LP SH fix
-
Upload
bayu-dellonge -
Category
Documents
-
view
72 -
download
13
description
Transcript of LP SH fix
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STROKE
HEMORAGIK
OLEH :
PUTU NIA PURNAMA DEWI
0902105015
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2013
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
STROKE HEMORAGIK
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi Stroke Hemoragik
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya supplay
darah kebagian otak (Brunner and Suddarth, 2001). Stroke atau penyakit serebrovaskular
mengacu pada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak. ( Sylvia A. Price, 2006 ).
Stroke hemoragik yaitu suatu kerusakan pembuluh darah otak, sehingga menyebabkan
perdarahan pada area tersebut. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi saraf (Haryono,
2002).
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda
klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Rumantir, 2007). Stroke hemoragik adalah
stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak
Menurut Christopher (2007), Stroke Hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah
otak yang menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan
serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut
menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh
hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan
intracranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan
batang otak.
Berdasarkan definisi diatas, disimpulkan bahwa stroke hemoragik adalah stroke
yang disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh darah pada otak. Otak sangat sensitif
terhadap perdarahan dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat cepat. Pendarahan di
dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga menyebabkan pembengkakan,
mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut hematoma. Pendarahan juga
meningkatkan tekanan pada otak dan menekan tulang tengkorak.
Gambar 1. Stroke Hemoragik
2. Epidemiologi/ Insiden Kasus
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama kecacatan.
Sekitar 0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganya akan
meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kecacatan, dan
sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia,
ternyata stroke sebagai penyebab kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total
kematian per tahunnya. Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000
pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik kuhusnya perdarahan
intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada
stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali
kemandirian fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar 40-80% yang akhirnya meninggal pada
30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam pertama.
Penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47% wanita dan 53% kali-laki
dengan rata-rata umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur
lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih
buruk.
3. Penyebab / Faktor Predisposisi
Penyebab stroke hemoragik dibedakan menjadi dua yakni:
1. Hipertensif
Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang menekan
dinding arteri sampai pecah.
2. Non-Hipertensif
Penyebab lain terjadinya stroke hemoragik adalah
a) Aneurisma: yang membuat titik lemah dalam dinding arteri, yang akhirnya dapat
pecah.
b) Kanker: terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti
payudara, kulit, dan tiroid.
c) Cerebral amyloid angiopathy (CAA): yang membentuk protein amiloid dalam
dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.
d) antikoagulansia / thrombolitik: Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
e) Ruptur malformasi arteri dan vena
Adapun penyebab stroke hemoragik, yaitu:
a. Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab kasus gangguan
pembuluh darah otak dan merupakan persepuluh dari semua kasus penyakit ini.
Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteria serebri.
b. Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita
biasanya masih muda dan 20% mempunyai lebih dari satu aneurisme. Dan salah
satu dari ciri khas aneurisme adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang
(Sylvia A. Price, 1995)
c. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan).
Trombosis sinus dura
Diseksi arteri karotis atau vertebralis
Vaskulitis sistem saraf pusat
Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
Kondisi hyperkoagulasi
Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin)
Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
Miksoma atrium.
Selain itu juga terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
stroke secara umum diantaranya :
faktor usia
Menurunnya elastisitas pembuluh darah dan atherosclerosis biasanya sering
menyerang usia ini
Faktor resiko medis
Hipertensi
Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif,
fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
Kolesterol tinggi
Obesitas
Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan
kadar estrogen tinggi)
Penyalahgunaan obat ( kokain)
Konsumsi alkohol (Smeltzer C. Suzanne, 2002;2131).
Perilaku hidup tidak sehat
antara lain : merokok baik aktif maupun pasif, makan makanan cepat saji,
mengkonsumsi alcohol, kurang olahraga, narkoba dan obesitas.
4. Patofisiologi
Stroke merupakan penyakit peredarah darah otak yang diakibatkan oleh
tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga
supplay darah ke otak berkurang (Smletzer & Bare, 2005). Secara umum gangguan
pembuluh darah otak atau stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral. Merupakan
gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada
pembuluh darah serebral. Stroke bukan merupakan penyakit tunggal tetapi merupakan
kumpulan tanda dan gejala dari beberapa penyakit diantaranya ; hipertensi, penyakit
jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes mellitus, dan penyakit vaskuler perifer
(Markus, 2001).
Penyebab utama stroke berdasarkan urutan adalah aterosklerosis (trombosis),
embolisme, hipertensi yang dapat menimbulkan perdarahan intraserebral dan rupture
aneurisme sakuler (Price & Wilson, 2002). Trombosis serebral (bekuan darah di dalam
pembuluh darah otak atau leher), aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi
serebral merupakan penyebab utama terjadinya thrombosis. Embolisme serebral (bekuan
darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain), abnormalitas
patologik pada jantung kiri seperti endokarditis, jantung reumatik, serta infeksi pulmonal
adalah tempat berasalnya emboli. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral
sehingga terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak atau area sekitar), hemoragik dapat
terjadi di epidural, subdural, dan intraserebral. (Hudak & Gallo, 2005; Ranakusuma,
2002).
Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri penetrans
yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan tegak lurus menuju
parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat
terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang
arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm. Peningkatan
tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan pecahnya aneurisme ini, sehingga
dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan
merembas kesekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial.
Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur arteri serebri.
Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaraknoid, sehingga jaringan yang
ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak,
sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini
dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan darah yang semula
lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak disekitar bekuan darah dapat
membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah
akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan
nekrotik akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk jalinan
desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut terisi oleh astroglia yang
mengalami proliferasi (Price & Willson, 2002).
Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya aneurisma. Kebanyakan
aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan perdarahan mempermudah
kemungkinan terjadinya ruptur, dan sering terdapat lebih dari satu aneurisma. Gangguan
neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan. Pembuluh yang mengalami
gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabangcabang lentikulostriata dari
arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari ganglia basalis dan sebagian besar
kapsula interna. Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat cepat dan
konstan, berlangsung beberapa menit, beberapa jam, bahkan beberapa hari.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20% adalah stroke hemoragik,
dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan
intraserebral (Caplan, 2000). Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi
di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Pada kebanyakan pasien, peningkatan
tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil.
Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000). Elemen-elemen
vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan neuron-neuron didaerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan
lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000). Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat
pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah
keruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya
aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
5. Klasifikasi
Stroke Hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secaraspontan bukan oleh karena trauma
kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena, dan kapiler. Perdarahan
otak dibagi dua, yaitu :
a) Perdarahan Intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk kedalam jaringan otak dan menimbulkan edema otak,
membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak.
Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di
daerah putamen, talamus, pons, dan serebellum.
b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara primer
6. Manifestasi klinis:
Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan dan jumlah
jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba, tanpa peringatan, dan
sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering muncul dan menghilang, atau perlahan-
lahan menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu.
Gejala stroke hemoragik bisa meliputi:
Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).
Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
Kesulitan menelan
Kesulitan menulis atau membaca
Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk,
atau kadang terjadi secara tiba-tiba
Kehilangan koordinasi.
Kehilangan keseimbangan.
Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan
salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.
Mual atau muntah
Kejang
Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau
kesemutan.
Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
1. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari
80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinis :
- Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan
dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu
nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan
epistaksis.
- Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan
dapat disertai kejang fokal / umum.
- Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan
bola mata menghilang dan deserebrasi
- Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid
2. Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinis :
- Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
- Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan
kejang.
- Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit
sampai beberapa jam.
- Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
- Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid.
- Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.
Manifestasi klinis yang sering terjadi pada stroke hemoragik antara lain : sakit kepala
berat, leher bagian belakang kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. Sembilan
puluh persen menunjukkan adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan
besar dan atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam
waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke sistem
ventrikel, herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau mungkin
disebabkan karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Hieckey, 1997; Smletzer
& Bare, 2005). Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian hemisfer serebri
masih dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata. Sedangkan
adanya bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan
kematian. Bila perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah biasanya pasien masih
muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma (Black & Hawk, 2005).
Manifestasi klinisnya defisit neurologik stroke :
No. Defisit neurologi Manifestasi
1. Defisit lapang penglihatan
a) Homonimus Hemlanopsia
b) Kehilangan penglihatan
perifer.
c) Diplopia
a) Tidak menyadari orang atau objek,
mengabaikan salah satu sisi tubuh,
kesulitan menilai jarak
b) Kesulitan melihat pada malam hari,
tidak menyadari objek atau batas
objek.
c) Penglihatan ganda
2. Defisit Motorik
a) Hemiparesis
b) Hemiplegia
c) Ataksia
d) Disatria
a) Kelemahan wajah, lengan, dan kaki
pada sisi yang sama.
b) Paralisis wajah, lengan, dan kaki
pada sisi yang sama.
c) Berjalan tidak mantap, tidak
e) Disfagia mampu menyatukan kaki.
d) Kesulitan dalam membentuk kata
e) Kesulitan dalam menelan.
3. Defisit sensori :
Parastesia
Kesemutan
4. Defisit verbal
a) Fasia ekspresif
b) Fasia reseptif
c) Afasia global
1. Tidak mampu membentuk kata
yang dapat dipahami
2. Tidak mampu memahami kata yang
dibicarakan, mampu berbicara tapi
tidak masuk akal
3. Kombinasi afasia reseptif dan
ekspresif
5. Defisit kognitif Kehilangan memori jangka pendek
dan panjang, penurunan lapang
perhatian, tidak mampu
berkonsentrasi, dan
perubahan penilaian.
6. Defisit Emosional Kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, depresi, menarik diri, takut,
bermusuhan, dan perasaan isolasi.
Gambar 2. Gejala-gejala dari stroke
6. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anmnesis ytang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis,
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1 – B6) dengan focus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan – keluhan dari klien.
a. Keadaan umum
Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaran.
Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang
tidak bisa bicara.
Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
b. Pemeriksaan integumen
Kulit : jika klien kekurangan oksigen, kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Di samping itu
perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah
yang menonjol karena klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3
minggu.
Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik.
Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
Leher : kaku kuduk jarang terjadi
d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun
suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan
menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat
kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h. Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan nervus cranialis : Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII
dan XII central.
Pemeriksaan motorik : Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada
salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan sensorik : Dapat terjadi hemihipestesi.
Pemeriksaan refleks : Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan
refleks patologis.
Pengkajian saraf cranial :
Pemeriksaan ini meliputi pemerikasaan saraf cranial I – XII
Saraf I (Oftaktorius) : biasanya pada klien stroke tidak ada kalinan pada
fungsi penciuman
Saraf II (Optikus) : disfungsi persepsi fisual karena gangguan jara sensori
primer diantara mata dan kortek fisual. Gangguan hubungan fisual- spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien denga hemiplegia kiri . klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan dalam
menyocokkan pakaian ke bagian tubuh
Saraf III (Okulomotori), IV (troklearis) dan VI (Abdusen) : jika akibat
stroke mengakibatkan paralilsis, pada satu sisi otot – otot okularis
didpatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral disisi yang
sakit
Saraf V (Trigeminus) : pada beberapa keadaan stroke menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta
kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus
Saraf VII (fasialis) : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
Saraf IX (Glosofaringeal) dan X (vagus) : kemampuan menelan kurang
baik dan kesulitan membuka mulut
Saraf XI (asesorius) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius
Saraf XII (hipoglosus) : lidah simetris, terdapat defiasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
7. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium :
pemeriksaan pungsi lumbal : menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
trombosis, emboli cerebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunukkan adanya hemoragic subarachnoid atau perdarahan
intrakranial. Kadar protein total meninggkat pada kasus trombosis sehubungan dengan
adanya proses inflamasi
pemeriksaan darah rutin
pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah
dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali
pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
b) Pemeriksaan radiology :
- Angiografi cerebral : membantu menentukan penyebab srtoke secara spesifik, seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur
- CT Scan : Menunjukkan secara spesifik letak dari edema hematoma, iskemia dan
adanya infark.
- MRI (Magnetic Imaging Resonance) : menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragic, mal formasi arteriovena (MAV) atau menentukan posisi dan besar/luas
terjadinya perdarahan otak.
- Ultrasonografi Dopler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis, arteriosklerotik)
- EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
- Sinar-X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombisis
serebral, klasifikasi partial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid.
