Makalah - 021-revisi.doc (104Kb)
Transcript of Makalah - 021-revisi.doc (104Kb)
KOMODIFIKASI KEMISKINAN DI TELEVISI (Analisis Wacana Kritis pada Tayangan Orang Pinggiran di TRANS 7)
Dian Sri Mulyani1, Widyo Nugroho2
Fakultas Komunikasi Universitas Gunadarma1), AkommRTVi Global Media2)
E-mail : [email protected]), [email protected] 2 )
Abstrak
Saat ini, semakin sulit memisahkan eksistensi televisi dari kehidupan kita. Komodifikasi dalam kaitannya dengan tayangan televisi adalah tayangan televisi yang dijadikan sebuah produk yang awalnya memiliki nilai yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan sosial, diubah menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dihasilkan di pasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kritis komodifikasi kemiskinan dalam program dokumenter Orang Pinggiran di Trans 7. Metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA) Norman Fairclough, digunakan sebagai alat analisa penelitian ini. Pada level teks, metode semiotika dari Ferdinand de Saussure. Pada level discourse practice, dan pada level sociocultural practice, peneliti melakukan pelacakan literatur terkait dengan keberadaan tayangan Orang Pinggiran. Hasil penelitian ini menunjukkan dalam tayangan Orang Pinggiran tersebut terjadi komodifikasi atas kemiskinan, baik komodifikasi isi, pekerja dan khalayak. Proses komodifikasi ini melibatkan 3 point utama yang saling berhubungan yaitu terkait dengan industri media, khalayak dan pengiklannya. Industri media menggunakan program mereka untuk membangun khalayak sehingga menghasilkan rating tinggi, dengan rating tinggi tersebut media mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari para pengiklan yang mengiklankan barang dagangannya di sela-sela program tersebut. Maka, jika dikejar ke pangkalnya, khalayak itulah yang punya kekuatan besar untuk memaksa televisi berubah. Di sinilah perlunya menjadi khalayak yang kritis dan tak henti menyampaikan kritik untuk perbaikan acara-acara televisi tersebut.
Kata Kunci : Komodifikasi, Kemiskinan, Televisi
1. Pendahuluan
Saat ini, semakin sulit memisahkan eksistensi televisi dari kehidupan kita. Dari mulai
bangun pagi sampai menjelang tidur, dari rumah sampai kantor, dari desa sampai kota,
televisi senantiasa hadir ditengah – tengah kita. Televisi juga menjadi teman setia dari
berbagai lapisan usia, pendidikan, atau strata ekonomi. Menonton televisi sudah menjadi
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Fungsinya yang banyak dianggap sebagai media
1
penghibur, pemberi informasi dan edukasi, menjadi alasan utama orang memiliki televisi.
Bahkan, untuk sebagian orang kehadiran televisi di rumah adalah suatu keharusan untuk
menunjang unsur kemewahan semata. Televisi dengan berbagai macam acara yang
ditayangkannya telah mampu menarik minat khalayknya.
Salah satu program acara yang banyak menarik perhatian dan emosional khalayak
adalah tayangan yang bertemakan kemiskinan. Tayangan bertemakan kemiskinan ini hadir di
pertelevisian Indonesia bergenre reality show dan diawali oleh tayangan Tolong (2002) di
SCTV. Kemudian stasiun televisi latah ingin menayangkan program tayangan serupa.
Misalnya, Bedah Rumah (2002) di RCTI, Uang Kaget tahun (2004) di RCTI, Jika Aku
Menjadi (2007) di Trans TV, Dibayar Lunas (2009) di RCTI, Minta Tolong (2009) di RCTI,
Tukar Nasib tahun 2009 di SCTV, Orang Pinggiran (2010) Trans 7, Catatan Si Olga (2011)
di ANTV, Bagi-Bagi Berkah (2013) di Trans 7, dan Andai Aku Kamu (2013) di Trans TV.
