muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam...

31
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Metakognisi 1. Pengertian Metakognisi Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan Flavell pada tahun 1976. Metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir, pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir [8] (Livington, 2007). Livington menyatakan bahwa Metacognition” is often simply defined as “thinking about thinking”. Livington mendefinisikan metakognisi secara sederhana sebagai “thinking about thinking” atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi menurut Livington adalah kemampuan berpikir dimana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses yang terjadi pada dirinya sendiri. Namun untuk dapat memahami lebih mendalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya. O’neil dan Brown (dalam Arif, 2009) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses dimana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri

Transcript of muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam...

Page 1: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Metakognisi

1. Pengertian Metakognisi

Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan Flavell pada tahun 1976.

Metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang

pengetahuan atau berpikir tentang berpikir, pengertian metakognisi yang

dikemukakan para pakar pada umumnya memberikan penekanan pada proses

berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah

berpikir tentang berpikir [8] (Livington, 2007). Livington menyatakan bahwa

“Metacognition” is often simply defined as “thinking about thinking”.

Livington mendefinisikan metakognisi secara sederhana sebagai “thinking

about thinking” atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi menurut Livington

adalah kemampuan berpikir dimana yang menjadi objek berpikirnya adalah

proses yang terjadi pada dirinya sendiri. Namun untuk dapat memahami lebih

mendalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut dikemukakan

pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya.

O’neil dan Brown (dalam Arif, 2009) mengemukakan pengertian

metakognisi sebagai proses dimana seseorang berpikir tentang berpikir mereka

sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah [10].

Wellman (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa :

Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thinking process wich involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a “person’s cognition about cognition”.

Metakognisi menurut Wellman sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses

berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian aktif atas proses

kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang

tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri

[11].

Page 2: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

10

Menurut Flavell (1976) “Metacognition refers to one’s knowledge

concerning one's own cognitive processes and products or anything related to

them...... Metacognition also thinks about one's own thinking process such as

study skills, memory capabilities, and the ability to monitor learning [12].

Kutipan di atas, menunjukkan bahwa definisi metakognisi menurut Flavell

adalah Metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang proses

kognitif sendiri dan produk atau apapun yang berhubungan dengannya,

kemudian aspek kedua Metakognisi adalah berpikir tentang proses berpikir

sendiri seperti kemampuan belajar, kemampuan memori, dan kemampuan untuk

memonitor pembelajaran.

Schonfeld (dalam Iffah, 2012) mendefinisikan metakognisi sebagai

berikut: “reflection on cognition” or ”thinking about your own thinking”.

Metacognition has focused on three related but distinct categories of

intellectual behavior: your knowledge about your own thought

processes,control or self-regulation, beliefs and intuitions”. Metakognisi adalah

refleksi pada kognisi atau pemikiran tentang pemikiran diri sendiri. Metakognisi

fokus pada tiga kategori yang terkait tetapi berbeda dari perilaku intelektual

yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir diri sendiri, pengontrolan atau

pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Dalam hal ini Schoenfeld

menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan Flavell

yaitu keyakinan dan intuisi [13].

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa

metakognisi mengacu pada pengetahuan dan kesadaran seseorang terhadap

proses kognisinya atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses tersebut.

Metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil

berpikirnya sendiri, kemampuan memantau (memonitor) hasil berpikirnya

sendiri, serta mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya sendiri. Intinya,

metakognitif adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang

tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana

untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan

mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif.

Page 3: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

11

Apabila seseorang sadar tentang apa yang dipikirkan maka akan mudah

baginya untuk mengawali tindakan yang akan diambil selanjutnya. Proses

metakognisi membantu meningkatkan pembelajaran dengan cara membimbing

pelajar atau seseorang menentukan langkah yang akan diambil apabila dia

mencoba memahami suatu keadaan, menyelesaikan masalah dan membuat

suatu keputusan.