8. Tindakan Penanganan
a. Lakukan penatalaksanaan jalan napas yang agresif. Pertimbangkan pra-terapi dengan
pemberian lidokain 1-2 mg/kg secara intravena jika diintubasi diindikasikan untuk
menjaga adanya peningkatan TIK.
b. Lakukan hiperventilasi untuk mengurangi PaCo2 sampai 25-30 mmHg.
c. Pertimbangkan pemberian manitol 1-2 mg/kg IV.
d. Pertimbangkan deksametason 200-100mg IV : mulai timbulnya efek lebih lambat dari
pada tindakan intubasi atau manitol.
e. Pemantauan tekanan intrakranial secara noninvasif seperti MRI, CT scan, tomografi
emisi positron, single-photon emission computed tomografi, evoked potential, dan
oksimetri.
f. Dekompresi secara bedah berdasarkan temuan CT scan mungkin diperlukan.
g. Terapi umum:
Untuk merawat keadaan akut perlu diperhatikan faktor – faktor kritis sebagai berikut :
(1) Menstabilkan tanda – tanda vital
(2) Mempertahankan saluran nafas (sering melakukan penghisapan yang dalam,
trakeotomi, pasang alat bantu pernafasan bila batang otak terkena)
(3) Kendalikan tekanan darah sesuai dengan keadaan masing – masing individu;
termasuk usaha untuk memperbaiki hipotensi maupun hipertensi.
(4) Deteksi dan memperbaiki aritmia jantung
(5) Merawat kandung kemih. Sedapat mungkin jangan memasang kateter tinggal;
cara ini telah diganti dengan kateterisasi “keluar – masuk” setiap 4 sampai 6 jam.
(6) Menempatkan posisi penderita dengan baik secepat mungkin :
Penderita harus dibalik setiap jam dan latihan gerakan pasif setiap 2 jam
Dalam beberapa hari dianjurkan untuk dilakukan gerakan pasif penuh sebanyak
50 kali per hari; tindakan ini perlu untuk mencegah tekanan pada daerah
tertentu dan untuk mencegah kontraktur (terutama pada bahu, siku dan mata
kaki)
h. Terapi khusus
Ditujukan untuk stroke pada therapeutic window dengan obat anti agregasi dan
neuroprotektan. Obat anti agregasi: golongan pentoxifilin, tielopidin, low heparin,
TPA.
a. Pentoxifilin:
Mempunyai 3 cara kerja:
- Sebagai anti agregasi → menghancurkan thrombus
- Meningkatkan deformalitas eritrosit
- Memperbaiki sirkulasi intraselebral
b. Neuroprotektan:
Piracetam: menstabilkan membrane sel neuron. Contohnya neotropil
- Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
i. Terapi Medis
(1) Neuroproteksi
Berfungsi untuk mempertahankan fungsi jaringan. Cara kerja metode ini adalah
menurunkan aktifitas metabolisme dan kebutuhan sel-sel neuron.
(2) Antikoagulasi
Diperlukan antikoagulasi dengan derajat yang lebih tinggi (INR 3,0 – 4,0) untuk
pasien stroke yang memiliki katup prostetik mekanik. Bagi pasien yang bukan
merupakan kandidat untuk terapi warvarin (coumadin), maka dapat digunakan
aspirin tersendiri atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi anti
trombotik awal untuk profilaksis stroke
(3) Trombolisis Intravena
Satu-satunya obat yang telah disetujui oleh US Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah aktivator plasminogen jaringan
(TPA) bentuk rekombinan. Terapi dengan TPA intravena tetap sebagai standar
perawatan untuk stroke akut dalam 3 jam pertama setelah awitan gejala. Risiko
terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah perdarahan intraserebrum.
(4) Trombolisis Intra arteri
Pemakaian trombolisis intra arteri pada pasien stroke iskemik akut sedang dalam
penelitian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA. Pasien yang beresiko
besar mengalami perdarahan akibat terapi ini adalah yang skor National Institute
of Health Stroke Scale (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk
rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung
trombosit yang rendah.
j. Pengendalian Oedema dan Terapi Medis Umum
Oedema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark kasus serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pada pembuluh besar di daerah arteria serebri media.
Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan natrium serum
normal atau sedikit meningkat.
h. Terapi Bedah
Dekompresi bedah adalah suatu intervensi drastis yang masih menjalani uji klinis
yang dicadangkan untuk stroke yang paling masif.
9. Pencegahan Stroke Hemoragik
Dalam manusia tanpa faktor risiko stroke dengan umur di bawah 65 tahun, risiko
terjadinya serangan stroke dalam 1 tahun berkisar pada angka 1%. Setelah terjadinya
serangan stroke ringan atau TIA, penggunaan senyawa anti-koagulan seperti warfarin,
salah satu obat yang digunakan untuk penderita fibrilasi atrial, akan menurunkan risiko
serangan stroke dari 12% menjadi 4% dalam satu tahun. Sedangkan penggunaan senyawa
anti-keping darah seperti aspirin, umumnya pada dosis harian sekitar 30 mg atau lebih,
hanya akan memberikan perlindungan dengan penurunan risiko menjadi 10,4%.
Kombinasi aspirin dengan dipyridamole memberikan perlindungan lebih jauh dengan
penurunan risiko tahunan menjadi 9,3%.
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya stroke adalah dengan mengidentifikasi
orang-orang yang berisiko tinggi dan mengendalikan faktor risiko stroke sebanyak
mungkin, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan stenosis di pembuluh karotid,
mengatur pola makan yang sehat dan menghindari makanan yang mengandung kolesterol
jahat (LDL), serta olaraga secara teratur. Stenosis merupakan efek vasodilasi endotelium
yang umumnya disebabkan oleh turunnya sekresi NO oleh sel endotelial, dapat diredam
asam askorbat yang meningkatkan sekresi NO oleh sel endotelial melalui lintasan NO
sintase atau siklase guanilat, mereduksi nitrita menjadi NO dan menghambat oksidasi
LDL di lintasan aterosklerosis.
Beberapa institusi kesehatan seperti American Heart Association atau American Stroke
Association Council, Council on Cardiovascular Radiology and Intervention memberikan
panduan pencegahan yang dimulai dengan penanganan seksama berbagai penyakit yang
dapat ditimbulkan oleh aterosklerosis, penggunaan senyawa anti-trombotik untuk
kardioembolisme dan senyawa anti-keping darah bagi kasus non-kardioembolisme,
diikuti dengan pengendalian faktor risiko seperti arterial dissection, patent foramen
ovale, hiperhomosisteinemia, hypercoagulable states, sickle cell disease; cerebral venous
sinus thrombosis; stroke saat kehamilan, stroke akibat penggunaan hormon pasca
menopause, penggunaan senyawa anti-koagulan setelah terjadinya cerebral hemorrhage;
hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes, fibrilasi atrial, dislipidemia, stenosis karotid,
obesitas, sindrom metabolisme, konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi obat-obatan
berlebihan, konsumsi obat kontrasepsi, mendengkur, migrain, peningkatan lipoprotein
dan fosfolipase.
