemikiran tersebut, sebagi sasaran utama uji tapis adalah penyakit kronis

seperti:

1. Infeksi bakteri (lepra,TBC, dll)

2. Infeksi virus (hepatitis)

3. Penyakit non-infeksi, antara lain

a. Hipertensi

Page | 7

Page 8: makalah 26 F1

b. Diabetes mellitus

c. Penyakit jantung

d. Karsinoma serviks

e. Prostat dan

f. Glaucoma

4. AIDS

c. Syarat-syarat skrining8

1. Tes harus cukup sfesifik dan sensitive

2. Tes dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, cukup murah,

sederhana.

3. Penyakit atau masalah yang akan di skrining merupakan masalah yang cukup

serius, prevalensinya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat.

4. Kebijakan, intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan

skrining harus jelas.

5. Wanita sudah menikah, tidak dalam keadaan hamil, tidak sdang dalam datang

bulan, 24 jam sebelumnya tidak berhubungan seksual.

d. Uji tapis secara spesifik

Uji tapis secara spesifik dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai risiko atau

yang di kemudian hari dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit. Uji tapis secara

spesifik dilakukan dengan mempertimbangkan factor umur, jenis kelamin atau

pekerjaan, dan lain-lain.7

Uji tapis karsinoma serviks yang dilakukan terhadapt wanita berumur 29 tahun ke

atas. Uji tapis dilakukan dengan pemeriksaan:

1. Pap smear,

2. Inspeksi portio, dan

3. Palpasi ginekologis

Kriteria evaluasi

Untuk menilai hasil uji tapis dibutuhkan criteria tertentu seperti berikut.

Validitas

Reliabilitas

Page | 8

Page 9: makalah 26 F1

Yield

1. Validitas

Uji tapis merupakan tes awal yang baik untuk memberikan indikasi individu mana

yang benar-benar sakit dan mana yang tidak, disebut validitas. Validitas mempunyai

dua komponen yaitu:

1. Sensitivitas dan

2. Spesivisitas

Sensitivitas ialah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat,

dengan hasil tes positif, dan benar sakit.8

Spesivisitas ialah kemapuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan teapat,

dengan hasil tes negative, dan benar tidak sakit.8

Istilah sensitivitas dan spesivisitas mula-mula digunakan oleh Yerushelmi pada

tahun1947 sebagai indeks statistic dalam penelitiannya tentang variabilitas pemeriksa

ahli radiologi. Kini, kedua indeks statistic tersebut digunakan dalam epidemiologi

untuk menyatakan masalah secara kuantitatif dan merupakan yang penting dalam

analisis data epidemiologis. Kedua komponen ini dapat ditentukan dengan

membandingkan hasil uji tapis dengan hasil diagnosis pasti.8

Secara ideal, hasil tes untuk uji tapis harus 100% sensitive dan 100% spesifik, tetapi

dalam praktik hal ini tidak pernah ada dan biasanya sensitivitas berbanding terbalik

dengan spesivisitas. Misalnya, bila hasil tes mempunyai sensitivitas yang tinggi, akan

diikuti oleh spesivisitas yang rendah dan sebaliknya. Hal ini tampak jelas pada tes

yang menghasilkan data kontinu seperti:

1. Hb

2. Tekan darah

3. Serum kolesterol

4. Tekanan intraokuler

Karena tes dengan variabel di atas, sensitivitas dan spesivisitas dapat diubah-ubah

dengan menentukan batas hasil yang positif. Untuk menjelaskan kedua indeks

tersebut akan lebih mudah dipahami melalui penyajian dalam bentuk table

kontingensi 2 x 2 berikut.8

Page | 9

Page 10: makalah 26 F1

Tabel 18

Keterangan:

a: positif benar c: negatif semu

b: positif semu d: negatif benar

N: a+b+c+d

Sensitivitas = a/(a+c) x 100%

spesivisitas = d/(b+d) x 100%

Proporsi negatif semu = c/(a+c)

Proporsi positif semu = b/(b+d)