2. Metakognisi untuk Pemecahan masalah

Untuk mendapatkan kesuksesan belajar dan siswa mampu memecahkan

suatu permasalahan, guru harus melatih siswa untuk merancang apa yang

hendak dipelajari, memantau kemajuan belajarnya sendiri, dan menilai atau

mengevaluasi apa yang telah dipelajari. Asep Sapa’at (2008) membedakan

Ada 4 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk melatih siswa

dalam pemecahan masalah, diantaranya:

a. Tahap proses sadar belajar, meliputi proses untuk menetapkan tujuan

belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses

(contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan,

mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat sunyi),

menentukan bagaimana kinerja terbaik siswa akan dievaluasi,

mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan

belajar siswa.

b. Tahap merencanakan belajar, meliputi proses memperkirakan waktu yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu

belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam

belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah

yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar

(outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).

c. Tahap monitoring dan refleksi belajar, meliputi proses merefleksikan

proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri

(self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna

dan bermanfaat bagi saya?, bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat

Page 4: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

12

saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga

konsentrasi dan motivasi dalam belajar.

d. Tahap evaluasi, dapat didefinisikan sebagai verbalisasi mundur

(retrospective) yang dilakukannya setelah kejadian berlangsung, yaitu

dengan melihat kembali strategi yang telah ia gunakan dan apakah strategi

tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak dalam

pemecahan masalah [14].

B. Masalah Matematika

Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia yang

tidak dapat terpisahkan. Setiap manusia pasti mempunyai masalah dalam

kehidupannya. Masalah sering disebut sebagai kesulitan, hambatan, gangguan, atau

kesenjangan.

Robert K. Merton (dalam Trunodipo, 2011) mengartikan masalah sebagai

”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak diinginkan” antara standar kebersamaan

dan kondisi nyata [15].

Menurut Suharnan (2005) masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi

sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginkan [16].

Sedangkan menurut Nurman (dalam Andriani 2011) masalah bersifat

relatif. Suatu situasi atau kondisi (dapat berupa isu/pertanyaan/soal) yang disadari

dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera diperoleh suatu

cara mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera” dalam hal ini adalah bahwa

pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara

yang dapat digunakan untuk mengatasinya [17].

Berdasarkan pendapat Nurman, masalah bagi seorang siswa belum tentu

menjadi masalah bagi siswa lain, karena setiap siswa mempunyai pengetahuan dan

kemampuan yang berbeda-beda. Ketika siswa dapat menyelesaikan suatu situasi

dengan kemampuannya maka situasi yang diberikan tersebut bukan suatu masalah

baginya. Sebaliknya jika seseorang mengalami kesulitan ataupun tidak segera dapat

menemukan suatu solusi dari kondisi yang ia hadapi maka kondisi tersebut

merupakan masalah bagi dirinya. Masalah sendiri dapat dinyatakan dalam bentuk

soal maupun pertanyaan. Suatu pertanyaan dapat menjadi masalah bagi siswa

Page 5: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

13

apabila dalam menyelesaikan pertanyaan tersebut siswa tidak memiliki cara atau

strategi yang siap dipergunakan untuk menyelesaikannya, sehingga siswa tidak

dapat memperoleh suatu jawaban atau solusi penyelesaian [17].

Untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana menyelesaikan masalah?”

menurut G. Polya (Princeton University Press, 1957) dapat dirangkum sebagai

berikut :

1. Memahami masalah

a. Pertama dapatkah menyatakan masalah dalam kata-kata sendiri

b. Apa yang coba dicari atau dikerjakan

c. Apa yang tidak diketahui

d. Data-data apa saja yang ada, atau informasi apa yang didapatkan dari

masalah yang dihadapi

e. Informasi apa yang tidak tersedia

f. Adakah kemungkinan untuk memenuhi kondisi atau persyaratan itu,

g. Apakah kondisi atau persyaratan itu cukup untuk menentukan masalah?

Atau itu tidak cukup ? Atau berlebihan ? Atau bertentangan ?

h. Membuat gambar atau sketsa yang cocok

i. Memisahkan bagian-bagian dari kodisi yang diketahui

2. Merencanakan pemecahan masalah

Walaupun bukan merupakan keharusan, strategi berikut ini sangatlah berguna

dalam proses pemecahan masalah.

a. Mencari pola.

b. Menguji masalah yang berhubungan serta menentukan apakah teknik yang

sama bisa diterapkan atau tidak.

c. Menguji kasus khusus atau kasus lebih sederhana dari masalah yang

dihadapi untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang penyelesaian

masalah yang dihadapi.

d. Membuat sebuah tabel.

e. Membuat sebuah diagram.

f. Menulis suatu persamaan.

g. Menggunkan strategi tebak-periksa.

h. Bekerja mundur.

