Makala h
description
Transcript of Makala h
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pembangunan Dalam rangka implementasi Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, kawasan
perdesaan sebagai bagian dari wilayah kabupaten adalah
salah satu kawasan yang perlu dikembangkan, karena
sumber daya alam yang menjadi energi pembangunan
nasional berada pada kawasan tersebut. Undang-Undang
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan bahwa pengembangan kawasan
perdesaan tidak kalah penting dibandingkan dengan
pengembangan pada kawasan perkotaan, yang secara
terintegrasi pengembangan keduanya ditujukan untuk
mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Dalam Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 disebutkan pula tentang arahan bagi penataan ruang
kawasan perdesaan, yaitu:
1. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
2. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan
wilayah yang didukungnya;
3. konservasi sumber daya alam;
4. pelestarian warisan budaya lokal;
5. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan
untuk ketahanan pangan; dan
6. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-
perkotaan.
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penataan Desa dengan tujuan:
1. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
2. mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat Desa;
3. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
4. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan
Desa; dan
5. meningkatkan daya saing Desa.
Desa memiliki kewenangan menyusun Tata Ruang
Desa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
oleh karena itu prakarsa ini merupakan bagian dalam
partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Tata
Ruang Desa.Konsep pengembangan Kawasan Perdesaan
Berkelanjutan (KPB) merupakan upaya pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam, perubahan teknologi, dan
kelembagaan untuk menjamin pencapaian serta
keberlanjutan kebutuhan manusia untuk masa sekarang
dan untuk generasi yang akan datang. Konsep tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam Program Pengembangan
Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) yang bertujuan
untuk mewujudkan ruang kawasan perdesaan
berkelanjutan melalui perbaikan ekonomi, peningkatan
kualitas pelestarian lingkungan hidup dan pengembangan
modal sosial berbasis RTRW kabupaten.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat penulisan ini adalah membahas
Program Pembangunan Infrasturktur Perdesaan yang
diarahkan untuk mewujudkan ruang kawasan perdesaan
yang dapat menjaga ketahanan pangan, memeliharan dan
melestarikan lingkungan hidup, mengembangkan modal
sosial dengan memberdayakan masyarakat, serta menjaga
keseimbangan perkembangan perkotaan dan perdesaan
menuju perdesaan yang lestari .
BAB II
REVIEW LITERATUR
a. Teori – teori dasar
Infrastruktur berkelanjutan merupakan sebuah
konsep dari pembangunan infrastruktur dengan
memperhatikan keseimbangan antara memenuhi
kebutuhan infrastruktur pada masa sekarang dan masa
yang akan datang (Iwan PK, dkk, 2008). Dengan demikian
dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan perlu
memperhatikan dan mengintegrasikan tiga aspek
keberlanjutan meliputi keberlanjutan ekonomi, lingkungan
dan sumber daya. Melalui keberlanjutan ekonomi
diharapkan kegiatan ekonomi dapat terus berjalan dan
berkembang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan,
mengurangi jumlah pengangguran serta meningkatkan
kualitas sumber daya manusia baik dari aspek pendidikan
maupun kesehatan. Konsep lingkungan berkelanjutan perlu
diintegrasikan dalam pembangunan infrastruktur agar
tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan baik dalam
skala lokal maupun global. Dalam skala lokal artinya
aktivitas yang dilakukan tidak menghasilkan polusi atau
limbah yang dapat mengganggu atau merusak
keseimbangan ekosistem, baik komponen biotik
(tumbuhan dan hewan) maupun komponen abiotik (tanah,
air dan udara). Dalam skala global, pembangunan
infrastruktur tidak menimbulkan dampak atau eksternalitas
negatif terhadap keseimbangan alam secara global yang
mengakibatkan terjadinya pemanasan global atau
perubahan iklim. Konsep keberlanjutan dalam sumber daya
perlu diupayakan mengingat pembangunan infrastruktur
sebagian besar menggunakan energi yang berasal dari
perut bumi yang bersifat unrenewable atau tidak
terbarukan baik untuk transportasi, industri, pembangkit
listrik dan fasilitas lainnya. Selain itu dengan pertumbuhan
penduduk yang terus bertambah serta banyaknya alih
fungsi lahan dari lahan terbuka hijau menjadi lahan
tertutup, baik untuk permukiman maupun industri, akan
terus mengurangi ketersediaan sumber daya terutama air
dan pangan dimasa yang akan datang (Danaryanto dkk,
2008a dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010).