10. Komplikasi Stroke Hemoragik
a. Hipokia serebral : diminimalkan dengan memberi okigenasi darah adekuat ke otak.
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit
pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankanhemoglobin serta
hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan.
b. Aliran darah serebral : bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integrits
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau
hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral : dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau
dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah
ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia curah jantung
tidak konsisten dan penghentian thrombus local. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
11. Prognosis
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran dari
perdarahan. Skor dari GCS yang rendah berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk
dan mortalitas yang lebih tinggi.Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan
dari volumehematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat
buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan antikoagulasi oral
yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang
buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.
ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF
1. Pengkajian Keperawatan (6B)
Breathing:
- Klien mengalami penurunan reflek batuk akibat penurunan kesadaran
- Adanya bunyi gurgling
- RR > 20 x/menit
- Akumulasi sputum di jalan nafas
- Terdengar pernafasan mendengkur, rhonchi saat auskultasi.
- Tampak penggunaan pernafasan cuping hidung atau otot-otot aksesori pernafasan.
Blood:
- Klien tampak pucat
- CRT > 2 Detik
- TD > 130/90 mmHg
Brain:
- Kesadaran dapat mengalami penurunan
- Nyeri pada kepala
- Klien gelisah
Bowel:
- Dapat terjadi anoreksia akibat nyeri
- Klien dapat terpasang NGT akibat penurunan kesadaran
Bladder:
Umumnya tidak ada masalah
Bone:
- Adanya penurunan tonus otot
- Gerak tidak terkoordinasi
Pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium dapat menunjukkan seperti pada konsep dasar
penyakit.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum akibat
penurunan otot pernafasan dan reflek batuk ditandai dengan adanya sputum, suara nafas
gurgling.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ekspansi paru ditandai dengan
adanya penggunaan otot bantu pernafasan, adanya retraksi dinding dada, RR > 20
x/menit, dipsnea, orthopnea.
3. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
otidak dan penurunan suplai O2 ke serebral ditandai dengan penurunan kesadaran,
adanya riwayat kejang, nyeri kepala
4. PK. Peningkatan TIK
5. Kerusakan menelan berhubungan dengan gangguan nervus cranialis ditandai dengan
klien tidak dapat menelan, klien tidak mampu mengunyah
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai dengan
penurunan rentang gerak, penurunan tonus otot, dan gerak tidak terkoordinasi
7. Risiko infeksi berhubungan dengan terbukanya pertahanan tubuh akibat prosedur invasif
ditandai dengan pasien terpasang dengan kateter, OTT, NGT dan infuse
8. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tonus otot akibat
kerusakan neuromuscular dan imobilisasi ditandai dengan pasien tidak mampu
melakukan ADL
9. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan kesadaran
10. Risiko jatuh berhubungan dengan perubahan status mental
3. Intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum akibat
penurunan otot pernafasan dan reflek batuk ditandai dengan adanya sputum, suara
nafas gurgling
Tujuan:
Setelah diberikan askep selama 3 x 24jam, diharapkan bersihan jalan nafas klien kembali
efektif dengan kriteria hasil:
Respiratory status: airway patency (status pernapasan: kepatenan jalan napas)
- Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Irama pernapasn normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Tidak ada akumulasi sputum (skala 5 = none)
Intervensi:
Respiratory monitoring
1) Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
Rasional: mengetahui tingkat gangguan yang terjadi dan membantu dalam menetukan
intervensi yang akan diberikan.
2) Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan otot aksesori, retraksi otot
supraclavicular dan interkostal
Rasional: menunjukkan keparahan dari gangguan respirasi yang terjadi dan menetukan
intervensi yang akan diberikan.
3) Monitor suara napas tambahan
Rasional: suara napas tambahan dapat menjadi indikator gangguan kepatenan jalan napas
yang tentunya akan berpengaruh terhadap kecukupan pertukaran udara.
4) Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas kussmaul, napas
cheyne-stokes, apnea, napas biot’s dan pola ataxic
Rasional: mengetahui permasalahan jalan napas yang dialami dan keefektifan pola napas
klien untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Airway suctioning
5) Putuskan kapan dibutuhkan oral dan/atau trakea suction
Rasional: waktu tindakan suction yang tepat membantu melapangan jalan nafas pasien
6) Auskultasi sura nafas sebelum dan sesudah suction
Rasional : Mengetahui adanya suara nafas tambahan dan kefektifan jalan nafas untuk
memenuhi O2 pasien
7) Informasikan kepada keluarga mengenai tindakan suction
Rasional : memberikan pemahaman kepada keluarga mengenai indikasi kenapa dilakukan
tindakan suction
8) Gunakan universal precaution, sarung tangan, goggle, masker sesuai kebutuhan
Rasional : untuk melindungai tenaga kesehatan dan pasien dari penyebaran infeksi dan
memberikan pasien safety
9) Gunakan alat disposible steril setiap melakukan tindakan suction trakea
Rasional: jalan nafas merupakn area steril sehingga alat digunkan juga steril untuk
mencegah penularan infeksi.
10) Pilihlah selang suction dengan ukuran setengah dari diameter endotrakeal, trakheostomy,
atau saluran nafas pasien
Rasional: penggunaan dimater yang lebih kecil agar tidak menyumbat jalan nafas dan
memberikan ruang agar pasien mampu melakukan respirasi
11) Gunakan aliran rendah untuk menghilangkan sekret (80-100 mmHg pada dewasa)
Rasional : aliran tinggi bisa mencederai jalan nafas
12) Monitor status oksigen pasien (SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (MAP dan irama
jantung) sebelum, saat, dan setelah suction
Rasional : Mengetahui adanya perubahan nilai SaO2 dan satus hemodinamik, jika terjadi
perburukan suction bisa dihentikan.
13) Lakukan suction pada oropharing setelah selesai suction pada trakea
Rasional : melancarkan jalan nafas sehingga SaO2 menjadi optimal
2. PK: Peningkatan TIK
Tujuan
Setelah diberika askep selam 1 x 24 jam, diharapkan perawat dapat meminimalkan
komplikasi peningkatan TIK, dengan kriteria hasil:
- TTV dalam rentang normal (RR=16-20x/mnt, nadi=60-100x/mnt, TD=120/80
mmHg, suhu = 36-37,5oC)
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (Trias TIK: muntah proyektil, nyeri kepala,
papil edema)
Intervensi
1) Kaji ulang status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK,
terutama GCS.