Page 6: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

14

i. Mengidentifikasi bagian dari tujuan keseluruhan.

j. Menghubungkan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui

k. Perlu dipertimbangkan adanya masalah tambahan jika hubungan langsung

tidak dapat ditemukan

l. Adakah teorema yang berkaitan dengan pertanyaan

m. Pernahkah menemui permasalahan yang sejenis

n. Atau apakah pernah menemui masalah yang sama dalam bentuk yang

sedikit berbeda

o. Coba menemukan permasalahan biasa yang meiliki kemiripan dengan

masalah yang ditanyakan

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

a. Melaksanakan strategi sesuai dengan yang direncakan pada tahap

sebelumnya.

b. Melakukan pemeriksan pada setiap langkah yang dikerjakan. Langkah ini

bisa merupakan pemeriksaan secara intuitif atau bisa juga berupa

pembuktian secara formal.

c. Upayakan bekerja secara akurat.

d. Meneliti langkah-langkah penyelesaian

e. Apakah sudah jelas dan dapat dipertanggungjawabkan

4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh

a. Periksa hasilnya pada masalah asal (Dalam kasus tertentu, hal seperti ini

perlu pembuktian).

b. Interpretasikan solusi dalam konteks masalah asal. Apakah solusi yang

dihasilkan masuk akal?

c. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah tersebut?

d. Jika memungkinkan, tentukan masalah lain yang berkaitan atau masalah

lebih umum lain dimana strategi yang digunakan dapat bekerja.

e. Meneliti hasil yang diperoleh, argumen-argumen yang digunakan

f. Memikirkan apakah hasil atau cara yang digunakan dapat digunakan untuk

menyelesaikan beberapa masalah lain [18].

Menurut Hudoyo (2001), suatu soal atau pertanyaan disebut masalah

tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi

Page 7: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

15

seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin

baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan

pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Jadi suatu

pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan tersebut menantang untuk

dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin [19].

Pengertian masalah matematika dikemukakan oleh Hudoyo (2001) sebagai

berikut :

Masalah matematika adalah masalah yang berkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah dikatakan masalah matematika jika memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : (1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami siswa. (2) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, dan (3) melibatkan ide-ide matematika [19].

Sedangkan menurut Holmes (dalam Lutfi, 2013) terdapat dua kelompok

masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin.

a.       Masalah Rutin

Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin

sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat

diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Masalah rutin dapat

membutuhkan satu, dua atau lebih langkah pemecahan. Charles dalam Holmes

pada intinya menyatakan bahwa masalah rutin memiliki aspek penting dalam

kurikulum, karena hidup ini penuh dengan masalah rutin. Oleh karena itu

tujuan pembelajaran matematika yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah

siswa dapat memecahkan masalah rutin.

b.      Masalah Nonrutin

Kouba dalam Holmes pada intinya menyatakan bahwa masalah nonrutin

kadang mengarah kepada masalah proses. Masalah nonrutin membutuhkan

lebih dari sekadar penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan

penggunaan prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan

pemecah masalah untuk membuat sendiri metode pemecahannya. Dia harus

merencanakan dengan seksama bagaimana memecahkan masalah tersebut.

Strategi-strategi seperti menggambar, menebak dan melakukan cek, membuat

tabel atau urutan kadang perlu dilakukan. Holmes menyatakan yang intinya

bahwa, masalah nonrutin dapat berbentuk petanyaan open ended sehingga

Page 8: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

16

memiliki lebih dari satu solusi atau pemecahan. Masalah tersebut kadang

melibatkan situasi kehidupan atau membuat koneksi dengan subyek lain [20].

Berdasarkan uraian di atas maka masalah matematika adalah soal

matematika yang tidak bisa diselesaikan dengan prosedur rutin yang dikuasai siswa,

dan dalam penyelesaiannya siswa tidak secara langsung mengetahui bagaimana

menyelesaikan masalah yang diberikan.

C. Pemecahan Masalah Matematika

Masalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui

prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya

memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan

melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan masalah

matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai

keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem

solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (dalam sofan, 2012) mengistilahkannya

sebagai heart of mathematics [5].

Pemecahan masalah atau problem solving, merupakan masalah yang

benar–benar sentral dalam pembelajaran matematika. Lebih-lebih dalam kurikulum

matematika, hampir di semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, di dalam

Standar Isi, akan dijumpai penegasan betapa kompetensi pemecahan masalah betul-

betul harus dicapai. Hal ini ditegaskan pada tujuan pembelajaran matematika yang

ke tiga disebutkan bahwa : Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan

memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan

menafsirkan solusi yang diperoleh [4] (Depdiknas, 2006). Dalam latar belakang

dari Standar Isi mata pelajaran matematika, secara tegas disebutkan bahwa

pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika, yang

mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka atau masalah

dengan berbagai cara penyelesaian [4] (Depdiknas, 2006). Dari uraian di atas jelas

bahwa pemecahan masalah adalah sangat penting di dalam pembelajaran

matematika.