b. Problematika Kekinian
1) Tingginya kemiskinan di perdesaan
Sebagai negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia,
Indonesia memiliki angkatan kerja yang melimpah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan
kerja di Indonesia mencapai 121,87 juta orang,
meningkat dari Agustus 2013 yang sebanyak 120,17
juta orang. Namun, di tengah melimpahnya angkatan
kerja tersebut jumlah pengangguran di Indonesia juga
cukup tinggi, dengan tingkat pengangguran terbuka
Februari hingga Agustus 2014 sebesar 5,70% atau naik
5,94%. Sepanjang Februari hingga Agustus 2014 saja
jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 0,09 juta
orang atau dari 7,15 juta orang meningkat menjadi 7,24
juta orang. Jumlah pengangguran diprediksi akan
bertambah karena pertumbuhan ekonomi yang
melambat di 5,01%. Pengangguran merupakan istilah
orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari
kerja atau seseorang yang sedang berusaha
mendapatkan pekerjaan layak. Pengangguran biasanya
disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para
pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Jika diamati, di Indonesia
pengangguran merupakan salah satu masalah pelik
yang tiap tahun terus meningkat.
2) Tingkat Pengangguran lebih tinggi di perdesaan
Pengangguran menjadi masalah dalam perekonomian di
negara ini, terutama tingkat pengangguran di daerah
pedesaan karena dengan adanya pengangguran
produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga bisa menyebabkan timbulnya
kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Ada
banyak faktor yang menyebabkan tingginya jumlah
pengangguran di Indonesia. Tidak seimbangnya
lapangan pekerjaan yang tersedia dengan banyaknya
jumlah tenaga kerja yang terserap masih menjadi faktor
utama. Pemerintah juga kurang mampu menyediakan
lapangan pekerjaan untuk seluruh masyarakat Indonesia
sehingga jumlah pengangguran di Indonesia terus
meningkat. Selain itu, banyak juga masyarakat desa
berpikiran bahwa pergi ke kota merupakan hal yang
paling baik untuk mencari pekerjaan. Akibatnya terlalu
banyak masyarakat yang pergi ke kota dan penduduk
kota menjadi meningkat sehingga banyak tenaga kerja
yang tidak terserap lapangan pekerjaan dan
menimbulkan pengangguran.
3) Rendahnya produktivitas tenaga kerja
perdesaan
Di sisi lain, penyebab utama tingginya pengangguran
terlebih pengangguran terdidik yang bergelar sarjana
adalah mindset ketika lulus dari perguruan tinggi,
sebagian besar lulusan perguruan tinggi hanyalah
berkeinginan menjadi pencari kerja (job-seeker) dan
jarang yang berkeinginan menjadi pencipta kerja (job-
creator). Adanya mindset untuk bisa mendapatkan
pekerjaan yang dianggap sangat menjanjikan seringkali
mengesampingkan kemampuan dan potensi diri yang
sesungguhnya. Rata-rata yang ada di pikiran orang-
orang yang tengah mencari pekerjaan adalah
bagaimana caranya bisa mendapatkan pekerjaan yang
mendapatkan gaji tetap setiap bulannya sehingga
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa
memikirkan efek jangka panjang jika pekerjaan yang
mereka dapatkan ternyata tidak sesuai dengan passion
(kegemaran) masing-masing. Hal ini dapat dikatakan
sudah menjadi paradigma dan kebiasaan para lulusan
yang menginginkan kemudahan dan menghindari risiko
kegagalan.