Rasional: Peningkatan TIK dapat diketahui secara dini untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Monitor TTV: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal satu jam sampai
keadaan klien stabil.
Rasional: Perubahan TTV menjadi indikator dalam peningkatan tekanan intracranial
3) Naikkan kepala dengan sudut 15-45 derajat (tidak hiperekstensi dan fleksi) dan posisi
netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus) jika tidak ada
kontraindikasi.
Rasional: Dengan posisi tersebut maka akan meningkatan dan melancarkan aliran
balik vena darah sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah
terjadi penigkatan TIK. Posisi netral tanpa hiper ekstensi dan fleksi dapat mencegah
penekanan pada saraf spinalis yang menambah peningkatan TIK.
4) Monitor intidake dan output cairan tiap 8 jam sekali.
Rasional: Tindakan ini mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema
serebri.
5) Kolaborasi: Berikan obat Manitol 4x100 cc dan Fentanyl drip 300 mg 2.1 cc/jam
dengan syringe pump, Ranitidine 3x1 ampul/IV, Asam traneksamat 4x1 gr/IV
Rasional: Manitol merupakan antidiuretik yang dapat menarik cairan untuk
mengurangi edema otidak dan fentanyl dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
pasien. Ranitidine merupakan suatu antagonis histamin pada reseptor H2 yang
menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi
sekresi asam lambung, yang terjadi akibat peningkatan TIK. Asam traneksamat
merupakan antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin, sehinga
mencegah perdarahan yang merupakan penyebab peningkatan TIK.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ekspansi paru ditandai
dengan adanya penggunaan otot bantu pernafasan, adanya retraksi dinding dada,
RR > 20 x/menit, dipsnea, orthopnea.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas klien
efektif, dengan kriteria hasil:
Respiratory Status: Ventilation
- Kedalaman pernapasan klien normal (5 = normal)
- Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (5 = none)
- Tidak tampak retraksi dinding dada (5 = none)
Vital Sign
- RR klien normal (16-20 x /menit) (5 = no deviation from normal range)
Intervensi
Respiratory monitoring
1) Monitor rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
Rasional: mengetahui tingkat gangguan yang terjadi dan membantu dalam menetukan
intervensi yang akan diberikan.
2) Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan otot aksesori, retraksi otot
supraclavicular dan interkostal
Rasional: menunjukkan keparahan dari gangguan respirasi yang terjadi dan menetukan
intervensi yang akan diberikan.
3) Monitor suara napas tambahan seperti krekels
Rasional: suara napas tambahan dapat menjadi indikator gangguan kepatenan jalan
napas yang tentunya akan berpengaruh terhadap kecukupan pertukaran udara.
4) Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas kussmaul, napas
cheyne-stokes, apnea, napas biot’s dan pola ataxic
Rasional: mengetahui permasalahan jalan napas yang dialami dan keefektifan pola
napas klien untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Ventilation facilitation
5) Berikan posisi nyaman untuk mengurangi dipsnea
Rasional: Posisi nyaman semi fowler atau setengah duduk membantu klien
mengurangi sesak nafas
6) Berikan dan pertahankan masukan oksigen pada klien sesuai indikasi
Rasional: Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk mempertahankan
masukan O2 saat klien mengalami perubahan status respirasi
4. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan gangguan aliran darah
ke otidak dan penurunan suplai O2 ke serebral ditandai dengan penurunan
kesadaran, adanya riwayat kejang.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan tercapai keefektifan
perfusi jaringan serebral, dengan kriteria hasil:
Tissue perfusion : Cerebral (Perfusi jaringan serebral)
- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Tidak ada sakit kepala (skala 5 = none)
- Tidak ada agitasi (skala 5 = none)
- Tidak ada syncope (skala 5 = none)
- Tidak ada muntah (skala 5 = none)
Seizure Control
- Pasien tidak mengalami kejang (skala 5 = Consistenly Demonstrated)
- Lingkungan sekitar pasien dalam keadaan aman (skala 5 = Consistenly
Demonstrated)
Intervensi :
Cerebral Perfusion Promotion
1) Pantau tingkat kerusakan perfusi jaringan serebral, seperti status neurologi dan
adanya penurunan kesadaran.
Rasional: kegagalan perfusi jaringan serebral dapat mempengaruhi status neurologi
dan tingkat kesadaran klien.
2) Konsultasikan dengan dokter untuk menentukan posisi kepala yang tepat (0, 15, atau
30 derajat) dan monitor respon klien terhadap posisi tersebut.
Rasional : posisi yang tepat dapat membantu memperlancar aliran darah ke otidak
sehingga nutrisi dan O2 ke otidak adekuat.
3) Monitor status respirasi (pola, ritme, dan kedalaman respirasi; PO2, PCO2, PH, dan
level bikarbonat)
Rasional : status respirasi dapat menjadi indikator keadekuatan perfusi oksigen ke
otidak.
4) Monitor nilai lab untuk perubahan dalam oksigenasi
Rasional: oksigenasi yang tidak adekuat dapat menurunkan perfusi oksigen ke
otidak.
Oxygen Therapy
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
Rasional: mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah
terputusnya aliran oksigen ke otidak sehingga mencegah terjadinya hipoksia jaringan
otidak.
2) Monitor aliran oksigen.
Rasional: untuk mempertahankan masukan oksigen adekuat sesuai dengan
kebutuhan.
Vital Signs Monitoring
1) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: memonitor tanda-tanda vital penting untuk mengetahui keadaan umum dan
status keefektifan perfusi jaringan.
2) Ukur tekanan darah setelah klien mendapatkan medikasi/terapi.
Rasional: pengukuran tekanan darah setelah mendapatkan terapi/medikasi penting
untuk mengetahui keefektifan terapi.
Seizure management
1) Monitor secara langsung mata dan kepala selama kejang
Rasional: pada stroke hemoragik pemantaun mata dan kepala penting apa adanya
perburukan kondisi pasien
2) Monitor status neurologik
Rasional: satus neurologik pasien membrikan gamabran seizure dan dapat
memberikan intervensi yang tepat
3) Monitor TTV
Rasional: perubahan TTV menunjukan adanya perbaikan atau perburukan kondisi
pasien
4) Dokumentasikan informasi tentang kejadian kejang
Rasional: pendokumentasian penting untuk memantau status perkembangan
neurologi pasien
5) Berikan antikonvulsan Phenytoin 3x100 mg/IV dan neuroprotektor Citicolin 3x250
mg/IV
Rasional: Phenytoin cenderung menstabilkan ambang kejang terhadap kepekaan yang
berlebihan yang disebabkan oleh rangsangan berlebihan atau perubahan-perubahan
lingkungan yang dapat mengurangi derajat membran terhadap Natrium termasuk
pengurangan potensiasi pasca tetanik pada sinap. Citicolin juga memperbaiki fungsi
kognitif dengan cara meningkatkan kadar kolin.
Seizure Precaution
1) Hindarkan barang-barang yang berbahaya dari sekitar pasien
Rasional: arang-barang yang berbahaya bisa digunakan untuk mencederai diri pasien
2) Jaga ikatan di samping tempat tidur
Rasional: memberikan keamanan bagi pasien dan tidak menimbulkan risio jatuh
3) Pasang tiang pengaman
Rasional: memberikan pengaman sehingga pasien tidak cedera
4) Gunkan paddle pada sisi tempat tidur
Rasional: menghidari timbulnya cedera pada pasien
5. Kerusakan menelan berhubungan dengan gangguan nervus cranialis ditandai
dengan klien tidak dapat menelan, klien tidak mampu mengunyah
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan intake makanan
adekuat, dengan kriteria hasil:
Swallowing status
- Asupan nutrisi adekuat (5 = not compromised)
- Klien tidak tersedak saat makan (5 = none)
- Klien tidak batuk saat makan (5 = none)
- Ketidaknyamanan saat menelan tidak ada (5 = none)
Intervensi
Aspirasi precaution
1) Lakukan pemasangan naso gastric tube pada klien
Rasional: membantu memenuhi nutrisi klien yang tidak mampu menelan
2) Pantau posisi selang NGT dan periksa residu sebelum pemberian makanan
Rasional: memastikan posisi sudah tepat saat akan member nutrisi
3) Hindari pemberian nutrisi saat residual tinggi
Rasional: mencegah distensi akibat intake berlebih
4) Berikan makanan sedikit demi sedikit
Rasional: mencegah refluks akibat pemberian yang banyak
Enteral Tube Feeding
5) Gunakan teknik bersih saat pemberian nutrisi lewat NGT
Rasional: menjaga agar makanan tidak terkontaminasi
6) Pantau intake nutrisi pada klien
Rasional: memastikan intake yang adekuat pada klien
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan penurunan rentang gerak, penurunan tonus otot, dan gerak tidak
terkoordinasi
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi
kekakuan otot dan sendi, dengan kriteria hasil:
Immobility Consequences: Physiological
- Tidak terjadi kontraktur (5 = none)
- Tidak terjadi retensi urin (5 = none)
- Tidak terjadi konstipasi (5 = none)
- Tidak terjadi kontraktur (5 = none)
- Tidak terjadi trombosis vena (5 = none)
Intervensi:
Bed Rest Care
1. Hindari penekanan berlebih pada area tertentu akibat imobilisasi
Rasional: mencegah munculnya dekubitus akibat tirah baring lama
2. Lakukan miring kanan dan kiri tiap 2 jam bila tidak terdapat kontra indikasi
Rasional: mencegah munculnya dekubitus akibat tirah baring lama
3. Pastikan linen tetap bersih dan kencang
Rasional: mencegah adanya gesekan yang dapat menimbulkan luka dekubitus
4. Bantu klien dalam pemenuhan ADL dan perawatan diri
Rasional: memenuhi kebutuhan klien yang tirah baring lama dan penurunan
kesadaran
Exercise Promotion
5. Jelaskan pada keluarga kapan latihan rentang gerak dapat dilakukan
Rasional: rentang gerak pada stroke hemoragik umumnya dilakukan hari ke 10 dan
tergantung kondisi klien
6. Lakukan latihan rentang gerak aktif maupun pasif pada klien
Rasional: mencegah atropi otot dan kontraktur
7. Pantau respon klien terhadap latihan yang diberikan
Rasional: mengetahui respon kardiopulmonal terhadap latihan yang diberikan
7. Risiko infeksi berhubungan dengan terbukanya pertahanan tubuh akibat prosedur
invasif
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi
infeksi, dengan kriteria hasil:
- Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolesa) (skala 5 =
none)
- Suhu dalam batas normal (36,5o – 37oC) (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Nadi dalam batas normal (60-100 x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range)
- RR dalam batas normal (12-20 x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range)
- WBC dalam batas normal (4,6 – 10,2 k/ul) (skala 5 = no deviation from normal
range)
Intervensi:
Infection control:
1) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan dengan
sabun antimikroba
Rasional: mencegah infeksi nosokomial dan melindungi tenaga kesehatan dari
risiko tertular infeksi dari klien.
2) Pertahankan lingkungan aseptik selama perawatan
Rasional: mencegah terjadinya infeksi lanjutan dan menjaga kebersihan vagina.
Infection protection:
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Rasional: Membantu dalam memberikan intervensi secara cepat dan tepat jika
infeksi terjadi
2) Monitor hitung granulosit, WBC, tes sensitivitas
Rasional: Dapat sebagai indikator ada tidaknya infeksi dan menentukan
sensitivitas pada obat tertentu
3) Dorong masukan nutrisi yang adekuat
Rasional: Nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh klien
sehingga mempercepat proses penyembuhan infeksi.
Kolaborasi
4) Berikan terapi obat: antibiotic
Rasional : untuk membunuh mikroorganisme penyebab infeksi
8. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tonus otot akibat
kerusakan neuromuscular dan imobilisasi di tandai dengan pasien tidak mampu
melakukan ADL
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perawatan diri klien
terpenuhi, dengan kriteria hasil :
Self care : bathing
- Wajah klien dalam keadaan bersih (skala 5= not compromised)
- Tubuh klien dalam keadaan bersih (skala 5= not compromised)
- Bagian perineal klien dalam keadaan bersih (skala 5= not compromised)
- Tubuh klien dalam keadaan kering (skala 5= not compromised)
Self care : dressing
- Klien memakai baju (skala 5= not compromised)
- Baju klien selalu diganti saat dimandikan (skala 5= not compromised)
Self care : eating
- Pasien mendapat intidake makanan (skala 5= not compromised)
- Pasien mendapat intidake cairan (skala 5= not compromised)
Self care : oral hygiene
- Mulut, gusi, dan lidah dalam keadaan bersih (skala 5 = not compromised)
- Gigi dan sela-sela gigi dalam keadaan bersih (skala 5 = not compromised)
- Perawatan mulut dan gigi secara teratur (skala 5 = not compromised)
Self care : hygiene
- Kuku kaki pasien terawat (skala 5 = not compromised)
- Kuku tangan pasien terawat (skala 5 = not compromised)
- Hidung dan telinga dalam keadaan bersih (skala 5 = not compromised)
Intervensi :
Bathing
1) Mandikan klien dengan temperatur air yang nyaman.
Rasional: Mencegah klien menggigil dan memberikan rasa nyaman pada klien.
2) Bantu bersihkan daerah perianal sesuai kebutuhan
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi pada daerah perianal.
3) Berikan salep dan cream pelembab pada daerah kulit yang kering.
Rasional: Memberikan rasa nyaman dan membantu dalam pencegahan timbulnya
penyakit kulit.
4) Monitor keadaan kulit selama memandikan.
Rasional: Mengkaji keadaan kulit dan membantu dalam pencegahan timbulnya penyakit
kulit
5) Monitor kemampuan fungsional selama memandikan.
Rasional: Membantu dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
selanjutnya.
Self-care Assistance:bathing/hygiene
1) Monitor dan bantu kebersihan kuku dan mulut klien.
Rasional : Meminimalkan kotidak mikroorganisme ke dalam tubuh
2) Fasilitasi pasien melakukan oral higiene
Rasional: Memenuhi kebutuhan pasien dalam oral higiene
3) Fasilitasi pasien untuk mandi
Rasional: Memenuhi kebutuhan pasien dalam mandi
Self care assistance : dressing/grooming
1) Bantu klien memakai pakaian
Rasional: memfasilitasi pasien saat pasien tidak mampu melakukan sendiri
2) Sisir rambut pasien sesuai kebutuhan
Rasional: memenuhi kebutuhan berhias pasien
Self care assistance : feeding
1) Identifikasi menu diet pasien
Rasional: Mengetahui program diet yang sedang diberikan kepada pasien dan membantu
pasien memlh menu sesuia selera dan tidak bertentangan dengan diet
2) Bantu klien dalam hal makan
Rasional: memenuhi kebutuhan makan klien
Nail care
1) Bantu membersihkan kuku pasien
Rasional: memenuhi kebutuhan perawatan kuku dan mencegah infeksi karena kuku yang
kotor
2) monitor perubahan kuku pasien
Rasionala: perubahan kuku mengindikasikan pasien tidak melakukan perawatan secara
adekuat
Oral Health Promotion
1) Monitor mukosa oral pada bagian dasar secara teratur
Rasional: memantau kebersihan dan adanya iritasi mukosa
2) Bantu klien untuk menggosok gigi dan membersihkan mulut
Rasional: memenuhi kebutuhan perawatan mulut serta mencegah infeksi
3) Berikan minyak untuk melembabkan mukusa oral dan bibir sesuai kebutuhan
Rasional: melembabkan mukosa sehingga mencegah iritasi
Perineal Care
1) Bantu perawatan perineal klien
Rasional : membantu pasien mendapatkan perawatan perineal untuk menjaga kebersihan
2) Pertahankan perineal tetap kering
Rasonal: perineal yang basah atau lembab tempat berkembangannya mikroorganisme
3) Bersihkan perineal secara menyeluruh dengan waktu yang teratur
Rasional: pembersihan secara rutin dan teratur membantu perineal tetap bersih
Nutrition Management
1) Kolaborasi dengan ahli gisi mengenai jumlah kalori, jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
Rasional: Kolaborasi dengan ahli gisi membantu menentukan kebutuhan nutrisi pasien
dengan tepat
2) berikan asupan kalori sesuai anjuran atau kebutuhan tubuh melalui NGT
Rasional: asupan kalori memberikan energi kepada pasien dan membantu memperbaiki
sel-sel yang rusak
3) Monitor dan catat asupan nutrisi dan kalori
Rasional: asupan nutri dan kalori yang adekuat mempercepat proses kesembuhan pasien
4) Timbang pasien dengan tepat secar teratur
Rasioanal: perubahan berat badan mengindikasikan status nutrisi pasien
9. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi kerusakan
integritas kulit, dengan kriteria hasil:
Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa
- Elastisitas kulit dapat dipertahankan (skala 5 = not compremised)
- Integritas kulit utuh (skala 5 = not compremised)
- Tidak ada lesi kulit (skala 5 = none)
- Tidak ada eritema eritema (skala 5 = none)
Intervensi:
Pencegahan Ulkus Dekubitus
1) Gunakan alat pengkajian untuk memonitor risiko ulkus dekubitus seperti Braden
scale/Norton scale
Rasional: Alat pengkajian membantu dalam mengetahui risiko klien mengalami
dekubitus
2) Catat status kulit klien setiap hari
Rasional: Perubahan status kulit merupakan salah satu indikator yang
mengidentifikasikan ulkus dekubitus
3) Hilangkan kelembaban berlebih pada kulit, hasil dari pengeluaran keringat, drainase pada
luka, inkontinensia alvi dan inkontinensia urine
Rasional: Kelembaban yang berlebih mempercepat terjadinya proses kerusakan pada
kulit.
4) Berikan barier perlindungan seperti krim atau bahan penyerap seperi pad.
Rasional : Untuk mengurangi kelembaban berlebih.
5) Inspeksi kulit di sekitar tulang yang menonjol dan tekanan lain ketika reposisi dilakukan
kurang dalam sehari.
Rasional: Tulang yang menonjol paling rentan menyebabkan luka pada kulit sehingga
pengkajian penting dilakukan untuk mengetahui risiko dekubitus.
6) Jaga tempat tidur tetap bersih, kering dan tidak mengkerut.
Rasional: Meminimalkan risiko cedera pada kulit.
7) Hindari penggunaan air panas ketika mandi dan gunakan sabun yang lembut.
Rasional: Penggunaan air panas dapat merusak integritas kulit, sabun yang lembut
meminimalkan iritasi pada kulit.
8) Pastikan klien mendapatkan intidake yang adekuat seperti cairan, protein, vitamin B,
vitamin C, dan kalori.
Rasional: Pemberian protein dapat membantu regenerasi sel-sel yang rusak. Cairan
menjaga status hidrasi dan elastisitas kulit, vitamin dan kalori membantu
mempertahankan integritas kulit.
10. Risiko jatuh berhubungan dengan perubahan status mental
Setelah diberikan askep selama 3 x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami jatuh dengan
criteria hasil:
Fall Occurance
- Klien tidak jatuh dari tempat tidur
- Klien tidak jatuh saat transferring
Intervensi
Fall Prevention
1) Kaji adamya riwayat dan risiko jatuh pada klien
Rasional: mengetahui adanya riwayat dan risiko jatuh pada klien
2) Jelaskan pada keluarga modifikasi lingkungan untuk risiko jatuh
Rasional: memberikan informasi agar keluarga paham modifikasi lingkungan yang dapat
dilakukan untuk mencegah jatuh
3) Pasang pengaman bed klien dengan baik
Rasional: mencegah risiko jatuh pada klien
4) Pasang pengaman pada brankar saat klien mobilisasi
Rasional: mencegah risiko jatuh pada klien
5) Libatkan keluarga dalam modifikasi lingkungan yang dapat menurunkan risiko jatuh
Rasional: keluarga dapat berpartisipasi aktif dalam mencegah rrisiko jatuh
4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan.
5. Evaluasi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum akibat
penurunan otot pernafasan dan reflek batuk ditandai dengan adanya sputum, suara nafas
gurgling.
Bersihan jalan nafas klien kembali efektif dengan kriteria hasil:
- Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt)
- Irama pernapasn normal
- Kedalaman pernapasan normal
- Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif
- Tidak ada akumulasi sputum
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ekspansi paru ditandai dengan
adanya penggunaan otot bantu pernafasan, adanya retraksi dinding dada, RR > 20
x/menit, dipsnea, orthopnea.
Diharapkan pola nafas klien efektif, dengan kriteria hasil:
Respiratory Status: Ventilation
- Kedalaman pernapasan klien normal (5 = normal)
- Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (5 = none)
- Tidak tampak retraksi dinding dada (5 = none)
Vital Sign
- RR klien normal (16-20 x /menit) (5 = no deviation from normal range)
c. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
otak dan penurunan suplai O2 ke serebral ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya
riwayat kejang
Tercapai keefektifan perfusi jaringan serebral, dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg)
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg)
- Tidak ada sakit kepala
- Tidak ada agitasi
- Tidak ada syncope
- Tidak ada muntah
- Pasien tidak mengalami kejang
- Lingkungan pasien aman
d. PK. Peningkatan TIK
Perawat dapat meminimalkan komplikasi peningkatan TIK, dengan kriteria hasil:
- TTV dalam rentang normal (RR=16-20x/mnt, nadi=60-100x/mnt, TD=120/80
mmHg, suhu = 36-37,5oC)
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (Trias TIK: muntah proyektil, nyeri kepala,
papil edema)
e. Kerusakan menelan berhubungan dengan gangguan nervus cranialis ditandai dengan
klien tidak dapat menelan, klien tidak mampu mengunyah
diharapkan intake makanan adekuat, dengan kriteria hasil:
Swallowing status
- Asupan nutrisi adekuat (5 = not compromised)
- Klien tidak tersedak saat makan (5 = none)
- Klien tidak batuk saat makan (5 = none)
- Ketidaknyamanan saat menelan tidak ada (5 = none)
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan penurunan rentang gerak, penurunan tonus otot, dan gerak tidak terkoordinasi
diharapkan tidak terjadi kekakuan otot dan sendi, dengan kriteria hasil:
Immobility Consequences: Physiological
- Tidak terjadi kontraktur (5 = none)
- Tidak terjadi retensi urin (5 = none)
- Tidak terjadi konstipasi (5 = none)
- Tidak terjadi kontraktur (5 = none)
- Tidak terjadi trombosis vena (5 = none)
g. Risiko infeksi berhubungan dengan terbukanya pertahanan tubuh akibat prosedur
invasif ditandai dengan pasien terpasang dengan kateter, OTT, NGT dan infuse
Tidak terjadi tanda-tanda infeksi, dengan kriteria hasil:
- Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolesa)
- Suhu dalam batas normal (36,5o – 37oC)
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
- Nadi dalam batas normal (60-100 x/mnt)
- RR dalam batas normal (12-20 x/mnt)
- WBC dalam batas normal (4,6 – 10,2 k/ul)
h. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tonus otot akibat
kerusakan neuromuscular dan imobilisasi ditandai dengan pasien tidak mampu
melakukan ADL
Perawatan diri klien terpenuhi, dengan kriteria hasil:
- Wajah klien dalam keadaan bersih
- Tubuh klien dalam keadaan bersih
- Bagian perineal klien dalam keadaan bersih
- Tubuh klien dalam keadaan kering
- Klien memakai baju
- Baju klien selalu diganti saat dimandikan
- Pasien mendapat intidake makanan
- Pasien mendapat intidake cairan
- Mulut, gusi, dan lidah dalam keadaan bersih
- Gigi dan sela-sela gigi dalam keadaan bersih
- Perawatan mulut dan gigi secara teratur
- Kuku kaki pasien terawat
- Kuku tangan pasien terawat
- Hidung dan telinga dalam keadaan bersih
i. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit, dengan kriteria hasil:
- Elastisitas kulit dapat dipertahankan
- Integritas kulit utuh
- Tidak ada lesi kulit
- Tidak ada eritema eritema
j. Risiko jatuh berhubungan dengan perubahan status mental
diharapkan klien tidak mengalami jatuh dengan criteria hasil:
Fall Occurance
- Klien tidak jatuh dari tempat tidur
- Klien tidak jatuh saat transferring
DAFTAR PUSTAKA
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier.
Donna D. Ignatavicius, dkk. (1999). Medical Surgical Nursing :Across the Health Care
Continum. (Edisi III).
Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology,
3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.
Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan holistic.(Edisi VI). Jakarta: EGC
Kumpulan Makalah Kursus Keperawatan Neurologi
Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. 2007. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline
Stroke. Jakarta
Mansjoer dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 2. Media Aesculapius.Jakarta.
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
NANDA. 2009. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2009-2011, Alih Bahasa : Budi
Santosa, Prima Medika, Jakarta
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume II.
EGC.Jakarta
Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
Rumantir CU. 2007. Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad/FK UNRI. Pekanbaru.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. EGC.
Jakarta.