Pemecahan masalah matematika seperti halnya pemecahan masalah pada

umumnya mempunai berbagai interpretasi. Menurut Branca (dalam Sofan, 2012)

Page 9: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

17

ada tiga jenis interpretasi pemecahan masalah matematia yaitu: sebagai tujuan,

proses, dan keterampilan dasar. Interpretasi lain adalah pemecahan masalah sebagai

pendekatan, proses, dan tujuan pembelajaran (Baroody dalam Sofan, 2012)

Sedangkan Riedesel, dkk (masih dalam Sofan, 2012) menginterpretasi emecahan

masalah sebagai proses dan produk.

Dalam tulisan ini, pemecahan masalah matematika diinterpretasikan

sebagai pendekatan, proses, dan tujuan. Interpretasi ini didasarkan pada pendapat

bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun pada pendapat bahwa

pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa. Dengan

kata lain, suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika seyogyanya

ditemukan kembali oleh siswa di bawah bimbingan guru. Dengan demikian

pemecahan masalah matematika dapat dilihat sebagai upaya mencari jalan keluar

yang dilakukan siswa dengan menggunakan pengetahuan matematika yang

dimilikinya. Hal ini dikarenakan kemampuan dalam pemecahan masalah

matematika merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa, yang

dalam hal ini mencakup proses berpikir siswa tentang kemampuan dirinya dalam

membangun strategi untuk memecahkan masalah, yang jika dikaitkan dengan

tulisan sebelumnya merupakan proses metakognisi siswa dalam memecahkan

masalah matematika.

D. Hubungan Pemecahan Masalah dan Metakognisi

Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksikan proses

belajar mereka secara sadar, pada hakikatnya, mereka akan menjadi lebih percaya

diri dan lebih mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar merupakan sebuah

kepemilikan pribadi bagi siswa untuk meneruskan perjalanan panjang mereka

dalam memenuhi kebutuhan intelektualnya.

Sebelum siswa mampu menerapkan metakognisi untuk membantu

belajarnya, terlebih dahulu mereka diajarkan strategi-strategi untuk menilai

pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka perlukan untuk

mempelajari sesuatu, dan memilih rencana yang efektif untuk belajar atau

memecahkan masalah.

Page 10: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

18

Dari tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa metakognisi adalah suatu

bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan

dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang

dimungkinkan memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab

dalam setiap kegiatan yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang

saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”. “Hal apa yang membantu saya

menyelesaikan masalah ini?”. Pengontrolan diri ini akan membantu seseorang

dalam mengatur kognisinya dan mengarahkan dalam pemecahan masalah dengan

baik.

Lidinilah (dalam Sumawan, 2012) berpendapat bahwa strategi

metakognitif adalah komponen metakognisi berkaitan dengan cara untuk

meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir. Apabila kesadaran itu ada,

seseorang dapat mengontrol pikirannya. Strategi metakognitif dapat digunakan

untuk mengarahkan siswa agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dan

belajar yang dilakukannya. Dengan mengunakan strategi metakognitif diharapkan :

1. Siswa akan mampu mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian

memperbaiki kelemahan tersebut

2. Siswa dapat menentukan cara belajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya

sendiri

3. Siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang

berkaitan dengan soal-soal yang diberikan oleh guru atau masalah-masalah

yang timbul berkaitan dengan proses pembelajaran

4. Siswa dapat memahami sejauh mana keberhasilan yang telah ia capai dalam

belajar [11].

Charles dan Lester (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa terdapat 3

aspek yang turut mempengaruhi penyelesaian masalah matematika, yaitu :

1. Aspek kognitif, termasuk di dalamnya pengetahuan konseptual, pemahaman

dan strategi untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut

2. Aspek efektif, merupakan aspek yang mempengaruhi kecenderungan siswa

untuk menyelesaikan masalah

3. Aspek metakognisi, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengatur

pemikirannya sendiri [11].

Page 11: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

19

Aspek yang ketiga merupakan aspek yang penting diperhatikan dalam mengajarkan

penyelesaian masalah. Hal ini disebabkan karena penyelesaian masalah tidak

terlepas dari kesadaran siswa untuk mengontrol dan mengecek belajarnya sendiri,

apa yang ia pikirkan dapat membantunya menyelesaikan suatu masalah.