Jika dipandang dari sudut pendidikan, jumlah
angkatan kerja yang melimpah tidak dibarengi
kemampuan berkualitas dalam pengelolaan pekerjaan
yang dibutuhkan. Dampaknya pengangguran yang
terjadi, karena tenaga kerja perdesaan tidak memiliki
skill atau keahlian yang diperlukan lapangan kerja
menjadikan masalah berkepanjangan.
4) Degradasi sumber daya alam dan lingkungan
setiap hari terjadi konversi lahan pertanian
menjadi /fungsi lain,
BAB III
Sintesis dan Pemecahan Masalah
Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-
permasalahan internal dan eksternal yang menghambat
perwujudan infrastuktur kawasan perdesaan yang berkelanjutan,
produktif, berdaya saing dan nyaman.
1) Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas.
Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik
industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun
industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya
sangat terbatas. Sebagian besar kegiatan ekonomi di
perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas
primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil.
Di sisi lain, pada kurun waktu 2001-2003 terjadi
penciutan lapangan kerja formal baik di perkotaan
maupun di perdesaan.
2) Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara
sektoral maupun spasial.
Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan
antara sektor pertanian (primer) dengan sektor
industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta
keterkaitan pembangunan antara kawasan
perdesaan dan kawasan perkotaan. Kota-kota kecil
dan menengah yang berfungsi melayani kawasan
perdesaan di sekitarnya belum berkembang sebagai
pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi,
koleksi dan distribusi barang dan jasa; pusat
pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
non pertanian; dan penyedia lapangan kerja
alternatif (non pertanian).
3) Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan
perdagangan antar daerah.
Dalam era otonomi daerah timbul
kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan
retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi, di antaranya pungutan yang dikenakan
dalam aliran perdagangan komoditas pertanian antar
daerah yang akan menurunkan daya saing komoditas
pertanian. Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi
petani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan
pelaku usaha di kawasan perdesaan sebagian besar
sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang
tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian
usaha seperti gagal panen karena banjir, kekeringan,
maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi
demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di
bidang pengolahan produk-produk pertanian
otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh
bahan baku produksi. Risiko ini masih ditambah lagi
dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang
merugikan.
4) Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat
perdesaan.
Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga
petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang
dari 0,5 ha) yang mencapai 13,7 juta rumah tangga
(RT) atau 56,2 persen dari rumah tangga pertanian
pengguna lahan pada tahun 2003. Hal ini ditambah
lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat
perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti
lahan/tanah, permodalan, input produksi,
keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan
kerjasama. Khusus untuk permodalan, salah satu
penyebab rendahnya akses masyarakat perdesaan
ke pasar kredit adalah minimnya potensi kolateral
yang tercermin dari rendahnya persentase rumah
tangga perdesaan yang memiliki sertifikat tanah
yang diterbitkan BPN, yaitu hanya mencapai 21,63
persen (tahun 2001). Akses masyarakat perdesaan
juga masih minim dalam pemanfaatan sumber daya
alam. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan, pertambangan dan pesisir
masih tergolong rendah, bahkan sebagian besar
tergolong miskin.
5) Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana
perdesaan.
Ini tercermin dari total area kerusakan jaringan
irigasi yang mencapai sekitar 30 persen, rasio
elektrifikasi kawasan perdesaan yang baru mencapai
78 persen (tahun 2003), jumlah desa yang
tersambung prasarana telematika baru mencapai 36
persen (tahun 2003), persentase rumah tangga
perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan
air minum perpipaan baru mencapai 6,2 persen
(tahun 2002), persentase rumah tangga perdesaan
yang memiliki akses ke prasarana air limbah baru
52,2 persen (tahun 2002), meningkatnya fasilitas
pendidikan yang rusak, terbatasnya pelayanan
kesehatan, dan fasilitas pasar yang masih terbatas di
perdesaan khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
6) Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian
besar berketrampilan rendah (low skilled).
Ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah
penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai
5,84 tahun atau belum lulus SD/MI; sementara itu
rata-rata lama sekolah penduduk perkotaan sudah
mencapai 8,73 tahun. Proporsi penduduk usia 10
tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan
SMP/MTs ke atas hanya 23,8 persen, jauh lebih
rendah dibanding penduduk perkotaan yang
jumlahnya mencapai 52,9 persen. Kemampuan
keaksaraan penduduk perdesaan juga masih rendah
yang ditunjukkan oleh tingginya angka buta aksara
yang masih sebesar 13,8 persen atau lebih dari dua
kali lipat penduduk perkotaan yang angkanya sudah
mencapai 5,49 persen (Susenas 2003).
7) Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan
beririgasi teknis bagi peruntukan lain.
Di samping terjadinya peningkatan luas lahan
kritis akibat erosi dan pencemaran tanah dan air, isu
paling kritis terkait dengan produktivitas sektor
pertanian adalah penyusutan lahan sawah. Pada
kurun waktu 1992-2000 luas lahan sawah telah
berkurang dari 8,2 juta hektar menjadi 7,8 juta
hektar. Kondisi ini selain didorong oleh timpangnya
nilai land rent pertanian dibanding untuk
permukiman dan industri, juga diakibatkan lemahnya
penegakan peraturan yang terkait dengan RTRW di
tingkat lokal.
8) Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup
sebenarnya merupakan aset yang sangat berharga
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama
bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun
demikian, potensi ini akan berkurang bila
praktekpraktek pengelolaan yang dijalankan kurang
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Contoh dari hal ini dapat dilihat pada
data Statistik Kehutanan tahun 2002, di mana
perkiraan luas lahan kritis sampai dengan Desember
2000 adalah 23,24 juta hektar, dengan 35 persen
berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen di
luar kawasan hutan. Untuk hutan sendiri telah terjadi
peningkatan laju degradasi dari 1,6 juta hektar/tahun
pada kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun
pada kurun waktu 1997-2001.
9) Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis
masyarakat.
Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan
organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat
untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta
dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam
aktivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat
permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan
partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan
di perdesaan yang antara lain disebabkan masih
kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang
patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-
laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak
adil dan tidak setara. Lemahnya koordinasi lintas
bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan.
Pembangunan perdesaan secara terpadu akan
melibatkan banyak aktor meliputi elemen
pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan
swasta. Di pihak pemerintah sendiri, koordinasi
semakin diperlukan tidak hanya untuk menjamin
keterpaduan antar sektor tetapi juga karena telah
didesentralisasikannya sebagian besar kewenangan
kepada pemerintah daerah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pembangunan Infrastruktur berkelanjutan harus memerhatikan
dan mengintegrasikan tiga aspek keberlanjutan meliputi
keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sumber daya sehingga
diupayakan :
(1) peningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur pendukung
kegiatan ekonomi produktif di kawasan perdesaan;
(2) peningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur
permukiman untuk mewujudkan kawasan perdesaan yang
layak huni.
Olehnya itu perlu diprogramkan kegiatan-kegiatan pokok
untuk mendukung Pembangunan Perdesaan diantaranya:
1. Peningkatan prasarana jalan perdesaan yang menghubungkan
kawasan perdesaan dan perkotaan;
2. Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana energi termasuk
ketenagalistrikan di perdesaan;
3. Peningkatan sarana dan prasarana pos dan telematika
(telekomunikasi dan informasi) di perdesaan;
4. Optimalisasi jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya;
dan
5. Peningkatan pelayanan prasarana permukiman, seperti
pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase.
DAFTAR PUSTAKA
Hawary, Faisal. 2014.Pembangunan Infrastruktur Desa, (Online), https://www.academia.edu/10042080/Pembangunan_Infrastruktur_Desa, [diakses 7 Oktober 2015].
Lendy Wibowo, ‘Permasalahan Desa‘, http://ippmi.org/permasalahan-desa-opini-lendy-wibowo/ [diakses 7 Oktober 2015].
Wahana. Kim G, ‘Model Pembangunan Desa Terpadu’ https://tegallinggah.wordpress.com/desa/model-pembangunan-desa-terpadu/[diakses 7 Oktober 2015].