Industri media melihat peluang adanya rasa peduli yang dimiliki setiap manusia, hingga
media membuat progam televisi yang mendapat banyak pemirsa melalui kondisi sikisnya
yang secara langsung akan tersentuh dan iba ketika melihat reality show yang mengenaskan
dalam sebuah cerita kemiskinan yang ada.
Tayangan kemiskinan yang banyak digemari khalayak sampai saat ini adalah Orang
Pinggiran di Trans 7. Ciri khas dari program Orang Pinggiran ini adalah cara penyajian
program tersebut yang mengangkat kisah nyata seseorang yang berjuang untuk kehidupannya,
hampir tanpa rekayasa atau dibuat – buat, objek yang diliput berdialog dan beradegan
layaknya melakukan kegiatan sehari – sehari secara normal, berbeda dengan program sejenis
yang ditayangkan stasiun televisi lain yang terkesan direkayasa dan lebih banyak diberikan
arahan. Selain itu, program – program sejenis lainnya terlalu melibatkan host atau pembawa
acara dan selalu memainkan emosional dari host atau pembawa acara tersebut sehingga
2
terkesan bahwa acara tersebut terlalu dibuat – buat. Tayangan Orang Pinggiran lebih terkesan
natural oleh karena itu program ini masuk kedalam kategori semi dokumenter.
Tayangan Orang Pinggiran ini biasanya mengambil setting di wilayah pelosok –
pelosok desa atau perkampungan. Dengan narasi dan yang ada dalam tayangan tersebut
ditambah lagi dengan adanya tuturan dari sang narasumbernya (orang miskin), semakin
memperkuat kemiskinan yang dialami narasumber tersebut. Sang narasumber seolah – olah
menceritakan sendiri kesulitan hidup yang dialaminya. Kemasan tersebut dibumbui dengan
backsound yang mellow dan sendu, sehingga membuat khalayak ikut hanyut dalam kesedihan
yang mereka sajikan.
Sudah dipastikan tema yang diangkat dalam tayangan ini adalah kemiskinan. Seperti
yang telah kita ketahui sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kemiskinan merupakan
salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dan hingga sekarang tetap menjadi masalah yang
rumit. Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang
memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk
keluar dari kerentanan (Cahyat, 2007:2). Bagaikan pisau bermata dua, begitulah ungkapan
yang tepat untuk menggambarkan tayangan yang bertemakan kemiskinan tersebut. Di satu
sisi, tayangan ini sejatinya dikemas untuk menginspirasi masyarakat dari kalangan yang lebih
mampu untuk memiliki sikap empati dan simpati terhadap mereka yang kurang mampu.
Acara ini mengingatkan kita agar lebih banyak bersyukur dan memberikan sedekah serta
amal untuk tabungan kita kelak di akhirat nanti
Namun disisi lain, ketika tayangan ini sudah bersinggungan dengan rating dan dikaitkan
dengan iklan – iklan yang masuk, maka secara tidak langsung terjadi proses komodifikasi
yang dilakukan oleh Trans 7. Tanpa kita sadari, Trans 7 telah sukses memainkan emosional
khalayak dengan mengeksploitasi orang miskin dan rakyat kecil. Dalam tayangan tersebut
3
kerap kali memposisikan orang miskin sebagai objek yang kehidupannya boleh diperlakukan
sesuka pembuat acara. Yang kemudian kehidupan pribadinya dikorek – korek dan diungkapan
ke publik
Tayangan Orang Pinggiran tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk komodifikasi
kemiskinan semata. Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar.
Komodifikasi kemiskinan tersebut mempermainkan objek tanda kemiskinan, memanfaatkan
rakyat miskin untuk kepentingan yang bersifat komersil, yaitu mengeruk keuntungan dari
merepresentasikan ketidakberuntungan orang lain. Kemiskinan yang direpresentasikan
dijadikan komoditas, entah itu di kurang-kurangkan atau dilebih-lebihkan (manipulasi).
Tayangan tersebut diramu dengan penambahan (rekayasa) tertentu agar alur ceritanya menjadi
lebih sendu dan menarik perhatian khalayak.
Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang
komodifikasi kemiskinan pada tayangan Orang Pinggiran yang di produksi oleh Trans 7.