Dari penjelasan di atas kemampuan metakognisi memiliki peran dalam

kegiatan pemecahan masalah matematika. Metakognisi akan membantu seseorang

mengatur proses dan hasil berpikirnya sebelum, sesudah, dan ketika sedang

berlangsugnya proses pemecahan masalah. Sehingga membantu seseorang

memecahkan masalah dengan baik dan memperoleh hasil pemecahan masalah yang

tepat.

Pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah meliputi tiga tahap berikut,

yaitu: (1) mengenali masalah dan merencanakan langkah-langkah untuk

menyelesaikan masalah; (2) memantau langkah-langkah pemecahan masalah

selama kegiatan pemecahan masalah berlangsung; (3) mengevaluasi hasil

penyelesaian masalah yang telah dibuat.

E. Proses Metakognisi dalam Memecahkan Masalah

Pada pemecahan masalah matematika, pelibatan metakognisi akan

memberikan dampak penting bagi pola pikir seseorang. Namun demikian beberapa

siswa mungkin akan mengalami masalah bila menghadapi tugas yang terlalu sulit,

sehingga tidak mampu melakukan langkah pemecahan yang diperlukan. Jadi

diperlukan kejelian memilih tugas yang tepat untuk diselesaikan agar dapat

mengenali proses metakognisi yang dilakukan.

Menurut Schoenfeld (dalam Iffah, 2012) ada tiga cara untuk menerapkan

metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika, yakni knowlege, beliefs

(and intuition) and self-regulation [13].

1. The metacognitiove knowledge. Komponen yang relevan untuk memecahkan

masalah adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Schoenfeld

(dalam Iffah) menegaskan bahwa pendekatan seseorang ke suatu tugas dan

pemahaman seseorang tentang bagaimana untuk menyelesaikan tugas

dipengaruhi oleh sejauh mana orang dapat secara realistis menilai apa yang

mampu dipelajari.

Page 12: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

20

2. Beliefs and intuitions adalah ide-ide tentang sebuah topik belajar yang salah

satunya membawa untuk bekerja. Schoenfeld menyatakan bahwa siswa

membangun kerangka matematika mereka dari keyakinan mereka, intuisi dan

pengalaman masa lalu dalam memahami dan memaknai kehidupan dunia

3. Self regulation mengacu pada seberapa baik seseorang memantau apa yang

dilakukan dan seberapa baik dia menggunakan hasil pengamatan untuk

membimbingnya memecahkan masalah. Cara lain untuk berpikir tentang hal ini

adalah sebagai kesadaran berpikir seseorang dan perkembangan seseorang

dalam memecahkan masalah [13].

Cohors-Fresenborg & Kaune (dalam Iffah, 2012) mengelompokkan

aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1)

perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), (3) refleksi (reflection).

Schraw (masih dalam Iffah) menyatakan bahwa, planning melibatkan identifikasi

dan pemilihan strategi yang tepat, dapat termasuk penetapan tujuan, mengaktifkan

pengetahuan sebelumnya, dan rencana waktu yang dihabiskan dalam penyelesaian.

Monitoring atau pemantauan diantaranya adalah memperhatikan dan menyadari

kinerja pemahaman dan tugas, monitoring dapat termasuk pengujian diri atau

menguji diri sendiri. Reflection atau evaluation didefinisikan sebagai “penilaian

produk dan proses regulasi pembelajaran seseorang”, dan termasuk peninjauan

kembali [13].

Berdasarkan pengelompokan aktivitas metakognisi yang diungkapkan

Cohors-Fresenborg & Kaune yang ditunjang pengertian dari Schraw dan

dikombinasikan dengan langkah-langkah pemecahan Polya, maka dapat disusun

proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah sebagai berikut :

Page 13: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

21

Tabel 2.1 Proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah

No Indikator Metakognisi Deskriptor

1 a. Memahami masalah1. Planning (rencana)

Merencanakan apa yang akan dilaksanakan untuk memahami masalah Memikirkan apa yang akan dilaksanakan untuk dapat memahami masalah2. Monitoring

Memonitor langkah yang dilakukan dalam memahami soal Memantau caranya dalam memahami soal3. Evaluation (evaluasi)

Mengevaluasi langkah yang digunakan dalam memahami soal Memeriksa kembali cara yang digunakan dalam memahami soal

2 b. Menyusun rencana penyelesaian1. Planning (rencana)

