Lp Hepatoma
-
Upload
gabi-ceria -
Category
Documents
-
view
60 -
download
1
description
Transcript of Lp Hepatoma
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SUSP. HEPATOMA
DI BANGSAL DAHLIA 1, RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Tugas Mandiri
Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah
Disusun oleh :
GABI CERIA
14/376798/KU/17539
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
HEPATOMA
A. PENGERTIAN
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah salah satu jenis keganasan hati primer
yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Karsinoma hati primer
dibedakan atas karsinoma yang berasal dari sel-sel hati (KHS), karsinoma dari sel-sel
saluran empedu (karsinoma kolangioseluler), dan campuran dari keduanya. Karsinoma
juga dapat berasal dari jaringan ikat hati seperti misalnya fibrosarkoma hati. Secara
makroskopis karsinoma hati dapat dijumpai dalam bentuk (i) masif yang biasanya di lobus
kanan, berbatas tegas, dapat disertai nodul-nodul kecil di sekitar masa tumor dan bisa
dengan atau tanpa sirosis; (ii) noduler, dengan nodul di seluruh hati, (iii) difus, seluruh hati
terisi sel tumor. Secara mikroskopis, sel-sel tumor biasanya lebih kecil dari sel hati yang
normal, berbentuk poligonal dengan sitoplasma granuler. Sering ditemukan sel raksasa
yang atipik.
B. ETIOLOGI
a. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat,
baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang
hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat
terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini
berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin
terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi
HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel
dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik
seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.
b. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko
penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma
hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya
2
insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma
hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan
infeksi HCV akan berkembang menjadi penyakit hati kronis. Dalam kelompok ini,
sekitar 30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang
menjadi karsinoma hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan
HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien
dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler dibandingkan
dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus
pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler secara
signifikan.
c. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika
Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi hepatitis B. Setiap
tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma
merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan
sirosis hati, 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma.
d. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak
berhubungan dengan makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang menghasilkan
aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada makanan yang
menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan yang tercemar dengan
aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak,
singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin
dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
e. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui
bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat kanker pada
kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2) dibandingkan
3
dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko
utama untuk non-alcoholic fatty liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic
steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian
berlanjut menjadi hepatoma.
f. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati
kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis
non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar
insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif
potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat
dari banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan 173.643 pasien
DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada
kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma
kelompok bukan DM.
g. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol
(>50-70 g/hari atau >6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko
karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati
dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis
alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif
atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap
infeksi HBV maupun infeksi HCV.
C. PATOFISIOLOGI
Seperti halnya tumor yang menjadi kanker, beberapa jenis kanker berasal dari dalam
hati. Karsinoma hepatoseluler umumnya merupakan perkembangan dari hepatitis kronis
atau sirosis di mana ada mekanisme peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel
hepatosit. Cedera hati kronis yang disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol yang
kronis, steatohepatitis alkohol, hemokromatosis genetik, sirosis bilaris primer dan adanya
defisiensi α-1 antitrypsin menyebabkan kerusakan hepatosit permanen yang diikuti dengan
kompensasi besar-besaran oleh sel proliferasi dan regenerasi dalam menanggapi stimulasi
sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis berkembang dalam pengaturan remodelling hati
secara permanen, terutama didorong oleh sintesis komponen matriks ekstraseluler dari sel-
4
sel stellata hati. Diagnosa HCC sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui
sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
Beberapa staging system yang dikenal saat ini adalah klasifikasi TNM, Okuda Staging,
The Chinese University Prognostic Index (CUPI), Cancer of the Liver Italian Program
(CLIP), French staging system, dan The Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC) staging .
Sistem BCLC merupakan sistem yang banyak dianut saat ini. Sistem BCLC ini telah
disahkan oleh beberapa kelompok di Eropa dan Amerika Serikat, dan direkomendasikan
sebagai klasifikasi yang terbaik sebagai pedoman pengelolaan, khususnya untuk pasien
dengan stadium awal yang bisa mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini menggunakan
variabel-variabel yang berhubungan dengan stadium tumor, status fungsional hati, status
fisik pasien, dan gejala-gejala yang berhubungan kanker. Hubungan antara keempat
variabel tersebut akan menggambarkan hubungannya dengan algoritma pengelolaan.
D. TANDA DAN GEJALA
a. Gangguan nutrisi
b. Penurunan berat badan yang baru saja terjadi
c. Kehilangan kekuatan
d. Anoreksia
e. Anemia
f. Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang cepat serta
permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.
5
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan pemeriksaan
histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat pada ultrasonografi,
CTscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum halus dapat dilakukan secara
buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan tindakan laparoskopi atau laparatomi untuk
melakukan biopsi.
b. Ultrasonografi
Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik, sonolusensi
perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul fibrotik, dan peningkatan
akustik posterior. KHS yang masih berupa nodul kecil cenderung bersifat homogen dan
hipoekoik, sedangkan nodul yang besar biasanya heterogen. Ultrasonografi
memberikan sensitivitas sebesar 45% dan spesifisitas 98%.
c. CT scan
KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang dominan dengan
lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu infltrasi neoplasma yang
sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan untuk melakukan karakterisasi lebih
lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui ultrasonografi. CT-scan dan angiografi
dapat mendeteksi tumor hati yang berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih
sensitif dari angiografi dalam mendeteksi karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih
memberikan kepastian diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang
tampak pada angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam
arteria hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati. Dengan
melakukan arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan, ketepatan diagnostik tumor
akan menjadi lebih tinggi.
d. Magnetic resonance (MR) imaging
MRI umum digunakan secara rutin untuk screening penderita-penderita dengan
sirosis.
e. Tes Faal Hati
Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran empedu atau
merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau karena invasi sel tumor
hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada kelainan SGOT, SGPT, alkali
fosfatase,
6
laktat dehidrogenase. Gangguan faal hati ini tidak spesifik sebagai petanda tumor.
Alfafetoprotein (AFP) adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000.
AFP disintesis oleh hati, usus dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai terdeteksi
pada fetus umur 6-7 minggu kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-13.
Pada bayi yang baru lahir, kadarnya adalah sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian
menurun dan pada usia 250-300 hari kelahiran kadarnya sama dengan kadar pada orang
dewasa. Adanya peningkatan kadar AFP diduga karena sel-sel hati mengalami
diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP merupakan petanda karsinoma hati.
f. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker
menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam
stadium dini.
Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel
kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan
memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut
penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga
dapat melihat metastase (penyebaran).
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi
dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran
kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau
banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker
sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain
di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan
apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan
non-bedah dan tindakan bedah.
1. Tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah
yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah
sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan
tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu
7
kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini
harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu
dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan
jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan.
Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker
sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan
makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah
itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu
tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding
artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian
kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai
menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy
(TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami
racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi
suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat
berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu
dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung
dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan
Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan
supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan
ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter
ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat
menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas
kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi
jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan
chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu
lagi tumbuh berkembang biak.
Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian
onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh
darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10
8
mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun
90% dan per 10 tahun 80%.
2. Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan
ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena
kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta)
maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati
adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.
Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti
yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien.
Akan tetapi, langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan
hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang
melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal.
Dan pula sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti
tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan
tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru.
Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan
menimbulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring
keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima
tahun.
3. Tindakan Non-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium
lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang
datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker
timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen,
dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang
merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut
pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini
menyumbat feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri
femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta
abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery
9
hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini
disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran
darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen
ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi
sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy
yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel
kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan.
Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati
dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi
kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang
lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini.
b. Infus Sitostatika Intra-arterial
Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal
berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas
mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila vena
porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal
akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien
cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini.
Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang
besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat
dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena
pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai
adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg
dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU
(5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus
sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen
balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah
ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan
dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah
memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan
hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30%
dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.
c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
10
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua
tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu
membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-
satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping
ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya
dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut.
Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker
bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan
pada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan
membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap.
Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini
dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa
lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan.
Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak
penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa
tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.
d. Terapi Non-bedah lainnya
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan
bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans
Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin
dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy
(RFA), Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy
(3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu)
bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna
bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah
suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal,
yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai
risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini
baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs.
Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan
sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.
11
12
AsitesAnoreksia, mual
Dinding perut menegang
Gangguan rasa nyaman nyeri
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
Diafragma tertekan
Gangguan ventilasi
Pembedahan
Hepatoma
Virus hepatitis B Virus hepatitis C Alkohol, steroid anabolic, androgen yang berlebihan, Bahan kontrasepsi oral, Penimbunan zat besi yang berlebihan dalam hati
Inflamasi kronik
Integrasi DNA virus ke DNA sel hati
Peningkatan poliferasi hepatosit
Infeksi sel hati
Aflatoksin
Mutasi gen
Pathway
13
Sirosis hepatik
Resiko infeksi Gangguan rasa nyaman nyeri
Insisi bedah
Luka post operasi
Diskontinuitas jaringan
F. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA NOC NIC1. Risk for
Bleeding
Risk for ineffective gastrointestinal perfusion
Blood Loss SeverityKeparahan tanda dan gejala perdarahan internal maupun eksternalIndikator:
Tidak ada perdarahan Tidak ada distensi abdomen Tidak ada penurunan TD Tidak ada kecemasan TTV dalam batas normal Tidak ada penurunan kesadaran Tidaka ada penurunan Hemoglobin dan
hematocrit
Tissue Perfusion : Abdominal organKeadekuatan aliran darah melalui pembuluh darah viseral untuk mempertahankan fungsi organ
Tekanan darah diastolik Tekanan darah sistolik MBP Urine output Keseimbangan asam/basa Suara bowel BUN Plasma kreatinin Hasil tes fungsi hati Nyeri perut Varises GI
Bleeding PrecautionAktivitas:
Catat hasil lab HB dan Htc Monitor tanda dan gejala perdarahan Monitor hasil lab terkait koagulasi darah (PTT, APTT, INR) Monitor TTV Hindari konsumsi antikoagulan Edukasi tanda-tanda perdarahan
14
2. Fatigue r.t. Physiological condition
Fatigue LevelTingkat kelelahan yang nampak atau dilaporkanIndikator :
- Kelesuan- Hematokrit- Nyeri otot- Tingkat stress
Energy Managementa. Kaji status fisiologis pasien yang mengakibatkan kelelahanb. Kaji persepsi pasien mengenai penyebab kelelahanc. Perbaiki kondisi fisiologis pasiend. Pilih intervensi farmako dan nonfarmakologie. Monitor pola tidur dan jumlah jam tidurf. Kurang ketidaknyamanan fisik yang berhubungan dengan fungsi
kognitifg. Bantu pasien menentukan kegiatanyang disukainyah. Dukung tidur siang dan minimalkan stimulasi eksternal
3. Imbalance nutrition: less than body requrements
Nutritional StatusNutrisi yang dimakan dan diabsorbsi cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolismeIndikator:
Intake nutrisi Intake makanan dan cairan Energi Rasio BB/TB Hidrasi
Nutritional Status: Nutrient IntakeInfant Nutritional Status
Nutrition ManagementMemberikan dan mendukung keseimbangan intake nutrisiAktivitas:
1. Tentukan status nutrisi pasien2. Identifikasi alergi makanan dan pantangan3. Tentukan makanan kesukaan pasien4. Kaji kebutuhan kalori dan tipe nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi5. Berikan pilihan menu6. Berikan diit khusus bagi yang membutuhkan7. Sediakan lingkungan yang optimal8. Dukung oral care9. Berikan snack10. Bantu membuka, memotong makanan11. Monitor kalori dan intake diit12. Monitor berat badan13. Dukung persiapan makanan yang bersih14. Libatkan keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien
15
4. Chronic Pain·
Pain ControlAktivitas personal untuk mengontrol nyeriIndikator
Onset nyeri diketahui Faktor penyebab terdeskripsikan Penggunaan pereda nyeri nonanalgesik
terukur Melaporkan perubahan tingkat nyeri
pada tenaga medis Melaporkan gejala tidak terkontrol pada
tenaga medis
Pain LevelTingkat keparahan nyeri terobservasi dan terlaporkanIndikator : Klien mampu melapornakan atau
mengekspresikan rasa nyeri, lama episode nyeri
Klien tidak gelisah, agitasi, iritabilitas, menangi, berkeringat, terlalu fokus
Nafsu makan pasien meningkat
Pain Management- Lakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan penyebab- Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal- Pastikan pasien mendapatkan perawatan dengan analgetik- Pertimbangkan pengaruh budaya terhadap respon nyeri- Tentukan dampak nyeri terhadap kehidupan sehari-hari- Ajarkan untuk menggunakan cara mengontrol nyeri sebelum
menjadi menyakitkan- Ajarkan terapi non analgesik dengan relaksasi, guided imagery atau
distraksi- Modifikasi metode kontrol nyeri sesuai dengan respon pasien- Anjurkan untuk istirahat yang adekuat untuk mengurangi nyeri- Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman terhadap nyeri- Kontrol faktor lingkungan yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan pada pasien- Pilih variasi dari ukuran pengobatan
Analgesic Administration- Tentukan lokasi,karakteristik,kualitas,dan hebatnya nyeri sebelum
mengobati pasien- Cek order mengenai obat,dosis dan frekuensi analgesik yang
diberikan- Pilih analgesik yang tepat dan tentukan analgesik yang disukai,rute
pemberian dan dosis untuk mencapai analgesik yang optimal- Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat- Berikan analgesik adjuvan dan atau pengobatan ketika dibutuhkan
analgesia yang potensial- Pertimbangkan penggunaan infus yang berkelanjutan- Pencegahan keamanan untuk pasien yang menerima analgesik- Instruksikan untuk meminta pengobatan nyeri PRN sebelum nyeri
menjadi hebat
16
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 2. Jakarta: EGC.
American Cancer Society. 2015. Liver Cancer. Atlanta: American Cancer Society
Cicalese, L. 2015. Hepatocellular Carcinoma: Background, Anatomy, Pathophysiology.
Retrieved from http://emedicine.medscape.com/article/197319overview
Dochterman, JM., Butcher, H.K., & Bullechek, GM. (Eds.). 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC) Edisi Keenam. St. Louis: Mosby.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). 2014. NANDA International Nursing Diagnoses :
Definition & Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Morhead, S., Jhonson, M., Maas. ML., Swanson, E (Eds.). 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Edisi Kelima. St. Louis: Mosby.
Siregar, G.A. 2000. Penatalaksanaan non bedah dari karsinoma hati. Universa Medicina
Vol.24 No.1.
17