Adapun rumusan masalah dari penelitian yang berjudul Komodifikasi Kemiskinan di Televisi
(Analisis Wacana Kritis pada Tayangan Orang Pinggiran di Trans 7) adalah bagaimana
kemiskinan dikomodifikasi melalui program semi dokumenter “Orang Pinggiran” yang
ditayangkan oleh Trans 7.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Televisi
Televisi merupakan sarana komunikasi utama di sebagian besar masyarakat Indonesia.
Penyajiannya sebagai berita atau informasi dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi
berseni dan menarik. Televisi sebagai media audio visual memungkinkan pesan lebih efektif
sampai kepada khalayak dibandingkan dengan media lain. Karenanya televisi menjadi salah
satu media yang mampu membentuk nilai – nilai melalui berbagai pesan. Dengan
4
jangkauannya yang luas pada khalayak yang besar membuat televisi efektif dalam
menebarkan nilai – nilai atau ideologi tertentu (Sumarjo, 2011:102).
Kegiatan penyiaran melalui media televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24
Agustus 1962, sejak saat itu Televisi Republik Indonesia yang disingkat TVRI dipergunakan
sebagai penggilan stasiun (station call) hingga sekarang. Selama tahun 1962-1963 TVRI
berada diudara rata – rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaanya. Sejalan dengan
kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah
agar dapat menerima siaran televisi, maka pada tanggal 16 Agustus 1976 Presiden Soeharto
meresmikan penggunaan satelit Palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi (Efendy
dalam Ardianto, 2007:136).
2.2 Komodifikasi
Komodifikasi merupakan salah satu proses komunikasi dari kerangka acuan ekonomi
politik yang dikembangkan oleh Mosco (Mosco, 1996:71). Komodifikasi mengacu pada
proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar dan beragam proses ini kemudian diperluas
kedalam bidang sosial dari produk komunikasi, audience dan tenaga kerja yang selama ini
mendapat sedikit perhatian. Proses komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme
membawa modalnya melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar. Adam Smith dan
ekonomi klasik membedakan antara produk yang nilainya berasal dari kepuasan keinginan
dan kebutuan spesifik dari manusia yang disebut nilai pakai dan produk yang nilainya berasal
dari kemampuan produk tersebut untuk ditingkatkan sebagai nilai tukar (Mosco, 1996:141).
Komodifikasi dalam kaitannya dengan tayangan televisi adalah tayangan televisi yang
dijadikan sebuah produk yang awalnya memiliki nilai yang ditentukan oleh kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan sosial, diubah menjadi produk yang
nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dihasilkan di pasar.
5
2.3 Kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang
memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk
keluar dari kerentanan. (Cahyat, 2007:2)
Kemiskinan secara umum adalah kurangnya kemampuan esensial manusia terutama
dalam hal “ke-melek-huruf-an” (kemampuan membaca) serta tingkat kesehatan dan gizi.
Selain itu diartikan pula sebagai kurangnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi minimum. Definisi atau pengertian kemiskinan perlu pula dibedakan
menjadi : 1).Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty) 2) Kemiskinan Relatif (Relative
Poverty)
Apabila dikaji terhadap faktor penyebabnya, maka terdapat kemiskinan struktural dan
kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap masyarakat yang disebabkan
oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
yang disebabkan oleh pembangunan yang belum seimbang dan hasilnya belum terbagi
merata. (Rusdarti, 2013:3)
Metodologi Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis dengan
menggunakan metode kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA) Norman Fairclough sebagai metode
dalam mendeskripsikan secara mendalam fenomena sosial yakni tayangan yang
mengkomodifikasikan kemiskinan dan implikasinya bagi kehidupan bermasyarakat. Norman
6
fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi; teks, discourse practice dan
sociocultural practice.
Pada level teks, peneliti mengamati tayangan semi dokumenter Orang Pinggiran di
Trans 7 dalam episode 20 Februari 2014 dan 26 Februari 2014 dengan menggunakan metode
semiotika dari Ferdinand de Saussure. Peneliti kemudian mengumpulkan tanda – tanda berupa
adegan, gambar, dialog dan narasi yang menggambarkan komodifikasi kemiskinan.