Merencanakan hal yang akan dilakukan untuk menyusun rencana penyelesaian Memikirkan apa yang akan dilakukan ketika akan menyusun rencana penyelesaian2. Monitoring

Memonitor hal yang dilakukan dalam menyusun rencana penyelesaian Memantau kegiatannyadalam menyusun rencana penyelesaian3. Evaluating (evaluasi)

Mengevaluasi hal yang dilakukan dalam menyusun rencana Memeriksa langkahnya dalam menyusun rencana

3 c. Melaksanakan rencana penyelesaian1. Planning (rencana)

Merencanakan untuk menggunakan rencana yang telah dibuat untuk Berpikir akan menggunakan rencananya untuk memecahkan masalahmenyelesaikan masalah

2. MonitoringMemonitor penggunaan rencana penyelesaian yang telah dibuat untuk Melaksanakan dan memantau langkah penyelesaian yang dilakukan berdasarkanmenyelesaikan masalah rencana

3. Evaluating (evaluasi)Mengevaluasi kebenaran penggunaan langkah penyelesaian apakah telah Memeriksa apakah langkah yang dilakukan telah sesuai dengan rencanasesuai dengan rencana atau belum pada setiap tahapnya

4 d. Memeriksa kembali1. Planning (rencana)

Merencanakan untuk memeriksa langkah penyelesaian secara keseluruhan Berpikir akan memeriksa seluruh langkah yang dilakukan2. Monitoring

Memonitor pemeriksaan langkah penyelesaian Memantau langkahnya dalam memeriksa kembali3. Evaluation (evaluasi)

Mengevaluasi apakah langkah penyelesaian secara keseluruhan yang Memeriksa kembali apakah langkahnya dalam memeriksa kembali telah benar

Page 14: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

22

dilakukan sudah benar

Page 15: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

23

F. Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz,

dalam Sudarman, 2012), dengan kata lain Adversity Quotient merupakan

kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21]. AQ

memberi tahu anda seberapa jauh anda mampu bertahan menghadapi kesulitan

dan untuk mengatasinya.

Menurut Stoltz (dalam Mulyani, 2013) AQ mempunyai 3 bentuk, yaitu (1)

AQ adalah suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan, (2) AQ adalah suatu ukuran untuk

mengetahui respon seseorang untuk menghadapi kesulitan, (3) AQ adalah

serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon

seseorang terhadap kesulitan [22].

Suksesnya pekerjaan dan hidup seseorang banyak ditentukan oleh AQ.

Orang yang memiliki AQ lebih tinggi, akan selalu mawas diri dan selalu

mengoreksi dirinya, sehingga mereka tidak mudah menyalahkan orang lain.

Mereka yang ber AQ tinggi memiliki rasa tanggungjawab besar terhadap

persoalan yang dihadapi, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki mereka

terus berusaha untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Seorang ber AQ tinggi memiliki ketahanan yang baik, artinya mereka tidak

mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan. Dengan segala keterbatasannya,

mereka mampu berpikir, bertindak dan menyiasati diri untuk maju terus.

Sebaliknya, rendahnya AQ seseorang adalah minimnya daya tahan hidup,

sehingga mereka mempunyai kebiasaan mengeluh dan sulit untuk mengambil

hikmah dibalik semua permasalahan yang dihadapinya.

Sebagai ilustrasi untuk memudahkan memahami AQ, berikut cerita

mengenai dua orang siswa ketika mengerjakan soal yang diberikan guru. Kedua

siswa memberikan respon yang berbeda terhadap tugas yang diberikan guru.

Siswa pertama tidak bisa mengerjakan tugas dan akhirnya menyerah, dia

menganggap tugas yang diberikan terlalu sulit dan dia merasa tidak bisa

mengerjakannya, dia merasa kemampuannya tidak cukup untuk menyelesaikan

tugas dan merasa tugas tersebut tidak mungkin bisa dikerjakan olehnya,

Page 16: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

24

sehingga dia menyerah dan berhenti berusaha. Meski kondisinya sama, tapi

siswa kedua menyikapinya dengan cara yang berbeda, siswa kedua menyadari

kekurangannya, ia merasa kesulitan namun ia tetap berusaha untuk

menyelesaikan tugas yang diberikan. Siswa kedua mempunyai prinsip setelah

kegagalan pasti ada keberhasilan dan setiap kesulitan pasti ada jalan keluar.