Penilaian hasil uji tapis dengan menghitung sensitivitas dan spesivisitas menggunakan

perhitungan di atas mempunyai beberapa kelemahan berikut.8

1. Tidak semua hasil pemeriksaan dapat dinyatakan dengan tegas “ya” atau “tidak”.

2. Perhitungan ini tidak sesuai dengan kenyataan karena perhitungan sensitivitas dan

spesivisitas setalah penyakit diketahui atau didiagnosis, sednagkan tujuan uji tapis

adalah mendeteksi penyakit yang belum tampak dan bukan untuk menguji

kemampuan alat tes yang digunakan.8

Untuk mengatasi kelemahan tersebut dilakukan perhitungan perkiraan nilai

kecermatan dengan tujuan untuk menaksir banyaknya orang yang benar-benar

menderita dari semua hasil tes yang positif. Perkiraan nilai kecermatan terdiri dari dua

komponen yaitu:8

Page | 10

Hasil tes

sakit

Keadaan penderita

Tidak sakit

jumlah

Positif a b a+b

Negative c d c+d

Jumlah a+c b+c N

Page 11: makalah 26 F1

1. Nilai kecermatan positif (positive accuracy) dan

2. Nilai kecermatan negative (negative accuracy)

Nilai kecermatan positif ialah proporsi jumlah yang sakit terhadap semua hasil tes

positif.8

y= a(a+b)

Nilai kecermatan negatif ialah proporsi jumlah yang tidak sakit terhadap hasil tes

negative.8

z= d(c+d)

Selain nilai kecermatan positif dan nilai kecermatan negatif, dapat dihitung juga

komplemennya yaitu false positif dan false negative.7

False positif rate ialah jumlah hasil tes positif semu dibagi dengan jumlah seluruh

hasil tes positif.

b(a+b) atau 1 – y

False negative rate ialah jumlah hasil tes negative semu dibagi dengan jumlah seluruh

hasil tes negative.

c(c+d ) atau 1 – z

Contoh: misalnya ditemukan 150 orang positif menderita dan 45 orang positif benar,

10 orang positif semu, 5 orang negative semu, dan 90 orang negative benar.

Hasil tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 2.8

Hasil tes Keadaan penderita jumlah

Page | 11

Page 12: makalah 26 F1

sakit Tidak sakit

Positif 45 10 55

Negative 5 90 95

Jumlah 50 100 150

Sensitivitas hasil tes : 45/50 = 90%

Spesivisitas hasil tes : 90/100 = 90%

Nilai kecermatan positif : 45/55 = 82%

Nilai kecermatan negative : 90/95 = 95%

False positif rate : 100 – 82% =18%

False negative rate : 100 – 95% = 5%

Dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu tes dengan sensitivitas

dan spesivisitas yang dapat menghasilkan angka positif semua dan angka negative

semu yang sangat berbeda.8

Dengan perhitungan perkiraan nilai kecermatan di atas, terdapat kelemahan yaitu

hasilnya sangat dipengaruhi prevalensi penyakit di masyarakat karena dengan

perbedaan prevalensi yang kecil akan mengakibatkan perubahan nilai kecermatan

yang besar. Hal itu dapat dilihat pada contoh berikut.8

2.1 Uji tapis terhadap diabetes mellitus pada dua kelompok individu yang masing-

masing sebnyak 1000 orang. Prevalensi diabetes pada kelompok pertama adalah

1% dan pada kelompok kedua 2%. Kedua kelompok tersebut mempunyai

sensitifitas 99% dan 95%. Perhitungan nilai kecermatannya sebagi berikut.

Tabel 3. 8

Page | 12

Page 13: makalah 26 F1

1 %

Prevalensi

2%

Jumlah individu 1000 1000

Sakit

Tidak sakit

Positif benar

Positif semu

Jumlah positif

10

990

9,9

49,5

59,4

20

980

19,8

49

69

Nilai kecermatan

positif

1

0/59,4

= 17%

20/69= 29%

Pada hasil perhitungan diatas tampak bahwa kelompok dengan prevalensi rendah

mempunyai nilai kecermatan hanya 17% yang berarti bahwa dari 100 orang

dengan hasil tes positif hanya 17 orang yang benar sakit atau 5 ari 6 orang tidak

sakit.8

Kesimpulan:

a. Pada prevalensi penyakit yang rendah menghasilkan nilai kecermatan yang

rendah.

b. Perbedaan prevalensi yang kecil dapat mengakibatkan perubahan nilai

kecermatan.

2.2 Misalnya pada contoh di atas, kelompok pertama dilakukan terhadap 20 orang

penderita, sedangkan kelompok kedua dilakukan terhadap 200 orang bukan

penderita dengan hasil berikut.

Tabel 4. 8

Page | 13

Page 14: makalah 26 F1

Hasil tes

Sakit

Status penderita

Tidak sakit

jumlah

Positif 18 20 38

Negative 2 180 182

Jumlah 20 200 220

Sensitifitas: 18/20 = 90%

Spesitivitas: 180/200 = 90%

Nilai kecermatan positif: 18/38 = 47%

Nilai kecermatan negative: 180/182 = 99%

False positif : 53%

False negative : 1%

Hasil:

1. Nilai perkiraan kecermatan tergantung pada rasio antara penerita dan bukan

penderita.

2. Sensitivitas dan spesitivitas tidak dipengaruhi oleh prevalensi penyakit.

Kesimpulan:

Sensitivitas dan spesitivitas banyak digunakan sebagai indeks statistic dalam analisis

data epidemiologi.8

Positif Predicted Value adalah kemampuan dari suatu tes untuk mengidentifikasikan

orang-orang yang benar-benar sakit dari hasil tes skrining (+).8

PPV = True positifTrue Positif + false positif

x100 %

Negative Predicted Value adalah suatu kemampuan dari suatu tes untuk

mengidentifikikasi orang-otang yang benar-benar sehat/tidak bermasalah dari yang

hasil tes skringingnya negative.7

Page | 14

Page 15: makalah 26 F1

NPV = True negatifTrue negatif + falsenegatif

x 100 %

2. Reliabilitas8

Bila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil yang konsisten, dikatakan

reliabel. Reliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut:

1. Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:

a. Stabilitas reagen dan

b. Stabilitas alat ukur yang digunakan.

Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan alat

ukur, maka kosistensi hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum digunakan

hendaknya kedua hal tersebut ditera atau diuji ulang ketepatanya.

2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis. Stadium penyakit atau

peyakit dalam masa tunas. Misalnya:

a. lelah

b. kurang tidur

c. marah

d. sedih

e. gembira

f. penyakit yang berat dan

g. penyakit dalam masa tunas

umumnya, variasi ini sulit diukur terutama factor psikis.

3. Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:

a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang

dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama

b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan

pemeriksaan oleh beberapa orang.

Upaya untuk mengurangi berbagai variasi di atas dapat dilakukan dengan

mengadakan:

- Standardisasi reagen dan alat ukur

- Latihan intensif pemeriksa

- Penentuan criteria yang jelas

- Penerangna kepada orang yang diperiksa

Page | 15

Page 16: makalah 26 F1

- Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.

e. Macam-macam skrining

a. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu

b. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria

tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik

pada wanita yang sudah menikah

c. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis

penyakit

d. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu

jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas

Skrining tes yang digunakan untuk mendeteksi ca serviks

Screening untuk memeriksa perubahan-perubahan leher rahim sebelum adanya gejala-

gejala adalah sangat penting. Screening dapat membantu dokter mencari sel-sel

abnormal sebelum kanker berkembang. Mencari dan merawat sel-sel abnormal dapat

mencegah kebanyakan kanker serviks. Screening juga dapat membantu mendeteksi

kanker secara dini, sehingga perawatan akan menjadi lebih efektif.

Untuk beberapa dekade yang lalu, jumlah wanita-wanita yang didiagnosis setiap

tahun dengan kanker serviks sudah menurun. Dokter-dokter percaya bahwa ini

terutama disebabkan oleh sukses dari screening.

Cara paling mudah untuk mengetahuinya dengan melakukan pemeriksaan sitologis

leher rahim. Pemeriksaan ini saat ini populer dengan nama pap smear atau

Papanicolaou smear yang diambil dari nama dokter Yunani yang menemukan

metode ini yaitu George N. Papanicolaou.

1. IVA

IVA yaitu singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode

pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam asetat.

Kemudian diamati apakah ada kelainan seperti area berwarna putih. Jika tidak ada

perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks. Anda dapat

melakukan di Puskesmas dengan harga relatif murah. Ini dapat dilakukan hanya

untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang mencurigakan, maka metode deteksi

Page | 16

Page 17: makalah 26 F1

lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan. 2,4 Tingkat Keberhasilan metode IVA

dalam mendeteksi dini kanker servik yaitu 60-92%. Sensitivitas IVA bahkan lebih

tinggi dari pada Pap Smear. Dalam waktu 60 detik kalau ada kelainan di serviks

akan timbul plak putih yang bisa dicurigai sebagai lesi kanker.9

Klasifikasi IVA sesuai temuan klinis5

- Hasil tes positif : plak putih atau epitel acetowhite biasanya dekat SCJ

- Hasil tes negative : permukaan polos dan halus, warna merah jambu,

ektropion, polip, servisitis, inflamasi, nabothian cysts.

- Kanker: massa mirip kembang kola tau bisul.

2. Pap smear

Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat

untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim. Kemudian sel-

sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat menyingkapkan apakah

ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut laporan sedunia, dengan

secara teratur melakukan tes Pap smear telah mengurangi jumlah kematian akibat

kanker serviks.9 Tingkat Keberhasilan Papsmear dalam mendeteksi dini

kankerrahim yaitu 65-95 %.9

3. Thin prep

Metode Thin prep lebih akurat dibanding Pap smear. Jika Pap smear hanya

mengambil sebagian dari sel-sel di serviks atau leher rahim, maka Thin prep akan

memeriksa seluruh bagian serviks atau leher rahim. Tentu hasilnya akan jauh lebih

akurat dan tepat.9

4. Kolposkopi

Jika semua hasil tes pada metode sebelumnya menunjukkan adanya infeksi atau

kejanggalan, prosedur kolposkopi akan dilakukan dengan menggunakan alat yang

dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi. Tujuannya

untuk menentukan apakah ada lesi atau jaringan yang tidak normal pada serviks

atau leher rahim.9

Program IVA di Puskesmas

Untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya peningkatan kasus kanker serviks pemerintah

telah melakukan beberapa program untuk deteksi dini ca serviks melalui puskesmas-

puskesmas dimana program IVA ini termasuk salah satu program unggulan untuk mendeteksi

kanker serviks pada wanita.

Page | 17

Page 18: makalah 26 F1

III. Kesimpulan

Dari bebrapa artikel dan hasil penelitian –penelitian yang pernah dilakukan Ca Cervix

memang merupakan salah satu momok bagi kaum wanita karena merupakan penyakit

kanker kedua paling banyak diderita oleh para wanita. Sedangkan di Negara-negara

berkembang tingkat kematiannya menyumbang angka 55,5 % dari jumlah total

kematian tingkat dunia. Hal ini banyak disebakan diantaranya masih rendahnya

tingkat pengetahuan ibu resiko tinggi tentang Ca cervix, khususnya mengenai factor

resiko Ca cervix dan kemungkinan pencegahan yang bias dilakukan. Untuk itu perlu

digalakkan sosialisasi hal-hal yang berkaitan dengan Ca cervix secara umum kepada

masyarakat dan khususnya kepada wanita rentang usia 2-30 tahun, karena

menunjukkan bahwa kanker serviks terjadi pada usia 31-60 tahun.

Daftar Pustaka

1. Mardjikoen P. tumor ganas alat genitalia. In: wiknjosastro h, saifuddin AB,

Rachimhadhi T, editor. Ilmu kandungan 2nd ed. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo 2007.p.381-3.

2. Suwiyoga IK. Tes Human Papillomavirus sebagai skrining alternative kanker serviks.

CDK 2006; 151: hal 29-33.

3. Aziz F, Nugroho K, Ratna SS. Karsinoma serviks uterus. Bagian/ SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran UI –RS dr. ciptomangunkusumo Jakarta ; 1985.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan kanker serviks dengna

vaksin HPV. Jakarta : DEPKES RI; 2005.

5. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. 1sd ed. Jakarta: sagung seto; 2008.

6. Anonym. Kanker leher rahim.2006 (cited 2013 juli 1). Available form URL:

http://medicastore.com/penyakit/1046/kanker_leher_rahim_kanker_serviks.html.

7. Putrid, henny. Manajemen karsinoma serviks, referat. Bagian / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas kedokteranUGM –RS dr. sardjito Yogyakarta; 2009.

8. Pengantar epidemiologi / penulis, Eko Budiarto, dewi anggraeni. – ed.2. – Jakarta :

EGC,2002. Hal 85-99.

9. Sarwono Prawirohardjo. Kanker Serviks.In: M. Farid Azis, Andri Jono, Abdul Bari

Saifuddin, editors. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. EdisiPertama.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006.p. 442-54.

Page | 18