Pada level discourse practice dalam analisis wacana krtitis Norman Fairclough terbagi
menjadi dua bagian yaitu produksi teks dan konsumsi teks. Aspek produksi teks digunakan
untuk membaca komodifikasi pekerja. Bagaimana teks yang memuat kemiskinan diproduksi
dalam institusi media massa melibatkan pekerjanya. Aspek produksi teks akan mengungkap
komodifikasi pekerja dalam institusi media massa. Hal ini dilakukan dengan menggali
informasi dan mengobservasi bagaimana institusi media massa, khususnya dari pekerja yang
terlibat dalam produksi tayangan tersebut. Dalam level produksi teks ini peneliti melakukan
wawancara mendalam dan observasi serta dokumentasi pada proses produksi dan konsumsi
tayangan semi dokumenter Orang Pinggiran. Produksi teks dilakukan dengan wawancara
mendalam pada Produser (Nurul Qoyimah) dan Asisten Produksi (Dian Ismawati) tayangan
Orang Pinggiran dari Trans 7.
Sedangkan aspek konsumsi teks sebagai bagian dari discourse practice dilihat dari
khalayak yang mengkonsumsi tayangan tersebut. Informasi dari khalayak akan digali
mengenai bagaimana tayangan yang memuat kemiskinan dimaknai oleh khalayak.
Kemudian, pada level sociocultural practice, peneliti melakukan pelacakan literatur
terkait level sosiokultural terkait dengan keberadaan tayangan Orang Pinggiran. Dalam level
ini, penulis menganalisis konteks sosial tersebut dalam tiga aspek, yaitu aspek situasional,
institusional dan sosial. Level sociocultural practice ini berusaha untuk melihat bagaimana
kondisi masyarakat ketika teks atau wacana kemiskinan terbentuk. Apakah masyarakat telah
7
kritis atau justru semakin haus dengan tayangan seputar kemiskinan. Hal ini diulas dalam
aspek situasional. Dalam penelitian ini peneliti akan menggambarkan kondisi fenomena
kemiskinan di Indonesia.
Aspek institusional, melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik
produksi wacana. Institusi bisa berasal dari diri media sendiri, dan bisa dari kekuatan
eksternal diluar media. Dalam level institusional ini, penulis ingin menjelaskan ada lembaga
KPI yang mengawasi jalannya penyiaran dengan regulasi – regulasi yang dikeluarkannya.
Aspek ketiga yaitu aspek sosial, yang mengulas mengenai sistem dominan yang berlaku
di masyarakat. Siapa yang berkuasa dalam sistem tersebut dan bagaimana nilai – nilai
dominan mempengaruhi produksi teks media massa.
Gambar 3.1 Model Strategi PenelitianSumber: Peneliti
Hasil Penelitian dan Analisis
Komodifikasi Isi
Dari kedua episode Orang Pingiran yang peneliti analisis, terdapat 56 adegan (27
adegan episode pertama dan 29 adegan di episode kedua) yang merepsentasikan kemiskinan.
8
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Unsur Verbal dan Non Verbal, berupa gambar, warna dan suara
Komodifikasi
Isi Media Massa
Khalayak
Pekerja
Teks
Konsumsi Teks
Produksi Teks
Analisis Semiotika Ferdinand de
Saussure
Sociocultural Practice
Bila kita amati dari kedua episode ini, kemiskinan yang banyak muncul adalah kemiskinan
absolut, hanya kurang lebih 5 adegan saja yang merepresentasikan kemiskinan struktural,
bahkan tidak ada kemiskinan relatif. Ketiadaan tanda kemiskinan relatif ini mungkin tim
produksi tayangan Orang Pinggiran ingin memperlihatkan kesulitan narasumber yang benar –
benar dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Hal tersebut tentu saja dengan tujuan agar kemiskinan yang di tayangan Orang Pingiran ini
terkesan lebih sedih dan memprihatinkan, sehingga lebih banyak menyentuh perasaan dan
emosional khalayak. Khalayak menjadi lebih tersentuh apabila narasumber tersebut tidak
mempunyai barang elekronik dirumahnya, pendapatan perharinya kecil, rumah yang tak layak
huni dan lain sebagainya.
Konstruksi kemiskinan yang ditayangkan dalam Orang Pingiran ini cenderung
mewakili pandangan yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh sesuatu di dalam
diri atau di dekat orang miskin itu dan bukan karena faktor struktural. Kemiskinan dapat
mengakibatkan rendahnya ketahanan ideologi bangsa, rendahnya produktivitas kerja,
tingginya angka kematian bayi dan anak – anak, rendahnya umur harapan hidup dan
rendahnya tingkat pendidikan yang semuanya merupakan indikator kesejahteraan. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah kemiskinan bersifat multidimensional. Maka dari itu, apabila
ingin menggambarkan dan menjelaskan tentang kemiskinan haruslah secara keseluruhan,
tidak bisa secara terpotong – potong.
Pengambilan gambar, narasi maupun backsound tentunya sudah di atur sedemikian rupa
untuk menceritakan narasumber tersebut merupakan orang yang sangat miskin. Dengan narasi
yang merepresentasikan bagaimana keluarga miskin tersebut menjalani hidup dengan
penghasilan yang minimal, menempuh hidup dengan sangat memprihatinkan. Berbagai objek
kemiskinan diikutsertakan, digambarkan keluarga miskin yang sehari – harinya menjalani
hidup dengan serba pas-pasan. Bekerja keras demi melanjutkan kehidupan keluarga dengan
9
pekerjaan yang upahnya tidak menentu. Representasi kemiskinan ini juga memberitahukan
kepada kita, bagaimana masa – masa sulit yang dihadapi oleh sebuah keluarga tersebut
dimana anak mereka yang terancam tidak melanjutkan sekolah karena pendapatan orang
tuanya tidak mendukung. Dari proses representasi tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa
kemiskinan direduksi menjadi komoditas.
Dengan tanda kemiskinan yang dibawanya, seolah – olah semua adegan yang ada dalam
tayangan tersebut seperti nyata tanpa rekayasa, layaknya memainkan drama yang tragis dan
mengharukan. Hal ini dilakukan dengan berbagai teknik produksi, dari mulai pengambilan
gambar, pilihan musik, narasi, pencahayaan dan berbagai teknik lainnya, hingga semua itu
dapat terjalin hingga membentuk cerita secara audio – visual.
Dalam tayangan ini setelah memaparkan kemiskinan yang di alami sang narasumber,
tak ada upaya untuk merubah nasib narasumber itu sendiri. Tidak adanya solusi untuk sang
narasumber agar keluar dari masalah kemiskinan yang membelenggunya. Kemiskinan
dimanfaatkan oleh pihak produksi untuk dijadikan komoditi. Setelahnya, kemiskinan kembali
merundung keluarga tersebut. Pihak produksi seakan tak peduli tentang kemiskinan tersebut,
yang hanya mereka pikirkan adalah bagaimana kemiskinan itu bisa ditayangkan dan
mendapatkan ratting dan share yang tinggi. Walaupun ada upah atas jasa narasumber yang
menceritakan kemiskinannya, itu sangat tak seberapa. Sang narasumber tidak mengetahui
keuntungan berpuluh kali lipat yang pihak produksi dapatkan dibalik cerita kemiskinannya
tersebut.
Ketika program tayangan bertemakan kemiskinan digarap oleh berbagai stasiun televisi
untuk menarik pengiklan, maka persoalan tersebut merupakan sebuah praktik komodifikasi
terhadap objek tanda kemiskinan. Dengan permainan tanda kemiskinan tersebut, stasiun
televisi mendapat keuntungan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terjadi pada media
10
televisi, namun menjadi fenomena umum pada tiap industri kapitalis. Disana ada segelintir
elit yang mengeruk keuntungan dari suatu permainan ini.
1.3. Komodifikasi Pekerja
Komodifikasi pekerja terlihat pada proses produksi tayangan, dimana dari 11 orang
dalam tim yang terjun kelapangan untuk melakukan syuting hanya tiga orang saja yang terdiri
dari seorang reporter dan dua camera person. Hal tersebut dikarenakan untuk efisiensi biaya
dan waktu, biaya akan semakin tinggi apabila lebih banyak orang yang terjun kelapangan.
Komodifikasi pekerja pun terlihat dalam memproduksi tayangan adanya double job
yang dilakukan tim produksi. Apabila kita amati dalam credit tittle di akhir tayangan, akan
kita lihat Nurul Qoyimah selain sebagai produser Orang Pinggiran, beliau juga merangkap
sebagai narator. Hal tersebut dikarenakan memanfaatkan latar belakang pendidikannya yang
berasal dari dunia radio sehingga beliau sudah sangat terbiasa untuk menjadi dubber.
Ketika peneliti menanyakan tentang bayaran yang Nurul Qoyimah dapat dari double job
tersebut, beliau menolak apabila mendapat bayaran sebagai narator/dubber. Beliau hanya
mendapatkan gaji/bayaran sebagai produser. Nurul menegaskan dengan dirinya merangkap
sebagai narator dapat meminimalisir pengeluaran biaya produksi daripada harus menyewa
atau membayar dubber lain untuk menjadi narator.
Dari kedua hal diatas, telihat sangat jelas bahwa disini terjadi komodikasi pekerja,
dimana terjadi pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal untuk melakukan tugas.
Hal tersebut di lakukan oleh pemilik media untuk menekan biaya produksi, sehingga
mendapatkan keuntungan setinggi – tingginya.
Ketika peneliti menanyakan berapa keuntungan yang didapat, mereka sangat tertutup
sekali dan enggan menjawabnya, berdalih masalah keuntungan yang mengurus bagian
marketing. Namun dengan sedikit desakan dari peneliti, akhirnya Nurul Qoyimah mengiyakan
11
bahwa keuntungan yang didapat sekitar 1-2 Milyar rupiah per satu episodenya. Jumlah yang
begitu fantastis mengingat kecilnya jumlah biaya produksi. Dalam memproduksi tayangan
Orang Pinggiran per satu episodenya hanya berkisar 20 juta rupiah, sudah termasuk biaya
syuting, akomodasi, upah fixer, upah narasumber dan menyewa kamera. Dengan adanya
komodifikasi pekerja membuat biaya produksi rendah dan menghasilkan keuntungan yang
tinggi.
Dalam tayangan Orang Pinggiran, peran Narasumber sangatlah penting. Bisa dikatakan
Narasumber adalah jantungnya dari tayangan Orang Pinggiran. Dalam satu episodenya,
tayangan ini mengulas kemiskinan dari satu narasumber, baik dari segi pekerjaan, penghasilan
maupun tempat tinggalnya. Dengan peran Narasumber yang begitu penting, ternyata upah
yang didapat narasumber sangat tidak sesuai. Upah yang didapat narasumber hanya 1 juta
rupiah saja yang memakan waktu 3 – 4 hari syuting.
4.3 Komodifikasi Khalayak
Relasi segitiga antara industri media, khalayak dan pengiklan nampaknya semakin tidak
terelakkan dalam industri media. Antara iklan, ratting dan khalayak rupa – rupanya terdapat
suatu korelasi. Semakin banyak khalayak menonton suatu program acara televisi, semakin
tinggi ratting program itu, maka semakin banyak iklan yang dapat diraup. Kenyataan
demikian nampak jelas dalam industri media yang berlangsung hingga saat ini.
Dari hasil analisis yang telah kita bahas sebelumnya, dapat kita lihat bahwa pihak
produksi nampaknya sudah berhasil mengemas tayangan Orang Pinggiran sedemikian rupa
agar menarik perhatian dan emosi khalayak. Tayangan ini dikemas sedemikian rupa mulai
dari alur cerita yang drama, backsound yang melow dan ekspresi narasumber yang
menceritakan seolah – olah bahwa ia adalah orang yang paling menderita. Dapat dikatakan,
12
dengan kemasan tayangan yang seperti itu menjadikan hal tersebut sebagai nilai jualnya untuk
menarik emosi khalayak.
Dari kedua informan tersebut yang juga sebagai khalayak Orang Pinggiran, DNZ
mengaku tidak begitu intens menonton tayangan tersebut, namun cukup mengikuti
perkembangan dari tayangan tersebut. Berbeda dengan DNZ, NN mengaku sangat sering
menonton tayangan Orang Pinggiran kerena tertarik dengan isi tayangan tersebut.
Tim produksi mengemas tayangan Orang Pinggiran secantik mungkin dengan segala
trik yang mereka gunakan sebagai nilai jual, yang bertujuan untuk menarik perhatian, emosi
dan perasaan khalayak. Khalayak yang tertarik, secara tidak langsung akan menonton
tayangan tersebut dan mengikuti perkembangannya. Dengan banyaknya khalayak yang
menonton tayangan tersebut, akan dipastikan ratting & share yang didapat tayangan tersebut
akan tinggi. Mereka gunakan ratting & share tinggi tersebut sebagai lahan yang empuk untuk
para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya. Posisi khalayak menjadi sangat penting
dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Sebagai khalayak massa kita tidak hanya
menyimpan jutaan dan milyaran rupiah dalam kantung para pemilik media, tetapi kita juga
secara tidak langsung membayar upah para pekerja dalam industri media dan para
pengiklannya.
Tidak dapat dipungkiri, jumlah media massa kian lama, kian meningkat. Hal ini
membuat antar stasiun-stasiun televisi yang ada di Indonesia bersaing ketat memperebutkan
khalayak dan pengiklan. Sebagai industri media, keberadaan televisi sangat bergantung pada
khalayak. Dengan kata lain, saat seluruh pendapat televisi ditopang sepenuhnya oleh iklan,
maka pemasangan iklan dalam suatu program ditentukan dari banyaknya khalayak yang
menyukai program tersebut. Semakin sedikit khalayak yang menggemari program di televisi,
semakin besar kemungkinan program tersebut tidak akan bertahan lama.
13
Disini jelas bahwa media sesungguhnya tidak hanya menciptakan konsumen (khalayak)
sebagai pasar, namun juga mengkonstruksi khalayak sebagai sebuah komoditas yang bisa
dijual dan mendatangkan keuntungan. Khalayak yang menjadi komoditas inilah yang
dipasarkan oleh industri media kepada pengiklan. Khalayak sendiri hanya dapat mengonsumsi
media, termasuk mengonsumsi pesan iklan. Inilah yang pada akhirnya memengaruhi khalayak
membelanjakan uang mereka untuk membeli produk yang diiklankan di televisi.
Sistem ratting & share yang di terapkan oleh media selama ini sesungguhnya
merupakan proses komodifikasi khalayak. Dalam sistem ratting & share sebenarnya bukan
program tersebut yang dijual, melainkan khalayak media itu sendiri. Dengan kata lain, ratting
& share sesungguhnya tidak lebih dari jual – beli khalayak. Ketika ratting & share diangkat
sebagai patokan sebuah program layak atau tidak, maka yang terjadi adalah komodifikasi
khalayak.
Namun dari kedua informan tersebut, mereka adalah contoh khalayak yang cerdas.
Mereka tidak serta merta menerima apa yang tayangan tersebut sampaikan, mereka lebih
mencerna dahulu isi kontennya. Hal tersebut dapat kita lihat dari tanggapan mereka tentang
tayangan Orang Pinggiran. Dari kedua informan tersebut dapat kita simpulkan bahwa
masyarakat sudah mulai kritis terhadap isi tayangan Orang Pinggiran.
2. Kesimpulan
Dalam hal bisnis industri pertelevisian hal – hal yang rawan terjadi adalah kemungkinan
dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi. Dalam hal kasus diatas merupakan
sebuah praktik komodifikasi terhadap kemiskinan. Kemiskinan direduksi sebagai komoditas,
dilebih – lebihkan atau di manipulasi sehingga dapat menyita perhatian publik, tujuannya
untuk mendapatkan rating tinggi dan pemasukan tariff iklan juga tinggi sehingga institusi
media mendapatkan keuntungan yang besar.
14
Produksi tanda kemiskinan dipertukarkan dalam bentuk ratting dan share yang
merupakan legitimasi dalam penentuan tariff iklan di sela tayangan. Lagi – lagi dengan dalih
kepentingan ekonomi yang menjadi acuan bagi pelaku bisnis industri media. Artinya, bahwa
kemiskinan dikomersialisasikan untuk kepentingan industri media televisi. Kemiskinan
sebenarnya tidak layak dijadikan alat untuk mencari keuntungan, apalgi menimbulkan efek
pengharapan orang miskin yang membuat mereka tidak produktif.
Konstruksi kemiskinan seperti ditayangkan dalam tayangan Orang Pinggiran itu
cenderung mewakili pandangan yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oelh sesuatu
di dalam diri atau di dekat orang miskin tersebut dan bukan karena faktor struktural. Meski
hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit, tapi rangkaian gambar dan narasi acara
tersebut menunjukkannya.
Tayangan Orang Pinggiran telah melakukan komodifikasi isi tentang kemiskinan, hal
tersebut dapat dilihat dari kedua episode Orang Pingiran yang peneliti analisis, terdapat 56
adegan yang merepresentasikan kemiskinan, 27 adegan episode pertama dan 29 adegan di
episode kedua. Kemiskinan yang ditampilkan sampai pada hal yang bersifat privasi
narasumber.
Trans 7 melakukan komodifikasi pekerja, hal tersebut dapat dilihat hanya 3 orang saja
yang terjun kelapangan untuk melakukan syuting dan sang produser melakukan double job
sebagai narator. Hal tersebut dilakukan untuk menekan biaya produksi serendah – rendah dan
menghasilkan keuntungan yang setinggi – tingginya.
Tema kemiskinan yang diangkat dalam tayangan Orang Pinggiran ternyata banyak
menarik perhatian khalayak. Kemiskinan yang ditampilkan dikemas sesedih mungkin, agar
menarik emosi dan perasaan penonton. Terdapat suatu korelasi antara iklan, rating dan
khalayak. Semakin banyak khalayak menonton suatu program acara televisi, semakin tinggi
rating program itu, semakin banyak iklan yang masuk, maka semakin banyak keuntungan
15
yang dapat diraup. Dengan kata lain, rating sesungguhnya tidak lebih dari jual-beli khalayak.
Ketika rating diangkat sebagai patokan sebuah program layak atau tidak, maka yang terjadi
adalah komodifikasi khalayak.
Daftar Isi
An-Naf, Jullisar. 2011. Pengentasan Kemiskinan Sebagai Sasaran Strategis dalam Pembangunan di Indonesia dalam Jurnal Madani. Edisi V, Mei 2011
Ardianto, Elvinaro dkk. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ayawaila, Gerzon R. 2009. Semi-Dokumenter Bukan Dokumenter dalam Jurnal Imaji. Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Vol 5, 2009/2010:53-59
Cahyat, Ade., Christian Gonner dan Michaela Haug. 2007. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga: Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor : Center for International Forestry Research
Chesney Mc, Robert W. 1998. Capitalism and The Information Age. New York: Monthly Review Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.Hanan, David. 2008. Tehnik membuat film pinggiran. Jakarta: FFTV-IKJMcQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Penerjemah: Agus
Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga.Mosco, Vincent. 1996. The Political Ekonomy of Communication. London: Sage Publication,
Inc.Rusdarti & Lesta Karolina Sebayang. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dalam Jurnal Economia. Universitas Negeri Semarang. Volume 9, Nomor 1, April 2013 : 1-9.
Sumarjo. 2011. “Efek Adegan Kekerasan Di Televisi (Kritik Atas Teori Kultivasi Gerbner)” dalam Jurnal Inovasi. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Volume 8, Nomor 3, September 2011:102-114.
16