Dengan demikian siswa kedua tetap berusaha untuk mengatasi kesulitan dan

terus berusaha sampai menemukan jawabannya. Dari cerita tersebut muncul

pertanyaan, mengapa siswa pertama mengambil keputusan untuk berhenti

berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan guru, sementara siswa kedua mau

berusaha mengerjakan tugas. Jawaban yang dapat diberikan adalah karena AQ

mereka berbeda, siswa pertama memiliki AQ lebih rendah dari siswa kedua.

Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengumpamakan hidup ini sebagai sebuah

pendakian puncak gunung. Pendaki yang awalnya berada di kaki gunung sedikit

demi sedikit mendaki, semakin mendekati puncak ia akan mendapatkan medan

yang semakin terjal, yang akhirnya mencapai puncak. Merekalah yang

dikatakan sukses jika mereka sampai pada puncak tertinggi. Pengertian

pendakian dalam kehidupan sehari-hari dapat berarti usaha untuk mencapai

cita-cita yang tinggi [6].

Dalam pengajaran, pendakian dapat diartikan sebagai langkah peserta

didik dalam mencapai prestasi belajar yang baik. Seorang siswa dapat

dikatakan melakukan pendakian jika mereka mampu meningkatkan kemampuan

belajarnya, termasuk memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah.

Puncak dari sebuah gunung diibaratkan solusi yang dicari. Jalan yang berliku,

semak belukar, jurang yang curam, medan yang terjal adalah kesulitan yang

dihadapi dalam mencari solusi. Sementara siswa yang menjadi problem solver

adalah si pendaki yang dituntut untuk mendaki gunung sampai puncak yang

merupakan keberhasilan dalam mendapatkan solusi.

2. Kategori Adversity Quotient

Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan orang kedalam tiga

kategori AQ. Yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ

tinggi) [6].

Page 17: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

25

Tabel 2.2 Kategori Adversity Quotient

No Skor Kategori Siswa1 59 ke bawah quitter2 60 sampai dengan 94 peralihan quitter menuju camper3 95 sampai dengan 134 camper4 135 sampai dengan 165 peralihan camper menuju climber5 166 ke atas climber

Berdasarkan skor ARP (Adversity Response Profle)

Tetapi dalam hal ini yang menjadi perhatian penulis adalah kategori

quitter, camper, dan climber.

Siswa yang masuk kategori quitter biasanya belajar seadanya sekedar ikut

teman, sedikit ambisi, minim semangat, biasanya tidak kreatif, tidak banyak

memberi sumbangan yang berarti dalam kelompok, biasanya menjauh dari

permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi kurang.

Siswa camper adalah anak yang tak mau mengambil resiko yang terlalu

besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya.

Siswa camper masih menunjukkan sejumlah inisiatif, mereka tidak

memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesmpatannya ada. Mereka

berusaha sekedarnya saja, mereka berpandangan bahwa tidak perlu nilai tinggi

yang penting lulus.

Siswa climber menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki

semangat tinggi dan mereka cenderung membuat segalanya terwujud, terus

mencari cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusi, penuh dengan inspirasi.

Siswa climber adalah anak yang mempunyai tujuan atau target. Untuk mencapai

tujuan itu ia mengusahakan dengan ulet dan gigih. Ibarat orang mendaki

gunung, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa

climber biasanya senang belajar matematika, karena mereka menyukai

tantangan. Mereka tidak mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian

dan disiplin tinggi.

Penggunaan istilah quitter, camper, dan climber oleh stoltz (dalam

Mulyani, 2013) berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung

menaklukkan puncak Everest. Ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian

selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada

Page 18: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

26

pula yang benar-benar berkeinginan menaklukkan puncak tersebut. Dari kisah

tersebut kemudian Stoltz mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan

sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada

posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan

ia sebut climber [22].

3. Pentingnya Adversity Quotient dalam Pembelajaran Matematika

Matematika mempunyai sifat yang khas dibandingkan disiplin ilmu yang

lain. Menurut Hermes (dalam Suhartono, 2011) semua konsep matematika

memiliki sifat abstrak sebab hanya ada dalam pikiran manusia. Hanya pikiran

yang dapat “melihat” objek matematika. Objek dalam matematika yang abstrak

dapat menyebabkan siswa kesulitan dalam mempelajari matematika.

Matematika berkaitan dengan ide abstrak yang diberi simbol yang tersusun

secara hierarkis dan penalarannya deduktif. Oleh karena itu kegiatan belajar

matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi dan menuntut pemahaman

serta ketekunan berlatih [6].

Matematika diajarkan dari SD sampai sekolah lanjutan, sehingga siswa

tidak dapat menghindar dari matematika, termasuk menghindar dari kesulitan

mempelajari matematika. Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan

dalam belajar matematika. Matematika masih dianggap sulit oleh siswa, hanya

tingkat kesulitannya berbeda-beda, karena perbedaan kemampuan siswa. Ada

siswa yang merasa kesulitan pada pokok bahasan tertentu dan ada juga yang

merasa kesulitan untuk seluruh materi matematika.

Disini potensi AQ sangat dibutuhkan dalam belajar mateematika. Stoltz

(dalam Chanifah, 2013) menyatakan bahwa orang sukses dalam belajar adalah

orang yang memiliki AQ tinggi [23]. Kesulitan yang dialami mereka yang ber

AQ tinggi dijadikan tantangan, sehingga mereka menjadi siswa yang pantang

menyerah. Mereka mampu mengubah kesulitan menjadi peluang. Mereka

adalah orang yang optimis bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluar.

AQ sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Faktor dominan pembentuk

AQ adalah sikap pantang menyerah. Sikap inilah yang perlu ditanamkan pada

siswa dalam belajar matematika. Kecerdasan ini menyangkut kemampuan

Page 19: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

27

seseorang untuk tetap gigih dan tegar dalam kesulitan. Saatnya membangun

cara pandang siswa bahwa kesulitan adalah bagian dari proses menuju

kemandirian melalui kegigihan dan daya juang.

G. Hubungan Metakognisi dalam Memecahkan Masalah dengan Adversity

Quotient

Metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan

hasil berpikirnya sendiri, kemampuan memantau (memonitor) hasil berpikirnya

sendiri, serta mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya sendiri, atau dengan

kata lain metakognisi adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan

apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui

bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang

dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif. Jika siswa

mempunyai kemampuan seperti itu dapat dimungkinkan bahwa siswa tersebut

memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, akan tetapi jika

dikaitkan dengan kemampuan Adversity Quotient siswa yang didefinisikan

sebagai kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz, dalam Sudarman, 2012), atau

dengan kata lain Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam

menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21], maka akan menjadi sesuatu hal

yang menarik untuk diteliti.

Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan kedalam tiga kategori

AQ yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi)

[6].

Jika siswa yang masuk kategori quitter biasanya menjauh dari

permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi serta

semangat belajar kurang, maka dapat dikatakan bahwa siswa quiter ini memliki

kemampuan metakognisi yang rendah juga. Hal ini dikarenakan pengetahuan

atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil berpikirnya sendiri rendah.

Bahkan untuk tahap awal kemampuan metakognisi yaitu kesadaran diri, atau

dalam hal ini sadar belajar sudah tidak terpenuhi untuk siswa dalam kategori

quitter.

Page 20: muhammadislahulmukmin.files.wordpress.com€¦ · Web viewO’neil dan Brown (dalam Arif, ... Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan

28

Untuk siswa yang masuk kategori camper, adalah anak yang tak mau

mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau

keadaan yang telah dicapainya. Siswa camper masih menunjukkan sejumlah

inisiatif, mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan

kesempatannya ada. Terkait dengan metakognisi siswa camper dapat diduga

bahwa kemampuan metakognisi siswa camper adalah menengah atau sedang,

atau dalam kata lain bisa dinyatakan kemampuan metakognisi siswa camper

tidak utuh. Hal ini dikarenakan bahwa siswa camper cepat merasa puas dengan

kondisi atau keadaan yang dicapainya. Dalam kaitannya dengan kemampuan

metakognisi, siswa camper diduga hanya melalui dua tahapan dari empat

tahapan seperti yang diutarakan sapa’at [14] dalam strategi metakognisi, yaitu

kesadaran diri atau sadar belajar, merencanakan dan melaksanakan, sedangkan

tahapan berikutnya tidak dijalani yaitu tahap monitoring dan evaluasi.

Sedangkan untuk siswa kategori climber adalah siswa yang menyukai dan

menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki semangat tinggi

dan berusaha membuat segalanya terwujud. Siswa climber adalah anak yang

mempunyai tujuan atau target. Ibarat orang mendaki gunung, ia akan terus

mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa climber biasanya

senang belajar matematika, karena mereka menyukai tantangan. Mereka tidak

mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian dan disiplin tinggi.

Terkait dengan metakognisi siswa climber dapat dikatakan bahwa siswa climber

memiliki kemampuan metakognisi yang tinggi. Siswa climber mengetahui

bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang

dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif.